Anda di halaman 1dari 26

Kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan pancasila

Dikorek, Ini Kebijakan yang Tak Sesuai Pancasila Menurut Pengamat


Pengamat sektor kelautan dan perikanan Abdul Halim menyatakan, segala macam
bentuk kebijakan yang mendorong adanya privatisasi wilayah kelautan tidak
sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
"Privatisasi dan komersialisasi bertolak belakang dengan nilai Pancasila, yakni
gotong-royong," kata Abdul Halim, di Jakarta, Kamis (1/6/2017).
Menurut Abdul Halim, sumber daya kelautan dan perikanan harus ditempatkan
sebagai sarana pendakian masyarakat pesisir lintas profesi menuju kebahagiaan
kolektif sebagai bangsa.
Selain itu, ujar dia, pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan harus
mengedepankan prinsip keadilan dan keberadaban.
"Dalam konteks ini, pemerintah dituntut untuk berperan aktif dalam memastikan
terlaksananya dua nilai luhur tersebut," katanya.
Ia juga menuturkan, pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan mesti
memperkuat rasa persatuan bangsa, bukan memecah-belah atas dasar kepentingan
jangka pendek.
Di situlah, pentingnya musyawarah untuk mufakat terkait kebijakan pengelolaan
sumber daya kelautan yang tidak menerapkan praktek privatisasi dan
komersialisasi guna mewujudkan keadilan sosial.
Terkait poros maritim dunia yang menjadi salah satu visi pemerintah, Abdul
Halim yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk
Kemanusiaan itu berpendapat, visi tersebut secara geografis sangat relevan, namun
belum ada internalisasi nilai-nilai Pancasila di dalamnya.
Sebelumnya, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur Kemenko Kemaritiman
Ridwan Djamaluddin mengatakan pemerintah mendorong pengembangan
pelabuhan yang jadi motor dalam visi menjadi poros maritim dunia.
"Secara umum, pemerintah Indonesia mendorong pengembangan pelabuhan
dengan payung besar pengembangan poros maritim Indonesia, sehingga program-
program yang mendukung ke arah sana kita prioritaskan," kata Ridwan
Djamaluddin.
Sumber :
https://www.arah.com/article/32803/dikorek-ini-kebijakan-yang-tak-sesuai-
pancasila-menurut-pengamat.html

Pemerintah Harus Selesaikan Masalah


Honorer yang Tak Sesuai Kualifikasi CPNS
Liputan6.com, Jakarta - November nanti, pendaftaran CPNS 2019 dibuka untuk 68
Kementerian dan Lembaga serta 462 pendaftaran CPNS di Pemerintah Provinsi dan Kabupaten
atau Kota dengan formasi yang beragam.

Meski demikian, tidak semua pihak berbahagia mendengar kabar pembukaan lowongan paling
dinanti ini. Tenaga honorer, yang khawatir posisinya akan tergeser oleh tenaga baru, berharap
pemerintah bisa memperhatikan mereka juga.

Pasalnya, jalan satu-satunya untuk menjadi PNS adalah dengan mengikuti seleksi CPNS yang
diadakan pemerintah dengan platform Computer Assisted Test (CAT) BKN. Tapi, tentu tidak
semua honorer bisa mengikuti CPNS karena kualifikasi yang ketat, seperti minimal jenjang
pendidikan, usia dan lainnya.

Pengamat kebijakan publik Eko Sakapurnama menilai, ini adalah pekerjaan rumah pemerintah
yang harus segera diselesaikan agar masalah honorer tidak semakin carut marut.

"Nah, ini (keterbatasan tenaga honorer untuk ikut CPNS) jadi PR pemerintah juga. Paling,
pemerintah bisa pakai mekanisme kontrak PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja)
untuk tenaga honorer," ujarnya saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (30/10/2019).

Eko menambahkan, adanya tenaga honorer K1 dan K2 tetap harus menjadi aspek kepegawaian
yang harus dikelola baik oleh pemerintah. Jika demikian, adakah kebijakan khusus yang bisa jadi
alternatif bagi honorer mendapat hak dan kewajiban menjadi PNS?

Menurut Eko, kebijakan yang sekarang sudah cukup baik untuk mensetarakan kompetensi PNS.
"Computer Assisted Test (CAT) itu sudah cukup akuntabel dan transparan untuk merekrut PNS,
sehingga tidak perlu ada lagi kebijakan khusus," tambahnya.

Sementara pengamat kebijakan publik Agus Pambagyo mengusulkan agar pemerintah daerah
memberi rekomendasi pada tenaga honorer untuk bisa mengikuti seleksi CPNS.

"Itu kan, biasanya para honorer diangkat sesuai kebutuhan instansi di daerah, jadi harusnya
kepala daerah itu mengusulkan agar mereka (tenaga honorer) bisa ikut tes," ujar Agus.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo
mengatakan, hari ini dirinya telah menandatangani pembukaan pendaftaran seleksi Calon
Pegawai Negeri Sipil (CPNS) 2019.

"Saya hari ini menandatangani pendaftaran CPNS," ujar Tjahjo saat dikonfirmasi, Senin
(28/10/2019).

Dalam lembaran yang telah ditekennya, tertulis bahwa pendaftaran CPNS dibuka untuk 68


Kementerian/Lembaga serta 462 pendaftaran CPNS di Pemerintah Provinsi dan
Kabupaten/Kota. 

Adapun rencananya, pendaftaran akan dibuka pada 11 November 2019 mendatang. Proses
pendaftaran dilakukan secara online melalui laman sscasn.bkn.go.id. Berdasarkan catatan,
pelamar hanya boleh melamar untuk satu instansi dan formasi jabatan di Kementerian/Lembaga
ataupun Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Diinformasikan juga, seluruh tahap tes akan dilakukan menggunakan sistem Computer Assisted
Test (CAT). Tahap tes tersebut antara lain Seleksi Kompetensi Dasar (SKD) yang dimulai pada
Februari 2020, dan Seleksi Kompetensi Bidang (SKB) pada Maret 2020.

Pengumuman lebih lanjut terkait persyaratan pendaftaran dan lain-lain akan diumumkan oleh
Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan masing-masing instansi.

Dalam lembaran tersebut, pelamar juga diingatkan untuk berhati-hati terhadap penipuan dalam
proses seleksi CPNS 2019 ini. Itu lantaran tidak ada satupun pihak yang dapat membantu proses
kelulusan.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Tjahjo Kumolo
mengatakan, hari ini dia telah menandatangani pembukaan pendaftaran Calon Pegawai Negeri
Sipil (CPNS) 2019.

Sumber :
https://www.liputan6.com/bisnis/read/4098164/pemerintah-harus-selesaikan-
masalah-honorer-yang-tak-sesuai-kualifikasi-cpns
Proposal kereta cepat tidak sesuai janji
Pemerintah Indonesia memutuskan untuk menolak dan meminta merevisi kembali proyek kereta
cepat Jakarta-Bandung yang diajukan dua investor, Tiongkok dan Jepang. Hal itu jika mereka
masih ingin terlibat dalam proyek pembangunan transportasi di Indonesia.

Pasalnya, dari dua proposal diajukan kepada Presiden Joko Widodo oleh tim teknis yang
dipimpin Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, tidak ada satupun yang
sesuai dan layak untuk jarak Jakarta dan Bandung.

Dan ternyata, lanjut Darmin, secara teknis kecepatan riil kereta tersebut ternyata tidak secepat
yang dijanjikan kedua calon investor, di mana dalam proposal penawarannya rata-rata kecepatan
bisa mencapai 350 kilometer per jam.

Untuk menenmpuh jarak 150 kilometer Jakarta-Bandung, kereta cepat harus melintasi 5 hingga 8
stasiun. Apabila memperhitungkan waktu transit kereta di tiap stasiun, maka kecepatan maksimal
kereta tersebut sebenarnya hanya sekitar 200 kilometer per jam, kata Darmin seperti yang
dilansir CNN Indonesia.

Jika Shinkansen melesat dengan kecepatan 300 kilometer per jam, maka kereta tersebut tidak
akan pernah bisa mencapai kecepatan maksimumnya karena perlu waktu tempuh 14 menit.

"Jadi, kereta belum sampai kecepatan penuh sudah harus direm lagi," kata Darmin.

"Keputusan Presiden adalah jangan kereta cepat, cukup kereta berkecepatan menengah atau
sekitar 200-250 km per jam. Meskipun berbeda sampainya, tapi paling lambat hanya 10-11
menit. Biayanya pun berkurang jauh, bisa 30-40 persen lebih murah," ujarnya seperti yang ditulis
Republika Online.

Darmin melanjutkan, hasil penilaian dari konsultan independen, Boston Consulting Group
(BCG) disebutkan kedua proposal Tiongkok dan Jepang sama-sama tidak merinci banyak hal
soal kereta cepat, seperti standar pemeliharaan, standar pelayanan dan lainnya.

"Jadi Indonesia perlu merumuskan kereta api seperti apa yang diperlukan, misalnya di mana
stasiun yang akan dibangun, di mana bersimpangan dengan kereta lain, ya mungkin berbatasan
dengan kereta api ringan supaya jadi lebih optimum kegunaannya," tutur dia.

Dilansir Liputan6.com, Tiongkok dan Jepang, perlu memikirkan pengembangan wilayah usai
stasiun dibangun yang akan berpotensi meningkatkan pertumbuhan pembangunan properti secara
massal.

