Anda di halaman 1dari 2

Kemunduran Mutu Ikan

September 29th 2011 in THP

Mutu suatu komoditas didefinisikan sebagai kelompok sifat atau faktor yang membedakan tingkat pemuas atau
daya terima dari komoditas tersebut bagi konsumen (Soekarto 1990 dalam Jaya dan Ramadhan 2006). Proses
kemunduran mutu produk perikanan segar diawali dengan proses perombakan oleh aktivitas enzim yang secara
alami terdapat didalamnya sehingga tahap tertentu dan disusul dengan makin berkembangnya aktivitas mikroba
pembusuk. Proses ini terjadi setelah hewan tersebut mati, yaitu terjadinya proses perubahan di dalam jaringan
(Wibowo dan Yunizal 1998 dalam Purwaningsih et al.2005). Selanjutnya, tahap-tahap perubahan yang terjadi
setelah ikan mati dapat dibagi menjadi tiga fase menurut tingkat kesegarannya, yaitu fase pre rigor,
rigor mortis dan post rigor (Jaya dan Ramadhan 2006).

2.2.1 Pre rigor


Tahap pre rigor ditandai dengan jaringan daging ikan yang masih lembut dan lentur serta adanya lapisan bening
di sekeliling tubuh ikan yang terbentuk oleh peristiwa pelepasan lendir dan kelenjar bawah kulit. Nilai mutu
kesegaran ikan pada tahap ini adalah organoleptik 9, TVB 18,67 – 20 mg N/100g; TPC 3,4 x 104 – 6,3 x 104 unit
koloni/g; pH 6,7; dan nilai K 0,00 % – 8,22%. Spesifikasi ikan dengan nilai organoleptik 9 adalah sebagai
berikut : mata cerah, bola mata menonjol, kornea jernih, insang berwarna merah cemerlang tanpa lendir,
sayatan daging cemerlang berwarna asli, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, perut utuh, ginjal
merah terang, dinding daging perutnya utuh, dan bau isi perut segar, konsistensi otot elastis bila ditekan dengan
jari, sulit menyobek daging daritulang belakang (Nurjanah et al.2004).

2.2.2 Rigor mortis


Rigor mortis terjadi setelah cadangan energi otot sudah habis atau tidak mampu lagi mempergunakan
energi. Rigor mortisberkaitan dengan semakin habisnya ATP otot. Tidak adanya ATP mengakibatkan filamen
aktin dan filamen miosin saling tumpang tindih dan terkunci sehingga membentuk ikatan aktomiosin yang
permanen sehingga otot tidak dapat diregangkan (Huxlex 1960 dalam Nurwantoro dan Mulyani 2003).

Selama konversi otot terjadi proses kekakuan otot. Perkembangan proses rigor mortis terdiri dari tiga fase yaitu:
fase penundaan, fase cepat, dan fase kaku. Proses hilangnya daya regang mula-mula berlangsung secara lambat
selama beberapa jam (fase penundaan), kemudian berlangsung cepat (fase cepat) dan akhirnya berlangsung
secara konstan dengan kecepatan rendah sampai tercapainya kekakuan (rigor). Dengan demikian,
kondisi rigor mortis ditandai dengan hilangnya kelenturan, pemendekan otot dan naiknya tensi otot (Nurwantoro
dan Mulyani 2003)

2.2.3 Post rigor


Pada saat fase post rigor, kondisi daging ikan yang membusuk sudah tidak kenyal dan kulit ikan mengeras. Pada
uji organoleptik menunjukan nilai 5 yang merupakan ambang batas kesegaran ikan. Ciri-ciri ikan yang memiliki
nilai 5 adalah sebagai berikut: bola mata agak cekung, pupil keabuabuan, kornea agak keruh, insang
menampakkan diskolorisasi merah muda dan berlendir, sayatan daging mulai pudar, banyak pemerahan pada
tulang belakang, bau seperti susu asam, konsistensi agak lunak, mudah menyobek daging dari tulang belakang
(Nurjanah et al.2004).

