Anda di halaman 1dari 16

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dengan angka kelahiran 23 per 1.000 dari 240 juta penduduk Indonesia, maka diperkirakan
ada sekitar 3.000 bayi penderita thalasemia yang lahir tiap tahunnya. Indonesia termasuk dalam
kelompok negara yang berisiko tinggi untuk penyakit thalasemia. Thalasemia adalah penyakit
genetik yang menyebabkan terganggunya produksi hemoglobin dalam sel darah
merah. "Prevalensi thalasemia bawaan atau carrier di Indonesia adalah sekitar 3-8 persen," kata
Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti, dalam  sambutannya di puncak peringatan hari
ulang tahun Yayasan Thalasemia Indonesia ke-25 di Gedung BPPT, Jakarta, hari ini.Wamenkes
menjabarkan, jika persentase thalasemia mencapai 5 persen, dengan angka kelahiran 23 per
1.000 dari 240 juta penduduk Indonesia, maka diperkirakan ada sekitar 3.000 bayi penderita
thalasemia yang lahir tiap tahunnya. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 menunjukkan
prevalensi nasional thalasemia adalah 0,1 persen. "Ada 8 propinsi yang menunjukkan prevalensi
thalasemia lebih tinggu dari prevalensi nasional," ungkap Wamenkes. Beberapa dari 8 propinsi
itu antara lain adalah Aceh dengan prevalensi 13,4 persen, Jakarta dengan 12,3 persen, Sumatera
Selatan yang prevalensinya 5,4 persen, Gorontalo dengan persentase 3,1 persen, dan Kepulauan
Riau 3  persen. Menurut Ali, setiap tahun, sekitar 300.000 anak dengan thalasemia akan
dilahirkan dan sekitar 60-70 ribu, di antaranya adalah penderita jenis beta-thalasemia mayor,
yang memerlukan transfusi darah sepanjang hidupnya."Beban bagi penderita thalasemia mayor
memang berat karena harus mendapatkan transfusi darah dan pengobatan seumur hidup.
Penderita thalasemia menghabiskan dana sekitar 7-10 juta rupah per bulan untuk pengobatan,"
ungkap Wamenkes. Dua jenis  thalasemia yang lain adalah thalasemia minor, yang terjadi pada
orang sehat, namun dapat menurunkan gen thalasemia pada anaknya dan thalasemia intermedia,
yang penderitanya mungkin memerlukan transfusi darah secara berkala dan dapat bertahan hidup
sampai dewasa. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1994 menunjukkan persentase
orang yang membawa gen thalasemia di seluruh dunia mencapai 4,5 persen atau  sekitar 250 juta
orang. Jumlah kasus thalasemia cenderung meningkat dan pada tahun 2001 diperkirakan jumlah
pembawa gen thalasemia mencapai 7 persen dari penduduk dunia.
2

1.2. Rumusan Masalah


 Mengapa thalasemia bisa terjadi pada anak?
 Bagaimana patofisiologi terjadinya thalasemia?
 Bagaimana masalah yang timbul pada anak penderita thalasemia?
 Bagaimana penatalaksanaan thalasemia pada anak?

1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan adalah agar pembaca mengetahui thalasemia, sehingga dapat berguna di tengah
tengah masyarakat saat menjumpai kasus thalasemia.

1.4. Manfaat Penulisan

Adapun manfat penulisan adalah untuk memenuhi tugas dari Keperawatan Anak.
3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian

Thalasemia adalah suatu gangguan darah yang diturunkan yang ditandai oleh defisiensi produksi
rantai globin pada hemoglobin.

Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitikdimana terjadi kerusakan sel darah merah
didalam pembuluh darah sehingga umur erirosit menjadi pendek ( kurang dari 100 hari ).
( Ngastiyah, 1997 : 377 ).

