Anda di halaman 1dari 53

TUTORIAL SKENARIO I BLOK 5.

3
SISTEM ENDOKRIN DAN METABOLIK
KELOMPOK TUTOR 4

PENGAMPU: dr. Susan Tarawifa, M.Biomed

ANGGOTA KELOMPOK

ALDO VICTORIA G1A116015


SINDHI YULIZAWIRTA G1A116016
AYU HERLINA G1A116017
VIRGINIA AYUGA SEPTIYADINDA G1A116018
DELLA RAFIKA SARI G1A116019
LARASSATI G1A116061
AMELIA RACHEL ZAEBRINA G1A116062
ILHAM YURI LUBIS G1A116063
META HAWIKA PUTRI G1A116064
NABILA HAPTRIANI G1A116066
ADPRIYANTI CANDRA S G1A116067

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur kepada Allah Swt. yang dengan rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan laporan ini. Tak lupa pula shalawat dan salam kami
junjungkan kepada umat manusia yang selalu kita tunggu syafaatnya, nabi besar, nabi
Muhammad Saw. yang membawa kita dengan penuh kesabaran dari zaman jahiliyah ke
zaman yang terang-menerang seperti saat ini.
Penulis berharap bahwa laporan ini dapat bermanfaat serta dapat menambah
wawasan dan pengetahuan untuk para pembaca. Dengan memperbanyak ikhtiar,
akhirnya laporan ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih banyak terdapat kesalahan dan jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu, sekiranya pembaca dapat memberikan kritik dan
saran serta usulan untuk perbaikan laporan diwaktu yang akan datang.
Dengan ucapan Alhamdulillah, demikianlah untaian kata pengantar dari penulis,
semoga apa yang telah disampaikan penulis dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian.

Jambi, 20 November 2018


Tutor Penulis,

dr. Susantara, M.Biomed Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar............. ... ............................................................................ i


Daftar isi.......................... ............................................................................ ii
Skenario....................... ... ............................................................................ 1
Klarifikasi Istilah............. ............................................................................ 2
Identifikasi Masalah..... ... ............................................................................ 2
Analisis Masalah.......... ... ............................................................................ 3
Mind Mapping................. ............................................................................ 48
Daftar Pustaka.............. ... ............................................................................ 49

ii
SKENARIO

Tn. Zumi 54 tahun, datang dengan ditemani oleh istrinya ke poliklinik RSUD
Raden Mattaher Jambi dengan keluhan luka di jari-jari kaki kanan yang tidak kunjung
sembuh dan menghitam. Menurut istrinya, sebelumnya Tn. Zumi pernah didiagnosa
kelainan metabolik sejak 12 tahun yang lalu dan mendapat obat rutin. Namun Tn. Zumi
sudah tidak kontrol ke dokter 2 tahun yang lalu. Penderita merasakan sering kencing sehari
bisa 10-15 kali, juga merasakan rasa haus terus,, kesemutan, dan sering merasa lapar yang
sudah dirasakan sejak 3 bulan terakhir ini. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan pasien CM
(compos mentis), tekanan darah 140/80 mmHg, nadi 90x/menit, pernapasan 24x/menit,
suhu 37˚C, jantung dan paru tidak ditemukan kelainan, abdomen normal, ekstremitas distal
gangrene (+/-), orang tua Tn. Zumi pernah menderita hal yang sama. Bagaimana langkah-
langkah pengelolaan Tn. Zumi?

Pemeriksaan Penunjang :
GDS : 340 mg/dl

1
I. Klarifikasi Istilah
Kelainan metabolik : penyakit medis yang berkaitan dengan produksi energi
manusia, biasanya akibat dari genetic ditandai dengan
kelainan metabolisme tubuh manusia akibat defisiensi
hormon dan enzim.

Kesemutan : suatu kondisi anggota tubuh merasakan kebas atau mati rasa.

Gangrene : suatu kondisi jaringan mati akibat kurangnya pasokan darah


ke salah satu jaringan.

II. Identifikasi Masalah


1. Bagaimana patofisiologi luka tidak kunjung sembuh dan menghitam pada T. Zumi?
2. Penyakit apa saja yang ditandai dengan luka tidak kunjung sembuh?
3. Penyakit apa saja yang termasuk dalam kelainan metabolik?
4. Bagaimana makna klinis dan mekanisme pasien sering kencing 10-15 kali, rasa haus
terus, kesemutan, dan rasa lapar sejak 3 bulan yang lalu?
5. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan fisik Tn. Zumi?
6. Bagaimana hubungan keluhan pasien dengan hipertensi?
7. Bagaimana hubungan keluhan pasien terhadap orang tua pasien yang pernah
mengalami hal yang sama?
8. Penegakkan alur diagnosis!
9. Sintesis penyakit? (Definisi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi, manifestasi klinis,
tatalaksana, komplikasi, prognosis).

2
III. Analisis Masalah
1. Bagaimana patofisiologi luka tidak kunjung sembuh dan menghitam pada T. Zumi?
Jawab:
Luka kronis yang tidak sembuh sembuh adalah luka yang gagal diatasi secara
tepat dalam waktu perbaikan yang seharusnya atau yang berlanjut melalui proses
penyembuhan luka tanpa memulihkan kembali bentuk anatomi dan fungsional
normal seperti sebelumnya. Biasanya, ada gangguan fisiologis yang melambat atau
mencegah penyembuhan luka. Meskipun tidak ada konsensus yang jelas dalam
durasi luka mendefinisikan kronisitas, kisaran 4 minggu hingga 3 bulan telah
digunakan untuk menentukan luka kronis pada literatur. The Wound Healing Society
mengklasifikasikan luka kronis menjadi 4 kategori utama: pressure ulcers, diabetic
foot ulcers, venous ulcers, and arterial insufficiency ulcers.1
Ketika penyembuhan luka terganggu, biasanya tidak ada faktor tunggal,
melainkan multipel faktor yang berkontribusi pada penyembuhan luka. Hal ini
disebabkan oleh fakta bahwa ada mekanisme yang tumpang tindih dipenyembuhan
luka normal yang mencegah satu faktor mengganggu proses penyembuhan luka.
Namun, saat proses penyembuhan luka terganggu, tidak sembuh kronis luka akan
berkembang. Secara umum, luka yang tidak sembuh memiliki karakteristik yang
sama: tingkat protease tinggi, inflamasi marker tinggi, aktivitas faktor pertumbuhan
rendah, dan penurunan proliferasisel. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
penyembuhan luka dan berkontribusi pada patogenesis luka kronis. Beberapa faktor
umum adalah infeksi, iskemia, metabolik kondisi, imunosupresi, dan radiasi.1

a. Infeksi
Luka infeksi dapat menyebabkan gangguan beberapa proses sepanjang
jalur penyembuhan luka. Bakteri menghasilkan mediator inflamasi yang
menghambat fase inflamasi juga fase epitelisasi penyembuhan luka. Bakteri
dalam luka yang terinfeksi menyebabkan kematian sel, yang akan menyebabkan
peningkatan respons inflamasi lokal dan memperpanjang tahap inflamasi akut.
Adanya jaringan nekrotik mencegah pertumbuhan jaringan baru. Sebagai

3
tambahan, jaringan nekrotik juga berfungsi sebagai kultur untuk proliferasi
bakteri, oleh karena itu, menyebabkan viciouspathologiccycle.1

b. Kondisi iskemik
Iskemia adalah suatu kondisi yang menghasilkan luka kronis yang tidak
dapat disembuhkan dan dapat dilihat pada insufisiensi arteri, hipertensi vena,
dan cedera tekanan. Kondisi iskemik akibat insufisiensi arteri: Pada pasien
dengan insufisiensi arteri, aliran darah kejaringan berkurang, menyebabkan
penurunan dalam pengiriman oksigen dan nutrisi untuk luka, dan gangguan
dalam penghapusan produk limbah metabolisme dari luka. Tungkai yang
terancam iskemia berkembang ketika aliran darah ke ekstremitas tidak cukup
memenuhi kebutuhan metabolik dari jaringan, bermanifestasi sebagai nyeri saat
istirahat atau luka yang tidak menyembuhkan. Karena kekurangan oksigen dan
nutrisi yang kronis, kulit anggota tubuh yang terkena tidak mampu memelihara
arsitektur jaringan normal. Secara klinis, ini dimanifestasikan sebagai
permukaan kulit mengkilap dengan kekurangan rambut. Tuntutan metabolik
untuk mempertahankan kulit utuh lebih tinggi dari pada metabolik menuntut
untuk menyembuhkan luka. Potongan atau abrasi sederhana pada kulit yang
disebabkan oleh sepatu yang tidak pas dapat mengubah keseimbangan
permintaan metabolik, yang mengarah ke luka kronis.1
Penyebab paling umum ulkus insufisiensi arteri adalah obstruksi arteri
besar yang disebabkan oleh aterosklerosis. Kondisi lain yang mempengaruhi
arteri kecil seperti vaskulitis, tromboangitis obliterans, dan skleroderma juga
dapat menyebabkan ulkus iskemik, tetapi jarang.1
Kondisi iskemik akibat hipertensi vena: Pada pasien dengan trombosis
vena kronis, fistula arterioveno saat insufisiensi vena, tekanan hidrostatik
terbentuk di vena sistem yang mengarah ke hipertensi vena. Ini menyebabkan
hilangnya gradien tekanan antara arteriol dan venula, yang menyebabkan
perlambatan pergerakan darah di dalam kapiler. Pergerakan darah yang lamban
ini menghasilkan sekuestrasi eritrosit dan leukosit dalam kapiler, dan
peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler hasil kebocoran kapiler.

