Anda di halaman 1dari 13

Teknologi Pangan: Fortifikasi Makanan

 MUCHLAS

7 tahun lalu

Ilustrasi Fortifikasi Makanan

1.1  Latar Belakang

Pangan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia. Manusia tidak dapat
mempertahankan hidupnya tanpa adanya pangan. Karena itu,
usaha   pemenuhan kebutuhan pangan merupakan suatu usaha
kemanusiaan yang mendasar. Dalam kaitan ini, penjelasan Undang-
undang Republik Indonesia No. 7  Tahun 1996 tentang Pangan, bahkan
secara tegas  menyatakan bahwa “Pangan sebagai kebutuhan dasar
manusia yang  pemenuhannya merupakan hak asasi setiap rakyat
Indonesia harus   senantiasa tersedia cukup setiap waktu, aman, bermutu,
bergizi, dan  beragam dengan harga yang terjangkau oleh daya beli
masyarakat”.

Pangan yang tersedia haruslah pangan yang aman untuk


dikonsumsi,  bermutu dan bergizi karena berhubungan dengan
Pertumbuahan yang erat kaitannya dengan kecukupan asupan nutrisi
dalam tubuh. Pertumbuahan tubuh membutuhkan nutrisi mikro dan
makro. Nutrisi makro adalah Zat gizi Makro adalah zat gizi yang
dibutuhkan dalam jumlah besar dengan satuan gram. Zat gizi yang
termasuk kelompok zat gizi makro adalah karbohidrat, lemak dan protein.
sedangkan nutrisi mikro adalah Zat gizi mikro adalah zat gizi yang
dibutuhkan tubuh dalam jumlah kecil atau sedikit tapi ada dalam makanan.
Zat gizi yang termasuk kelompok zat gizi mikro adalah mineral dan
vitamin. Zat gizi mikro menggunakan satuan mg untuk sebagian besar
mineral dan vitamin.

Namun, selama Penanganan, penyimpanan dan pengawetan bahan pangan


sering menyebabkan terjadinya perubahan nilai gizinya, yang sebagain
besar tidak diinginkan. Zat gizi yang terkandung dalam bahan pangan akan
rusak pada sebagaian besar proses pengolahan karena sensitif terhadap pH,
oksigen, sinar dan panas atau kombinasi diantaranya. Zat gizi mikro
terutama tembaga dan zat besi serta enzim kemungkinan sebagai katalis
dalam proses tersebut(Palupi, 2007). Dengan demikian Penduduk dunia,
dengan proporsi yang signifikan, beresiko zat-zat Gizi Mikro.

 Dampak dari kekurangan zat mikro ialah ketidakmampuan belajar secara


baik, penurunan produktivitas kerja, kesakitan,  dan bahkan
kematian. Kekurangan zat gizi mikro esensial mengakibatkan
ketidakmampuan belajar dengan baik, keterlambatan mental, kesehatan
yang buruk, kapasitas kerja yang rendah, kebutaan, dan kematian yang
prematur. Hal ini mengakibatkan kehilangan potensi sosial ekonomi dari
masyarakat. Menurut publikasi Bank Dunia (World Bank, 1994),
Kekurangan vitamin A, iodium, dan besi dapat menghabiskan 5% dari
produk domestik bruto (PDR) suatu negara (bandingkan dengan hanya
0.3% PDR untuk penanggulangannya).

Kekurangan zat gizi mikro harus diatasi salah satunya adalah teknologi
pangan dalam memperkaya kandungan gizi salah satunya teknologi
fortifikasi pangan. Fortifikasi pangan (pangan yang lazim dikonsumsi)
dengan zat gizimikro adalah salah satu strategi utama yang dapat
digunakan untuk meningkatkan status mikronutrien pangan. Fortifikasi
harus dipandang sebagai upaya (bagian dari upaya) untuk memperbaiki
kualitas pangan selain dari perbaikan praktek-praktek pertanian yang baik
(good agricultural practices), perbaikan pengolahan dan penyimpangan
pangan (good manufacturing practices), dan memperbaiki pendidikan
konsumen untuk mengadopsi praktek-praktek penyediaan pangan yang
baik.

