TP Modul D
TP Modul D
Modul D
KARAKTERISASI MATERIAL: X-RAY DIFFRACTION (XRD), SCANNING
ELECTRON MICROSCOPY (SEM) DAN ENERGY DISPERSIVE X-RAY
SPECTROSCOPY (EDS
Oleh:
Farrel Yussar Rashif
13717049
Anggota:
Kelompok
Muhammad Labib A 13717011
Aditya Pratama 13717013
Annas Amartya A 13717032
Farrel Yussar R 13717049
Ahmad Affan Farizi 13717051
PENDAHULUAN
TEORI DASAR
Sinar X merupakan salah satu radiasi elektromagnetik yang sering dimanfaatkan dalam
metode karaterisasi material. Sinar X adalah radiasi elektromagnetik dengan Panjang
gelombang kurang dari 10 Angstrom atau 10-8 cm. medan elektromagnetik yang diproduksi
oleh sinar X ini akan berinteraksi dengan electron yang ada di permukaan sebuah bahan
dengan cara dihamburkan.
X-Ray Diffraction merupakan metode yang paling efektif untuk menentukan struktur krista
daru suatu material. Prinsip kerja dari karakterisasi dengan difraksi sinar X adalah
mengukur hamburan sinar X dari kristal berfasa kristalin dengan struktur kiristal spesifik.
Dalam hal ini digunakan hokum Bragg yang menyatakn bahwa Panjang gelombang sinar
sama dengan dua kali jarak interplanar dalam struktur kristal dikalikan sin θ (teta).
nλ=2 d sin θ
Keterangan:
n = order of reflection (n=1, 2, 3, …)
λ = Panjang gelombang sinar X
d = jarak interplanar
θ = sudut antara sinar dating dan bidang difraksi
Untuk lebih jelasnya mengenai difraksi sinar X yang berdasarkan hokum Bragg, dapat
dilihat pada gambar 1.
Sedangkan untuk mengidentifikasi komposisi suatu fasa, dapat dilihat dari kurva
difraksi antara sumbu x berupa sudut 2 teta dan sumbu y berupa intensitas. Dari tiga
puncak kurva dapat ditentukan intensitas dan besar sudut 2 teta. Dengan menggunakan
hokum Bragg, maka dapat diperoleh nilai jarak atom dan dibandingkan dengan
refrensi.
Terdapat beberapa data yang mengandung model difraksi beberapa material, baik yang
umum maupun tidak umum. Setiap model dilengkapi dengan informasi mengenai
spesifikasi bahan seperti temperature leleh, indeks refraktif, informasi kristalografi,
odel difraksi dan jarak difraksi. Unutk menentukan karakteristik material dapat
melalui puncak yang berbentuk hasil difraksi sinar X. untuk mengidentifikasi bahan
yang dianalisis dapat dilakukan dengan cara membandingkan puncak hasil ercobaan
difraksi sinar X dengan model difraksi teoritis tersebut.
Dalam mengidentifikasi fasa bahan yang dilakukan pertama kali adalah membandingkan
dengan karakteristik bahan lain sehingga dapat diketahui secara kasar bahan yang
terkandung di dalamnya. Karakteristik tersebut meliputi warna, kilau logam, densitas, dan
tekstur. Pertama, difraksi sinar X ditembakkan pada sampel sehingga akan dihasilkan
puncak difraksi. Kemudian harga 2θ dan intensitas dibandingkan dengan data teoritis untuk
mengetahui jenis senyawa yang terkandung dalam sampel. Harga intensitas yang
didapatkan secara eksperimen biasanya berbeda dengan harga intensitas yang didapatkan
dari eksperimen lainnya.
Pada proses diatas, sinar X dihasilkan dari katoda tungsten yang ditembakkan electron –
electron. Karena proses ini, terjadi eksitasi electron yang menimbulkan munculnya sinar X.
sinar X kemudian diarahkan ke monokromator supaya menghasilkan Panjang gelombang
yang sama. Sinar yang Panjang gemlombangnya (λ) telah disamakan itu kemudian
diarahkan ke specimen. Pada tahap ini , tidak terjadi interferensi. Interferensi terjadi setelah
sinar X dipantulkan oleh atom yang dituju. Hal ini yang menyebabkan adnaya intensitas
yang signifikan paad sudut tertentu. Itulah yang disebut peak.
