Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Diabetes millitus merupakan penyakit menahun yang akan disandang
seumur hidup. Pengelolaan penyakit ini memerlukan peran serta dokter, perawat
ahli gizi, dan tenaga kesehatan lain. Pasien dan keluarga juga mempunyai peran
yang penting, sehingga perlu mendapatkan edukasi untuk memberikan
pemahaman mengenai perjalanan penyakit, pencegahan, penyulit dan
penatalaksanaan DM. Pemahaman yang baik akan sangat membantu
meningkatkan keikutsertaan keluarga dalam upaya penatalaksaan DM guna
mencapai hasil yang lebih baik. Keberadaan organisasi profesi seperti PERKENI
dan IDAI, dan yang menjadi sangat dibutuhkan. Ganisasi profesi dapat
meningkatkan kemampuan tenaga profesi kesehatan dalam penatalaksanaan DM
dan perkumpulan yang lain dapat membantu meningkatkan pengetahuan
penyandang DM tentang penyakit dan meningkatkan peran aktif mereka untuk
ikut serta dalam pengelolaan dan pengendalian DM.3,4
Sehingaa saat ini diperlukan standar pelayanan untuk penanganan
hiperglikemi terutama bagi penyandang DM guna mendapatkan hasil pengelolaan
yang tepat guna dan berhasil guna, serta dapat menekan angkan kejadian penyulit
DM. Penyempurnaan dan revisi standar pelayanan harus selalu dilakukan secara
berkala dan disesuaikan dengan kemajuan ilmu mutakhir yang berbasis bukti,
sehingga dapat diperoleh manfaat yang sebesar besarnya bagi penyandang DM.5
Hipoalbuminemia adalah kadar albumin yang rendah/dibawah nilai normal
atau keadaan dimana kadar albumin serum < 3,5 g/dL. Hipoalbuminemia
mencerminkan pasokan asam amino yang tidak memadai dari protein, sehingga
mengganggu sintesis albumin serta protein lain oleh hati.6,7
Hipoalbuminemia dapat disebabkan oleh masukan protein yang rendah,
pencernaan atau absorbsi protein yang tak adekuat dan peningkatan kehilangan
protein yang dapat ditemukan pada pasien dengan kondisi medis kronis dan akut,
seperti kurang energi protein, kanker, peritonitis, luka bakar, sepsis, luka akibat

1
pre dan post pembedahan (penurunan albumin plasma yang terjadi setelah
trauma), penyakit hati akut yang berat atau penyakit hati kronis (sintesa albumin
menurun), penyakit ginjal (hemodialisa), penyakit saluran cerna kronik, radang
atau infeksi tertentu (akut dan kronis), diabetes mellitus dengan gangren, dan
TBC paru.6

BAB II

2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus Tipe 2


2.1.1 Definisi
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik
pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi
atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung
dan pembuluh darah.1

2.1.2 Klasifikasi
Klasifikasi Diabetes Melitus (ADA 2009):1
1. DM tipe 1
(Destruksi sel beta, umumnya diikuti defisiensi insulint absolut)
a. Melalui proses imunologik
b. Idiopatik
2. DM tipe 2
(Bervariasi mulai dari yang predominan resistensi insulin dengan
defisiensi nsulin relatif-dominan defek sekresi insulin disertai
resistensi insulin).
3. Diabetes Melitus Tipe Lain
a. Defek genetik pada fungsi sel beta
- Kromosom 12, HNF-α (dahulu MODY 3)
- Kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2)
- Kromosom 20, HNF α (dahulu MODY 1)
- Kromosom 13, insulin promoter factor (IPF dahulu MODY 4)
- Kromosom 17, HNF-1β (dahulu MODY 5)
- Kromosom 2, Neuro D1 (dahulu MODY) DNA Mitokondria
- Lainnya.

3
b. Defek genetik pada kerja insulin: resistensi insulin tipe A, I
eprechaunism, sindrom Rabson Mendenhall diabetes lipoatrofik,
lainnya.
c. Penyakit eksokrin pankreas: pancreatitis, trauma/pankreatektomi,
neoplasma, fibrosis kistik hemokromatis, pankreatopati fibro
kalkulus, lainnya.
d. Endokrinopati: akromegali, sindromcushing, feokromositoma,
hipertiroidisme somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya.
e. Akibat obat/zat kimia: vacor, petamidine, asam nikotinat,
glukokortikoid, hormon tiroid, diazoxid, aldosteronoma, lainnya.
f. Infeksi: rubella congenital, CMV, lainnya.
g. Imunologi (jarang): sindrom “Stiffman”, antibody anti reseptor
insulin, lainnya.
h. Sindrom genetik lain: sindrom Down, sindrom Klinefelter, sindrom
Turner, sindrom Wolfram’s, ataksia Friedreich’s, chorea
Huntington, sindrom Laurence Moon Biedl distrofi miotonik,
porfiria, sindrom Prader Willi, lainnya.
4. Diabetes kehamilan.