 1.2  Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan fortifikasi makanan?


2. Apa saja jenis-jenis fortifikasi makanan?
3. Bagaiman teknik fortifikasi diterapkan dalam produk pengolahan
hasil ternak ?

1.3  Tujuan

1. Mempelajari teknik fortifikasi makanan


2. Mengetahui  jenis-jenis fortifikasi makanan
3. Mendalami teknik fortifikasi yang diterapkan dalam produk
pengolahan hasil ternak
BAB II

FORTIFIKASI MAKANAN

2.1 PENGERTIAN FORTIFIKASI

Fortifikasi pangan (pangan yang lazim dikonsumsi) dengan zat gizi mikro
adalah salah satu strategi utama yang dapat digunakan untuk
meningkatkan status mikronutrien pangan. Fortifikasi harus dipandang
sebagai upaya (bagian dari upaya) untuk memperbaiki kualitas pangan
selain dari perbaikan praktek-praktek pertanian yang baik (good
agricultural practices ), perbaikan pengolahan dan penyimpangan pangan
( good manufacturing practices ), dan memperbaiki pendidikan konsumen
untuk mengadopsi praktek-praktek penyediaan pangan yang baik.

`           Fortifikasi pangan adalah penambahan satan atan lebih zat gizi 
(nutrien) kepangan. Tujuan utama adalah untuk meningkatkan tingkat
konsumsi dari zat gizi yang ditambahkan untuk meningkatkan status gizi
populasi. Harus diperhatikan bahwa peran pokok dari fortifikasi pangan
adalah pencegahan detisiensi: dengan demikian menghindari terjadinya
gangguan yang membawa kepada penderitaan manusia dan kerugian sosio
ekonomis. Namun demikian, fortitkasi pangan juga digunakan untuk
menghapus dan mengendalikan defisiensi zat gizi dan gangguan yang
diakibatkannya. Untuk menggambarkan proses penambahan zat gizi ke
pangan, istilah-istilah lain seperti  enrichment  (pengkayaan), nutrification
(Harris, 1968) atan restoration telah saling dipertukarkan, meskipun
masing-masing mengimplikasikan tindakan spesifik. Fortifikasi mengacu
kepada penambahan zat-zat gizi pada taraf yang lebih tinggi dari pada yang
ditemukan pada pangan asal/awal atau pangan sebanding. Enrichment
biasanya mengacu kepada penambahan satu atan lebih zat gizi pada
pangan asal pada taraf yang ditetapkan dalam standar intemasional
(indentitas pangan).  Restoration  mengacu kepada penggantian zat gizi
yang hilang selama proses pengolahan, dan nutrification berarti membuat
campuran makanan atan pangan lebih bergizi. Menurut Banernfeind
(1994) istilah nutrification lebih spesifik terhadap ilmu gizi, sementara
semua istilah-istilah yang lain diadopsi dari disiplin dan aplikasi lain.
(Siagian, 2003)

The Joint Food and Agricuktural Organization World Health Organization


(FAOIWO) Expert Commitee on Nutrition  (FAO/WHO, 1971) menganggap
istilah fortification paling tepat menggambarkan proses dimana zat gizi
makro dan zat gizi mikro ditambahkan kepada pangan  yang dikonsumsi 
secara umum.

Tabel 2. Keuntungan Fortifikasi Pangan Dibandingkan dengan


Suplementasi Dosis Tinggi
Suplementasi Fortifikasi

Keefektifan Efektif untuk jangak panjang Efektif untuk jangka


menengah dan panjang

Delivery requirment Sistem hearth delivary yang Panagan pembawa


efektif (foovehicle) yang cocok dan
fasilitas pengolahan yang
teroorganisir

Kerelaan (compliance) Memerlukan motivasi yang Tidak memerlukan kerja sama


berkelanjutan dari partisipan yang inisiatif dan kerelaan
pribadi masing-masing
individu.