2.2.4 Deteriorasi atau busuk


Fase akhir dari kemunduran mutu pada ikan adalah fase deterioasi. Deteriorasi yaitu proses penurunan mutu
yang disebabkan oleh tiga macam kegiatan yaitu autolisis, kimiawi, dan bakterial. Ciri-ciri ikan pada fase
deteriorasi yaitu tekstur daging ikan yang sudah tidak kenyal lagi akibat penurunan mutu dari ikan (Jaya dan
Ramadhan 2006).

2.2.5 Perubahan enzimatis (autolisis) dan mikrobiologi


Autolisis adalah pemecahan sel atau tisu akibat tindakan enzim autogen yang dihasilkan oleh sel atau tisu itu
sendiri. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti suhu, pH, masa dan penambahan enzim atau agen-agen
tertentu untuk merangsang proses degradasi. Sugimoto (1974) dalam Rodiah (2007) melaporkan bahawa
penggunaan 1-9 % etanol (v/v) yang dicampur dengan 2-10 % (b/v) NaCl pada yis dapat membantu
meningkatkan kadar autolisis. Pada setengah keadaan autolisis dapat menyebabkan kematian sel tanpa perlu
mengaktifkan enzim hidrolitik yang secara umumnya terdapat di dalam sel yang sehat (Rodiah 2007).

Pada ikan mati, ATP akan cepat berubah menjadi ADP oleh enzim ATP-ase, kemudian berubah menjadi
AMP oleh enzim miokinase. Perubahan AMP menjadi IMP dipengaruhi oleh enzim deaminase dan dari IMP
menjadi inosin dipengaruhi oleh enzim fosfatase. IMP (asam inosinat) dikenal sebagai penyambung rasa manis
pada daging ikan (Eskin 1990 dalamNurjanah 2004). Cita rasa yang ditimbulkan oleh asam inosinat (IMP)
merupakan pengaruh kombinasi dengan asam glutamat (Okada, 1990 dalam Nurjanah 2004). Defosforilasi dari
IMP menjadi inosin relatif lambat, tetapi inosin sangat cepat berubah menjadi hipoksantin, konsentrasi
hipoksantin akan meningkat dengan menurunnya mutu kesegaran ikan (Mengitsu 1993 dalam Nurjanah 2004).
Tahap awal hipoksantin terbentuk secara autolisis, pada tahap kemunduran mutu selanjutnya aktivitas bakteri
juga berperan dalam menambah jumlah hipoksantin yang memberikan rasa pahit pada daging ikan (Clucas 1981
dan Hanna 1992 dalam Nurjanah 2004).

Umumnya mikroflora ikan segar yang baru ditangkap dari laut terdiri dari bakteri Gram-
negatif Pseudomonas, Achromobakter, Flavobacterium dan Cyptophaga. Ikan-ikan yang hidup di perairan
subtrofik biasanya mengandung 60%-70% bakteri Gram-negatif. Di samping itu, Gram positif yang biasa
ditemukan yaitu Micrococcus dan Bacillus. Banyaknya mikroflora ikan mengalami perubahan setelah
penyimpanan beberapa hari (Shewan 1962 dalam Brotonegoro et al. 1981). Mikroflora yang mengalami
penyimpanan mengalami perubahan baik kuantitas maupun kualitasnya. Komposisi dari jenis-jenis bakteri
tergantung dari banyak faktor antara lain waktu penyimpanan,suhu dan jenis contoh hasil perairan. Bakteri
mesofilik pada temperature 37 °C terdapat lebih banyak pada ikan yang langsung ditangkap. Hal ini tentunya
diakibatkan oleh adanya kontak langsung dengan dek, alat-alat penangkapan dan orang yang mengerjakan
penangkapan sehingga dari faktor-faktor tersebut mengakibatkan ikan mengalami kemunduran mutu yang lebih
cepat (Brotonegoro et al. 1981).

Anda mungkin juga menyukai