"Semua itu harus dituang dalam kerangka kerja acuan. Jadi Presiden bentuk tim untuk menyusun
kerangka acuan. Setelah itu, Jepang dan Cina dipersilakan menyusun proposal baru," terang dia.
Namun, ia memastikan apabila proyek pembangunan kereta masih berlanjut, maka kerja
samanya berlangsung melalui business to business (B to B) dan skema pembiayaannya tidak
menggunakan APBN langsung maupun tidak langsung.

"Semua ini akan dirancang dalam skema 'B to B', bagaimana rancangannya, Kementerian
BUMN nanti yang akan mengambil peran utama," jelasnya.

Terkait skema pemilihan investor diantara kedua negara tersebut, Darmin mengatakan akan
dilakukan melalui lelang unggulan dengan tidak meniadakan salah satu peserta serta melibatkan
tim negosiasi khusus.

"Dua-duanya akan dievaluasi siapa yang 'bidder' (penawar) unggulan, tapi yang satu tidak
langsung mundur. Nanti tim akan berunding dengan 'bidder' unggulan, sehingga bisa dicapai
harga paling efisien dan kualitas terbaik. Kalau gagal mencapai kesepakatan, bisa pindah ke
satunya lagi," katanya.

Penolakan

Sejak rencana pembangunan proyek kereta Jakarta-Bandung mencuat, banyak pihak yang
mengutarakan penolakan mereka dengan berbagai alasan.

Semua mempertanyakan prioritas Jokowi membangun proyek ini, di atas kepentingan lain yang
lebih mendesak seperti pembangunan di daerah terpencil.

Ketua Institut Studi Transportasi Darmningtyas, dikutip BBC Indonesia,negara-negara lain yang
biasanya berencana membangun kereta cepat akan mempertimbangkan masalah mobilitas.

Waktu perjalanan yang nantinya hanya 37 menit saja, sebenarnya tdak menawarkan keunggulan
baru. "Jadi sama saja antara perjalanan (dengan kemacetan) saya ke stasiun untuk naik kereta
cepat , dengan saya naik mobil sendiri langsung dari Jakarta menuju Bandung," kata
Darmaningtyas.

Yang lebih penting, pembangunan infrastruktur canggih sekelas kereta super-cepat akan semakin
membuat timpang perbedaan infrastruktur antara Pulau Jawa dan luar Jawa, tak konsisten dengan
rencana Presiden Jokowi selama ini untuk membangun proyek-proyek infrastruktur di luar Jawa
untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.

"Jokowi kan selama ini selalu bilang tol laut, tol laut. Ya fokus itu saja, sambil membangun
kereta reguler di Kalimantan, Sulawesi, Papua. Di Ambon orang harus menunggu kapal datang
sampai berhari-hari atau berminggu-minggu, ini hitungannya menit. Apa adil?" ujarnya.

Pembangunan kereta juga menurutnya akan menambah beban lingkungan terhadap Pulau Jawa
yang sudah padat penduduk dan banyak mengalami alih fungsi lahan-lahan produktifnya.

Menteri Perhubungan Ignasius Jonan pun berpendapat, ada baiknya kereta cepat dibangun untuk
rute-rute jarak jauh, misalnya Jakarta-Surabaya.
"Kalau Jakarta-Bandung itu total misal butuh 40 menit, berarti kalau interval tiap stasiun (jika
lima stasiun) adalah delapan menit. Kalau delapan menit, apa bisa delapan menit itu dari
velositas 0 km per jam sampai 300 km per jam? Saya kira enggak bisa," kata Jonan ditemui
Kompas.com, seusai rapat koordinasi di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian,
Jakarta, Kamis (3/9/2015).

Ketua Asosiasi Industri Kakao Indonesia Piter Jasman, menggambarkan beberapa masalah
infrastruktur yang dia alami dalam mengirim cokelat dari Lampung, Sulawesi, dan Papua,
sumber bahan baku, ke Pulau Jawa, tempat pengolahan berada.

"Jalanan rusak semua itu, dari Mamuju ke Sulawesi. Apalagi kalau musim hujan, banyak truk
yang tidak bisa jalan. Otomatis ini menghambat mengirim bahan baku. Dari Irian (Papua)
andaikata kita mau kirim ke Jawa, angkutan kapalnya juga tidak terlalu banyak. Harus
menunggu. Jadi tinggi biaya kita, biaya angkutan, jadi naik," katanya.

Hal-hal seperti ini membuat harga cokelat Indonesia di pasaran internasional kalah dari Pantai
Gading atau Ghana.Seorang pengguna rutin kereta Jakarta-Bandung, Imam Wiraatmadja,
berpendapat, mempercepat waktu tempuh dari tiga jam ke 30 menit jika menggunakan kereta
cepat bukan hal utama yang harus diperbaiki, melainkan frekuensi dan jumlah kereta yang
berangkat."Selain itu konektivitasnya. Di Jakarta, aksesnya ke Gambir juga macet. Sampai di
Bandung, angkutan umum juga tidak ada, dan semua harus antre taksi, yang terbatas. Tiga jam di
kereta itu nggak masalah, lebih nyaman daripada di mobil. Perjalanan di tengah kota di Jakarta
saja bisa dua jam lebih," katanya.
Sumber :
https://beritagar.id/artikel/berita/proposal-kereta-cepat-tidak-sesuai-janji

Polemik Subsidi LPG, Dulu Solusi Kini Perlu


Resolusi?
Jakarta, CNBC Indonesia - Lebih dari satu dekade sejak pertama kali diluncurkan, konversi
minyak tanah ke LPG bisa dibilang berhasil.

Di awal 2007, LPG dikenalkan ke masyarakat untuk menggantikan harga minyak tanah yang
kian melonjak. Bayangkan, dari harga Rp 2000 per liter harga kerosene tiba-tiba meroket jadi
kisaran Rp 11.000 per liter.

Padahal, minyak tanah mayoritas digunakan oleh kalangan tidak mampu. Lalu, pemerintah
mengenalkan gas tabung ukuran 3 kg berwarna hijau yang kemudian dikenal sebagai tabung gas
melon.
Pertama dikenalkan butuh sosialisasi sangat gencar, ini karena masyarakat masih gagap dengan
pemakaian gas untuk memasak. Alhasil, peristiwa ledakan tabung gas terjadi di mana-mana.
Perlahan tapi pasti, ledakan berkurang dan pemakaian LPG terus meningkat. Ketimbang pakai
minyak tanah Rp 11.000 per liter yang habis sekali masak, lebih baik gunakan gas elpiji seharga
Rp 12.000- Rp 12.500 yang bisa bertahan hingga dua pekan.

Ini sebuah konversi yang sukses, baik dari sisi keuangan negara maupun energi. Bagaimanapun,
bahan bakar gas jauh lebih ramah lingkungan ketimbang minyak.

Penggunaan LPG pun meningkat dari 1,9 juta Metrik Ton (MT) di 2008 ke 3 juta MT di tahun
berikutnya. Awalnya ini adalah kabar baik, sampai akhirnya konsumsi terus meningkat tapi
sumber pasokan dari dalam negeri kian menipis. Impor gas tidak terelakkan, belum lagi harga
minyak yang terus naik dan merembet ke harga gas. Alhasil LPG kini menjadi beban, sama
seperti bensin premium. 

Tersangkut Subsidi 
Kementerian Keuangan mengatakan subsidi energi tercatat Rp 49,4 triliun pada periode Januari-
Mei 2018, atau telah mencapai 52% dari anggaran yang dialokasikan di Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) 2018. Sebagai catatan, nilai itu membengkak sekitar Rp 17 triliun
atau 53% dibandingkan periode yang sama tahun 2017.

Meskipun ada catatan bahwa kenaikan itu termasuk pelunasan kurang bayar subsidi Bahan Bakar
Minyak (BBM) dan gas cair (Liquefied Petroleum Gas/LPG) sebelumnya sebesar Rp12,3 triliun,
tetap saja hal ini mengindikasikan masih tingginya tingkat ketergantungan terhadap subsidi
energi.

Khusus untuk komoditas LPG, tercatat bahwa subsidi LPG mulai menunjukkan peningkatan
yang cukup signifikan pada tahun 2017, yakni mencapai Rp38,75 triliun. Jumlah itu merupakan
nominal kedua tertinggi dalam lima tahun terakhir.

Padahal, pada 2015 dan 2016, subsidi LPG sudah lumayan terpangkas di kisaran Rp20 triliun,
seiring menurunnya harga komoditas global.

Dengan laju seperti sekarang, subsidi LPG berpeluang besar kembali melambung pada tahun ini.
Bahkan, PT Pertamina (Persero) sempat memperkirakan realisasi volume LPG bersubsidi tahun
ini bakal melampaui pagu dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018
sebesar 6,45 juta metrik ton.

Berdasarkan data dari PT Pertamina (Persero), volume penjualan LPG sendiri memang terus
menanjak dari tahun ke tahun, di mana pada tahun 2017 sudah mencapai 7,3 juta metrik ton
(MT), atau meningkat hampir 300% sejak tahun 2008.

Mengacu Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) 2018 perusahaan minyak plat merah
tersebut, volume penjualan LPG juga ditargetkan bertambah menjadi 7,5 juta MT tahun ini.
Di tengah tren kenaikan permintaan LPG, meroketnya subsidi untuk komoditas ini memang tidak
dapat dihindarkan. Pasalnya, untuk memenuhi kebutuhan konsumsi LPG tanah air, sekitar 70%
nya harus dilakukan dengan cara mengimpor dari negara lain.