2.1.3 Etiologi
Penyebab dari Diabetes Melitus tipe 2 yaitu dikarenakan oleh
adanya kelainan sekresi insulin yang progresif dan adanya resistensi
insulin.1,2

2.1.4 Patogenesis
Pada DM tipe II (DM yang tidak tergantung insulin (NIDDM),
sebelumnya disebut dengan DM tipe dewasa) hingga saat ini merupakan
diabetes yang paling sering terjadi. Pada tipe ini, disposisi genetik juga
berperan penting. Namun terdapat defisiensi insulin relatif; pasien tidak
mutlak bergantung pada suplai insulin dari luar. Pelepasan insulin dapat
normal atau bahkan meningkat, tetapi organ target memiliki sensitifitas
yang berkurang terhadap insulin. Sebagian besar pasien DM tipe II

4
memiliki berat badan berlebih. Obesitas terjadi karena disposisi genetik,
asupan makanan yang terlalu banyak, dan aktifitas fisik yang terlalu
sedikit. Ketidakseimbangan antara suplai dan pengeluaran energi
meningkatkan konsentrasi asam lemak di dalam darah. Hal ini selanjutnya
akan menurunkan penggunaan glukosa di otot dan jaringan lemak.
Akibatnya, terjadi resistensi insulin yang memaksa untuk meningkatan
pelepasan insulin. Akibat regulasi menurun padareseptor, resistensi insulin
semakin meningkat. Obesitas merupakan pemicu yangpenting, namun
bukan merupakan penyebab tunggal diabetes tipe II. Penyebab yang lebih
penting adalah adanya disposisi genetik yang menurunkan sensitifitas
insulin. Sering kali, pelepasan insulin selalu tidak pernah normal.
Beberapa gen telah diidentifikasi sebagai gen yang menigkatkan terjadinya
obesitas dan DM tipe II. Diantara beberapa faktor, kelainan genetik pada
protein yang memisahkan rangkaian di mitokondria membatasi
penggunaan substrat. Jika terdapat disposisi genetik yang kuat, diabetes
tipe II dapat terjadi pada usia muda. Penurunan sensitifitas insulin
terutama mempengaruhi efek insulin pada metabolisme glukosa,
sedangkan pengaruhnya pada metabolisme lemak dan protein dapat
dipertahankan dengan baik. Jadi, diabetes tipe II cenderung menyebabkan
hiperglikemia berat tanpa disertai gangguan metabolisme lemak.3

2.1.5 Gejala Klinis


Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes.
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik
DM seperti di bawah ini:1,2
 Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
 Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata
kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada
wanita.
2.1.6 Pemeriksaan Fisik

5
1. Penilaian berat badan
2. Mata : penurunan visus, lensa mata buram
3. Extermitas : Uji sensibilitas kulit dengan mikrofilamen.4

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium sangat diperlukan dalam mendiagnosis
dan memantau keberhasilan terapi penyakit diabetes Melitus tipe 2 ini,
berikut pemeriksaan laboratorium yang digunakan dalam mendiagnosis,
memantau keberhasilan terapi maupun evaluasi komplikasi yang
ditimbulkan dari diabetes melitus tipe 2:1,2
 Kadar Glukosa darah puasa, 2 jam post prandial dan sewaktu di
periksa untuk mendiagnosis pasien yang sebelumnya memiliki gejala
klinis diabetes melitus tipe 2 yang khas.
 HbA1C, diperiksa untuk menentukan terapi DM tipe 2 dan melihat
keberhasilan terapi.
 Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, dan
trigliserida), diperiksa untuk mengetahui kemungkinan sindrom
metabolik lain seperti dislipdemia yang merupakan komorbid pada
pasien pasien DM tipe 2
 Kreatinin serum di periksan untuk mengetahui fungsi ginjal, dimana
dapat terjadi komplikasi mikrovaskular pada pasien DM tipe 2 yaitu
nefropati.
 Keton, sedimen, dan protein dalam urin
 Elektrokardiogram
 Foto sinar-x dada.

