Anda di halaman 1dari 21

OTONOMI DAERAH

Dosen pengampu:

Indira Ekawati, M. Si

Di susun oleh kelompok 9 (A 2018 2) :

Nur Fitriani (1811112456)

Yanni Rizkia Amlina(1811112407)

Khoiriah Nst (1811110593)

Suci Dwi Hidayanti (1811112507)

Naimi Syifa Urrahma(1811125268)

Mirna Nurulita Sari (1811113725)

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS RIAU
2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur kami haturkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala yang telah
memberikan banyak nikmat, taufik dan hidayah. Sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Otonomi Daerah” dengan baik tanpa ada halangan yang
berarti. Penyusunan makalah ini dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah
Kewarganegaraan. Makalah ini telah kami selesaikan dengan maksimal berkat
kerjasama dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu kami sampaikan banyak
terima kasih kepada segenap pihak yang telah berkontribusi secara maksimal dalam
penyelesaian makalah ini.

Diluar itu, kami sebagai manusia biasa menyadari sepenuhnya bahwa masih
banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik dari segi tata bahasa, susunan
kalimat maupun isi. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati, kami selaku
penyusun menerima segala kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Dengan
karya ini kami berharap dapat berguna bagi pembaca. Demikian yang bisa kami
sampaikan, semoga makalah ini dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan dan
memberikan manfaat nyata untuk masyarakat luas.

Pekanbaru, 20 November 2019

Kelompok 9

i
ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUA...........................................................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................................................1
B. Tujuan..........................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................................3
A. Pengertian Otonomi Daerah.........................................................................................3
B. Sejarah Otonomi Daerah..............................................................................................3
C. Sistem Otonomi daerah................................................................................................8
D. Prinsip-prinsip Otonomi Daerah...................................................................................9
E. Tujuan Otonomi Daerah.............................................................................................11
F. Landasan Hukum Otonomi Daerah............................................................................11
G. Dampak Otonomi Daerah...........................................................................................12
BAB III PENUTUP...............................................................................................................14
A. Kesimpulan....................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................15
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebuah negara kesatuan, menurut sistemnya dibedakan menjadi dua, yaitu
sistem sentralisasi dan sistem desentralisasi. Sebuah negara yang menganut
sistem sentralisasi berarti pemerintah pusat dalam negara tersebut memiliki
kedaulatan penuh untuk menyelenggarakan urusan pemerintah dari pusat hingga
daerah, termasuk segala hal yang menyangkut urusan pemerintahan daerah.
Sehingga, dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah bersifat pasif dan hanya
mematuhi perintah dari pemerintah pusat.

Sedangkan sistem desentralisasi adalah sebuah sistem dimana pemerintah


sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara memberikan sebagian
kekuasaanya kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri. Negara Indonesia merupakan negara kesatuan yang menganut sistem
desentralisasi. Oleh karena itu, meskipun pemerintah pusat adalah pemegang
kekuasaan tertinggi di Indonesia, setiap daerah di Indonesia memiliki hak untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, dengan catatan apa yang
dilakukan oleh pemerintah daerah tidak menentang pemerintah pusat.

Berdasarkan keputusan MENDAGRI dan Otonomi Daerah Nomor 50


Tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Dan Tata kerja Perangkat Daerah
Provinsi menjadi dasar pengelolahan semua potensi daerah yang ada dan di
manfaatkan semaksimal mungkin oleh daerah yang mendapatkan hak otonomi
dari daerah pusat.Kesempatan ini sangat menguntungkan bagi daerah-daerah
yang memiliki potensi alam yang sangat besar untuk dapat mengelolah daerah
sendiri secara mandiri ,dengan peraturan pemerintah yang dulunya
mengalokasikan hasil daerah 75% untuk pusat dan 25% untuk dikembalikan ke
daerah membuat daerah-daerah baik tingkat I maupun daerah tingkat II sulit

1
2

untuk mengembangkan potensi daerahnya baik secara ekonomi maupun budaya


dan pariwisata.

