1.1. Psikosis
a. Definisi
Psikosis adalah kelainan jiwa dengan penyebab arganik dan atau kejiwaan
yang ditandai oleh gangguan kepribadian dan kehilangan kontak dengan kenyataan.
Pada psikosis ini sering pula timbul waham, halusinasi ataupun ilusi.1
b. Klasifikasi
Sindrom psikosis dapat dibagi menjadi :
- Sindrom psikosis fungsional: Skizofrenia, Psikosis paranoid, Psikosis afektif,
Psikosis reaktif singkat, dll.
- Sindrom psikosis organik : Delirium, Dementia, Intoksikasi alkohol, dll.2
1
1.4. Obat Anti-psikosis
Obat-obat neuroleptika juga disebut tranquilizer mayor, obat anti psikotik atau
obat anti skizofren, karena terutama digunakan dalam pengobatan skizofrenia tetapi juga
efektif untuk psikotik lain, seperti keadaan manik atau delirium. Obat-obat anti psikotik
ini terbagi atas dua golongan besar, yaitu :
I. Obat anti psikotik tipikal
1. Phenothiazine
Rantai aliphatic : CHLORPROMAZINE
LEVOMEPROMAZINE
Rantai piperazine : PERPHENAZINE
TRIFLUOPERAZINE
FLUPHENAZINE
Rantai piperidine : THIORIDAZINE
2. Butyrophenone : HALOPERIDOL
3. diphenyl-butyl-piperidine : PIMOZIDE
II. obat anti psikotik atipikal
1. Benzamide : SULPIRIDE
2. Dibenzodiazepine CLOZAPINE
OLANZAPINE
QUETIAPINE
3. Benzisoxazole : RISPERIDON
2
Tabel 1.1. SEDIAAN ANTIPSIKOSIS dan DOSIS ANJURAN2
1.4.1. Farmakokinetik
Obat-obat anti psikotik dapat diserap pada pemberian peroral, dan dapat
memasuki sistem saraf pusat dan jaringan tubuh yang lain karena obat anti psikotik
adalah lipid-soluble. Kebanyakan obat-obatan antipsikotik bisa diserap tapi tidak
seluruhnya. Obat-obatan ini juga mengalami first-pass metabolism yang signifikan. Oleh
3
karena itu, dosis oral chlorpromazine and thioridazine mempunyai availability sistemik
25 – 35%. Haloperidol dimetabolisme lebih sedikit, dengan availability sistemik rata-rata
65%. Kebanyakan obat antipsikotik bergabung secara intensif dengan protein plasma (92
– 99%) sewaktu distribusi dalam dalam darah. Volume distribusi obat-obatan ini juga
besar, biasanya lebih dari 7L/kg.
Obat-obatan ini memerlukan metabolisme oleh hati sebelum eliminasi dan
mempunyai waktu paruh yang lama dalam plasma sehingga memungkinkan once-daily
dosing. Walaupun setengah metabolit tetap aktif, seperti 7-hydroxychloropromazine dan
reduced haloperidol, metabolit dianggap tidak penting dalam efek kerja obat tersebut.
Terdapat satu pengecualian, yaitu mesoridazine, yang merupakan metabolit utama
thioridazin, lebih poten dari senyawa induk dan merupakan kontributor utama efek obat
tersebut. Sediaan dalam bentuk parenteral untuk beberapa agen, seperti fluphenazine,
thioridazine dan haloperidol, bisa dipakai untuk terapi inisial yang cepat.
Sangat sedikit obat-obatan psikotik yang diekskresi tanpa perubahan. Obat-obatan
tersebut hampir dimetabolisme seluruhnya ke substansi yang lebih polar. Waktu paruh
eliminasi (ditentukan oleh clearance metabolic) bervariasi, bisa dari 10 sampai 24 jam.
4
Pemeriksaan dengan positron emission tomography (PET) menunjukkan bahwa
terjadi peningkatan reseptor dopamin pada pasien skizofrenia (baik yang
menjalani terapi ataupun tidak) bila dibandingkan dengan orang yang tidak
menderita skizofrenia.
Pada pasien skizofrenia yang terapinya berhasil, telah ditemukan perubahan
jumlah homovallinic acid (HVA) yang merupakan metabolit dopamin, pada cairan
serebrospinal, plasma, dan urin.
