Askep Kemiskinan
Askep Kemiskinan
BAB I
PENDAHULUAN
Kemiskinan dan impitan ekonomi yang melanda Indonesia belakangan ini menimbulkan banyak
penderita gangguan kesehatan jiwa. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 menyebutkan 14,1%
penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa dari yang ringan hingga berat. Kondisi ini semakin
diperberat melalui aneka bencana alam yang terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia. Guna
mengatasi masalah gangguan jiwa, bukan hanya dengan penyembuhan secara fisik ketika penderita itu
dirawat di rumah sakit, melainkan juga butuh penanganan secara preventif, promotif, terapi, serta
rehabilitasi. Faktor-faktor yang menyebabkan gangguan jiwa umumnya adalah faktor biologis dan faktor
dari luar (Aimanullah, 2009).
Data dari 33 rumah sakit jiwa (RSJ) di seluruh Indonesia menyebutkan hingga kini jumlah penderita
gangguan jiwa berat mencapai 2,5 juta orang. Di Indonesia, prevalensinya sekitar 11% dari total
penduduk dewasa. Hasil survei kesehatan mental rumah tangga (SKMRT) menunjukkan, sebanyak 185
orang dari 1.000 penduduk dewasa menunjukkan adanya gejala gangguan jiwa. Gangguan mental
emosional yang terjadi pada usia 15 tahun ke atas dialami 140 per 1.000 penduduk dan di tataran usia 5-
14 tahun 104 per 1.000 penduduk. Penelitian terakhir menunjukkan, 37% warga Jawa Barat mengalami
gangguan jiwa, mulai dari tingkat rendah sampai tinggi (Aimanullah, 2009).
Mengacu pada data WHO, prevalensi (angka kesakitan) penderita skizofrenia sekitar 0,2-2%. Sedangkan
insidensi atau kasus baru yang muncul tiap tahun sekitar 0,01%. Lebih dari 80% penderita skizofrenia di
Indonesia tidak diobati dan dibiarkan berkeliaran di jalanan, atau bahkan dipasung. Sementara, jumlah
penderita gangguan jiwa ringan dan sedang juga terus meningkat. Diperkirakan, 20-30% dari populasi
penduduk di perkotaan mengalami gangguan jiwa ringan dan berat. Untuk penderita depresi, awalnya
banyak yang mengeluhkan gangguan fisik. Yang membahayakan, depresi masih dianggap sebagai bentuk
kesedihan biasa yang normal (Hanoman, 2009).
Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berupaya untuk meningkatkan dan
mempertahankan perilaku yang mengontribusi pada fungsi yang terintegrasi . system klien dapat berupa
indiviidu, keluarga, kelompok, organisasi, atau komunitas. Dalam memberikan asuhan keperawatan,
perawat meyakini bahwa klien adalah manusia yang utuh dan unik yang terdiri dari aspek bio-psikosial-
kultural-spiritual. Selanjutnya, perawat dapat mangidentifikasi status kesehatan klien yang berfluktuasi
sepanjang rentang sehat sakit. Status kesehatan klien akan mempengaruhi respons klien yang dapat
dikaji dari aspek bio-psikososial-kultural-spiritual. Pada pengkajian, seringkali perawat hanya
memusatkan perhatian pada aspek biologis atau fisik saja sehingga asuhan keperawatan yang
komprehensif tidak tercapai (Kelliat,1999).
Umumnya, pasien gangguan jiwa dibawa keluarganya ke Rumah Sakit Jiwa atau unit pelayanan
kesehatan jiwa lainnya karena keluarga tidak mampu merawat dan terganggu karena perilaku pasien.
Beberapa gejala yang lazim dirasakan oleh keluarga sehingga menjadi alasan mengapa pasien dibawa ke
Rumah Sakit Jiwa yaitu adanya harga diri rendah, menarik diri, halusinasi, waham, dan perilaku
kekerasan. Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat
membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan, hal tersebut
dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif (Stuart dan Sudeen,
1995). Kemarahan merupakan reaksi klien yang sering terjadi, tidak jarang perawat kurang menanggapi
reaksi ini, karena menganggap bukan masalah. Dengan mengetahui rentang dan proses terjadinya
kemarahan, perawat akan dapat mengarahkan klien mengatasi kemarahannya secara konstruktif (Kelliat,
1996).
Berdasarkan data yang diperoleh penulis selama 3 bulan terakhir dari bulan Oktober sampai bulan
Desember yang penulis dapatkan di ruang Graha Citro Anggodo Semarang didapatkan data ada 90
pasien. Dengan presentase 53,3% pasien dengan resiko perilaku kekerasan, 18,8% pasien dengan
halusinasi, 10% pasien dengan menarik diri, 6,7% pasien dengan harga diri rendah, 10% pasien dengan
waham dan 1,2% pasien dengan logore (banyak ngomong) dengan lama perawatan rata-rata 3 minggu
sampai 4 minggu. Dari hasil data yang didapatkan penulis di Ruang Graha Citro Anggodo banyak
ditemukan pasien dengan Resiko perilaku kekerasan.
Penulis memilih Resiko perilaku kekerasan dengan alasan kasus ini banyak ditemukan di RSJD Dr.
Aminogondohutomo Semarang, kasus ini juga dapat memberikan gambaran bagimana seseorang
mengalami tindakan perilaku kekerasan, bagaimana kita memberikan tindakan keperawatan kepada
klien gangguan jiwa resiko perilaku kekerasan serta akibat apabila tidak diberikan tindakan perawatan
pada pasien dengan perilaku kekerasan.
Mengetahui dan memahami bagaimana membuat asuhan keperawatan pada anak dengan gangguan
Sistem Pencernaan “Kemiskinan di lihat dari sudut pandang Keperawatan Jiwa”.
6. Memahami Asuhan keperawatan pada pasien dengan Kemiskinan di lihat dari sudut pandang
Keperawatan Jiwa.
1.4 Manfaat
1. Memperoleh pengetahuan tentang konsep dari Kemiskinan di lihat dari sudut pandang
Keperawatan Jiwa.
2. Memperoleh pengetahuan dan dapat melakukan asuhan keperawatan Kemiskinan di lihat dari
sudut pandang Keperawatan Jiwa.
BAB 2
PEMBAHASAN
Kesehatan mental merupakan keserasian atau kesesuaian antara seluruh aspek psikologis dan dimiliki
oleh seorang untuk dikembangkan secara optimal agar individu mampu melakukan kehidupan-
kehidupan sesuai dengan tuntutan-tuntutan atau nilai-nilai yang berlaku secara individual, kelompok
maupun masyarakat luas sehingga yang sehat baik secara mental maupun secara sosial.
Pembahasan mengenai konsep kesehatan lebih difokuskan pada model-model kesehatan yang muncul.
Model-model kesehatan itu antara lain model barat dan model timur.
Menurut Eisenberg (Helman, 1990) yang dimaksud dengan model adalah cara merekontruksi realita,
memberikan makna kepada fenomena-fenomena alam yang pada dasarnya bersifat chaos. Model
kesehatan barat dapat dibedakan menjadi beberapa macam yaitu model biomedis atau sering disebut
sebagai model medis ( Joesoet, 1990; Freund, 1991; Helman, 1990; Tamm, 1993), model spikiatris
(Helman, 1990) dan model psikosomatis (Tamm, 1993) sedangkan model kesehatan timur umumnya
disebut model kesehatan holistic (Joesoet, 1990) yang menekankan pada keseimbangan (Helman,1990).
