Anda di halaman 1dari 8

UU IPEP

“KAJIAN TENTANG PENGELOLAAN SERTA PENERAPAN


PMK NO 73 TAHUN 2016 DI APOTEK CHRIS SURABAYA”

NAMA ANGGOTA KELOMPOK IV/ B4-18 :


1. DANY KURNIAWATI (1351810125)
2. ENDAH WAHYUNING TIYAS (1351810269)
3. SUCHI RAHMADANI (1351810284)
4. QURROTUL A’YUN (1351810285)
5. SRI WAHYUNI (1351810286)
6. KHOIRIYATUL LAILY (1351810288)
7. ERNA SUSANTI (1351810294)
8. TJIU HENDRIK WIDYA .S (1351810316)
PROGRAM D3 FARMASI
9. ANIK WINARTI (1351810346)
LABORATORIUM
10. AYU AJENG WENDARI STERILISASI
(1351810371)
11. OENTARI (1351810378)
AKADEMI FARMASI SURABAYA

PROGRAM D3 FARMASI

AKADEMI FARMASI SURABAYA

2020
“KAJIAN TENTANG PENGELOLAAN SERTA PENERAPAN
PMK NO 73 TAHUN 2016”

1. PENDAHULUAN

Upaya Kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan


kesehatan dan tempat yang digunakan untuk menyelenggarakannya disebut sarana
kesehatan. Sarana kesehatan berfungsi untuk melakukan upaya kesehatan dasar
atau upaya kesehatan rujukan dan/atau upaya kesehatan penunjang. Selain itu,
sarana kesehatan dapat juga dipergunakan untuk kepentingan pendidikan dan
pelatihan serta penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang kesehatan. Sesuai dengan uraian di atas, sarana kesehatan meliputi balai
pengobatan, pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas), rumah sakit umum,rumah
sakit khusus,praktik dokter, praktik dokter gigi, praktik dokter spesialis, praktik
dokter gigi spesialis, praktik bidan, toko obat, apotek, instalasi farmasi rumah
sakit,pedagang besar farmasi, pabrik obat dan bahan obat,laboratorium kesehatan,
sekolah dan akademi kesehatan, balai pelatihan kesehatan dan sarana kesehatan
lainnya ( Charles, 2003 ).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No 9 Tahun 2017 Tentang Apotek,
Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek
kefarmasian oleh apoteker. Sebuah apotek harus dikelola oleh seorang apoteker
yang professional agar dapat memberikan pelayanan kefarmasian yang
professional. Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan
bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan maksud mencapai hasil
yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien (Satibi dkk, 2018).
Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan
pengobatan dalam proses pelayanan dan mengidentifikasi, mencegah serta
mengatasi masalah terkait obat, masalah farmakoekonomi, dan farmasi sosial.
Menghindari hal tersebut maka seorang apoteker harus menjalankan praktik
sesuai dengan standar pelayanan. Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotik yang

1
terbaru menggunakan Standar Pelayanan Kefarmasian Nomor 73 Tahun 2016
(Menkes, 2017).
Beberapa penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya mengenai standar
pelayanan kefarmasian di apotik dibeberapa kota menggunakan aturan Permenkes
Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek.
Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa pelayanan
kefarmasian yang dilakukan masih dalam kategori kurang memenuhi standar yang
telah ditentukan (Sari, 2018).

2. TUJUAN
Untuk mengkaji sejauh mana apotek tersebut dalam melaksanakan standar
pelayanan kefarmasian di apotek sesuai PMK Nomor 73 Tahun 2016.