Berkas electron terjadi ketika electron terdeviasi dari arah datangmya. Hal ini terjadi akibat
gaya elektrostatis ketika berinteraksi atau ketika dipengaruhi oleh medan magnet eksternal,
electron dapat terdefleksi oleh gaya Lorentz. Difraksi electron ini biasanya terjadi pada material
solid seperti logam, semikonduktor dan insulator, dan merupakan factor pembatas pada
transistor. Electron dapat terdifraksi dengan berbagai cara, seperti:
Compton Scattering adalah suatu proses dimana partikel foton dengan partikel elektron
terpantul satu sama lain, tidak masalah bila kita menafsirkan partikel- partikel tersebut
sebagai foton virtual dan elektron virtual, kita bisa mengatakan bahwa elektron
memancarkan foton, kemudian menyebarkan foton yang masuk dan foton yang datang
yang diproduksi dari penghancuran elektron – positron untuk membentuk foton keluar.
[ CITATION Com23 \l 1033 ]
3. Moller scaterring
Dalam quan electrodynamics, terdapat tiga level diagram Feynman yang menjelaskan
proses: T-channel diagram dimana electron bertukar foton dan diagram U-channel
yang serupa. Crossing symmetry adalah metode yang biasa digunakan untuk
mengevaluasi diagram feynman, dalam ini menyiratkan bahwa Moller Scattering
memiliki penampang yang sama dengan Bhabha Scattering.
Gambar 5 Moller Scattering
4. Bhabha scaterring
Pada kuantum elektrodinamik, Bhabha Scattering adalah proses electron – positron
scattering. Terdapat dua diagram Feynman yang berkontribusi pada fenomena ini
yaitu: annihilation process dan scattering process
5. Bremsstrahlung scattering
6. Deep inelastic scattering
7. Synchrotron emission
Selain menggunakan metode indeks Hannwalt, XRD dapat dihitung dengan menggunakan
software XPowder. XPowder dapat mengidentifikasi kristalin sneyawa, fungis ini dapat
digunakan jika kita memiliki database, kuantifikasi senyawa, mengukur ukuran kristal dan
regangan.
2.7. Scanning Electron Microscopy (SEM) dan Energy Dispersive X-Ray Spectroscopy
(EDS)
SEM yang dilengkapi dengan fasililtas EDS banyak digunakan untuk
mengkarakterisasi material (logam, keramik polimer dan komposit). SEM merupakan
perkembangan dari mikroskop optic sehingga dapat mencapai perbesaran maksimun
sampai 150000 kali. SEM banyak digunakan untuk aplikasi sebagai berikut:
1. Pemeriksaan struktur mikro specimen metalografi dengna magnifikasi
(perbesaran) yang jauh melebihi mikroskop optic biasa
2. Pemeriksaan permukaan patahan dan permukaan yang memiliki kedalaman
tertentu yang tidak mungkin diperiksa dengan mikroskop optic
3. Evaluasi orientasi kristal dari permukaan specimen metalografi, seperti:
butir individual, fasa presipitat dan dendrit (struktur khas dari proses
pengecoran logam)
4. Analisis unsut pada objek dalam range micrometer pad apermukaan bulk
specimen. Misalnya inklusi, dan fasa presipitat
5. Distribusi komposisi kimia pada permukan bulk specimen sampai harak
mendekati 1 mikrometer
Persyaratan specimen SEM untuk Lab. Metalurgi dan Teknik Material FTMD-ITB adalah
sebagai berikut:
a. Bentuk padat
b. Ukuran: umunya specimen sekitar 2-3 cm dengan tebal 0.5 cm
c. Persiapan: untuk material konduktif diperlukan persiapan mealografi standar seperti
sudah dipolish dan dietsa. Unutk non-konduktif harus di-coating terlebih dahulu dengan
karbom atau emas supaya terbentuk latisan tipis yang konduktif.
a. Electron source
Pada SEM sumber elektron pada instrument berasal dari electron gun yang dihasilkan
oleh emisi termionik atau medan listrik. Elektron ini kemudian ditembakkan ke sampel
dengan electron gun bertegangan antara 1-50kV. Filamen tungsten paling sering
digunakan pada katoda dan anoda berisi pelat yang diberi lubang untuk jalur elektron.