Impor dan Perlunya Alternatif LPG

Produksi gas Indonesia sebenarnya cukup tinggi, yakni mencapai 1,2 juta barel setara minyak per
hari (BOEPD). Jika jumlah ini dikonversi menjadi LPG, sebenarnya masih bisa mencukupi
konsumsi domestik. Masalahnya, karakteristik gas yang diproduksi oleh Indonesia tidak serta
merta dapat dikonversi menjadi LPG.

"Tetapi, banyak gas kita adalah gas kering sehingga tidak bisa diubah jadi LPG," kata Menteri
ESDM Ignasius Jonan, saat berbincang dengan CNBC Indonesia di Hotel Four Seasons,
Washington, Amerika Serikat, Senin (25/6/2018).

Mantan Menteri Perhubungan itu juga menambahkan bahwa untuk menghasilkan gas melon, gas
yang dibutuhkan adalah gas dengan kandungan propan (C3) dan butan (C4). Sementara,
lapangan gas di Indonesia lebih banyak menghasilkan C1 dan C2.

Untuk menekan kebutuhan impor LPG itu, Kementerian ESDM sebenarnya sudah mengkaji
beberapa langkah alternatif, misalnya pengolahan batu bara menjadi gas metana atau coal bed
methane (CBM), yang disebut Jonan dapat menekan kebutuhan impor hingga Rp 28 triliun per
tahunnya.

Meski demikian, dalam penerapan alternatif tersebut memang dibutuhkan beberapa penyesuaian
teknikal, seperti kompor yang harus didesain agar tidak menyebabkan korosif.

Alternatif lainnya selain dari pengolahan batu bara adalah memperbanyak program jaringan gas
(Jargas). Untuk opsi ini nampaknya pemerintah sudah lebih berpengalaman dibandingkan
pengembangan batu bara menjadi bahan bakar gas.

Sejak tahun 2009 hingga Maret 2018, pemerintah Indonesia, melalui penugasan ke PT Pertamina
(Persero) dan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk, telah sukses membangun 228.518
Sambungan Rumah (SR) jargas untuk rumah tangga di 15 Provinsi pada 32 Kabupaten/Kota.
Untuk tahun ini saja, pemerintah menargetkan penambahan jargas sebanyak 78.315 SR.

Dari segi penghematan, pemanfaatan jargas diklaim Kementerian ESDM dapat menghemat
sekitar Rp 90.000 per bulan per keluarga, dibandingkan dengan menggunakan LPG. Namun,
karena sifatnya penugasan dari pemerintah, selama ini pembangunan jargas masih dibiayai oleh
APBN, yang jelas terbatas dananya.

Oleh karena itu, ide agar pembangunan jargas dapat dilakukan dengan menggunakan skema
kerja pemerintah dan badan usaha (KPBU), sudah mulai dilontarkan. Skema tersebut dinilai
mampu mempercepat konstruksi jargas daripada hanya mengandalkan dana APBN.
Pemanfaatan skema KPBU sudah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 38 Tahun 2015
tentang Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. KPBU
sendiri merupakan kerja sama antara pemerintah dan Badan Usaha untuk kepentingan umum,
dengan mengacu pada spesifikasi yang telah ditetapkan oleh pihak pemerintah, yang sebagian
atau seluruhnya menggunakan sumber daya Badan Usaha dengan memperhatikan pembagian
risiko antar pihak.

Skema KPBU sendiri sudah mulai digalakkan di Indonesia, khususnya untuk membiayai
masifnya proyek infrastruktur di era Jokowi-JK. Beberapa contoh sukses pembangunan
infrastruktur dengan KPBU di antaranya proyek Palapa Ring, Sistem Penyediaan Air Minum
(SPAM) Umbulan, dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Batang.

Meski saat ini rencana tersebut masih digodok oleh pemerintah, ditambah masih adanya masalah
lahan yang kerap menjadi persoalan utama dalam pembangunan jargas,  opsi ini nampaknya
layak untuk dipertimbangkan secara serius oleh pemangku kebijakan.

Dalam rangka mengurangi beban subsidi LPG, alternatif percepatan program jargas dapat
memberikan solusi yang lebih berkelanjutan, dibandingkan dengan upaya pemerintah untuk
mengembangkan skema subsidi tertutup atau mengimpor LPG yang lebih murah dari Aljazair.

Sumber :
https://www.cnbcindonesia.com/news/20180627074615-4-20644/polemik-subsidi-
lpg-dulu-solusi-kini-perlu-resolusi/2

Problematik Kartu Indonesia Pintar


PROGRAM Kartu Indonesia Pintar (KIP) merupakan salah satu program unggulan Presiden
Jokowi dalam bidang pendidikan yang dijanjikan saat kampanye Pilpres 2014 lalu. Program ini
bertujuan menghilangkan hambatan anak usia sekolah secara ekonomi untuk berpartisipasi di
sekolah. Dengan demikian, mereka memperoleh akses pelayanan pendidikan yang lebih baik,
mencegah murid mengalami putus sekolah, serta mendorong anak yang putus sekolah kembali
bersekolah.

Banyak pihak, terutama awam sering bertanya apa perbedaan BOS (Bantuan Operasional
Sekolah) dengan KIP. BOS, sesuai namanya, merupakan bantuan bagi kelancaran operasional
sekolah. BOS ditujukan kepada lembaga (sekolah) yang diberikan kepada semua. Program
Indonesia Pintar melalui KIP merupakan pemberian bantuan tunai kepada seluruh anak usia
sekolah (6-21) yang berasal dari keluarga miskin dan rentan atau anak yang memenuhi kriteria
yang telah ditetapkan sebelumnya.
Program ini penyempurnaan program Bantuan Siswa Miskin (BSM) yang diberikan sejak akhir
2014. Pesan inti yang ingin disampaikan melalui KIP ini ialah menghindarkan anak
meninggalkan sekolah akibat tidak memiliki biaya. Adapun mereka yang sudah telanjur
meninggalkan sekolah dapat kembali ke sekolah. Tidak ada alasan ekonomi lagi mereka tidak
bersekolah sebab kebutuhan bayaran sekolah dicukupi dana BOS, sedangkan kebutuhan dana
personal dicukupi KIP.

Besaran dana KIP itu untuk SD/MI/diniyah formal ula/SDTK, pondok pesantren, dan kejar paket
A/PPS Wajar pendidikan dasar ula sebesar Rp225 ribu. SMP/MTs/diniyah formal
wustha/SMPTK, pondok pesantren, kejar paket B/PPS Wajar dikdas wustha sebesar Rp375 ribu.
Untuk tingkat SMA/SMK/MA/diniyah formal ulya/muadalah/SMTK/SMAK, pondok pesantren,
dan kejar paket C/PMU ulya/lembaga pelatihan/kursus sebesar Rp500 ribu. Namun, pada 2017
ini jumlahnya naik menjadi Rp400 ribu untuk tingkat SD/MI, Rp500 ribu untuk tingkat
SMP/MTs, dan Rp700 ribu bagi tingkat SMA/SMK/MA.

KIP dimaksudkan mendukung penuntasan Program Wajib Belajar Sembilan Tahun dan
Pendidikan Menengah Universal (Wajib Belajar 12 Tahun). Pada 2015 jumlah penerima KIP
mencapai 20,37 juta, terdiri atas murid di lingkungan Kemendikbud 17,92 juta dan Kemenag
2,45 juta, dengan total anggaran mencapai Rp12,81 triliun.
Pada 2016 jumlah penerima KIP mencapai 19,54 juta, terdiri atas anak di bawah Kemendikbud
17,92 juta dan di bawah Kemenag 1,62 juta, dengan total anggaran Rp11,56 triliun. Besaran dana
yang dilakokasikan untuk KIP ini hampir sama dengan dana BOS.

Problem data dan penyaluran


Secara konseptual, Program Indonesia Pintar melalui KIP ini sebetulnya cukup jelas, termasuk
sasaran penerimanya. Namun, pada tingkat implementasinya cukup problematik, baik
menyangkut validitas data yang dipakai dasar pemberian KIP maupun metode penyalurannya.

Pertama, masalah data yang dipakai berasal dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan (TNP2K), yang surveinya mungkin pada 2011 sehingga data yang tersaji
kedaluwarsa profil murid maupun orangtua banyak yang berubah. Tidak aneh bila ada murid
SMK yang sudah lulus justru mendapatkan KIP. Persoalan akurasi data itu pula yang
menyebabkan penyaluran KIP pada masa Mendikbud Anies Baswedan (sampai 27 Juli 2016)
tersendat. Selain karena data tidak akurat lagi, di sisi lain Kemendikbud juga tidak bisa leluasa
menentukan metode lain, misalnya menggunakan data pokok pendidikan (Dapodik) yang lebih
akurat karena itu berarti menyalahi prosedur.

