Disusun oleh:
Nama : Cindy Virla Rahmalia
Kelas : X Keperawatan
Wabah ini telah dinyatakan sebagai kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan
dunia (PHEIC) oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 30 Januari 2020.Pernyataan
ini adalah deklarasi keenam yang dilakukan oleh WHO sejak pandemi flu babi 2009.
Xenophobia dan rasisme terhadap orang-orang keturunan Tiongkok dan Asia Timur terjadi
sebagai akibat dari wabah COVID-19, dengan ketakutan dan permusuhan terjadi di beberapa
negara. Misinformasi tentang koronavirus yang menyebar terutama melalui internet membuat
WHO menyatakan "infodemik" pada 2 Februari 2020.
Pada bulan Desember 2019, terjadi sekelompok kasus "radang paru-paru (pneumonia) yang
tidak diketahui penyebabnya" yang dihubungkan dengan pasar grosir makanan laut Huanan.
Pasar ini memiliki ribuan kios yang menjual berbagai hewan, seperti ikan, ayam, burung
pegar, kelelawar, marmut, ular berbisa, rusa bintik, dan binatang liar lainnya. Setelah virus
korona diketahui sebagai penyebab penyakit ini, kecurigaan pun muncul bahwa virus korona
baru ini bersumber dari hewan.
Sebagian besar virus korona bersirkulasi di antara hewan, tetapi enam spesies di antaranya
berevolusi dan mampu menginfeksi manusia, seperti yang terlihat pada sindrom pernapasan
akut berat (SARS), sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS), dan empat virus korona lain
yang menyebabkan gejala pernapasan ringan seperti pilek. Keenamnya dapat menular dari
manusia ke manusia.
Pada tahun 2002, dengan musang sebagai sumber virus, wabah SARS dimulai di daratan
Tiongkok dan menjalar hingga ke Kanada dan Amerika Serikat dengan bantuan beberapa
penular super dan adanya penerbangan internasional. Akibatnya, lebih dari 700 orang
meninggal di seluruh dunia. Kasus SARS terakhir dilaporkan pada tahun 2004. Pada saat itu,
pemerintah Tiongkok dikritik oleh WHO karena bersikap lamban dalam menangani virus
tersebut. Sepuluh tahun setelah SARS, penyakit virus korona terkait unta arab, yaitu MERS,
mengakibatkan lebih dari 850 orang tewas di 27 negara. Wabah virus korona dari Wuhan
dikaitkan dengan pasar yang menjual hewan untuk dikonsumsi, sehingga penyakit tersebut
diduga berasal dari hewan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa wabah virus korona
baru akan mirip dengan wabah SARS.[36][40] Kekhawatiran tersebut diperburuk oleh adanya
perkiraan bahwa sejumlah besar wisatawan akan berlibur pada Tahun Baru Imlek, yang
dimulai pada 25 Januari 2020.
Pada 17 Januari, sebuah kelompok Imperial College London di Inggris menerbitkan perkiraan
bahwa terdapat 1.723 kasus (interval kepercayaan 95%, 427–4.471) dengan timbulnya gejala
virus tersebut pada 12 Januari 2020. Perkiraan ini didapat berdasarkan pola penyebaran awal
dari virus 2019-nCoV ke Thailand dan Jepang. Mereka juga menyimpulkan bahwa
"penularan dari manusia ke manusia yang berkelanjutan tidak harus dikesampingkan"..Ketika
kasus-kasus selanjutnya terungkap, mereka kemudian menghitung ulang bahwa "terjadi 4.000
kasus 2019-nCoV di Kota Wuhan … mulai timbul gejala pada 18 Januari 2020".
Pada 20 Januari, Tiongkok melaporkan peningkatan tajam dalam kasus ini dengan hampir
140 pasien baru, termasuk dua orang di Beijing dan satu di Shenzhen. Per 3 Maret, jumlah
kasus yang dikonfirmasi laboratorium mencapai 93.000 kasus, yang terdiri dari lebih dari
80.000 kasus di daratan Tiongkok, dan sisanya di beberapa negara lainnya
Kematian
Per 18 Maret 2020, terjadi 8.790 kasus kematian yang dikaitkan dengan COVID-19. Menurut
NHC Tiongkok, sebagian besar dari mereka yang meninggal adalah pasien yang lebih tua -
sekitar 80% kematian yang tercatat berasal dari mereka yang berusia di atas 60 tahun, dan
75% memiliki kondisi kesehatan yang sudah ada termasuk penyakit kardiovaskular dan
diabetes.