4
Fibrinogen yang bocor dari kapiler dermis membentuk fibrin manset. Manset
fibrin ini, dalam kombinasi dengan edema jaringan, menghasilkan penurunan
permeabilitas oksigen, menyebabkan hipoksia jaringan dan gangguan
penyembuhan luka. Leukosit yang terperangkap di dalam kapiler menempel ke
endotelium dan melepaskan mediator inflamasi dan oksigen reaktif metabolisme.
Pada gilirannya, menyebabkan kerusakan endotel, obliterasi kapiler, dan
iskemia jaringan berikutnya. Kapiler pasien dengan stasis vena juga tersumbat
oleh mikro thrombi yang mengurangi oksigen dan nutrisi ke jaringan, yang
menyebabkanpembentukanulkus.1
Kondisi iskemik karena cedera tekanan: Perkembangan cedera tekanan
disebabkan oleh kombinasi tekanan dan gaya geser. Tekanan didefinisikan
sebagai gaya per satuan luas. Oleh karena itu, area yang lebih kecil seperti itu di
atas penonjolan tulang mempertahankan tekanan yang lebih tinggi dan berada
pada risiko lebih tinggi untuk pengembangan cedera tekanan. Ketika tekanan
diterapkan pada kulit kelebihan tekanan arteriolar, oksigen dan pengiriman
nutrisi ke jaringan dimatikan, mengakibatkan hipoksia jaringan dan akumulasi
produk limbah dan radikal bebas. Pada binatang, tekanan lebih dari 70 mm Hg
selama dua jam mengakibatkan kerusakan jaringan ireversibel. Untuk
perbandingan, rata-rata pasien berbaring di kasur standar dapat menghasilkan
tekanan 150 mm Hg, sambil duduk dapat menghasilkan tekanan 300 mm Hg di
atas tuberositasiskia. Meskipun durasi kritis iskemia dapat bervariasi di antara
individu dan situasi klinis, seperti aturan praktis, cedera tekanan dapat
berkembang dalam waktu 1 hingga 4 jam dari beban tekanan berkelanjutan.
Selain tekanan yang diberikan secara eksternal, toleransi individu jaringan
terhadap iskemia juga berperan penting. Bukti menunjukkan bahwa pasien
dengan penyakit oklusi arteri perifer adalah pada risiko tinggi untuk
mengembangkan tekanan ulserasi. 1

5
c. Kondisi Metabolik
Ada beberapa kondisi metabolik yang berkontribusi pada pengembangan
luka yang tidak sembuh-sembuh. Penyembuhan luka pada diabetes terganggu
oleh faktor-faktor yang bersifat ekstrinsik dan intrinsik terhadap luka dan proses
biologisnya. Faktor ekstrinsik meliputi trauma berulang atau tekanan mekanis
yang diterapkan pada kaki yang telah menjadi tidak sensitif karena neuropati
dan juga iskemia sebagai akibat dari penyakit makro atau mikrovaskular.
Penebalan membran basal kapiler dan arteriol sering terjadi pada individu
dengan diabetes, mengakibatkan penyembuhan luka terganggu dan
pembentukan ulkus persisten. Peran penting telah dikaitkan dengan faktor-
faktor intrinsik terhadap biologis luka kronis pada diabetes.2
Telah dipostulasikan bahwa hiperglikemia sendiri memiliki efek merusak
pada penyembuhan luka melalui pembentukan Advance GlycationEndsproduct
(AGEs) yang menginduksi produksi molekul inflamasi (TNF-, IL-1) dan
mengganggu sintesis kolagen yang mana sintesis kolagen penting dalam proses
penyembuhan luka sebagai sat kemoatraktan sel sel seperti fibroblas dan
keratinosit. Selanjutnya, Spravchikov dkk. menunjukkan bahwa paparan
glukosa tinggi dikaitkan dengan perubahan morfologi seluler, penurunan
proliferasi, dan diferensiasi keratinosit yang abnormal, sehingga
mengungkapkan mekanisme lain dimana hiperglikemia dapat mempengaruhi
penyembuhan luka pada diabetes. Menariknya, waktu penyembuhan kaki dan
borok kaki menurun pada pasien diabetes dengan HbA1c yang lebih rendah,
sehingga menekankan korelasi klinis antara hiperglikemia dan gangguan
penyembuhan luka. Fungsi kekebalan yang berubah juga dapat berkontribusi
terhadap penyembuhan luka yang buruk pada pasien dengan diabetes.
Kemotaksis menurun, fagositosis, pembunuhan bakteri ,dan mengurangi
pengeluaran Heatshock protein. telah terlibat dalam fase awal penyembuhan
luka pada diabetes. Fahey dkk. menunjukkan bahwa perubahan infiltrasi
leukosit dan cairan luka IL-6 menandai fase inflamasi akhir penyembuhan luka
pada diabetes . Oleh karena itu tampaknya bahwa pola berubah dari penampilan

6
sitokin di lingkungan luka dapat berkontribusi untuk penyembuhan luka yang
tertunda pada diabetes.2
Hal ini dibuktikan oleh fakta bahwa perubahan bioavailabilitas sitokin
dan faktor pertumbuhan telah berimplikasi pada patogenesis luka kronis.
Molekul sinyal ini disekresikan oleh berbagai jenis sel untuk mengontrol
proliferasi sel, diferensiasi, migrasi, dan metabolisme. Ekspresi abnormal faktor
pertumbuhan diamati pada ulkus kaki diabetik. Telah dipostulasikan bahwa
perangkap faktor pertumbuhan dan sitokin oleh makromolekul tertentu seperti
albumin, fibrinogen, dan 2-macroglobulin dapat mengganggu proses
penyembuhan. Selanjutnya, peningkatan degradasi faktor pertumbuhan pada
cairan luka pada penderita diabetes telah didiskusikan sebagai faktor yang
berkontribusi terhadap proses penyembuhan luka yang terganggu.2
Telah melaporkan peningkatan aktivitas insulin degradingenzyme (IDE)
dalam cairan luka dari pasien dengan ulkus kaki diabetik. Menariknya, aktivitas
penurunan insulin dalam cairan luka ditemukan berkorelasi positif dengan kadar
HbA1c, sehingga mendukung fakta bahwa kontrol glukosa merupakan pra-
syarat penting untuk penyembuhan luka. Selain itu, penyembuhan luka yang
normal membutuhkan keseimbangan antara akumulasi komponen matriks
ekstraseluler kolagen dan non-kolagen. Remodelling mereka ditentukan oleh
matriks metalloproteinase (MMPs) dan penghambat jaringan metaloproteinase
(TIMPs). MMP memainkan peran penting dalam debridemen luka awal serta
dalam angiogenesis, epitelisasi, dan remodelling jaringan parut. Beberapa
penelitian melaporkan peningkatan kadar MMP dan penurunan kadar TIMP
pada luka kronis dengan pola yang mirip pada luka pasien dengan diabetes
mellitus. Ada juga semakin banyak bukti bahwa sel-sel sisa luka kronis dapat
mengalami perubahan fenotipik yang mengganggu kapasitas mereka untuk
proliferasi dan gerakan. Sebagai contoh, telah dilaporkan bahwa fibroblas dari
vena dan ulkus tekanan yang senescent dan memiliki kemampuan yang
berkurang untuk berproliferasi dengan kapasitas proliferasi yang secara
langsung berkorelasi dengan kegagalan untuk menyembuhkan.2

7
Gambar 1. Efek Potensial dari Diabetes pada Gangguan Penyembuhan Luka

Gangguan penyembuhan baik pada diabeticfootulcers (DFU) dan luka


kulit akut pada orang dengan diabetes melibatkan beberapa mekanisme
patofisiologis kompleks. DFU, seperti penyakit stasis vena dan luka kronis yang
berhubungan dengan tekanan, selalu disertai dengan hipoksia Situasi hipoksia
berkepanjangan, yang mungkin berasal dari perfusi yang tidak memadai dan
angiogenesis yang tidak memadai, merugikan untuk penyembuhan luka.
Hipoksia dapat memperkuat respon inflamasi awal, sehingga memperpanjang
cedera dengan meningkatkan tingkat radikal oksigen. Hiperglikemia juga dapat
menambah stres oksidatif ketika produksi ROS (Reactive Oxygen Species)
melebihi kapasitas anti oksidan. Pembentukan Advanced Glycation Endsprocudt
(AGEs) di bawah hiperglikemia dan interaksi dengan reseptornya (RAGE)
berhubungan dengan gangguan penyembuhan luka pada tikus diabetes juga.
Tingkat metall oprotease yang tinggi merupakan ciri ulkus kaki diabetik, dan
kadar MMP pada cairan luka kronis hampir 60 kali lebih tinggi daripada luka
akut. Peningkatan aktivitas protease ini mendukung kerusakan jaringan dan
menghambat proses perbaikan normal .3
Seperti disebutkan di atas, hipoksia berkontribusi terhadap
compromisedhealingdari DFU, dan luka diabetes menunjukkan angiogenesis
yang tidak adekuat. Beberapa penelitian yang telah menyelidiki mekanisme di
balik penurunan pemulihan pembuluh darah pada luka diabetes telah
menyiratkan bahwa mobilisasi EPC (Endothelial Progenitor Cell) terganggu,
dan bahwa tingkat VEGF, faktor pro-angiogenik utama pada luka, menurun

8
pada keadaan diabetes. Terapi berbasis sel induk yang ditujukan untuk
menginduksi EPC atau BM-MSC telah menunjukkan hasil yang menjanjikan
pada luka diabetes yang tidak sembuh sembuh, baik pada hewan dan dalam uji
klinis. Dalam penelitian pada hewan, pemulihan terapeutik VEGF telah terbukti
meningkatkan hasil perbaikan secara signifikan.3
Neuropati yang terjadi pada individu diabetes mungkin juga
berkontribusi terhadap gangguan penyembuhan luka. Neuropeptida seperti
faktor pertumbuhan saraf, substansi P, dan peptida terkait gen kalsitonin relevan
dengan penyembuhan luka, karena mereka mempromosikan kemotaksis sel,
menginduksi produksi faktor pertumbuhan, dan menstimulasi proliferasi sel.
Penurunan neuropeptida telah dikaitkan dengan pembentukan DFU. Selain itu,
saraf sensorik berperan dalam memodulasi mekanisme pertahanan kekebalan,
dengan kulit yang mengalami denervasi menunjukkan penurunan infiltrasi
leukosit.3
Malnutrisi: Asam lemak sangat penting untuk fase inflamasi
penyembuhan luka saat mereka menyediakan substrat asam arakidonat untuk
sintesis eikosanoid. Protein diperlukan untukp roliferasi fibroblas dan sintesis
dan pengendapan kolagen. Protein juga diperlukan untuk fungsi-fungsi
imunologi penting seperti aktivitas fagositik makrofag, sel-T fungsi, dan
antibodi. Malnutrisi dapat merusak penyembuhan luka dengan memperpanjang
fase inflamasi dengan mengurangi proliferasi fibroblast dan pengendapan
kolagen. Malnutrisi dikaitkan dengan peningkatan risiko infeksi luka, yang
memiliki efek merusak pada penyembuhan luka.1

d. Imunosupresi
Imunosupresi sistemik dapat berkontribusi pada pengembangan luka
yang tidak sembuh. Kortikosteroid telah terbukti mengganggu semua langkah
utama dari proses penyembuhan luka di kedua hewan dan studi manusia. Pada
fase inflamasi, kortikosteroid menurunkan ekspresi sitokin yang bertanggung
jawab atas perekrutan sel-sel inflamasi, juga sebagai ekspresi molekul adhesi
yang bertanggung jawab untuk adhesi dan migrasi granulosit. Pada fase