Namun sekarang, Mendikbud Muhadjir Effendy mencoba mengombinasikan data (TNP2K)


dengan Dapodik guna menghindari salah prosedur dan menjamin akurasi data. Dengan
memadukan dua data berbeda itu, penyaluran KIP lebih lancar, sudah di atas 90%. Persoalan
kedua, soal penyaluran dana. Masalah metodologi penyaluran dana KIP itu bukan hal sederhana,
mengingat nilai rupiah dalam KIP tidak boleh terpotong. Di sisi lain bank tidak diberi upah
menyalurkan, hanya diberi toleransi menahan dana KIP satu bulan. Tapi penahanan uang dalam
satu bulan tidak bermakna apa-apa jika dibandingkan dengan alokasi SDM yang harus
disediakan perbankan guna penyaluran KIP.
Padahal, kinerja direksi bank BUMN dinilai berdasarkan keuntungan yang disetor ke negara.
Akibatnya, penyaluran dana KIP terlambat.
Keterlambatan tiga bulan tentu menghambat warga miskin. Problem yang juga dihadapi kaum
miskin adalah saat hubungan dengan bank perlu bantuan orangtua. Tidak sedikit orangtua murid
yang menyalahgunakan dana KIP.

Inilah problematik Program Indonesia Pintar melalui KIP yang harus dipecahkan Kemendikbud,
Kementerian BUMN, dan Presiden.
Persoalan metode penyaluran dapat dipecahkan bila tidak ada ego sektoral, dan semua tunduk
perintah Presiden. Jika semua sepaham bahwa Program Indonesia Pintar melalui KIP adalah janji
Presiden Jokowi kepada pemilihnya, Menteri BUMN Rini Soemarno tinggal meminta Dirut BRI
dan BNI (yang mendapat tugas menyalurkan KIP) untuk memperlancar penyaluran KIP agar
tepat waktu.

Agar para direksi bank BUMN memiliki komitmen tinggi memperlancar penyaluran KIP,
prestasi mereka perlu diapresiasi sebagai prestasi kerja direksi meskipun itu sifatnya kerja sosial.
Atau pola lain, penyaluran KIP dibiayai dana CSR bank sehingga pihak bank dapat merekrut
tenaga khusus penyaluran KIP, tanpa mengganggu bisnis perbankan. Dengan membenahi model
penyaluran ini diharapkan KIP diterima tepat waktu tanpa mengganggu kinerja bank.

Sumber :
https://mediaindonesia.com/read/detail/115639-problematik-kartu-indonesia-pintar

Pak Jokowi, Ini Dampaknya Kalau Nekat


Naikkan Harga BBM
Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo disebut akan melakukan kebijakan 'gila' di
periode kedua ia menjabat nanti. Mungkinkah terkait kenaikan harga BBM dan tarif listrik?

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan, tidak menutup kemungkinan
dua hal tersebut akan dilakukan Jokowi. Pasalnya, Kepala Negara kini sudah tidak memiliki
beban lagi. 

Namun, lanjut Mamit, tentunya akan ada dampak jika Presiden mengambil langkah kebijakan
non-populis itu. 

"Kondisi perekonomian masyarakat juga masih rendah dan belum stabil. Kenaikan ini akan
menyebabkan terjadinya inflasi, dampaknya adalah kenaikan harga barang dan ongkos
transportasi," ujar Mamit saat dihubungi CNBC Indonesia, Senin (1/7/2019).
Hal serupa juga disampaikan oleh Ekonom Institute for Development of Economics and Finance
(INDEF) Bhima Yudhistira. Ia menilai, memang situasinya simalakama. Ia menjabarkan, tahun
ini rasio pajak diperkirakan menurun, defisit anggaran melebar akibat kenaikan belanja dan
perkembangan realisasi asumsi makro.

"Sehingga, memang perlu ada penyesuaian belanja pemerintah," ujar Bhima saat dihubungi
CNBC Indonesia, Senin (1/7/2019).

Lebih lanjut, ia mengatakan, tekanan dari sisi defisit migas yang melebar juga jadi alasan
pemerintah untuk mengurangi subsidi, meski belum tentu efektif kurangi defisit migas jika
kenaikan harga BBM tidak signifikan.

Sehingga, imbuhnya, apabila keputusan pmerintah akan naikan harga bbm dan tarif listrik,
konsekuensinya lebih berat lagi. Harga BBM subsidi maupun penugasan yang naik akan picu
inflasi. 

Bhima menyebutkan, kenaikan harga jual premium atau pertalite Rp 500-1000 per liter akan
mendorong inflasi hingga dua kali lipat. Tahun 2008, BBM jenis premium naik harganya dari Rp
4.500 ke Rp 5.500 atau Rp1.000 per liter. Inflasi di 2008 meningkat menjadi 11,06% dari 6.59%
di 2007. 

"Jika inflasi naik sementara pendapatan tidak tumbuh signifikan, efeknya daya beli khususnya
masyarakat miskin yang akan terpukul. Kenaikan harga BBM juga merembet pada kenaikan
harga pangan lainnya. Sehingga, saya pikir pemerintah harus mengkaji secara matang karena
implikasi ke ekonomi cukup besar," pungkasnya.

Sumber :
https://www.cnbcindonesia.com/news/20190701131333-4-81840/pak-jokowi-ini-
dampaknya-kalau-nekat-naikkan-harga-bbm

Ridwan Kamil Tetapkan UMK 2020, Buruh


Tetap Demo Gedung Sate
VIVAnews – Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil menetapkan Upah Minimum
Kota/Kabupaten atau UMK 2020 melalui Surat Keputusan Gubernur No. 561/Kep.983-
Yanbangsos/2019 per 1 Desember. SK ini dikeluarkan, setelah UMK 2020 diterbitkan melalui
surat edaran yang mengakibatkan sikap menolak para buruh.

Meski SK dikeluarkan, para buruh dari berbagai daerah bakal menggelar unjuk rasa di Gedung
Sate Kota Bandung. Delegasi para buruh dari Karawang dan sekitar Bandung Raya, mulai
berdatangan. Asosiasi buruh yang hadir, yaitu Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), Serikat
Pekerja Nasional (SPN), dan Serikat Pekerja Metal Indonesia (SPMI).
Perwakilan dari SPSI Karawang, Tedi Andrianto menjelaskan, aksi ini dilakukan sebagai bentuk
kekecewaan para buruh kepada Ridwan Kamil, karena menetapkan UMK melalui surat edaran.
Dengan surat edaran, menurutnya, terkesan permasalahan buruh dipandang sebelah mata.

"Pada dasarnya kurang yakin, dengan surat edaran merupakan suatu kemunduran buat Jawa
Barat, intinya kurang meyakinkan," ujar Tedi di kawasan Gedung Sate, Senin 2 Desember 2019.

Tedi memastikan, aspirasi akan tetap dilakukan, meski Ridwan Kamil telah mengeluarkan SK
tentang UMK 2020. "Belum lihat, kita menuntutnya SK ini bukan surat edaran," katanya.

Berikut, daftar lengkap UMK 2020 berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Barat No.
561/Kep.983-Yanbangsos/2019 di seluruh kabupaten/kota di Jawa Barat, dengan besaran masih
sama dengan yang tercantum pada SE:

1. Kabupaten Karawang Rp 4.594.324,54


2. Kota Bekasi Rp 4.589.708,90
3. Kabupaten Bekasi Rp 4.498.961,51
4. Kota Depok Rp 4.202.105,87
5. Kota Bogor Rp 4.169.806,58
6. Kabupaten Bogor Rp 4.083.670,00
7. Kabupaten Purwakarta Rp 4.039.067,66
8. Kota Bandung Rp 3.623.778,91
9. Kabupaten Bandung Barat Rp 3.145.427,79
10. Kabupaten Sumedang Rp 3.139.275,37
11. Kabupaten Bandung Rp 3.139.275,37
12. Kota Cimahi Rp 3.139.274,74
13. Kabupaten Sukabumi Rp 3.028.531,71
14. Kabupaten Subang Rp 2.965.468,00
15. Kabupaten Cianjur Rp 2.534.798,99
16. Kota Sukabumi Rp 2.530.182,63
17. Kabupaten Indramayu Rp 2.297.931,11
18. Kota Tasikmalaya Rp 2.264.093,28
19. Kabupaten Tasikmalaya Rp 2.251.787,92
20. Kota Cirebon Rp 2.219.487,67
21. Kabupaten Cirebon Rp 2.196.416,09
22. Kabupaten Garut Rp 1.961.085,70
23. Kabupaten Majalengka Rp 1.944.166,36
24. Kabupaten Kuningan Rp 1.882.642,36
25. Kabupaten Ciamis Rp 1.880.654,54
26. Kabupaten Pangandaran Rp 1.860.591,33
27. Kota Banjar Rp 1.831.884,83. (asp)

Sumber :
https://www.vivanews.com/berita/nasional/22213-ridwan-kamil-tetapkan-umk-
2020-buruh-tetap-demo-gedung-sate?medium=autonext
Ibu Kota Pindah, Efektifkah?
Ibu kota Indonesia akan pindah dari Jakarta ke lokasi lainnya bukanlah menjadi wacana baru.
Rencana pemindahan ibu kota ini sepertinya sudah menjadi rancangan sejak lama. Namun,
sampai sekarang belum juga terealisasikan. Sebab, pemindahan ibu kota memang membutuhkan
proses yang cukup lama  dengan biaya yang tentunya tidak sedikit. Dan pemindahan ibu kota ini
bukan perkara gampang, perlu perencanaan yang matang dengan memikirkan apa saja
konsekuensinya atau dampak yang ditimbulkan jika ibu kota pindah.

