Cairan adalah volume air bisa berupa kekurangan atau kelebihan air. Air
tubuh lebih banyak meningkat tonisitus adalah terminologi guna perbandingan
osmolalitas dari salah satu cairan tubuh yang normal. Cairan tubuh terdiri dari
cairan eksternal dan cairan internal. Sedangkan Elektrolit adalah substansi
yang menyebabkan ion kation (+) dan anion (-).
A. KONSEP DASAR KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT
1. Anatomi Cairan Tubuh
Water Tissue
60 % (100) 40 %
3. Epidemiologi/Insidensi Kasus
Selama satu tahun didapatkan 742 responden, dan yang mengalami
gangguan elektrolit sebesar 637. Usia termuda 60 tahun dan usia tertua 85 tahun.
Kelompok usia terbanyak yang mengalami gangguan elektrolit adalah kelompok
usia 65-69 tahun sebanyak 240 (37,7%). Laki-laki yang mengalami gangguan
elektrolit sebesar 420 (65,9%), perempuan sebesar 217 (34,1%). Jenis gangguan
elektrolit yang terjadi adalah hiperklorida sebesar 224 (35,2%), kemudian
hiponatremi sebesar 133 (20,9%) (Aras, 2007).
4. Penyebab/Faktor Predisposisi
Status cairan, elektrolit, dan asam basa bukan berada dalam keadaan statis
atau dalam kesatuan fisiologis yang tunggal. Faktor utama yang dapat
mempengaruhi status normal cairan, elektrolit, dan asam basa (Potter dan Perry,
2006).
a. Usia
Usia mempengaruhi distribusi cairan tubuh dan elektrolit. Perubahan
cairan dan elektrolit terjadi secara normal seiring dengan perubahan
perkembangan seseorang.
1) Bayi
Total proporsi air dalam tubuh bayi lebih besar daripada total
proporsi air dalam tubuh anak usia sekolah, remaja, atau orang
dewasa. Namun, meski bayi memiliki proporsi air tubuh lebih besar,
mereka tidak terhindar dari kehilangan cairan (misalnya pada diare),
karena mereka setiap hari mengkonsumsi dan mengekskresi volume
air dalam jumlah yang relatif lebih besar daripada orang dewasa.
2) Anak-Anak
Pada penyakit di masa kanak-kanak, respon pengaturan dan
kompensasi mereka terhadap ketidakseimbangan menjadi kurang
stabil, dan dalam perubahan keseimbangan yang lebih besar, anak-
anak tersebut cenderung berespon dalam rentang yang lebih sempit
denga toleransi yang rendah. Seringkali respon anak-anak terhadap
penyakit adalah mereka menjadi demam dengan suhu yang lebih
tinggi atau dengan durasi demam yang lebih lama daripada orang
dewasa. Pada usia berapapun, demam di masa anak-anak dapat
meningkatkan kecepatan kehilangan air yang tidak dirasakan.
3) Remaja
Pada masa remaja, perubahan utama dalam proses anatomis dan
fisiologis berlangsung dengan cepat. Peningkatan kecepatan
pertumbuhan akan meningkatkan proses metabolik, dan akibatnya,
sejumlah air dihasilkan sebagai produk akhir metabolisme.
Perubahan keseimbangan cairan pada remaja perempuan lebih besar
karena adanya perubahan hormonal yang berhubungan dengan siklus
menstruasi.
4) Lansia
Risiko lansia mengalami ketidakseimbangan cairan elektrolit
berhubungan erat dengan fungsi ginjal dan ketidakmampuan untuk
mengonsentrasi urine. Klien lansia yang mungkin mengalami
penyakit kronis, dapat merusak keseimbangan cairan. Faktor risiko
lain yang mempengaruhi adalah penggunaan obat-obatan diuretik,
laksatif dan enema yang berlebihan, dan prosedur pembersihan kolon
yang dilakukan dalam persiapan untuk pemeriksaan diagnostik.