Thalasemia merupakan penyakit anemua hemolitik herediter yang diturunkan secara resesif,
secara molekuler dibedakan menjadi thalasemia alfa dan beta, sedangkan secara klinis dibedakan
menjadi thalasemia mayor dan minor ( Mansjoer, Kapita Selekta Kedokteran, 2000 : 497 ).

2.2. Macam – macam Thalasemia :


1. Thalasemia beta
Merupakan anemia yang sering dijumpai yang diakibatkan oleh defek yang
diturunkan dalam sintesis rantai beta hemoglobin.
Thalasemia beta meliputi:
a. Thalasemia beta mayor
Bentuk homozigot merupakan anemia hipokrom mikrositik yang berat dengan
hemolisis di dalam sumsum tulang dimulai pada tahun pertama kehidupan.Kedua
orang tua merupakan pembawa “ciri”. Gejala – gejala bersifat sekunder akibat anemia
dan meliputi pucat, wajah yang karakteristik akibat pelebaran tulang tabular pada
tabular pada kranium, ikterus dengan derajat yang bervariasi, dan
hepatosplenomegali.
b. Thalasemia Intermedia dan minor
Pada bentuk heterozigot, dapat dijumpai tanda – tanda anemia ringan dan
splenomegali. Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan kadar Hb bervariasi, normal
4

agak rendah atau meningkat (polisitemia). Bilirubin dalam serum meningkat, kadar
bilirubin sedikit meningkat.
2. Thalasemia alpa
Merupakan thalasemia dengan defisiensi pada rantai a.

1.3.  Etiologi
Thalasemia terjadi akibat ketidakmampuan sumsum tulang membentuk  protein yang
dibutuhkan untuk  memproduksi hemoglobin sebagaimana  mestinya. Hemoglobin merupakan
protein  kaya zat besi yang berada di dalam sel  darah merah dan berfungsi sangat penting  untuk
mengangkut oksigen dari paru-paru  ke seluruh bagian tubuh yang membutuhkannya sebagai
energi. Apabila produksi hemoglobin berkurang  atau tidak ada,maka pasokan energi yang
dibutuhkan untuk menjalankan  fungsi tubuh tidak dapat terpenuhi, sehingga fungsi tubuh pun
terganggu dan  tidak mampu lagi menjalankan aktivitasnya secara normal.Thalasemia
adalah  sekelompok penyakit keturunan yang merupakan akibat dari  ketidakseimbangan
pembuatan salah satu dari keempat rantai asam amino  yang membentuk
hemoglobin. Thalasemia adalah penyakit yang sifatnya diturunkan. Penyakit ini,  merupakan
penyakit kelainan pembentukan sel darah merah.
Adapun etiologi dari thalasemia adalah faktor genetik (herediter). Thalasemia merupakan
penyakit anemia hemolitik dimana terjadi kerusakan sel darah merah didalam pembuluh darah
sehingga umur eritrosit menjadi pendek(kurang dari 100 hari). Penyebab kerusakan tersebut
karena hemoglobin yang tidak normal (hemoglobinopatia) dan kelainan hemoglobin ini karena
adanya gangguan pembentukan yang disebabkan oleh :
a)      Gangguan struktur pembentukan hemoglobin (hb abnormal)
b)      Gangguan jumlah (salah satu atau beberapa) rantai globin seperti pada Thalasemia)
Penyebab Thalasemia β mayor.
Thalasemia mayor terjadi apabila gen yang cacat diwarisi oleh kedua orang tua. Jika bapa
atau ibu merupakan pembawa thalasemia,mereka boleh menurunkan thalasemia kepada anak-
anak mereka. Jika kedua orang tua membawa ciri tersebut maka anak-anak mereka mungkin
pembawa atau mereka akan mnderita penyakit tersebuat
5