Model biomedis (Freud, 1991) memiliki 5 asumsi.
1. Terdapat perbedaan yang nyata antara tubuh dan jiwa sehingga penyakit diyakini berada pada
suatu bagian tubuh tertentu.
2. Bahwa penyakit dapat direduksi pada gangguan fungsi tubuh, entah secara biokimia atau
neurofisiologi.
3. Keyakinan bahwa setiap penyakit disebabkan oleh suatu agen khusus yang secara potensial dapat
didefinisikan.
Model psikosometik menyatakan penyakit berkembang melalui saling terkait secara berkesinambungan
antara factor fisik dan mental yang saling memperkait satu sama lain melalui jaringan yang kompleks.
Holisme dalam arti yang sempit melihat organisme manusiawi sebagao suatu system kehidupan yang
semua kompenennya saling terkait dan saling tergantung. Sementara menurut arti luas pandangan
holistis menyadari bahwa system tersebut merupakan suatu bagian integral dari system-sistem yang luas
dimana organisme individu berinterksi terus menerus dengan lingkungan fisik dan sosialnya yaitu tetap
terpengaruh oleh lingkungan. Seseorang dikatakan sehat tidak cukup dilihat hanya dari segi fisik,
psikologis dan sosial saja, tapi juga harus dilihat dari segi spiritual dan agama.
Inilah yang kemudian disebut Dadang Hawari sebagai dimensi sehat itu, yaitu Bio-psiko-sosial-spiritual.
Jadi seseorang yang sehat mentalnya tidak hanya sebatas pengertian terhindarnya dia dari gangguan dan
penyakit jiwa baik neurosis maupun psikosis, melainkan patut pula dilihat sejauh mana seseorang itu
mampu menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri dan lingkungannya, mampu mengharmoniskan fungsi-
fungsi jiwanya, sanggup mengatasi problem hidup termasuk kegelisahan dan konflik batin yang ada,
serta sanggup mengaktualisasikan potensi dirinya untuk mencapai kebahagiaan. Istilah kesehatan mental
sendiri memperoleh pengertian yang beragam seiring perkembangannya :
2. Sebagai ilmu pengetahuan cabang dari ilmu psikologi yang bertujuan mengembangkan potensi
manusia seoptimal mungkin dan menghindarkannya dari gangguan dan penyakit kejiwaan.
1. Mempunyai self image atau gambaran dan sikap terhadap diri sendiri yang positif.
2. Memiliki interaksi diri atau keseimbangan fungsi-fungsi jiwa dalam menghadapi problema hidup
termasuk stress..
6. Memiliki falsafah atau agama yang dapat memberikan makna dan tujuan bagi hidupnya.
7. Mawas diri atau memiliki control terhadap segala kegiatan yang muncul
8. Memiliki perasaan benar dan sikap yang bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya.
Secara harfiah, kemiskinan berasal dari kata dasar miskin yang artinya tidak berharta-benda
(Poerwadarminta, 1976). Dalam pengertian yang lebih luas, kemiskinan dapat diartikan sebagai suatu
kondisi ketidakmampuan baik secara individu, keluarga, maupun kelompok untuk memenuhi kebutuhan
dasar hidup (sandang, pangan, dan papan), sehingga kondisi ini rentan terhadap timbulnya
permasalahan sosial yang lain. Kemiskinan dipandang sebagai kondisi dimana individu atau kelompok
yang tidak dapat memenuhi hak-hak dasarnya secara layak untuk menempuh dan mengembangkan
kehidupan yang bermartabat. Dengan demikian, kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidak
mampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi
seseorang atau sekelompok orang, dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Pada saat seseorang
atau kelompok tidak dihargai oleh orang lain, dan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara
layak, akan menimbulkan gejolak dalam bathin orang yang mengalaminya.
Masyarakat miskin adalah suatu kondisi dimana fisik masyarakat yang tidak memiliki akses ke prasarana
dan sarana dasar lingkungan yang memadai, dengan kualitas perumahan dan pemukiman yang jauh di
bawah standart kelayakan serta mata pencaharian yang tidak menentu yang mencakup seluruh
multidimensi, yaitu dimensi politik, dimensi social, dimensi lingkungan, dimensi ekonomi dan dimensi
asset (P2 KP, Pedoman Umum, 2004:1).
Pada umunya kemiskinan akan menjadi sebuah budaya yang turun menurun dalam suatu keluarga atau
kelompok. Karena orang miskin tidak dapat mengakses pendidikan dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang memerlukan biaya untuk mendapatkanya , sehingga pada saat mereka
bekerja, mereka tidak akan memiliki kemampuan untuk bersaing dalam dunia kerja, dengan orang –
orang yang berpendidikan tinggi, dan akhirnya orang – orang miskin akan menempati pekerjaan –
pekerjaan yang rendah pula. Misalnya : Cleaning servis. Upah yang mereka dapatkan pun sangat minim.
Bahkan banyak orang miskin yang tidak bekerja alias pengannguran. Biasanya orang miskin akan menikah
dengan orang miskin juga, sehingga anak yang mereka dapatkan dari hasil pernikahanya akan memiliki
pendidikan yang sama rendahnya dengan orang tua mereka, sehingga keadaan seperti ini terus berlanjut
sampai generasi berikutnya.
Amerika Serikat sebagai negara maju juga dihadapi masalah kemiskinan, terutama pada masa depresi
dan resesi ekonomi tahun 1930-an. Pada tahun 1960-an Amerika Serikat tercatat sebagai negara adi daya
dan terkaya di dunia. Sebagian besar penduduknya hidup dalam kecukupan. Bahkan Amerika Serikat
telah banyak memberi bantuan kepada negara-negara lain. Namun, di balik keadaan itu tercatat
sebanyak 32 juta orang atau seperenam dari jumlah penduduknya tergolong miskin.
Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alamnya mempunyai 49,5 juta jiwa penduduk
yang tergolong miskin (Survai Sosial Ekonomi Nasional / Susenas 1998). Jumlah penduduk miskin
tersebut terdiri dari 17,6 juta jiwa di perkotaan dan 31,9 juta jiwa di perdesaan. Angka tersebut lebih dari
dua kali lipat banyaknya dibanding angka tahun 1996 (sebelum krisis ekonomi) yang hanya mencatat
jumlah penduduk miskin sebanyak 7,2 juta jiwa di Perkotaan dan 15,3 juta jiwa perdesaan. Akibat krisis
jumlah penduduk miskin diperkirakan makin bertambah.
Ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yakni kemiskinan alamiah dan karena
buatan. Kemiskinan alamiah terjadi antara lain akibat sumber daya alam yang terbatas, penggunaan
teknologi yang rendah dan bencana alam. Kemiskinan “buatan” terjadi karena lembaga-lembaga yang
ada di masyarakat membuat sebagian anggota masyarakat tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan
berbagai fasilitas lain yang tersedia, hingga mereka tetap miskin. Maka itulah sebabnya para pakar
ekonomi sering mengkritik kebijakan pembangunan yang melulu terfokus pada pertumbuhan ketimbang
pemerataan.
Berbagai persoalan kemiskinan penduduk memang menarik untuk disimak dari berbagai aspek, sosial,
ekonomi, psikologi dan politik. Aspek sosial terutama akibat terbatasnya interaksi sosial dan penguasaan
informasi. Aspek ekonomi akan tampak pada terbatasnya pemilikan alat produksi, upah kecil, daya tawar
rendah, tabungan nihil, lemah mengantisipasi peluang. Dari aspek psikologi terutama akibat rasa rendah
diri, fatalisme, malas, dan rasa terisolir. Sedangkan, dari aspek politik berkaitan dengan kecilnya akses
terhadap berbagai fasilitas dan kesempatan, diskriminatif, posisi lemah dalam proses pengambil
keputusan.
Kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga pengertian: kemiskinan absolut, kemiskinan relatif dan
kemiskinan kultural. Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada di
bawah garis kemiskinan, tidak cukup untak memenuhi kebutuhan hidup minimum: pangan, sandang,
kesehatan, papan, pendidikan. Seseorang yang tergolong miskin relatif sebenarnya telah hidup di atas
garis kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedang miskin
kultural berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha
memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari fihak lain yang membantunya.
Lebih lanjut, garis kemiskinan merupakan ukuran rata-rata kemampuan masyarakat untuk dapat
memenuhi kebutuhan hidup minimum. Melalui pendekatan sosial masih sulit mengukur garis
kemiskinan masyarakat, tetapi dari indikator ekonomi secara teoritis dapat dihitung dengan
menggunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendapatan, dan pengeluaran. Sementara ini
yang dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS) untuk menarik garis kemiskinan adalah pendekatan
pengeluaran.
Menurut data BPS hasil Susenas pada akhir tahun 1998, garis kemiskinan penduduk perkotaan
ditetapkan sebesar Rp. 96.959 per kapita per bulan dan penduduk miskin perdesaan sebesar Rp. 72.780
per kapita per bulan. Dengan perhitungan uang tersebut dapat dibelanjakan untuk memenuhi konsumsi
setara dengan 2.100 kalori per kapita per hari, ditambah dengan pemenuhan kebutuhan pokok minimum
lainnya, seperti sandang, kesehatan, pendidikan, transportasi. Angka garis kemiskinan ini jauh sangat
tinggi bila dibanding dengan angka tahun 1996 sebelum krisis ekonomi yang hanya sekitar Rp. 38.246 per
kapita per bulan untuk penduduk perkotaan dan Rp. 27.413 bagi penduduk perdesaan.
Banyak pendapat di kalangan pakar ekonomi mengenai definisi dan klasifikasi kemiskinan ini. Dalam
bukunya The Affluent Society, John Kenneth Galbraith melihat kemiskinan di Amerika Serikat terdiri dari
tiga macam, yakni kemiskinan umum, kemiskinan kepulauan, dan kemiskinan kasus. Pakar ekonomi
lainnya melihat secara global, yakni kemiskinan massal/kolektif, kemiskinan musiman (cyclical), dan
kemiskinan individu. Kemiskinan kolektif dapat terjadi pada suatu daerah atau negara yang mengalami
kekurangan pangan. Kebodohan dan eksploitasi manusia dinilai sebagai penyebab keadaan itu.
Kemiskinan musiman atau periodik dapat terjadi manakala daya beli masyarakat menurun atau rendah.
Misalnya sebagaimana, sekarang terjadi di Indonesia. Sedangkan, kemiskinan individu dapat terjadi pada
setiap orang, terutama kaum cacat fisik atau mental, anak-anak yatim, kelompok lanjut usia.
Penggolongan kemiskinan didasarkan pada suatu standar tertentu yaitu dengan membandingkan
tingkat pendapatan orang atau keluarga dengan tingkat pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan pokok minimum. Berdasarkan criteria ini maka dikenal kemiskinan absolut dan kemiskinan
relatif. Kemiskinan absolut adalah mereka yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok minimum,
sedangkan komunitas yang termasuk dalam kemiskinan relatif adalah mereka yang memiliki kemampuan
untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum tetapi secara relatif mereka masih di bawah rata-rata
pendapatan masyarakat yang ada di sekitarnya.
Kemiskinan struktural merupakan suatu kemiskinan yang melanda suatu komunitas yang
disebabkan oleh faktor-faktor tertentu yang dibangun manusia. Faktor-faktor tersebut muncul karena
dibangun dan dikondisikan oleh manusia, sehingga menyebabkan kerugian pada suatu sisi (Sulistyani,
2004 : 29-30).
Indikator kemiskinan pada satu rumah tangga yang ditentukan Badan pusat Statistik adalah :
1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang;
3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa
plester;
4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar atau bersama-sama dengan rumah tangga lain;
6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata iar tidak terlindungi/sungai/ air hujan;
7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/ minyak tanah;
12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah petani dengan luas lahan 0,5 ha, buruh tani,
nelayan, buruh perkebunan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000,- (Enam
ratus ribu rupiah)
13. Pendidikan teringgi kepala rumah tangga adalah tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD
14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp. 500.000,- (Lima ratus ribu
rupiah) seperti sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor atau barang modal lainnya.
Orang – orang yang berpenghasilan rendah atau orang miskin merasa kurang bahagia, bahkan ada yang
mengalami gangguan mental seperti depresi, gangguan kepribadian. Misalnya : Seorang Bapak tua, Dia
telah putus asa dengan keadaannya hidupnya sekarang. Bapak tua itu mengatakan akan menghalalkan
segala cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan kedua anaknya. Untuk memenuhi kebutuhan
sehari- hari, bapak tersebut menjadi pengamen, pengemis, dan pemulung. Kedua anaknyapun
melakukan hal yang sama dengan Bapak tersebut. Pengahasilan mereka hanya cukup untuk memenuhi
kebutuhan makan seadanya. Jangankan untuk mengakses pendidikan yang berkualitas atau kesehatan
yang super mahal, menyewa kamar untuk tempat mereka berteduh saja, Bapak itu tidak mampu.
Mereka hanya tinggal di jalanan, tidur di jalanan, di bawah pohon atau di emperan toko. Menghadapi
keadaan yang sangat sulit seperti ini, sering terpikir di hati Bapak itu untuk mencuri, atau merampok,
bahkan yang fatal Dia pernah berkeinginan untuk mengajak kedua puteranya bunuh diri. Beruntung
karena alasan pribadi, niat untuk bunuh diri diurungkannya.
Rata – rata penghasilan bapak tersebut dalam sehari Rp. 25.000. Penghasilan tersebut tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidup secara layak di sehari – hari bapak tua itu dan kedua anaknya. Kedua anak
itu terlihat sangat kumuh dan bandel. Lingkungan hidup di jalanan dan kemiskinanlah yang
mempengaruhi karter anak tersebut, sehingga tumbuh menjadi anak yang berkepribadian keras.
Kesedihan dan setress karena tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup kedua anaknya, selalu dirasakan
oleh bapak tua itu. Dengan demikian, berdasarkan uraian – uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa
kemiskinan sangat erat kaitannya dengan gangguan psikologis seseorang.
Teori ekonomi mengatakan bahwa untak memutus mata rantai lingkaran kemiskinan dapat dilakukan
peningkatan keterampilan sumber daya manusianya, penambahan modal investasi, dan
mengembangkan teknologi. Melalui berbagai suntikan maka diharapkan produktifitas akan meningkat.
2. Prevensi primer, merupakan usaha kesehatan mental untuk mencegah timbulnya gangguan/sakit
mental.
3. Prevensi sekunder, merupakan usaha kesehatan mental menemukan kasus dini dan penyembuhan
secara tepat terhadap gangguan/sakit mental. Usaha ini dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi
durasi gangguan agar tidak berdampak lebih parah, baik.