Telah ditemukan peningkatan densitas reseptor dopamin dalam region tertentu di
otak penderita skizofren yang tidak diobati. Pada pasien sindroma Tourette, tic
klinis lebih jelas jika jumlah reseptor D2 kaudatus meningkat.
Hipotesis dopamin untuk penyakit skizofren tidak sepenuhnya memuaskan karena obat-
obatan antipsikotik hanya sebagian yang efektif pada kebanyakan pasien dan obat-obatan
tertentu yang efektif mempunyai afinitas yang jauh lebih tinggi untuk reseptor-reseptor
selain reseptor D2.
5
3. Jalur dopamin mesokortikal
Jalur ini berproyeksi dari midbrain ventral tegmental area menuju korteks limbic.
Selain itu jalur ini juga berhubungan dengan jalur dopamine mesolimbik. Jalur ini
selain mempunyai peranan dalam memfasilitasi gejala positif dan negative psikosis,
juga berperan pada neuroleptic induced deficit syndrome yang mempunyai gejala
pada emosi dan sistem kognitif.
4. Jalur dopamin tuberoinfundibular
Jalur ini berasal dari hypothalamus dan berakhir pada hipofise bagian anterior. Jalur
ini bertanggung jawab untuk mengontrol sekresi prolaktin, sehingga kalau diblok
dapat terjadi galactorrhea.
6
Buirofenon merupakan obat pilihan untuk mengobati sindrom Gilles de la Tourette, suatu
kelainan neurologik yang ditandai dengan kejang otot hebat, menyeringai (grimacing)
dan explosive utterances of foul expletives (koprolalia, mengeluarkan kata-kata jorok).
Dibenzodiazepin bersifat atipikal, diantaranya klozapin efektif untuk mengontrol
gejala-gejala psikosis dan skizofrenia baik yang positif (iritabilitas) maupun yang negatif
(social disinterest, incompetence, dan personal neatness).
Pemberian antipsikosis sangat memudahkan perawatan pasien. Walaupun
antipsikosis sangat bermanfaat untuk mengatasi gejala psikosis akut, namun penggunaan
antipsikosis saja tidak cukup untuk merawat pasien psikotik. Perawatan, perlindungan
dan dukungan mental-spiritual terhadap pasien sangatlah penting.
7
1.4.5. Pengaturan Dosis
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan :
- Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2 – 4 minggu
Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2 – 6 jam
- Waktu paruh : 12 – 24 jam (pemberian obat 1-2 x perhari)
- Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak dari efek samping
(dosis pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu mengganggu kualitas
hidup pasien.
Pengobatan dimulai dengan dosis awal sesuai dengan dosis anjuran
dinaikkan setiap 2 – 3 hari
sampai mencapai dosis efektif (mulai timbul peredaan Sindrom Psikosis)
dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan
dosis optimal
dipertahankan sekitar 8 – 12 minggu (stabilisasi)
diturunkan setiap 2 minggu
dosis maintenance
dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi drug holiday 1- 2 hari/minggu
tappering off (dosis diturunkan tiap 2 – 4 minggu)
stop
Untuk pasien dengan serangan Sindrom Psikosis yang ”multi episode”, terapi
pemeliharaan (maintenance) diberikan paling sedikit selama 5 tahun. Pemberian yang
cukup lama ini dapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5 – 5 kali.
Efek antipsikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari setelah
dosis terakhir masih mempunyai efek klinis. Sehingga tidak langsung menimbulkan
kekambuhan setelah obat dihentikan, biasanya satu bulan kemudian baru gejala Sindrom
Psikosis kambuh kembali. Hal tersebut disebabkan metabolisme dan ekskresi obat sangat
lambat, metabolit-metabolit masih mempunyai keaktifan antipsikosis.
8
Pada umumnya pemberian antipsikosis sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan
sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali. Untuk ”Psikosis
Reaktif Singkat” penurunan obat secara bertahap setelah hilangnya gejala dalam kurun
waktu 2 minggu – 2 bulan.
Antipsikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat walaupun diberikan
dalam jangka waktu lama, sehingga potensi ketergantungan obat kecil sekali. Pada
penghentian yang mendadak dapat timbul gejala ”Cholinergic Rebound”, yaitu :
gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusing, gemetar, dll. Keadaan ini akan mereda
dengan pemberian ”anticholinergic agent” (injeksi Sulfas Atropin 0,25 mg (IM), tablet
Trihexyphenidyl 3 x 2 mg/h).
