Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

ILMU TEKNOLOGI PANGAN

PENGAWETAN SUHU RENDAH


PADA IKAN DAN DAGING

Dosen Pengampu : Fitriyono Ayustaningwarno, S.TP, M.Si.

Oleh :
Sari Puspitasari A.P
22030111130074

PROGRAM STUDI S1 ILMU GIZI FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2012
DAFTAR ISI

Daftar Isi............................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................. 1
1.3 Tujuan .................................................................................. 2
1.4 Manfaat .................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Kontaminasi dan Kebusukan Pada Ikan dan Daging
Pasca Mortem.................................................................................... 3
2.2 Pengawetan Suhu Rendah Untuk Ikan dan Daging.......................... 12
2.3 Dampak Pengawetan Suhu Rendah
Terhadap Kualitas Ikan dan Daging................................................... 18
2.4 Jenis Pengawetan Suhu Rendah Terbaik
Untuk Ikan dan Daging...................................................................... 23

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan ................................................................................. 25
3.2 Saran ................................................................................. 25

Daftar Pustaka.................................................................................................. 26
Lampiran
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ikan dan daging merupakan salah satu bahan makanan sumber
protein yang berasal dari hewan. Sejak jaman dahulu, kedua bahan
makanan ini menjadi makanan pemenuh asupan protein yang banyak
dikonsumsi sehari-hari oleh setiap keluarga. Terlebih di jaman sekarang ini,
perdagangan ikan dan daging dalam bentuk segar semakin menyebar dan
mencakup wilayah yang lebih luas. Sehingga tindakan pengawetan yang
dapat menjaga kesegaran ikan dan daging selama proses distribusi dan
transportasi sangat diperlukan dan menjadi salah satu faktor penting yang
sangat diperhatikan dalam aktivitas perdagangan.
Salah satu cara atau metode penanganan yang banyak
digunakan untuk mengawetkan daging dan ikan segar adalah dengan
perlakuan suhu rendah. Seperti perlakuan pengawetan yang lain,
penanganan ikan dan daging dengan suhu rendah dimaksudkan untuk
menjaga kesegaran ikan dan daging, mengurangi atau menghambat
pertumbuhan mikroba, memperpanjang umur simpan bahan, dan mencegah
penurunan kualitas yang besar.
Perlakuan dengan suhu rendah ini merupakan salah satu cara
penanganan yang paling banyak dipakai karena mudah dan cepat untuk
dilakukan. Untuk mencegah kebusukan pada ikan dan daging, terdapat
beberapa jenis perlakuan suhu rendah yang digunakan. Jenis-jenis
pengawetan suhu rendah untuk daging dan ikan beserta berbagai aspek
yang meliputinya akan dibahas secara lebih lanjut pada makalah ini.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana kontaminasi dan kebusukan yang terjadi pada ikan dan
daging pasca mortem?
1.2.2 Apa yang dimaksud dengan pengawetan suhu rendah dan apa saja
jenis-jenis pengawetan dengan suhu rendah yang dilakukan pada ikan
dan daging?
1.2.3 Bagaimana dampak masing-masing jenis pengawetan suhu rendah
tersebut terhadap kualitas ikan dan daging?
1.2.4 Apa jenis pengawetan dengan suhu rendah yang terbaik bagi ikan dan
daging?

1.3 Tujuan
1.3.1 Menjelaskan tentang kontaminasi dan kebusukan yang terjadi pada
ikan dan daging pasca mortem.
1.3.2 Menjelaskan tentang pengawetan dengan suhu rendah serta
menyebutkan dan menjelaskan jenis-jenis dari pengawetan suhu
rendah yang dilakukan pada ikan dan daging.
1.3.3 Menjelaskan dampak dari masing-masing jenis pengawetan suhu
rendah terhadap kualitas ikan dan daging.
1.3.4 Menjelaskan tentang jenis pengawetan suhu rendah yang terbaik
untuk ikan dan daging.

1.4 Manfaat
1.4.1 Mengetahui tentang kontaminasi dan kebusukan yang terjadi pada
ikan dan daging pasca mortem.
1.4.2 Mengetahui tentang pengawetan suhu rendah dan berbagai jenis
pengawetan suhu rendah yang dapat dilakukan pada ikan dan daging.
1.4.3 Mengetahui efek atau dampak yang dihasilkan dari berbagai jenis
pengawetan dengan suhu rendah yang dilakukan pada ikan dan
daging.
1.4.4 Mengetahui jenis pengawetan suhu rendah yang terbaik untuk ikan
dan daging.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kontaminasi dan Kebusukan Pada Ikan dan Daging Pasca Mortem
Kerusakan atau kebusukan pada produk makanan berkaitan
dengan adanya proses kimiawi, enzimatis, atau aktivitas mikroba yang
terjadi pada produk tersebut. Kerusakan kimiawi dan kontaminasi mikroba
menjadi penyebab dari hilangnya 25% hasil produksi perikanan dan
pertanian setiap tahunnya.1 Seperempat dari persediaan bahan makanan
dan 30% hasil perikanan darat hilang hanya karena aktivitas mikroba.
Selain itu, setiap tahunnya sekitar 4-5 juta ton ikan hasil tangkapan hilang
karena terjadinya kebusukan yang disebabkan oleh proses enzimatis dan
kontaminasi mikroba akibat penyimpanan yang salah.1

2.1.1 Ikan
Ikan segar dapat segera mengalami kerusakan secara cepat
setelah penangkapan. Proses kerusakan atau kebusukan ini akan terjadi
dalam 12 jam setelah proses penangkapan, dalam suhu lingkungan tropis
atau suhu kamar di wilayah tropis. Rigor mortis merupakan proses dimana
tubuh ikan kehilangan fleksibilitasnya karena kekakuan otot ikan yang
terjadi setelah beberapa jam dari waktu kematiannya. Selama proses
pembusukan ikan, terjadi pemecahan atau perombakan pada berbagai
komponen dan juga pembentukan senyawa baru. Senyawa-senyawa yang
baru terbentuk ini dapat menyebabkan perubahan aroma, flavor, dan
tekstur pada ikan. Secara umum, mekanisme kontaminasi dan kebusukan
yang terjadi pada ikan dapat dibagi kedalam tiga kelompok, yaitu :