4. Prevensi tersier, merupakan usaha rehabilitasi awal yang dapat dilakukan terhadap individu yang
mengalami gangguan mental (Pelmutter, F.D. 1982., Mental Health Promotion and Primarly Prevention.
San Francissco:Jose_Bass Inc, Publisher).
Mengidentifikasi ada atau tidak adanya suatu gangguan mental bukanlah perkara yang mudah
sebagaimana mengenal gangguan fisik. Banyak faktor yang mempengaruhinya, antara lain faktor kultural
yang memiliki batasan tersendiri mengenai sehat dan tidak sehat. Selain itu, faktor individual/subyektif
turut mempengaruhi dalam hal ini terkait dengan persepsi dan perasaannya.
Gangguan mental didefenisikan sebagai pola perilaku atau psikologis yang terjadi pada individu dan hal
tersebut dikaitkan dengan adanya: stress, ketidakmampuan, dan peningkatan resiko secara bermakna
untuk mati, sakit, ketidakmampuan atau kehilangan kebebasan (American Psychiatric Association. 1994.
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, 4th edition.Washington DC).
Ada dua faktor utama yang merupakan penyebab terjadinya gangguan psikologis, yaitu:
a. Faktor biologis
Faktor keturunan; sangat besar kemungkinan individu untuk mengalami gangguan psikologis karena
mewarisi bakat-bakat biologis dari orangtuanya. Contoh, para ahli menemukan bahwa anak kembar
identik kemungkinan untuk mengalami schizophrenia sebesar 58%, sedangkan anak kembar tidak identik
hanya 10%.
b. Faktor kimiawi; gangguan psikologis disebabkan oleh adanya gangguan cairan kimiawi di otak dan
pusat sistem syaraf. Seperti:
1) Dopamine: menyebabkan penyakit parkinson (wajah kaku, tidak bergerak-gerak, kekejangan otot)
3) Catecholamines: merangsang kerja sistem syaraf sehingga kelebihan cairan ini akan mengakibatkan
gangguan kejiwaan yang disebut mania, sedangkan bila kekurangan akan menyebabkan depresi.
c. Faktor psikologis
Pengalaman masa kecil, seperti kekurangan kasih saying (bakat antisosial, senantiasa merasa tidak aman,
frustrasi, tertekan dan besikap bermusuhan dengan orang lain), rejection dari orang tua (perasaan tidak
berharga dan tidak berguna, senatiasa merasa kesepian, tidak bahagia, merasa tidak aman),
perlindungan yang berlebihan dari orang tua (tidak dapat mandiri, mudah nervous, pasif, dan tidak
mampu mengatasi tekanan hidup), sikap memanjakan dari orang tua (egois, tidak tahu bertanggung
jawab, kesulitan untuk menyesuaikan diri, terlalu peka terhadap aturan dan perintah), tuntutan yang
berlebihan dari orang tua/perfectionis (cenderung rendah diri, tidak aman, cemas, mudah memyalahkan
diri sendiri, emosi tidak stabil, tidak tahan dengan tekanan hidup) Ketidakharmonisan dalam rumah
tangga; tertanamnya kesan buruk, merasa tidak aman dalam hubungan pernikahan, selalu curiga
terhadap pasangannya, terlalu sensitif terhadap hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginannya.
Early trauma; mendatangkan psychological schock reaction yang diikuti dengan perasaan tidak aman
yang cenderung permanen Kurangnya persiapan dan pengalaman hidup; tidak mendapat kesempatan
untuk mempelajari bagaimana merespon suatu situasi yang penuh dengan tekanan.
d. Faktor social
Macam dan suasana pekerjaan yang tidak menyenangkan (tidak puas dengan berbagai macam alasan,
sehingga mendatangkan perasaan yang mudah tersinggung, tidak penya semangat bekerja, dll).
1. Kelas sosial; dipengaruhi oleh pola asuh dari tiap kelas sosial yang berbeda, pengenalan dan
pandangan terhadap diri sendiri, latihan dan persiapan masa kecil untuk menghadapi stres, dan tuntutan
hidup yang akan dicapai.
2. Kelompok kebudayaan tertentu; kehidupan di tengah kebudayaan yang asing akan menimbulkan
perasaan kesepian, tidak dihargai, dan senatiasa dihantui oleh perasaan penuh curiga.
3. Tempat tinggal; kota vs desa, tempat kotor vs tempat bersih Anggota kelompok minoritas; menjadi
anggota dari sebuah kelompok minoritas akan mudah mendatangkan perasaan tidak aman dan tertekan.
4. Seks; laki-laki vs perempuan Status pernikahan; individu yang tidak menikah, janda, duda, bercerai
cenderung mempunyai pengalaman hidup yang tidak menyenangkan.
5. Agama; individu yang aktif dalam kegiatan agama cenderung memiliki kemampuan dalam
mengatasi masalah
a. Faktor-faktor biologis; adanya gangguan fisik (kecapaian, kelaparan, kurang tidur, kurang gizi,
penyakit, gangguan pada sistem syaraf). Gangguan ini jika kadarnya cukup tinggi akan memudahkan
munculnya gangguan psikologis, apalagi faktor pendukungya telah ada.
b. Faktor-faktor psikis; adanya konflik, frustrasi dan berbagai macam tekanan dapat menjadi pemicu
bagi timbulnya gangguan psikologis
1. Gangguan mental (neurosis) yang dialami masyarakat miskin 2 kali lebih tinggi jika dibandingkan
dengan masyarakat yang tidak miskin (Patel, V, et al., Women, poverty, and common mental disorders in
four restructuring societies. Journal Social Sciense and Medicine, 1999).
2. Masyarakat yang mempunyai persoalan dengan kelaparan dan berhutang, memiliki potensi yang
besar untuk mengalami gangguan mental- neurosis-(Patel, V, et al., Women, poverty, and common
mental disorders in four restructuring societies. Journal Social Sciense and Medicine, 1999).
3. Gangguan mental (neurosis) pada umumnya dialami oleh masyarakat yang tinggal di daerah
pemukiman yang miskin dan padat (Araya, et al.,Education and income: which is more important for
mental health?).
4. Gangguan mental (neurosis) juga pada umumnya dijumpai pada masyarakat yang tingkat
penganggurannya tinggi dan berpenghasilan rendah (WHO International Consortium of Psychiatric
Epidemiology. Cross-national Comparisons of Mental Disorders.Bulletin of the WHO, 2000).
5. Khusus gangguan mental psikosis masyarakat yang memiliki status social ekonomi terendah
mempunyai kecenderungan resiko schizophrenia 8 kali lebih tinggi ketimbang masyrakat yang memiliki
status sosial tertinggi (Saraceno, B and Barbui C., Poverty and mental illness. Canadian Journal of
Psychiatry, 1997) bandingkan dengan penelitian yang dilakukan pada tahun 1964 oleh Holingshead
ditemukan hasil bahwa masyarakat kelas sosial ekonomi rendah memiliki prevalensi yang tinggi
mengalami psikotik, sedangkan prevalensi neurotik lebih banyak dialami oleh kelompok sosial ekonomi
tinggi. Kesimpulan ini tidak berlaku untuk psikosis jenis depresi, karena prevalensinya lebih tinggi dialami
oleh kelompok ekonomi tinggi).
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
(Gejala gangguan afektif, depresif, dan ansietas dimanifestasikan bergantung pada respon spesifik
individu terhadap situasi stress).
a. Keletihan
b. Insomnia
2. Integritas Ego
3. Neurosensori
b. Rentang perhatian dan memori mungkin mengalami kerusakan (bergantung pada munculnya
depresi, tingkat ansietas, dan/atau penggunaan zat).
c. Pola komunikasi dan pola pikir dapat menunjukkan perenungan negatif depresi alam perasaan atau
hilangnya asosiasi pada kondisi cemas berat.
