DAN KOSMETIKA
II. Prinsip
2.1.Reaksi Diazotasi
Gugus NH2 berubah menjadi garam diazonium R – N2+ X- yang
disebabkan oleh asam nitrit (HNO2) (Roos, et al., 2015).
2.2.Nitrimetri
Suatu metode titrasi dengan NaNO2 berfungsi sebagai pentiter dalam
suasana asam. NaNO2 berubah menjadi HNO2 dalam suasana asam yang jika
bereaksi dengan sampel akan membentuk garam diazonium (Gandjar dan
Rohman, 2012).
2.3.Uji Batas Logam Berat
Uji yang digunakan untuk menentukan kandungan ketidakmurnian suatu logam.
Uji ini menggunakan H2S, sampel yang diuji tidak boleh melebihi batas logam
berat yang tertera pada monografi sampel di literature (WHO, 2018).
III. Reaksi
3.1.Reaksi Nitrimetri
(Chowrasia dan Sharma, 2015)
3.2.Reaksi FeCl3
(Agrawal, 2013)
3.3.Reaksi Liebermann
R2NH + HNO2 R2N – NO + H2O
N – nitrosoamina (yellow oily layer)
(Turney, 1957)
% Parasetamol = 18,73 %
V2 NaNO2 = 1,3 mL
V1 x N1 x BE
% Parasetamol = x 100%
mg
1,3 mL x 0,075 N x 151,16
%b Parasetamol = x 100%
102,9
% Parasetamol = 14,74 %
VIII. Pembahasan
Uji kualitatif pada bahan baku parasetamol yang pertama dilakukan
adalah uji organoleptis dengan memperhatikan bentuk sediaan, warna, bau
serta rasa bahan baku dan dibandingkan dengan literatur. Bahan baku
parasetamol yang diuji memiliki ciri-ciri yang sama dengan literatur yaitu
berbentuk serbuk hablur, berwarna putih, tidak berbau dan rasa pahit.
Uji kualitatif selanjutnya adalah uji kelarutan dimana 1 gr parasetamol
dilarutkan dalam 70 mL aquadest hasilnya adalah larut dengan pemanasan.
Pada literatur dikatakan bahwa parasetamol larut dalam air mendidih yang
berarti butuh 10-30 bagian air mendidih untuk melarutkan 1 bagian
parasetamol. Dapat diartikan bahwa hasil kelarutannya dalam 70 mL
aquades adalah sesuai literatur. Selanjutnya 1 gr parasetamol dilarutkan
dalam 7 mL etanol hasilnya larut. Pada literatur disebutkan bahwa
parasetamol mudah larut dalam etanol yang berarti hanya butuh 1-10 bagian
etanol untuk melarutkan 1 bagian parasetamol. Dapat diartikan bahwa hasil
kelarutannya dalam 7 mL etanol adalah sesuai literatur.
Uji reaksi warna yang dilakukan adalah uji Lieberman, uji FeCl3 dan
uji Nessler. Uji Lieberman menghasilkan warna kuning kehijauan, tetapi
seharusnya parasetamol dengan reagen Lieberman menghasilkan warna
violet. Jadi hasil dari uji Lieberman adalah negative, kesalahan terletak pada
pelarut parasetamol yaitu etanol seharusnya parasetamol dilarutkan dengan
aquadest. Karena ini reagen Lieberman malah mereaksi dengan pelarut
etanolnya. Begitu juga dengan uji FeCl3 hasilnya adalah kuning-jingga
seharusnya membentuk warna biru kompleks. Penyebabnya sama yaitu
pelarut etanol yang digunakan dan reagen bereaksi hanya dengan gugus
fenolnya. Sedangkan uji Nessler berhasil dilakukan karena hasilnya yangs
sesuai literatur yaitu warna kecoklatan. Saat reagen Nessler ditambahkan,
mereka bereaksi dengan gugus amin sekunder dari parasetamol.
Selanjutnya dilakukan uji batas logam berat. Menurut literatur batas
logam berat parasetamol adalah tidak lebih dari 10 bpj. Parasetamol 10 bpj
atau 2 gr parasetamol diambil sesuai perhitungan, lalu dilakukan sesuai
prosedur. Hasil akhir yang didapatkan ditentukan dengan melihat warna
hasil sampel dan larutan baku pembanding timbal yang keduanya telah
diberi gas asam sulfida sampai bergelembung dan berubah warna
kecoklatan. Sampel dikatakan sesuai literatur jika warna yang dihasilkan
tidak lebih gelap dari larutan baku pembanding. hasil sesuai literatur, yaitu
warna sampel tidak lebih gelap dari larutan baku pembanding timbal.