a. Autolisis enzimatik
Sesaat setelah ditangkap, proses kimia dan biologis yang
berkaitan dengan pemecahan molekul-molekul utama secara enzimatis
terjadi di dalam tubuh ikan yang telah mati. Hansen et al menyatakan
bahwa enzim autolisis mengurangi kualitas tekstur daging ikan pada awal
kerusakan yang terjadi, tetapi tidak menyebabkan kehilangan aroma dan
rasa. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kerusakan yang
diakibatkan autolisis dapat mengurangi atau menurunkan umur simpan dan
kualitas dari ikan, meskipun dengan jumlah organisme pembusuk yang
minimal. Perubahan autolisis ini tetap dapat terjadi pada ikan yang
disimpan pada suhu rendah (chilled or frozen fish). Dari data yang diperoleh
saat pengamatan, dapat disimpulkan bahwa pengaruh terbesar dari
mekanisme autolisis terjadi pada tekstur daging ikan. Hal ini berkaitan
dengan adanya hypoxanthine dan formaldehyde yang terbentuk dalam
proses autolisis. Enzim pencernaan menyebabkan autolisis yang
mengakibatkan terjadinya pelunakan daging, pecahnya dinding perut, dan
keluarnya darah dan air yang mengandung protein dan minyak. Enzim
proteolitik yang terdapat dalam otot dan isi rongga perut pada ikan yang
telah ditangkap, berperan dalam proses penurunan kualitas ikan dan
produk perikanan selama masa penyimpanan dan pengolahan. Pada teknik
penyimpanan ikan yang salah, enzim proteolisis akan menyebabkan
penguraian protein yang kemudian diikuti dengan pelarutan. Di lain sisi,
peptida dan asam amino bebas yang merupakan produk/ hasil dari autolisis
pada protein otot ikan, akan menyebabkan pertumbuhan mikroba dan
produksi amina biogenik, yang kemudian mengakibatkan kebusukan pada
ikan. Pecahnya dinding lambung ikan disebabkan adanya kebocoran enzim
proteolitik yang berasal dari bagian di sekitar pilorus dan usus ke dalam otot
lambung. Protease memiliki pH optimal dalam suasana basa sampai netral.
Namun, laju kerusakan yang disebabkan oleh enzim proteolitik ini dapat
berkurang jika ikan disimpan dalam suhu 0°C dan pH 5. 1

b. Oksidasi
Oksidasi merupakan faktor penyebab kerusakan dan kebusukan
utama pada ikan pelagik seperti mackarel dan ikan haring, berkaitan
dengan tingginya kadar minyak atau lemak yang tersimpan di dalam daging
ikan tersebut. Oksidasi lemak meliputi tiga tahapan mekanisme radikal
bebas, yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi. Inisiasi meliputi
pembentukan radikal bebas dari lemak melalui katalis, seperti panas, ion
logam, dan iradiasi. Radikal bebas yang terbentuk ini kemudian bereaksi
dengan oksigen dan membentuk radikal peroksil. Selama proses propagasi,
radikal peroksil tersebut bereaksi dengan molekul lemak lain untuk
membentuk hidroperoksida dan radikal bebas yang baru. Terminasi akan
terjadi ketika pembentukan radikal bebas tersebut saling berinteraksi
membentuk produk non-radikal. Secara umum, oksidasi adalah reaksi yang
terjadi antara oksigen dengan ikatan ganda pada asam lemak. Oleh karena
itu, lemak pada tubuh ikan yang terdiri atas asam lemak tak jenuh (PUFA)
mempunyai resiko yang tinggi untuk terjadinya oksidasi.
Oksidasi lemak pada ikan dapat terjadi secara enzimatis maupun
non-enzimatis. Hidrolisis enzimatis lemak oleh lipase biasa disebut dengan
lipolisis (kerusakan lemak). Dalam proses ini, lipase memecah gliserida dan
membentuk asam-asam lemak bebas yang mengakibatkan hilangnya
flavor, mempercepat ketengikan, dan menurunkan kualitas minyaknya.
Enzim lipase yang berperan dalam proses ini adalah lipase yang terdapat
pada kulit, darah, serta jaringan dalam tubuh ikan. Enzim utama dalam
hidrolisis lemak ikan adalah triacyl lipase, phospholipase A2 dan
phospholipase B. Sedangkan oksidasi non-enzimatis terjadi karena katalisis
senyawa hematin (hemoglobin, myoglobin, dan cytochrome) yang
menghasilkan hidroperoksida. Asam lemak yang terbentuk selama proses
hidrolisis lemak ikan akan berinterkasi dengan protein myofibrillar dan
sarkoplasma yang menyebabkan denaturasi. Undeland et al. menyatakan
bahwa oksidasi lemak dapat terjadi pada otot ikan sehubungan dengan
tingginya hemoglobin yang mendukung terjadinya oksidasi, khususnya
ketika terjadi deoksigenasi hemoglobin. Pada penambahan asam yang
akan menurunkan pH, dapat mempercepat oksidasi lemak melalui Hb yang
telah terdeoksigenasi.1

c. Kontaminasi Mikroba
Komposisi mikroflora pada ikan yang baru ditangkap bergantung
pada komposisi mikroba yang terdapat dalam air dimana ikan tersebut
hidup. Mikroflora ikan meliputi spesies bakteri, seperti Pseudomonas,
Alcaligenes, Vibrio, Serratia dan Micrococcus. Pertumbuhan dan
metabolisme bakteri merupakan penyebab utama dari kebusukan ikan,
dimana hasil metabolitnya adalah amina, amina biogenik seperti putrescine,
histamine dan cadaverine, serta asam organik, sulfida, alkohol, aldehida
dan keton dengan flavor yang tidak enak dan tidak diinginkan.1
Pada ikan yang tidak mengalami proses pengawetan, kebusukan
yang terjadi merupakan hasil dari bakteri gram negatif pemfermentasi
(contohnya Vibrionaceae). Sedangkan bakteri gram negatif psikrotoleran
(contohnya Pseudomonas spp. dan Shewanella spp.) akan lebih
mengontaminasi dan menyebabkan kebusukan pada ikan yang telah
didinginkan. Oleh karena itu, sebaiknya dilakukan pembedaan antara
mikroflora yang tidak menyebabkan kebusukan dengan bakteri pembusuk,
karena banyak dari bakteri yang mungkin terdapat pada ikan tetapi bakteri
tersebut belum tentu merupakan bakteri pembusuk. Senyawa yang
terbentuk pada pembusukan yang diakibatkan oleh metabolisme mikroba
dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Senyawa yang dihasilkan pada pembusukan oleh mikroba1


Specific spoilage bacteria Spoilage compounds
Shewanella putrifaciens TMA, H2S, CH3SH, (CH3)2S, HX
Photobacterium phosphoreum TMA, HX
Pseudomonas spp. Ketones, aldehydes, esters, non-H2S
sulphides
Vibrionacaea TMA, H2S
Aerobic spoilers NH3, acetic, butyric and propionic
acid
Keterangan :
TMA: Trimethylamine; H2S: Hydrogen sulphide; CH3SH: Methylmercarptan;
(CH3)2S: Dimethylsulphide; HX: Hypoxanthine; NH3: Ammonia
Level dari Trimethylamine (TMA) digunakan secara umum untuk
mengetahui tingkat kontaminasi mikroba yang akan menyebabkan
kebusukan pada ikan. Ikan menggunakan Trimethylamine Oxide (TMAO)
sebagai osmoregulan untuk mencegah dehidrasi pada lingkungan air laut
dan penumpukan air dalam lingkungan air biasa. Bakteri-bakteri seperti
Shewanella putrifaciens, Aeromonas spp., psychrotolerant
Enterobacteriacceae, P. phosphoreum dan Vibrio spp. bisa memperoleh
energi dengan mengubah TMAO menjadi TMA, dan menghasilkan senyawa
seperti amonia yang bisa menghilangkan atau mengurangi flavor ikan.
Pada tabel 2 dapat dilihat aktivitas dari beberapa mikroba pembusuk yang
biasa mengontaminasi ikan.