Terdapat juga elektroda ketiga (silinder Wehnelt) yang memiliki tegangan beberapa
ribu volt untuk membatasi arah dan area emisi dari filamen dan biasanya menggunakan
Lanthanum hexaboride (LaB6) untuk menghasilkan tingkat kecerahan yang lebih tinggi
sehingga dapat memperbaiki hasil resolusinya. Kolom dan electron gun yang digunakan
harus dikosongkan
sebelum digunakan untuk menghindari kerusakan pada sumber elektron dan high-
voltage breakdown pada tambakkan elektron Ruang vakum dibutuhkan untuk
meminimalisir hamburan elektron dari tembakkan ke permukaan sampel dimana pada
tungsten dibutuhkan vakum lebih baik dari 10-3 Pa. [ CITATION VVG04 \l 1033 ]
b. Sample holder
Sampel pada SEM diletakkan pada sebuah ruang yang memiliki dimensi besar karena
sampel pada SEM dapat memiliki variasi ukuran hingga besar. Sampel untuk SEM
memiliki beberapa hal yang harus diperhatikan seperti bersih, kering, dapat bekerja
dengan vakum dan konduktif secara elektrik. Spesimen yang bukan logam biasanya
menimbulkan masalah sehingga diberi lapisan logam tipis. Lemak,wol, emulsi, dan
kapas dapat mengganggu sampel, namun keberadaan mikroskop elektron pemindaian
lingkungan (ESEM) telah memperluas jangkauan sampel dan lingkungan sampel yang
dapat ditampung di ruang SEM. Sampel yang mudah menguap juga harus ditempatkan
di lingkungan yang terisolasi dari vakum sehingga mencegah rusaknya sampel sebelum
didapatkan data. [ CITATION Boo \l 1033 ]
c. Detector
Detektor yang seringkali digunakan pada SEM adalah Everhart-Thornley yang terdiri
dari scintillator yang menghasilkan foton. Foton ini kemudian dikonversi menjadi
sinyal elektrik melalui photomultiplier. Detektor Everhart-Thornley dapat digunakan
untuk mendeteksi SE dan BE akan tetapi untuk BE terdapat beberapa detector yang
lebih baik seperti large-area scintillator, detektor konversi BE-ke-SE, atau detektor
solid-state diode. Detektor pada SEM juga biasanya dilengkapi dengan EDS (silikon
atau germanium solidstate detector) sehingga dapat dihasilkan analisa kualitatif dan
kuantitatif terhadap unsur dengan nomor atom diatas 5 (Boron). Detektor tambahan
lainnya yang dapat ditambahkan adalah wavelength-dispersive spectrometer,
cathodoluminescence detector (photomultiplier), dan detektor akustik atau infrared.
Sedangkan, untuk arus yang diabsorpsi sampel akan bersifat sebagai detektor sehingga
tidak diperlukan detektor tambahan.[ CITATION VVG04 \l 1033 ]
Table 1 informasi dan detektor yang diperlukan untuk hasil interaksi pada SEM
Interaksi antara berkas electron primer dan sampel pada SEM menghasilkan berbagai
macam sinyal yang dapat digunakan untuk karakterisasi. Berikut merupakan sinyal hasil
interaksi pada SEM
a. Backscattered Electron (BE) : Hamburan yang bersifat elastis akan menyebabkan
beberapa elektron yang datang kembali keluar dari sampel dengan sudut yang besar dan
sedikit energi yang hilang (sekitar 60-80% energi dari elektron datang). Beberapa dari
elektron yang terpental keluar dari sampel tersebut kemudian dihitung menggunakan
backscattering coefficient (𝜂) dipengaruhi nomor atom dan sudut antara sinar yang
datang dan permukaan sampel. Karena dipengaruhi nomor atom pada hasil gambar akan
menimbulkan kontras yang berbeda pada bagian sampel yang memiliki komposisi
berbeda. Hubungan antara koefisien backscattering coefficient (𝜂) dengan nomor atom
(Z).
𝜂 = -0.025 + 0.026Z – 1.86×10-4Z2 + 8.3×10-7Z3
b. Secondary Electron (SE) : Elektron pada interaksi ini terjadi antara berkas elektron
dengan elektron konduksi yang memiliki ikatan yang lemah. Rasio antara SE dan
elektron yang datang disebut secondary electron yield (𝛿) yang sangat dipengaruhi
sudut datang dan permukaan sampel. SE seringkali digunakan untuk morfologi
permukaan dengan energi yang lebih rendah (3-50 eV) dibandingkan backscattered
electron (diatas 50 eV). SE yang masuk ke sampel disebut juga SE I sefangkan yang
meninggalkan sampel disebut SE II dan bergantung dengan backscattering yang terjadi
sehingga akan muncul juga kontras yang sesuai komposisi sampel.
c. Absorbed Current : Elektron yang mengalir dari sampel berpengaruh dengan
arus yang diserap dimana arus tersebut merupakan arus sinar datang dikurang arus yang
hilang akibat BE dan SE. Arus yang terabsorbsi ini kemudian menyebabkan perbedaan
warna kontras dimana semakin besar arus semakin gelap hasil gambar.
d. X-ray : Berkas electron yang dating mengeksitasi atom pada
kulit yang dalam sehingga atom pada kulit terluar aakn mengisi kekosongan tersebut
dan mengemisikan x-ray (fluorescence yield). Hasilnya berupa spektrum yang dapat
digunakan untuk mengetahui komposisi kimia.
e. Cathodoluminescen (CL) : Emisi radiasi gelombang panjang yang menghasilkan
rekombinasi pasangan elektron-hole yang dihasilkan hamburan elektron primer.