Sebenarnya, usulan pemindahan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke lokasi lainnya telah
didiskusikan sejak Kepresidenan Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden SBY,
mendukung ide untuk membuat pusat politik dan administrasi Indonesia yang baru, karena
masalah lingkungan dan overpopulasi Jakarta. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta,
jumlah penduduk DKI Jakarta saat ini mencapai 10,6 juta jiwa dengan luas wilayah hanya 661,5
km. Dapat dibayangkan betapa padatnya DKI Jakarta saat ini.

Seperti yang kita ketahui bahwa penduduk Indonesia selama ini terkonsentrasi di Pulau Jawa,
yang mana jumlah keseluruhan penduduk Indonesia sekitar  250 juta penduduk, sedangkan
jumlah penduduk yang tinggal di Pulau Jawa sekitar 160 juta jiwa, yang berarti hampir 58%
penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa. Pada akhirnya, roda perekonomian pun terpusat di
Pulau Jawa saja.

Sebagai pusat pemerintahan sekaligus pusat perekonomian, Jakarta saat ini memang sudah
menanggung beban yang cukup berat, dengan berbagai macam permasalahan yang ada, seperti
banjir, buruknya kualitas air sungai karena telah tercemar, bahkan dikabarkan setiap tahunnya
permukaan tanah di Jakarta mengalami penurunan sekitar 3-18 cm. Penurunan tanah ini
disebabkan oleh beban bangunan gedung dan pengambilan air tanah yang tidak terkontrol.

Dan permasalahan yang tidak kunjung membaik sejak dulu adalah kemacetan yang tiada henti,
tidak mengenal waktu karena padatnya kendaraan baik itu kendaraan roda dua maupun roda
empat. Dengan kemacetan yang parah ini, masyarakat menjadi sedikit sulit untuk melakukan
berbagai kegiatan pemerintahan. Birokrasi yang efektif dan efisien pun sulit diwujudkan, sebab
terhambat oleh berbagai permasalahan yang ada.

Maka dari itu, pemerintah pun membuat rancangan untuk memindahkan ibu kota negara ini agar
pemerintahan dapat berjalan dengan lancar, efektif dan efisien. Dalam hal ini, Presiden Joko
Widodo memutuskan untuk memindahkan ibukota ke luar Pulau Jawa. Sebagai informasi,
rencana pemindahan ibu kota ini telah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2020-2024 edisi revisi bulan Juni 2019, yang mana proyek ini berada dalam
program prioritas nasional nomor 2.

Adapun lokasi yang terpilih menjadi ibu kota baru adalah Kalimantan Timur, lebih tepatnya
berada di Kabupaten Panajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, dengan lokasi persisnya yaitu
Kecamatan Sepaku di Panajam Paser Utara dan Samboja di Kutai Kartanegara. Pemerintah
memilih Kalimantan Timur sebagai ibu kota baru dengan beberapa alasan, diantaranya:
1. Lokasi yang strategis, karena berada di tengah-tengah Indonesia
2. Resiko bencana sangat minim baik banjir, gempa bumi, tsunami dan sebagainya
3. Berdekatan dengan wilayah perkotaan yang sudah berkembang, yaitu Balikpapan dan
Samarinda
4. Telah memiliki infrastruktur yang relatif lengkap
5. Telah tersedia lahan yang dikuasai pemerintah seluas 180 ribu hektare.

Namun, seiring dengan rencana pemindahan ibu kota ini, berbagai kalangan turut mengkritisi
daripada kebijakan pemerintah yang seakan-akan terburu-buru ini. Pro-kontra atas rencana
tersebut tentunya tidak bisa dihindari, ada yang menilai rencana tersebut sebagai sebuah gagasan
besar dan strategis untuk kemajuan bangsa, namun ada pula yang menilai rencana tersebut
sebagai gagasan gila dan pengalihan opini.

Tentunya di negara yang demokratis ini, kita sebagai masyarakat diperbolehkan untuk
mengeluarkan pendapat kita demi kemajuan bangsa. Namun, sangat disayangkan tidak sedikit
warga negara Indonesia yang terburu-buru "menghakimi" kebijakan pemerintah yang dianggap
tidak sesuai dengan keinginan masyarakat.

Adapun salah satu alasan dari sebagian masyarakat yang tidak setuju dengan kebijakan
pemindahan ibu kota ini yaitu biaya pemindahan yang sangat mahal. Seperti yang telah
diumumkan oleh Presiden Joko Widodo, bahwasanya biaya untuk memindahkan ibu kota dari
Jakarta ke Pulau Kalimantan mencapai Rp. 466 Triliun. Yang mana sebesar 19% akan berasal
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sedangkan sisanya akan didapat dari
Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) serta investasi langsung swasta dengan Badan
Usaha Milik Negara (BUMN).

Sebagian masyarakat menilai, dana sejumlah Rp. 466 Triliun ini lebih baik dialokasikan untuk
kesejahteraan masyarakat. Seperti misalnya membuka lapangan pekerjaan, mengoptimalkan
pendidikan dan kesehatan, mengurangi kemiskinan dan lain sebagainya. Dan masyarakat yang
kontra terhadap kebijakan pemerintah ini, menganggap permasalahan yang ada di Jakarta saat ini
bukan permasalahan yang sangat serius dan masih bisa diperbaiki, tanpa harus memindahkan ibu
kota ke lokasi lainnya.

Namun, menurut penulis rencana pemindahan ibu kota ini adalah keputusan yang lebih baik
untuk Indonesia, lebih tepatnya untuk Jakarta. Sebab, Jakarta saat ini sudah menanggung beban
yang sangat berat. Bukan hanya soal kemacetan yang parah maupun polusi. Namun ada alasan
yang lebih serius lagi yang sedikit menghentak kesadaran semua orang jika mendengar secara
baik, yaitu faktor bencana. Dalam hal ini, fungsi Jakarta sebagai ibu kota tidak lagi maksimal
lantaran wilayahnya tidak lagi aman dari bencana.

Saat ini, Jakarta mudah dilanda banjir saat hujan deras lantaran fungsi drainase tidak berjalan
lancar. Kemudian seperti yang dikatakan diawal tadi, bahwa setiap tahunnya permukaan tanah di
Jakarta mengalami penurunan 3-18 cm. Lalu, dengan berbagai permasalahan yang ada ini, mau
sampai kapan lagi menunggu untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta? Apakah harus
menunggu Jakarta sampai benar-benar hancur?

Sedangkan beberapa waktu yang lalu, seluruh wilayah Jakarta mengalami pemadaman listrik
total yang menyebabkan masyarakat satu Indonesia panik. Ibu kota adalah objek vital strategis,
jika terjadi sesuatu dengan ibu kota maka Indonesia akan lumpuh, karena pusat pemerintahannya
lumpuh. Maka dari itu Indonesia membutuhkan ibu kota yang aman, agar pusat pemerintahan
dapat berjalan dengan baik.

Memang, wilayah ibu kota baru nantinya juga tidak bisa dipastikan benar-benar aman dari
bencana. Namun, setidaknya untuk saat ini wilayah ibu kota baru yaitu Kalimantan Timur
menurut data BMKG merupakan wilayah yang terhindar dari banjir, gempa bumi, tsunami
maupun bencana alam lainnya. Maka dari itu, Kalimantan Timur merupakan wilayah yang tepat
untuk dijadikan pusat pemerintahan, agar jalannya pemerintahan pun dapat berjalan dengan
efektif dan efisien sehingga tujuan daripada kemajuan bangsa Indonesia bisa terwujud.

Kemudian dilain sisi, sejak awal Presiden Joko Widodo menekankan pembangunan yang
sifatnya Indonesia sentris. Dan pemindahan ibu kota ke Kalimantan jika dianalisis secara
geopolitik merupakan hal yang tepat. Sebab, Kalimantan  itu persis berada di tengah-tengah
Republik Indonesia, yang artinya Kalimantan merupakan sentral Indonesia. Yang nantinya
diharapkan akan mampu menghilangkan stigma Barat dan Timur. Dan hal ini merupakan sebuah
gagasan yang penting untuk pembangunan Indonesia sentris.

Namun, dari berbagai kalangan mempertanyakan apakah pemindahan ibu kota ini akan
memperkuat konsep Presiden Joko Widodo soal negara maritim? Menurut penulis, tentu saja iya.
Sebab, seperti yang kita ketahui bahwa di Indonesia itu ada yang namanya ALKI (Alur Laut
Kepulauan Indonesia). Yang mana salah satu pembagian kawasan ALKI adalah Selat Karimata.
Selat Karimata itu sendiri terletak diantara Pulau Sumatra dan Kalimantan. Dan Selat Karimata
ini merupakan salah satu selat terbesar di Indonesia. Sehingga Kalimantan merupakan wilayah
yang bisa memperkuat daripada konsep pembangunan Presiden Joko Widodo soal negara
maritim.

Kemudian, setelah rencana pemindahan ibu kota ini diumumkan secara resmi. Terdapat sebagian
masyarakat yang mengkhawatirkan bahwa nantinya jika ibu kota benar-benar pindah, maka
wilayah Jakarta tidak lagi menjadi wilayah yang diperhatikan oleh pemerintah. Mereka
mengkhawatirkan, nantinya Jakarta akan menjadi kota yang lumpuh. Namun dalam hal ini,
pemerintah telah menekankan bahwa pemindahan ibu kota ini bukan berarti seluruh masyarakat
Jakarta akan pindah ke Kalimantan, tetapi hanya pusat pemerintahannya sajalah yang akan
pindah. Dan Jakarta akan tetap menjadi pusat perekonomian.