2.1.8 Diagnosa Banding


Diagnosa banding dari diabetes melitus tipe 2 meliputi:1
 Diabetes Mellitus Tipe 2
 Diabetes Mellitus Tipe 1

6
 Diabetes Mellitus Insipidus
 Diabetes Tipe Lainnya
 Diabetes Gestasional

2.1.9 Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa
darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.
Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang
dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan
darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena,
ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-
angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO.
Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan
dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer.2,4,5
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes.
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik
DM seperti di bawah ini:2,4,5
 Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
 Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata
kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada
wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara :2,4,5
1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosaplasma
sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya
keluhan klasik.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75g
glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan
glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan

7
tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam
praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan
khusus. Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau
DM, bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke
dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atauglukosa darah
puasa terganggu (GDPT).2,4,5
Keterangan:
1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan
TTGOdidapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 –199
mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).
2. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaanglukosa
plasma puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6– 6,9 mmol/L)
dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140mg/dL.2,4,5

Tabel 3. Kriteria diagnosis DM1,2


1. Gejalaklasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL (11.2 mmol/L)
Glukosaplasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu
hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir
Atau
2. Gejala klasik DM + Kadar glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL (7.0
mmol/L) Puasadiartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya
8 jam
Atau
3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dL (11.1 mmol/L)
TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa
yang setaradengan 75 g glukosaanhidrus yang dilarutkan kedalam air.
*Pemeriksaan HbA1c (≥6.5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah
satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah
terstandarisasi dengan baik.
Ada perbedaan antara uji diagnostik diabetes melitus dengan
pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik diabetes melitus dilakukan pada
mereka yang menunjukkan gejala atau tanda diabetes melitus, sedangkan

8
pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasikan mereka yang
tidak bergejala, yang mempunyai resiko diabetes melitus. Serangkaian uji
diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan
penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis definitif.5
Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien dengan
Diabetes melitus, toleransi glukosa terganggu (TGT) maupun glukosa
darah puasa terganggu (GDPT), sehingga dapat ditangani lebih dini secara
tepat. Pasien dengan TGT danGDPT juga disebut sebagai intoleransi
glukosa, merupakan tahapan sementaramenuju diabetes melitus. Kedua
keadaan tersebut merupakan faktor risiko untukterjadinya diabetes melitus
dan penyakit kardiovaskular di kemudian hari.5
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar
glukosadarah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat
diikuti dengan testoleransi glukosa oral (TTGO) standar.5

Tabel 4. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai standar


penyaring dan diagnosis diabetes melitus5
Diabetes Meilitus
Kadar ≥ 200
glukosadarahsewaktu(mg/dL)
Kadar glukosadarahpuasa(mg/dL) ≥ 126

Kadar glukosa darah 2 jam post ≥ 200


prandial(mg/dL)

Diperlukan anamnesis yang cermat serta pemeriksaan yang baik


untuk menentukan diagnosis diabetes melitus, toleransi glukosa terganggu
dan glukosa darah puasa terganggu. Berikut adalah langkah-langkah
penegakkan diagnosis diabetes melitus, TGT, dan GDPT.5

2.1.10 Penatalaksaan
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani selama beberapa waktu (2-4minggu). Apabila kadar glukosa darah

9
belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat
hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu,
OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi,
sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya
ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, dan
adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan.5

1. Terapi Nutrisi Medis


Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari
penatalaksanaan diabetes secara total. Kunci keberhasilan TNM
adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter,ahli
gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya). Setiap
penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan
kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan
makan pada penyandang diabetes hampirsama dengan anjuran makan
untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai
dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada
penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan
dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada
mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.5
A. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari :5
1. Karbohidrat
2. Lemak
3. Protein
4. Natrium
5. Serat
6. Pemanis alternative

B. Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang
dibutuhkan penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan
memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30

10
kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada
beberapa faktor seperti: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat
badan, dll.4,5
Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca
yang dimodifikasi adalah sbb:5
 Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
 Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di
bawah 150 cm, rumus dimodifikasi menjadi :
 Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
 BB Normal : BB ideal ± 10 %
 Kurus : < BBI - 10 %
 Gemuk : > BBI + 10 %
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh
(IMT).
Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus :5

IMT = BB(kg)/ TB(m2)


Klasifikasi IMT
 BB Kurang < 18,5
 BB Normal 18,5-22,9
 BB Lebih ≥ 23,0
Keterangan:
 Dengan risiko 23,0-24,9
 Obesitas I 25,0-29,9
 ObesII > 30

Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain:5


1. Jenis Kelamin

11
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria.
Kebutuhan kalori wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria
sebesar 30 kal/ kg BB.5

2. Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori
dikurangi 5% untuk dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10%
untuk dekade antara 60 dan 69 tahun dan dikurangi 20%, di atas
usia 70 tahun.5

3. Aktivitas Fisik atau Pekerjaan


Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas
aktivitas fisik. Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal
diberikan pada kedaaan istirahat, 20% pada pasien dengan aktivitas
ringan, 30% dengan aktivitas sedang, dan 50% dengan aktivitas
sangat berat.5