2.4. Patofisiologi

Hemoglobin paska kelahiran yang normal terdiri dari dua rantai alpa dan beta
polipeptide. Dalam beta thalasemia ada penurunan sebagian atau keseluruhan dalam proses
sintesis molekul hemoglobin rantai beta. Konsekuensinya adanya peningkatan compensatori
dalam proses pensintesisan rantai alpa dan produksi rantai gamma tetap aktif, dan menyebabkan
ketidaksempurnaan formasi hemoglobin. Polipeptid yang tidak seimbang ini sangat tidak stabil,
mudah terpisah dan merusak sel darah merah yang dapat menyebabkan anemia yang parah.
Untuk menanggulangi proses hemolitik, sel darah merah dibentuk dalam jumlah yang banyak,
atau setidaknya bone marrow ditekan dengan terapi transfusi. Kelebihan fe dari penambahan
RBCs dalam transfusi serta kerusakan yang cepat dari sel defectif, disimpan dalam berbagai
organ (hemosiderosis).

2.5. Manifestasi Klinis

Bayi baru lahir dengan thalasemia beta mayor tidak anemis. Gejala awal pucat mulanya
tidak jelas, biasanya menjadi lebih berat dalam tahun pertama kehidupan dan pada kasus yang
berat terjadi beberapa minggu pada setelah lahir. Bila penyakit ini tidak ditangani dengan baik,
tumbuh kembang masa kehidupan anak akan terhambat. Anak tidak nafsu makan, diare,
kehilangan lemak tubuh dan dapat disertai demam berulang akibat infeksi. Anemia berat dan
lama biasanya menyebabkan pembesaran jantung.
Terdapat hepatosplenomegali. Ikterus ringan mungkin ada. Terjadi perubahan pada
tulang yang menetap, yaitu terjadinya bentuk muka mongoloid akibat system eritropoesis yang
hiperaktif. Adanya penipisan korteks tulang panjang, tangan dan kaki dapat menimbulkan fraktur
patologis. Penyimpangan pertumbuhan akibat anemia dan kekurangan gizi menyebabkan
perawakan pendek. Kadang-kadang ditemukan epistaksis, pigmentasi kulit, koreng pada tungkai,
dan batu empedu. Pasien menjadi peka terhadap infeksi terutama bila limpanya telah diangkat
sebelum usia 5 tahun dan mudah mengalami septisemia yang dapat mengakibatkan kematian.
Dapat timbul pensitopenia akibat hipersplenisme.
6

Hemosiderosis terjadi pada kelenjar endokrin (keterlambatan dan gangguan perkembangan sifat
seks sekunder), pancreas (diabetes), hati (sirosis), otot jantung (aritmia, gangguan hantaran,
gagal jantung), dan pericardium (perikerditis).

Secara umum, tanda dan gejala yang dapat dilihat antara lain:

 Letargi  Sesak nafas


 Pucat  Tebalnya tulang kranial
 Kelemahan  Pembesaran limpa
 Anoreksia  Menipisnya tulang kartilago

2.6. Pemeriksaan Penunjang

Studi hematologi : terdapat perubahan – perubahan pada sel darah merah, yaitu
mikrositosis, hipokromia, anosositosis, poikilositosis, sel target, eritrosit yang immature,
penurunan hemoglobin dan hematrokrit. Elektroforesis hemoglobin : peningkatan hemoglobin.
Pada thalasemia beta mayor ditemukan sumsum tulang hiperaktif terutama seri eritrosit. Hasil
foto rontgen meliputi perubahan pada tulang akibat hiperplasia sumsum yang berlebihan.
Perubahan meliputi pelebaran medulla, penipisan korteks, dan trabekulasi yang lebih kasar.
Analisis DNA, DNA probing, gone blotting dan pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction)
merupakan jenis pemeriksaan yang lebih maju.

2.7. Penatalaksanaan

 Transfusi sel darah merah (SDM) sampai kadar Hb sekitar 11 g/dl. Pemberian sel darah
merah sebaiknya 10 – 20 ml/kg berat badan.
 Pemberian chelating agents (Desferal) secara intravena atau subkutan. Desferiprone
merupakan sediaan dalam bentuk peroral. Namun manfaatnya lebih rendah dari desferal
dan memberikan bahaya fibrosis hati.
 Tindakan splenektomi perlu dipertimbangkan terutama bila ada tanda – tanda
hipersplenisme atau kebutuhan transfusi meningkat atau karena sangat besarnya limpa.
7

 Transplantasi sumsum tulang biasa dilakukan pada thalasemia beta mayor.