9
proliferasi, kortikosteroid mengurangi tingkat pertumbuhan transformasi faktor
pertumbuhan faktor-β dan keratinocyte, yang melemahkan proliferasi fibroblast
dan luka epitelisasi masing-masing. Pada fase remodeling, kortikosteroid
merusak kolagen akumulasi serta perputaran kolagen. Secara klinis, pasien yang
berada di kronis kortikosteroid yang menjalani operasi secara signifikan
meningkatkan laju infeksi serta luka tingkat dehisiensi. Agen imunosupresif
dapat menekan ekspresi beberapa mediator inflamasi terlibat dalam proses
penyembuhan luka. Agen imunosupresif menghambat proliferasi sel kekebalan
dan mungkin menumpulkan fase inflamasi penyembuhan luka. Sirolimus, agen
imunosupresif yang menghambat kinase threonine yang dikenal sebagai target
mamalia rapamycin (mTOR), dikaitkan dengan tingkat komplikasi luka yang
lebih tinggi secara signifikan dibandingkan untuk agen imunosupresif umum
lainnya.1
Agen kemoterapi, terutama mereka yang menargetkan faktor
pertumbuhan endotel vaskular (VEGF) dan reseptor faktor pertumbuhan
epidermal (EGFR), dapat memiliki efek merugikan pada penyembuhan luka.
Penghambatan hasil VEGF dalam penindasan angiogenesis, yang penting
bagian dari penyembuhan luka. Penghambat reseptor faktor pertumbuhan
epidermal dapat berdampak negatif terhadap penyembuhan luka dengan
menghambat epitelisasi.1

2. Penyakit apa saja yang ditandai dengan luka tidak kunjung sembuh?
Jawab:
Ada beberapa penyebab luka tidak kunjung sembuh, antara lain:3

10
Gambar 2. Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka3

Penyakit yang ditandai dengan luka tak kunjung sembuh:3


 Diabetes melitus
 Hipotiroid
 Gangguan darah (anemia)
 Malnutrisi

3. Penyakit apa saja yang termasuk dalam kelainan metabolik?


Jawab:

Kelainan Metabolik Karbohidrat4,5

Galaktosemia Galaktosemia (kadar galaktosa yang tinggi dalam darah)


biasanya disebabkan oleh kekurangan enzim galaktose 1-
fosfat uridil transferase. Kelainan ini merupakan kelainan
bawaan. Sekitar 1 dari 50.000-70.000 bayi terlahir tanpa
enzim tersebut. Pada awalnya mereka tampak normal,
tetapi beberapa hari atau beberapa minggu kemudian,
nafsu makannya akan berkurang, muntah, tampak kuning
(jaundice) dan pertumbuhannya yang normal terhenti. Hati
membesar, di dalam air kemihnya ditemukan sejumlah

11
besar protein dan asam amino, terjadi pembengkakan
jaringan dan penimbunan cairan dalam tubuh.

Glikogenosis Glikogenosis (Penyakit penimbunan glikogen) adalah


sekumpulan penyakit keturunan yang disebabkan oleh
tidak adanya 1 atau beberapa enzim yang diperlukan untuk
mengubah gula menjadi glikogen atau mengubah glikogen
menjadi glukosa (untuk digunakan sebagai energi). Pada
glikogenosis, sejenis atau sejumlah glikogen yang
abnormal diendapkan di dalam jaringan tubuh, terutama di
hati. Gejalanya timbul sebagai akibat dari penimbunan
glikogen atau hasil pemecahan glikogen atau akibat dari
ketidakmampuan untuk menghasilkan glukosa yang
diperlukan oleh tubuh. Usia ketika timbulnya gejala dan
beratnya gejala bervariasi, tergantung kepada enzim apa
yang tidak ditemukan.

Intoleransi Fruktosa Intoleransi Fruktosa Herediter adalah suatu penyakit


Herediter keturunan dimana tubuh tidak dapat menggunakan
fruktosa karena tidak memiliki enzim fosfofruktaldolase.
Sebagai akibatnya, fruktose 1-fosfatase (yang merupakan
hasil pemecahan dari fruktosa) tertimbun di dalam tubuh,
menghalangi pembentukan glikogen dan menghalangi
perubahan glikogen menjadi glukosa sebagai sumber
energi.

Fruktosuria Fruktosuria merupakan suatu keadaan yang tidak


berbahaya, dimana fruktosa dibuang ke dalam air
kemih. Fruktosuria disebabkan oleh kekurangan enzim
fruktokinase yang sifatnya diturunkan. 1 dari 130.000
penduduk menderita fruktosuria. Fruktosuria tidak
menimbulkan gejala, tetapi kadar fruktosa yang tinggi di

12
dalam darah dan air kemih dapat menyebabkan kekeliruan
diagnosis dengan diabetes mellitus. Tidak perlu dilakukan
pengobatan khusus.

Pentosuria Pentosuria adalah suatu keadaan yang tidak berbahaya,


yang ditandai dengan ditemukannya gula xylulosa di
dalam air kemih karena tubuh tidak memiliki enzim yang
diperlukan untuk mengolah xylulosa. Pentosuria hampir
selalu hanya ditemukan pada orang Yahudi. Pentosuria
tidak menimbulkan masalah kesehatan, tetapi adanya
xylulosa dalam air kemih bisa menyebabkan kekeliruan
diagnosis dengan diabetes mellitus. Tidak perlu dilakukan
pengobatan khusus.

Diabetes Mellitus Gejala klinis penyakit: hiperglikemia, glikosuria, dapat


(Hiperglykemia) diikuti gangguan sekunder metabolisme protein dan lemak,
dapat berakhir dengan kematian, insiden terbanyak pada
usia 50 – 60 tahun, penyakit ini diturunkan secara
autosomal resesif. Etiologi: Berhubungan dengan kelainan
hormonal, insulin, growth hormon, hormon steroid.
Keadaan diabetes timbul akibat ketidakseimbangan dalam
interaksi pankreas, hipofisis dan adreanalin.

Kelenjar hipofisis Adanya Growth hormon dan hormon ACTH. Efeknya


dapat menghambat enzim hexoki nase. Bila kelenjar
hipofisis hiperaktif akan menyebabkan terjadi diabetes.
Kelenjar Adrenal Glukoneogenesis yaitu perubahan bentuk protein menjadi
karbohidrat. Karena pengaruh hormon steroid yang
dihasilkan oleh kortex adrenal. Bila berlangsung terus
menerus maka akan menekan sel beta pankreas sehingga
menimbulkan difesiensi insulin permanen. Aktivitas
adrenal bergantung kepada kelenjar hipofisis anterior.

13
Kelainan Metabolik Asam Amino4,5

Penyakit Fenilketonuria adalah suatu penyakit metabolisme dari


Fenilketonuria salah satu jenis asam amino pembentuk protein yaitu,
fenilalanin yang menyebabkan gangguan pertumbuhan dan
retardasi mental. Fenilketonuria merupakan penyakit
dimana penderita tidak dapat memetabolisme fenilalanin
secara baik karena tubuh tidak mempunyai enzim yang
mengoksidasi fenilalanin menjadi tirosin dan bisa terjadi
kerusakan pada otak anak. Oleh karena itu orang tersebut
perlu mengontrol asupan fenilalanin ke dalam tubuhnya.
Penyakit ini tidak pernah ditemukan di Indonesia, tetapi
pada orang kulit putih, itupun hanya terjadi satu banding
15,000 ribu orang.

Penyakit Tirosinosis Tirosinosis merupakan suatu kondisi langka akibat cacat


dalam metabolisme asam amino dan ditransmisikan
sebagai sifat autosom-resesif. Hal ini ditandai dengan
ekskresi jumlah berlebihan asam
parahydroxyphenylpyruvic, produk setengah dari tirosin,
dalam urin.

Penyakit Tirosinemia Tyrosinemia atau tirosinose adalah kesalahan metabolisme


bawaan, biasanya dari lahir, yang dihasilkan dari
kekurangan dari enzim oksidase asam p-
hidroksifenilfiruvat, yang mengubah asam homogentisat
ini, mengakibatkan akumulasi tirosin dalam tubuh.
Penyakit ini secara genetik heterogen, dan setidaknya ada
tiga jenis ditentukan oleh gen terletak pada kromosom 15q
(tipe I), 16 (tipe II) dan 12q (tipe III).

14
Penyakit Alkaptonuria Alkaptonuria adalah kondisi di mana urin yang
dikeluarkan seseorang berwarna gelap ketika bersentuhan
dengan udara dan ini bersifat menurun. Penyebabnya,
kerusakan pada gen HGD yang berfungsi sebagai
pengendali untuk membuat enzim yang disebut
homogentisate oksedase. Enzim ini membantu memecah
asam amino fenilalanin dan tirosin, yang merupakan
pembentuk protein yang.penting. Biasanya penderita juga
mengalami radang sendi, terutama di tulang belakang.