Biaya Pemeliaharaa Relatif membutuhkan biaya Biaya Rendah


yang tinggi

Biaya eksternal Dukungan Eksternal Teknologi ysng memadai dan


dibutuhkan untuk memperoleh mudah di transfer
suplemen

Kesinambungan(sustainibility) Tergantung pada kemauan dan Fortifikasi (senyawa fortifikasi)


sumberdaya yang ada mungkin perlu di import

Fortifikasi dapat diterapkan untuk tujuan-tujuan berikut:

•     Untuk memperbaiki kekurangan zat-zat dari pangan (untuk


memperbaiki defisiensi akan zat gizi yang ditambahkan).

•  Untuk mengembalikan zat-zat yang awalnya terdapat dalam jumlah yang


siquifikan dalam pangan akan tetapi mengalami kehilangan selama
pengolahan.

 Untuk meningkatkan kualitas gizi dari produk pangan olahan


(pabrik) yang digunakan sebagai sumber pangan bergizi misalnya susu
formula bayi.

•  Untuk menjamin ekuivalensi gizi dari produk pangan olahan yang


menggantikan pangan lain, misalnya margarin yang difortifikasi sebagai
pengganti mentega .

Menurut FAO pada Technical Consultation on Food Fortification:


Technology and Quality Control  di Roma pada tahun 1995, makanan yang
difortifikasi idealnya harus:

 Umumnya dikonsumsi oleh populasi sasaran.

  Memiliki pola konsumsi yang konstan oleh msyarakat dan berisiko


rendah bila dikonsumsi dalam jumlah berlebih.
  Memiliki stabilitas ynag baik dalam penyimpanan.

  Relatif rendah dalam baiaya.

 Diproses terpusat dengan stratifikasi minimal.

  Tidak terjadi interaksi anatara fortifikan dengan vehicle.

 Ketersediannya tidak berhubungan dengan status sosio-ekonomi.

 Dikaitkan dengan asupan energi.

2.2 JENIS-JENIS FORTIFIKASI

Industri pangan/makanan memegang peranan kunci dalam setiap program


fortifikasi di setiap negara Kekurangan zat gizimikro adalah problem
kesehatan masyarakat. Beberapa aspek program fortifikasi pangan,
bagaimanapun, seperti penentuan prevalensi kekurangan, pemilihan
intervensi yang tepat, penghitungan taraf asupan makanan (zat gizi),
konsumsi pangan pembawa sehari-hari dan fortifikan yang akan
ditambahkan, dan juga teknologinya (pengembangan teknologi), harus
dievaluasi oleh otoritas ilmu pengetahuan di bidang kesehatan masyarakat
dan pertanian, dan yang lainnya.

Fortifikasi Yodium

Defisiensi Yodium dihasilkan dari kondisi geologis yang irreversiber itu


sebabnya, penganekaragaman makanan dengan menggunakan pangan
yang tumbuh di daerah dengan tipe tanah dengan menggunakan pangan
yang sama tidak dapat meningkatkan asupan Yodium oleh individu
ataupun komunitas. Diantara strategi-strategi untuk penghampusan GAKI,
pendekatan jangka panjang adalah fortifikasi pangan dengan Yodium.
Sampai tahun 60an, beberapa cara suplementasi yodium dalam dies yang
telah diusulkan berbagai jenis pangan pembawa seperti garam, roti, susu,
gula, dan air tela dicoba Iodisasi garam menjadi metode yang paling umum
yang diterima di kebanyakan negara di dunia sebab garam digunakan
secara luas dan serangan oleh seluruh lapisan masyarakat. Prosesnya
adalah sederhana dan tidak mahal. Fortifikasi yang biasa digunakan adalah
Kalium Yodida (KI) dan Kalium Iodat (KID3). Iodat lebih stabil dalam 
‘impure salt ‘ pada penyerapan dan kondisi lingkungan (kelembaban) yang
buruk penambahan tidak menambah warna, penambahan dan rasa garam.
Negara-negara yang dengan program iodisasi garam yang efektif
memperlihatkan pengurangan yang berkesinambungan akan prevalensi
GAKI. (Siagian, 2003)