Tabel 2. Aktivitas pembusukan oleh bakteri1


Spoilage activity Microorganism
High Pseudomonas (Alteronomas)
putrifaciens,
Pseudomonas (altreomonas)
fluorescens,
Fluorescent pseudomonads
Moderate Moraxella, Acinetobacter and
Alcaligenes
Low (Specific conditions) Aerobacter, Lactobacillus,
Flavobacterium, Micrococcus,
Bacillus and Staphylococcus

2.1.2 Daging
Penanganan sebelum penyembelihan dan setelah
penyembelihan merupakan hal-hal penting yang ikut menjadi faktor penentu
dalam kebusukan daging yang akan terjadi. Simpanan glikogen yang
terdapat pada otot hewan akan berkurang ketika hewan mengalami stress
sesaat sebelum disembelih. Hal ini akan menyebabkan terjadinya
perubahan pH dalam tubuh hewan, bisa menjadi rendah atau bahkan
sangat rendah tergantung pada jumlah asama laktat yang diproduksi. Pada
hewan yang telah mengalami stress berkepanjangan sebelum disembelih,
akan didapatkan daging dengan pH tinggi yang menghasilkan daging yang
berwarna gelap, keras dan kering. Daging jenis ini memiliki umur simpan
yang lebih pendek. Sedangkan pada hewan yang mengalami stress hanya
dalam waktu yang singkat sebelum disembelih akan menghasilkan daging
yang berwarna lebih muda/terang, lunak, dan mengandung cukup air, serta
pH yang rendah. Dengan pH yang rendah, pemecahan protein dalam
daging akan menjadi lebih mudah terjadi, dan proses tersebut akan
menghasilkan medium yang menguntungkan bagi pertumbuhan bakteri.2
Terdapat tiga mekanisme utama kontaminasi dan kebusukan yang terjadi
pada daging setelah penyembelihan dan selama proses penyimpanan dan
pengolahan, yaitu :

a. Pembusukan oleh mikroba


Daging dan produk olahannya merupakan media pertumbuhan
yang sangat menguntungkan bagi mikroflora (bakteri, khamir, dan kapang),
dimana beberapa jenis diantaranya adalah organisme patogen. Di dalam
tubuh hewan sendiri terdapat organ-organ yang menjadi sumber
mikroorganisme tersebut, yaitu saluran pencernaan dan kulit hewan.
Komposisi mikroba yang terdapat pada daging tergantung pada beberapa
faktor, yaitu: (a) sistem peternakan yang digunakan (ternak di dalam
kandang atu ternak yang digembalakan secara bebas di alam), (b) umur
hewan saat akan disembelih, (c) penanganan saat penyembelihan dan
pembersihan, (d) kontrol suhu saat penyembelihan, penanganan pasca
mortem, dan distribusi, (e) metode pengawetan yang digunakan, (f) tipe
pengemasan, (g) penanganan dan penyimpanan oleh konsumen. Tabel 3
dan 4 akan menyajikan beberapa bakteri, khamir, dan kapang yang banyak
mengontaminasi daging.2
Di negara bagian Iowa, Hayes et al. menemukan bahwa
Enterococcus spp. merupakan bakteri yang dominan mengontaminasi pada
semua daging (ayam, kalkun, babi, dan sapi), yaitu berjumlah 971 dari 981
sampel yang diuji (99%). Selain itu, Cerveny et al. menyatakan bahwa
kondisi penyimpanan akan berpengaruh pada jenis mikroba yang
mengontaminasi daging dan produk olahannya. Bakteri Pseudomonas spp.,
Moraxella spp., Psychrobacter spp., Acinetobacter spp. dan keluarga dari
gram-negative psychrotrophic, seperti Enterobacteriaceae banyak
ditemukan pada daging yang disimpan dalam kondisi pengawetan dingin.
Sedangkan, bakteri asam laktat psikotropik, seperti Enterococci, Micrococci
dan khamir banyak ditemukan pada daging yang mentah, serta produk
curing dengan garam seperti kornet sapi, ham mentah, dan bacon. 2
b. Oksidasi Lemak
Autoksidasi lemak dan produksi radikal bebas merupakan proses
alamiah yang mempengaruhi asam lemak dan menyebabkan terjadinya
kerusakan oksidatif pada daging serta mengakibatkan hilangnya flavor.
Setelah mengalami penyembelihan, asam lemak dalam jaringan akan
mengalami oksidasi ketika aliran darah sudah berhenti dan proses
metabolisme terhalangi. Seperti yang terjadi pada ikan, oksidasi pada
daging juga melalui beberapa tahapan, yaitu inisiasi, propagasi, dan
terminasi.
Oksidasi lemak pada daging dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya komposisi asam lemak, jumlah antioksidan dari vitamin E (α-
tokoferol) dan prooksidan seperti zat besi bebas yang terdapat di dalam
molekul. Polysaturated fatty acids merupakan jenis asam lemak yang paling
rentan teroksidasi. Hidroperoksida merupakan hasil dari putusnya ikatan
asam lemak tak jenuh pada membran fosfolipid pada proses oksidasi
lemak. Putusnya asam lemak tersebut menghasilkan produk reaksi
sekunder, seperti pentanal, heksanal, 4-hidroksinonenal dan
malondialdehida (MDA) disamping senyawa-senyawa teroksigenasi, seperti
aldehida, asam dan keton. Senyawa hasil sekunder tersebut dapat
menyebabkan hilangnya warna dan menurunnya nilai nutrisi yang
terkandung di dalam daging, serta dapat juga mengakibatkan karsinogenik
dan terjadinya proses mutagenik.2

