Anda di halaman 1dari 15

MANAJEMEN BISNIS

KONSTRUKSI
Pertemuan ke-12

Sistem Sosial SDM Dalam Bisnis


Konstruksi

NUR DIYANTI SANTOSO - 25019036

1
PORTOFOLIO SESI 12
SISTEM SOSIAL SDM DALAM BISNIS KONSTRUKSI

Gambar 1. Model Sistem dari Organisasi Konstruksi

Kesuksesan bisnis konstruksi tidak hanya tergantung pada jumlah modal dan aset tetap perusahaan, tetapi
terletak pada sumber daya manusia (SDM) yang memiliki visi, misi, integeritas, dan profesionalisme bisnis
kontruksi itu sendiri. Dalam memegang kendali dan memenangkan suatu kompetisi bisnis konstruksi, manajer
proyek harus mempunyai suatu strategi bisnis dalam manajemen SDM yang digunakan untuk mendukung
pengembangan suatu bisnis konstruksi. Suatu konstruksi sangat bergantung kepada manusia, dimana manusia
akan menghasilkan suatu produk berupa bangunan pada dunia konstruksi. Sebagai bisnis jasa, konstruksi sangat
bergantung kepada SDM dimana konstruksi merupakan sektor yang bersifat labor intensive yang berarti pekerja
yang aktif terhadap suatu proyek. Sumber daya manusia harus dikelola dengan baik untuk menjaga produktivitas
konstruksi dan daya saing usaha. Pada tahun 2020 mentri PU menargetkan bahwa proyek konstruksi
menggunakan pendekatan manufaktur sehingga 30% material pada proyek konstruksi berupa precast.

Sistem dari organisasi konstruksi itu sendiri memliki input berupa pengendalian terhadap manpower yang
diproses dengan pengendalian produksi konstruksi sehingga menghasilkan suatu produk berupa bangunan
dengan reputasi yang baik.

1. Manajemen Tenaga Kerja (Manpower)


A. Perencanaan Sumber Daya Manusia

Perencanaan SDM merupakan proses manajemen dalam menentukan pergerakan SDM organisasi dari
posisi saat ini menuju posisi yang diinginkan di masa depan. Sedangkan strategi SDM adalah seperangkat
proses-proses dan aktivitas yang dilakukan bersama oleh manajer SDM dan manajer ini untuk
menyelesaikan masalah bisnis yang terkait dengan manusia (people business issue). Tujuan dari integrasi
sistem adalah untuk menciptakan proses prediksi demand SDM yang muncul dari perencanaan strategik
dan operasional secara kuantitatif, dibandingkan dengan prediksi ketersediaan yang berasal dari program-
program SDM. Oleh karena itu, perencanaan SDM harus disesuaikan dengan strategik tertentu agar tujuan
utama dalam memfasilitasi organisasi dapat dicapai.
Gambar 2. Model sistem Manajemen Tenaga Kerja

Suatu model sistem manajemen tenaga kerja dengan komponen input berupa tenaga kerja dengan proses
hasil dari perencanaan setiap personil dalam mengelola SDM sehingga menghasilkan output berupa
keseimbangan antara tenaga kerja dengan sasaran strategis.

Gambar 3. Strategi dan Perencanaan Tenaga Kerja

Melakukan strategi dan perencanaan tenaga kerja harus memiliki hubungan industrial yaitu hubungan
antara suatu perusahaan dengan tenaga kerja. Perbedaan strategi dari hubungan tersebut sebagai berikut:

Manpower planning strategy:


• Apa tujuan dan sasaran tenaga kerja
• Bagaimana fungsi perencanaan tenaga kerja mendukung bisnis kita
• Kapan sasaran tenaga kerja tercapai
• Bagaimana mencapai yang kita inginkan

Employment planning
• Berdasar tujuan perusahaan, bagaimana perkiraan kebutuhan tenaga kerja berbagai jenis
• Bagaimana ketersediaannya
• Bagaimana menutup selisih kebutuhan tersebut

Tenaga kerja memiliki Input berdasarkan jenis dari tenaga kerja itu sendiri. Oleh karena itu jenis tenaga
kerja menjadi dua jenis yaitu manajerial atau teknikal dan operasional. Kedua jenis tersebut memiliki
karakteristik yang berbeda.

Manajerial/Teknikal:

 Bagaimana komposisinya
 Perkembangan penggunaan di jasa konstruksi Indonesia (LPJK)
 Ketersediaan dan jenis2nya, sertifikasi
 Perkembangan teknologi dan metoda pengadaan konstruksi meningkatkan kebutuhan TK dg
kemampuan yang baik dari kelompok ini
Operasional
 Tidak banyak berubah dengan perkembangan teknologi
 Mandor, tukang trampil, TK tidak trampil
 Casual worker
Dalam melakukan perencanaan, tenaga kerja memiliki tujuan berupa kefektifan dalam melakukan
pekerjaan dan dilakukan secara efisien dengan proses pekerjaan yang benar. Sehingga menghasilkan
kepuasan dalam bekerja berupa produktivitas yang dilakukan secara maksimal, maka muncul lah suatu
moto bagi tenaga kerja yaitu produktivitas adalah hal utama. Perencanaan tenaga kerja dapat dilihat pada
gambar berikut

Gambar 4. Perencanaan Tenaga Kerja

Secara kuantitatif menentukan keutuhan tenaga kerja dapat dilakukan peramalan berdasarkan hubungan
antara turnover dengan demand yang di extrapolasi peningkatan turnover dengan kebutuhan sumber daya
manusia.