Contoh : Beras Fortifikasi Iodium


Kebutuhan iodium untuk setiap kelompok umur berbeda-beda. Kebutuhan
iodium untuk anakanak adalah 40-120 μg/hari, orang dewasa 150 μg/hari,
sedangkan untuk ibu hamil dan menyusui ditambah masing-masing 25
μg/hari dan 150 μg/hari. Pembuatan beras beriodium sangat sederhana
karena tidak perlu menggunakan peralatan khusus. Dengan penambahan
alat pengkabut fortifikan iodium pada komponen alat penyosoh akan
diperoleh hasil beras giling yang mengandung iodium. Fortifikan yang
digunakan adalah iodat 1 ppm. Larutan fortifikan dikabutkan dengan
bantuan tekanan udara 40 psi yang berasal dari kompresor, sehingga
terjadi kabut fortifikan iodium. Debet fortifikan yang digunakan 4-5 l/jam
tergantung pada kekeringan beras yang di fortifikasi(DEPTAN,2008) .

 Fortifikasi Besi

Dibandingkan dengan strategi lain yang digunakan untuk perbaikan anemi


gizi besi, fortifikasi zat gizi besi dipandang oleh beberapa peneliti
merupakan strategi termurah untuk memulai, mempertahankan,
mencapai/mencakup jumlah populasi yang terbesar, dan menjamin
pendekatanjangka panjang (Cook and Reuser, 1983). Fortifikasi Zat besi
tidak menyebabkan efek samping pada saluran pencernaan. Inilah
keuntungan pokok dalam hal keterterimaannya oleh konsumen dan
pemasaran produk-produk yang diperkaya dengan besi. Penetapan target
penerima fortifikasi zat besi, yaitu mereka yang rentan defisie zat besi,
merupakan strategi yang aman dan efektif untuk mengatasi masalah anemi
besi (Ballot, 1989). Pilihan pendekatan ditentukan oleh prevalensi dan
beratnya kekurangan zat besi (INAAG, 1977). Tahapan kritis dalam
perencanaan program fortifikasi besi adalah pemilihan senyawa besi yang
dapat diterima dan dapat diserap (Cook and Reuser, 1983). Harus
diperhatikan bahwa wanita hamil membutuhkan zat besi sangat besar
selama akhir trimester kedua kehamilan. Terdapat beberapa iortifikan yang
umum digunakan untuk fortifikasi besi seperti  besi sulfat besi glukonat,
besi laktat, besi ammonium sulfat, dan lain-lain. (Siagian, 2003)

Fortifikasi zat besi pada mie kering yang dibuat dari campuran
tepung terigu dan tepung singkong

Fortifikasi Vitamin A

Fortifikasi pangan dengan vitamin A memegang peranan penting untuk


mengatasi problem kekurangan vitamin A dengan menjembatani jurang
antara asupan vitamin A dengan kebutuhannya. Fortifikasi dengan vitamin
A adalah strategi jangka panjang untuk mempertahankan kecukupan
vitamin A. Kebanyakan vitamin yang diproduksi secara komersial (secara
kimia) identik dengan vitamin yang terdapat secara alami dalam bahan
makanan. Vitamin yang larut dalam lemak (seperti vitamin A) biasanya
tersedia dalam bentuk larutan minyak (oil solution), emulsi atau kering,
keadaan yang stabil yang dapat disatukan/digabungkan dengan campuran
multivitamin-mineral atau secara langsung ditambahkan ke pangan.
Bentuk komersial yang paling penting dari vitamin A adalah vitamin A
asetat dan vitamin A palmitat. Vitamin A dalam bentuk retionol  atau
karoten (sebagai beta-karoten dan beta-apo-8’ karotenal) dapat dibuat
secara komersial untuk ditambahkan ke pangan. Pangan pembawa seperti
gula, lemak, dan minyak, garam, the, sereal, dan monosodium glutamat
(MSG) telah (dapat) difortifikasi  oleh vitamin A. (Siagian, 2003)