c. Autolisis enzimatik
Aktivitas enzim merupakan proses alamiah yang terjadi pada sel
otot hewan setelah mengalami penyembelihan, dan proses ini akan
mengakibatkan kerusakan pada daging. Enzim memiliki kemampuan untuk
berkombinasi secara kimiawi dengan senyawa organik lain dan
bekerjasama sebagai katalis untuk beberapa reaksi kimia yang kemudian
menyebabkan kerusakan pada daging. Pada proses autolisis, senyawa
kompleks (karbohidrat, lemak, dan protein) pada jaringan akan mengalami
pemecahan menjadi senyawa yang lebih sederhana serta menyebabkan
pelunakan dan menghasilkan warna kehijauan pada daging.
Proteolisis dan hidrolisis lemak termasuk ke dalam perubahan
autolisis yang menjadi salah satu syarat terjadinya pembusukan mikroba.
Autolisis yang berlebihan biasa disebut juga kemasaman. Kerusakan
polipeptida pada masa post mortem merupakan hasil dari protease jaringan
yang mengakibatkan perubahan pada flavor dan tekstur daging. Post
mortem aging pada daging merah akan menghasilkan proses pelunakan.
Autolisis post mortem ini terjadi pada semua jaringan di dalam tubuh
hewan, hanya saja dalam kecepatan yang berbeda pada setiap organ yang
berbeda. Proses ini akan berlangsung lebih cepat pada jaringan kelenjar,
seperti hati, dan akan berlangsung lebih lambat pada otot lurik. Calpains,
cathepsins, dan aminopeptidase merupakan enzim-enzim yang berperan
dalam proses autolisis. Diantara enzim-enzim tersebut, calpains diketahui
sebagai kontributor pertama yang mendahului proses pelunakan proteolisis
daging. Cathepsins juga merupakan kontributor dalam proses pelunakan
daging pada kondisi pH rendah. Enzim-enzim proteolitik ini aktif pada suhu
rendah (5°C).2

2.2 Pengawetan Suhu Rendah Untuk Ikan dan Daging


2.2.1 Ikan
Sejak pertengahan abad ke-19, penyimpanan pada suhu rendah
telah digunakan sebagai cara untuk mengawetkan ikan dan hasil laut
lainnya dan mempertahankan kesegarannya. Teknik penyimpanan ini
memang tidak membunuh atau mematikan mikroba-mikroba yang ada pada
ikan, tetapi dinilai cukup ampuh untuk mengurangi metabolisme mikroba
yang dapat menyebabkan kebusukan pada ikan. Bahkan FAO sendiri
merekomendasikan untuk melakukan penyimpanan pada suhu 0°C segera
setelah ikan ditangkap, karena proses pembusukan pada ikan yang dapat
terjadi dengan cepat.1 Secara garis besarnya, pengawetan dengan suhu
rendah pada ikan dapat dikelompokkan menjadi dua metode, yaitu :
a. Cooling
Dilakukan pada temperatur 4°C sampai -1°C. Dengan
menggunakan cara ini pertumbuhan mikroorganisme akan terhambat,
sehingga kesegaran ikan dapat dipertahankan untuk beberapa waktu yang
singkat.
b. Freezing
Cara penanganan ini dilakukan pada suhu -18°C sampai -30°C.
Dengan disimpan pada suhu serendah itu, pertumbuhan mikroorganisme
akan benar-benar dapat terhenti dan ikan dapat disimpan dalam jangka
waktu yang lebih lama.
Kedua cara pengawetan tersebut cukup efektif digunakan untuk
menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada ikan. Akan tetapi,
perubahan enzimatis dan non-enzimatis di dalam tubuh ikan sendiri akan
tetap berlangsung, hanya saja dengan kecepatan yang lebih rendah. 1
Sebelum melakukan pengawetan suhu rendah terhadap ikan,
biasa terlebih dulu dilakukan proses pra pendinginan (pre cooling). Proses
pra pendinginan ini dimaksudkan untuk menghilangkan kalor secara cepat.
Seperti yang telah diketahui, terdapat beberapa metode yang dapat
digunakan dalam proses pre cooling ini, yaitu : (a) air cooling, pendinginan
dengan udara yang bergerak cepat; (b) kontak es (contact ice) atau
penimbunan dengan es; (c) hydro cooling atau dengan perendaman dalam
air yang disirkulasikan terus-menerus; (d) pendinginan vakum (vacuum
cooling). Proses pra pendinginan yang biasa dilakukan untuk ikan adalah
dengan metoda air cooling, kontak es, atau hydro cooling. Namun, cara
yang paling bagus untuk digunakan adalah CBC (Combined Blast and
Contact) cooling.3 Dengan menerapkan metoda tersebut, maka kesegaran
ikan dapat lebih dipertahankan dan umur simpannya juga akan lebih
meningkat. Selain itu, metode ini sangat dianjurkan untuk digunakan pada
penjualan segar ikan yang telah difillet.
Segala macam usaha pendinginan yang dilakukan sebelum
pembekuan seperti telah disebutkan di atas, memang sangat diperlukan
untuk menjaga suhu ikan agar tetap rendah. Hal ini dilakukan dengan
tujuan untuk menjaga suhu rendah pada ikan secara keseluruhan dan
mengurangi kerusakan yang diakibatkan oleh bakteri dan proses autolisis.
Untuk mendapatkan suhu penyimpanan di bawah titik beku air murni, maka
es yang digunakan dalam penyimpanan dingin tersebut sebaiknya dibuat
dari air laut atau air garam. Dengan cara ini maka suhu penyimpanan dapat
diturunkan sampai ke -2.5°C.1
Terdapat teknik pendinginan baru yang dinilai lebih efektif untuk
meningkatkan kualitas ikan, yaitu dengan mengaplikasikan slurry ice. Slurry
ice ini merupakan sistem penyimpanan yang dibentuk oleh bola-bola kristal
es kecil yang dikelilingi oleh air laut pada suhu dibawah nol derajat. Teknik
ini baru diterapkan pada ikan pari (Raja clavata), dimana ikan pari
merupakan produk dagang yang memiliki nilai jual paling tinggi di pasar
Eropa. Penelitian tentang keefektifan slurry ice ini telah dilakukan dengan
cara membandingkan teknik tersebut dengan teknik potongan es yang
biasa diaplikasikan pada ikan. Hasilnya menegaskan bahwa teknik slurry
ice memang lebih bagus daripada teknik penyimpanan dengan potongan-
potongan atau kepingan es. Karena peningkatan umur simpan dan kualitas
ikan dalam penyimpanan secara signifikan dapat terjadi pada aplikasi slurry
ice.4
Dengan menerapkan teknik slurry ice pada penyimpanan ikan
pari, maka umur simpan ikan menjadi lebih lama (6 hari, bila dikondisikan
dalam penyimpanan dengan potongan es hanya bertahan 3 hari). Selain itu
juga dapat memperlambat mekanisme pembusukan secara biokimia dan
mikrobial, yang terjadi di dalam tubuh ikan pari. Sehingga kualitas sensorik
ikan pari yang sangat menentukan nilai jualnya, dapat lebih dipertahankan
dengan lebih baik.4
Selain pendinginan dan pembekuan, proses penyimpanan yang
dapat meningkatkan umur simpan ikan menjadi lebih lama adalah dengan
mengkombinasikan antara penyimpanan dingin dan peraturan komposisi
udara atau atmosfir ruang penyimpanan. Di bawah ini terdapat tiga metode
perubahan komposisi atmosfir yang telah diketahui secara umum :
1. CAS (Controlled – Atmosphere Storage)
Konsentrasi O2, CO2 dan terkadang juga etilen, dimonitor terus-menerus.
2. MAS (Modified – Atmosphere Storage)
Komposisi gas dalam ruang penyimpanan diatur pada awalnya, tetapi
kemudian dibiarkan berubah karena adanya akibat pernapasan normal
dari produk yang disimpan.
3. MAP (Modified – Atmosphere Packaging)
Komposisi gas dalam kemasan (diketahui permeabilitasnya) diubah
setelah produk dimasukkan, dan sebelum kemasan disegel.
Dari ketiga metode di atas, yang sering digunakan dalam
penyimpanan ikan adalah MAP (Modified – Atmosphere Packaging).
Penggunaan MAP secara umum akan menghasilkan peningkatan sensorik
umur simpan ikan, jika dibandingkan dengan penyimpanan dengan es
secara tradisional. Tetapi besar peningkatan yang terjadi tergantung pada
beberapa faktor, seperti komposisi perpaduan gas, suhu penyimpanan,
kualitas bahan mentah atau dalam hal ini adalah kualitas ikan segarnya,
serta ukuran kemasan yang digunakan. Konsentrasi gas karbondioksida
yang rendah biasanya diterapkan dalam sistem ini, dengan tujuan untuk
mengurangi kehilangan air dan kerusakan tekstur ikan. 3
Disamping MAP, terdapat pula dua metode pengemasan lain
yang telah diujikan pada ikan (khususnya pada udang kerang capit merah
(Cherax quadricarinatus)), yaitu pengemasan vakum (vacuum packaging
atau VP) dan PVCP aerobik (aerobic polyvinyl chloride packaging).
Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui perbandingan
kemampuan dari ketiga metode pengemasan (MAP,VP, dan PVCP) dalam
mengontrol pertumbuhan mikroba beserta pengaruhnya terhadap kualitas
penyimpanan daging udang kerang capit merah selama berada dalam
penyimpanan dingin.5
Dalam penelitian tersebut, yang dimaksud dengan PVCP adalah
cara pengemasan dengan melakukan dua kali pembungkusan atau
pelapisan terhadap kemasan yang sudah disediakan, dengan
menggunakan lapisan tipis PVC yang dapat ditembus udara. Sedangkan
untuk MAP, digunakan pengaturan komposisi gas yaitu 80% CO2, 10% O2,
dan 10% N2, pada tekanan gas 1.0 bar, yang kemudian dikemas
menggunakan polypropylene-polyethylene sealing film oleh mesin
FoodPack Basic FP372. Dan pengemasan vakum (VP) yang dimaksud
adalah metoda pengemasan yang menempatkan produk yang telah
dikemas ke dalam kantong vakum tipe B2620, yang kemudian dikemas
menggunakan mesin vakum model 600A. Semua metode pengemasan
tersebut tetap ditempatkan pada ruang dengan penyimpanan suhu rendah
(20C). 5