Oleh karena itu, pada penggunaan bersama antipsikosis + antiparkinson, bila
sudah tiba waktu penghentian obat, antipsikosis dihentikan lebih dahulu, kemudian baru
menyusul obat antiparkinson yang dihentikan.
Pada penggunaan parenteral, antipsikosis ”long-acting” (Fluphenazine Decanoate
25 mg/ml atau Haloperidol Decanoas 50 mg/ml, IM, untuk 2 – 4 minggu) sangat berguna
untuk pasien yang tidak mau atau sulit teratur makan obat ataupun yang tidak efektif
terhadap medikasi oral.
Sebaiknya sebelum penggunaan parenteral diberikan per oral dahulu beberapa
minggu untuk melihat apakah terdapat efek hipersensitivitas.
Dosis mulai dengan ½ ml setiap 2 minggu pada bulan pertama, kemudian baru
ditingkatkan menjadi 1 ml setiap bulan.
Pemberian antipsikosis ”long-acting” hanya untuk terapi stabilisasi dan
pemeliharaan (maintenance therapy) terhadap kasus Skizofrenia. 15-25% kasus
menunjukkan toleransi yang baik terhadap efek samping ekstrapiramidal.
Pemilihan antipsikosis dapat didasarkan atas struktur kimia serta efek farmakologi
yang menyertai. Mengingat perbedaan antargolongan antipsikosis lebih nyata daripada
perbedaan masing-masing obat dalam golongannya, maka cukup dipilih salah satu obat
dari satu golongan saja. Pedoman terbaik dalam memilih obat secara individual ialah
riwayat respon pasien terhadap obat.
9
Kecenderungan pengobatan saat ini ialah meninggalkan antipsikosis berpotensi
rendah misalnya CPZ dan tioridazin, kearah penggunaan obat berpotensi tinggi, misalnya
tiotiksen, haloperidol dan flufenazin.
Pedoman pemilihan antipsikosis adalah sebagai berikut :
1. Bila resiko tidak diketahui atau tidak ada komplikasi yang tidak diketahui
sebelumnya, maka pilihan jatuh pada fenotiazin berpotensi tinggi.
2. Bila kepatuhan penderita menggunakan obat tidak terjamin, maka pilihan jatuh
pada flufenazin oral dan kemudian tiap 2 minggu diberikan suntikan flufenazin
enantat atau dekanoat.
3. Bila penderita mempunyai riwayat penyakit kardiovaskular atau stroke, sehingga
hipotensi merupakan hal yang membahayakan, maka pilihan jatuh pada fenotiazin
piperazin, atau haloperidol.
4. Bila karena alasan usia atau faktor penyakit, terdapat resiko efek samping
ekstrapiramidal yang nyata, maka pilihan jatuh pada tioridazin.
5. Tioridazin tidak boleh digunakan apabila terdapat gangguan ejakulasi.
6. Bila efek sedasi berat perlu dihindari, maka pilihan jatuh pada haloperidol atau
fenotiazin piperazin.
7. Bila penderita memiliki kelainan hepar atau cenderung menderita ikterus,
haloperidol merupakan obat yang paling aman pada stadium awal pengobatan.
Apabila antipsikosis tertentu tidak memberikan respon klinis dalam dosis yang
sudah optimal setelah jangka waktu yang memadai, dapat diganti dengan antipsikosis lain
(sebaiknya dari golongan yang tidak sama), dengan dosis ekuivalennya, dimana profil
efek samping belum tentu sama.
Apabila dalam riwayat penggunaan antipsikosis sebelumnya, jenis antipsikosis
tertentu yang sudah terbukti efektif dan ditolerir dengan baik efek sampingnya, dapat
dipilih kembali untuk pemakaian sekarang.
10
a. Efek samping
Batas keamanan CPZ cukup lebar, sehingga obat ini cukup aman. Efek samping
umumnya merupakan perluasan efek farmakodinamiknya. Gejala idiosinkrasi
mungkin timbul, berupa ikterus, dermatitis dan leukopenia. Reaksi ini disertai
eosinofilia dalam darah perifer.
b. Efek endokrin
CPZ menghambat ovulasi dan menstruasi, juga menghambat sekresi ACTH. Hal
ini dikaitkan dengan efeknya terhadap hipotalamus.