2.3  FORTIFIKASI DALAM PRODUK PENGOLAHAN HASIL


TERNAK

Diversifikasi  produk  pangan  asal  ternak seperti  susu  dan 


telur  telah  banyak dikembangkan.

Berbagai  fortifikasi  pangan  pendukung  kesehatan tubuh  telah  banyak 


dilakukan  untuk  memenuhi standar  kesehatan,  misalnya  dengan
penambahan probiotik  dan  prebiotik,  penambahan  serat, dan
penambahan  vitamin  tertentu.  Fortifikasi  pangan juga  banyak 
dilakukan  untuk  memenuhi  selera konsumen seperti  rasa  asin,  manis, 
dan  gurih,  rasa buah-buahan,  dan  coklat  dengan  menambah  atau
mengkombinasikan  dengan  bahan  lain,  serta  masih banyak  lagi  hasil 
fortifikasi  yang  bertujuan  untuk meningkatkan kualitas pangan. 
(Indratiningsih et al, 2011)

BAB III

PEMBAHASAN

 Fortifikasi Pangan

Fortifikasi pangan adalah penambahan satan atan lebih zat gizi (nutrien) ke
pangan. Tujuan utama adalah untuk meningkatkan tingkat konsumsi dari
zat gizi yang ditambahkan untuk meningkatkan status gizi populasi. harus
diperhatikan bahwa peran pokok dari fortifikasi pangan adalah pencegahan
detisiensi: dengan demikian menghindari terjadinya gangguan yang
membawa kepada penderitaan manusia dan kerugian sosio ekonomis.
Namun demikian, fortitkasi pangan juga digunakan untuk menghapus dan
mengendalikan defisiensi zat gizi dan gangguan yang
diakibatkannya.Langkah-langkah pengembangan program fortifikasi
pangan, antara lain adalah (Siagian.2003):

1. Menentukan prevalensi defisiensi mikronutrien

2. Segmen populasi (menentukan segmen)

3. Tentukan asupan mikronutrien dari survey makanan


4. Dapatkan data konsumsi untuk pengan pembawa (vehicle) yang
potensial

5. Tentukan availabilitas mikronutrien dari jenis pangan

6. Mencari dukungan pemerintah (pembuat kebijakan dan peraturan)

7. Mencari dukungan industri pangan

8. Mengukur (Asses) status pangan pembawa potensial dan cabang industri

pengolahan(termasuk suplai bahan baku dan penjualan produk)

9. Memilih jenis dan jumlah fortifikasi dan campurannya

10. Kembangkan teknologi fortifikasi

11. Lakukan studi pada interaksi, potensi stabilitas, penyimpangan dan


kualitas

organoleptik dari produk fortifikasi.

12. Tentukan bioavailabilitas dari pangan hasil fortifikasi

13. Lakukan pengujian lapangan untuk menentukan efficacy dan kefektifan

14. Kembangkan standar-standar untuk pangan hasil fortifiksi

15. Defenisikan produk akhir dan keperluan-keperluan penyerapan dan


pelabelan

16. Kembangkan peraturan-peraturan untuk mandatory compliance

17. Promosikan (kembangkan) untuk meningkatkan keterterimaan oleh


konsumen.