Gambar 5. Forecast Kebutuhan


Misal dalam data diatas diketahui bahwa pekerjaan yang dilakukan saat ini memiliki biaya turnover sebesar
100M dan akan direncanakan estimasi berikutnya sebesar 150M. Proyek yang sedang dikerjakan
mempunyai jumlah personil dengan posisi site manager sebanyak 20 orang, dengan anggaran sebesar 5M
per site manager. Dari informasi tersebut kita dapat mengetahui berapa orang site manager yang perlukan
untuk proyek yang berbeda. Sehingga pembagian dari nilai turnover dan turnover per site manager yang
lama. Maka didapatkan bahwa pembukan site manager di proyek selanjutnya sebanyak 30 orang.

Teknik ramalan (Forecast) ada berbagai macam cara yaitu dengan cara:

1. Analisis pasar, analisis ini dapat dilakukan berdasarkan data historis


2. Melakukan simulasi berdasarkan “what if dari analisis atau sekenario”
3. Analisis pembaharuan yang menggunakan aliran personel karena perubahan dalam organisasi dan
preferensi individu.
4. Penentuan target berupa persentasi misal dari karyawan baru, anggaran gaji, pertumubuhan dan
perkembangan perusahaan.

Meliputi persyaratan sumberdaya kegiatan untuk menetapkan kebutuhan sumberdaya manusia proyek.
Pada persyaratan awal sehubungan dengan orang orang dan kompetensi yang diperlukan untuk anggota
tim proyek adalah menggambarkan kembali sebagai bagian dari proses perencanaan sumberdaya manusia.

B. Rekruitmen dan Seleksi

Rekruitmen adalah suatu proses mencari, menemukan, dan menarik para pelamar atau tenaga kerja
baru untuk memenuhi kebutuhan SDM untuk dipekerjakan dalam suatu organisasi atau perusahaan.
Dalam hal perekrutan dan penyeleksian karyawan, manajer sumber daya manusia harus mencocokkan
keahlian pelamar dengan kebutuhan. Perusahaan mengakses baik sumber internal maupun eksternal
untuk mendapatkan kandidat yang andal dalam pekerjaan khusus. Kebijakan perekrutan dari dalam
organisasi menekankan pada sumber-sumber internal, sehingga jika ada lowongan baru perusahaan
akan mempertimbangkan karyawan- karyawannya terlebih dahulu. Salah satu metode perekrutan
dari luar yang paling efektif adalah referensi karyawan (employee referral), di mana perusahaan
meminta para karyawan untuk merekomendasikan pelamar yang berasal dari teman-teman mereka,
dan memberikan penghargaan berupa bonus atau hadiah setelah perusahaan berhasil merekrut
karyawan tambahan.

Gambar 6. Sumber Personil

Seleksi tenaga kerja adalah suatu proses menemukan tenaga kerja yang tepat dari sekian banyak
kandidat atau calon yang ada.
Tahapan Seleksi :
 Tahap awal yang perlu dilakukan adalah menerima dan mengecek berkas lamaran
 Melihat daftar riwayat hidup (curriculum vitae/cv) milik pelamar. Khususnya dengan
memperhatikan: pengalaman promosi (vertical/horisontal), tanggung jawab sesuai posisinya,
perubahan posisi mendadak (kemungjkinan masalah), mobilitas (jumlah penugasan dalam 10
tahun terkahir misalnya), alasan menginginkan pekerjaan baru.
 Dari CV pelamar dilakukan penyortiran antar pelamar yang akan dipanggil dengan yang gagal
memenuhi standar suatu pekerjaan.
 Memanggil kandidat terpilih untuk dilakukan ujian test tertulis, wawancara kerja/interview dan
proses seleksi lainnya.

Seleksi tenaga kerja merupakan suatu proses untuk memberi jabatan kepada para pelamar yang
tepat. Maksudnya adalah keadaan di mana terdapat kesesuaian antara kebutuhan jabatan
dengan kualifikasi calon pemegang jabatan. Penempatan pegawai berarti pelamar diputuskan
untuk memegang suatu jabatan dalam perusahaan yang didahului dengan proses orientasi, yaitu
mengenalkan tenaga kerja pada perusahaan. Pegawai baru diberikan penjelasan tentang
pekerjaannya, sejarah perusahaan, produksi perusahaan, hak dan kewajiban tenaga kerja,
kondisi pekerjaan, upah dan gaji personalia, tujuan orientasi ini adalah untuk menumbuhkan
perasaan bangga dan rasa bangga dan rasa memilki tenaga kerja terhadap perusahaan tersebut.