Penyakit Histidinemia Histidinemia merupakan kondisi yang diwariskan ditandai


dengan darah tinggi tingkat asam amino histidin.
Histidinemia disebabkan oleh kekurangan (defisiensi) dari
enzim yang memecah histidin. Histidinemia biasanya tidak
menyebabkan masalah kesehatan, dan kebanyakan orang
dengan kadar tinggi histidin tidak menyadari bahwa
mereka memiliki kondisi ini. Kombinasi histidinemia dan
komplikasi medis selama atau segera setelah lahir (seperti
kurangnya sementara oksigen) mungkin meningkatkan
kesempatan seseorang mengembangkan cacat intelektual,
masalah perilaku, atau gangguan belajar.

Penyakit Adanya asam amino dalam urin. Jumlah Asam amino


Imidazolaminoaciduria dalam urin mungkin menigkat akibat dari gangguan
metabolisme, penyakit hati kronis atau gangguan ginjal.

Penyakit Prolinemia Prolinemia atau Hyperprolinemia adalah suatu kondisi


ketika asam amino prolin tidak dipecah dengan baik oleh
enzim oksidase prolin atau pyrroline-5-karboksilat
dehydrogense, menyebabkan membangun dari prolin
dalam tubuh.

15
Penyakit Maple Syrup Maple syrup urine disease (MSUD) atau Maple sirup
urine disease penyakit kencing adalah kelainan bawaan di mana tubuh
tidak mampu untuk memproses blok bangunan protein
tertentu (asam amino) dengan benar. Kondisi ini
mendapatkan namanya dari bau manis khas dari air seni
bayi yang terkena dampak. Dimulai pada awal masa bayi,
kondisi ini ditandai dengan pemberian makan yang buruk,
muntah, kekurangan energi (kelesuan), dan keterlambatan
perkembangan. Jika tidak diobati, sirup maple penyakit
kencing dapat menyebabkan kejang, koma, dan kematian.

Kelainan Metabolik Lemak4,5

Kelebihan lemak Terjadi kalori didapat lebih dari kalori yang dimetabolisme
(Obesitas) (hipometabolisme). Kalori yang dibutuhkan menurun,
sehingga berat badan naik, meskipun diberi makan tidak
berlebihan. Lemak ditimbun pada jaringan subkutis,
jaringan retroperitoneum, peritoneum, omentum,
pericardium, pankreas. Obesitas akan memperberat
hipertensi, diabetes, penyakit jantung.

Hiperlipemia Jumlah lipid darah total dan kholesterol meningkat.


Terdapat pada diabetes melitus tidak diobati,
hipotiroidisme, nefrosis lupoid, penyakit hati, sirhrosis
biliaris, xantomatosa. Penimbunan lemak terjadi di dinding
pembuluh darah dan itu dinamakan dengan
arteriosklerosis.

Defisiensi lemak Terjadi pada :


Kelaparan (starvation)
Gangguan penyerapan (malabsorption): penyakit celiac,
sprue, penyakit Whipple. Tubuh terpaksa mengambil

16
kalori dari simpanannya karena intake kurang. Yang mula-
mula dimobilisasi oleh karbohidrat dan lemak, dan hanya
pada keadaan gizi buruk akhirnya protein diambil dari
jaringan. Pada penyakit Whipple selain difisiensi lemak,
juga difisensi protein, karbohidrat dan vitamin.

Kelainan Metabolik Piruvat4,5

Piruvat Piruvat terbentuk dalam proses pengolahan karbohidrat,


lemak dan protein.Piruvat merupakan sumber energi untuk
mitokondria (komponen sel yang menghasilkan energi).
Gangguan pada metabolisme piruvat dapat menyebabkan
terganggunya fungsi mitokondria sehingga timbul
sejumlah gejala: kerusakan otot, keterbelakangan mental,
kejang, penimbunan asam laktat yang menyebabkan
asidosis (meningkatnya asam dalam tubuh), kegagalan
fungsi organ (jantung, paru-paru, ginjal atau hati). Gejala
tersebut dapat terjadi kapan saja, mulai dari awal masa
bayi sampai masa dewasa akhir. Olahraga, infeksi atau
alkohol dapat memperburuk gejala, sehingga terjadi
asidosis laktat yang berat.
Tabel 1. Penyakit Kelainan Metabolik Karbohidrat, Asam Amino, Lemak dan Piruvat.4,5

4. Bagaimana makna klinis dan mekanisme pasien sering kencing 10-15 kali, rasa haus
terus, kesemutan, dan rasa lapar sejak 3 bulan yang lalu?
Jawab:
a) Poliuria
Peningkatan kadar glukosa darah menyebabkan hilangnya glukosa dalam
urine. Kadar glukosa darah yang tinggi menyebabkan lebih banyak glukosa
yang masuk ke dalam tubulus ginjal untuk difiltrasi melebihi jumlah yang dapat
direabsorbsi dan kelebihan glukosa akan dikeluarkan ke dalam urine. Hal ini
secara normal dapat timbul bila kadar glukosa darah meningkat di atas 180

17
mg/100 ml, yaitu suatu kadar yang disebut sebagai “nilai ambang” untuk
timbulnya glukosa dalam urine. Bila kadar glukosa darah meningkat menjadi
300-500 mg/100 ml, kadar yang umumnya dijumpai pada pasien diabetes berat
yang tidak diobati, 100 gram atau lebih glukosa akan dilepaskan ke dalam urine
setiap tahunnya.6

b) Polidipsia
Kenaikan kadar glukosa darah menyebabkan dehidrasi. Tingginya kadar
glukosa darah (kadang-kadang mencapai 8-10 kali normal pada pasien diabetes
yang parah) dapat menyebabkan dehidrasi berat pada sel diseluruh tubuh. Hal
ini terjadi sebagian karena glukosa tidak dapat dengan mudah berdifusi
melewati pori-pori membran sel dan naiknya tekanan osmotik dalam cairan
ekstraseluler menyebabkan timbulnya perpindahan air secara osmosis keluar
dari sel.
Selain efek dehidrasi sel langsung akibat glukosa yang berlebihan,
keluarnya glukosa ke dalam urine akan menimbulkan keadaan diuresis osmotik.
Diuresis osmotik adalah efek osmotik glukosa dalam tubulus ginjal yang sangat
mengurangi reabsorbsi cairan tubulus. Efek keseluruhannya adalah kehilangan
cairan yang sangat besar dalam urine, sehingga menyebabkan dehidrasi cairan
ekstraseluler, yang selanjutnya menimbulkan dehidrasi cairan kompensatorik
cairan intraseluler. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya rasa haus.6

c) Polifagia
Rasa lapar atau asupan makanan berlebih (polifagi)  hal ini karena
berkurangnya kadar glokusa intrasel akibat berkurangnya kadar insulin ataupun
terjadi kesalahan pada reseptor insulin yang membuat kadar glukosa intrasel
minimal sampai tidak ada. Sehingga tubuh merespon untuk mencukupi
kebutuhan energi sel dengan meningkatkan nafsu makan. Akibat terjadinya
defisiensi insulin baik absolut maupun relatif itu meningkatkan epinefrin
sehingga mengaktifkan hormon lipase sensitif pada jaringan lemak dan
mengakibatkan peningkatan lipolisis. Hal ini juga yang menjadi kekurangan

18
sumber energi cadangan intrasel. Polifagia atau sering merasa lapar
menandakan bahwa tubuh kekurangan bahan makanan utuk dapat menghasilkan
energi. Pasien mengalamai polifagia sedangkan kadar glukosa darah tinggi,
menandakan bahwa sumber makanan atau energi bagi sel-sel tubuh ada bahkan
banyak. Kemungkinan yang bisa terjadi adalah glukosa dalam darah tidak dapat
sampai ke sel untuk di metabolisme menjadi energi, hal ini dapat terjadi karna
adanya gangguan pada transporter dari glukosa, yaitu hormon insulin.
Gangguan pada insulin baik dari produksi maupun fungsi insulin menyebabkan
glukosa dalam darah tidak dapat dibawa kedalam sel sehingga sel tidak
mendapat bahan makanan yang akan diolah menjadi energi. Hal ini
menyebabkan sel memberikan sinyal pada sistem saraf bahwa tubuh kekurang
energi sehingga membutuhka makan, sehingga pasien dengan gangguan insulin
akan sering merasa lapar(polifagia).6,7
Leptin merupakan hormon yang diproduksi oleh sel lemak yang
meregulasi penimbunan lemak di tubuh dan menyesuaikan antara rasa lapar
dengan pengeluaran energi. Glukosa yang semakin banyak akan menstimulasi
pankreas untuk menghasilkan lebih banyak insulin sehingga semakin banyak
pula lemak terbentuk. Kondisi tubuh yang memproduksi insulin banyak,
menyebabkan tubuh tidak lagi merespon sehingga terjadi resistensi insulin.
Resistensi insulin akan menghambat leptin menghantarkan sinyal kenyang ke
otak, karena sel tidak menerima glukosa dari insulin, sehingga tubuh
menganggap masih butuh energi dan terus merasakan lapar.8

d) Kesemutan
Makroangiopati menyebabkan kerusakan vaskular dan perubahan
distribusi aliran darah. Akibat adanya gula darah yang tinggi akan menyebabkan
penumpukan pada pembuluh darah yang pada akhirnya akan terjadi
penyumbatan (aterosklerosis), penyumbatan ini akan menghambat aliran darah
yang membawa berbagai nutrisi terutama O2 pada kaki dan tangan, sebagai
kompensasinya tubuh akan melakukan kontraksi otot yang lebih besar untuk

19
memenuhi sejumlah oksigen akibatnya akan timbul gejala seperti kebas dan
kesemutan.9

5. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan fisik Tn. Zumi?


Jawab:
Kesadaran : Compos Mentis.
Analisis: Pasien memiliki kesadaran yang bagus atau sadar
sepenuhnya, disini pasien dapat berkomunikasi
dengan baik.

Tekanan Darah : 140/80 mmHg.


Analisis: Menandakan hipertensi derajat 1, standar normal
(120/80 mmHg).

Nadi : 90 x/menit.
Analisis: Menandakan normal, standar nadi normal (60-100
x/menit).

Pernapasan : 24 x/menit.
Analisis: Menandakan normal, standar pernapasan normal
(16-24 x/menit).