Berbagai gejala fisik, seperti sakit kepala, sakit punggung, sakit dan nyeri di daerah lain (respons
maladaptif terhadap situas stres).
5. Keamanan
6. Interaksi sosial
1. Kesulitan dengan penampilannya di tempat kerja/sosial, jika tidak ada kesulitan yang pernah
dialami sebelum terjadinya stressor
2. Menarik diri secara sosial/menolak berinteraksi dengan orang lain ( misalnya; mengisolasi
diri di ruangannya)
3. Melaporkan sifat suka merusak, mengemudi ugal-ugalan, berkelahi, kelalaian pada tanggung
jwab hukum, kekerasan terhadap hak-hak orang lain atau norma dan nilai sesuai usia.
Studi diagnostik dan uji psikologis sesuai indikasi untuk menyingkirkan kemungkinan kondisi serupa atau
terjadi bersamaan (misalnya; ketidaksimbangan endokrin, penyakit jantung, epilepsi, atau diagnosis
banding dengan gangguan efektif, ansietas, tingkah laku, atau kepribadian antisoaial).
4. Memberi informasi dan dukungan terhadap perubahan gaya hidup yang penting
1. Memulihkan perasaan depresi dan/atau ansietas yang ada, dengan menurunkan gagasan bunuh diri
DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Krisis situasi/maturase
2. Ancaman terhadap konsep diri: ancaman (atau merasakan ancaman) terhadap integritas fisik
4. Didisfungsi sistem keluarga: hubungan orang tua/anak tidak memuaskan mengakibatkan persaan
tidak aman
3. Tampak rileks dan melaporkan penurunan ansietas pada tingkat yang dapat ditangani
TINDAKAN/INTERVENSI
Mandiri
1. Bangun hubungan terapeutik perawat/klien. Jujur, konsisten dalam berespon, dan selalu ada untuk
klien, tunjukkan penghargaan positif dengan ikhlas
2. Beri aktifitas yg disesuaikan dengan penurunan ketegangan dan penurunan ansietas (mis. Jalan atau
joging, latihan alat musik, tugas rumah tangga, permainan/aktifitas kelompok).
6. Beri dukungan selama peningkatan ansietas, beri keamanan fisik dan psikologis. (rujuk pada DK:
membahayakan diri/orang lain, resiko).
Kolaborasi
RASIONAL
1. Kejujuran, kesediaan, dan penerimaan mutlak meningkatkan rasa percaya, yang penting untuk
pembentukan hubungan terapeutik
2. Ketegangan dan ansietas dapat dilepaskan dengan aman, dan aktifitas fisik dapat memberi
keuntungan emosi bagi klien melalui pelepasan zat seperti morfin (endorfin) dalam otak yang
meningkatkan rasa sehat
3. Klien cemas sering menyangkal hubungan antara masalah emosi dan ansietasnya, penggunaan
mekanisme pertahanan proyeksi dan displacement saat berlebihan
5. Pengenalan pencetus stresor dan rencana tindakan yang harus dilaksanakan jika kambuh, akan
membuata perasaan klien aman dan terkendali terhadap situasi yang sama di masa mendatang, dengan
sendirinya dapat membantu mengendalikan respons ansietas.
6. Adanya individu yang dipercaya dapat memberi keamanan yang dibutuhkan/keamanan klien.
1. Obat antisietas menginduksi efek pemenang dan bekerja mempertahankan ansietas pada tingkat
yang dapat ditangani sambil memberi kesempatan bagi klien mengembangkan cara lain untuk
menangani stres.
DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Depresi alam perasaan, putus asa, tidak berdaya: ketidakmampuan menoleransi frustas; reaksi
amuk
2. Harga diri rendah; kebutuhan tidak terpenuhi
2. Ketegangan otot (mis. Menggapai tinju, ekpresi wajah tegang, postur kaku, ketegangan)
3. Permusuhan, ungkapan yang mengancam; perilaku provokatif ( argumentatif; tidak puas, over-
reaktif, hipersensitif)
2. Berpartisipasi dalam perawatan dan memenuhi kebutuhannya sendiri dengan cara asertif
4. Menunjukkan pengendalian diri yang ditandai dengan postur rileks, tidak ada perilaku kekerasan,
dan lain-lain
TINDAKAN/INTERVENSI
Mandiri
1. Observasi perilaku klien secara sering selama aktifitas rutin dan interaksi; hindari menampakkan
pengawasan penuh dan kecurigaan.
2. Minta klien bertanya langsung tentang intensitas, rencana, dan adanya alat-alat untuk
membahayakan diri sendiri. Evaluasi dan prioritaskan pada skala 1-10 berdasarkan beratnya
ancaman,adanya alat.
3. Beri lingkungan yang aman ,stimulus rendah(misal cahaya lampu rendah,sedikit orang,dekorasi
sederhana,tingkat kebisingan rendah).
4. Pindah objek yang berpotensi bahaya,seperti tali pengikat,ikat pinggang,objek tajam,barang
kaca,dan obat,sesuai indikasi.
5. Jamin kontrak dan klien bahwa ia tidak akan membahayakan dirinya dan akan mencari anggota staf
jika muncul gagasan bunuh diri
7. Bantu klien mengidentifikasi sumber kemarahan/perumusan yang sebenarnya dan perasaan yang
melatar belakangi.
8. Tunjukkan sikap menerima klien.pisahkan pesan bahwa bukan klien yang tidak diterima,tetapi
perilakunya.
9. Eksplorasi dengan klien alternatif cara mengatasi frustasi/menahan marah dengan menyalurkan
energi permusuhan ke dalam prilaku yang diterima secara sosial(jalan cepat,joging,latihan fisik,bola
volli,kantong tinju)
10. Pertahanakan sikap tenang pada klien jika prilaku meningkat,minta staf yang cukup tersedia untuk
menunjukkan kekuatan pada klien jika diperlukan
Sesuai
Kolaborasi
RASIONAL
1. Observasi ketat diperlukan sehingga intervensi dapat diberikan jika perlu untuk menjamin
keamanan orang lain, menimbulkan kecurigaan dapat memprovokasi perilaku agresif
2. Pertanyaan langsung, jika dismpaikan dengan rasa peduli dan penuh perhatian, merupakan cara
mendapatkan informasi yang penting untuk membantu perawat dalam merumuskan rencana
keperawatan yang sesuai untuk klien bunuh diri.
3. Lingkungan yang menstimulasi dapat meningkatkan agitasi dan memprovokasi prilaku agresif.
4. Pengendalian lingkungan eksternal membantu dalam mencegah tindakan impulsif pada saat
menurunnya pengendalian diri internal klien.
6. Mungkin sulit bagi klien mengekspresikan perasaan negatif.ungkapan perasaan ini dalam
lingkungan yang tidak mengancam dapat membantu klien menghadapi masalah yang tidak erselesaikan
dan mengidentifikasi alasan ingin mengubah kehidupan/meneruskan kehidupan
8. Meningkatkan perasaan harga diri.perasaan ini akan memandang seseorag dan perilakunya secara
terpisah,mengomunikasikan penghargaan positif yang mutlak
9. Tuntutan aktivitas secara fisik membantu menghilangkan ketegangan karena menahan marah,
Catatan: olahraga tidak perlu aerobik atau intensif untuk mencapai efek terapeutik.