2. Sub-Sistem Sosial Dalam Organisasi Konstruksi


Beberapa faktor yang berpengaruh pada manajemen sumber daya manusia dalam organisasi. Faktor
tersebut adalah sebagai berikut:
 Apa tujuan dari organisasi (purpose)
o Bagaimana ukuran suatu organisasi
o Bagaimana Struktur organisasi tersebut
o Bagaimana peran teknologi dalam organisasi
o Bagaimana filosofi yang menjadikan dasar budaya organisasi
o Apa dampaknya terhadap pekerja dan pekerjaannya
o Bagaiman siklus hidup organisasi dan apa pengaruhnya terhadap MSDM
 Siapa yang melakukan manajemen sumber daya manusia:
o Fungsi yang mana saja dalam suatu organisasi?
o Atribut bagi manajer yg melakukan MSDM

3. Issue-issue dalam Manajemen Sumber Daya Manusia dalam Konstruksi


Hambatan dalam penerapan SDM di dunia bisnis konstruksi masih banyak dan sulit dibahas secara
mendetail. Pada intinya hambatan yang biasa terjadi yaitu: hambatan individual; tantangan
organisasi; dan lingkungan.
Tantangan individual meliputi: konfik kepentingan antara karyawan dan organisasi, penerapan etika
profesi/kerja, produktivitas, pemberdayaan dan penyaluran ide serta budaya kerja yang tidak baik.
Individu diharapkan mempunyai otonomi yang lebih luas dalam menjalankan tugas dan penerapan
aturan kerja yang jelas.
Tantangan organisasi meliputi: posisi kompetisi (biaya, mutu, kapabilitas), keluwesan organisasi,
downsizing, restrukturisasi organisasi, kerja tim, budaya institusi/organisasi, teknologi dan serikat
pekerja. Selain itu terjadi hambatan yang lebih luas karena pengaruh lingkungan, meliputi perubahan
yang cepat dalam berbagai hal, keragaman angkatan kerja, peraturan pemerintah, kerja dan peran
keluarga, serta kurangnya keterampilan dari calon tenaga kerja. Dengan demikian organisasi harus
mempunyai visi dan misi yang mampu beradaptasi dan mengakomodasi permasalahan yang timbul,
baik dari internal maupun eksternal organisasi pada masa yang berbeda

Dalam melakukan pengendalian terhadap manusia terkadang ada beberapa prilaku yang harus
diperhatikan. Perilaku itu muncul sebagai sifat alamiah dari manusia dimana perilaku itu dapat
diterangkan dengan beberapa teori. Semua pengendalian terhadap manusia apabila berdasarkan sifat
alamiah terlihat pada Gambar 7

Gambar 7. Model Sub-Sistem Sosial Dalam Organisasi Konstruksi

Dari Gambar 7 menunjukan bahwa manusia selama hidup pasti menempuh dunia pendidikan beserta
lingkungan yang memiliki budaya tertentu dimana budaya tersebut didapatkan dari asal daerah
manusia tersebut tinggal. Pendidikan merupakan hal penting bagi manusia, karena pendidikan dapat
mengasah kemampuan secara fungsi dari otak manusia didampingi oleh kemampuan beradaptasi
dengan lingkungan sekitar yang juga kita sebut kebudayaan. Kedua input tersebut pendidikan dan
budaya akan memberikan suatu proses dimana terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
output. Faktor tersebut berupa motivasi, pengelompokan, kepemimpinan, dan komunikasi. Faktor
tersebut sangat penting untuk dipamahi karena dari faktor tersebutlah manajemen manusia akan
memberikan kepuasan pada personil, memiliki personil yang searah dengan komitmen, grup yang
efektif dalam bekerja dan tak luput dari individu yang efektif. Faktor faktor yang menjadi proses
konversi memiliki pengaruh yang berbeda beda sehingga muncullah teori berdasarkan faktor tersebut.

4. Teori Motivasi
Motivasi sering, diartikan dengan istilah dorongan, yang berarti tenaga yang menggerakkan jiwa dan jasmani
untuk berbuat, sehingga motif merupakan “driving force” seseorang, untuk bertingkah laku dalam mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Setiap orang mempunyai motif diri yang tentu bisa berbeda antara orang yang
satu dengan yang lainnya. Secara sistem sosial maslow memiliki suatu teori kebutuhan dimana dalam
memutuskan tindakan atau perilaku seseorang terdapat pada hirarki kebutuhan dengan 3 macam asumsi dasar
teorinya, yaitu :

1. Manusia merupakan makhluk yang selalu membutuhkan sesuatu yaitu keinginan untuk memuaskan
berbagai tujuan. Kebutuhan yang tidak terpenuhi akan mempengartihi tingkah laku, akan tetapi
kebutuhan yang terpenuhi tidak akan memotivisir untuk bertingkah laku sesuai dengan kebutuhannya.
2. Kebutuhan seseorang diatur secara hertingkat dan atau berurutan dari yang paling
dasar sampai yang paling tinggi.
3. Kebutuhan seseorang bergerak dari tingkat yang paling bawah ke tingkat berikutnya setelah kebutuhan
tingkat yang paling hawah terpenuhi secara maksimal