2.2.2 Daging
Penyimpanan daging pada suhu rendah dimaksudkan untuk
memperlambat atau membatasi kecepatan pembusukan yang terjadi. Hal
ini didasarkan pada kenyataan bahwa kecepatan pembusukan yang
disebabkan oleh pertumbuhan mikroba dapat dihambat pada suhu dibawah
rata-rata. Terdapat tiga tingkatan teknik penyimpanan suhu rendah yang
biasa diaplikasikan pada daging. Ketiga tingkatan penyimpanan tersebut
dapat menghambat atau bahkan menghentikan pertumbuhan mikroba,
namun pertumbuhan bakteri psikrofilik, khamir, dan kapang tetap tidak
dapat dicegah oleh ketiga tingkatan tersebut. Tiga teknik penyimpanan
tersebut adalah sebagai berikut:

a. Chilling
Chilling dilakukan tepat setelah hewan disembelih dan selama
hewan berada dalam penyimpanan dan pengangkutan (transport). Teknik
ini dilakukan untuk menurunkan suhu daging sampai 4°C dalam 4 jam
setelah hewan disembelih dan dibersihkan isi perutnya. Disebutkan pula
bahwa chilling merupakan tahapan yang penting dilakukan untuk menjaga
hygiene daging, umur simpan, serta penampakan dan kualitas nutrisi dari
daging (Cassens, 1994; Zhou et al., 2010).2
Terdapat dua metode dalam teknik penyimpanan chilling, yaitu:
(a) immersion chilling, merupakan teknik chilling dengan cara mencelupkan
atau membenamkan produk yang disimpan ke dalam air dingin (0-4°C); (b)
air chilling, merupakan teknik chilling diman produk atau dalam hal ini
karkas yang disimpan diselimuti oleh kabut air di dalam ruangan dengan
sistem udara dingin yang tersirkulasi (Carroll and Alvarado, 2008).2 Kualitas
dari daging dengan metoda penyimpanan air chilling lebih bagus dibanding
dengan kualitas daging yang dihasilkan dari penyimpanan dengan metode
immersion chilling. Hal ini terjadi karena pada penyimpanan air chilling,
suhu permukaan daging lebih cepat menurun. Sehingga dapat menunjang
pengeringan daging dan menurunkan akibat pembusukan yang dapat
disebabkan oleh mikroba.