2.8. Pathway

Hemoglobin post natal ( Hb A )

Rantai alfa Rantai beta

Defisiensi rantai beta

Thalassemia beta Defisiensi sintesa rantai beta

Hiperplasia Menstimuli Hemopoiesis Sintesa rantai alfa

Sumsum tulang eritropoiesis extramedular

Perubahan SDM rusak Splenomegali Kerusakan pem

Skeletal limfadenopati bentukan Hb

Anemia Hemolisis Hemokromatosis Hemolisis

Maturasi Sexual Hemosiderosis Fibrosis Anemia berat

& pertumbuhan

Terganggu Kulit kecoklatan Pembentukan eritrosit

oleh sumsum tulang

disuplay dari transfusi

Fe meningkat

Hemosiderosis

Jantung Liver Kandung empedu pancreas limpa


8

Gagal jantung Sirosis Kolelitiasis Diabetes Splenomegali

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1. Pengkajian

1. Asal Keturunan / Kewarganegaraan


Thalasemia banyak dijumpai pada bangsa di sekitar laut Tengah (Mediteranial) seperti Turki,
Yunani, dll. Di Indonesia sendiri, thalasemia cukup banyak dijumpai pada anak, bahkan
merupakan penyakit darah yang paling banyak diderita.
2.      Umur
Pada penderita thalasemia mayor yang gejala klinisnya jelas, gejala telah terlihat sejak anak
berumur kurang dari 1 tahun, sedangkan pada thalasemia minor biasanya anak akan dibawa ke
RS setelah usia 4 tahun.
3.      Riwayat Kesehatan Anak
Anak cenderung mudah terkena infeksi saluran pernapasan atas atau infeksi lainnya. Ini
dikarenakan rendahnya Hb yang berfungsi sebagai alat transport.
4.      Pertumbuhan dan Perkembangan
Seirng didapatkan data adanya kecenderungan gangguan terhadap tumbang sejak masih bayi.
Terutama untuk thalasemia mayor, pertumbuhan fisik anak, adalah kecil untuk umurnya dan
adanya keterlambatan dalam kematangan seksual, seperti tidak ada pertumbuhan ramput pupis
dan ketiak, kecerdasan anak juga mengalami penurunan. Namun pada jenis thalasemia minor,
sering terlihat pertumbuhan dan perkembangan anak normal.
5.      Pola Makan
Terjadi anoreksia sehingga anak sering susah makan, sehingga BB rendah dan tidak sesuai usia.
6.      Pola Aktivitas
Anak terlihat lemah dan tidak selincah anak seusianya. Anak lebih banyak tidur/istirahat karena
anak mudah lelah.
7.      Riwayat Kesehatan Keluarga
Thalasemia merupakan penyakit kongenital, jadi perlu diperiksa apakah orang tua juga
mempunyai gen thalasemia. Jika iya, maka anak beresiko terkena talasemia mayor.
9