b. Ukuran Tubuh
Ukuran dan komposisi tubuh berpengaruh pada jumlah dan total air dalam
tubuh. Lemak tidak mengandung air, karena itu, klien yang gemuk
memiliki proporsi air tubuh yang lebih sedikit. Wanita memiliki lebih
banyak cadangan lemak pada payudara dan paha daripada pria. Akibatnya
jumlah total air pada tubuh wanita lebih kecil daripada pria walaupun usia
mereka sama.
c. Temperatur Lingkungan
Tubuh berespon terhadap temperatur lingkungan yang berlebihan dalam
bentuk perubahan cairan. Tubuh meningkatkan vasodilatasi perifer yang
memungkinkan lebih banyak darah memasuki permukaan tubuh yang
sudah menjadi dingin. Berkeringat akan meningkatkan kehilangan cairan
tubuh, yang menyebabkan kehilangan ion natrium dan klorida. Tubuh juga
meningkatkan curah jantung dan denyut nadi, terjadi peningkatan sekresi
aldosteron, menyebabkan retensi natrium dan ekskresi kalium yang
dilakukan oleh ginjal.
d. Gaya hidup
1) Diet
Ketika asupan nutrisi tidak adekuat, tubuh berupaya
mempertahankan cadangan protein dengan memecah cadangan
glikogen dan lemak. Apabila kelebihan asam lemak bebas
dilepaskan, dapat terjadi asidosis metabolik karena hati mengubah
asam lemak bebas menjadi keton. Namun setelah sumber tersebut
habis, tubuh mulai menghancurkan simpanan protein. Apabila kadar
protein serum menurun dalam darah, terjadi hipoalbuminemia,
tekanan osmotik menurun, cairan berpindah dari volume darah
sirkulasi dan masuk ke ruang interstitial pada rongga abdomen.
2) Stres
Stes dapat meningkatkan metabolisme sel, glukosa darah, dan
pemecahan glikogen otot. Mekanisme ini dapat meningkatkan
natrium dan retensi air, sehingga bila berkepanjangan dapat
meningkatkan volume darah.
3) Olahraga
Olahraga meningkatkan pengeluaran cairan melalui keringat. Klien
yang melakukan olahraga dapat berespon terhadap mekanisme rasa
haus dan membantu mempertahankan keseimbangan cairan dan
elektrolit dengan meningkatkan asupan cairan.
e. Keadaan sakit
Pada keadaan sakit terdapat banyak sel yang rusak sehingga untuk
memperbaiki sel yang rusak tersebut dibutuhkan adanya proses
pemenuhan kebutuhan cairan yang cukup. Keadaan sakit menimbulkan
ketidakseimbangan sistem dalam tubuh, seperti ketidakseimbangan
hormonal, yang dapat mengganggu keseimbangna kebutuhan
cairan.Kondisi sakit yang dapat memengaruhi keseimbangan cairan dan
elektrolit antara lain luka bakar, gagal ginjal, dan payah jantung.
f. Pembedahan
Pasien dengan tindakan pembedahan memiliki resiko tinggi mengalami
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh,dikarenakan
kehilangan darah selama pembedahan.
5. Patofisiologi
Kekurangan volume cairan terjadi ketika tubuh kehilangan cairan dan
elektrolit ekstraseluler dalam jumlah yang proporsional (isotonik). Kondisi
seperti ini disebut juga hipovolemia. Umumnya, gangguan ini diawali dengan
kehilangan cairan intravaskuler, lalu diikuti dengan perpindahan cairan
interseluler menuju intravaskuler sehingga menyebabkan penurunan cairan
ekstraseluler. Untuk untuk mengkompensasi kondisi ini, tubuh melakukan
pemindahan cairan intraseluler. Secara umum, kekurangan volume cairan
disebabkan oleh beberapa hal, yaitu kehilangan cairan abnormal melalui kulit,
penurunan asupan cairan, perdarahan dan pergerakan cairan ke lokasi ketiga
(lokasi tempat cairan berpindah dan tidak mudah untuk mengembalikanya ke
lokasi semula dalam kondisi cairan ekstraseluler istirahat). Cairan dapat
berpindah dari lokasi intravaskuler menuju lokasi potensial seperti pleura,
peritonium, perikardium, atau rongga sendi. Selain itu, kondisi tertentu,
seperti terperangkapnya cairan dalam saluran pencernaan, dapat terjadi akibat
obstruksi saluran pencernaan (Price dan Wilson, 2006).