Dalam penentuan kadar parasetamol dalam hal menentukan
kemurniannya, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan metode
nitrimetri. Metode nitrimetri memiliki prinsip reaksi diazotasi, yaitu
pembentukan garam diazonium antara amin aromatik primer pada sampel
(parasetamol) dengan asam nitrit (HNO2).
Dalam prosesnya, refluks dilakukan untuk menghidrolisis parasetamol
menjadi p-aminofenol. Proses refluks dilakukan agar amin aromatik primer
terbentuk. Amin aromatik primer hanya terdapat pada p-aminofenol
sehingga parasetamol yang memiliki amin aromatik sekunder harus
dihidrolisis terlebih dahulu agar amin aromatik sekunder dapat berubah
menjadi amin aromatik primer. Hasil hidrolisis parasetamol yaitu P-
aminofenol dan asam asetat anhidrida.
Proses hidrolisis parasetamol hanya akan terjadi di dalam suasana
asam. Hidrolisis parasetamol akan memisahkan parasetamol pada ikatan
(HN-CO) menghasilkan asam asetat dan p-aminofenol. Dalam suasana
asam, ion hidrogen akan diikat oleh (HN-) membentuk NH2 aromatik (amin
aromatik primer).
Sumber: Ayyash et al, 2015
Asam yang digunakan untuk proses hidrolisis adalah HCl 6N.
Hidrolisis dapat terjadi dalam proses refluks parasetamol. Proses refluks
membutuhkan waktu sekitar 1 jam agar p-aminofenol didapat secara
maksimal (amin aromatik primer terbentuk dengan sempurna). Selain itu,
HCl digunakan untuk membentuk HNO2 dengan melakukan reaksi dengan
NaNO2 (pentiter).
Amin aromatik primer yang terbentuk di dalam erlenmeyer dilarutkan
dengan aquadest agar titrasi dapat berlangsung (aquadest berpengaruh
terhadap indikator). Sebelum titrasi berlangsung, suhu sampel hasil
hidrolisis dibuat menjadi 15oC dengan bantuan es batu. Perlakuan ini
dilakukan untuk menghindari dekomposisi garam diazonium yang akan
terbentuk. Garam diazonium dapat menjadi senyawa fenolik jika berada
pada suhu di atas 15oC.
Agar proses titrasi dapat berjalan dengan cepat, KBr padat digunakan
sebagai katalisator untuk mempercepat pembentukan garam diazonium dari
p-aminofenol dengan HNO2. Penggunaan katalis ini tidak wajib dilakukan
karena tanpa katalis reaksi diazotasi dapat berjalan hanya saja dalam waktu
yang lebih panjang.
Indikator yang digunakan pada proses titrasi diazotasi (sampel:
parasetamol) adalah indikator luar dan indikator dalam. Indikator luar yang
digunakan yaitu pasta kanji iodida dan indikator dalam yang digunakan
adalah Tropeolin-O-O : metilen biru (5:3). Indikator dalam merupakan
kombinasi dari dua pereaksi karena tropeolin-o-o memiliki warna kuning
yang apabila digunakan secara tunggal perubahan warna tidak tampak jelas
sehingga dikombinasikan dengan metilen biru yang berwarna biru agar
perubahan warna saat tercapai TAT tampak jelas. Indikator dalam
(tropeolin-o-o: metilen blue) dapat berubah warna ketika garam diazonium
terbentuk. Indikator dalam yang ditambahkan pada sampel (p-aminofenol)
memberikan warna awal ungu pada sampel. Setelah titik akhir titrasi
tercapai (garam diazonium terbentuk), warna ungu tersebut berubah
menjadi biru kehijauan. Indikator luar pasta kanji iodida digunakan ketika
warn ungu pada erlenmeyer mulai memudar. Garam diazonium yang
terbentuk akan memberikan warna biru-violet pada pasta kanji iodida.
Warna biru dihasilkan dari hasil oksidasi KI oleh ion nitrit bebas
membentuk iodin yang dapat bereaksi dengan kanji membentuk kompleks
berwarna biru-violet.
Pada erlenmeyer berisi sampel yang telah terbentuk garam diazonium
di dalamnya, didapatkan persentase kadar parasetamol. Kadar parasetamol
yang didapatkan sangat jauh dari kadar kemurnian berdasarkan Farmakope
Indonesia. Kadar parasetamol yang didapat adalah 18,73% dan 14,74%
sedangkan di literatur disebutkan kemurnian parasetamol adalah 98,8%-
101%. Hasil ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya:
Proses pemanasan tidak berlangsung secara baik karena waktu yang
digunakan hanya sampai 30 menit saja sehingga p-aminofenol yang
memiliki gugus amin aromatik primer tidak terbentuk semua, hanya
sebagian karena sebagian lagi masih berupa parasetamol yang belum
terhidrolisis (masih memiliki amin aromatik sekunder) yang tidak dapat
membentuk garam diazonium dengan HNO2 sehingga titik akhir titrasi
tidak dapat ditentukan.