8.      Riwayat Ibu Saat Hamil (Ante natal Core – ANC)


Selama masa kehamilan, hendaknya perlu dikaji secara mendalam adanya faktor resiko
talasemia. Apabila diduga ada faktor resiko, maka ibu perlu diberitahukan resiko yang mungkin
sering dialami oleh anak setelah lahir.
9.      Data Keadaan Fisik Anak Thalasemia
a.       KU = lemah dan kurang bergairah, tidak selincah anak lain yang seusia.
b.      Kepala dan bentuk muka. Anak yang belum mendapatkan pengobatan mempunyai bentuk
khas, yaitu kepala membesar dan muka mongoloid (hidung pesek tanpa pangkal hidung), jarak
mata lebar, tulang dahi terlihat lebar.
c.       Mata dan konjungtiva pucat dan kekuningan
d.      Mulut dan bibir terlihat kehitaman
e.       Dada, Pada inspeksi terlihat dada kiri menonjol karena adanya pembesaran jantung dan
disebabkan oleh anemia kronik.
f.       Perut, Terlihat pucat, dipalpasi ada pembesaran limpa dan hati (hepatospek nomegali).
g.       Pertumbuhan fisiknya lebih kecil daripada normal sesuai usia, BB di bawah normal
h.      Pertumbuhan organ seks sekunder untuk anak pada usia pubertas tidak tercapai dengan
baik. Misal tidak tumbuh rambut ketiak, pubis ataupun kumis bahkan mungkin anak tidak dapat
mencapai tapa odolense karena adanya anemia kronik.
i.        Kulit, Warna kulit pucat kekuningan, jika anak telah sering mendapat transfusi warna kulit
akan menjadi kelabu seperti besi. Hal ini terjadi karena adanya penumpukan zat besi dalam
jaringan kulit (hemosiderosis).

3.2. Diagnosa Keperawatan

1.      Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang


diperlukan untuk pengiriman O2 ke sel.
10

2.      Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai O2 dan


kebutuhan.
3.      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk
mencerna atau ketidakmampuan mencerna makanan/absorbsi nutrien yang diperlukan untuk
pembentukan sel darah merah normal.
4.      Resiko terjadi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan sirkulasi dan neurologis.
5.      Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan sekunder tidak adekuat, penurunan Hb,
leukopenia atau penurunan granulosit.
6.      Kurang pengetahuan tentang prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan
interpretasi informasi dan tidak mengenal sumber informasi.

3.3. Intervensi Keperawatan


1.    Dx 1 Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang
diperlukan Kriteria hasil :
a.    Tidak terjadi palpitasi
b.    Kulit tidak pucat
c.    Membran mukosa lembab
d.   Keluaran urine adekuat
e.    Tidak terjadi mual/muntah dan distensil abdomen
f.     Tidak terjadi perubahan tekanan darah
g.    Orientasi klien baik.
untuk pengiriman O2 ke sel.
Intervensi :
a.       Awasi tanda-tanda vital, kaji pengisian kapiler, warna kulit/ membran mukosa, dasar kuku.
b.       Tinggikan kepala tempat tidur sesuai toleransi (kontra indikasi pada pasien dengan
hipotensi).
c.       Selidiki keluhan nyeri dada, palpitasi.
d.      Kaji respon verbal melambat, mudah terangsang, agitasi, gangguan memori, bingung.
e.       Catat keluhan rasa dingin, pertahankan suhu lingkungan, dan tubuh hangat sesuai indikasi.
f.        Kolaborasi pemeriksaan laboratorium, Hb, Hmt, AGD, dll.
11

g.       Kolaborasi dalam pemberian transfusi.


h.       Awasi ketat untuk terjadinya komplikasi transfusi.

2.    Dx. 2 intoleransi aktivitas berhubungan degnan ketidakseimbangan antara suplai O2 dan


kebutuhan.
Kriteria hasil :
Menunjukkan penurunan tanda fisiologis intoleransi, misalnya nadi, pernapasan dan Tb masih
dalam rentang normal pasien.
Intervensi :
a.       Kaji kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas, catat kelelahan dan kesulitan dalam
beraktivitas.
b.       Awasi tanda-tanda vital selama dan sesudah aktivitas.
c.       Catat respin terhadap tingkat aktivitas.
d.      Berikan lingkungan yang tenang.
e.       Pertahankan tirah baring jika diindikasikan.
f.        Ubah posisi pasien dengan perlahan dan pantau terhadap pusing.
g.       Prioritaskan jadwal asuhan keperawatan untuk meningkatkan istirahat.
h.       Pilih periode istirahat dengan periode aktivitas.
i.         Beri bantuan dalam beraktivitas bila diperlukan.
j.         Rencanakan kemajuan aktivitas dengan pasien, tingkatkan aktivitas sesuai toleransi.
k.       Gerakan teknik penghematan energi, misalnya mandi dengan duduk.