10. Ansietas mudah menular dan dapat ditularkan dari seseorang e orang lain.bersikap tenang akan
menimbulkan perasaan aman dan nyaman bagi lien. Menunjukkan kekuatan memberi jaminan bagi klien
bahwastaf akan mengendalikan situasi dan akan memberi keamanan fisik bagi klien,staf,dan orang lain.
11. Klien dapat mengalihkan diri dari usaha bunuh diri karena penurunan depresi mengakibatkan
peningktatan energi dan motivasi
1. Obat antidepresan dapat meningkatkan alam perasaan,sekaligus mempertinggi tingkat energi dan
menurunkan perasaan letih.
2. Obat antinsietas dan memberi pemulihan perasaan cemas yang diperlukan,menimbulkan efek
penenang dan menghambat perilaku agresif.
DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Krisis situasi/maturase
2. Difusi sistem keluarga:model peran negatif,sistem pendukung tidak adekuat.kebutuhan
ketergantungan tidak terpenuhi,harga diri rendah,retardasi perkembangan ego.
3. Memenuhi kebutuhab psikologis yang ditandai dengan ekspresi perasaan sesuai,identifikasi pilihan
dan penggunaan sumber
TINDAKAN/INTERVENSI
MANDIRI
1. Jelaskan peraturan unit/hubungan terapeutik dan akibat kurangnya kerja sama,tentukan batas
prilaku manipulatif,konsisten dalam menjalankan akibat jika peraturan dilanggar dan menguji batasan.
2. Abaikan perilaku negatif jika mungkin dan beri umpan balik jika nampak perilaku positif,mendorong
klien untuk mengakui keberhasilannya
3. Anjurkan klien untuk mendiskusikan perasaanmarah. Bantu klien engidentifikasi objek permusuhan
sebenarnya. Beri penyuluhan fisik untuk pelepasan perasaan permusuhan yang sehat(mis.memukul
kantong pasir,papan pantul).libatkan dalam program rekreasi di luar ruangan,jika ada.
4. Hati- hati untuk tidak menguatkan perilaku ketergantungan.
5. Izinkan klien tampil secara mandiri jika mungkin dan beri umpan balik. Bantu klien mengenali aspek
kehidupan yang dapat mempertahankan/memungkinkan tindakan pengendalian(Rujuk pada DK:ketidak
berdayaan).
6. Beri perhatianminimal pada kondisi fisik jika koping klien melalui berbagai keluhan somatik dan
patologi organik yang telah di ketahui.peningkatan perhatian saat klien tidak berfokus pada keluhan fisik.
7. Diskusikan aspek negatif penyalahgunaan saat sebagai respons stres. Bantu klien mengenali
kesulitan situasi kehidupan yang mungkin berperan dalam menggunakan zat.
8. Bantu proses penyelesaian masalah. Beri alternatif,danbantu klen untuk memilih strategi koping
yan lebih adaptif terhadap stres.
KOLABORASI
Rujuk klien pada program rehabilitasi rahabilitas zat jika masalah ini teridentifikasi
RASIONAL
1. Penguatan negatif dapat mengurangi perilaku yang tidak diinginkan,konsistensi dianatara semua
anggota staf sangat vital untuk keberhasilan intervensi.
2. Perilaku negatif berkurang jika tidak diberi perhatian,jika memberi umpan balik positif pada dirinya
sendiri,klien meningkatkan penghargaan dalam diri.
3. Verbalisasi persaan pada individu yang ipercaya dapat membantu klie menghadpi masalah yang
tidak terselesaikan.latihan fisik merupakan cara pelepasan ketegangan yang tertahan secara aman dan
efktif,dan juga mengembangkan percaya diri dan percaya pada orang lain.
4. Pencapaian kemandirian dan penguatan positif meningkatka harga diri dan mendorong
pengulangan perilaku yang di inginkan.
5. Pengenalan kendali diri, meskipu minimal, mengurangi perasaan tidak berdaya dan menurunkan
perlunya pad orang lain.
7. Biasanya klen menyangkal masalah yang berkaitan dengan penggunaan zat. Klien perlu mengenali
hubungan antara pengunaan zat dan maslah pribadi sebelum memulai rehabilitasi.
8. Karena tingkat ansiwtas dan perkembangan yang terhambat,klien mungkin memerlukan bantuan
dalam menentukan metode koping yang paling tepat scara individu. Peningkatan ansietas mengganggu
kemampuan penyelesaian masalah klien.
9. Keterampilan ini mungkin bermanfaat dalam mengembangkan metode koping baru dalam
mengatasi/menurunkan stres.
Kemungkinan besar berhasil jika klien mencari bantuan profesional untuk mengatasi masalahnya.
DIANGNOSIS KEPERAWATAN
1. Perubahan status kesehatan yang memerlukan madifikasi gaya hidup (mis. Perkembangan
penyakit/ketidakmampua kronis,perubahan yang berkaitan dengan proses penuaan).
2. Kesulitan dalam penyelesaian masalah, pembuatan keputusan, atau menentukan tujuan, kurangnya
pemikiran berorientasi masa depan
TINDAKAN/INTERVENSI
Mandiri
1. Anjurkan klien untuk menceritakan gaya hidup sebelum ada perubahan status mental.
2. Diskusikan mekanisme koping yang pernah digunakan pada masa stress yang lalu. Bantu klien
mendiskusikan perubahan/kehilangan terutama untuk mengekspresikan kemarahan.
3. Minta klien mengekspresikan ketakutan yang berkaitan dengan perubahan/kehilangan atau akibat
terjadi perubahan gaya hidup.
4. Bantu aktivitas sehari-hari jika diperlukan, tetapi dorong kemandirian klien sampai batas
kemampuan klien untuk melakukannya. Beri umpan balik positif untuk pencapaian aktivitas secara
mandiri.
5. Bantu klien dalam pembuatan keputusan untuk memasukkan perubahan atau kehilangan ke gaya
hidupnya. Identifikasi kemampuan individu untuk menyelesaikan masalah dan membuat keputusan yang
tepat.
6. Diskusikan solusi alternatif, pertimbangkan manfaat potensial dan akibat setiap alternatif. Dukung
keputusan klien.
7. Memainkan peran tentang situasi stress yang mungkin terjadi dalam hubungannya dengan
perubahan status kesehatan.
8. Beri informasi tentang fisiologi perubahan status kesehatan dan perlunya kesehatan yang optimal.
Anjutkan klien dan keluarga untuk mengajukan pertanyaan. Beri materi tertulis yang menjelaskan
perubahan.
Kolaborasi
Rujuk ke sumber di komunitas (mis, kelompok swa-bantu pendukung, perawat kesehatan masyarakat,
konselor, atau pekerja sosial).
RASIONAL
1. Sangat penting untuk mengidentifikasi kekuatan klien sehingga dapat digunakan untuk
memfasilitasi adaptasi terhadap perubahan atau kehilangan yang terjadi.
2. Beberapa individu mungkin tidak menyadari bahwa marah adalah tahap normal proses berduka.
Jika tidak dilepaskan secara sesuai, mungkin dapat berbalik pada diri sendiri, menyebabkan depresi
patologis.
4. Pencapaian kemandirian dan umpan balik positif meningkatkan harga diri dan mendorong
pengulangan perilaku yang diinginkan. Keberhasilan juga memberi harapan bahwa fungsi adaptif
memungkinkan dan mengurangi perasaan tidak berdaya.