Hirarki (tingkatan) kebutuhan seseorang yang akan menggerakkan tingkah lakunya dapat digambarkan seperti
berikut:

Gambar 8. Maslow’s Needs Hierarchy

Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan seseorang yang paling utama, karena kebutuhan ini merupakan
kebutuhan untuk hidup dan kehidupan, seperti kebutuhan akan makanan, minuman, pakaian dan tempat
tinggal. Selama kebutuhan ini belum terpenuhi, maka mereka akan terdorong bekerja keras untuk
memenuhinya.
Kebutuhan rasa aman akan menjadi pendorong berikutnya manakala kebutuhan fisiologis telah terpenuhi.
Kebutuhan rasa aman ini adalah kebutuhan berkaitan dengan keamanan secara ekonomi dan sosial, artinya
mereka memerlukan rasa aman terhadap ancaman kehilangan pekerjaan dan penghasilan. Bagi seseorang yang
kehilangan pekerjaan akan menanggung rasa aman ekonomi (penghasilan) dan rasa aman sosial
(pengangguran).
Setelah kebutuhan rasa aman tercapai, maka individu membutuhkan komunikasi dan interaksi kelompok dengan
pergaulan yang menyenangkan dan terciptanya rasa kerja sama yang baik. dengan demikian akan rasa hormat
menghormati dan rasa kasih sayang antar individu dapat tercipta.

Kebutuhan penghargaan, yaitu keinginan dan kebutuhan seseorang untuk mendapat penghargaan atas prestasi
kerja yang telah dicapainya. Mereka akan melaksanakan pekerjaan dengan baik walaupun pekerjaan tersebut
dirasa sulit, berat maupun penuh resiko, semata- mata hendak memperoleh penghargaan dari pimpinannya.
Kebutuhan aktualisasi diri, rnaksudnya adalah kebutuhan yang berkaitan dengan keinginan lebih, keinginan
maju maupun keinginan menjadi orang “ter”. Kebutuhan ini merupakan tingkatan terakhir dari hirarki
kebutuhan, dan memang kebutuhan ini menjadi pendorong yang kuat bagi mereka vang bekerja telah “mapan”
dalam arti semua kebutuhan yang lainnya sudah terpenuhi. Melihat berbagai kebutuhan yang menjadi tujuan
setiap individu, maka seorang pemimpin organisasi perusahaan harus berusaha mencari dan memenuhi
kebutuhan tersebut untuk dapat memacu mereka bekerja secara baik dan maksimal. Program-program yang
dapat dilaksanakan misalnya: pemberian upah dan kesejahteraan material, adanya aturan pensirm (tunjangan
hari tua), asuransi kesehatan/kecelakaan, pembentukan- pembentukan kelompok kerja, pertemuan-pertemuan
informal, pujian-pujian dan penghargaan-penghargaan maupun program-program peningkatan
pengetahtran/keterampilan dan lain sebagainya. Kesemuanya ini usaha dari kepemimpinan untuk mendorong
seseorang melakukan tindakan atau pekerjaan agar dapat terpenuhi segala tingkatan kebutuhannya, dengan
pengharapanpara bawahan akan bekerja secara baik dan berprestasi.

A. Teori X Dan Teori Y Mc Gregor

Teori ini dikembangkan berdasarkan penelitian psikologis, dengan konsepsi awalnya bahwa manusia
mempunyai sifat-sifat yang saling bertentangan yang ekstrim, misal pada diri seseorang akan bertingkah
laku lemah lembut, penyanyang, simpatik, penurut dan lainnya. Namun pada saat lain manusia juga dapat
bertingkah laku kasar, membenci, suka mengganggu dan lain sebagainya. Dari dua sisi sifat ini lalu
dikembangkan menjadi 2 teori yaitu teori x dan teori y.

Gambar 9. Douglas McGregor's Theory X and Theory Y

Penelitian yang dilakukan pada manajer-manajer “tradisional”, maka diperoleh hasil bahwa mereka para
manajer tradisional bekerja berdasarkan kerangka konsep yang merupakan titik ekstrim negatif dengan
kata lain mereka menggunakan teori x. Manajer yang menggunakan teori x memandang bawahan sebagai
memiliki ciri-ciri (sifat) sebagai berikut:
 pada umumnya mereka (orang) tidak suka bekerja, untuk itu sedapat mungkin mereka menghindari
pekerjaan.
 mereka (orang bawahan) tidak senang diarahkan
 mereka lebih senang menghindari tanggungjawab
 mereka tidak mempunyai ambisi
 mereka mempunyai sifat pasif

Untuk kesemuanya itu maka manajer harus melakukan tindakan dalam memanfaatkan bawahan dengan
perlakuan sebagai berikut:
 Mereka perlu dipaksa bekerja dengan berbagai peraturan ketat.
 Mereka perlu diperintah dan diancam.
 Mereka perlu diawasi secara ketat.
 Dan lain sebagainya yang membuat bawahan untuk dapat melakukan pekerjaan dan tanggung
jawabnya