4. Berat Badan
Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% tergantung
kepada tingkat kegemukan. Bila kurus ditambah sekitar 20-30%
sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB. Untuk tujuan
penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan paling sedikit
1000-1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200-1600 kkal perhari
untuk pria.5
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi
tersebut di atas dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi
(20%), siang (30%), dansore (25%), serta 2-3 porsi makanan ringan
(10-15%) di antaranya. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien,
sejauh mungkin perubahan dilakukan sesuai dengan kebiasaan.
Untuk penyandang diabetes yang mengidap penyakit lain, pola
pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya.5

C. Latihan jasmani

12
Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali
seminggu) selama kurang lebih 30 menit, sifatnya sesuai CRIPE
(Continuous, Rhithmical, Interval, Progressive training). Sedapat
mungkin mencapai zona sasaran 75-85 % denyut nadi maksimal
(220/umur), disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penyakit
penyerta. Sebagai contoh olahraga ringan adalah berjalan kaki
biasa selama 30 menit, olahraga sedang adalah berjalan selama 20
menit dan olahraga berat misalnya joging.5

D. Terapi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan
makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis
terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.5

1. Obat hipoglikemik oral


Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:5
a. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan
glinid.
b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformindan
tiazolidindion.
c. Penghambat glukoneogenesis (metformin)
d. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.
e. DPP-IV inhibitor.

2. Pemicu Sekresi Insulin


a. Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama
meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan
merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan

13
normaldan kurang. Namun masih boleh diberikan kepada
pasiendengan berat badan lebih. Untuk menghindari
hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti
orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta
penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan
sulfonilurea kerja panjang.5
b. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama
dengansulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan
sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam
obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid
(derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah
pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.
Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.5

3. Peningkat sensitivitas terhadap insulin


1. Tiazolidindion
Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada
Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-g),
suatureseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini
mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa diperifer. Tiazolidindion
dikontra indikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-
IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga
pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazoli
dindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.5

4. Penghambat glukoneogenesis
1. Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi
glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki

14
ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang
diabetes gemuk. Metformin dikontra indikasikan pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dL)
dan hati, serta pasien pasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal
jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual.
Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat
atau sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa
pemberian metformin secara titrasi pada awal penggunaanakan
memudahkan dokter untuk memantau efek samping obat
tersebut.5

2. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose )


Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa
diusus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan
kadarglukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak
menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang
paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.5

5. DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu
hormonpeptida yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida
ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang masuk ke
dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang kuat
pelepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi
glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim
dipeptidylpeptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-
amide yang tidak aktif. Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2,
sehingga upaya yang ditujukan untuk meningkatkan GLP-1 bentuk
aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM tipe 2.
Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian
obat yang menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4),

15
atau memberikan hormon asli atau analognya (analog
incretin=GLP-1 agonis). Berbagai obat yang masuk golongan DPP-4
inhibitor, mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1
tetapdalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu
merangsang pelepasan insulin sertamenghambat pelepasan
glukagon.5

6. Obat Suntikan
1. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:5
• Penurunan berat badan yang cepat
• Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
• Ketoasidosis diabetik
• Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
• Hiperglikemia dengan asidosis laktat
• Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
• Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
• Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang
tidak terkendali dengan perencanaan makan
• Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
• Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Jenis dan lama kerja insulin


Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:5
• Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
• Insulin kerja pendek (short acting insulin)
• Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
• Insulin kerja panjang (long acting insulin). 5
Sediaan Insulin Onset Of Peak Action Effective
Action (Puncakkerja) Duration
(Awalkerja of Action

16
) (Lama kerja)
Insulin prandial (meal-
rolated)
Insulin short-acting 30 – 60 30 – 90 menit 3 – 5 jam
Regular (Actrapid", menit
Humulin" R) 30 – 90 menit 3 – 5 jam
Insulin analog rapid-acting 6 – 15 30 – 90 menit 3 – 5 jam
Insulin lispro (Humalog") menit 30 – 90 menit 3 – 5 jam
Insulin glulicino (Apidra") 6 – 15
Insulin aspart (NovoRapid") menit
6 – 15
menit
Insulin Intermediate-
acting 2 – 4 jam 4 – 10 jam 10 – 16 jam
NPH (Insulaterd", Humulin" 3 – 4 jam 4 – 12 jam 12 – 18 jam
N) Lenle"
Insulin long-acting
Insulin glargine (Lantus") 2 – 4 jam No peak
Ultralento" 6 – 10 jam 8 – 10 jam
Insulin detemir (Levenir") 2 – 4 jam No peak
Insulin campuran

(short- dan intermediate-


acting)
30 – 60 Dual 10 – 16 jam
70% NPH / 30 % regular menit
(Mixtard"; Humulin" 30/70)
Dual 15 – 18 jam
70% insulin aspart 10 – 20
protamina/30% menit
Insulin aspart 1 – 2 jam 16 – 18 jam
(NovoMix"30)

17
5 – 15
75% insulin Espre menit
protamine/25% insulin lepro
injection (Humalog" Mip 25
)
Keterangan :
*Belum tersedia di Indonesia
Nama dalam tanda kurung adalah nama dagang