5. Derajat ansietas tinggi yang biasanya menyertai perubahan gaya hidup utama sering
mempengaruhi masalah yang ditimbulkan perubahan atau kehilangan tersebut.
6. Klien mungkin perlu bantuan dalam proses ini untuk maju menuju keberhasilan adaptasi.
7. Menurunkan ansietas dan memberi perasaan aman bagi klien dengan mempersiapkan rencana
tindakan yang berespons dengan tepat saat terjadi situasi stress.
8. Membantu klien dan keluarga memahami apa yang telah terjadi, mengklarifikasi informasi, dan
memberi kesempatan untuk meninjau ulang informasi pada waktu senggang individu.
DIAGNOSIS KEPERAWATAN
BERDUKA, maladaptive
1. Individu kehilangan konsep nilai yang dirasakan atau nyata, beban kedukaan (berkabung kumulatif
karena kehilangan yang tidak teratasi, termasuk kematian orang yang dicintai).
3. Perasaan bersalah yang disebabkan oleh hubungan ambivalen dengan kehilangan konsep/orang.
3. Regresi perkembangan
Mandiri
2. Tampilkan sikap menerima; dorong klien untuk mengekspresikan diri secara terbuka.
3. Anjurka klien menkprskan murh.hindari respon defensial jika ekspresi marah awal diarahkan pada
perawat/ahli terapi.bantu klien mengeksplorasi perawatan marah dan mengarahkan marah pada
objek/orang yang sebenarnya atau kehilangan lain.
5. Beri informasi tentang tahap berduka dan perilaku yang berkaitan pada setiap tahap.bantu klien
memahami perasaan, seperti marah terhadap kehilangan,yang wajar selama proses berduka.
6. Anjurkan klien untuk meninjau ulang hubungan dengan kehilangan.dengan dukungan dan
sensivitas, tunjukkan realitas situasi di area tempat kesalahan representasi dieksresikan.
7. Bantu klien melukan metode koping yang lebih adaptif dengan adany pengalaman kehilangan.beri
umpan balik positif untuk menentukan strategi dan perbuatan keputusan
Kolaborasi
Tentukan persepsi klien tentan kebutuhan spiritual sebagai dukungan dalam proses berduka.libatkan
rohaniwan atau pemimpin spiritual yang tepat,sesuai indikasi.
RASIONAL
1. Pengkajuan data dasar yang akurat penting dalam memilih intervensi yang sesuai/memberi asuhan
yang efektif dan mengevaluasi kemajuan (kebanyakan individu depresi terfiksasi dalam tahap marah,
dengan kemarahan diarahkan pada diri sendiri.
2. Sikap menerima meningkatkan kepercayaan dan mengkomunikasikan pada klien bahwa Anda yakin,
klien adalah orang yang berguna, tanpa menghiraukan apa yang mungkin diekspresikan.
3. Pengungkapan perasaan dalam lingkungan yang tidak mengancam dapat membantu klien
menghadapi masalah yang tidak terselesaikan berkaitan dengan kehilangan.
4. Aktivitas fisik merupakan metode yang aman dan efektif untuk melepaskan ketegangan/kemarahan
yang tertahan.
5. Pengetahuan tentang perasaan yang wajar berkaitan dengan berduka yang secara normal dapat
membantu menghilangkan beberapa rasa bersalah yang disebabkan oleh respons tersebut.
6. Klien perlu menghilankan persepsi ideal dan menerima baik aspek positif dan negatif tentang
kehilangan sebelum terjadi resolusi berduka.
Beberapa individu memperoleh kekuatan dan dukungan spiratual yang besar.kekuatan inimungkin
digunakan oleh klien dalam tugas resolusi berduka.
DIAGNOSIS KEPERAWATAN
Dapat dihubungkan dengan:
KEPUTUSASAAN
TINDAKAN/INTERVENSI
Mandiri
3. Identifikasi tanda keputusan pada individu,mis. Penurunan aktivitas fisik,menarik dari sosial).
5. Bantu klien mengidentifikasi area situasi kehidupan yang dapa dikendalikan oleh klien
6. Anjurkan klien untuk menjalankan tanggung jawabnya terhadap perawatan dirinya sendiri
(mis.menentukan tujuan realistik, menjadwalkan aktivitas, membuat keputusan secara mandiri).
7. Bantu klien mengidentifikasi area situasi hdup yang tidak dapat dikendalikan olehnya.dikusikan
perasaanyang berkaitan dengan kurangnya pengendalian diri.
RASIONAL
1. Usaha pribadi untuk mengatasi perasaan putus asa dapat mengakbatkan perilaku yang tidak
efektif/berbahaya.pengenalan perilaku ini memberi kesempatan klien untuk berubah.
2. Identifikasi perasaan yang melatarbelangi perilaku membantu klien memulai prose pengendalian
hidupnya sendiri.
3. Membantu intervensi secara individual,fokus perhatian pada area yang diperlukan. Asa,klien dapat
dibantu jika mendenga
4. Meskipun merasa putus Asa,klien dapat dibantu jika mendengar ekspresi positif dari orang lain.
6. Memberikan pilhan untuk meningkatkan perasaan kendali diri pada klien.catatan: tujuan yang
tidak realistik akan menyebabkan klien gagal dan menguakan perasaan putus asa.
7. Klien perlu mengidentifikasi dan mengubah perasaan yang berkaitan dengan ketidak mampuan
mengendalikan situasi hidup tertentu sebelum tingkat penrimaan dapat dicapai.
DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Transisi maturase
4. Isolasi sosial:tidak berpartisipasi dalam terapi manipulasi satu anggota staf dengan anggota lain.
Tindakan/Intervensi
Mandiri
1. Diskusikan tujuan, pastikan tujuan realistik, Rencanakan aktifitas yang mungkin berhasil
2. Sampaikan penghargaan positif yang mutlak pada Klien. Tingkatkan pemahaman tentang
penerimaan klien sebagai manusia yang berguna.
3. Sediakan waktu dengan klien baik pertemuan 1.1 dan dalam aktivitas kelompok
4. Bantu klien mengidentifikasi aspek positif diri dan buat rencana mengubah karakteristik yang di
pandang negative
5. Anjurkan dan dukung klien dalam menghadapi ketakutan gagal dalam mengikuti terapi aktivitas dan
melakukan tugas-tugas baru. Akui usah untuk berhasil dan beri penguatan positif untuk usaha yang telah
di lakukan
6. Bantu klien menghindari merenungkan kegagalan masa lalu. Tarik perhatian jika klien memaksa.
7. Minimalkan umpan balik negatif pada klien memaksakan batasan dengan cara berbelit-belit
menyebabkan munculnya akibat perilaku yang tidak dapat terima sebelumnya.
8. Dorongan kemandirian dalam menjalankan tanggungan jawab pribadi, dan juga pembuatan
keputusan yang berkaitan dengan perawatan diri. Akui dan hargai pencapaian (prestasi) klien.
9. Dukung klien dalam pemeriksaan kritis perasaan, sikap, dan prilaku. Bantu klien memahami bahwa
wajar (dapat diterima) jika sikap dan perilakunya berada dengan orang lain selama tidak mengganggu.
Rasional
2. Penerimaan individu tanpa syarat bertindak untuk menghadapi perasaan ketidak bergunaan
dengan menguatkan bahwa individu layak di hargai orang lain.
3. Menyampaikan bahwa perawat melihat klien sebagai seorang yang layak di ajak menghabiskan
waktu bersama.