2. BUTYROPHENONE
a. Efek samping dan intoksikasi
Menimbulkan reaksi ekstra pyramidal terutama pada pasien usia muda. Dapat
terjadi depresi akibat reversi keadaan mania atau sebagai efek samping. Leukopenia
11
dan agranulositosis ringan dapat terjadi. Haloperidol sebaiknya tidak diberikan pada
wanita hamil.
b. Susunan saraf pusat
Haloperidol menenangkan dan menyebabkan tidur pada orang yang mengalami
eksitasi, menurunkan ambang rangsang konvulsif, menghambat sistem dopamin dan
hypothalamus, juga menghambat muntah yang ditimbulkan oleh apomorfin.
c. Sistem saraf otonom
Dapat menyebabkan pandangan kabur. Obat ini menghambat aktifitas reseptor
yang disebabkan oleh amin simpatomimetik.
d. Sistem kardiovaskular dan respirasi
Menyebabkan hipotensi, takikardi, dan dapat menimbulkan potensiasi dengan
obat penghambat respirasi.
e. Efek endokrin
Menyebabkan galaktore
3. DIBENZODIAZEPIN
a. Efek samping dan intoksikasi
Agranulositosis merupakan efek samping utama pada pengobatan dengan
klozapin. Gejala ini timbul paling sering 6-18 minggu setelah pemberian obat, dengan
resiko 1,2% pada penggunaan setelah 4 minggu. Penggunaan obat ini tidak boleh lebih
dari 6 minggu kecuali bila terlihat ada perbaikan. Dapat pula terjadi hipertermia,
takikardia, sedasi, pusing kepala, hipersalivasi, kantuk, letargi, koma, disorientasi,
delirium, depresi pernapasan, aritmia dan kejang.
12
2. Senyawa piperidil :
Mepazin ++ ++ +++ ++
Tioridazin + + ++ ++
3. Senyawa piperazin :
Asetofenazin ++ ++ + +
Karfenazin +++ +++ ++ ++
Flufenazin +++ +++ ++ +
Perfenazin +++ +++ + +
Proklorperazin +++ +++ ++ +
Trifluoperazin tiopropazat +++ +++ ++ +
B. NON-FENOTIAZIN
Klorprotiksen ++ ++ +++ ++
C. BUTYROPHENONE
Haloperidol +++ +++ + +
13
yang dating bertahun-
terlambat) tahun
pengobatan
Diskinesia tardif Diskinesia mulut- Setelah Diduga : Sulit dicegah,
wajah; berbulan- kelebihan efek pengobatan tidak
koreoatetosis bulan atau dopamin memuaskan
atau distonia bertahun-
meluas tahun
(memburuk
dengan
penghentian)
BAB II
14
OBAT ANTI DEPRESI
2.1 Depresi
Depresi adalah sindrom psikiatri yang terdiri atas perasaan murung, kemunduran
psikomotor, sukar tidur, dan penurunan berat badan, kadang-kadang disertai perasaan
bersalah dan kebingungan somatik dalam keseimbangan khayalan.1
Pembagian depresi di Indonesia sesuai dengan PPDGJ III (Pedoman
Penggolongan dan Diagnosa Gangguan Jiwa) tahun 1993, antara lain depresi dibagi
menjadi episode depresif (F32) dan gangguan depresif berulang (F33). Tetapi, sistem
klasifikasi yang digunakan dalam makalah ini menggunakan pendekatan farmakologis
untuk memudahkan pembahasan obat-obat antidepresan (tabel 2.1), yaitu :
1. Depresi reaktif atau sekunder
Merupakan bantuk depresi yang paling sering. Depresi ini terjadi akibat adanya
stimulus berupa kesedihan, penyakit, dan lain-lain.
2. Depresi endogen
Gangguan biokimia yang terjadi secara genetik, manifestasi kelainan ini berupa
ketidakmampuan untuk mengekspresikan kesenangan dan ketidakmampuan
dalam menghadapi masalah-masalah hidup.
3. Depresi yang behubungan dengan gangguan bipolar (manic-depressive)
Obat-obatan yang akan dibahas dalam makalah ini digunakan terutama untuk penanganan
depresi endogen.