Pada sisi lain Gregor mencoba meneliti lebih lanjut pada para manajer modern, yang diperoleh gambaran
bahwa mereka sudah melakukan pendekatan yang lain yang lebih positif yang merupakan kebalikan dari
pendekatan dengan teori x, yaitu mereka menggunakan teori y. Menurut teori v maka para manajer
memandang para bawahannya memiliki ciri-ciri (sifat) sehagai berikut:
 Mereka akan menghindari adanya “titre clocks”.
 Menghindari adanya peraturan dan pengawasan yang ketat.
 Mereka bekerja berdasarkan sasaran (manajemen objective)
 Pengambilan keputusan secara demokratis.
 Dalam bekerja dengan bawahan mengutamakan partisipasi.
 Mereka melakukan usaha penyusunan “job enrichment” yang jelas.
B. Faktor Herzberg

Telah dua ahli yang membahas dari hasil studinya tentang permasalahan “motivasi” yaitu Maslow dan
Gregor, maka dalam membicarakan tentang motivasi perlu juga membahas teori 2 faktor Herzberg. Teori
mengemukakan bahwa didalam. setiap pekerjaan terdapat dua kelompok faktor yang menentukan. Kedua
faktor tersebut adalah “Maintenance Factors” dan “Motivator Factors”. Pendekatan dua faktor tersebut
didasarkan pada prinsip teori ini, bahwa pada diri individu ada faktor- faktor yang menyebabkan mereka
sangat menyenangi pekerjaan dan faktor-faktor yang menyebabkan mereka tidak menyenangi pekerjaan.
Maintenance Factors yang sering disebut istilah lain yaitu Hygiene Factor. Faktor ini menguraikan tentang
faktor-faktor yang berhubungan dengan usaha Pemeliharaan hidup individu. Faktor hygiene ini mencakup
kebutuhan pokok individu yang diharapkan dapat diperoleh dari suatu pekerjaan. Faktor-faktor tersebut
seperti: adanya gaji yang layak, kondisi kerja yang sesuai dan memadai, rasa keamanan kerja dan adanya
tunjangan tambahan, hubungan antar pribadi dan lain sebagainya. Menurut hasil penelitian Herzberg
terdapat 10 faktor pemeliharaan (hygiene) yaitu :
1. Kebijakan dan administrasi.
2. Supervisi teknisi.
3. Hubungan pribadi dengan supervisor.
4. Hubungan pribadi dengan teman sejawat.
5. Hubungan pribadi dengan bawahan.
6. Gaji.
7. Keamanan kerja.
8. Kehidupan pribadi.
9. Kondisi kerja.
10. Status.

Gambar 10. Herzberg’s Motivatrs and Hygiene Factors


Menurut teoriHerzberg ini pula, dinyatakan bahwa faktor-faktor hygiene tcrsebut merupakan faktor-faktor yang
sangat vital dan harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum mereka dimotivisir. Dengan adanya faktor-faktor
tersebut dipenuhi, maka akan didarat situasi yang menyenangkan maupun dapat memberikan kepuasan pada
setiap individu yang bekerja. Dari rasa puas dan senang tersebut, maka individu akan mudah dimotivasi.
Motivator factors adalah factor-faktor yang dapat memberikan motivasi pada individu melakukan pekerjaan,
sehingga pada dasarnya faktor motivasi ini akan memberikan jawaban atas pertanyaan faktor-faktor apakah
yang benar-benar dapat memotivikasi seseorang (individu). Herzberg mengajukan 6 faktor yang dapat
memotivikasi seseorang sehingga mereka bersedia melakukan suatu pekerjaan. Faktor-faktor tersebut adalah :
 Hasil yang membahagiakan
 Penghargaan
 Kemajuan
 Pekerjaan itu sendiri
 Kemimgkinan berkemhang
 Tanggung jawab
Secara garis. besar menurut teori I lerzberg im, faktor yang henar benar dapat mernotivikasi seseorang adalah
falaor yang berhubungan dengan pekcrjaan itu sendiri.

5. Dinamika Kelompok (Group Dynamics)


Dinamika kelompok adalah interaksi dan interdependensi antara anggota kelompok yang satu dengan anggota
kelompok yang lain secara timbal balik dan antara anggota dengan kelompok secara keseluruhan. Dinamika
kelompok adalah kekuatan-kekuatan yang terdapat dalam suatu kelompok yang menentukan perilaku anggota
kelompok guna untuk mencapai tujuan kelompok.
Kedinamisan suatu kelompok dapat ditentukan dari interaksi anggota kelompok di dalamnya dalam mencapai
tujuan bersama. Analisis dinamika kelompok dapat dilakukan dengan dua macam pendekatan, yaitu pendekatan
psikososial dan sosiologis. Pendekatan psikososial adalah analisis dinamika kelompok yang dilakukan terhadap
segala sesuatu yang akan berpengaruh terhadap perilaku anggota-anggota kelompok dalam melaksanakan
kegiatan demi tercapainya tujuan kelompok, sedangkan pendekatan sosiologis adalah analisis terhadap proses
sistem sosial kelompok