b. Freezing
Penyimpanan suhu rendah menggunakan metode freezing
merupakan cara yang paling bagus untuk menjaga sifat-sifat atau
karakteristik asli dari daging segar. Kandungan air yang terdapat di dalam
daging berkisar antara 50-75% dari berat daging secara keseluruhan,
namun besar kandungan tersebut bervariasi tergantung pada jenis daging.
Pada penyimpanan freezing, sebagian besar kandungan air tersebut akan
diubah menjadi es. Freezing yang dilakukan pada daging hanya memakan
waktu yang singkat, dan hampir 75% cairan jaringan yang terdapat di
dalamnya akan membeku pada suhu -5°C.
Kecepatan pembekuan akan meningkat seiring dengan
penurunan suhu. Pada suhu -20°C, hampir 98% air yang terkandung dalam
daging akan membeku, dan pembentukan kristal es secara sempurna akan
terjadi pada suhu -65°C (Rosmini et al., 2004).2 Walaupun demikian, lebih
dari 10% air terikat (secara kimia terikat pada suatu kompleks senyawa
seperti karbonil dan kelompok amino dari ikatan protein dan hidrogen) tidak
akan mengalami pembekuan. Kecepatan pembekuan yang berlangsung
lambat ataupun cepat akan sangat mempengaruhi kualitas dari daging yang
dibekukan. Pembekuan cepat akan menghasilkan kualitas daging yang
lebih tinggi dibanding dengan hasil pembekuan lambat.2
c. Super chilling
Konsep dari metode super chilling ini berbeda dengan metode
pendinginan dan pembekuan, serta memiliki potensi untuk mengurangi
biaya penyimpanan dan transport yang dikeluarkan. Super chilling
merupakan metode penyimpanan pada suhu dibawah titik beku awal (1-
2°C), tetapi kristal es tidak akan terbentuk. Pada proses ini, sebagai ganti
dari penambahan es pada produk yang disimpan, bagian dari air yang
terdapat di dalamnya akan membeku dan bertindak sebagai pendingin yang
akan memastikan berlangsungnya proses pendinginan selama dalam masa
distribusi dan transportasi (Bahuaud et al., 2008).2 Metabolisme respiratori
dan proses aging akan mengalami penekanan, tetapi aktivitas sel akan
tetap dipertahankan selama masa penyimpanan super chilling. Metode
penyimpanan ini biasa digunakan dalam pengawetan daging unggas.
Kelebihan utama dari metode ini jika dibandingkan dengan metode
penyimpanan yang lain adalah metode ini dapat meningkatkan umur
simpan daging sampai empat kali lipat dari asilnya.2

2.3 Dampak Pengawetan Suhu Rendah Terhadap Kualitas Ikan dan Daging
2.3.1 Ikan
a. Cooling
Proses cooling yang dilakukan pada temperatur 4°C sampai -
1°C, akan menghambat pertumbuhan mikroba yang mungkin
mengontaminasi dalam ikan. Akan tetapi, reaksi fisika, kimia, maupun
biokimia yang terjadi di dalam tubuh ikan tetap dapat berlangsung,
sehingga akan tetap terjadi penurunan kualitas pada ikan. Kesegaran ikan
selama proses cooling hanya dapat dipertahankan dalam waktu yang
singkat. Karena disamping metabolisme dalam tubuh ikan yang tidak
terhenti (hanya melambat), ada pula kelompok mikroorganisme yang tidak
terhambat pertumbuhannya hanya dengan suhu cooling saja. Sehingga
setelah beberapa saat, ikan akan tetap mengalami proses pembusukan
seperti yang telah dijelaskan di awal, dan mengakibatkan terjadinya
penurunan kualitas sensori ikan. Oleh karena itu, metode cooling ini tidak
dapat dipakai untuk penyimpanan ikan dalam jangka waktu yang cukup
lama.

b. Freezing
Perlakuan freezing untuk pengawetan ikan tidak bisa mencegah
hilangnya kandungan asam amino dalam ikan. Akan tetapi, reaksi fisika dan
biokimia yang dapat menyebabkan kebusukan pada ikan dapat dihambat
oleh proses pembekuan ini. Selain itu, pertumbuhan mikroba juga benar-
benar dapat dihambat dalam proses ini. Ketahanan mikroba selama dalam
penyimpanan ini bergantung pada tipe mikroorganismenya dan spesies
ikan, serta asal-usul ikan dan metode penangkapan serta penanganan
yang telah dilakukan sebelumnya.
Kualitas akhir dari ikan tergantung pada kualitas ikan dalam
masa pengawetan pembekuan, yang juga berkaitan dengan suhu
pembekuan, serta kecepatan pembekuan dan distribusi. Dari faktor-faktor
tersebut, kecepatan pembekuan menjadi faktor utama yang berperan
penting dalam menentukan kualitas akhir ikan hasil pembekuan.
Pembekuan cepat dapat menghasilkan kualitas ikan beku yang lebih baik
daripada pembekuan lambat. Karena pada pembekuan lambat akan
terbentuk kristal-kristal es yang lebih besar, yang dapat merusak dinding sel
ikan dan menyebabkan terjadinya denaturasi protein. Di sisi lain, denaturasi
protein juga bergantung pada konsentrasi enzim dan senyawa lainnya yang
terdapat di dalam tubuh ikan. Perubahan yang terjadi pada protein ikan
akan mengakibatkan kepudaran dan kekeruhan pada tekstur serta
melunaknya jaringan di tubuh ikan, yang sangat mempengaruhi kualitas
akhir ikan.
Selama masa penyimpanan dingin, dekomposisi
Thimethyalamine Oxide (TMAO) pada ikan dan hasil laut lainnya, akan
menghasilkan pembentukan trimethylamine dan dimethyalamine yang
dapat menyebabkan hilangnya aroma asli dari ikan segar. 1 Selain itu, pada
pengawetan beku yang berkelanjutan, ikan juga akan mengalami
penurunan nilai protein dan lemak, serta mengalami peningkatan jumlah
mikroba pembusuk. Seperti pada percobaan yang dilakukan oleh
Arannilewa et al. (2005), menunjukkan bahwa terjadi penurunan protein dan
lemak sebesar 27.9 and 25.92%, serta peningkatan jumlah koliform dari 3.0
× 103 sampai 7.5 × 106 selama masa penyimpanan.1
CBC (Combined Blast and Contact) cooling, yang banyak dipakai
dalam penyimpanan daging ikan yang telah difillet, dapat meningkatkan
waktu kesegaran daging serta umur simpannya secara signifikan. Sebagai
contoh, CBC fillet yang disimpan pada suhu -1.3 °C, akan mengalami
peningkatan waktu atau periode kesegaran ikan sampai 10 hari, serta umur
simpan yang mencapai 16 hari. Penurunan suhu rata-rata pada fillet ikan
dalam penyimpanan CBC sampai pada suhu -0.8 °C atau -1.3 °C, akan
meningkatkan periode kesegaran ikan selama 1,5 hari (atau menjadi 9,5
hari) dan peningkatan satu hari umur simpan (atau menjadi 14 hari). 3
Cara pengawetan dengan slurry ice yang diujikan pada ikan pari
memperlihatkan kualitas akhir yang bagus secara keseluruhan, bahkan
hasil kualitas tersebut termasuk dalam kategori kualitas A, sampai 6 hari
masa penyimpanan. Setelah hari keenam makan kualitasnya menurun
secara drastis, dan pada hari kedelapan sampai sepuluh, kualitas ikan pari
yang disimpan dengan teknik slurry ice tidak bisa diterima lagi. Parameter
negatif utama yang berhubungan dengan penurunan kualitas pada teknik
penyimpanan slurry ice ini adalah aroma ikan. Perubahan aroma ikan yang
terjadi karena pembentukan senyawa ammonia oleh proses enzimatis,
menjadi faktor pembatas dari daya terima/ kualitas terendah dari ikan pari
yang masih diterima. Sedangkan parameter kualitas yang memiliki nilai
tertinggi pada penyimpanan ikan pari dengan teknik slurry ice adalah aspek
kulit dan insang, serta konsistensi daging dan aspek sisi perut ikan.4
Cara pengawetan suhu rendah yang lain adalah dengan
memadukan antara pengawetan suhu rendah dengan pengaturan atmosfer,
salah satunya yaitu MAP. Penelitian yang dilakukan untuk menguji
keefektifan teknik pengemasan antara MAP, VP, dan PVCP, telah
mengarahkan pada suatu hasil dimana pada penyimpanan MAP diketahui
jumlah mikroba yang tumbuh dan mengontaminasi jauh lebih rendah
dibanding dengan pengemasan yang lainnya. Akan tetapi MAP menaikkan
besar susut produk yang terjadi pada saat pemasakan. Dari ketiga kondisi
pengemasan yang dilakukan, PVCP merupakan teknik pengemasan yang
paling bisa mempertahankan berat atau menekan besarnya susut produk
yang terjadi pada saat pemasakan. Namun, pada pengemasan PVCP
dapat terjadi penurunan rasa atau kehilangan flavor yang lebih besar
daripada yang terjadi pada MAP dan VP. Kebalikannya, udang yang
disimpan secara MAP dan VP memiliki tingkat juicyness yang lebih rendah
dibanding udang dalam penyimpanan PVCP. Namun, secara umum sampel
udang kerang capit merah yang diuji dengan penggunaan ketiga teknik
penyimpanan tersebut, tidak mengalami perubahan sensori yang signifikan.
Sehingga udang yang telah diawetkan dengan teknik pengemasan tersebut
tetap memiliki daya terima yang cukup tinggi di kalangan konsumen. 5