Penggunaan CL terbatas untuk mengetahui sifat konduktor pada material.
Resolusi pada SEM terbatasi oleh pixel yang ada pada layer sehingga perbesaran yang kita
pakai harus sama dengan besar pixelnya. Sehingga dalam pemakaian lebih dipilih
penggunaan celah kecil karena mengurangi probe current yang akan memperbesar rasio
sinyal terhadap gangguan. Sehingga untuk hasil yang baik dianjurkan untuk menggunakan
celah dan working distance yang tidak terlalu besar kecuali diinginkan hasil kedalaman
yang tinggi pada resolusi tinggi. Astigmatisme juga dapat terjadi pada lensa dimana terjadi
penyimpangan karena adanya perbedaan daya dari lensa dan bidang lensa yang tegak lurus
jalur optic. Pada SEM astigmatisme biasa muncul pad aperbesaran lebih dari 10.000 kali.
Atigmatisme ditandai dengan ketidakfokusan dari gambar yang didapat karena distorsi
asimetris dari lensa sehingga untuk menghilangkannya dapat dignakan stigmator yang ada
pada control SEM.
Sampel pada SEM harus dapat memantulkan electron atau melepas electron sekunder
sehingga untuk logam akan tampak jelas hasil yang didapatkan, namun jika bukan logam
aka nada surface charging efek. Surace charging dapat dicegah dengan lapisan film tipis
dari logam pada permukaan sampel untuk memantulkan berkas electron dengan metode
pelapisan evaporasi dan sputtering. Evaporasi ini logam dipanaskan sehingga perlahan
terbentuk film tipis yang ketebalannya dikontrol dengan mengatur lama evaporasi. Agar
efisien digunakan logam pelapis dengan titik lebur rendah, biasanya emas. Jika sputtering
seperti evaporasi tapi pada suhu rendah ditembak dengan ion gas berenergi tinggi yang
ditembakknan ke permukaan logam sehingga logam terpental keluar dan melapisi sampel.
Saat memakai SEM untuk non logam tidka boleh terlalu lama karena permukaan sampel
dapat menguap dan kembail menjadi isolator. [ CITATION VVG04 \l 1033 ]
Gambar 9 Surface Charging effect [ CITATION YLe08 \l 1033 ]
EDS seringkali menggunakan detektor Si(Li) yang terdiri dari silinder kecil silikon p-type
dan lithium. Foton x-ray yang kemudian dikumpulkan oleh detector dan menghasilkan
jumlah pasangan electron-hole dengan rata-rata energi foton sebesar 3.8 eV pada diode
Si(Li). Sebuah pre-amplifier digunakan untuk mengumpulkan muatan untuk memproduksi
electrival pulse dimana amplitude voltasenya proporsional terhadap energi foton x-ray.
Preamplifier serta diode Si(Li) ditaruh dalam sebuah kolom silinder (kryostat) sehingga
dapat beroperasi pada temperatur nitrogen dan mereduksi gangguan elektrik dan menaikkan
rasio sinyal-ke-noise. Beryllium pada EDS digunakan menjadi pengabsorbsi x-ray dan
menjadi lapisan tipis (sekitar 10𝜇m). Spektrum EDS memiliki range 0.1 hingga 10-20keV
dan dapat menunjukkan kandungan unsur pada sampel yang diuji secara praktis walaupun
radio sinyal terhadap gangguannya, resolusi, serta energinya lebih rendah disbanding WDS
sehingga lebih sering digunakan nutk analisis kualitatif.
EDS sangat disukai pada analisis kualitatif unsur – unsur yang terkandung. Namun, salin
itu EDS memiliki beberapa kekurangan dalam metode pengambilan data dan hasilnya.
Kekurangan EDS adalah menghasilkan puncah atau peak yang tumpeng tindih antar elemen
berbeda karena perbedaan kulit dari emisi electron yang mengisi kekosongan electron
sehingga rasioi signal – to – noise nya terbilang rendah dan hasilnya tidak seakurat itu.
Resolusi dan energinya juga lebih rendan disbanding EDS dan karakterisasinya hanya dapat
menentukan unsur dengan nomor atom diatas O (Oksigen). Emisi pada EDS juga tidka
dapat menggunakan X-Ray tube biasa karena detekrornya memiliki counting rate of
photons. [ CITATION YLe08 \l 1033 ]
DAFTAR PUSTAKA