Seperti halnya dengan negara-negara lainnya yang juga memisahkan antara pusat perekonomian
dan pusat pemerintahan. Sebab, pusat pemerintahan membutuhkan wilayah yang aman, nyaman,
tidak riuh dengan berbagai kegiatan perekonomian sehingga para aparatur negara pun dapat
bekerja dengan baik dan keperluan masyarakat terhadap pemerintahan pun nantinya akan lebih
mudah.
Akan tetapi, meskipun penulis mendukung kebijakan pemindahan ibu kota ini, bukan berarti
tidak ada catatan sama sekali. Tentunya ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan oleh
pemerintah sebelum memulai proses pemindahan ibu kota, diantaranya adalah:

1. Memperhatikan aspek lingkungan, yang mana jangan sampai pemindahan ibukota ini
juga kemudian nantinya akan menghasilkan permasalahan yang jauh lebih banyak.
Seperti misalnya deforestasi yang berlebihan. Jadi, dalam proses pembangunan ibukota
yang baru ini setidaknya lebih mengedepankan tingkat efektivitas dan efisiensinya. Bisa
jadi dengan lahan yang tidak terlalu banyak, tetapi pembangunannya bisa dimaksimalkan
dengan cukup memilah pembangunan mana yang sekiranya penting untuk pusat
pemerintahan sehingga tidak akan terjadi deforestasi.
2. Memperhatikan aspek sosial, yang mana ibukota baru nantinya tidak dibenarkan akan
menimbulkan kesenjangan sosial yang baru pula. Dan jangan sampai merampas hak-hak
masyarakat adat yang ada di sana. Kemudian, terkait dengan ASN yang bekerja dilingkup
kementerian maupun lembaga pemerintahan lainnya yang mana juga diharuskan untuk
pindah ke ibu kota yang baru, sebaiknya pemerintah tidak hanya menggunakan
pendekatan politik kekuasaan, tetapi juga dengan pendekatan sosial kultural sehingga
para ASN nantinya dapat menerima kepindahan tersebut dengan baik dan kedepannya
juga tentunya diharapkan dapat bekerja lebih baik lagi.

Dan terakhir, tentunya penulis sangat berharap kepada kebijakan pemerintah ini yang mana
diharapkan setelah ibu kota benar-benar pindah dari Jakarta ke Kalimantan dapat merubah
stigma mengenai birokrasi di Indonesia. Tentunya, setelah ibu kota pindah ke Kalimantan, maka
yang paling pertama ada dibayangan kita adalah terwujudnya birokrasi yang jauh lebih efektif
dan efisien. Sebab, pusat pemerintahan tidak lagi terganggu dengan berbagai permasalahan baik
itu yang berasal dari bencana alam maupun hiruk pikuknya kegiatan masyarakat. Maka dari itu
penulis pun berharap para aparatur negara dapat bekerja dengan lebih baik lagi sehingga dapat
memberikan pelayanan publik yang jauh lebih efektif dan efisien.  

Sumber :
https://www.kompasiana.com/dewinurazizah/5dcf8737d541df3c9e19eaf2/pro-
kontra-pemindahan-ibu-kota?page=all

Majelis Taklim Harus Terdaftar di Kemenag,


Setuju atau Tidak?
Jakarta - Majelis taklim adalah wadah pengajian agama yang banyak ditemui di masyarakat
muslim Indonesia. Di era Menteri Agama Fachrul Razi saat ini, muncul aturan bahwa majelis
taklim harus terdaftar resmi di Kemenag. Setujukah Anda bila majelis taklim wajib terdaftar di
Kemenag?
Kewajiban ini diatur dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 29 tahun 2019 tentang
Majelis Taklim, diundangkan sejak 13 November 2019. Berikut ketentuannya:

Pasal 6
(1) Majelis Taklim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus terdaftar pada kantor
Kementerian Agama

Pasal 20 mengatur, pendanaan penyelenggaraan majelis taklim dapat bersumber dari pemerintah,
pemerintah daerah, serta sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Fachrul menegaskan aturan dibuat untuk memudahkan Kemenag dalam memberikan bantuan.
Namun tak ada sanksi bagi majelis taklim yang tak mendaftar ke Kemenag. Fachrul membantah
kewajiban itu untuk mencegah penyebaran radikalisme agama via majelis taklim.

Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin mendukung majelis taklim harus terdaftar di Kemenag.
Alasannya, supaya radikalisme tidak berkembang lewat majelis taklim.

MUI lewat Sekjen Anwar Abbas bingung dengan PMA tentang Majelis Taklim itu. Dia merasa
pemerintah hendak mengawasi semua kegiatan umat Islam. Dia khawatir dengan akibat yang
ditimbulkan, yakni perasaan kecewa dari masyarakat Islam terhadap pemerintah.

PP Muhammadiyah tak memeprmasalahkan bila majelis taklim harus terdaftar di Kemenag.


Namun Muhammadiyah mengingatkan agar pemerintah tak bersikap diskriminatif. Wajib daftar
seolah menyiratkan penyeragaman paham, itu dinilai Ketua PP Muhammadiyah tidak baik.

Komisi VIII DPR, yang mengurusi soal keagamaan, mengambil sikap kontra. Wakil Ketua
Komisi VIII Ace Hasan Syadzily menyesalkan PMA tentang Majelis Taklim itu. PMA itu
dinilainya berlebihan. Mereka memanggil Menag Fachrul Razi untuk mengklarifikasi PMA itu.

Waketum Gerindra Fadli Zon menilai PMA tentang Majelis Taklim itu bernuansa Islamofobia.
PPP memandang PMA itu memuat standar ganda tergantung kasus yang dihadapi pemerintah
atau kementerian. PPP kasihan dengan Presiden Jokowi yang berpotensi selalu disalahkan bila
terjadi kontroversi akibat PMA itu. PAN mengusulkan agar PMA itu direvisi untuk mengakhiri
kontroveresi.

Apakah Anda setuju bila majelis taklim wajib terdaftar di Kemenag? Sampaikan pendapat Anda
di kolom komentar.

Sumber :
https://news.detik.com/pro-kontra/d-4808434/majelis-taklim-harus-terdaftar-di-
kemenag-setuju-atau-tidak
Pro Kontra Gaji Fantastis Pejabat BPIP
Liputan6SCTV, Jakarta - Pro kontra besaran hak keuangan pejabat Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila (BPIP) belum mereda. Ada yang menganggapnya wajar, namun tidak sedikit yang
menilainya sebagai pemborosan. Kisaran angka Rp 36 juta sampai Rp 100 juta lebih, yang bakal
didapat staf khusus sampai ketua dewan pengarah BPIP menjadi sorotan karena angkanya
dianggap fantastis.

Seperti ditayangkan Liputan6 SCTV, Selasa, 29 Mei 2018, dari sekian petinggi BPIP, Ketua
Dewan Pengarah BPIP Megawati Soekarnoputri menjadi figur paling menyita perhatian karena
menerima gaji paling besar, yaitu Rp 100 juta lebih, melebihi pendapatan presiden dan wakil
presiden.

Silang pendapat terkait gaji pejabat BPIP sesuai lampiran Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun
2018 ini pun mengusik anggota dewan pengarah BPIP Mahfud MD. Dalam kicauan di akun
pribadinya, Mahfud memaparkan bahwa sejak masih berupa unit kerja satuan presiden setahun
lalu, tim BPIP tak pernah menerima gaji sepeser pun, termasuk untuk akomodasi tugas.

Sebagai badan, setelah sebelumnya berupa unit kerja, BPIP akan tetap berdiri meski masa
pemerintahan Jokowi selesai. Bagi pemerintah, yang juga didukung MPR sebagai lembaga
tertinggi negara, pembentukan badan ini dianggap penting karena menyangkut penerapan nilai
Pancasila, demi menjaga keutuhan NKRI.

Sumber :
https://www.liputan6.com/news/read/3542293/pro-kontra-gaji-fantastis-pejabat-
bpip

pro kontra berlakunya Perda No 7 Tahun


2017 kota Samarinda
Dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2017 Kota Samarinda Tentang Larangan
Pemberian Uang kepada Anak Jalanan dan Gelandangan Pengemis Kota Samarinda pun semakin serius
Menegasakan untuk mewujudkan Kota yang bebas dari Anjal (anak Jalanan) dan Gepeng (gelandangan
Pengemis) yang menurut saya dengan menyikapi dari kebijakan yang di keluarkan Pemerintah Kota
Smarinda Ini Merupakan suatu bentuk Kebijakan Publik yang di keluarkan Oeh pemerintah untuk
mengatasi fenomena sosial yang ada di masyarakat, yaitu menjamurnya anjal dan gepeng , kebijakan
yang dikeluarkan tentu berdasarkan dengan berbagai keluhan dan permasalahan yang di akibatkan oleh
semakin meningkatnya anjal dan gepeng di Kota Samarinda terlebih lagi mayoritas anjal dan gepeng di
kota Samarinda berasal dari luar daerah Kota Samarinda tentu menjadi penyakit sosial yang jika tidak
ditangani langsung oleh pemerintah Kota Samarinda akan berimbas kepada permasalahan sosial
masyarakat kota samarinda, namun pro dan kontra pun tentu terjadi tentunya dengan pemberian uang
kepada anjal dan gepeng berkenaan dengan hati nurani manusia, dengan kebijakan yang di keluarkan ini
jika terjadi pelanggaran pemberian uang kepada anjal dan gepeng maka pemberi tersebut terkena
denda Sebesar 50 Juta rupiah terlebih lagi terdapat CCTV yang memantau di 15 titik persimpangan di
Kota Samarinda yang disinyalir tempat bertaburannya para anjal dan gepeng,  dengan di keluarkannya
kebijakan ini menjadi metode pendorong menurunnya jumlah anjal dan gepeng yang di rasa telah mulai
menganggu ketertiban dan kenyamanan Kota Samarinda, namun terlebih dari itu semua tanpa kita
sadari hak kebebasan kita untuk mempergunakan uang kita pun telah di batasi lewat kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah saat ini.
Sumber :

https://www.korankaltim.com/citizen-journalism/read/19199/pro-kontra-
berlakunya-perda-no-7-tahun-2017-kota-samarinda

3 Tahun Jokowi-JK | A. Prasetyantoko :


Dilema Pembangunan Infrastruktur
Secara teoretis, kebijakan fiskal sering dikategorikan sebagai pendekatan ekonomi-politik
(political economy). Mengapa begitu? Karena, kebijakan fiskal biasanya terkait dengan masalah
“pilihan politik” yang terkadang unsur keberpihakannya sangat besar.