Efek samping terapi insulin


• Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.
• Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap
insulinyang dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi
insulin.5
1. Agonis GLP-1
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan
pendekatan baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat
bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin yang tidak
menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang
biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin ataupun
sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat
badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat pelepasan
glukagon yang diketahui berperan pada proses glukoneogenesis.
Pada percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan
sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian
obatini antara lain rasa sebah dan muntah.5

2. Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan
dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai
dengan respons kadar glukosa darah. Bersamaan dengan
pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat
dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak

18
dini. Terapi dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun
fixed-combination dalam bentuk tablet tunggal), harus dipilih dua
macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja
berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat
pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda
atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai
dengan alasan klinis di mana insulin tidak memungkinkan untuk
dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO dapat menjadi pilihan.
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan
adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah
atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam hari
menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya
dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis
insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah
6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan
evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa
keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa
darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka OHO dihentikan
dan diberikan terapi kombinasi insulin.5

2.1.11 Komplikasi
1. Komplikasi Metabolik Akut
Komplikasi metabolik diabetes disebabkan oleh perubahan yang
relatif akut dari konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi metabolik yang
paling serius pada diabetes adalah:5

A. Ketoasidosis Diabetik (DKA).


Merupakan komplikasi metabolik yang paling serius pada DM .
Hal ini terjadi karena kadar insulin sangat menurun, dan pasien akan
mengalami hal berikut:5
 Hiperglikemia
 Hiperketonemia

19
 Asidosis metabolik
Hiperglikemia dan glukosuria berat, penurunan lipogenesis,
peningkatan lipolisis dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas
disertai pembentukan benda keton (asetoasetat, hidroksibutirat, dan
aseton). Peningkatan keton dalam plasma mengakibatkan ketosis.
Peningkatan produksi keton meningkatkan beban ion hidrogen dan
asidosis metabolik. Glukosuria dan ketonuria yang jelas juga dapat
mengakibatkan diuresis osmotik dengan hasil akhir dehidrasi dan
kehilangan elektrolit. Pasien dapat menjadi hipotensi dan mengalami
syok.3,5
Akhirnya, akibat penurunan penggunaan oksigen otak, pasien
akan mengalami koma dan meninggal. Koma dan kematian akibat
DKA saat ini jarang terjadi, karena pasien maupun tenaga kesehatan
telah menyadari potensi bahaya komplikasi ini dan pengobatan DKA
dapat dilakukan sedini mungkin.3,5

B. Hiperglikemia, Hiperosmolar, Koma Nonketotik (HHNK)


Komplikasi metabolik akut lain dari diabetes yang sering
terjadi pada penderitadiabetes tipe 2 yang lebih tua. Bukan karena
defisiensi insulin absolut, namun relatif, hiperglikemia muncul tanpa
ketosis. Ciri-ciri HHNK adalah sebagai berikut:5
Hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum > 600 mg/dl.
 Dehidrasi berat
 Uremia
Pasien dapat menjadi tidak sadar dan meninggal bila keadaan
ini tidak segera ditangani. Angka mortalitas dapat tinggi hingga 50%.
Perbedaan utama antara HHNK dan DKA adalah pada HHNK tidak
terdapat ketosis.5

C. Hipoglikemia (reaksi insulin, syok insulin)


Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang
disebabkan penurunan glukosa darah. Gejala ini dapat ringan berupa

20
gelisah sampai berat berupa koma dengan kejang. Penyebab tersering
hipoglikemia adalah obat-obatan hipoglikemik oral golongan
sulfonilurea, khususnya glibenklamid. Hasil penelitian di RSCM 1990-
1991yang dilakukan Karsono dkk, memperllihatkan kekerapan episode
hipoglikemia sebanyak 15,5 kasus pertahun, dengan wanita lebih besar
daripada pria, dan sebesar 65% berlatar belakang DM. Meskipun
hipoglikemia sering pula terjadi pada pengobatandengan insulin, tetapi
biasanya ringan. Kejadian ini sering timbul karena pasien
tidakmemperlihatkan atau belum mengetahui pengaruh beberapa
perubahan pada tubuhnya.5

Penyebab Hipoglikemia
1. Makan kurang dari aturan yang ditentukan
2. Berat badan turun
3. Sesudah olah raga
4. Sesudah melahirkan
5. Sembuh dari sakit
6. Makan obat yang mempunyai sifat serupa
Tanda hipoglikemia mulai timbul bila glukosa darah < 50 mg/dl,
meskipun reaksi hipoglikemia bisa didapatkan pada kadar glukosa
darah yang lebih tinggi.Tanda klinis dari hipoglikemia sangat
bervariasi dan berbeda pada setiap orang.5