3. TINJAUAN PUSTAKA
Dorongan untuk melaksanakan pharmaceutical care dengan mengutamakan
praktik kefarmasian oleh apoteker semakin menguat dalam kurun waktu lima
tahun terakhir ini. Sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 51 tentang
Pekerjaan Kefarmasian tahun 2009, telah melegalkan pekerjaan kefarmasian oleh
apoteker dalam pengadaan, produksi, distribusi atau penyaluran dan pelayanan
sediaan farmasi. Pelayanan kefarmasian telah mengalami perubahan yang semula
hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented) berkembang menjadi
pelayanan komprehensif meliputi pelayanan obat dan pelayanan farmasi klinik
yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Praktik kefarmasian
dilakukan berdasarkan standar pelayanan kefarmasian di Apotek, yang ditetapkan
sebagai acuan pelaksanaan pelayanan kefarmasian di apotek.
Saat ini standar pelayanan kefarmasian di apotek ditetapkan dengan
Permenkes Nomor 73 Tahun 2016, yang merupakan tolak ukur yang
dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan
pelayanan kefarmasian. Namun penetapan peraturan menteri ini tampaknya masih
sebatas keputusan tertulis yang pada pelaksanaannya di lapangan masih belum
tampak dan masih perlu dievaluasi secara kontinyu. Pelaksanaan standar
pelayanan kefarmasian di apotek semestinya dalam hal apoteker yang bekerja

2
sama dengan pemilik modal, harus tetap dilakukan sepenuhnya oleh Apoteker
yang bersangkutan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada beberapa kota di Indonesia
menunjukkan bahwa penerapan standar pelayanan kefarmasian di apotek belum
sepenuhnya terlaksana. Indikator yang menjadi penyebab belum terlaksananya
standar tersebut yaitu pada pelayanan farmasi klinik meliputi pemberian informasi
obat dan konseling. Peneletian ini dilakukan untuk menjelaskan lebih mendalam
mengenai penerapan standar pelayanan kefarmasian di apotek – apotek kota
Surabaya, menggali lebih dalam faktor – faktor pendukung , dan menghambat
penerapan standar pelayanan kefarmasian di apotek. Diharapakan dengan
dilakukannya penelitian ini dapat memperoleh gambaran sejauh mana apoteker di
apotek telah melakukan penerapan standar pelayanan kefarmasian berdasarkan
regulasi yang ada khususnya pada Permenkes Nomor 73 Tahun 2016.
Memperhatikan latar belakang masalah tersebut di atas maka dalam
pembahasan mengenai materi dan substansi penelitian ini memusatkan dan
membatasi pembahasannya pada Bagaimana Standar Pelayanan Kefarmasian Di
Apotek Christ di Kota Surabaya.

4. METODE PENELITIAN
Penelitian Evaluasi Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek Christ Kota
Surabaya menggunakan pendekatan yang bersifat yuridis normatif, yaitu dengan
mengkaji data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum terutama bahan hukum
primer yang berupa peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder
berupa kuesioner dengan memahami hukum sebagai seperangkat peraturan atau
norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan yang mengatur
mengenai kehidupan manusia dan didukung dengan kenyataan di lapangan. Selain
menggunakan data sekunder, menggunakan juga data primer. Data primer adalah
data yang diperoleh dari lapangan dengan cara memberikan kuesioner. Acuan dari
pertanyaan yang ada di kuesioner adalah Permenkes Nomor 73 Tahun 2016.

3
5. HASIL DATA DAN PEMBAHASAN
5.1 Karateristik Responden
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009
Tentang Pekerjaan Kefarmasian menyebutkan bahwa tenaga kefarmasiaan adalah
tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Apoteker dan
Tenaga Teknis Kefarmasian. Pada Tabel 1 merupakan karakteristik responden
dalam penelitian ini.
Tabel 1. Karateristik Responden
No Pertanyaan Jawaban
1 Berapakah umur anda? a. 21-35 th
b. 36-50 th
c. > 50 th
2 Apakah posisi anda di apotek? a. APA
b. Apoteker Pendamping
c. Apoteker Pengganti
d. Asisten Apoteker
3 Sudah berapa lama anda bekerja di a. < 1 th
apotek yang sekarang? b. 1-5 th
c. 6-10 th
d. > 10 th
4 Apakah anda memiliki pekerjaan a. Ya
yang lain? b. Tidak
5 Berapa hari anda bekerja di apotek a. 1-3 hari
yang sekarang? b. 3-5 hari
c. 6-7 hari
6 Berapa lama bekerja di apotek dalam a. < 4 jam
1 hari? b. 4-6 jam
c. 6-8 jam
d. > 8 jam
7 Apakah punya apoteker a. Tidak punya
pendamping? b. Punya