Tuckman (1965) mengemukakan lima tahap dalam proses dinamika kelompok yaitu forming, storming,
norming, performing, dan terkahir adjourning. Tahap proses perkembangan dinamika kelompok diilustrasikan
oleh gambar berikut:

Gambar 11. Tahapan proses perkembangan dinamika kelompok

1. Forming
Tuckman menggambarkan tahap ini adalah tahap percobaan atau partisipasi dengan keragu-raguan,
karena anggota kelompok mencari tahu tingkah laku apa yang dapat diterima oleh kelompok dan awal
individu untuk menyesuaikan diri dengan yang lainnya.. Pada saat ini anggota kelompok masih sangat
tergantung oleh pemimpin kelompok. Tahap ini dicirikan oleh banyak sekali ketidakpastian mengenai
maksud, struktur, kepemimpinan kelompok. Tahap ini akan selesai ketika para anggota mulai berpikir
tentang diri mereka sendiri bahwa mereka juga termasuk dari suatu kelompok. Karakteristik pada tahap ini
adalah interaksi sementara, wacana kesopanan, perhatian melalui ambiguitas dan lebih cenderung diam.
2. Storming
Tahap storming dicirikan dengan adanya konflik dalam kelompok, ketidakpuasan dengan yang lainnya,
persaingan antar anggota, dan ketikdaksetujuan akan prosedur yang ada. Anggota kelompok mengalami
konflik baik dengan sesama anggota kelompok atau pemimpin kelompok. Berbeda dengan tahap forming
pada tahap ini anggota kelompok lebih cenderung menunjukkan masing-masing pribadinya dan
ketegangan dalam kelompok cenderung meningkat. Didalam tahap ini memiliki karakteristik terdapat ide-
ide yang dikritisi, pembiacara yang diinterupsi, kurangnya kehadiran anggota, dan permusuhan dalam
kelompok.
3. Norming
Norming merupakan massa penenangan setelah konflik Tuckman mendeskripsikannya sebagai tahap
kohesif dimana anggota sudah dapat menerima keunikan dan perbedaan dalam kelompok. Anggota
kelompok merasa bagian dari kelompok dan menerima norma-norma dalam kelompok. Walaupun setiap
anggota memiliki interpretasi dan persepsi yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, tetapi
penekanannya adalah pada harmoni. Anggota mengesampingkan konflik yang ada dan lebih
mengembangkan norma-norma dalam kelompok. Dalam tahap ini mulai terbentuk struktur, peran, dan
rasa kebersamaan. Karakteristik tahap ini adalah persetujuan dalam peranan, pencarian mufakat, dan
peningkatan suportivitas.
4. Performing
Performing merupakan tahapan dimana kelompok berfokus pada tujuan kelompok. Pada tahap ini anggota
kelompok saling bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan yang mereka anut bersama. Menurut
Tuckman, dalam tahap performing struktur interpersonal yang terbentuk dan berkembang pada tahap-
tahap sebelumnya menjadi modal dan sangat berpengaruh dalam penyelesaian masalah dan tugas untuk
mencapai tujuan tersebut. Masalah interpersonal merupakan bagian dari masa lalu dan sebagai
pembelajaran bersama, seluruh anggota kelompok menuangkan energinya untuk mencapai tujuan
bersama. Tahap ini memiliki karakteristik fokus terhadap hasil, orientasi tugas yang tinngi, menekankan
pada penampilan dan produktivitas.
5. Adjourning
Tahap adjouning adalah tahap akhir dari proses dinamika kelompok. Saat kelompok berakhir seringkali
anggota kelompok mengalami kesedihan dan kekhawatiran. Mereka cenderung menraik diri dan
mengurangi partisipasi diri mereka dalam kelompok, sebagai antisipasi dari isu berakhirnya
kelompok. Tahap ini memiliki karakteristik penghentian tugas, pengurangan ketergantungan,
penyelesaian tugas, penolakan, dan peningkatan emosional.

Efektivitas Grup

Efektivitas adalah suatu kondisi atau keadaan dalam memilih tujuan yang hendak dicapai dan sarana yang
digunakan, serta kemampuan yang dimiliki adalah tepat, sehingga tujuan yang diinginkan dapat dicapai dengan
hasil yang memuaskan (Martoyo 1992). Faktor-faktor keefektifan kelompok dapat dilihat dari karakteristik
kelompok (faktor situasional) dan karakteristik anggotanya (faktor personal).