Kasus kematian pertama yang dilaporkan adalah seorang pria berusia 61 tahun pada 9
Januari 2020 yang pertama kali dirawat di rumah sakit Wuhan pada 27 Desember 2019.
Kasus kematian pertama di luar Tiongkok terjadi di Filipina, dimana seorang pria warga
negara Tiongkok berusia 44 tahun menderita pneumonia parah dan meninggal pada 1
Februari. Pada 8 Februari 2020, diumumkan bahwa seorang warga Jepang dan seorang warga
Amerika Serikat meninggal akibat virus di Wuhan. Mereka adalah orang asing pertama yang
tewas akibat virus korona. Kasus kematian pertama di luar Asia terjadi di Paris, Prancis pada
15 Februari 2020, ketika seorang turis Tiongkok berusia 80 tahun dari Hubei meninggal
setelah dirawat di rumah sakit sejak 25 Januari.
Penyebab
Filogenetik dan taksonomi
Virus korona baru awalnya disimbolkan 2019-nCoV oleh WHO, dengan huruf n yang berarti
novel atau baru, dan CoV yang berarti coronavirus atau virus korona. Virus ini tergolong
dalam ordo Nidovirales, keluarga Coronaviridae, dan genus Betacoronavirus (Beta-CoV).
Genus betacoronavirus terdiri atas empat garis keturunan (subgenus), di mana 2019-nCoV
bersama dengan SARS-CoV digolongkan dalam garis keturunan B (subgenus Sarbecovirus).
Virus 2019-nCoV merupakan spesies ketujuh dalam keluarga Coronaviridae yang mampu
menginfeksi manusia, selain 229E, NL63, OC43, HKU1, MERS-CoV, dan SARS-CoV. Pada
11 Februari 2020, Komite Internasional Taksonomi Virus (ICTV) memberi nama virus ini
koronavirus sindrom pernapasan akut berat 2 (Severe acute respiratory syndrome
coronavirus 2, disingkat SARS-CoV-2) yang merupakan galur dalam spesies SARS-CoV.
Genom SARS-CoV-2 telah berhasil diisolasi. Virus ini memiliki RNA dengan panjang
sekitar 30 ribu pasangan basa. Urutan genom menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 memiliki
tingkat kesamaan dengan SARS-CoV sebesar 79,5% dan dengan virus korona kelelawar
sebesar 96%. Sejumlah genom SARS-CoV-2 telah diisolasi dan dilaporkan dari Institut
Nasional untuk Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Virus, Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Penyakit Tiongkok (CDC Tiongkok), Institut Biologi Patogen, dan Rumah Sakit
Jinyintan Wuhan.
Penyebaran
Angka reproduksi dasar untuk penularan virus dari manusia ke manusia diperkirakan antara 2
dan 4. Jumlah tersebut menggambarkan berapa banyak makhluk hidup yang baru terinfeksi
yang kemungkinan menularkan virus dalam populasi manusia. Virus korona baru telah
dilaporkan mampu mengirimkan rantai hingga empat orang sejauh ini. Pada 22 Januari 2020,
para ilmuwan dari Universitas Peking, Universitas Kedokteran Tradisional Tiongkok
Guangxi, Universitas Ningbo dan Sekolah Tinggi Teknik Biologi Wuhan menerbitkan sebuah
artikel setelah melihat "manusia, kelelawar, ayam, landak, trenggiling, dan dua spesies
ular",yang menyimpulkan bahwa "2019-nCoV tampaknya merupakan virus rekombinan
antara koronavirus kelelawar dan koronavirus yang asalnya tidak diketahui"... dan ..."ular
adalah reservoir hewan satwa liar yang paling mungkin untuk virus 2019-nCoV" yang
kemudian menyebar ke manusia. Beberapa ilmuwan lain berpendapat bahwa 2019-nCoV
dikembangkan sebagai hasil dari "virus gabungan antara kelelawar dan ular. Artikel pracetak
yang dipublikasikan pada tanggal 23 Januari 2020 di jurnal bioRxiv yang ditulis oleh peneliti
dari Institut Virologi Wuhan, Rumah Sakit Jinyintan Wuhan, Universitas Akademi Sains
Tiongkok dan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit menyatakan bahwa virus korona
ini kemungkinan berasal dari kelelawar, karena analisis mereka menunjukkan bahwa 2019-
nCoV 96% identik di tingkat genom secara keseluruhan dengan koronavirus kelelawar.