4. Individu dengan harga diri rendah sering kali mengalami kesulitan mengenali sifat positifnya.
Mereka juga kurang terampil dalam penyelesaian masalah dan memerlukan bantuan merumuskan
rencana mengimplementasi perubahan yang di inginkan.
5. Pengakuan dan penguatan positif meningkatkan harga diri dalam mendorong pengulangan perilaku
yang di inginkan
6. Kurangnya perhatian pada perilaku yang tidak diinginkan dapat menghentikan pengulangan
perilaku ini. Klien perlu berfokus pada sifat-sifat positif jika ingin meningkatkan harga diri.
7. Umpan balik negatif dapat sangat mengancam pada orang dengan harga diri rendah, mungkin akan
memperbesar masalah. Konsekuensinya perlu menyampaikan bahwa yang tidak di terima adalah
perilaku bukan orangnya.
8. Kemampuan melakukan aktivitas perawatan diri secara mandiri meningkatkan konsep diri.
Penguatan positif mendorong pengulangan perilaku yang di inginkan.
9. Kebutuhan penilaian perilaku dari orang lain akan berkurang sering peningkatan harga diri melalui
kesadaran diri yang lebih besar dan pencapaian penerimaan diri.
DIAGNOSIS KEPERAWATAN
INTERAKSI SOSIAL,hambatan
1. Ungkapan / tampak ketidak nyamanan dalam situasi sosial penggunaan perilaku interaksi sosial
tidak berhasil/disfungsi
2. Ungkapan atau nampak ketidakmampuan memperoleh atau mengomunikasikan rasa
memiliki,kepedulian,minat yang memuaskan.
3. Menunjukan perilaku yang tidak sesuai usia,sesuai definisi kelompok budaya dominan.
1. Ungkapan kesadaran adanya faktor yang mengakibatkan kesulitan membentuk hubungan dengan
orang lain yang memuaskan.
3. Interaksi dengan staf dan sebaya dengan sedikit/tidak ada indikasi ketidaknyamanan.
TINDAKAN/INTERVENSI
Mandiri
1. Bangun hubungan 1:1 dengan klien yang perawat Berperan sebagai model peran untuk menguji
perilaku baru.
3. Anjurkan klien untuk menghindari interaksi kelompok tertentu.beri umpan balik interaksi yang
sesuai
4. Bersikap sebagai model bagin klien melalui interaksi yang sesuai dengan dan orang lain
1. Klien perlu belajar berikteraksi secara sesuai dengan perawat sehingga perilaku kemudian dapat
digeneralisasikan pada orang lain
3. Adanya individu yang dipercaya dapat memberi perasaan aman dan menurunkan ansietas yang
disebabkan siotuasi sosial yang sulit.penguatan positif meningkatkan harga-diri dan mendorong
pengulangan perilaku yang diinginkan.
4. Karena perkembvangan ego lemah,klioem cenderung meniru tindakan individu yang dikagumi atau
dipercaya.
5. Melaui interaksi kelompok ini,disertai dengan umpan balik positif dan negatif dari sebaya sehingga
klien belajar perilaku yang diterima secara social.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Krisis situasi/maturase.
1. Kebutuhan anggota keluarga tidak terpenuhi, bingung terhadap sistem keluarga tentang bagaimana
harus memenuhi kebutuhan.
3. Hambatan proses pembuatan keputusan keluarga, tugas perkembangan keluarga tidak terpenuhi,
penurunan/pembatasan keterlibatan sosial.
2. Mengembangkan pola komunikasi efektif, mendorong masukan yang jujur dari semua anggota.
3. Mengidentifikasi sumber disfungsi dan penyelesaian masalah secara efektif untuk mencapai
resolusi yang diinginkan.
4. Menunjukan perbaikan pola fungsi pada status premorbid, memperoleh pengetahuan dan
mencapai pertumbuhan pada situasi krisis.
TINDAKAN/INTERVENSI
Mandiri :
4. Bantu klien mengidentifikasi sumber konflik sebenarnya. Bantu mereka mengenali bahwa “pasien
yang diketahi” mengalami gangguan penyesuaian dapat dijauhkan untuk menghindari menghadapi
masalahnya sebenarnya.
5. Anjurkan anggota keluarga menentukan tujuan dan mengidentifikasi alternatif. Dukung usaha yang
diarahkan pada perubahan positif. Bantu modifikasi rencana awal jika perlu
Kolaborasi :
1. Libatkan keluarga dalam terapi kelompok.
2. Rujuk keluarga pada sumber lain, seperti kelompok pendukung, kelas (misal : pelatihan oranng
tua/asertif).
RASIONAL
2. Keluarga sebagai sistem bekerja sebagai satu unit. Setiap anggota memengaruhi dan dipengaruhi
oleh seluruh anggota lain. Terapi paling efektif jika diarahkan pada fungsi sistem keluarga.
4. Konflik menimbulkan tingkat ansietas tinggi dalam sistem keluarga. Mekanisme pertahanan pada
umumnya, seperti penyangkalan, displacement, proyeksi, dan rasionalisasi digunakan oleh keluarga
untuk menurunkan ansietas dan menghindari konflik.
5. Krisis hidup mengganggu kemampuan pembuatan keputusan dan penyelesaian masalah. Bantuan
dalam proses ini mungkin diperlukan untuk meningkatkan adaptasi dan pertumbuhan.
2. Berbagi dengan orang lain yang mempunyai pengalaman yang sama dapat memberi dukungan dan
membntu anggota keluarga untuk belajar cara baru menghadapi situasi.
BAB 4
PENUTUP
1.1.Kesimpulan
1. Kemiskinan merupakan suatu kondisi ketidakmampuan baik secara individu, keluarga, maupun
kelompok untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup yaitu : sandang, pangan, dan papan, sehingga kondisi
ini rentan terhadap timbulnya permasalahan sosial yang lain.
2. Permasalahan kemiskinan memberikan dampak yang sangat besar terhadap kondisi pskilogis
seseorang.
3. Kemiskinan menyebabkan seseorang menghalalkan segala cara untuk dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya.
4. Kemiskinan menyebabkan seseorang rentan menjadi korban dan perilaku kriminalitas, serta orang
miskin rentan terhadap penyakit.
5. Pada umunya kondisi kejiwaan orang miskin kurang bahagia karena tidak dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya secara layak.
6. Secara psikologis untuk mengubah kemiskinan diperlukan perubahan pada mind-set individu orang
miskin, perubahan mind-set kultural dan perubahan mind-set struktural.
4.2 Saran
Sebaiknya Pemerintah dapat bekerjasama dengan pihak – pihak yang terkait untuk secara berkala
memberikan bimbingan psikologis kepada masyarakat miskin dan memberikan akses yang mudah
kepada masyarakat miskin dalam bidang pendidikan, kesehatan dan lain – lain. Sebagai warga negara
yang baik, kita pula wajib ikut bersama dalam usaha pengentasan kemiskinan di Indonesia, dengan
meningkatkan kepedulian dan kepekaan sosial kita untuk membantu saudara kita yang masih mengalami
kemiskinan.
DAFTAR PUSTAKA
Marilynn E. Doengoes, Mary C. townsend, Frances M. Mary. 2007. Rencana Asuhan Keperawatan
Psikiatri. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Mulyo, Sumedi Andono. 2005. Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta: Komite
Penanggulangan Kemiskinan.
MARKUM, M. ENOCH, "Pengentasan Kemiskinan dan Pendekatan Psikologi Sosial," 1(1), 1-12, Juni 2009