Kebijakan otonomi daerah lahir ditengah gejolak tuntutan berbagai daerah


terhadap berbagai kewenangan yang selama 20 tahun pemerintahan Orde Baru
(OB) menjalankan mesin sentralistiknya. UU No. 5 tahun 1974 tentang
pemerintahan daerah yang kemudian disusul dengan UU No. 5 tahun 1979
tentang pemerintahan desa menjadi tiang utama tegaknya sentralisasi kekuasaan
OB. Semua mesin partisipasi dan prakarsa yang sebelumnya tumbuh sebelum OB
berkuasa, secara perlahan dilumpuhkan dibawah kontrol kekuasaan. Stabilitas
politik demi kelangsungan investasi ekonomi (pertumbuhan) menjadi alasan
pertama bagi OB untuk mematahkan setiap gerak prakarsa yang tumbuh dari
rakyat. Ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat sangat tinggi
sehingga sama sekali tidak ada kemandirian perencanaan pemerintah daerah saat
itu. Di masa orde baru semuanya bergantung ke Jakarta dan diharuskan semua
meminta uang ke Jakarta. Tidak ada perencanaan murni dari daerah karena
Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak mencukupi.

B. Tujuan
1. Mengetahui pengertian otonomi daerah
2. Mengetahiu sejarah otonomi daerah
3. Mengetahui prinsip otonomi darrah
4. Mengetahui tujuan otonomi daerah
5. Menegtahui landasan hukum otonomi daerah
6. Mengetahui dampak otonomi daerah
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Otonomi Daerah


Otonomi berasal dari dua kata yaitu , auto berarti sendiri, nomos berarti
rumah tangga atau urusan pemerintahan. Otonomi dengan demikian berarti
mengurus rumah tangga sendiri. Dengan mendampingkan kata ekonomi
dengan kata daerah, maka istilah “mengurus rumah tangga sendiri”
mengandung makna memperoleh kekuasaan dari pusat dan mengatur atau
menyelenggarakan rumah tangga pemerintahan daerah sendiri.

Otonomi daerah adalah hak penduduk yang tinggal dalam suatu daerah
untuk mengatur, mengurus, mengendalikan dan mengembangkan urusannya
sendiri dengan menghormati peraturan perundangan yang berlaku (Hanif
Nurcholis, 2007).

Otonomi daerah adalah wewenang, hak dan kewajiban suatu daerah


otonom untuk mengurus dan mengatur sendiri urusan pemerintahan dan
mengurus berbagai kepentingan masyarakat yang berada dan menetap di
dalam daerah tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

B. Sejarah Otonomi Daerah

1. Warisan Kolonial
Pada tahun 1903, pemerintah kolonial mengeluarkan staatsblaad
No. 329 yang memberi peluang dibentuknya satuan pemerintahan yang
mempunyai keuangan sendiri. Kemudian staatblaad ini diperkuat dengan
Staatblaad No. 137/1905 dan S. 181/1905. Pada tahun 1922, pemerintah

3
4

kolonial mengeluarkan sebuah undang-undang S. 216/1922. Dalam


ketentuan ini dibentuk sejumlah provincie, regentschap, stadsgemeente,
dan groepmeneenschap yang semuanya menggantikan locale ressort.
Selain itu juga, terdapat pemerintahan yang merupakan persekutuan asli
masyarakat setempat.
Pemerintah kerajaan satu per satu diikat oleh pemerintahan kolonial
dengan sejumlah kontrak politik (kontrak panjang maupun kontrak
pendek). Dengan demikian, dalam masa pemerintahan kolonial, warga
masyarakat dihadapkan dengan dua administrasi pemerintahan.