Implikasinya, secara alamiah muncul kelompok yang tersisih dan diuntungkan. Wajar saja, jika
muncul pro dan kontra terhadap pilihan kebijakan fiskal oleh pemerintah. Tak terhindarkan pula
terjadinya segregasi pendapat kelompok pendukung pemerintah dan oposisi. Dan karena itu,
keberadaan kelompok non-partisan yang obyektif menjadi penting.

Belakangan ini muncul kritikan, kebijakan fiskal pemerintah sudah terlalu eksesif dalam
pembangunan infrastruktur. Bahkan, ada pendapat yang memandang kebijakan ekspansif
tersebut akan berujung pada krisis. Benarkah?
Menurut tesis tersebut, pembangunan infrastruktur telah menimbulkan ekses likuiditas
berlebihan akibat kebijakan big push oleh pemerintah di bidang infrastruktur, sehingga
diperlukan respons cepat berupa pengetatan likuiditas. Sementara, tesis lainnya menyebutkan
pembangunan infrastruktur akan membebani current account deficit(defisit transaksi berjalan)
akibat melonjaknya impor bahan baku.

Kritikan tersebut mengandung unsur kebenaran, meski dengan logika yang agak dipaksakan.
Kalaupun ada gejala peningkatan risiko, bukan berarti harus mengubah total orientasi kebijakan.

Kalupun ada trade off dari kebijakan tersebut, misalnya kenaikan impor bahan baku, bukan
berarti pembangunan infrastruktur harus dihentikan. Sebaliknya, kalaupun kritik tersebut lebih
banyak muatan politis ketimbang argumen ekonominya, sebaiknya tetap perlu diperhatikan
sebagai masukan penting guna memperbaikan kebijakan ke depan.

Efek pada Anggaran

Kebijakan fiskal yang terlalu ekspansif memang berpotensi memunculkan dua implikasi umum,
yaitu crowding-out effect dan overinvestment. Gejala pertama terjadi tatkala pemerintah menarik
likuiditas terlalu besar di pasar keuangan melalui penerbitan surat utang, sehingga memberi
tekanan pada pasar.

Salah satu dampaknya, suku bunga perbankan tak bisa diturunkan, karena harus bersaing dengan
pemerintah untuk mendapatkan dana pihak ketiga. Apalagi, dalam situasi sektor keuangan yang
masih dangkal seperti terjadi pada perekonomian kita.

Gejala kedua ditandai dengan menipisnya efek marginal investasi di bidang infrastruktur.
Ekspansi tak diikuti peningkatan produktivitas dan output ekonomi. Perekonomian Tiongkok
belakangan ini dianggap telah mengalami overinvestment, sehingga mereka mulai mengerem
pembangunan infrastruktur di dalam negeri.

Sebagai gantinya, mereka banyak mendorong pembangunan infrastruktur di luar negeri. Proyek
kereta api cepat Jakarta Bandung serta rencana pembangunan megapolitan baru Meikarta salah
satunya.

Aktivitas pembangunan proyek kereta ringan atau Light Rail Transit (LRT) di samping Tol
Jagorawi, Cibubur, Jakarta Timur, Rabu (11/10). Yulius Satria Wijaya|ANTARA FOTO

Bagi investor Tiongkok, terutama perusahaan yang terafiliasi dengan pemerintah (BUMN),
berapapun likuiditas yang dibutuhkan akan digelontorkan. Sebab, ini merupakan turunan dari
garis kebijakan pemerintah One Belt One Road (OBOR).

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyatakan total ruas jalan tol
yang dioperasikan selama pemerintahan Jokowi-JK dari hingga 2016 telah mencapai 176
kilometer, dan pada akhir 2017 diperkirakan menjadi 568 km.
Target selama 5 tahun pemerintahan adalah 1.851 km. Pekan lalu, Presiden pun kembali
meresmikan jalan tol. Kali ini ruas Kualanamu-Tebing Tinggi sepanjang 42 kilometer.

Persoalannya, bagaimana efeknya terhadap anggaran. Hingga Agustus 2017, menurut catatan
Kementerian Keuangan, defisit anggaran mencapai Rp 224 triliun atau setara dengan 1,64 persen
terhadap Produk Domestik Bruto.

Angka tersebut lebih baik dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yaitu sebesar 2,09 persen.
Meski begitu, mengingat penerimaan pajak tidak sesuai harapan, diperkirakan defisit anggaran
hingga akhir tahun ini bisa mencapai 2,9 persen, yang berarti sangat dekat dengan batas
maksimum yang diperbolehkan Undang-Undang.

Tentu saja, jika sampai melanggar UU, implikasi politiknya akan signfikan. Bahkan ketika
secara ekonomi bisa dipertanggungjawabkan sekalipun. Untuk itu, pemerintah harus berupaya
maksimal agar tidak melanggar, dengan alasan sangat sederhana, yaitu supaya tidak
menimbulkan kegaduhan politik.

Beberapa proyek besar yang biasanya bersifat multitahun perlu dikelola agar beban anggaran
bisa digeser ke tahun depan. Konsekuensinya, beberapa proyek mundur penyelesaiannya.

Kritik agar pemerintah memperbaiki tata kelola dan manjemen risiko pembangunan infrastruktur
patut didengar. Meski arahnya sudah benar, dan tujuannya diyakini positif dalam jangka panjang,
dalam jangka pendek perlu dipastikan tak menimbulkan komplikasi. Apalagi sebagian besar
proyek infrastruktur pemerintah dikerjakan oleh BUMN karya. Bahkan ada beberapa yang
bersifat penugasan.

Jangan sampai niat baik yang kurang terkelola, justru akan menimbulkan efek negatif,
meningkatkan profil risiko baik pada level korporasi pelaksana proyek maupun makro ekonomi
terkait anggaran. Ambisi pemerintah mau tidak mau harus bisa dikelola.

Di manapun, pembangunan infrastruktur akan menjadi beban dalam jangk pendek, namun jika
dikelola dengan baik, akan menimbulkan efek berganda dalam jangka panjang. Pemerintah tentu
perlu memastikan efek jangka pendeknya bisa dikendalikan, sementara momentum jangka
panjangnya tetap terjaga.

Mungkin saja ekspansi pembangunan infrastruktur sedikit menimbulkan tekanan pada pasar
(crowding-out effect), namun sepertinya belum sampai mengarah ke risiko overinvestment.
Apalagi sampai menjerumuskan perekonomian ke jurang krisis. Justru sebaliknya, tranformasi
perekonomian tengah terjadi. Namun, tentu saja pembangunan infrastruktur saja tak cukup.

Orientasi Produktivitas

Harus diakui, akibat tingginya ambisi pemerintah membangun infrastruktur, terkadang aspek
manajemen risikonya sering diabaikan. Acapkali, berbagai proyek besar miskin studi kelayakan.
Contoh paling kelihatan adalah proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, terlihat agak dipaksakan.
Acara ground breaking-nya pun sedikit kontroversial.
Ke depan, blunder semacam ini harus dihindari. Meski niatan untuk membangun infrastruktur
secara cepat tetap valid dan perlu dijaga momentumnya, perlu ada perbaikan tata kelolanya.
Contoh lain adalah pembangunan Light Rail Transit (LRT) yang masih menyisakan skema
pendanaan, bahkan ketika proyeknya sudah berjalan.

Pembangunan infrastruktur memang masih sangat diperlukan, dan kekurangan pasokan


infrastruktur kita sudah terlalu parah. Namun, membangun tanpa manajemen risiko yang baik
juga berbahaya. Apalagi, pembangunan infrastruktur bukanlah segala-galanya. Masih ada banyak
aspek lain yang juga harus dikembangkan dalam rangka meningkatkan daya saing dan
produktivitas bangsa.

Konsentrasi pada infrastruktur fisik mengakibatkan perkembangan tak sinkron, antara aspek fisik
dan non-fisik, termasuk aspek kelembagaan di dalamnya. Sederet persoalan lain, seperti
kecakapan sumber daya manusia, juga perlu diperhatikan.