Faktor Situasional
a Jumlah Kelompok
Hubungan antara ukuran kelompok dengan prestasi kerja kelompok bergantung pada jenis tugas yang
harus diselesaikan kelompok. Faktor lain yang mempengaruhi hubungan prestasi kerja dan ukuran
kelompok adalah tujuan kelompok. Apabila tujuan kelompok memerlukan kegiatan yang konvergen, maka
hanya diperlukan kelompok kecil agar sangat produktif, sedangkan apabila tujuan kelompok divergen,
diperlukan jumlah angota kelompok yang lebih besar. Berdasarkan segi komunikasi, makin besar kelompok,
makin besar kemungkinan sebagian besar anggota tidak mendapat kesempatan berpartisipasi. Dalam
kelompok yang besar, partisipasi akan makin memusat pada orang yang memberikan kontribusi terbanyak.
Komunikasi akan lebih tersentralkan pada orang-orang tertentu. Pada kelompok besar ada beberapa orang
yang dominan, sebagian besar pasif. Pada kelompok kecil, tingkat partisipasi setiap anggota relatif sama.
b Jaringan Komunikasi
Rakhmat (2001a) mengungkapkan bahwa kelompok roda, yaitu kelompok yang biasanya pemimpin
menjadi fokus perhatian, hanya afektif pada saat memecahkan permasalahan yang mudah dan
memberikan tingkat kepuasan yang rendah kepada kelompok. Pada kelompok tipe lingkaran, dapat
mampu menyelesaikan permasalahan yang lebih kompleks. Penelitian lain menunjukkan bahwa pola
semua saluran (bintang) adalah pola komunikasi yang paling efektif, karena tidak terpusat pada satu orang
pemimpin, dan pola ini dapat memberikan kepuasan bagi para anggota-anggota, dan yang paling cepat
menyelesaikan tugas.
c Kohesi Kelompok
Kohesi kelompok yang didefinisikan sebagai kekuatan yang mendorong anggota kelompok untuk tetap
tinggal dalam kelompok, dan mencegahnya meninggalkan kelompok (Rakhmat 2001a). Kohesi kelompok
dapat diukur dari (1) ketertarikan anggota secara interpersonal pada satu sama lain, (2) ketertarikan
anggota pada kegiatan dan fungsi kelompok, dan (3) sejauh mana anggota tertarik pada kelompok untuk
memuaskan kebutuhan personalnya. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kohesi kelompok
berkaitan erat dengan produktivitas, moral, dan efisiensi komunikasi. Dalam kelompok yang kohesif,
anggota merasa aman, dan terlindung. Oleh karena itu komunikasi menjadi lebih bebas, lebih terbuka dan
lebih sering. Kelompok yang sangat kohesif memiliki suasana yang mempertinggi umpan balik, dan karena
itu mendorong komunikasi lebih efektif.
d Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah komunikasi yang secara positif mempengaruhi kelompok untuk bergerak ke arah
tujuan kelompok (Cragan & Wright 1980; Rakhmat 2001a). Kepemimpinan adalah faktor yang paling
menentukan keefektifan komunikasi. Kepemimpinan dapat diukur melalui suasana yang terjadi di dalam
kelompok akibat komunikasi yang terjadi. Tiga gaya kepemimpinan menurut White dan Lippit (1960);
Rakhmat (2001a) terdapat tiga gaya kepemimpinan, yaitu otoriter, demokratis, dan laissez faire.

Faktor Personal
Cragan dan Wright (1980), Rakhmat (2001) berpendapat bahwa terdapat dua dimensi interpersonal yang
mempengaruhi keefektifan kelompok, yaitu kebutuhan interpersonal dan proses internasional. Faktor personal
yang mempengaruhi keefektifan kelompok yaitu usia, suku bangsa, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaaan,
pendapatan, kepribadian, dan homogenitas, dan heterogenitas kelompok. Proses personal meliputi
keterbukaan (disclusure), percaya, dan empati.

Beberapa ilustrasi suatu kelompok dapat dikatakan sebagai kelompok yang efektif, adalah sebagai berikut
(Jhonson & Jhonson 2012):
 Tujuan dijelaskan dan disesuaikan sehingga sesuai tujuan perorangan dan tujuan kelompok. Tujuan
dibuat secara bersama-sama sehingga semua anggota dapat menjalankannya dan dapat mencapai
tujuan tersebut.
 Komunikasi dua arah, dan penegasannya pada ide-ide perasaan yang terbuka dan jelas.
 Keikutsertaan dan kepemimpinan antar anggotanya, pencapaian tujuan, pemeliharaan hubungan antar
anggotanya, dan perubahan pengembangan digaris bawahi.
 Kemampuan dan informasi yang dimiliki menentukan pengaruh dan kekuasaan, perjanjian dibuat untuk
meyakinkan bahwa tujuan dan kebutuhan perorangan terpenuhi, kekuasaan sama rata.
 Perbedaan timbul ketika anggota kelompok menyampaikan pandangan mereka, saling berdebat dan
menyampaikan alasan dilihat sebagai kunci dalam mengambil keputusan yang berbobot dan kreatif dan
pemecahan masalah.
 Konflik kepentingan dihadapi dengan menggunakan negosiasi yang menyatukan dan jalan tengah
sehingga persetujuan dapat tercapai yang merupakan hasil bersama dan memuaskan semua
anggotanya. Keterampilan perorangan, kelompok, dan antar anggota kelompok ditekankan, kesatuan
meningkat karena tingkat kepuasan yang tinggi, perhatian, penerimaan, dukungan, dan kepercayaan,
setiap anggotanya mendapat dukungan.

6. Leadership
Kepemimpinan dalam organisasi dapat diartikan sebagai kemampuan mendorong sejumlah orang (dua
orang atau lebih) agar bekerjasama dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan yang terarah pada tujuan
bersama. Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk
melakukan sesuatu sesuai tujuan bersama. Kepemimpinan meliputi proses mempengaruhi dalam
menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi
untuk memperbaiki kelompok dan budayanya.