2. Masa Pendudukan Jepang


Ketika menjalar PD II Jepang melakukan invasi ke seluruh Asia
Timur mulai Korea Utara ke Daratan Cina, sampai Pulau Jawa dan
Sumatra. Negara ini berhasil menaklukkan pemerintahan kolonial Inggris
di Burma dan Malaya, AS di Filipina, serta Belanda di Daerah Hindia
Belanda. Pemerintahan Jepang yang singkat, sekitar tiga setengah tahun
berhasil melakukan perubahan-perubahan yang cukup fundamental
dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan daerah di wilayah-wilayah
bekas Hindia Belanda. Pihak penguasa militer di Jawa mengeluarkan
undang-undang (Osamu Seire) No. 27/1942 yang mengatur
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pada masa Jepang pemerintah
daerah hampir tidak memiliki kewenangan. Penyebutan daerah otonom
bagi pemerintahan di daerah pada masa tersebut bersifat misleading.

3. Masa Kemerdekaan

a. Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945


Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 menitik beratkan pada
asas dekonsentrasi, mengatur pembentukan KND (komite Nasional
5

Daerah) di keresidenan, kabupaten, kota berotonomi, dan


daerahdaerah yang dianggap perlu oleh mendagri. Pembagian daerah
terdiri atas dua macam yang masing-masing dibagi dalam tiga
tingkatan yakni:
1) Provinsi
2) Kabupaten/kota besar
3) Desa/kota kecil.

UU No.1 Tahun 1945 hanya mengatur hal-hal yang bersifat


darurat dan segera saja. Dalam batang tubuhnya pun hanya terdiri
dari 6 pasal saja dan tidak memiliki penjelasan.

b. Periode Undang-undang Nomor 22 tahun 1948


Peraturan kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di
Indonesia adalah UU Nomor 22 tahun 1948 yang ditetapkan dan
mulai berlaku pada tanggal 10 Juli 1948. Dalam UU itu dinyatakan
bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni :
1) Provinsi

2) Kabupaten/kota besar

3) Desa/kota kecil

c. Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957

Menurut UU No. 1 Tahun 1957, daerah otonom diganti dengan


istilah daerah swatantra. Wilayah RI dibagi menjadi daerah besar
dan kecil yang berhak mengurus rumah tangga sendiri, dalam tiga
tingkat, yaitu :
6

1) Daerah swatantra tingkat I, termasuk kotapraja Jakarta Raya

2) Daerah swatantra tingkat II

3) Daerah swatantra tingkat III.

d. Periode Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959

Penpres No. 6 Tahun 1959 yang berlaku pada tanggal 7


November 1959 menitik beratkan pada kestabilan dan efisiensi
pemerintahan daerah, dengan memasukkan elemen-elemen baru.
Penyebutan daerah yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri
dikenal dangan daerah tingkat I, tingkat II, dan daerah tingkat III.

Dekonsentrasi sangat menonjol pada kebijakan otonomi daerah


pada masa ini, bahwa kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat,
terutama dari kalangan pamong praja.

e. Periode Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965

Menurut UU ini, wilayah negara dibagi-bagi dalam tiga


tingkatan yakni:

1) Provinsi (tingkat I)

2) Kabupaten (tingkat II)

3) Kecamatan (tingkat III)


7

Sebagai alat pemerintah pusat, kepala daerah bertugas


memegang pimpinan kebijaksanaan politik polisional di daerahnya,
menyelenggarakan koordinasi antarjawatan pemerintah pusat di
daerah, melakukan pengawasasan, dan menjalankan tugas-tugas lain
yang diserahkan kepadanya oleh pemerintah pusat. Sebagai alat
pemerintah daerah, kepala daerah mempunyai tugas memimpin
pelaksanaan kekuasaan eksekutif pemerintahan daerah,
menandatangani peraturan dan keputusan yang ditetapkan DPRD,
dan mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan.

f. Periode Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974

UU ini menyebutkan bahwa daerah berhak mengatur, dan


mengatur rumah tangganya berdasar asas desentralisasi. Dalam UU
ini dikenal dua tingkatan daerah, yaitu daerah tingkat I dan daerah
tingkat II. Daerah negara dibagi-bagi menurut tingkatannya menjadi:

1) Provinsi/ibu kota Negara

2) Kabupaten/kotamadya

3) Kecamatan

Titik berat otonomi daerah terletak pada daerah tingkat II


karena daerah tingkat II berhubungan langsung dengan masyarakat
sehingga lebih mengerti dan memenuhi aspirasi masyarakat. Prinsip
otonomi dalam UU ini adalah otonomi yang nyata dan bertanggung
jawab.
8

g. Periode Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999

Pada prinsipnya UU ini mengatur penyelenggaraan


pemerintahan daerah yang lebih mengutamakan desentralisasi.
Pokok pikiran dalam penyusunan UU No. 22 tahun 1999 adalah
sebagai berikut:

1) Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip


pembagian kewenangan berdasarkan asas desentralisasi dalam
kerangka NKRI.

2) Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan


dekonsentrasi adalah daerah provinsi sedangkan daerah yang
dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah daerah kabupaten
dan daerah kota.

3) Daerah di luar provinsi dibagi dalam daerah otonomi.

4) Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten.

Secara umum, UU No. 22 tahun 1999 banyak membawa


kemajuan bagi daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Tetapi sesuai perkembangan keinginan masyarakat daerah, ternyata
UU ini juga dirasakan belum memenuhi rasa keadilan dan
kesejahteraan bagi masyarakat.

h. Periode Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004


9

Pada tanggal 15 Oktober disahkan UU No. 32 tahun 2004


tentang pemerintah Daerah yang dalam pasal 239 dengan tegas
menyatakan bahwa dengan berlakunya UU ini, UU No. 22 tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku lagi.
UU baru ini memperjelas dan mempertegas hubungan hierarki antara
kabupaten dan provinsi, antara provinsi dan pemerintah pusat
berdasarkan asas kesatuan administrasi dan kesatuan wilayah.
Pemerintah pusat berhak melakukan kordinasi, supervisi, dan
evaluasi terhadap pemerintahan di bawahnya, demikian juga provinsi
terhadap kabupaten/kota. Di samping itu, hubungan kemitraan dan
sejajar antara kepala daerah dan DPRD semakin di pertegas dan di
perjelas. Paling tidak ada dua faktor yang berperan kuat dalam
mendorong lahirnya kebijakan otonomi daerah berupa UU No.22
Tahun 1999.

1) Faktor internal yang didorong oleh berbagai protes atas


kebijakan poitik sentralisme di masa lampau.
2) Faktor eksternal yang di pengaruhi oleh dorongan internasional
terhadap kepentingan investasi terutama untuk efisiensi dari
biaya investasi yang tinggi sebagai akibat korupsi dan rantai
birokrasi yang panjang.

C. Sistem Otonomi daerah


Yang di maksud dengan paham atau sistem otonomi di sini ialah
patokan tentang cara penentuan batas-batas urusan rumah tangga daerah dan
tentang tata acara pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada
daerah menurut suatu prinsip atau pemikiran tertentu. (Sujamto, 1990).

Adapun mengenai faham atau atau sistem otonomi tersebut pada


umumnya orang mengenal ada dua faham atau sistem pokok, yaitu faham
10

atau sistem otonomi materil dan faham atau sistem otonomi formal. Oleh
Sujamto (1990) kedua istilah ini lazim juga disebut pengertian rumah tangga
materil (Materiele Huishoudingsbegrip) dan pengertian rumah tangga formil
(formeele huishoudingsbegrip). Koesoemahatmadja (1978) menyatakan ada
tiga ajaran rumah tangga yang terkenal yaitu :

1. Ajaran Rumah Tangga Materil (Materiele Huishoudingsleer)

Bahwa dalam hubungan pemerintah pusat dan daerah ada pembagian tugas
yang jelas, dimana tugas-tugas tersebut di perinci dengan jelas dan
diperinci dengan Undang-Undang tentang pembentukkan suatu daerah.