15
Pada awal tahun 1950, ditemukan bahwa reserpin, yang digunakan sebagai obat
antihipertensi, dapat menginduksi terjadinya depresi. Hal ini disebabkan karena reserpin
menginhibisi penyimpanan neurotransmiter amin (seperti serotonin dan norepinefrin) di
dalam vesikel neuron presinaps. Oleh karena penemuan ini muncullah hipotesis biogenik
monoamin. Hipotesis ini menyatakan bahwa depresi disebabkan karena kurangnya
monoamin, terutama norepinefrin dan serotonin. Namun hipotesa ini masih memiliki
beberapa kekurangan, diantaranya adalah hipotesa ini tidak dapat menjelaskan efek yang
lama dari obat-obatan yang dengan cepat meningkatkan kadar neurotransmiter amin pada
celah sinaps.
16
2.4.1.1. Antidepresan Trisiklik (TCA)
Prototipe dari golongan ini adalah imipramin dan amitriptilin, obat lainnya adalah
doxepin, desipramin, nortriptilin, protriptilin, klomipramin dan trimipramin. Obat
golongan ini bekerja dengan cara menginhibisi ambilan kembali norepinefrin dan
serotonin, dan juga α-adrenergik, histamin dan muskarinik (Gambar 1). Dengan
menghambat ambilan kembali norepinefrin dan serotonin, TCA akan meningkatkan
konsentrasi monoamin dalam celah sinaptik. Penghambatan ambilan neurotransmiter
terjadi segera setelah pemberian TCA, tetapi efek antidepresan TCA baru akan timbul
setelah pengobatan terus menerus. Diperkirakan densitas reseptor monoamin dalam otak
dapat berubah setelah 2-4 minggu penggunaan obat dan mungkin penting dalam mulai
kerja obat.
Sebagian besar golongan ini secara tidak lengkap diabsorbsi dan mengalami
metabolisme lintas pertama. Obat ini memiliki ikatan protein yang tinggi dan kelarutan
dalam lemak yang tinggi sehingga memiliki volume distribusi yang besar. Metabolisme
dilakukan oleh sistem mikrosomal hari dan dikeluarkan sebagai metabolit nonaktif
melalui ginjal.
17
per oral dan konsentrasi plasma yang mantap tercapai setelah beberapa minggu
pengobatan. Fluoksetin merupakan inhibitor kuat untuk isoenzim P450 hepar.
18
Efek Samping yang tidak berat (tergantung daya toleransi dari penderita), biasanya
berkurang setelah 2-3 minggu bila tetap diberikan pada dosis yang sama.
Pada keadaan Overdosis/ Intoksikasi Trisiklik dapat timbul: “Atropine Toxic
Syndrome” dengan gejala : eksitasi SSP, hipertensi, hiperpireksia, konvulsi, toxic
confusional state(confusion, delirium, disorientation )
Tindakan untuk keadaan tersebut:
Gastric lavage (hemodialisis tidak bermanfaat karena obat Trisklik bersifat
“protein binding”, forced diuresis juga tidak bermanfaat oleh karena “renal
excretion of free drug” rendah)
Diazepam 10 mg (im) untuk mengatasi konvulsi
Prostigmine 0,5-1,0 mg (im) untuk mengatasi efek anti kolinergik (dapat
diulangi setiap 30’- 45’ sampai gejala mereda)
Monitoring EKG untuk deteksi kelainan jantung.
Kematian dapat terjadi oleh karena ”Cardiac Arrest”. ”Lethal Dose” Trisiklik
= sekitar 10x ”theurapetic dose’ maka itu tidak memberikan obat dalam
jumlah besar kepada penderita depresi (tidak lebih dari dosis seminggu)
dimana pasien sudah ada pikiran untuk bunuh diri. Obat anti depresi
golongan SSRI relatif lebih aman pad overdosis.
2.4.3. Interaksi Obat
Trisklik+ Haloperidol/Phenotiazine = mengurangi eksresi dari Trisiklik( kadar
dalam plasma meningkat). Terjadi potensiasi efek antikolinergik(ileus
paralitik, disuria, gangguan absorbsi).