Suhu : 37°C.
Analisis: Menandakan normal, standar suhu normal (36,5°C-
37,5°C).

Jantung : Normal.
Analisis: Tidak ada kelainan.

Paru : Normal.
Analisis: Tidak ada kelainan.

Abdomen : Normal.
Analisis: Tidak ada kelainan.

20
Extremitas distal : (+/-).
gangren Analisis: Artinya di extremitas distal kanan nya (+) gangren
atau terdapat kelainan/menghitam, dan di
extremitas kiri nya (-) gangren atau tidak terdapat
kelainan/normal.

GDS : 340 mg/dL.


Analisis: Gula darah sewaktunya tinggi, normalnya <200
mg/dL.

6. Bagaimana hubungan keluhan pasien dengan hipertensi?


Jawab:
Secara garis besar, patofisiologi hipertensi disebabkan oleh proses adaptasi
baroreseptor aorta dan karotis terhadap tekanan darah yang tinggi sehingga pusat
kendali kardiovaskluar di otak menginterpretasikan tekanan darah yang tinggi
tersebut sebagai suatu kondisi yang normal dan tidak menyebabkan terinisiasinya
refleks untuk menurunkannya. Mekanisme yang mengontrol kontriksi dan relaksasi
pembuluh darah terletak di pusat vasomotor, pada medulla di otak. Rangsangan
pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui
saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron pre-ganglion melepaskan
asetilkolin yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah,
dimana dengan dilepaskannya norepeniferin mengakibatkan kontriksi pembuluh
darah. 10
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh
darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang
mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Medulla adrenal mengekresi
epinefrin yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal mengeskresi kortisol
dan steroid lainnya yang dapat memperkuat respon vasokontriktor pembuluh darah.
Vasokontriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal, menyebabkan
pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian
diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokontriktor kuat, yang pada gilirannya

21
merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan
retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal dan menyebabkan peningkatan volume
intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung mencetuskan keadaan hipertensi.10
Berdasarkan kasus, pasien terjadi peningkatan gula darah (hiperglikemia)
yang disebabkan adanya kelainan pada sekresi insulin, kerja insulin atau keduannya.
Terjadi resisten insulin juga dapat menyebabkan peningkatan gula darah. Pada
resisten insulin dan hiper-insulinemia diyakini dapat meningkatkan resistensi
vaskuler perifer dan kontraktilitas otot polos vaskuler melalui respon berlebihan
terhadap norepinefrin dan angiotensin II. Kondisi tersebut menyebabkan
peningkatan tekanan darah melalui mekanisme umpan balik fisiologis maupun
sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron. Sehingga dapat terjadinya hipertensi pada
orang-orang dengan gula darah yang tinggi (hiperglikemia).10
Glukosa darah yang tinggi menyebabkan terjadi kerusakan pembuluh darah
dan terjadi peningkatan penumpukan lemak pada dinding pembuluh darah.
Penumpukan lemak menyebabkan resiko pembuluh darah menyempit (aterosklerosis)
dan aliran darah yang kencang dari jantung terhambat karena tidak semuanya bisa
melewati pembuluh darah yang sempit, akibatnya jantung harus bekerja lebih keras
untuk memompa darah sehingga terjadi hipertensi. Selain itu ketidakseimbangan
kadar garam dan kalium karena resistensi insulin menyebabkan peningkatan volume
cairan tubuh yang menyebabkan peneyempitan arteri sehingga terjadi hipertensi.
Jadi berdasarkan skenario pasien mengalami keluhan poliuria, polidipsia, polifagia
mempunyai hubungan dengan hipertensi. Hipertensi dapat memperberat keluhan
yang dialami pasien karena hipertensi pada kasus terjadi akibat glukosa darah yang
tinggi.11,12

7. Bagaimana hubungan keluhan pasien terhadap orang tua pasien yang pernah
mengalami hal yang sama?
Jawab:
Berdasarkan skenario keluhan yang dialami pasien mengarah kepada penyakit
diabetes melitus. Diabetes melitus merupakan penyakit gangguan metabolisme yang

22
diturunkan secara genetik. Diabetes melitus memiliki beberapa faktor resiko, yaitu
obesitas, hipertensi, sindrom metabolik, dan genetik. Genetik adalah salah satu
faktor resiko yang biasanya menyebabkan seseorang mengalami penyakit diabetes
melitus. Gen penyebabnya adalah gen HDL 3 dan HDL 4 yang merupakan
perkembangan kromosom pada penderita penyakit diabetes melitus yang diturunkan
secara genetik dari orang tuanya. Jadi dapat simpulkan bahwa terdapat hubungan
keluhan yang dialami pasien dengan keluhan yang diderita orang tua pasien, karena
penyakit yang diderita orang tua pasien dapat diturunkan secara genetik kepada
pasien.11,13

8. Penegakan alur diagnosis!


Jawab:
A. Anamnesis
Nama : Tn. Zumi.

Usia : 54 tahun.

Status pernikahan : Sudah menikah.

Riwayat penyakit : - Luka di kaki kanan yang tidak kunjung sembuh dan
sekarang (RPS) menghitam.
- Sering kencing (10-15 kali setiap hari).
- Sering merasa haus dan lapar, dan kesemutan sejak 3
bulan terakhir.

Riwayat penyakit : - Kelainan metabolik 12 tahun lalu.


dahulu (RPD) - Tidak pernah kontrol sejak 2 tahun lalu.

Riwayat penyakit : Orang tua pernah mengalami hal yang serupa.


keluarga (RPK)

B. Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : Compos Mentis.
Analisis: Pasien memiliki kesadaran yang bagus atau

23
sadar sepenuhnya, disini pasien dapat
berkomunikasi dengan baik.

Tekanan Darah : 140/80 mmHg.


Analisis: Menandakan hipertensi derajat 1, standar
normal (120/80 mmHg).

Nadi : 90 x/menit.
Analisis: Menandakan normal, standar nadi normal (60-
100 x/menit).

Pernapasan : 24 x/menit.
Analisis: Menandakan normal, standar pernapasan
normal (16-24 x/menit).

Suhu : 37°C.
Analisis: Menandakan normal, standar suhu normal
(36,5°C-37,5°C).

Jantung : Normal.
Analisis: Tidak ada kelainan.

Paru : Normal.
Analisis: Tidak ada kelainan.

Abdomen : Normal.
Analisis: Tidak ada kelainan.

Extremitas distal : (+/-).


gangren Analisis: Artinya di extremitas distal kanan nya (+)
gangren atau terdapat kelainan/menghitam, dan
di extremitas kiri nya (-) gangren atau tidak
terdapat kelainan/normal.

GDS : 340 mg/dL.


Analisis: GDSnya tinggi, normalnya <200 mg/dL.

24
C. Diagnosa Banding
- Diabetes melitus
- Hiperglikemia reaktif
- Gangguan toleransi glukosa
- Gangguan glukosa darah

D. Pemeriksaan Penunjang
Gula Darah Sewaktu (GDS): 340 mg/dL.

E. Diagnosa
Ulkus diabetikum et causa diabetes melitus tipe 2.

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.


Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya
DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti: 14

 Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
 Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

25
Gambar 3. Kriteria Diabetes Melitus14

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM


digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: 14
 Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT)
Hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan
pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam <140 mg/dl.
 Toleransi Glukosa Terganggu (TGT)
Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 -jam setelah TTGO antara 140-199
mg/dl dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl
 Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
 Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.
Pemeriksaan Penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis Diabetes
Melitus Tipe-2 (DMT2) dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak
menunjukkan gejala klasik DM yaitu:
a. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT] ≥23 kg/m2)
yang disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut:14
 Aktivitas fisik yang kurang.
 First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam
keluarga).
 Kelompok ras/etnis tertentu.

26
 Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL >4 kg
atau mempunyai riwayat diabetes mellitus gestasional (DMG).
 Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk
hipertensi).
 HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL.
 Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.

b. Riwayat prediabetes:14
 Obesitas berat, akantosis nigrikans.
 Riwayat penyakit kardiovaskular.
 Usia >45 tahun tanpa faktor risiko di atas.
Catatan:
Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma
normal sebaiknya diulang setiap 3 tahun, kecuali pada kelompok prediabetes
pemeriksaan diulang tiap 1 tahun.

9. Sintesis penyakit?
Jawab:
DIABETES MELITUS

A. Definisi
Diabetes melitus dalah suatu penyakit metabolik yang ditandai dengan
adanya hiperglikemia yang terjadi karena pankreas tidak mampu mensekresi
insulin, gangguan kerja insulin, ataupun keduanya. Dapat terjadi kerusakan
jangka panjang dan kegagalan pada berbagai organ seperti mata, ginjal, saraf,
jantung, serta pembuluh darah apabila dalam keadaaan hiperglikemia kronis.15

B. Klasifikasi dan Etiologi


Menurut American Diabetes Mellitus Association tahun 2010,
diklasifikasikan yaitu:15

27
a. Diabetes tipe 1 (destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin
absolut):15
1) Autoimun : Infeksi virus. Contohnya: Coxacie virus B, rubela, dan
mononucleosis infeksiosa.
2) Idiopatik : Belum diketahui secara pasti. Contohnya: Genetik-herediter
(kromosom 6p21), tanpa sebab.
b. Diabetes tipe 2 (tidak ada kerusakan pada pankreasnya dan dapat terus
menghasilkan insulin, namun tubuh resisten terhadap efek insulin, sehingga
tidak ada insulin yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh):
1) Mutasi reseptor insulin.
2) Efek toxic akumulasi lipid di jaringan (akibat obesitas).
3) Faktor predisposisi lain:
- Peninkatan proses glukogeogenesis dan glukogenesis (sindrom cushing
dan kehamilan).
- Konsumsi makanan yang mengandung gula berelebih → sel-sel beta
pankreas lelah dan tidak optimal dalam memproduksi insulin.
- Obat-obatan.
c. Diabetes tipe lain:
1) Cacat genetik fungsi sel.
2) Cacat genetik fungsi insulin.
3) Endokrinopati (akromegali, sindrom cushing, feokromositoma,
hiperthiroidisme).
4) Penyakit pankreas (pankreatitis, pankreatopati fibrokalkulus, tumor).
5) Obat atau induksi secara kimia.
6) Infeksi.
d. Diabetes melitus gestasional karena terjadi hiperglikemia saat kehamilan.