2.3.2 Daging
a. Chilling
Young and Smith (2004) mengatakan bahwa sebelum
pemotongan, karkas yang diawetkan dengan metode air-chilled akan
mengalami kehilangan berat sebesar 0,68% dari berat setelah
penyembelihan, tetapi tidak akan mengalami kehilangan berat lagi saat
atau setelah pemotongan dilakukan. Di lain sisi, karkas yang diawetkan
menggunakan metode water chilled akan mengalami pertambahan
kelembapan sampai 11,7% dalam penyimpanannya. Namun kemudian,
kelembapan tersebut akan hilang 4,72% dalam 24 jam penyimpanan
pertama, 0,98% pada saat pemotongan, dan 2,10% selama masa
penyimpanan, sehingga menghasilkan 3,9% air yang masih berada atau
terkandung di dalam daging. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh
Tuncer dan Sireli (2008), dapat disimpulkan bahwa metode air chilling lebih
aman daripada metode water chilling, dalam kaitannya dengan jumlah
mikroorganisme yang dapat mengontaminasi di dalamnya. Dengan
memperhatikan umur simpannya, penyimpanan pada suhu 0°C akan lebih
baik daripada penyimpanan pada suhu 4°C dan 7°C untuk mencegah
terjadinya pembusukan. Zhou et al. (2010) menyatakan bahwa pendinginan
(chilling) yang cepat juga akan membantu untuk mencegah denaturasi
protein, dimana bakteri akan lebih cepat tumbuh pada medium protein yang
telah terdenaturasi.2

b. Freezing
Dalam pembekuan lambat, pembentukan kristal es yang besar
akan merusak sel dan menyebabkan terjadinya denaturasi protein.
Konsentrasi enzim dan adanya senyawa lain yang terkandung pada daging
akan berpengaruh pada proses denaturasi protein. Jika dilihat secara
umum, besar pengaruh pengawetan yang terjadi pada daging yang telah
dibekukan adalah terbatas. Hal ini dikarenakan reaksi fisika, kimia maupun
biokimia yang terjadi pada jaringan tubuh hewan yang telah disembelih,
tidak sepenuhnya terhenti setelah dilakukan pengawetan dingin.
Pertumbuhan mikroba dapat dihentikan pada suhu -12°C, sedangkan
penghambatan metabolisme selular di jaringan tubuh hewan akan terjadi
pada suhu dibawah -18°C. Perubahan kualitas total pada daging dapat
dicegah pada suhu -55°C. Akan tetapi, reaksi enzimatis, ketengikan karena
oksidasi, dan kristalisasi es yang terjadi akan tetap memacu terjadinya
kebusukan pada daging. Selama dalam penyimpanan beku, sekitar 60%
dari populasi mikroba yang hidup akan mengalami kematian, namun sisa
yang masih dapat bertahan hidup akan dapat meningkat secara berangsur-
angsur.2 Spesies bakteri yang masih dapat bertahan pada produk beku
tergantung pada jumlah populasi awalnya (Gill, 2002). 6 Beberapa bakteri
akan mati, tetapi beberapa diantaranya berada dalam fase sublethal
(dimana aktivitas bakteri akan kembali seperti semula jika terjadi proses
thawing), jika penyimpanan dilakukan diatas suhu -10°C (dibawah suhu -
10°C, bakteri sublethal akan mengalami kematian seiring dengan
berjalannya waktu penyimpanan). Oleh karena itu disarankan untuk
menyimpan daging dalam penyimpanan beku pada suhu sekitar -18°C.
c. Super chilling
Vacinek and Toledo (1973) mengemukakan bahwa tidak akan
terjadi masalah pada kualitas daging, yang disimpan dengan teknik super
chilling dan yang kemudian dijaga suhunya pada suhu sekitar 4°C. Peneliti
lain juga mengatakan bahwa daging ayam yang disimpan pada suhu 1-2°C
(mendekati titik beku), akan mempunyai kualitas yang lebih stabil dan juga
tetap dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Belum ada dokumen yang
menyebutkan secra pasti mengenai titik beku daging unggas, tetapi secara
umum telah disetujui bahwa titik beku daging unggas berada diantara -
1.5°C dan -2°C (James et al., 2007).2