Kelebihan volume cairan akan terjadi apabila tekanan hidrostatik
intravaskuler meningkat, tekanan osmotik koloid plasma menurun, dan
gangguan aliran limfe. Meningkatnya tekanan hidrostatik cenderung
memaksa cairan masuk ke dalam ruang interstitial. Penyebab peningkatan
tersebut diantaranya adalah kegagalan jantung, penurunan perfusi ginjal,
aliran darah yang lambat misalnya karena ada sumbatan dan lain-lain.
Menurunnya tekanan osmotik koloid plasma disebabkan menurunnya kadar
albumin plasma. Penurunan kadar albumin plasma diakibatkan oleh
kehilangan albumin serum yang berlebihan atau pengurangan sintesis
albumin serum. Kondisi ini misalnya dapat ditemukan pada penyakit nefrotik
sindrom, penyakit hati dan pankreas, serta kekurangan protein yang berat dan
lain-lain (Asmadi, 2008).
6. Pathway
Kelebihan
Volume Cairan Kekurangan
Volume Cairan
7. Klasifikasi
a. Gangguan keseimbangan cairan
1) Hipovolemia
Hipovolemi atau dehidrasi merupakan kekurangan cairan
eksternal yang terjadi karena penurunan intake cairan dan kelebihan
pengeluaran cairan. Ada tiga macam kekurangan volume cairan
eksternal atau dehidrasi yaitu dehidrasi isotonik, hipertonik, dan
hipotonik. Dehidrasi isotonik terjadi jika kehilanga sejumlah cairan
dan elektrolitnya yang seimbang. Dehidrasi hipertonik terjadi jika
kehilangan sejumlah air yang lebih banyak daripada elektrolitnya.
Dehidrasi hipotonik yaitu keadaan dimana lebih banyak kehilangan
elektrolitnya dibanding airnya.
Selain jenis dehidrasi tersebut, kita juga mengenal macam
dehidrasi (kekurangan volume cairan) berdasarkan derajatnya yaitu
berat, sedang, dan ringan. Dehidrasi berat jika pengeluaran/
kehilangan cairan 4-6 liter, serum natrium 156-166 mEq/lt,
hipotensi, turgor kulit buruk, oliguri, nadi dan pernafasan meningkat,
dan kehilangan cairan mencapai lebih dari 10% dari berat badan.
Dehidrasi sedang jika kehilangan cairan 2-4 liter atau diantara 5-10%
dari berat badan, serum natrium 152-158 mEq/lt dan mata cekung.
Dehidrasi ringan jika kehilangan cairan mencapai 5% dari berat
badan atau 1,5-2 liter.
2) Hipervolemia
Hipervolemia atau overhidrasi terdapat dua manifestasi yang
ditimbulkan akibat kelebihan cairan yaitu hipervolume (peningkatan
volume darah) dan edema (kelebihan cairan pada interstitial).
Normalnya, cairan interstisial tidak terikat dengan air, tetapi elastis
dan hanya terdapat di antara jaringan. Pitting edema merupakan
edema yang berada pada daerah perifer atau akan berbentuk cekung
setelah ditekan pada daerah yang bengkak, hal ini disebabkan oleh
perpindahan cairan ke jaringan melalui titik tekan. Edema anasarka
adalah edema yang terdapat di seluruh tubuh.
Pada kelebihan ekstrasel, gejala yang sering ditimbulkan
adalah edema perifer (pitting edema), asites, kelopak mata
membengkak, suara napas ronchi bacah, penambahan berat badan
secara tidak normal/sangat cepat, dan nilai hematokrit pada
umumnya normal, akan tetapi menurun bila kelebihan cairan bersifat
akut.
b. Gangguan kebutuhan elektrolit
1) Hiponatremia
Merupakan suatu keadaan kekurangan kadar natrium dalam plasma
darah ditandai dengan adanya rasa kehausan yang berlebihan, rasa
cemas, takut dan bingung, kejang perut, denyut nadi cepat,
hipotemsi, konvulsi, membran mukosa kering, kadar natrium dalam
plasma kurang dari 135 mEq/lt. Dapat terjadi pada pasien yang
mendapat obat diuretik dalam jangka waktu yang lama tanpa
terkontrol, diare jangka panjang.