2. Ajaran Rumah Tangga Formil (Formil Huishoudingsleer)

Tidak terdapat perbedaan sifat antar tugas-tugas yag diselenggarakan oleh


pemerintahan pusat dan daerah. Apa yang dikerjakan pemerintahan pusat
pada prinsipnya dapat dikerjakan oleh pemerintahan daerah, dan
sebaliknya. Bila ada pembagiian tugas maka di dasarkan atas pembagian
rasional dan praktis.

3. Ajaran Rumah Tangga Riil (Riele Huishoudingsleer).

Peraturan perundang-undanag yang pertama kali menagtur tentang


pemerintahan daerah pasca proklamasi kemerdekaan adalah UU Nomor 1
tahun 1945. Undang-undang ini merupakan hasil dari berbagai
pertimbangan tentang sejarah pemerintahan di masa kerajaan dan masa
pemerintahan kolonialisme. Namun undang-undang ini belum mengatur
tentang desentralisasi dan hanya menekankan pada aspek cita-cita
kedaulatan rakyat melalui pembentukan badan perwakilan rakyat daerah.
11

D. Prinsip-prinsip Otonomi Daerah

Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya


dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua
urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan
dalam undang-undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan
daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan
pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan
rakyat (HAW. Widjaja, 2007).

Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan otonomi


yang luas, nyata, dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional dan
berkeadilan, jauh dari praktik-praktik korupsi, kolusi, nepotisme serta adanya
perimbangan antara keuangan pemerintah pusat dan daerah (HAW. Widjaja,
2007). Dengan demikian prinsip otonomi daerah adalah sebagai berikut :

a. Prinsip Otonomi Luas


Yang dimaksud otonomi luas adalah kepala daerah diberikan tugas,
wewenang, hak, dan kewajiban untuk menangani urusan pemerintahan
yang tidak ditangani oleh pemerintah pusat sehingga isi otonomi yang
dimiliki oleh suatu daerah memiliki banyak ragam dan jenisnya. Di
samping itu, daerah diberikan keleluasaan untuk menangani urusan
pemerintahan yang diserahkan itu, dalam rangka mewujudkan tujuan
dibentuknya suatu daerah, dan tujuan pemberian otonomi daerah itu
sendiri terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, sesuai
dengan potensi dan karakteristik masing-masing daerah.
b. Prinsip Otonomi Nyata
12

Yang dimaksud prinsip otonomi nyata adalah suatu tugas, wewenang dan
kewajiban untuk menangani urusan pemerintahan yang senyatanya telah
ada dan berpotensi untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi
dan karakteristik daerah masing-masing.
c. Prinsip Otonomi yang Bertanggungjawab
Yang dimaksud dengan prinsip otonomi yang bertanggung jawab adalah
otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan
dengan tujuan pemberian otonomi yang pada dasarnya untuk
memberdayakan daerah, termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
(Rozali Abdullah, 2007).

E. Tujuan Otonomi Daerah

Tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah menurut Mardiasmo


(2002) adalah untuk meningkatkan pelayanan publik dan memajukan
perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung tiga misi utama pelaksanaan
otonomi daerah yaitu:

1. Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan


masyarakat,
2. Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah,
dan
3. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk
berpartisipasi dalam proses pembangunan.
13

Menurut Deddy S.B. & Dadang Solihin (2004), tujuan peletakan


kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah peningkatan
kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan, demokratisasi dan
penghormatan terhadap budaya lokal dan memperhatikan potensi dan
keanekaragaman daerah. Dengan demikian pada intinya tujuan otonomi
daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan cara
meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat dan memberdayakan
masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.

