Perkembangan sejarah, pada tahun 1935, Domagk telah menemukan bahwa suatu zat
warna merah, prontosil rubrum, bersifat bakterisid in vivo tetapi inaktif in vitro. Ternyata zat ini
dalam tubuh dipecah menjadi sulfanilamide yang juga aktif in vitro. Berdasarkan penemuan ini
kemudian disentesa sulfapiridin yaitu obat pertama yang digunakn secara sistematis untuk
pengobatan radang paru (1937). Dalam waktu singkat obat ini diganti oleh sulfathiazole
(cobazol) yang kurang toksik (1939), disusul pula oleh sulfaniazine, sulfmetoksazole, dan
turunan-turunan lainnya yang lebih aman lagi. Setelah siintroduksi derivate-derivate yang suka
resorbsinya dari usus (sulfaguanidin dan lain-lain), akhirnya disentesa sulfa dengan panjang,
antara Bayer AG yang merupakan perusahan kimia yang terpecaya di Jerma. Tim Bayer percaya
bahwa zat perwarna yang dapat mengikat bakteri dan parasit yang berbahaya bagi tubuh. Setelah
bertahun-tahun tim yang dipimpin oleh dokter/ peneliti Gerhard Domagk (bekerja di bawah
arahan umum Ferben eksekutif Heinrich Hoelein) melakukan uji caba pada ratusan zat pewarna
akhirnya ditemukan suatu zat aktif yang berwarna merah.
Struktur dari sulfonamide mirip dengan p-aminobenzoic acid (PABA) yang merupakan
precursor DHF. Mekanisme kerja dari sulfonamide adalah sebagai substrat palsu dimana
sulfonamide berkompetisi dengan PABA pada sintesis DHF. Karenanya efeknya berupa
bakteriostatik yang menghambat pertumbuhan dan replikasi bakteri. Bakteri memerlukan PABA
(p-aminobenzoicacid) untuk membentuk asam folat yang digunakan untuk sintesis purin dan
asam-asam nukleat. Sulfonamide merupakan penghambat kompetitif PABA.
Efek antibakteri sulfonamide dihambat oleh adanya darah, nanah, dan jaringan nekrotik,
karena kebutuhan mikroba asam folat berkurang dalam media yang mengandung basa purin dan
timidin.
Mekanisme kerjanya berdasarkan sintesis (dihidro) folat dalam bakteri dengan cara
antagonisme saingan dengan PABA. Banyak jenis bakteri membutuhkan asam folat untuk
membangun asam-asam intinya DNA dan RNA. Asam folat ini dibentuknya sendiri dari bahan
pangkal PABA (para amino benzoic acid) yang terdapat dimana mana dalam tubuh manusia.
Rumus PABA menyerupai rumus dari sulfonamide. Bakteri keliru menggunakan sulfa sebagai
bahan untuk mensistensa asam folatya, sehingga DNA/RNA tidak terbentuk lagi sehingga
pertumbuhan bakteri terhenti.
Efek samping sulfa adalah reaksi hypersensitivitas seperti sindrom stevensjohnson, alergi
miokarditis dan reaksi alergi lain, anemia hemolitik, anemia aplastic, agranulositosis dan
gangguan saluran cerna. Penggunaan sulfonamide secara luas damn tidak selektif sering
menyebabkan terjadinya kekebalan pada bakteri.
Sulfonamide diabsorbsi melalui saluran cerna mudah dan cepat, kecuali beberapa macam
sulfonamide yang khusus digunakan untuk infeksi local pada usus. Kira-kira 70-100% dosis oral
sulfonamide di absorbs melalui saluran cerna dan dapat di temukan dalam urin 30 enit setelah
pemberian. Absorbs terutama terjadi pada usus halus, tetapi beberapa jenis sulfa dapat di absorbs
melalui lambung.
Dalam tubuh, sulfa mengalami asetilasi dan oksidasi. Hasil inilah yang sering
menyebabkan reaksi toksik sistemik berupa lesi pada kulit dan gejala hipersensitivitas,
sedangkan hasil asetilasi menyebabkan hilangnya aktivitas obat.
Hampir semua di ekskresi melalui ginjal, baik dalam bentuk asetil maupun bentuk bebas.
Masa paruh sulfonamide tergantung pada keadaan fungsi ginjal. Sebagian kecil diekskresikan
melalui tinja, empedu, dan air susu ibu.
Penggolongan sulfonamide