2) Hipernatremia
Suatu keadaan dimana kadar natrium dalam plasma tinggi yang
ditandai dengan adanya mukosa kering, rasa haus, turgor kulit buruk
dan permukaan kulit membengkak, kulit kemerahan, lidah kering
dan kemerahan, konvulsi, suhu badan naik, kadar natrium dalam
plasma lebih dari 145 mEq/lt. Dapat terjadi pada pasien dehidrasi,
diare, pemasukan air yang berlebihan sedang intake garam yang
sedikit.
3) Hipokalemia
Suatu keadaan kekurangan kadar kalium dalam darah ditandai
dengan denyut nadi lemah, tekanan darah menurun, tidak nafsu
makan dan muntah-muntah, perut kembung, otot lemah dan lunak,
denyut jantung tidak beraturan (aritmia), penurunan bising usus,
kadar kalium plasma menurun kurang dari 3,5 mEq/lt.
4) Hiperkalemia
Suatu keadaan dimana kadar kalium dalam darah tinggi yang
ditandai dengan adanya mual, hiperaktifitas sistem pencernaan,
aritmia, kelemahan, jumlah urine sedikit sekali, diare, kecemasan,
kadar kalium dalam plasma lebih dari 5 mEq/lt.
5) Hipokalsemia
Kekurangan kalsium dalam plasma darah yang ditandai dengan
adanya kram otot dan kram perut, kejang, bingung, kadar kalsium
dalam plasma kurang dari 4,3 mEq/l dan kesemutan pada jari dan
sekitar mulut yang dapat disebabkan oleh pengaruh pengangkatan
kelenjar gondok, kehilangan sejumlah kalsium karena sekresi
intestinal.
6) Hiperkalsemia
Suatu keadaan kelebihan kadar kalsium dalam darah, yang ditandai
dengan adanya nyeri pada tulang, relaksasi otot, batu ginjal, mual-
mual, koma dan kadar kalsium dalam plasma lebih dari 4,3 mEq/l.
Dapat dijumpai pada pasien yang mengalami pengangkatan kelenjar
gondok, dan konsumsi vitamin D yang berlebihan.
7) Hipomagnesia
Kekurangan kadar magnesium dalam darah yang ditandai dengan
adanya iritabilitas, tremor, kram pada kaki dan tangan, takikardi,
hipertensi, disorientasi dan konvulsi. Kadar magnesium dalam darah
kurang dari 1,3 mEq/l.
8) Hipermagnesia
Kadar magnesium yang berlebihan dalam darah yang ditandai
dengan adanya koma, gangguan pernafasan, dan kadar magnesium
lebih dari 2,5 mEq/l.
c. Gangguan keseimbangan asam basa
Dalam aktivitasnya, sel tubuh memerlukan keseimbangan asam
basa. Keseimbangan asam basa diukur dengan pH (derajat keasama)
dengan nilai normal 7,35-7,45. Masalah keseimbangan asam basa
diantaranya (Tarwoto dan Wartonah, 2006):
1) Asidosis respiratorik
Disebabkan karena kegagalan sistem pernapasan dalam membuah
CO2 dari cairan tubuh. Kerusakan pernapasan, peningkatan PCO2
arteri di atas 45 mmHg dengan penurunan pH < 7,35. Penyebab:
penyakit obstruksi, restriksi paru, polimielitis, penurunan aktivitas
pusat pernapasan (trauma kepala, pendarahan, narkotik, anestesi, dan
lain-lain).