4
5.2 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis
Habis Pakai
Berdasarkan Permenkes RI No 73 Tahun 2016 pasal 3 ayat 2 dikatakan bahwa
Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan Dan Bahan Medis Habis Pakai
meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan,
pengendalian, pencataan dan pelaporan. Pengelolaan sediaan farmasi, alat
kesehatan dan bahan medis habis pakai dilakukan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pada Tabel 2 adalah kegiatan pengelolaan
sediaan farmasi alat kesehatan dan bahan medis habis pakai di Apotik Christ.

Tabel 2. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai
No Pertanyaan Jawaban
1 Pada saat perencanaan pengadaan
sediaan farmasi, alat kesehatan dan
bahan medis habis pakai melakukan
pertimbangan:
a. Pola penyakit  Ya
 Tidak
b. Pola konsumsi  Ya
 Tidak
c. Budaya  Ya
 Tidak

d. Kemampuan Masyarakat  Ya
 Tidak

2 Pengadaan sediaan farmasi melalui  Ya


jalur resmi  Tidak
3 Penerimaan sediaan farmasi sesuai  Ya
dengan surat pesanan  Tidak
4 Obat/bahan obat disimpan dalam  Ya
wadah asli dari pabrik  Tidak

5
5 Semua obat/bahan obat disimpan  Ya
pada kondisi yang sesuai  Tidak
6 Tempat penyimpanan obat tidak  Ya
dipergunakan untuk menyimpan  Tidak
barang lain
7 Sistem penyimpanan dilakukan  Ya
dengan memperhatikan bentuk  Tidak
sediaan dan kelas terapi obat serta
disusun secara alfabetis
8 Pengeluaran obat memakai sistem  Ya
FEFO (First Expire First Out) dan  Tidak
FIFO (First In First Out)
9 Obat kadaluarsa atau rusak  Ya
dimusnahkan sesuai dengan jenis dan  Tidak
bentuk sediaan
10 Pemusnahan resep setiap 5 tahun  Ya
 Tidak
11 Pengendaliaan persediaan obat  Ya
 Tidak
12 Pencatatan dilakukan pada setiap  Ya
proses pengelolaan sediaan farmasi,  Tidak
alat kesehatan dan bahan medis habis
pakai
13 Pelaporan narkotika dan psikotropika  Ya
sesuai dengan aturan perundang-  Tidak (tidak ada obat
undangan tsb)
14 Terdapat pelaporan internal  Ya
 Tidak

6
Berdasarkan hasil penelitian di atas didapatkan hasil yaitu untuk pengelolaan
sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang dilakukan oleh
Apotik Christ sudah dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Namun ada satu kegiatan yang belum dilakukan yaitu tempat
penyimpanan obat dipergunakan untuk menyimpan barang.

6. KESIMPULAN
Standar Pelayanan Kefarmasian yang ada di Apotik Christ Kota Surabaya
belum semua nya menerapkan standar pelayanan kefarmasian berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Standar Pelayanan Kefarmasian
Pada kegiatan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis
pakai belum menerapkan penyimpanan obat yang benar dengan tidak
dipergunakan untuk menyimpan barang lain.

7. DAFTAR PUSTAKA
 Charles J.P. Siregar. 2003. Farmasi Rumah Sakit Teori & Penerapan.
Jakarta: EGC
 Satibi dkk. 2018. Manajemen Apotek. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press
 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 73 Tahun 2016 Tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian Di Apotek (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2017 Nomor 50).
 Sari Prabandari. 2018. Gambaran Manajemen Standar Pelayanan
Kefarmasian Di Apotek Permata Kota Tegal. Jurnal Para Pemikir Vol. 7,
Nomor 1, 2018: 202 – 208
 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang
Pekerjaan Kefarmasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 124).

Anda mungkin juga menyukai