F. Landasan Hukum Otonomi Daerah


UUD 1945 pasal 18 ayat 2 berbumyi “Pemerintah daerah provinsi, daerah
Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.” Pasal tersebut adalah landasan
mutlak untuk pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Selain pasal tersebut,
otonomi daerah juga diatur dalam :

1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan


Di Daerah

2. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

3. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan


Antara Pemerintah Pusat dan Daerah

4. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

5. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan


Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
14

6. Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32


Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

7. Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas


Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

G. Dampak Otonomi Daerah

1. Dampak Positif
Dampak positif otonomi daerah adalah bahwa dengan otonomi
daerah makapemerintah daerah akan mendapatkan kesempatan untuk
menampilkan identitas lokalyang ada di masyarakat. Berkurangnya
wewenang dan kendali pemerintah pusat mendapatkan respon tinggi dari
pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yang berada di daerahnya
sendiri. Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak daripada yang
didapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat. Dana tersebut
memungkinkan pemerintah lokal mendorong pembangunan daerah serta
membangun program promosi kebudayaan dan juga pariwisata.
2. Dampak Negatif
Dampak negatif dari otonomi daerah adalah adanya kesempatan
bagi oknum-oknum di pemerintah daerah untuk melakukan tindakan yang
dapat merugikan Negara dan rakyat seperti korupsi, kolusi dan nepotisme.
Selain itu terkadang ada kebijakan-kebijakan daerah yang tidak sesuai
dengan konstitusi Negara yang dapat menimbulkan pertentangan antar
daerah satu dengan daerah tetangganya, atau bahkan daerah dengan
Negara, seperti contoh pelaksanaan Undang-undang Anti Pornografi
ditingkat daerah. Hal tersebut dikarenakan dengan sistem otonomi daerah
maka pemerintah pusat akan lebih susah mengawasi jalannya
15

pemerintahan di daerah, selain itu karena memang dengan sistem.otonomi


daerah membuat peranan pemeritah pusat tidak begitu berarti.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Otonomi daerah adalah wewenang, hak dan kewajiban suatu daerah


otonom untuk mengurus dan mengatur sendiri urusan pemerintahan dan
mengurus berbagai kepentingan masyarakat yang berada dan menetap di
dalam daerah tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Otonomi daerah sudah berlangsung sejak masa kolonial dan masa
pendudukan jepang. Pada masa kemerdekaan,otonomi daerah ditetapkan
dengan dikeluarkannya UU yang mengatur hal tersebut.
Sistem otonomi daerah dibagi menjadi sistem materil dan sistem
formil.otonomi daerah memilikiprinsip-prinsip yaitu prinsip otonomi luas,
prinsip otonomi nyata, dan prinsip otonomi yang bertanggung jawab.
Dasar hukum yang mengatur otonomi daerah antara lain:

1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan


Di Daerah

2. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

3. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan


Antara Pemerintah Pusat dan Daerah

4. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

16
17

5. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan


Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah

6. Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32


Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

7. Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas


Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Rozali. 2007. Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan


Kepala Daerah Secara Langsung. Jakarta : PT Raja Grasindo
Fajri,Muhammad,dkk. 2012. Otonomi Daerah. Jurusan Ilmu Pemerintahan
Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik Universitas Islam Riau
Hanif Nurcholis. 2007. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi
Daerah. Jakarta : PT Raja Grasindo
H.A.W. Widjaja. 2005. Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia. Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada

Marbun, B. (2005). Otonomi Daerah 1945‐2005 Proses dan Realita Perkembangan


Otda Sejak Zaman Kolonial sampai Saat Ini. Jakarta: Pustaka Sinar harapan.

Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Penerbit Andi. Yogyakarta.


Nazara, C.M. (2006). Dampak Otonomi Daerah Terhadap Pemekaran
Provinsi Banten.Skripsi pada FEM IPB Bogor: tidak diterbitkan.
Riwu Kaho, Josef, 1988, Prospek Otonomi Daerah di Indonesia, Jakarta, PT.
Raja Grafindo Persada.

Salam, D. (2004). Otonomi Daerah, Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan


Sumber Daya. Bandung: Djambatan.

18

Anda mungkin juga menyukai