Anda di halaman 1dari 4

Nama : Citra Hardyanti Ranteallo

Kelas : 5C

Tugas Mata kuliah Manajemen Risiko

“Mengidentifikasi Risiko pada Industri Makananan (Ayam Geprek)”

1. Latar Belakang
Dewasa ini pertumbuhan bisnis kuliner meningkat dengan pesat. Hal ini
dibuktikan melalui fakta-fakta dari badan resmi, yaitu pada tahun 2013 lalu, nilai tambah
industri kuliner mencapai Rp 208,63 trilliun. Jumlah tersebut menyumbang 32,5%
terhadap total PDB sektor ekonomi kreatif yang sebesar Rp 641,8 triliun.
(http://www.tribunnews.com). Fakta lainnya, menurut data yang diperoleh dari
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia,
perkembangan nilai investasi usaha kecil menurut sektor ekonomi pada sektor
perdagangan, hotel dan restoran mengalami peningkatan 3% dari 130,9 miliar rupiah
pada tahun 2010 menjadi 134,8 miliar rupiah pada tahun 2011
(http://www.depkop.go.id). Selain itu, berdasarkan data yang dihimpun dari Kementrian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dalam Rencana Pengembangan Kuliner Nasional 2015-
2019, bisnis kuliner memberikan kontribusi sebesar 42,41% terhadap total konsumsi
rumah tangga industri kreatif pada tahun 2013. Dari data statistik yang diperoleh penulis,
hal ini membuktikan bahwa bisnis kuliner memiliki peluang sukses yang besar. Kuliner
merupakan kegiatan persiapan, pengolahan, penyajian produk makanan, dan minuman
yang menjadikan unsur kreativitas, estetika, tradisi, dan/atau kearifan lokal; sebagai
Ancaman terpenting dalam meningkatkan cita rasa dan nilai produk tersebut, untuk
menarik daya beli dan memberikan pengalaman bagi konsumen (Focus Group Discussion
subsektor kuliner, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi, 2014). Sesuai dengan KBLI
ruang lingkup subsektor kuliner yaitu restoran, warung makan, kedai makanan,
penyediaan makanan keliling atau tempat tidak tetap, jasa boga untuk suatu event
tertentu, penyediaan makanan lainnya, bar, kelab malam atau diskotik yang utamanya
menyediakan minuman, rumah minum atau kafe, kedai minuman, rumah atau kedai obat
tradisional, penyediaan minuman keliling atau tempat tidak tetap. Penulis memilih
industri restoran dengan kode 56101 sebagai industri dalam penelitian ini. Menurut
KLBI, restoran sendiri memiliki definisi yaitu kelompok ini mencakup jenis usaha jasa
pangan yang bertempat di sebagian atau seluruh bangunan permanen yang menjual dan
menyajikan makanan dan minuman untuk umum di tempat usahanya, baik dilengkapi
dengan peralatan/perlengkapan untuk proses pembuatan dan penyimpanan maupun tidak
dan telah mendapatkan surat keputusan sebagai restoran/rumah makan dari instansi yang
membinanya.
Ayam geprek merupakan salah satu inovasi yang berasal dari ayam goreng
tepung yang dicampur dengan cabai dan rempah lainnya dengan cara digeprek.
Rumah makan ayam geprek mulai menjadi favorit warga Yogyakarta khususnya
pelajar dan mahasiswa karena kebanyakan memiliki harga yang terjangkau. Ketatnya
persaingan antar rumah makan ayam geprek membuat pihak ayam geprek harus
pandai menawarkan keunggulan produknya masing-masing. Bidang bisnis kuliner
tergolong banyak diminati apalagi jika ada produk baru sehingga banyak masyarakat
yang memulai usaha dengan melirik tren kuliner yang sedang diminati oleh
masyarakat pada saat itu karena dianggap sebagai peluang usaha. Salah satu yang
memanfaatkan peluang usaha tersebut adalah Ayam Geprek Mbok Moro (AGMM),
rumah makan tersebut berdiri tahun 2013 dengan menghadirkan konsep ayam geprek
yang memiliki inovasi menu yang berbeda dari ayam geprek lainnya. Selain ayam
geprek original, Ayam Geprek Mbok Moro menciptakan inovasi ayam geprek
dengan tambahan bumbu rendang, saus tiram, saus barbeque, saus lada hitam dan
lain-lain. Salah satu cabang Ayam Geprek Mbok Moro berada di Kampung Terban,
Jalan C. Simanjuntak, Yogyakarta.