Sebenarnya, fortifikasi makanan mengacu kepada beberapa konsep yang


luas dan mungkin dilakukan untuk beberapa alasan. Pertama adalah untuk
mengembalikan zat gizi yang hilang selama pengolahan makanan, proses
ini disebut sebagai enrichment. Dalam hal ini, zat gizi ditambahkan ke
dalam makanan dengan jumlah yang hampir mendekati jumlah zat awal
sebelum pemrosesan makanan. Alasan kedua adalah untuk  menambah zat
gizi yang  tidak terdapat dalam makanan secara alami, proses ini disebut
sebagai fortifikasi.  Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan tingkat
konsumsi dari zat gizi yang ditambahkan untuk meningkatkan status gizi
populasi.

 Jenis-jenis Fortifikasi:
Pada dasarnya fortifikasi terdiri dari tiga jenis, yaitu fortifikasi sukarela,
fortifikasi wajib dan fortifikasi khusus.

 Fortifikasi Sukarela

Fortifikasi sukarela merupakan inisiatif produksi oleh produsen, bukan


pemerintah. Komoditi pangan dan fortifikan yang dipakai ditentukan oleh
produsen, sasarannya adalah semua orang yang sanggup membeli.
Fortifikasi sukarela dilakukan atas prakarsa pengusaha produsen pangan
untuk meningkatkan nilai tambah produknya sehingga lebih menarik
konsumen. Upaya ini tanpa diharuskan oleh undang-undang atau
peraturan pemerintah. Dasar pertimbangan fortifikasi sukarela lebih
banyak mengacu kepada segi bisnis dan komersial daripada gizi dan
kesehatan, meskipun dalam promosinya segi kesehatan ini yang
ditonjolkan. Produsen menentukan sendiri komoditi makanan yang akan
difortifikasi. Sasaran fortifikasi sukarela adalah semua orang yang mampu
dan mau membeli komoditi yang difortifikasi.

Contoh Fortifikasi Sukarela antara lain:

China : kecap ikan dan kecap kedelai dengan zat besi.

Amerika Latin : fortifikasi gula dengan vitamin A

Filipina : fortifikasi beras dengan zat besi (Soekirman.2012)

 Fortifikasi Wajib

Fortifikasi wajib adalah bagian dari upaya pemerintah untuk


menanggulangi masalah gizi mikro yang banyak terdapat pada kelompok
masyarakat tertentu (misalnya masyarakat miskin). Ada beberapa syarat
yang harus dipenuhi untuk fortifikasi wajib, yaitu ada masalah gizi mikro
mendesak, bahan pangan yang akan difortifikasi dikonsumsi sebagian
besar masyarakat, diproduksi oleh pabrik atau produsen yang jumlahnya
terbatas, dan ada teknologi fortifikasi sesuai pedoman WHO. Fortifikasi
wajib diharuskan oleh undang-undang dan peraturan pemerintah. Sasaran
utama program fortifikasi wajib adalah masyarakat miskin, meskipun
masyarakat lain yang tidak miskin juga tercakup. Oleh karena itu fortifikasi
wajib lebih banyak menjadi perhatian pemerintah sebagai bagian tanggung
jawabnya untuk mensejahterakan masyarakat. Sedang komoditi makanan
yang difortifikasi lebih terbatas karena harus memenuhi persyaratan
tertentu.

Syarat untuk fortifikasi wajib adalah


1. Makanan yang umumnya selalu ada disetiap rumah tangga dan
dimakan secara teratur dan terus-menerus oleh masyarakat termasuk
masyarakat miskin.
2. Makanan itu diproduksi dan diolah oleh produsen yang terbatas
jumlahnya, agar mudah diawasiproses fortifikasinya.
3. Tersedianya teknologi fortifikasi untuk makanan yang dipilih.
4. Makanan tidak berubah rasa, warna dan konsistensi setelah
difortifikasi.
5. Tetap aman dalam arti tidak membahayakan kesehatan. Oleh karena
itu program fortifikasi harus diatur oleh undang-undang atau peraturan
pemerintah, diawasi dan dimonitor, serta dievaluasi secara teratur dan
terus menerus.
6. Harga makanan setelah difortifikasi tetap terjangkau daya beli
konsumen yang menjadi sasaran.(Soekirman.2012)

Atas dasar persyaratan tersebut, makanan yang umumnya difortifikasi


(wajib) terbatas pada jenis makanan pokok  (terigu, jagung, beras), 
makanan penyedap atau bumbu seperti garam, minyak goreng, gula,  kecap
kedele, kecap ikan, dan Mono Sodium Glutamat (MSG).