Hasil penelitian telah menunjukkan bahwa virus 2019-nCoV masuk ke tubuh manusia
melalui Reseptor ACE 2, sama seperti virus SARS.
Empon-empon
Guru besar Universitas Airlangga (UNAIR), Chairul Anwar Nidom, menawarkan pendekatan
berbeda. Ia mengusulkan masyarakat agar mengonsumsi empon-empon untuk membantu
melindungi diri dari Covid-19.
"Empon-empon" adalah istilah yang biasa dipakai para ibu rumah tangga di pedesaan untuk
bumbu-bumbu yang biasanya terdiri dari jahe, temulawak, kunyit, lengkuas, kunir, sereh, dan
sebagainya. Nidom dan para peneliti di Profesor Nidom Foundation pernah menguji empon-
empon untuk mengatasi gejala yang diakibatkan virus flu burung Menurut Nidom,
kebanyakan orang yang menderita flu burung meninggal dunia karena paru-parunya rusak
berat atau pneumonia.
Jakarta - Top 3 Tekno berita hari ini, Jumat 6 Maret 2020, dimulai dari artikel berisi
keterangan dari Wakil Ketua Tim Dokter Infeksi Khusus RS Hasan Sadikin
Bandung, Anggraini Alam. Dia mengungkap bahwa satu orang terinfeksi virus
corona COVID-19 bisa menularkannya kepada 3-4 orang lain. Pada beberapa kasus seperti
di Korea Selatan bahkan bisa sampai 11 orang.
Berita terpopuler kedua adalah asteroid berukuran kira-kira setengah Gunung Everest
meluncur ke arah Bumi bulan depan. Para ilmuwan mengatakan objek yang disebut 52768
(1998 OR2, karena ditemukan pada 1998 lalu) itu diperkirakan tidak akan menabrak Bumi
sehingga potensi bencana global terhindarkan.
Lainnya, jurnal ilmiah yang cukup terkemuka mencabut kembali makalah penelitian yang
pernah dimuatnya pada tahun lalu. Makalah penelitian itu mengklaim bahwa perubahan
iklim terjadi karena siklus Matahari dan bukan oleh aktivitas manusia.
Beijing - Beberapa surat kabar dan media massa telah melaporkan klaim para ilmuwan China
bahwa Virus Corona saat ini (COVID-19) mungkin berasal dari kelelawar yang disimpan di
laboratorium pemerintah China di Wuhan. Surat kabar dan media massa asal Inggris seperti
Daily Mail, Express, The Sun, Daily Star dan Mirror ikut melaporkan tentang klaim tersebut.
Laporan tersebut adalah makalah nyata yang diterbitkan oleh para ilmuwan China, tetapi
penting untuk memahami konteksnya sebelum menafsirkannya. Makalah ini belum ditinjau
oleh rekan ilmuwan lainnya, dan tidak menawarkan bukti jelas bahwa wabah tersebut
memang berasal di laboratorium. Laporan itu hanya mengusulkan klaim ilmuwan sebagai
suatu kemungkinan, seperti dikutip dar Full Fact, Selasa (18/2/2020).
Para ilmuwan menulis tentang jalur kemungkinan antara kelelawar yang terinfeksi (yang
telah diidentifikasi sebagai kemungkinan asal penyakit) dan pasar makanan laut di mana
wabah COVID-19 dilaporkan bermula.
Para ilmuwan yang menuliskan laporan tersebut menyimpulkan bahwa dua hal yang
memungkinkan terinfeksinya kelelawar di pasar, merupakan suatu logika yang tidak masuk
akal dan tidak mungkin terjadi.
Yang pertama adalah bahwa kelelawar terbang ke pasar dari habitat aslinya. Mereka
meragukan ini dan mengatakan bahwa kelelawar yang membawa virus itu ditemukan lebih
dari 900 kilometer jauhnya dari Wuhan. Tampaknya adil untuk mengatakan bahwa Wuhan
bukanlah habitat alami spesies kelelawar khusus ini.
Jalur kedua yang mereka diskusikan adalah bahwa kelelawar itu dijual di pasar dan dimakan
sebagai makanan. Mereka mengatakan bahwa menurut laporan lokal, kelelawar tidak
dimakan di Wuhan. Para peneliti menyarankan bahwa fasilitas penelitian yang dekat dengan
pasar makanan laut mungkin merupakan mata rantai yang hilang. Menggunakan peta online,
penulis menyimpulkan bahwa ada laboratorium yang melakukan penelitian tentang kelelawar
sekitar 280 meter dan 12 kilometer dari pasar.