28
C. Patofisiologi
a) Diabetes Melitus Tipe 17
Kerusakan sel beta pankreas atau penyakit-penyakit yang
mengganggu produksi insulin dapat menyebabkan timbulnya diabetes tipe I.
Infeksi virus atau kelainan autoimun dapat menyebabkan kerusakan sel beta
pankreas pada banyak pasien diabetes tipe I, meskipun faktor herediter juga
berperan penting untuk menentukan kerentanan sel-sel beta terhadap
gangguan-gangguan tersebut. Pada beberapa kasus, kecenderungan faktor
herediter dapat menyebabkan degenerasi sel beta, bahkan tanpa adanya
infeksi virus atau kelainan autoimun. Onset diabetes tipe I biasanya dimulai
pada umur sekitar 14 tahun di Amerika Serikat, dan oleh sebab itu, diabetes
ini sering disebut diabetes melitus juvenilis. Akan tetapi, diabetes tipe I
dapat terjadi pada semua usia, termasuk masa dewasa, diikuti oleh kelainan
yang menyebabkan destruksi dari sel-sel beta pankreas.
Diabetes tipe I dapat timbul tiba-tiba dalam waktu beberapa hari atau
minggu, dengan tiga gejala sisa (sequelae) yang utama: (1) naiknya kadar
glukosa darah, (2) peningkatan penggunaan lemak sebagai sumber energi
dan untuk pembentukan kolesterol oleh hati, dan (3) berkurangnya protein
dalam jaringan tubuh. Kurang lebih 5 hingga 10 persen penderita diabetes
melitus adalah bentuk tipe I.
Kurangnya insulin mengurangi efisiensi penggunaan glukosa di
perifer dan akan menambah produksi glukosa, sehingga glukosa plasma
meningkat menjadi 300 sampai 1.200 mg/100 ml. Peningkatan kadar
glukosa plasma selanjutnya menimbulkan berbagai pengaruh di seluruh
tubuh. Kadar glukosa darah yang tinggi menyebabkan lebih banyak glukosa
yang masuk ke dalam tubulus ginjal untuk difiltrasi melebihi jumlah yang
dapat direabsorbsi dan kelebihan glukosa akan dikeluarkan ke dalam urine.
Tingginya kadar glukosa darah pada dapat menyebabkan dehidrasi berat
pada sel di seluruh tubuh. Hal ini terjadi sebagian karena glukosa tidak dapat
dengan mudah berdifusi melewati pori-pori membran sel dan naiknya

29
tekanan osmotik dalam cairan ekstraselular menyebabkan timbulnya
perpindahan air secara osmosis keluar dari sel.
Bila kadar glukosa darah tidak terkontrol, baik dalam waktu yang
lama pada diabetes melitus, pembuluh darah diberbagai jaringan di seluruh
tubuh mulai mengalami gangguan fungsi dan perubahan struktur yang
berakibat ketidakcukupan suplai darah ke jaringan. Hal tersebut selanjutnya
akan meningkatkan risiko untuk terkena serangan jantung, stroke, penyakit
ginjal stadium akhir, retinopati dan kebutaan, serta iskemi dan gangren di
tungkai. Peningkatan kadar glukosa darah yang berkepanjangan juga
menimbulkan kerusakan dibanyak jaringan lainnya. Contohnya, neuropati
perifer, yaitu kelainan fungsi saraf perifer dan disfungsi sistem saraf otonom
yang sering menjadi komplikasi diabetes melitus yang tidak terkontrol
dalam waktu lama. Kelainan-kelainan tersebut dapat menimbulkan
gangguan refleks kardiovaskular, gangguan pengaturan kandung kemih,
penurunan sensasi di ekstremitas, dan gejala-gejala lain akibat kerusakan
saraf perifer.

a) Diabetes Melitus Tipe 27


Diabetes melitus tipe II, berbeda dengan tipe I, dikaitkan dengan
peningkatan konsentrasi insulin plasma (hiperinsulinemia). Hal ini terjadi
sebagai upaya kompensasi oleh sel beta pankreas terhadap penurunan
sensitivitas jaringan terhadap efek metabolisme insulin, yaitu suatu kondisi
yang dikenal sebagai resistansi insulin.
Penurunan sensitivitas insulin mengganggu penggunaan dan
penyimpanan karbohidrat, yang akan meningkatkan kadar gula darah dan
merangsang peningkatan sekresi insulin sebagai upaya kompensasi.
Perkembangan resistansi insulin dan gangguan metabolism glukosa biasanya
terjadi secara bertahap, yang dimulai dengan peningkatan berat badan dan
obesitas. Akan tetapi, mekanisme yang menghubungkan obesitas dengan
resistansi insulin masih belum pasti. Beberapa penelitian menunjukkan

30
bahwa jumlah reseptor insulin di otot rangka, hati, dan jaringan adiposa pada
orang obese lebih sedikit daripada jumlah reseptor pada orang yang kurus.
Namun kebanyakan resistansi insulin agaknya disebabkan kelainan
jalur sinyal yang menghubungkan reseptor yang teraktivasi dengan berbagai
efek selular. Gangguan sinyal insulin agaknya disebabkan efek toksik dan
akumulasi lipid di jaringan seperti otot rangka dan hati akibat kelebihan
berat badan. Resistansi insulin merupakan bagian dari serangkaian kelainan
yang sering disebut sebagai "sindrom metabolik": Beberapa gambaran
sindrom metabolik meliputi: (1) obesitas, terutama akumulasi lemak
abdomen; (2) resistansi insulin; (3) hiperglikemia puasa; (4) abnormalitas
lipid seperti peningkatan kadar trigliserida darah dan penurunan kolesterol
lipoprotein berdensitas tinggi di darah; dan (5) hipertensi. Semua gambaran
sindrom metabolik berkaitan erat dengan akumulasi berleblhan,jaringan
adiposa di rongga abdomen di sekitar organ-organ visera.
Peran kontribusi resistansi insulin dalam beberapa komponen
sindrom metabolik masih belum dapat ditentukan, meskipun sudah jelas
bahwa resistansi insulin merupakan penyebab utama peningkatan kadar gula
darah. Akibat utama yang tidak diinginkan dari sindrom metabolik adalah
penyakit kardiovaskular, yang meliputi aterosklerosis dan kerusakan
berbagai organ di seluruh tubuh. Beberapa kelainan metabolik yang
berhubungan dengan sindrom tersebut meningkatkan risiko penyakit
kardiovaskular, dan resistansi insulin yang menjadi predisposisi terjadinya
diabetes melitus tipe II, juga penyebab utama untuk penyakit kardiovaskular.

D. Manifestasi Klinis
Diabetes seringkali muncul tanpa gejala. Namun demikian ada beberapa
gejala yang harus diwaspadai sebagai isyarat kemungkinan diabetes. Gejala
tipikal yang sering dirasakan penderita diabetes antara lain poliuria (sering
buang air kecil), polidipsia (sering haus), dan polifagia (banyak makan/mudah
lapar). Selain itu sering pula muncul keluhan penglihatan kabur, koordinasi

31
gerak anggota tubuh terganggu, kesemutan pada tangan atau kaki, timbul gatal-
gatal yang seringkali sangat mengganggu (pruritus), dan berat badan menurun
tanpa sebab yang jelas.9
 Gejala klasik umum dikeluhkan adalah rasa haus yang berlebihan, sering
kencing terutama malam hari, penurunan berat badan dengan cepat.
 Gejala non klasik ( keluhan lemah ) : kesemutan pada jaringan tangan dan
kaki, cepat lapar, irritabilitas dan gatal gatal pada kulit, penglihatan kabur,
gairah seks menurun, luka sukar sembuh.

E. Tata Laksana
Ada 4 pilar penatalaksanaan diabetes melitus:16,17
1. Edukasi
Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif
pasien, keluarga dan masyarakat.Tim kesehatan mendampingi pasien dalam
menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku,
dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi.
Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda atau gejala
hiperglikemia dan cara mengatasinya.

2. Terapi Nutrisi Medis


Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan
diabetes secara total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara
menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain
dan pasien itu sendiri). Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TGM
sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip
pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai
dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada
penyandang diabetes perlu ditekan kan pentingnya keteraturan makan dalam

32
hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.
3. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4
kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar
dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke
pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani
selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan
memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa
darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat
aerobik seperti: jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan
jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani.
Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan,
sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan
kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan.

4. Terapi Farmakologi
Obat hipoglikemik oral (OHO). Berdasarkan cara kerjanya, OHO
dibagimenjadi 4 golongan:
- Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid.
- Penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion.
- Penghambat glukoneogenesis (metformin).
- Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosida sel alfa.

Cara Pemberian OHO, terdiri dari:


- OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai.
respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis hampir maksimal.
- Sulfonilurea generasi I & II : 15 –30 menit sebelum makan.
- Glimepirid : sebelum/sesaat sebelum makan.
- Repaglinid, Nateglinid : sesaat/sebelum makan.

33
- Metformin : sebelum/pada saat/sesudah makan.
- Penghambat glukosidase α (Acarbose) : bersama makan suapan pertama.
- Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan.

34
Gambar 4. Dosis Obat Hipoglikemi Oral (OHO)16,17

5. Terapi Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
- Penurunan berat badan yang cepat.
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis.
- Ketoasidosis diabetik.
- Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik.
- Hiperglikemia dengan asidosis laktat.
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal.
- Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke).
- Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan.
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat.
- Kontra indikasi dan atau alergi terhadap OHO.

35
Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yaitu:
1. Insulin kerja cepat (rapid acting insulin).
2. Insulin kerja pendek (short acting insulin).
3. Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin).
4. Insulin kerja panjang (long acting insulin).
Efek samping terapi insulin:
- Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.
- Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang
dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.

6. Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah,
untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar
glukosa darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila
diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO
sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi, harus dipilih dua macam obat dari
kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar
glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari
kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin.
Pada pasien yang disertai dengan alasan klinik di mana insulin tidak
memungkinkan untuk dipakai dipilih terapi dengan kombinas itiga OHO.
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah
kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja
panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan
pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa
darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin
kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian
dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa
keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah

36
sepanjang hari masih tidak terkendali, maka obat hipoglikemik oral
dihentikan dan diberikan insulin saja.

Gambar 5. Algoritma terapi kombinasi Insulin dan OHO16,17

Rekomendasi nutrisi untuk pengendalian diabetes:


1. Pengaturan karbohidrat18,19
Pola diet yang mencakup karbohidrat dari buah-buahan, sayuran, biji-
bijian, kacang- kacangan, dan susu rendah lemak dianjurkan dalam terapi
gizi pasien diabetes. Mengatur jumlah karbohidrat, berupa total kalori,
pertukaran jenis karbohidrat atau estimasi berbasis pengalaman, tetap
menjadi strategi utama dalam mencapai kontrol glikemia. Pengetahuan
tentang penggunaan indeks glisemik dapat memberikan manfaat tambahan
dalam mengatur jumlah karbohidrat yang akan dikonsumsi. Makanan yang
mengandung sukrosa dapat menggantikan karbohidrat lain dalam
pengaturan diet, atau jika ditambahkan ke dalam diet maka haruslah
disesuaikan dengan jumlah insulin yang akan digunakan atau penggunaan
obat anti diabetik lainnya. Hal ini perlu diperhatikan dengan baik guna

37
menghindari kelebihan asupan energi. Penyandang diabetes dianjurkan
untuk mengkonsumsi berbagai makanan yang mengandung serat, namun
masih kurangnya bukti ilmiah yang merekomendasikan bahwa penyandang
diabetes dianjurkan untuk mengkonsumsi serat yang lebih banyak dari
pada populasi secara keseluruhan.

2. Pengaturan lemak dan kolesterol18,19


Pengaturan diet lemak makanan pada penyandang diabetes adalah
dengan membatasi konsumsi asam lemak jenuh, asam lemak trans, dan
asupan kolesterol sehingga me- ngurangi risiko penyakit kardiovaskuler
sebab ketiganya merupakan komponen diet yang merupakan penentu
kadar kolesterol LDL plasma. Berdasarkan beberapa penelitian tentang
diet asam lemak jenuh dan asam lemak trans pada penyandang diabetes,
disimpulkan bahwa konsumsi asam lemak jenuh yang direkomendasikan
adalah < 7% dari energi total, konsumsi asam lemak trans yang seminimal
mungkin, dan asupan kolesterol < 200 mg/hari.
Konsumsi asam lemak omega-3 yang berasal dari ikan atau dari
suplemen, terbukti dapat menurunkan risiko kejadian kardiovaskuler,
sehingga dianjurkan penyandang diabetes untuk mengkonsumsi ikan segar
sebanyak dua atau tiga kali per minggu. Pemberian diet Mediteranian,
dimana asam lemak tidak jenuh majemuk (polyunsa- turated fatty acid)
diganti dengan asam lemak tidak jenuh tunggal (monounsaturated fatty
acid), terbukti dapat menurunkan mortalitas pada komunitas lanjut usia di
Eropa sebesar 7%. Sterol dan stanol ester yang berasal dari tumbuhan,
dapat menghambat penyerapan kolesterol di intestinal yang berasal dari
makanan dan dari empedu. Dalam masya- rakat umum dan pada
penyandang diabetes tipe 2, asupan ± 2 g / hari sterol dan stanol telah
terbukti dapat menurunkan kadar kolesterol total plasma dan kolesterol
LDL.

38
3. Pengaturan protein18,19
Asupan protein bagi penyandang diabetes adalah sama dengan
masyarakat umumnya dan biasanya tidak melebihi 20% dari asupan energi
total. Kualitas sumber protein yang baik adalah sumber protein yang
mengandung asam-asam amino esensial yang lengkap yakni mencakup
sembilan jenis asam amino esensial. Diet tinggi protein tidak
direkomendasikan sebagai metode untuk menurunkan berat badan pada
penyandang diabetes, sebab efek jangka panjang serta komplikasi dari
asupan protein melebihi 20% dari kalori total harian masih belum diketahui
pasti. Penerapan diet tinggi protein yang dikombinasikan dengan latihan
ketahanan (resistance training) dapat menghasilkan penurunan berat badan,
perbaikan profil glukosa darah, lingkar pinggang dan penanda risiko
kardiovaskuler lainnya, namun apakah keadaan tersebut akan tetap
berlanjut dalam jangka panjang serta efek samping pada fungsi ginjal
masih belum diketahui.

F. Komplikasi
a. Komplikasi akut : hipoglikemia, diabetes ketoasidosis, sindrom
hiperglikemia hiperosmolar non ketotik (SHHNK).
b. Komplikasi kronik
- Makrovaskular : cerebrovascular disease, penyakit jantung kronik,
peripheral vascular disease.
- Mikrovaskular : retinopati diabetik, nefropati diabetik, neuropati
diabetikum.9

G. Prognosis
Prognosis pada penderita diabetes tipe II bervariasi. Prognosis baik jika
dapat meminimalisir risiko timbulkan komplikasi dengan baik. Serangan
jantung, stroke, dan kerusakan saraf tergantung hemodialisis (akibat gagal
ginjal).9

39
ULKUS DIABETIKUM

A. Definisi
Salah satu komplikasi dari DM adalah neuropati, berupa berkurangnya
sensasi di kaki dan sering dikaitkan dengan luka pada kaki. Neuropati perifer
menyebabkan hilangnya sensasi di daerah distal kaki yang mempunyai risiko
tinggi untuk terjadinya ulkus kaki bahkan amputasi. Neuropati sensori motorik
kronik adalah jenis yang sering ditemukan dari neuropati diabetikum. Seiring
dengan lamanya waktu menderita diabetes dan mikroangiopati, maka neuropati
diabetikum dapat menyebabkan ulkus pada kaki, deformitas bahkan amputasi.
Ulkus kaki pada neuropati sering kali terjadi pada permukaan plantar kaki yaitu
di area yang mendapat tekanan tinggi, seperti area yang melapisi kaput
metatarsal maupun area lain yang melapisi deformitas tulang. Orang yang
menderita DM ≥ 5 tahun berkemungkinan hampir dua kali untuk menderita
ulkus dibandingkan dengan orang yang menderita DM kurang dari 5 tahun.
Semakin lama seseorang menderita DM maka semakin besar peluang untuk
menderita hiperglikemia kronik yang pada akhirnya akan menyebabkan
komplikasi DM berupa retinopati, nefropati, PJK, dan ulkus diabetikum.20

B. Epidemiologi
Ulkus diabetikum merupakan penyebab tersering dilakukannya amputasi
yang didasari oleh kejadian non traumatik. Risiko amputasi 15-40 kali lebih
sering pada penderita diabetes melitus dibandingkan dengan non diabetes
melitus. Prevalensi penderita diabetes melitus dengan ulkus diabetikum di
negara berkembang didapatkan jauh lebih besar dibandingkan dengan negara
maju, yaitu antara 20-40%. Prevalensi penderita diabetes melitus dengan ulkus
diabetikum di Indonesia sekitar 15%, angka 25 mortalitas 32% dan ulkus
diabetikum merupakan sebab perawatan rumah sakit yang terbanyak sebesar
80% untuk diabetes melitus. Prevalensi angka kematian akibat ulkus dan
gangren berkisar 17-23%, sedangkan angka amputasi berkisar 15-30%. Angka

40
kematian 1 (satu) tahun pasca amputasi sebesar 14,8%. Jumlah itu meningkat
pada tahun ketiga menjadi 37%, rata-rata umur pasien hanya 23,8 bulan pasca
amputasi.22

C. Etiologi
Proses terjadinya kaki diabetik diawali oleh angiopati, neuropati, dan
infeksi. Neuropati menyebabkan gangguan sensorik yang menghilangkan atau
menurunkan sensasi nyeri kaki, sehingga ulkus dapat terjadi tanpa terasa.
Gangguan motorik menyebabkan atrofi otot tungkai sehingga mengubah titik
tumpu yang menyebabkan ulserasi kaki. Angiopati akan mengganggu aliran
darah ke kaki; penderita dapat merasa nyeri tungkai sesudah berjalan dalam
jarak tertentu. Infeksi sering merupakan komplikasi akibat berkurangnya aliran
darah atau neuropati. Ulkus diabetik bisa menjadi gangren kaki diabetik.
Penyebab gangren pada penderita DM adalah bakteri anaerob, yang tersering
Clostridium. Bakteri ini akan menghasilkan gas, yang disebut gas gangrene.21

D. Klasifikasi
Klasifikasi kaki diabetes berdasarkan Wagner-Meggit:21

Gambar 6. Klasifikasi Kaki Diabetes berdasarkan Wagner-Meggit21

41
Gambar 7. Klasifikasi Kaki Diabetes berdasarkan Wagner-Meggit21

Menurut Edmonds:22
 Stage 1 : Normal foot.
 Stage 2 : High risk foot.
 Stage 3 : Ulcerated foot .
 Stage 4 : Infected foot.
 Stage 5 : Necrotic foot.
 Stage 6 : Unsalvable foot.

Menurut Warger:22
 Derajat 0 : Tidak ada lesi terbuka, kulit masih utuh dengan kemungkinan
disertai kelainan bentuk kaki seperti “claw, callus”.
 Derajat 1 : Ulkus superficial terbatas pada kulit.
 Derajat 2 : Ulkus dalam menembus tendon dan tulang.
 Derajat 3 : Abses dalam, dengan atau tanpa osteomielitis.
 Derajat 4 : Gangren jari kaki atau bagian distal kaki dengan atau tanpa
selulitis.
 Derajat 5 : Gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai.

Berdasarkan pembagian diatas, maka tindakan pengobatan atau


pembedahan dapat ditentukan sebagai berikut:22
a. Derajat 0 : perawatan lokal secara khusus tidak ada.
b. Derajat 1-4 : pengelolaan medik dan tindakan bedah minor.