Misalnya di

RRC : kecap kedele dan kecap ikan difortifikasi dengan zat besi ; tepung
terigu dengan zat besi, asam folat, dan vitamin A ; beras dengan zat besi
dan direncanakan juga dengan vitamin A.

India : tepung terigu  dengan zat besi, asam folat, dan vitamin B ; gula 
dengan vitamin A ;  minyak dan lemak, teh, dan susu dengan vitamin A.

Philipina : fortifikasi  tepung terigu dengan zat besi, asam folat dan vitamin
A. Thailand : mie dengan zat besi, yodium dan vitamin A ; beras dengan zat
besi, vitamin B1, B2, B6, dan niacin.

Vietnam : kecap ikan dengan zat besi ; gula dengan vitamin A.

Amerika Latin :tepung terigu dan tepung jagung difortifikasi dengan zat
besi ; gula dengan vitamin A.

Indonesia : Garam dengan Yodium, tepung terigu dengan zat besi, seng,
asam folat, vitamin B1 dan B2, dan minyak goreng dengan vitamin A.

 Fortifikasi Khusus

fortifikasi khusus sama dengan fortifikasi wajib, hanya sasarannya


kelompok masyarakat tertentu, seperti anak-anak, balita atau anak sekolah.
(Anonim.2013)
 Penerapan Fortifikasi
Pada Produk Pengolahan Hasil Ternak

 Fortifikasi Pada Susu

Penambahan fortifikan protein pada susu bubuk biasanya menggunakan


kasein dan whei, namun keduanya sangat mahal dan belum diproduksi di
dalam negeri, maka diperlukan sumber protein yang lebih murah.
Penggalian potensi sumber daya alam yang diberi sentuhan teknologi
diharapkan mampu meningkatkan nilai tambah produk turunan susu dan
menjawab kebutuhan akan pangan tinggi protein. Hasil penelitian Hera
(2012) ini mengindikasikan bahwa IPPUS berpotensi untuk dikembangkan
sebagai fotifikan untuk menghasilkan susu bubuk tinggi protein. Prosedur
yang dilakukan melalui enam tahap yakni pembuatan tepung pupa,
penghilangan lemak (delipidasi), isolasi protein, pengeringan isolat,
fortifikasi isolat ke dalam susu bubuk dan analisis kualitas susu bubuk yang
telah difortifikasi. Delipidasi menjadi tahapan yang sangat penting karena
lemak merupakan komponen terbesar kedua setelah protein dalam bahan
kering tepung pupa. Fortifikasi IPPUS pada taraf 20% menghasilkan susu
bubuk dengan kadar protein yang berbeda nyata yakni 40,44% dan
kecernaan protein secara in vitro sebesar 95,15%. Kadar protein ini
mencukupi 32,15%-40,44% kebutuhan protein harian manusia. Namun
dengan menggunakan formula terpilih ini, menurunkan kesukaan panelis.
Hera bersama rekannya melakukan riset dengan menambahkan flavor
sebanyak 15%.

