0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
96 tayangan2 halaman
1. Seorang ahli gizi di rumah sakit swasta dituduh menyebabkan kematian pasien karena memberikan makanan lewat sonde sebanyak lebih dari 7 kali sehingga menimbulkan keadaan fatal.
2. Investigasi menyimpulkan kesalahan ahli gizi karena tidak melakukan monitoring dan koordinasi dengan baik.
3. Ahli gizi tersebut melanggar kode etik karena gagal meningkatkan keadaan gizi pasien dan dapat diber
1. Seorang ahli gizi di rumah sakit swasta dituduh menyebabkan kematian pasien karena memberikan makanan lewat sonde sebanyak lebih dari 7 kali sehingga menimbulkan keadaan fatal.
2. Investigasi menyimpulkan kesalahan ahli gizi karena tidak melakukan monitoring dan koordinasi dengan baik.
3. Ahli gizi tersebut melanggar kode etik karena gagal meningkatkan keadaan gizi pasien dan dapat diber
1. Seorang ahli gizi di rumah sakit swasta dituduh menyebabkan kematian pasien karena memberikan makanan lewat sonde sebanyak lebih dari 7 kali sehingga menimbulkan keadaan fatal.
2. Investigasi menyimpulkan kesalahan ahli gizi karena tidak melakukan monitoring dan koordinasi dengan baik.
3. Ahli gizi tersebut melanggar kode etik karena gagal meningkatkan keadaan gizi pasien dan dapat diber
Seorang ahli gizi yang bekerja di Rumah Sakit Swasta bertugas di
ruang perawatan intensif (ICU) merawat seorang pasien kritis yang mendapat makanan lewat sonde (NGT) sebanyak 6 kali pemberian dalam sehari. Setelah 3 hari dirawat pasien meninggal dunia, kebetulan pada saat pasien meninggal ahli gizi sedang tidak bertugas. Dokter menyatakan pasien meninggal karena “overfeeding”. Maka dilakukan penelitian secara mendalam dan ternyata penyebabnya adalah karena makanan sonde diberikan lebih dari 7 kali, sehingga terjadi keadaan yang fatal tersebut. Akibat dari kejadian ini maka ahli gizi RS Swasta tersebut harus berulang kali diperiksa dan ini sangat mengganggu pekerjaan dan kehidupan pribadinya. Hasil penyelidikan menyimpulkan kesalahan ahli gizi RS karena tidak melakukan monitoring dan koordinasi dengan cermat. 27 Ahli gizi pada kasus tersebut tidak sesuai dengan pasal 3 ayat 1 yang terdapat di dalam AD/ART PERSAGI mengenai Kewajiban Anggota yang berbunyi : “Anggota PERSAGI mempunyai kewajiban : Mematuhi “AD/ART dan kode etik ahli gizi serta keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh PERSAGI”. Sebagai ahli gizi yang terdaftar sebagai anggota PERSAGI, maka ahli gizi seharusnya melaksanakan kewajiban tersebut. Namun pada kenyataannya, ahli gizi pada kasus tersebut melanggar peran dari PERSAGI yang disebutkan pada AD PERSAGI Pasal 10 Ayat 2 yaitu “Peningkatan keadaan gizi perorangan dan masyarakat” serta melanggar Kode Etik Ahli Gizi yang secara otomatis juga melanggar ART PERSAGI Pasal 3 Ayat 1 yang telah disebutkan diatas. Seharusnya, ahli gizi pada kasus tersebut dapat meningkatkan keadaan gizi kliennya di Rumah Sakit, bukan menghilangkan nyawa kliennya tersebut. Apabila ahli gizi pada kasus tersebut mematuhi, melaksanakan, serta berpedoman teguh pada Kode Etik Ahli Gizi seperti contoh pada Bab II mengenai Kewajibab Terhadap Klien ayat 1 yaitu “Ahli Gizi berkewajiban sepanjang waktu senantiasa berusaha memelihara dan meningkatkan status gizi klien baik dalam lingkup institusi pelayanan gizi atau di masyarakat umum” serta ayat 4 yaitu “Ahli Gizi berkewajiban senantiasa memberikan pelayanan gizi prima, cepat dan akurat” dan ayat 6 yang berbunyi “Ahli Gizi dalam melakukan tugasnya, apabila mengalami keraguan dalam memberikan pelayanan berkewajiban senantiasa berkonsultasi dan merujuk 28 kepada ahli gizi lain yang mempunyai keahlian”, maka kecil kemungkinan untuk terjadinya keteledoran sehingga dapat merugikan bahkan menghilangkan nyawa dari kliennya tersebut. Selain itu, ahli gizi tersebut dapat diberhentikan dari keanggotaan PERSAGI seperti yang disebutkan pada ART PERSAGI Pasal 5 mengenai Pemberhentian Anggota yang berbunyi sebagai berikut : 1. Pemberhentian anggota atas permintaan sendiri hanya dapat dilakukan dengan pemberitahuan secara tertulis kepada Dewan Pimpinan Cabang. 2. Seseorang anggota dapat dikenakan pemberhentian sementara oleh Dewan Pimpinan Cabang apabila melanggar ketentuan organisasi. 3. Paling lama 6 bulan sesudah pemberhentian sementara Dewan Pimpinan Cabang dapat merehabilitasi atau mengusulkan pemberhentian kepada Dewan Pimpinan Pusat untuk dikukuhkan melalui DPD. 4. Dalam hal-hal luar biasa, Dewan Pimpinan Pusat dapat melakukan pemberhentian langsung, dan memberitahukannya kepada Dewan Pimpinan Daerah.