Tanda-tanda Hipoglikemia
1. Stadium parasimpatik: lapar, mual, tekanan darah turun.
2. Stadium gangguan otak ringan: lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan
menghitung sederhana.
3. Stadium simpatik: keringat dingin pada muka terutama di
hidung,bibir atau tangan, berdebar-debar.
4. Stadium gangguan otak berat: koma dengan atau tanpa
kejang.Keempat stadium hipoglikemia ini dapat ditemukan pada

21
pemakaian obat oralataupun suntikan. Ada beberapa catatan
perbedaan antara keduanya:
a. Obat oral memberikan tanda hipoglikemia lebih berat.
b. Obat oral tidak dapat dipastikan waktu serangannya,
sedangkan insulin bisadiperkirakan pada puncak kerjanya,
misalnya:
 Insulin reguler : 2-4 jam setelah suntikan
 Insulin NPH : 8-10 jam setelah suntikan
 P.Z.I : 18 jam setelah suntikan.5

2.1.12 Pencegahan
Menurut WHO tahun 1994, upaya pencegahan pada diabetes ada 3
tahap yaitu :5
Pencegahan primer: Semua aktifitas ditujukan untuk mencegah
timbulnyahiperglikemia pada individu yang berisiko untuk jadi diabetes
atau pada populasiumum.5
Pencegahan sekunder: Menemukan pengidap DM sedini mungkin,
misalnya dengantes penyaringan terutama pada populasi resiko tinggi.
Dengan demikian pasiendiabetes yang sebelumnya tidak terdiagnosis
dapat terjaring, hingga dengan demikiandapat dilakukan upaya untuk
mencegah komplikasi atau kalaupun sudah adakomplikasi masih reversible
(cegah kompilkasi).5
Pencegahan tersier: Semua upaya untuk mencegah kecacatan akibat
komplikasi yangsudah ada. Usaha ini meliputi:5
- Mencegah progresi dari pada komplikasi itu supaya tidak menjadi
kegagalanorgan (jangan sampai timbul chronic kidney disease)
- Mencegah kecacatan tubuh

2.1.13 Prognosis
Prognosis pada penderita diabetes tipe 2 bervariasi. Namun pada
pasien diatas prognosisnya dapat baik apabila pasien bisa memodifikasi

22
(meminimalkan) risiko timbulnya komplikasi dengan baik.Serangan
jantung, stroke, dan kerusakan saraf dapat terjadi. Beberapa orang dengan
diabetes mellitus tipe 2 menjadi tergantung pada hemodialisa akibat
kompilkasi gagal ginjal. Ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk
meminimal kan risiko komplikasi:5
 Makan makanan yang sehat / gizi seimbang (rendah lemak, rendah
gula),perbanyak konsumsi serat (buncis 150gr/hari, pepaya,
kedondong, salak, tomat, semangka, dianjurkan pisang ambon namun
dalam jumlah terbatas)
 Gunakan minyak tak jenuh / PUFA (minyak jagung)
 Hindari konsumsi alkohol dan olahraga yang berlebihan
 Pertahankan berat badan ideal
 Kontrol ketat kadar gula darah, HbA1c, tekanan darah, profil lipid
 Konsumsi aspirin untuk cegah ateroskelrosis (pada orang dalam
kategori prediabetes).

2.2 Hipoalbuminemia
2.2.1 Definisi Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia adalah kadar albumin yang rendah/dibawah nilai normal
atau keadaan dimana kadar albumin serum < 3,5 g/dL. Hipoalbuminemia
mencerminkan pasokan asam amino yang tidak memadai dari protein, sehingga
mengganggu sintesis albumin serta protein lain oleh hati.6,7
Fungsi albumin:7
1. Memelihara tekanan ontotik yang ditimbulkan oleh albumin akan memelihara
fungsi ginjal dan mengurangi edema pada saluran pencernaan
2. Mengusung hormone tiroid
3. Mengusung hormone lain khususnya yang dapat larut dalam lemak
4. Mengusung asam lemak menuju hati
5. Mengusung obat-obatan dan memperpendek waktu paruh obat tersebut
6. Mengusung bilirubin
7. Mengikat ion Ca2+

23
8. Sebagai larutan penyangga

2.2.2 Klasifikasi Hipoalbuminemia


Defisiensi albumin atau hipoalbuminemia dibedakan berdasarkan selisih
atau jarak dari nilai normal kadar albumin serum, yaitu 3,5–5 g/dl atau total
kandungan albumin dalam tubuh adalah 300-500 gram. Klasifikasi
hipoalbuminemia adalah sebagai berikut:7
1.   Hipoalbuminemia ringan    : 3,5–3,9 g/dl
2.   Hipoalbuminemia sedang   : 2,5–3,5 g/dl
3.   Hipoalbuminemia berat       : < 2,5 g/dl