Teori kepemimpinan memiliki beberapa model atau jenis gaya


1. Blake & Adam McCanse Leadership Grid

Gambar 12. Blake & Adam McCanse Leadership Grid

2. Teori Fiedler

Teori kontingensi menganggap bahwa kepemimpinan adalah suatu proses di mana kemampuan seorang
pemimpin untuk melakukan pengaruhnya tergantung dengan situasi tugas kelompok (group task situation)
dan tingkat- tingkat daripada gaya kepemimpinannya, kepribadiannya dan pendekatannya yang sesuai
dengan kelompoknya. Dengan perkataan lain, menurut Fiedler, seorang menjadi pemimpin bukan karena
sifat-sifat daripada kepribadiannya, tetapi karena berbagai faktor situasi dan adanya interaksi antara
Pemimpin dan situasinya.
Model Contingency dari kepemimpinan yang efektif dikembangkan oleh Fiedler (1967) . Menurut model
ini, maka the performance of the group is contingen upon both the motivasional system of the leader and
the degree to which the leader has control and influence in a particular situation, the situational
favorableness (Fiedler, 1974:73).
Teori atau model kontingensi (Fiedler, 1967) sering disebut teori situasional karena teori ini
mengemukakan kepemimpinan yang tergantung pada situasi. Model atau teori kontingensi Fiedler melihat
bahwa kelompok efektif tergantung pada kecocokan antara gaya pemimpin yang berinteraksi dengan
subordinatnya sehingga situasi menjadi pengendali dan berpengaruh terhadap pemimpin. Kepemimpinan
tidak akan terjadi dalam satu kevakuman sosial atau lingkungan. Para pemimpin mencoba melakukan
pengaruhnya kepada anggota kelompok dalam kaitannya dengan situasi-situasi yang spesifik.
Dengan perkataan lain, tinggi rendahnya prestasi kerja satu kelompok dipengaruhi oleh sistem motivasi
dari pemimpin dan sejauh mana pemimpin dapat mengendalikan dan mempengaruhi suatu situasi tertentu
atau dapat dikatakan model tersebut beranggapan bahwa kontribusi pemimpin terhadap efektifitas kinerja
kelompok tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan (leadership style) dan kesesuaian situasi (the
favourableness of the situation) yang dihadapinya. Karena situasi dapat sangat bervariasi sepanjang
dimensi yang berbeda, oleh karenanya hanya masuk akal untuk memperkirakan bahwa tidak ada satu gaya
atau pendekatan kepemimpinan yang akan selalu terbaik. Namun, sebagaimana telah kita pahami bahwa
strategi yang paling efektif mungkin akan bervariasi dari satu situasi ke situasi lainnya. Penerimaan
kenyataan dasar ini melandasi teori tentang efektifitas pemimpin yang dikembangkan oleh Fiedler, yang
menerangkan teorinya sebagai Contingency Approach. Asumsi sentral teori ini adalah bahwa kontribusi
seorang pemimpin kepada kesuksesan kinerja oleh kelompoknya adalah ditentukan oleh kedua hal yakni
karakteristik pemimpin dan oleh berbagai variasi kondisi dan situasi. Untuk dapat memahami secara
lengkap efektifitas pemimpin, kedua hal tersebut harus dipertimbangkan.

Gambar 13. Fiedler's Contingency Model

Situasi Menguntungkan
1. Situasi akan menguntungkan bagi pemimpin, jika:
 pemimpinnya secara umum diterima dan dihormati pengikutnya (dimensi tertinggi pertama),
 tugas sangat terstruktur dan semuanya dijelaskan secara gamblang (dimensi kedua tertinggi)
 otoritas dan wewenang secara formal dihubungkan dengan posisi pemimpin (dimensi ketiga tertinggi).

Jika yang terjadi sebaliknya (ketiga dimensi dalam keadaan rendah), situasi akan sangat tidak
menguntungkan bagi pemimpin.

2. Memberi Bobot Situasi


 Keuntungan ditentukan dengan memberikan bobot ketiga aspek situasi
 Prosedur pemberian bobot mengasumsikan bahwa hubungan pemimpin- anggota lebih penting
daripada struktur tugas, yang akhirnya struktur tugas adalah lebih penting daripada kekuasaan posisi.
 Kemungkinan kombinasi memberikan delapan tingkatan situasi keuntungan, yang disebut “oktan”

3. Kesesuaian Situasi dan Gaya


 Kepemimpinan Fiedler menyatakan bahwa dalam situasi sangat menguntungkan (oktan 1,2 dan 3) dan
sangat tidak menguntngkan (oktan 7 dan 8) gaya kepemimpinan yang berorientasi tugas adalah sangat
efektif.
 Ketika situasi moderat antara menyenangkan dan sangat tidak menyenangkan (oktan 4,5, dan 6) maka
gaya kepemimpinan yang menekankan pada hubungan akan sangat efektif.

Anda mungkin juga menyukai