SSRI/TCA+MAOI= Serotonin Malignant Syndrome dengan gejala-gejala:
gastrointestinal distress(mula, muntah,diare), agitasi(mudah marah, ganas),
restlessness(gelisah).
MAOI + “sympathomimetic drugs” (phenypropanolamine, pseudoephedrine
pada obat flu/ asma, noradrenaline pada anastesi lokal,derivat amfetamine, L-
dopa) + efek potensiasi yang dapat menjurus ke Krisis Hipertensi (acute
paroxysmal hypertension), dimana ada resiko terjadinya serangan stroke.
19
MAOI+ Senyawaan mengandung “tyramine”(keju, anggur) = dapat terjadi
krisis Hipertensi(“Hypertensive Crisis”) dengan resiko serangan stroke pada
usia lanjut.
Obat anti depresi + CNS Depressant (morphine,benzodiazepine,alcohol) =
potensiasi efek sedasi dan penekanan terhadap pusat nafas, resiko timbulnya
“respiratory failure”.
Pemilihan jenis obat anti depresi tergantung pada toleransi pasien terhadap
efek samping dan penyesuaian efek samping terhadap kondisi pasien (usia,
penyakit fisik tertentu, jenis depresi)
Misalnya:
20
Trisiklik (Amitriptyline, Imipramine) → efek samping sedatif, otonomik,
kardiologik lebih besar→ diberikan pada pasien muda (young healthy)
yang lebih besar toleransi terhadap efek samping tersebut dan bermanfaat
untuk meredakan ‘agitated depression’.
Tetrasiklik (Maprotiline, Mianserin) dan Atipikal (Tazodone, Mirtazapine)
→ efek samping otonomik, kardiologik relatif lebih kecil, efek sedasi
lebih kuat → diberikan pada pasien yang kondisinya kurang tahan
terhadap efek otonomik dan kardiologik(usia lanjut) dan sindrom depresi
dengna gejala anxietasdari insomnia yang menonjol.
SSRI (Fluoxetine, Setraline) → efek sedasi, otonomik,hipotensi sangat
minimal→ untuk pasien ‘retarded depression’ pada usia dewasa dan usia
lanjut, atau yang dengan gangguan jantung, berat badan lebih, dan
keadaan lain dimana manfaat efek samping yang minimal tersebut.
MAOI-Reversible (Meclobemide) → efek samping hipotensi ortostatik
(relatif sering) → pasien usia lanjut mendadak bangunmalam hari ingin
miksi→ resiko jatuh dan dan trauma lebih besar. Perubahan posis tubuh
dianjurkan tidak mendadak, dengan tenggang waktu dan gradual.
Mengingat profil efek sampingnya, untuk penggunaan pada Sindrom
Depresi ringan dan Sedang yang datang berobat jalan pada fasilitas
kesehatan, pemilihan obat anti depresi sebaiknya mengikuti urutan(step
core)
o Step 1 = Gol SSRI (Fluoxetine, Sertraline)
o Step 2 = Gol Trisiklik (Amitriptyline)
o Step 3 = Gol Tetrasiklik (Maprotiline)
Gol ‘atypical’ (Trazodone)
Gol MAOI Reversible (Moclobemide)
Pertama-tama gunakan golongan SSRI yang efek sampingnya sangat
minimal, spectrum anti depresi luas, gejala putus obat minimal, dan lethal
dose yang tinggi (>6000mg) sehingga relatif aman.
21
Bila telah diberikan dosis yang adekuat dalam jangkawaktu yang cukup
(sekitar 3 bulan)tidak efektif, dapat beralih ke golongan kedua, golongan
Trisiklik, yang spectrumnya luas namun efek sampingnya lebih berat.
Bila pilihan kedua belum berhasil, dapat beralih ketiga dengan spectrum
anti depresi yang lebih sempit dan juga efek samping lebih ringan
dibanding Trisiklik, yang terringan yaitu golongan MAOI Reversible.
Disamping itu juga dipertimbangkan bahwa pergantian SSRI ke MAOI
membutuhkan waktu 2-4 minggu istirahat untuk ‘wash out period’ guna
mencegah timbulnya ‘Serotonin Malignant Syndrome’.
Lithium digunakan pada ‘Unipolar Recurrent Depression’ yaituuntuk
mencegah kekambuhan sebagai ‘Mood stabilizers’ dibutuhkan kadar
serum lithium 0,4-0,8 mEq/L.