3.    Dx. 3 perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk
mencerna / ketidakmampuan mencerna makanan / absorbsi nutrien yang diperlukan untuk
pembentukan sel darah merah normal.
Kriteria hasil :
a.       Menunjukkan peningkatan berat badan/ BB stabil.
b.       Tidak ada malnutrisi.
Intervensi :
a.       Kaji riwayat nutrisi termasuk makanan yang disukai.
12

b.       Observasi dan catat masukan makanan pasien.


c.       Timbang BB tiap hari.
d.      Beri makanan sedikit tapi sering.
e.       Observasi dan catat kejadian mual, muntah, platus, dan gejala lain yang berhubungan.
f.        Pertahankan higiene mulut yang baik.
g.       Kolaborasi dengan ahli gizi.
h.       Kolaborasi Dx. Laboratorium Hb, Hmt, BUN, Albumin, Transferin, Protein, dll.
i.         Berikan obat sesuai indikasi yaitu vitamin dan suplai mineral, pemberian Fe tidak
dianjurkan.

4.    Dx. 4 Resiko terjadi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi dan
nourologis.
Kriteria hasil :
a.       Kulit utuh.
Intervensi :
a.      Kaji integritas kulit, catat perubahan pada turgor, gangguan warna, aritema dan ekskoriasi.
b.      Ubah posisi secara periodik.
c.      Pertahankan kulit kering dan bersih, batasi penggunaan sabun.

5.    Dx. 5. resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan sekunder tidak adekuat: penurunan
Hb, leukopenia atau penurunan granulosit.
Kriteria hasil :
a.       Tidak ada demam
b.       Tidak ada drainage purulen atau eritema
c.       Ada peningkatan penyembuhan luka
Intervensi :
a.       Pertahankan teknik septik antiseptik pada prosedur perawatan.
b.       Dorong perubahan ambulasi yang sering.
c.       Tingkatkan masukan cairan yang adekuat.
d.      Pantau dan batasi pengunjung.
13

e.       Pantau tanda-tanda vital.


f.        Kolaborasi dalam pemberian antiseptik dan antipiretik.

6.    Dx. 6. Kurang pengetahuan tentang prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan


dengan salah interpretasi informasi dan tidak mengenal sumber informasi.
Kriteria hasil :
a.       Menyatakan pemahaman proses penyakit, prosedur diagnostika rencana pengobatan.
b.       Mengidentifikasi faktor penyebab.
c.       Melakukan tindakan yang perlu/ perubahan pola hidup.
Intervensi :
a.       Berikan informasi tentang thalasemia secara spesifik.
b.       Diskusikan kenyataan bahwa terapi tergantung pada tipe dan beratnya thalasemia.
c.       Rujuk ke sumber komunitas, untuk mendapat dukungan secara psikologis.
d.      Konseling keluarga tentang pembatasan punya anak/ deteksi dini keadaan janin melalui air
ketuban dan konseling perinahan: mengajurkan untuk tidak menikah dengan sesama penderita
thalasemia, baik mayor maupun minor.

3.4. Evaluasi
Pertanyaan-pertanyaan yang mungkin diberikan pada pasien :
1.    Apakah pasien terbebas dari tanda-tanda kecemasana ?
2.    Apakah pasien merasa nyaman ?
3.    Apakah gas dalam darah berada dalam batas normal dan apakah pasien mudah bernapas ?
4.    Apakah peredaran gas telah mencukupi, apakah air seni dan penglihatan cukup baik ?
5.    Apakah pasien terbebas dari tanda-tanda infeksi ?
6.    Apakah pasien merasa puas dengan gaya hidupnya, hubungan seksual, dan peran dalam
keluarganya ?
7.    Apakah pasien dapat menyatakan sifat penyakitnya dan keadaan dari gejala yang membuat
lebih parah ?
14