2.2.3 Etiologi Hipoalbuminemia


Hipoalbuminemia adalah suatu masalah umum yang terjadi pada pasien.
Hipoalbuminemia dapat disebabkan oleh masukan protein yang rendah,
pencernaan atau absorbsi protein yang tak adekuat dan peningkatan kehilangan
protein yang dapat ditemukan pada pasien dengan kondisi medis kronis dan akut:6
1. Kurang Energi Protein,
2. Kanker,
3. Peritonitis,
4. Luka bakar,
5. Sepsis,
6. Luka akibat Pre dan Post pembedahan (penurunan albumin plasma yang
terjadi setelah trauma),
7. Penyakit hati akut yang berat atau penyakit hati kronis (sintesa albumin
menurun),
8. Penyakit ginjal (hemodialisa),
9. Penyakit saluran cerna kronik,
10. Radang atau Infeksi tertentu (akut dan kronis),
11. Diabetes mellitus dengan gangren, dan
12. TBC paru.

24
2.2.4 Terapi Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia dikoreksi dengan Albumin intravena dan diet tinggi
albumin.7
Farmakologi dari Albumin:8
1. Indikasi
Ekspansi volume plasma dan rumatan curah jantung dalam keadaan yang
berhubungan dengan defisit volume cairan termasuk syok, perdarahan, dan luka
bakar. Penggantian sementara albumin pada penyakit yang berhubungan dengan
protein plasma yang rendah seperti sindroma nefrotik atau penyakit hati tahap
akhir yang dapat mengurangi atau menurunkan edema yang terjadi.8

2. Kerja obat
Memberikan tekanan onkotik koloid, yang memobilisasi cairan dari
jaringan ekstravaskuler kembali ke ruang intravaskuler. Efek terapeutik:
mobilisasi cairan dari jaringan ekstravaskuler ke ruang intravaskuler.8

3. Farmakokinetik
Absorbsi: setelah pemberian iv absorbsinya sempurna
Distribusi: terbatas pada ruang intravaskuuler, kecuali bila ada peningkatan
permeabilitas kapiler.
Metabolisme dan ekskresi: didegradasi oleh hati
Waktu paruh: tidak diketahui 8

4. Kontraindikasi
Dikontraindikasikan pada reaksi alergi terhadap albumin, anemia berat,
gagal jantung kongestif, volume intravaskuler normal atau meningkat.
Gunakan secara hati-hati pada: penyakit hati atau ginjal, dehidrasi (perlu
mendapatkan tambahan cairan).8

5. Efek samping:
SSP: sakit kepala

25
Kardiovaskuler: hipertensi, hipotensi, kelebihan cairan, edema pulmoner,
takikardia
GI: mual, muntah, peningkatan salivasi
Derm: urtikaria, ruam
MS: nyeri punggung
Lain-lain: demam, menggigil, wajah kemerahan8

6. Rute dan dosis


Dosis sangat individual dan tergantung kondisi yang ditangani
 IV (dewasa): 25 g, dapat diulang dalam 15 – 30 menit, tidak boleh lebih
dari 125 g dalam 24 jam atau 250 g dalam 48 jam.
 IV (anak-anak): 25 g atau 25 – 50% dari dosis dewasa
 IV (bayi prematur): 1 g/kg sebagai larutan 25% yang diberikan sebelum
transfusi yang diperlukan.8

7. Sedian8
NO NAMACAIRAN ALBUMIN SEDIAAN
1. ALBAPURE 20 Infus 20 gram x 100 ml.
2. HUMAN ALBUMIN 20 % BEHRING Infus 20 % x 50 mL.
3. HUMAN ALBUMIN 20 % BEHRING Infus 20 % x 100 mL.
4. PLASBUMIN-25 (HUMAN VENOUS PLASMA Infus 25 % x 20 mL.
ALBUMIN)
5. PLASBUMIN-25 (HUMAN VENOUS PLASMA Infus 25 % x 50 mL.
ALBUMIN)
6. PLASBUMIN-25 (HUMAN VENOUS PLASMA Infus 25 % x 100 mL.
ALBUMIN)
7. FIMALBUMIN Vial 20% x 50 mL
8. PLASBUMIN-5 Larutan Infus 5% x 250mL
9. PLASBUMIN-20 Larutan Infus 20% x 50mL
10. PLASBUMIN-20 Larutan Infus 20% x 100 mL
11. ROBUMIN 20 % Vial 50 ml
12. ROBUMIN 20 % Vial 100 ml
13. ROBUMIN 25 % Vial 50 ml
14. AMINORAL Kaplet salut selaput 100 biji.
15. ALBUMIN-HUMAN 20% Injeksi 200 gram/liter x 50 ml.
16. ALBURAAS Infus 20% x 100 ml.