 Fortifikasi Keju

Keju cottage  yang beredar di pasaran hampir memiliki semua kebaikan


susu, namun kandungan vitamin C nya sangat rendah. Selama proses
pengolahan,  akibat adanya panas dan sinar,  kandunga n vitamin C dalam
susu hampir sebagian besar telah teroksidasi. Padahal vitamin C yang
secara kimia berguna sebagai antioksidan bagi beberapa jenis maka nan
termasuk produk olahan susu (deMan, 1997). Menurut Sweeney dan
Ashoor (1988), banyak penelitian yang menyangkut tentang fortifikasi
vitamin pada  susu, tetapi tidak pada keju cottage. Lemon merupakan salah
satu jenis je ruk yang cocok untuk ditanam di daerah tropis seperti
Indonesia. Lem on mengandung vitamin C sebesar 53 mg/100 gram,
jumlah yang cukup banyak dibandingkan dengan jeruk jenis lain.

Cairan buahnya yang asam sering digunakan dalam pembuatan berbagai


jenis makanan juga obat, dan karena kandungan asam sitratnya yang
tinggi, lemon juga bersifat bakterisida. Besarnya manfaat vitamin C baik
untuk tubuh maupun untuk makanan itu sendiri membuat pentingnya
fortifikasi vitamin tersebut pada keju cottage . Diharapkan dengan
fortifikasi lemon ke dalam keju cottage , maka akan meningkatkan
kandungan vitamin C dalam keju.  Penelitian sebelumnya telah dilakukan
oleh Egrina (2009), menggunakan susu skim sebagai bahan dasar
pembuatan keju  cottage  dengan menggunakan kultur bakteri starter
campuran Streptococcus thermophilus, Lactococcus
lactis dan Leuconostoc mesentroides  serta menambahkan enzim papain
sebagai koagulan. Monphongchai (2003) melakukan fortifikasi jus apel, 
anggur, blewah dan semangka pada produksi keju cheddar.  Menurut uji
organoleptik, keju yang difortifikasi dengan 10% jus apel menunjukkan
keju tersebut dapat diterima namun belum diuji kandungan gizinya. Jauh
sebelumnya, Sweeney dan Ashoor (1988) telah melakukan fortifikasi
vitamin A dan C sintetik pada keju  cottage, diperoleh hasil bahwa
fortifikasi tidak mempengaruhi pH dan sifat sensori keju secara signifikan.
Kadar lemak dan ukuran wadah tidak mempengaruhi penurunan kadar
vitamin pada keju yang disimpan pada lemari pendingin.  Beberapa
penelitian lebih lanjut menjelaskan tentang pembuatan keju cottage 
terfortifikasi vitamin C. Penelitian  yang akan dilakukan yaitu pembuatan
keju  cottage  berbahan dasar susu skim  dengan bakteri starter
Streptococcus thermophillus, Lactococcus lactis,  dan Leuconostoc
mesenteroides  dan papain sebagai koagulan serta fortifikasi sari buah
lemon sebagai sumber vitamin C alami dalam berbagai perbandingan
untuk meningkatkan vitamin C keju yang dihasilkan.

BAB IV

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

 Fortifikasi pangan adalah penambahan satan atan lebih zat gizi


(nutrien) ke pangan.
 Terdapat tiga macam fortifikasi:

1. Fortifikasi sukarela oleh industri pangan kemasaan untuk


meningkatkan nilai tambah bahan pangan.
2. Fortifikasi wajib yang bertujuan untuk mengatasi masalah
kekurangan gizi masayarakat, khususnya masyarakat miskin.
3. Fortifikasi Khusus yang sasarannya kelompok masyarakat tertentu,
seperti anak-anak, balita atau anak sekolah.

 Fortifikasi pada bahan pangan olahan hasil ternak dapat dilakukan


dengan metode:
1. Penambahan senyawa pendorong (enhancers) seperti pada
Fortifikasi Keju
2. Penghilangan atau pengurangan senyawa inhibitor seperti pada
Fortifikasi Susu.

3.2 SARAN

Penambahan senyawa kimia ke dalam bahan pangan sebaiknya sesuai


dengan aturan yang berlaku dan tidak menimbulkan efek samping pada
diri konsumen apabila mengkonsumsinya.

Anda mungkin juga menyukai