1. Permasalahan

Berdasarkan data Kementerian Perindustrian yang diperoleh Bisnis, Rabu (12/3), ada
7 permasalahan pokok yang dihadapi oleh industri makanan dan minuman. Ketujuh
permasalahan tersebut adalah:

Pertama,  Ketersediaan bahan baku hasil pertanian lebih difokuskan untuk


pemenuhan kebutuhan pangan langsung, sementara kebutuhan bahan baku hasil
pertanian untuk industri belum mampu dipenuhi dari hasil produksi pertanian dalam
negeri.

Kedua,  Volume pasokan bahan baku hasil pertanian dalam negeri yang terbatas,
diperparah dengan kondisi mutu yang tidak seragam dan jaminan pengiriman yang
tidak menentu serta harga yang lebih mahal.

Ketiga, Belum berkembangnya industri pascapanen untuk memasok kebutuhan bahan


baku industri hilir makanan dan minuman.

Keempat, Higienitas perorangan dan sanitasi pengolahan baik untuk industri makanan
dan minuman skala menengah dan besar maupun skala rumah tangga.

Kelima,  Masih terdapat industri makanan dan minuman yang menjual tanpa izin
edar, makanan dan minuman yang rusak, makanan dan minuman yang kadaluwarsa,
dan menjual dengan label yang tidak masuk kriteria (TMK) keamanan pangan.

Keenam,  Dari sisi label, masih banyak industri makanan dan minuman baik skala
menengah dan besar maupun skala rumah tangga yang tidak mencantumkan kode
produksi, komposisi, tanggal kadaluwarsa, nama dan alamat produsen, klaim yang
menyesatkan, tidak mencantumkan logo/tulisan halal serta tidak menggunakan bahasa
indonesia.

Ketujuh,   Dari sisi iklan, masih banyak industri makanan dan minuman yang
melakukan pelanggaran berupa iklan terkait klaim gizi dan kesehatan (menjurus
kepada pengobatan), iklan dengan klaim yang menyesatkan, iklan dengan kalimat
yang berlebih-lebihan (superlatif), dan iklan yang mencantumkan logo yang tidak
berhubungan dengan nama produk.

2. Identifikasi risiko (input, proses, output)

No input No Proses No Output

1 Keterlambatan 5 Kesalahan 10 Produk tidak laku


datangnya bahan pemotongan ayam

2 Ayam yang tidak 6 Ayam yang digoreng 11 Produk tidak sesuai


segar hangus permintaan konsumen

3 Cabe mengalami 7 Nasi terlalu


kenaikan harga lembek/keras
(mentah)

4 Bahan pelengkap 8 Kebakaran saat proses


tidak sesuai penggorengan

9 Kesalahan dalam
mencampur bumbu

3. Matriks Risiko

Transfer avoidance
8
5
2
1 3
7
11
10 6
4
9

Residual mitigate

4. Kesimpulan
Dari matriks diatas dapat disimpulkan bahwa:
 keterlambatan datangnya bahan, ayam yang tidak segar,cabe yang mengalami
kenaikan harga dan kesalahan pemotongan ayam termasuk ke dalam kategori
transfer karena memiliki frekuensi yang kecil tetapi memiliki dampat yang besar
terhadap produk .
 Bahan pelengkap tidak sesuai,produk tidak laku, dan produk tidak sesuai
permintaan kosumen berada antara kategori transfer dan residual, maksudnya
yaitu hal tersebut terkadang memiliki frekuensi yang kecil dan memiliki dampak
yang besar tapi terkadang juga memiliki dampak frekuensi yang kecil dan
dampak yang kecil pula.
 Kebakaran saat penggorengan berada antara kategori transfer dan avoidance yaitu
memiliki frekuensi yang kecil tetapi memiliki dampak yang sangat besar.
 Kesalahan dalam mencampur bumbu berada pada kategori moderate yaitu
frekuensi yang besar tetapi memiliki dampak yang kecil.
 Ayam yang digoreng hangus dan nasi terlalu lembek/keras berada antara
kategori avoidance dan moderate yaitu memiliki frekuensi yang besar tetapi
terkadang memiliki dampak yang besar dan juga kecil.

Anda mungkin juga menyukai