Untuk efek Mania, kadar serum lithium 0,8-1,2 mEq/L (kadar teraupetik).
Kadar toksik adalah >1,5 mEq/L.
Rentang kadar serum terapeutik dan toksis sempit sehingga membutuhkan
monitoring kadar serum lithium untuk deteksi dini intoksikasi.
Dosis obat Lithium sekitar 250-500 mg/h untuk mencapai kadar serum
Lithium profilaksis.
22
Misal: dosis Amitriptyline 150 mg/h=hari 7 s/d 14 hari (Minggu II)
Minggu III:200mg/h→Minggu IV:300mg/h
3. Stabilizing Dosage(stabilization dose) →dosis optimal dipertahankan
selama 2-3 bulan.
4. Maintaining Dosage(maintenance dose) →selama 3-6 bulan. Biasanya
dosis pemeliharaan =1/2 dosis optimal
5. Tapering Dosage(tapering dose) selama 1 bulan. Kebalikan pada proses
‘Initiating dosage’.
Dengan demikian obat anti depresi dapat diberhentikan total. Kalau Sindrom
Depresi kambuh lagi, proses dimulai dari awal dan seterusnya.
Pada dosis pemeliharaan dianjurkan dosis tunggal pada malam hari (single
dose one hour before sleep) untuk golongan Trisiklik dan Tetrasiklik. Untuk
golongan SSRI diberikan dosis tunggal pada pagi hari setelah sarapan pagi.
23
Wanita hamil dan menyusui tidak dianjurkan menggunakan TCA, resiko
teratogenik besar (khususnya trimester 1) dan TCA dieksresi melalui ASI.
BAB III
OBAT ANTI ANXIETAS
3.1. Anxietas
a. Definisi
24
Anxietas (anxiety) adalah kegelisahan jiwa, kecemasan, perasaan
keprihatinan, ketidakpastian, dan ketakutan, tanpa stimulus yang jelas, dan
dikaitkan dengan perubahan fisiologis.1
b. Klasifikasi
Sindrom anxietas terbagi menjadi :
-
Sindrom Anxietas Psikik : Gangguan anxietas umum, Gangguan panik, Gangguan
fobik, Gangguan obsesif kompulsif, Gangguan stress pasca trauma.
-
Sindrom Anxietas Organik : Hyperthyroid, Pheochromocytosis, dll.
-
Sindrom Anxietas Situasional : Gangguan penyesuaian + anxietas, Gangguan
cemas perpisahan.
-
Sindrom Anxietas Penyerta : Gangguan jiwa + anxietas (misal: skizofrenia),
Gangguan paranoid, dll, atau Penyakit fisik + anxietas (misal: stroke, MCI,
kanker, dll).2
25
5. Nafas pendek/ terasa berat
6. Jantung berdebar-debar
7. Telapak tangan basah-dingin
8. Mulut kering
9. Kepala pusing / rasa melayang
10. Mual, mencret, perut tidak enak
11. Muka panas/ badan menggigil
12. Buang air kecil lebih sering
13. Sukar menelan / rasa tersumbat
c. Kewaspadaan berlebihan dan penangkapan berkurang :
14. Perasaan jadi peka/ mudah ngilu
15. Mudah terkejut/ kaget
16. Sulit konsentrasi
17. Sukar tidur
18. Mudah tersinggung
Hendaya dalam fungsi kehidupan sehari-hari bermanifestasi dalam gejala :
penurunan kemampuan bekerja, hubungan sosial dan melakukan pekerjaan rutin.2
26
RectalTube 5mg/2,5cc
10mg/2,5cc
VALISANBE Tab 2-5mg
VALIUM Tab 2-5 mg
Ampul 10 mg/2cc
2 Chlordiazepoxide CETABRIUM Drg 5-10mg 15-30mg/hari
TENSINYL Cap 5mg 2-3x sehari
3 Lorazepam ATIVAN Tab 0,5-1-2mg 2-3x1mg/h
REBAQUIL Tab 1mg
MERLOPAM Tab 0,5-2mg
4 Clobazam FRISIUM Tab 10mg 2-3x10mg/h
CLOBAZAM-DM Tab 10mg
5 Bromazepam LEXOTAN Tab 1,5-3-6 mg 3x1,5mg/h
6 Aprazolam XANAX Tab 0,25-0,5-1mg 3x0,25-0,5mg/h
ALGANAX Tab 0,25-0,5-1mg
