Anda di halaman 1dari 2

Nama : Neysa Safira

NPM : 1706071711
Kelas/Program Studi : Filsafat Hukum B/Paralel

Tugas Terstruktur-3
Classical Positivism and Pure Theory of Law

Persoalan mengenai yurisprudensi tidak luput dari adanya hukum positif, baik hukum
secara mendasar ataupun hukum yang dibentuk oleh penguasa untuk kepentingan politik.
Namun, hukum positif sering kali dibentuk dengan mengaitkan objek yang memiliki
kemiripan, dan dengan objek yang dapat dianalogikan, dengan objek yang dapat ditandai baik
layak maupun tidak dengan suatu istilah hukum yang luas dan samar.
Hukum, secara garis besar dan secara harfiah (tanpa adanya analogi) meiliki arti sebagai
sebuah aturan yang ditetapkan untuk menjadi petunjuk bagi makhluk berintelektual oleh
makhluk berintelektual yang memiliki keuasaan terhadapnya, seperti hukum yang dibentuk
oleh Tuhan kepada manusia dan hukum yang dibentuk oleh manusia kepada manusia yang
lainnya. Adapun hukum manusia dapat dibentuk oleh penguasa politik yang bersifat superior,
pemerintah, negara-negara yang sudah independen maupun masyarakat politik yang
independen.
J. Austin mengklasifikasi Hukum menjadi dua macam klasifikasi, yaitu berdasarkan
pembentuknya, dan berdasarkan pendekatan yang digunakan terhadap hukum tersebut. Dari
sudut pandang pembentukna, Hukum dibagi menjadi dua, yaitu Laws of God (Hukum dari
Tuhan) dan Human Laws (Hukum Manusia). Hukum manusia terbagi menjadi dua jenis, yaitu
Hukum Positif dan Hukum yang dibentuk oleh manusia bukan sebagai atasan politik (dibentuk
sebagai individu yang privat untuk memenuhi hak dalam hukum). Dari perspektif pendekatan
hukum, terdapat dua jenis Hukum yaitu Hukum dengan Analogi (Laws by Analogy) dan
Hukum dengan Metafora (Laws by metaphor). Adapun Hukum yang dibentuk manusia bukan
sebagai atasan politik dan Hukum dengan Metafora merupakan bentuk dari Positive Morality
atau Moralitas Positif.
Berbicara mengenai Hukum Positif dan Moralitas Positif tentunya tidak luput dari
pemahaman mengenai Teori Positivisme. Positivisme merupakan salah satu bentuk dari ilmu
filsafat yang meyakini bahwa satu-satunya pengetahuan yang benar yang didasarkan pada
pengalaman aktual-fisikal. Positivisme ini adalah paradigma ilmu pengetahuan yang mana
keyakinannya berakar pada ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas ada pada
kenyataan yang berjalan sesuai hukum kodrat. Hukum Positif selalu memiliki keterkaitan
dengan perkembangan teori positivisme dan sekaligus menunjukkan perbedaannya dengan
Hukum kodrat, di mana permasalahan hukum kodrat berada di seputar validasi hukum buatan
manusia, sedangkan permasalahan dalam hukum positif adalah berdasarkan kejadian yang
nyata/faktual dan dapat dipengaruhi oleh banyak faktor.
Selain itu, Hukum Positif juga memandang perlu adanya pemisahan secara tegas antara
hukum dan moral dimana dibedakans secara jelas antara hukum yang berlaku dan hukum yang
seharusnya, antara das sein dan das sollen. Hal ini dikenal sebagai Pure theory of Law yang
mana hukum disucikan dari dari pengaruh non hukum (moral, sosiologi, politik, dll). Keadilan
bukan bahasan hukum. Hal ini tentunya berbeda dengan teori positivisme hukum yang
dipegaruhi non- hukum.
Hukum Positif dan Moralitas Positif merupakan dua konsep yang berbeda namun
memiliki keterkaitan yang erat antara satu sama lain. Ilmu dari yurisprudensi dapat
dikategorikan sebagai hukum positif, atau dengan hukum secara tegas disebut tanpa
memperhatikan adanya kebaikan ataupun kejahatan dalam hukum tersebut. Sehingga untuk
mempelajari mengenai kebaikan dan kejahatan tersebut secara sistematis, dibentuklah suatu
istilah berupa Moralitas Positif.
Apabila dikaitkan dengan kedaulatan, Superioritas politik yang juga disebut sebagai
kedaulatan serta masyarakat politik independen yang disiratkan dalam kedaulatan, dibedakan
dengan superioritas serta masyarakat lain dengan perbedaan sebagai berikut:
1. Mayoritas dari masyarakat memiliki kebiasaan untuk patuh dalam rangka untuk
menentukan penguasa (pemimpin) dalam lingkungan masyarakat tersebut, yang mana
penguasa tersebut dapat berasal dari individu perorangan, suatu badan ataupun
kumpulan perorangan;
2. Individu perorangan atau badan yang dimaksud tidak memiliki kebiasaan untuk patuh
terhadap penguasa dalam lingkugan masyarakat. Pihak-pihak tersebut justru patuh
terhadap Hukum (peraturan perundang-undangan) yang mana dsecara permanen dapat
mempengaruhi perilaku individu ataupun badan tersebut.
Gagasan dalam kedaulatan dan masyarakat politik yang independen dapat dicermati
dengan karakteristik sebagai berikut: Apabila penguasa atau pemimpin yang terpilih tidak
memiliki kebiasaan untuk patuh terhadap penguasa yang serupa dan menerima kebiasaan untuk
dipatuhi (Habitual Obedience) dari sebagian masyarakat tertentu, maka penguasa yang terpilih
dalam lingkungan masyarakat tersebut merupakan bagian dari masyarakat politik yang
independen. Bagi penguasa tersebut, masyarakat lain yang berada dalam lingkungan itu disebut
sebagai subjek atau pihak yang dependen. Kedudukan dari masyarakat lain adalah dalam
keadaan tunduk atau dalam keadaan bergantung terhadap penguasanya. Dari penjelasan ini,
dapat dilihat bahwa hubungan timbal balik antara penguasa dan masyarakatnya adalah
hubungan antara subjek (the relation of sovereign and subject), atau hubungan antara
kedaulatan dan ketundukan (the relation of sovereignty and subjection).
Untuk membentuk masyarakat politik yang bersifat independen, penguasa dan
masyarakat lain harus dipersatukan. Sifat umum dari masyarakat tersebut harus memiliki
kebiasaan untuk patuh terhadap penguasa. Sedangkan penguasa tersebut (baik individu
perorangan maupun badan perorangan) tidak boleh memiliki kebiasaan untuk patuh terhadap
pihak lain yang juga terpilih sebagai penguasa. Dengan itu, terjadi penyatuan dari hal yang
positive dengan beberapa tanda negative yang menjadikan penguasa yang berdaulat dan yang
menjadikan masyarakat tersebut adalah masyarakat politik yang mandiri.

Anda mungkin juga menyukai