Sampel parasetamol yang digunakan kemurniannya berubah karena
pengaruh waktu. Berdasarkan pengamatan kualitatif maupun penetapan
kadar kelompok lain, kadar parasetamol yang didapat hanya berkisar
antara (14%-30%).
Sebelum titrasi dimulai, hal yang paling penting adalah mengetahui
terlebih dahulu kadar NaNO2 yang digunakan dengan cara pembakuan.
Prinsip pembakuan juga menggunakan prinsip diazotasi yaitu pembentukan
garam diazonium antara amin aromatik primer dengan HNO2 pada suasana
asam dan pada suhu 15oC. Saat proses pembakuan NaNO2 tidak dilakukan
refluks agar terjadi hidrolisis karena sulfanilamida yang digunakan telah
mengandung amin aromatik primer.
IX. Simpulan
9.1 Secara kualitatif parasetamol yang diuji didapatkan hasil sebagai
berikut:
Hasil uji Lieberman: kuning kehijauan: negatif.
Hasil uji FeCl3 : kuning-jingga: negatif
Hasil uji Nessler: Kecoklatan: positif.
Kelarutan dalam air (1:70): larut (dipanaskan)
Kelaruutan dalam etanol (1:7) : larut
Uji batas logam berat: sesuai
9.2 Secara kuantitatif yang dilakukan duplo, didapatkan kadar parasetamol
dalam Erlenmeyer masing-masing adalah 18,73% dan 14,74% yang
tidak memenuhi standar persyaratan kemurnian parasetamol yaitu
98,00-102%.
Lampiran
Gambar 7. Hasil Uji Kualitatif Lieberman Gambar 8. Hasil Uji Kualitatif FeCl3
Gambar 9. Hasil Uji Kualitatif Nessler
DAFTAR PUSTAKA
BPOM. 2017. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor HK.03.123.07.11.6662 Tahun 2011 Tentang Persyaratan
Cemaran Mikroba dan Logam Berat dalam Kosmetika. Tersedia online di
www.notifkos.pom.go.id [Diakses pada 13 Maret 2019].
Brittain, H. G., M. J. Mcleish. 1998. Analytical Profiles of Drug Substances and
Excipients. New York : Academic Press.
Chowrasia, D., Nisha Sharma. 2015. Analytical Chemistry : A Qualitative and
Quantitative Approach. Kanpar : KNOC Education.
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Depkes RI.
Elsayed, dkk. 2014. Synthetis, Characterization, Antimicrobial, and Cytotoxic Studies
on Same Novel Metal Complexes of Schiff Base Ligand Derived From
Sulfadiazine with Molecular Orbital. International Journal of Chemistry and
Materials Research. Vol. 2 (1) : 1-16.
Gandjar, I. G., dan A. Rohman. 2012. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Gandjar, Ibnu Ghalib. 2012. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustakan
Pelajar.
Haynes, William M. 2014. CRC Handbook of Chemistry and Physics. Boca Ratun :
CRC Press.
Moffat, A. C. 1986. Clarke’s Isolation and Identification of Drugs 2nd Edition. London
: Pharmaceutical Press.
Rivai, H. 1995. Asas Pemeriksaan Kimia. Jakarta : UI Press.
Roos, Gregory., Cathryn Roos. 2015. Organic Chemistry Concepts. Murdoch :
Elsevier.
Saleh. 2004. Evaluasi Gizi pada Pengolahan Bahan Pangan. Bandung: Penerbit
Institut Teknologi Bandung.
Scozzafava A., Carta F., Supuran C. T. 2009. Secondary and Tertiary Sulfonamides :
A Patent Review. Expert Opm Ther Pat. Vol. 23 Hal. 203.
Syamsuni, H A. 2007. Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi. Jakarta: EGC.
Turney, T. 1957. The Liebermann Reaction. Journal of Organic Chemistry. Vol. 22
(12) : 1692-1693.
WHO. 2018. The International Pharmacopeia Eight Edition. Singapore : WHO.
Widiarto, F., dkk. 2014. Studi Interaksi Farmakodinamik Efek Analgetik Kombinasi
Perasan Buah Mengkudu (Monuda citrifolia) dengan Paracetamol : Kajian
terhadap Waktu Reaksi Nyeri Menggunakan Metode Hot Plate pada Mencit.
Jurnal Kedokteran dan Kesehatan. Vol. 10 (1) : 813.
Wunas, J., Said, S., 1986. Analisa Kimia Farmasi Kuantitatif. Makassar: UNHAS.