Pilihan yang bisa ditempuh pemerintah saat ini adalah mengerem pembangunan fisik dan
mengintensifkan penataan kelembagaan guna memastikan terjadinya peningkatan produktivitas
perekonomian. Penataan kelembagaan relatif tak membutuhkan anggaran besar, namun lebih
rumit karena menyangkut aparat birokrasi yang begitu kompleks.

Bahkan paket kebijakan ekonomi yang telah digulirkan pun terasa belum maksimal dampaknya,
sehingga diperlukan konsolidasi lanjutan. Dengan begitu, pembangunan infrastruktur fisik
merupakan bagian integral dari pembangunan kelembagaan dan perekonomian yang bertumpu
pada peningkatan produktivitas.

Sumber :
https://katadata.co.id/opini/2017/10/19/dilema-pembangunan-infrastruktur

'Swasembada Pangan Kau Kejar, Banjir


Impor Ku Dapat'
Jakarta, CNN Indonesia -- Kedaulatan pangan menjadi satu dari sembilan program prioritas
Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang tertuang dalam Nawacita. Pada awal
kepemimpinannya, ia menargetkan kedaulatan pangan lewat swasembada bisa terlaksana dalam
tiga tahun.

Jauh panggang dari api. Alih-alih swasembada pangan, komoditas pangan impor malah
membanjiri Indonesia. Beras, misalnya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tahun
2014, impor beras tembus 844 ribu ton. Setahun setelah pemerintahan berjalan, impor beras naik
tipis 861 ribu ton.
Kemudian, pemerintah kembali mengimpor beras sebanyak 1,28 juta ton pada 2016, dan sempat
turun menjadi hanya 305 ribu ton pada 2017. Tahun lalu, impor beras kembali meroket hampir
mencapai tujuh kali lipat tahun sebelumnya menjadi 2,25 juta ton.

Namun, jangan pikir impor beras tersebut berjalan mulus. Kebijakan impor ini pun sempat
menjadi polemik. Silang pendapat terjadi antar pembantu Jokowi. Kementerian Pertanian,
misalnya, kekeh dengan kondisi surplus beras sebanyak 12,61 juta ton pada 2018. Meski,
kenyataannya, harga beras terus menanjak, baik di tingkat grosir maupun eceran.

Kondisi ini membuat Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang bertanggung jawab langsung
atas stabilitas harga mulai gerah. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menilai perlu
tambahan impor beras guna menstabilkan harga. Kisruh ini ikut menyeret Direktur Utama Perum
Bulog Budi Waseso atau akrab disapa Buwas.

Buwas yang baru menjabat sebagai Dirut Perum Bulog pada April 2018 tersebut bersikeras
bahwa gudang Perum Bulog sudah dipenuhi oleh cadangan beras yang mencapai 2,4 juta ton.
Jumlah tersebut belum termasuk beras impor yang masuk pada Oktober 2018 sebesar 400 ribu
ton, sehingga total stok beras di gudang Bulog menjadi 2,8 juta ton.

"Itu di gudang Menteri Perdagangan. Sudah komitmen kan, kantornya siap dijadikan gudang ya
sudah," ucap Buwas pada Oktober lalu.

Seteru itu mengharuskan Wakil Presiden Jusuf Kalla turun tangan. Pada Oktober 2018,
pemerintah akhirnya mengumumkan pemuktahiran data produksi beras nasional melalui metode
Kerangka Sampel Area (KSA) yang dikembangkan bersama Badan Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi (BPPT).

Caranya, dengan pemindaian satelit dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
(LAPAN) untuk kemudian diolah Badan Informasi Geospasial (BIG).

Hasilnya, terdapat perbedaan sangat kentara antara data BPS dengan Kementan. Data BPS
menyebut produksi beras nasional hingga akhir tahun lalu cuma 32,42 juta ton, jauh dari prediksi
Kementan yang sebanyak 46,5 juta ton.

Selain perbedaan produksi, data konsumsi beras yang diungkap dua lembaga itu juga terpaut
jauh. Data BPS melansir konsumsi beras mencapai 29,5 juta ton. Sedangkan, Kementan
menyebut konsumsi beras sebanyak 33,89 juta ton.

Walhasil, surplusnya pun berbeda. Versi BPS, surplus hanya 2,85 juta ton, sedangkan Kementan
memproyeksi surplus mencapai 12,61 juta ton.

"Angka produksi beras sejak 1997 sampai dengan sekarang itu terjadi produksi yang bertambah
terus. Padahal, lahan (tanam) sawah berkurang 1,5 persen per tahun dan penduduk bertambah,"
ujar Jusuf Kalla saat itu.
Komoditas lain yang juga diimpor, yaitu gula. Impor gula dilakukan setiap tahun, diikuti dengan
penambahan jumlah impor gula. Tahun 2014, impor gula tercatat 2,96 juta ton. Sementara, akhir
tahun lalu, angkanya sudah mencapai 5,02 juta ton.

Impor gula ini pun tak terbebas dari kritik. Apalagi, Gula Kristal Rafinasi (GKR) bocor ke pasar,
sehingga berakibat pada produksi petani yang tak terserap sempurna.

Selain itu, komoditas garam industri juga diimpor setiap tahun. Tahun 2014 impor garam
terpantau sebesar 2,26 juta ton. Sempat ditekan pada 2015 menjadi 1,86 juta ton. Namun,
kembali melonjak pada 2016 menjadi 2,14 juta ton. Impor garam kembali bertambah menjadi
2,55 juta ton pada 2017 dan sebesar 2,83 juta ton pada 2018.

Kurang Koordinasi

Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah menuturkan
kurangnya koordinasi antara Kementerian dan Lembaga (K/L) adalah pangkal gagalnya
swasembada pangan. Rendahnya koordinasi tersebut terlihat pada permasalahan impor beras.

Said menilai jika antar K/L terkait memiliki integrasi kuat, maka ada peluang untuk memangkas
impor komoditas pangan.

"Sepertinya ego sektoral masih sangat kuat. Menurut saya, kalau kita punya cita-cita daulat
pangan dan mengurangi impor, seharusnya menjadi satu langkah antar kementerian, sehingga
tidak lagi saling menisbikan yang lain," katanya kepada CNNIndonesia.com.

Minimnya koordinasi tersebut, lanjut Said, juga dipicu perbedaan data bahan pangan antar K/L.
Dari data yang salah, lahirlah kebijakan tak tepat sasaran. Oleh karena itu, Said sangat
mendukung langkah pemerintah untuk membenahi data pangan sekaligus menjadikannya satu
pintu di BPS, layaknya data beras.

"Salah satu terobosan yang perlu kita pikirkan adalah sinkronisasi data oleh BPS. Sebab, menjadi
aneh ketika ada klaim produksi naik, tetapi pada saat yang sama impor dilakukan," imbuh dia.

Pengamat pertanian dan pangan yang juga anggota Pokja Dewan Ketahanan Pangan Khudori
menuturkan kondisi geografis Indonesia, di mana daratannya sebagian besar hutan menjadi
tantangan untuk mewujudkan swasembada pangan.

Ia mengungkapkan hanya sekitar 23-24 juta hektare (ha) lahan yang bisa ditanami komoditas
pangan. Oleh sebab itu, komoditas yang dipilih sebagai target swasembada pangan seharusnya
dipilih secara prioritas.

"Dengan kondisi seperti itu pemerintah harus pintar dan selektif betul mana yang jadi prioritas.
Jadi, tidak seperti saat ini, pemerintah pusat tidak perlu menetapkan banyak prioritas nasional,"
paparnya.
Dengan keterbatasan lahan tersebut pemerintah hendaknya mengembangkan terobosan
teknologi. Namun, Presiden Jokowi tidak banyak melakukan terobosan teknologi pertanian.

Tidak kalah penting, kata Khudori, swasembada pangan hendaknya ditujukan untuk
kesejahteraan petani. Sebab, petani adalah penggerak kedaulatan pangan. Ambil contoh, petani
tebu yang merugi selama tiga tahun lantaran pemerintah tak juga mengevaluasi harga biaya
pokok produksi (BPP) gula.

Kepala negara baru menyatakan bakal mengevaluasi harga tersebut belum lama ini ketika
bertemu langsung dengan petani tebu. Padahal, mereka sudah harus menanggung kerugian
selama tiga tahun terakhir.

"Kalau mereka terus rugi mereka akan beralih kepada tanaman lain. Kalau mereka mengganti
tanaman yang diproduksi, maka terjadi penurunan pada salah satu komoditas pangan," terang
dia.

Ia juga menekankan agar pemerintah kembali menyusun tata kelola impor. Menurutnya, impor
hendaknya didasarkan pada kebutuhan riil, terutama pada empat komoditas pangan strategis,
yaitu gula, garam, beras, dan daging.

Memang, saat ini keputusan impor telah melalui persetujuan rapat koordinasi untuk mengantongi
persetujuan kementerian teknis. Namun, setelah izin impor dikantongi, sebaiknya masuknya
barang impor juga tepat waktu.

"Kecenderungan dalam empat tahun terakhir impor tidak terkendali malah cenderung obral
impor. Jadi impor sepertinya semaunya, sehingga dampaknya keempat komoditas ini kan
diusahakan petani domestik jadi yang terpukul adalah petani dalam negeri," tukas Khudori.
(ulf/bir)

Sumber :
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190214072706-92-
369120/swasembada-pangan-kau-kejar-banjir-impor-ku-dapat

Anda mungkin juga menyukai