Evaluasi hasil yang diharapkan :


1.       Mampu bertoleransi dengan aktivitas normal
a.       Mengikuti rencana progresif istirahat, aktivitas, dan latihan
b.      Mengatur irama aktivitas sesuai tingkat energy
2.      Mencapai / mempertahanakan nutrisi yang adekuat
a.       Makan makanan tinggi protein, kalori dan vitamin
b.      Menghindari makanan yang menyebabkan iritasi lambung
c.       Mengembangkan rencana makan yang memperbaiki nutrisi optimal
3.      Tidak mengalami komplikasi
a.       Menghindari aktivitas yang menyebabkan takikardi, palpitasi, pusing, dan dispnu
b.      Mempergunakan upaya istirahat dan kenyamanan untuk mengurangi dispnu
c.       Mempunyai tanda vital normal
d.      Tidak mengalami tanda retensi cairan ( mis. Edema perifer, curah urin berkurang, distensi
vena leher )
e.       Berorientasi terhadap nama, waktu, tempat, dan situasi
f.       Terapi bebas dari cidera.
15

BAB IV
PENUTUP
4.1.     Kesimpulan

Thalasemia merupakan sindrom kelainan yang diwariskan (inherted) dan masuk ke dalam
kelompok hemoglobinopati, yakni kelainan yang disebabkan oleh gangguan sintesis hemoglobin
akibat mutasi didalam atau dekat gen globin. Klasifikasi thalasemia seperti Thalasemia-α,
Thalasemia-β ( Thalasemia mayor Thalasemia minor, Thalasemia-δβ, Thalasemia intermedia ).
Manifestasi dari thalasemia misalnya anemia berat yang bergantung pada transfuse darah, gagal
berkembang, infeksi interkuren, pucat, ikterus ringan, pembesaran hati dan limpa, ekspansi
tulang, defek pertumbuhan/endokrin,  anemia hemolitik mikrositik hipokrom.

Hal-hal yang perlu dikaji pada penderita thalasemia ini adalah asal keturunan /
kewarganegaraan, umur, riwayat kesehatan anak, pertumbuhan dan perkembangan, pola makan,
pola aktivitas. riwayat kesehatan keluarga, riwayat ibu saat hamil , data keadaan fisik anak
thalasemia. Dan diagnose keperawatan yang mungkin muncul sepertiPerubahan perfusi jaringan
berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk pengiriman O2 ke sel,
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai O2 dan kebutuhan,
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk mencerna
atau ketidakmampuan mencerna makanan/absorbsi nutrien yang diperlukan untuk pembentukan
sel darah merah normal, Resiko terjadi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan sirkulasi
dan neurologis, Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan sekunder tidak adekuat,
penurunan Hb, leukopenia atau penurunan granulosit, Kurang pengetahuan tentang prognosis
dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan interpretasi informasi dan tidak mengenal
sumber informasi.

4.2.Saran
Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh
karena itu kami mohon kritik dan saran dari para pembaca demi terciptanya makalah lain yang
lebih baik lagi.
16

DAFTAR PUSTAKA

Sudayo, Aru. W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ( Ed.5, Jilid II ). Jakarta : Interna
Publishing.
Hoffbrand. 2005. Kapita Selekta Hematologi ( Ed.4 ). Jakarta : EGC.
Mehta, Atul. B. 2006.  At a Glance Hematologi. Jakarta : Erlangga.
Long, Barbara. C. Perawatan Medikal Bedah (suatu pendekatan proses keperawatan). Bandung
: YIAPKP.
Smeltzer, Suzanne.C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Bruner & Suddarth.
Jakarta : EGC.
http://yoedhasflyingdutchman.blogspot.com/2010
http://2.bp.blogspot.com/_VsJNunSRMog/

Anda mungkin juga menyukai