2.4 Jenis Pengawetan Suhu Rendah Terbaik Untuk Ikan dan Daging
2.4.1 Ikan
Dari beberapa metode yang dapat digunakan dalam pengawetan
suhu rendah untuk ikan, terdapat beberapa metode yang paling cocok
sesuai dengan jenis atau bentuk ikan yang akan diawetkan, yaitu:
a. CBC (Combined Blast and Contact) cooling
Teknik pendinginan CBC ini cocok digunakan untuk mengawetkan
daging ikan yang telah difillet. Dengan menerapkan teknik ini, maka fillet
ikan yang dijual akan mempunyai umur simpan yang cukup lama dan
periode atau masa kesegaran yang cukup panjang pula. Sehingga fillet ikan
tersebut akan lebih menarik bagi konsumen karena terlihat lebih segar.
b. Slurry ice
Teknik pengawetan dengan slurry ice ini cocok untuk
dipraktekkan pada ikan pari, ikan sardin, dan udang. Dengan menggunakan
teknik pengawetan ini sebagai metode awal dari proses pengawetan pada
suhu rendah, akan memberi efek yang bagus pada kualitas ikan yang
diawetkan.
c. MAP (Modified – Atmosphere Packaging)
Pengawetan suhu rendah yang diapdukan dengan pengaturan
atmosfer ini merupakan salah satu jenis pengawetan yang
direkomendasikan untuk pengawetan ikan dalam kemasan. Karena dengan
MAP, kontaminasi mikroba yang dapat terjadi pada ikan bisa lebih dihambat
secara signifikan, dan hasil ikan yang diawetkan juga tetap memiliki kualitas
sensori yang baik.

2.4.2 Daging
a. Air –chilling
Metode pendinginan dengan udara ini dinilai cukup baik untuk
tahap pertama dalam proses pengawetan suhu rendah pada daging.
Dengan memakai metode air chilling, pertumbuhan dari mikroba yang
mengontaminasi daging dapat lebih ditekan. Hal penting yang harus
diperhatikan dalam metode penyimpanan ini adalah kontrol suhu yang
sebaiknya berada disekitar 0oC.
b. Quick freezing
Metode pembekuan cepat ini sangat cocok untuk digunakan
pada pengawetan daging. Hanya saja perlu diperhatikan bahwa proses
pembekuan ini harus dilakukan pada suhu minimal -24°C. Karena selain
menghambat atau menghentikan pertumbuhan mikroba dan aktivitas
metabolismenya, proses denaturasi protein juga dapat dicegah.
c. Super chilling
Metode penyimpanan ini cocok untuk digunakan dalam
pengawetan daging unggas. Kelebihan utama yang menjadikannya bagus
unutk digunakan dalam pengawetan daging unggas adalah metode ini
dapat meningkatkan umur simpan daging sampai empat kali lipat dari
asilnya.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
3.1.1 Kontaminasi dan kebusukan yang terjadi pada ikan dan daging
disebabkan oleh tiga faktor utama, yaitu autolisis enzimatik, oksidasi,
dan kontaminasi oleh mikroba.
3.1.2 Pengawetan suhu rendah pada daging dan ikan secara umum
meliputi proses pendinginan dan pembekuan.
3.1.3 Jenis pengawetan suhu rendah untuk ikan, antara lain yaitu: (a)
cooling; (b) freezing; (c) CBC (Combined Blast and Contact) cooling;
(d) Slurry ice; (e) MAP (Modified-Atmosphere Packaging)
3.1.4 Jenis pengawetan suhu rendah untuk daging, antara lain yaitu: (a)
chilling; (b) freezing; (c) super chilling
3.1.5 Setiap jenis pengawetan yang digunakan pada ikan maupun aging
memiliki dampak atau efeknya masing-masing terhadap kualitas
produk yang diawetkan.
3.1.6 Dari beberapa jenis pengawetan suhu rendah yang digunakan pada
ikan dan daging, terdapat beberapa jenis pengawetan yang dapat
digunakan secara spesifik pada jenis ikan atau daging tertentu
karena dinilai mempunyai efek yang lebih signifikan.

3.2 Saran
Sebelum melakukan pengawetan suhu rendah terhadap ikan
atau daging, akan lebih baik apabila kita telah mengetahui jenis
pengawetan yang spesifik dan cocok untuk digunakan dalam produk yang
akan kita simpan. Dengan demikian, kualitas produk yang disimpan akan
lebih terjaga serta resiko kontaminasi dan kebusukan juga dapat lebih
diminimalisir.
DAFTAR PUSTAKA

1. A.E. Ghaly, D. Dave, S. Budge and M.S. Brooks. Fish Spoilage


Mechanisms anda Preservation Techniques: Review. American Journal
of Applied Sciences [Internet]. 2010 [cited 2012 June 22]; 7 (7): 859-877.
Available from : http://thescipub.com/pdf/10.3844/ajassp.2010.859.877.

2. D. Dave and A.E. Ghaly. Meat Spoilage Mechanisms and Preservation


Techniques: A Critical Review. American Journal of Agricultural and
Biological Sciences [Internet]. 2011 [cited 2012 June 22]; 6 (4): 486-510.
Available from: http://thescipub.com/pdf/10.3844/ajabssp.2011.486.510.

3. Hélène L. Lauzon, Björn Margeirsson, Kolbrún Sveinsdóttir, María


Guðjónsdóttir, Magnea G. Karlsdóttir and Emilía Martinsdóttir. Overview
on fish quality research - Impact of fish handling, processing, storage
and logistics on fish quality deterioration [Internet]. Matis; 2010 Nov [cited
2012 June 22]. 66p. Report No.: Matís Report 39-10. Available from:
http://www.kaeligatt.is/media/uppsetning/39-10-Overview-fish-quality.pdf.

4. Begoña Múgica, Santiago P. Aubourg, José M. Miranda, and Jorge


Barros-Velázquez. Evaluation of a slurry ice system for the
commercialization of ray (Raja clavata): Effects on spoilage mechanisms
directly affecting quality loss and shelf-life [Internet]. [cited 2012 June 6].
Available from:
http://www.academicjournals.org/ajfs/pdf/pdf2010/Jun/Tortoe.pdf.

5. G. Chen, Y.L. Xiong, B. Kong, M.C. Newman, K.R. Thompson, L.S.


Metts, and C.D. Webster. Microbiological and Physicochemical
Properties of Red Claw Crayfish ( Cherax quadricarinatus) Stored in
Different Package Systems at 2oC. Journal of Food Science; 2007; Vol.
72, Nr. 8. doi: 10.1111/j.1750-3841.2007.00482.x
6. R.J. Whyte, J.A. Hudson and N.J. Turner. Effect of Low Temperature on
Campylobacter on Poultry Meat [Internet]. New Zealand: Institute of
Environmental Science & Research Limited Christchurch Science
Centre; 2005 Aug [cited 2012 June 22]. Available from:
http://foodsafety.govt.nz/elibrary/industry/Effect_Temperature-
Assessment_Freezing.pdf.

Anda mungkin juga menyukai