2) Alkalosis respiratorik
Disebabkan karena kehilangan CO2 dari paru-paru pada kecepatan
yang lebih tinggi dari produksinya dalam jaringan. Hal ini
menimbulkan PCO2 arteri <35 mmHg, pH >7,45. Penyebab:
hiperventilasi alveolar, anxietas, demam, meningitis, keracunan
aspirin, pneumonia, dan emboli paru.
3) Asidosis metabolik
Terjadi akibat akumulasi abnormal fixed acid atau kehilangan basa.
pH arteri <7,35, HCO3 menurun di bawah 22 mEq/lt. Gejala:
pernapasan kusmaul (dalam dan cepat), disorientasi, dan koma.
4) Alkalosis metabolic
Disebabkan oleh kehilangan ion hidrogen atau penambahan basa
pada cairan tubuh. Bikarbonat plasma meningkat >26 mEq/lt dan pH
arteri >7,45. Penyebab: mencerna sebagian besar basa (misalnya
BaHCO3, antacid, soda kue) untuk mengatasi ulkus peptikum atau
rasa kembung. Gejala: apatis, lemah, gangguan mental, kram dan
pusing.
8. Gejala Klinis
Parameter yang digunakan untuk mengetahui adanya gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit meliputi (Mubarak, 2007):
a. Tanda-tanda vital yang abnormal
b. Asupan dan haluaran cairan yang tidak seimbang
c. Volume dan konsentrasi urine yang tidak normal
d. Turgor kulit yang buruk
e. Penurunan/peningkatan berat badan yang tiba-tiba (±2% ringan; ±5%
sedang; ±10% berat)
f. Temperatur tubuh yang sangat tinggi akibat kehilangan cairan berlebihan
g. Edema
h. Nilai tekanan vena central (CVP) yang abnormal (normalnya 7-15
mmHg)
Terapi cairan
P Resusitas Rumatan
ri
n
Kristaloid Koloid Elektrolit Nutrisi
si
p pemilihan cairan dimaksudkan untuk:
a. Mengganti kehilangan air dan elektrolit yang normal melaui urine, IWL, dan feses
b. Membuat agar hemodinamik agar tetap dalam keadaan stabil
Pada penggantian cairan, maka jenis cairan yang digunakan didasarkan pada:
a. Cairan pemeliharaan (jumlah cairan yang dibutuhkan selama 24 jam)
b. Cairan defisit (jumlah kekurangan cairan yang terjadi)
Cairan pengganti (replacement)
a. Sekuestrasi (cairan third space)
b. Pengganti darah yang hilang
c. Pengganti cairan yang hilang melalui fistel, maag slang dan drainase
Pemilihan Cairan
Cairan intravena diklasifikasikan menjadi kristaloid dan koloid:
a. Kristaloid
Kristaloid merupakan larutan dimana molekul organik kecil dan inorganik
dilarutkan dalam air. Larutan ini ada yang bersifat isotonik, hipotonik, maupun
hipertonik. Cairan kristaloid memiliki keuntungan antara lain: aman, nontoksik,
bebas reaksi, dan murah. Adapun kerugian dari cairan kristaloid yang hipotonik
dan isotonik adalah kemampuannya terbatas untuk tetap berada dalam ruang
intravaskular.
b. Koloid
Cairan koloid disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut
“plasma expander”. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang mempunyai
berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini
cenderung bertahan agak lama dalam ruang intravaskuler. Koloid dapat
mengembalikan volume plasma secara lebih efektif dan efisien daripada kristaloid,
karena larutan koloid mengekspansikan volume vaskuler dengan lebih sedikit
cairan dari pada larutan kristaloid. Sedangkan larutan kristaloid akan keluar dari
pembuluh darah dan hanya 1/4 bagian tetap tinggal dalam plasma pada akhir infus.
Koloid adalah cairan yang mengandung partikel onkotik dan karenanya
menghasilkan tekanan onkotik. Bila diberikan intravena, sebagian besar akan
menetap dalam ruang intravaskular. Meskipun semua larutan koloid akan
mengekspansikan ruang intravaskular, namun koloid yang mempunyai tekanan
onkotik lebih besar daripada plasma akan menarik pula cairan ke dalam ruang
intravaskular. Ini dikenal sebagai ekspander plasma, sebab mengekspansikan
volume plasma lebih dari pada volume yang diberikan.