26
17. ALBUMIN-HUMAN 20% Injeksi 200 gram/liter x 100
ml.
18. CEALB Vial 95% x 50 mL
19. CEALB Vial 95% x 100 mL

8. Monitoring
Pantau tanda-tanda vital dan CVP. Bila terjadi demam, takikardia, atau
hipotensi, hentikan infus. Antihistamin mungkin diperlukan untuk menekan
respon hipersensitivitas. Hipotensi juga terjadi akibat pemberian infus yang terlalu
cepat.
Monitor adanya tanda-tanda kelebihan beban vaskuler (peningkatan CVP, ronkhi,
dispnea, hipertensi, distensi vena jugularis) selama dan setelah pemberian.
Pasien bedah: monitor peningkatan perdarahan setelah pemberian akibat
peningkatan tekanan darah dan volume darah yang bersirkulasi. Albumin tidak
mengandung faktor pembekuan.8
Pertimbangan tes lab:8
 Kadar protein serum harus meningkat setelah terapi albumin
 Monitor natrium serum karena dapat menyebabkan peningkatan
konsentrasi
 Pemberian infus albumin serum normal dapat menyebabkan peningkatan
palsu kadar alkali fosfatase
 Monitor kadar hemoglobin dan hematokrit. Kadarnya dapat menurun
akibat hemodilusi

9. Cara Pemberian Albumin8


Kecepatan infus
 Pada infus albumin 20% kecepatan maksimal adalah 1 ml/menit
 Pada infus albumin 5% kecepatan maksimal adalah 2-4 ml/menit

10. Evaluasi 10
Efektivitas terapi ditunjukkan dengan:

27
 Peningkatan tekanan darah dan volume darah bila digunakan untuk
menangani syok dan luka bakar.
 Peningkatan pengeluaran urine yang mencerminkan mobilisasi cairan dari
jaringan ekstravaskuler.
 Peningkatan protein plasma serum pada pasien-pasien dengan
hipoproteinemia.

BAB III
KESIMPULAN

Diabetes melitus tipe 2 merupakan suatu kelompok penyakit metabolik


dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes
berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan
beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah.
Diabetes millitus dibagi menjadi 4 bagian yaitu diabetes millitus tipe 1, diabetes
millitus tipe 2, diabetes tipe lain dan diabetes millitus gestasional. Pengobatan dari
diabetes millitus dibagi menjadi dua bagian besar yaitu terapi nutrisi dan terapi
farmakologi. Terapi farmakologi seperti obat oral hipoglikemi, obat pemicu
sekresi insulin, dll.
Hipoalbuminemia adalah kadar albumin yang rendah/dibawah nilai
normal atau keadaan dimana kadar albumin serum < 3,5 g/dL. Hipoalbuminemia
dapat disebabkan oleh masukan protein yang rendah, pencernaan atau absorbsi
protein yang tak adekuat dan peningkatan kehilangan protein yang dapat
ditemukan pada pasien dengan kondisi medis kronis dan akut.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Suyono, Slamet. Ed.setiati siti, alwi idrus, sudoyo AW,dkk Ed VI..


Diabetes Melitus di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III,
Ed.IV. 2014. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FakultasKedokteran Universitas Indonesia.hal : 2315 – 2322.
2. Kamal Yudisianil, Soekamto SA, Suseno LS. Ed. Sudoyo AW. Penyusun :
Nasution SA, Salim simon, Hidayat Rudy, Kurniawan. Indonesia doctor’s
compendium. Yayasan penerbit ikatan dokter indonesia (YP IDI). Jakarta.
2015.hal : 11- 19.
3. Price, Sylvia Aderson. Pankreas: Metabolisme glukosa dan diabetes
mellitus. Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses/ Sylvia Anderson
price, Lorraine Mc Carty Wilson; alih bahasa, Brahm U.
Pendit[et.al.]editor bahasa Indonesia. Jakarta;2005; hal.1259.
4. Syarif Amir, Hamzah Arie, Rowi AS,dkk. Ed.Zainuddin AA, Faqih DM,
Trisna DV, Dkk. Panduan Praktik Klinis Bagian dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer. Ed. Revisi 2014. Jakarta: Yayasan
Penerbitan IDI.hal: 530-537.
5. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe
2 di Indonesia. 2015. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia. Jakarta. 2015.

29
6. Noer, Mohammad Sjaifullah. 2006. Evaluasi Fungsi Ginjal Secara
Laboratorik. Surabaya: Lab-SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR.
7. Murray, Robert K., Gramer, Daryl K., Rodwell, Victor W.,2009. Protein
Plasma dan Imunoglobulin,Biokimia Harper. Edisi 27. Jakarta: EGC.hal
608-609.
8. Deglin, Judith Hopfer, 2005. Pedoman Obat edisi 4. Jakarta: EGC.

30

Anda mungkin juga menyukai