42
c. Derajat 5 : tindakan bedah minor, bila gagal dilanjutkan dengan tindakan
bedah mayor (amputasi diatas lutut atau amputasi bawah lutut).

E. Patofisiologi
Terjadinya masalah kaki diawali adanya hiperglikemia pada penyandang
DM yang menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada pembuluh darah.
Neuropati, baik neuropati sensorik maupun motorik dan autonomic akan
mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot, yang kemudian
menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan
selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus. Adanya kerentanan terhadap
infeksi menyebabkan infeksi mudah merebak menjadi infeksi yang luas. Faktor
aliran darah yang kurang juga akan lebih lanjut menambah rumitnya
pengelolaan kaki diabetes.21

Gambar 8. Patofisiologi Kaki Diabetes

43
F. Manifestasi klinis
Tanda dan gejala kaki diabetes melitus seperti sering kesemutan, nyeri pada
kaki saat istirahat, sensasi rasa berkurang, kerusakan jaringan (nekrosis),
penurunan denyut nadi arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki menjadi
atrofi, dingin dan kuku menebal serta kulit kering.22

G. Pengelolaan
Pengelolaan kaki diabetes dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu
pencegahan kaki diabetes dan ulkus (pencegahan primer sebelum terjadi
perlukaan kulit) dan pencegahan kecacatan yang lebih parah (pencegahan
sekunder dan pengelolaan ulkus/gangren diabetik).12
a. Pengelolaan primer
Penyuluhan mengenai terjadinya kaki diabetes sangat penting untuk
pencegahan kaki diabetes. Penyuluhan ini harus selalu dilakukan pada
setiap kesempatan pertemuan dengan penyandang DM, dan harus selalu
diingatkan kembali tanpa bosan. Anjuran ini berlaku untuk semua pihak
terkait pengelolaan DM, baik para ners, ahli gizi, ahli perawatan kaki,
maupun dokter sebagai dirigen pengelolaan. Khusus untuk dokter,
sempatkan selalu melihat dan memeriksa kaki penyandang DM sambil
mengingatkan kembali mengenai cara pencegahan dan cara perawatan kaki
yang baik. Berbagai kejadian/ tindakan kecil yang tampak sepele dapat
mengakibatkan kejadian yang mungkin fatal. Demikian pula pemeriksaan
yang tampaknya sepele dapat memberikan manfaat yang sangat besar.
Periksalah selalu kaki pasien setelah mereka melepaskan sepatu dan
kausnya.21

b. Pengelolaan sekunder
Dalam pengelolaan kaki diabetes, kerja sama multidisipliner sangat
diperlukan. Berbagai hal yang harus ditangani dengan baik agar diperoleh

44
hasil pengelolaan yang maksimal dapat digolongkan sebagai berikut, dan
semuanya harus dikelola bersama.21
- Wound control
Perawatan luka sejak awal harus dikerjakan dengan baik dan teliti.
Evaluasi luka harus secermat mungkin. Klasifikasi ulkus pedis dilakukan
setelah debridement adekuat. Jaringan nekrotik dapat menghalangi
proses penyembuhan luka dengan menyediakan tempat untuk bakteri,
sehingga dibutuhkan tindakan debridement. Debridement yang baik dan
adekuat akan sangat membantu mengurangi jaringan nekrotik, dengan
demikian akan sangat mengurangi produksi pus/cairan dari
ulkus/gangren. Debridement dapat dilakukan dengan beberapa metode
seperti mekanikal, surgikal, enzimatik, autolisis, dan biokemis. Cara
paling efektif adalah dengan metode autolysis debridement. Autolysis
debridement adalah cara peluruhan jaringan nekrotik oleh tubuh sendiri
dengan syarat utama lingkungan luka harus lembap.21

- Microbiological control-infection control


Data pola kuman perlu diperbaiki secara berkala, umumnya
didapatkan infeksi bakteri multipel, anaerob, dan aerob. Antibiotik harus
selalu sesuai dengan hasil biakan kuman dan resistensinya. Lini pertama
antibiotik spectrum luas, mencakup kuman gram negatif dan positif
(misalnya sefalosporin), dikombinasi dengan obat terhadap kuman
anaerob (misalnya metronidazole).21

- Mechanical control-pressure control


Jika tetap dipakai untuk berjalan (menahan berat badan/weight
bearing), luka selalu mendapat tekanan, sehingga tidak akan sempat
menyembuh. Berbagai cara surgikal dapat dipakai untuk mengurangi
tekanan pada luka seperti:21
 Dekompresi ulkus/gangren dengan insisi abses

45
 Prosedur koreksi bedah seperti operasi untuk hammer toe, metatarsal
head resection, Achilles tendon lengthening, partial calcanectomy.

- Educational control
Edukasi sangat penting untuk semua tahap pengelolaan kaki diabetes.
Dengan penyuluhan yang baik, penyandang DM dan ulkus/gangren
diabetic maupun keluarganya diharapkan akan dapat membantu dan
mendukung berbagai tindakan yang diperlukan untuk kesembuhan luka
yang optimal.21

H. Terapi Farmakologi dan Revaskularisasi


- Terapi Farmakologi
Kalau mengacu pada berbagai penelitian yang sudah dikerjakan pada
kelainan akibat aterosklerosis di tempat lain (jantung, otak), mungkin obat
seperti aspirin dan lain sebagainya yang jelas dikatakan bermanfaat, akan
bermanfaat pula untuk pembuluh darah kaki penyandang DM. Tetapi
sampai saat ini belum ada bukti yang cukup kuat untuk menganjurkan
pemakaian obat secara rutin guna memperbaiki patensi pada penyakit
pembuluh darah kaki penyandang DM.21

- Revaskularisasi
Jika kemungkinan kesembuhan luka rendah atau kondisi klaudikasio
intermitten hebat, maka tindakan revaskularisasi dapat dianjurkan. Sebelum
tindakan, diperlukan pemeriksaan arteriografi. Untuk oklusi panjang
dianjurkan operasi bedah pintas terbuka. Untuk oklusi pendek dapat
dipikirkan prosedur endovaskular. Pada keadaan sumbatan akut dapat
dilakukan tromboarterektomi. Dengan berbagai teknik bedah tersebut,
vaskularisasi daerah distal dapat diperbaiki, sehingga pengelolaan ulkus
diharapkan lebih baik.21

46
I. Prognosis
Prognosis kaki diabetik bergantung pada berbagai faktor yang terlibat
dalam patofisiologi, komplikasi, dan penyakit yang menyertai. Penatalaksanaan
holistik harus ditekankan untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas kaki
diabetik.21

47
MIND MAPPING

48
DAFTAR PUSTAKA

1. Montero, P, Stefanidis, D . 2017. Non- Healing Wound . ACS/ASE Medical Student


Core Curriculum Non-Healing Wounds, 1. Hal: 1-36.
2. Tsourdi, E, Barthel, B dkk. 2013. Current Aspects in the Pathophysiology and
Treatment of Chronic Wounds in Diabetes Mellitus, 1. Hal: 1-6
3. Guo, S, Dipietro L.A . 2009. Factors Affecting Wound Healing. Critical Review In
Oral Biology & Medicine, 3. Hal: 219-229
4. Kelainan Metabolik. 2017. Diambil dari: https://id.scribd.com/
document/345753901/KELAINAN-METABOLIK. (Diakses pada tanggal 13
November 2018)
5. Sudarti. 2010. Kelainan dan Penyakit pada Bayi dan Anak. Yogyakarta: Nuha Medika
6. Guyton AC, Hall JE. 2007. Fisiologi Kedokteran, Edisi 11. Jakarta : EGC.
7. Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia. Jakarta :EGC.
8. Nikmah, Ully, Frans Dayu. 2017. Kadar Leptin sebagai Petanda Diabetes pada
Individu dengan Diabetes dan Toleransi Glukosa Terganggu. Dalam Buletin Penelitian
Kesehatan Vol. 45, No. 3
9. Sudoyo, Aru W. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi V. Jakarta:
Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.
10. Ichsantiarini P, Nugroho P. 2013. Hubungan Diabetes Melitus tipe 2 Dengan Kendali
Tekanan Darah pada Pasien Hipertensi Rumah Sakit DR. Cipto Mangunkusumo.
Universitas Indonesia. Jakarta.
11. Mihardja, L. 2009. Faktor yang Berhubungan dengan Pengendalian Gula Darah pada
Penderita Diabetes Melitus. Dalam Majalah Kedokteran Indonesia. Jakarta
12. Sudoyo, Aru W. dkk. 2014. Buku Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II, Edisi VI. Jakarta:
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.
13. Soegondo, S. 2011. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus Terkini. Dalam Buku
Penatalaksanaan Diabetes Terpadu sebagai Panduan Penatalaksanaan Diabetes Melitus
bagi Dokter dan Educator Diabetes. Jakarta. FKUI .

49
14. PERKENI. 2015. Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Di
Indonesia 2015. PB: PERKENI.
15. American Diabetes. 2010. Diagnosis and Clasification of Diabetes. Diabetes Care:
Volume 27.
16. Hiswani. 2009. Peranan Gizi dan Penatalaksanaan Diabetes Melitus. Diambil dari:
http://repository.usu.ac.id. (Diakses pada tanggal 14 November 2018).
17. Soegondo, Sidartawan. 1995. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
18. Gunawan. 2014. Current Guidelines of Nutritional Therapy for Diabetes Management.
19. Evert A et all. 2013. Nutrition Therapy Recommendations for the Management of
Adults with Diabetes.
20. Fitria E, Nur A, dkk. Karakteristik Ulkus Diabetikum pada Penderita Diabetes Mellitus
di RSUD dr. Zainal Abidin dan RSUD Meuraxa Banda Aceh. 2017. Aceh
Besar.Indonesia
21. Kartika W. 2017. Pengelolaan Gangren Kaki Diabetik. Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana. Jakarta, Indonesia.
22. Rina R. 2015. Ulkus Diabetikum PDF. Diambil dari: http://eprints.undip.ac.id.
(Diakses pada tanggal16 November 2018).

50

Anda mungkin juga menyukai