Berikut ini tabel yang menunjukkan pilihan cairan pengganti untuk suatu
kehilangan cairan, yaitu:
Kandungan rata- rata
Kehilangan (mmol/ L) Cairan pengganti yang sesuai
Na+ K+
12. Komplikasi
a. Gagal ginjal
b. Gangguan pertukaran gas
c. Gangguan eliminasi fekal
d. Batu ginjal
e. Gangguan proses berpikir (konfusi atau bingung)
f. Gangguan integritas kulit
g. Gangguan penglihatan
*Rumus IWL
2. Diagnosa Keperawatan
1) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kelebihan asupan cairan
2) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif
3. Rencana Tindakan
No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1. Kelebihan volume Setelah mendapatkan asuhan NIC label: Fluid
cairan berhubungan keperawatan …x 24 jam, Management
dengan kelebihan diharapkan keadaan klien 1) Pertahankan catatan intake
asupan cairan membaik dengan kriteria dan output yang akurat
hasil: 2) Monitor hasil
laboratorium yang sesuai
1) NOC label: Fluid dengan retensi cairan
Balance (BUN, hematokrit, dan
a. Tekanan darah klien osmolalitas urin)
mendekati kisaran 3) Monitor status
normal (sistol: 120-130 hemodinamik termasuk
dan diastol: 80-90) CVP, MAP, PAP, dan
b. Denyut nadi mendekati PCWP
kisaran 60-100 kali per 4) Monitor vital sign
menit 5) Monitor indikasi
c. Intake dan keluaran retensi/kelebihan cairan
selama 24 jam (cracles, CVP, edema,
seimbang distensi vena leher, asites)
d. Berat badan stabil 6) Kaji lokasi dan luas
(sesuai rentang umur) edema
7) Monitor masukan
2) NOC label: Electrolyte makanan/cairan dan
and Acid/Base Balance hitung intake kalori
a. Laju pernapasan 8) Monitor status nutrisi
mendekati 12-20 kali 9) Kolaborasi pemberian
per menit diuretik sesuai interuksi
b. Ritme pernapasan tidak 10) Batasi masukan cairan
bradipnea, takipnea, pada keadaan hiponatremi
atau apnea dilusi dengan serum Na <
c. Serum sodium (Na) 130 mEq/l
pada cairan 11) Kolaborasi dokter jika
ekstraseluler mendekati tanda cairan berlebih
135-145 mEq/L muncul memburuk
d. Serum potasium (K)
pada cairan NIC label: Fluid Monitoring
ekstraseluler mendekati 1) Tentukan riwayat jumlah
3,5- 5 mEq/L dan tipe intake cairan dan
e. Serum klorida (Cl) eliminasi
pada cairan 2) Tentukan kemungkinan
ekstraseluler mendekati faktor resiko dari
95-105 mEq/L ketidakseimbangan cairan
f. Serum kalsium (Ca) (hipertermia, terapi
pada cairan diuretik, kelainan renal,
ekstraseluler mendekati gagal jantung, diaporesis,
4,5-5,5 mEq/L disfungsi hati, dll)
g. Serum magnesium 3) Monitor berat badan
(Mg) pada cairan 4) Monitor serum dan
ekstraseluler mendekati elektrolit urine
1,5-2,5 mEq/L 5) Monitor serum dan
h. Serum bikarbonat osmolalitas urine
(HCO3) pada cairan 6) Monitor BP, HR dan RR
ekstraseluler mendekati 7) Monitor tekanan darah
22-26 mEq/L (arteri) orthostatik dan perubahan
dan 24-30 mEq/L irama jantung
(vena) 8) Monitor parameter
hemodinamik infasif
3) NOC label: Nutritional 9) Catat secara akurat intake
Status: Food and Fluid dan output
Intake 10) Monitor adanya distensi
a. Intake makanan peroral leher, rinchi, edema
yang adekuat, sesuai perifer dan penambahan
kebutuhan BB
b. Intake cairan peroral 11) Monitor tanda dan gejala
yang adekuat, sesuai dari edema
kebutuhan
2. Kekurangan volume Setelah mendapatkan asuhan NIC label: Fluid