CALMLET Tab 0,25-0,5-1mg
FEPRAX Tab 0,25-0,5-1mg
FRIXITAS Tab 0,25-0,5-1mg
ALVIZ Tab 0,25-0,5-1mg
ZYPRAX Tab 0,25-0,5-1mg
7 Sulpiride DOGMATIL Cap 50mg 100-200mg/h
8 Busiprone BUSPAR Tab 10mg 15-30mg/h
TRAN-Q Tab 10mg
XIETY Tab 10mg
9 Hydroxyzine ITERAX Caplet 25mg 3x25mg/h
Mekanisme Kerja
3.4.3.1. Benzodiazepine
Obat anti anxietas Benzodiazepine bereaksi dengan reseptornya (Benzodiazepine
Receptors) akan me-reinforce ”the inhibitory action of GABA-ergic neuron”, sehingga
hiperaktivitas tersebut diatas mereda.2
27
3.4.3.2. Non-Benzodiazepine
a. Buspirone
Buspirone bekerja melalui mediasi reseptor serotonin (5-HT1A), meskipun
reseptor lain mungkin juga terlibat karena buspirone menunjukkan afinitas untuk reseptor
dopamin DA2 dan reseptor serotonin 5-HT2. Cara kerja buspirone bukan sebagai
antikonvulsan atau pelemas otot seperti benzodiazepine.
b. Hidrokxyzine
Hidroxyzine merupakan antihistamin dengan aktivitas antiemetik. Tendensi
habituasi rendah, berguna untuk pasien ansietas dengan riwayat penyalahgunaan obat,
juga dapat untuk sedasi preoperatif.8
28
Rebound Phenomena (iritabel, bingung, gelisah, insomnia, tremor, palpitasi,
keringat dingin, konvulsi, dll) terjadi akibat penghentian obat secara
mendadak.
Catatan : Untuk Benzodiazepine dengan waktu paruh pendek, gejala putus obat
terjadi lebih cepat dengan manifestasi lebih hebat dibandingkan dengan obat-obat
anti anxietas golongan benzodiazepin lainnya yang memiliki waktu paruh
panjang.2
29
-
Nitrazepam / Flurazepam : dosis anti anxietas dan anti insomnia
berdekatan (non-dose related), lebih efektif sebagai anti insomnia.
-
Midazolam : onset cepat dan kerja singkat, sesuai kebutuhan untuk
premedikasi tindakan operatif.
-
Bromazepam, Lorazepam, Clobazam : dosis anti anxietas dan anti
insomnia berjauhan (dose-related), lebih efektif sebagai anti-
anxietas.
Beberapa spesifikasi :
-
Clobazam = 1,5 benzodiazepine = ”psychomotor performance”
paling kurang terpengaruh, untuk pasien dewasa dan usia lanjut
yang ingin lebih aktif.
-
Lorazepam = Benzodiazepine dengan waktu paruh pendek & tidak
mengalami akumulasi obat yang signifikan pada dosis klinik untuk
pasien-pasien dengan kelainan fungsi hati atau ginjal.
-
Alprazolam = paling luas digunakan. efektif untuk anxietas
antisipatorik, ”onset of action” lebih cepat dan mempunyai
komponen efek antidepresi.
-
Sulpiride-50 = efektif untuk meredakan gejala somatik dan sindrom
anxietas dan paling kecil resiko ketergantungan obatnya.2
30
dipertahankan) setiap 2-4 minggu dosis minimal yang masih efektif
(maintenance dose) bila kambuh dinaikkan lagi dan bila tetap efektif
pertahankan 4-8 minggu tapering off.2
31
Pemberian benzodiazepine saat persalinan (khususnya dosis tinggi) harus
dihindarkan oleh karena dapat menyebabkan hypotonia, penekanan
pernafasan, dan hipotermia pada anak yang dilahirkan.
Pada penderita usia lanjut dan anak dapat terjadi reaksi yang berlawanan
(paradoxical reaction), berupa : kegelisahan, iritabilitas, disinhibisi, spatisitas
otot meningkat, dan gangguan tidur.2
32