cairan berhubungan keperawatan …x 24 jam, Management
dengan kehilangan diharapkan keadaan klien 1) Pertahankan catatan intake
cairan aktif membaik dengan kriteria dan output yang akurat
hasil: 2) Monitor status hidrasi
(kelembaban membran
1) NOC label: Fluid mukosa, nadi adekuat,
Balance tekanan darah ortostatik),
a. Tekanan darah klien jika diperlukan
mendekati kisaran 3) Monitor vital sign
normal (sistol: 120-130 4) Monitor masukan
dan diastol: 80-90) makanan/cairan dan hitung
b. Denyut nadi mendekati intake kalori
kisaran 60-100 kali per 5) Kolaborasikan pemberian
menit cairan IV
c. Intake dan keluaran 6) Monitor status nutrisi
selama 24 jam 7) Dorong keluarga untuk
seimbang membantu pasien makan
d. Elastisitas turgor kulit 8) Kolaborasi dengan dokter
baik
e. Membran mukosa NIC label: Hypovolemia
lembab Management
f. Tidak ada rasa haus 1) Monitor status cairan
yang berlebihan termasuk intake dan output
g. Konfusi menurun cairan
h. Pusing teratasi 2) Monitor tingkat Hb dan
hematokrit
2) NOC label: Nutritional 3) Monitor tanda vital
Status: Food and Fluid 4) Monitor respon pasien
Intake terhadap penambahan
a. Intake makanan peroral cairan
yang adekuat, sesuai 5) Monitor berat badan
kebutuhan 6) Dorong pasien untuk
b. Intake cairan peroral menambah intake oral
yang adekuat, sesuai 7) Monitor adanya tanda dan
kebutuhan gejala kelebihan volume
cairan
3) NOC label: Tissue 8) Monitor adanya tanda
Integrity: Skin and gagal ginjal
Mucous Membranes
a. Temperatur kulit
mendekati kisaran 36o-
38oC
b. Elastisitas kulit kembali
(sesuai umur, kembali
ke keadaan semula
setelah ditarik tanpa
bekas atau kerutan sisa)
c. Perspirasi terjadi
dengan jumlah dan
pada kondisi yang tepat
Tekstur kulit kering dan
halus
d. Ketebalan kulit
mendekati normal
DAFTAR PUSTAKA
Aras, Sriwaty. 2007. Artikel Ilmiah: Prevalensi dan Distribusi Gangguan Elektrolit pada
Lanjut Usia di Bangsal Penyakit Dalam RSUP Dr. Kariadi Semarang. Semarang.
Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar
Klien. Jakarta: Salemba Medika.
Herdman, T. Heather. 2015. Nanda International Inc. Diagnosis Keperawatan: Definisi &
Klasifikasi 2015-2017. Jakarta: EGC.
Hidayat, Aziz Alimul dan Musrifatul Ulliyah. 2012. Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia.
Surabaya: Health Book.
Kozier, B. 2010. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, Dan Praktik, alih
bahasa Pamilih Eko Karyuni. Edisi Ketujuh. Jakarta: EGC.
Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis Dan NANDA. Jogjakarta: Mediaction Publishing.
Potter dan Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses, dan Praktik
Edisi 4 Volume 2. Jakarta: EGC.
Price, Sylvia A, dan Lorraine M Wilson. 2006. Patofisiolog: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Edisi 2 Volume 5. Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzane C. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth: Edisi 8. Alih
Bahasa Agung Waluyo. (et al); editor edisi bahasa Indonesia Monica Ester. (et al).
Jakarta: EGC
Tarwoto dan Wartonah. 2010. Kebutuhan Dasar manusia dan Proses Keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika.
Vaughans, B. W. 2011. Keperawatan Dasar. Edisi Pertama. Yogyakarta: Rapha Publishing.