Anda di halaman 1dari 6

DERMATITIS SEBOROIK INFANTIL PADA KWASHIOKOR

EXTENDED ABSTRACT
Putri Laksmi Karim,1* Nopriyati2
1,2
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya / RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang
085273638057, putrilaksmikarim92@yahoo.com

Abstrak
Pendahuluan: Dermatitits seboroik infantil (DSI) adalah kondisi kulit inflamasi kronik dengan
karakteristik ruam kemerahan dan sisik berminyak pada bayi. Etiopatogenesis DSI meliputi perubahan
hormonal, infeksi jamur, terutama Malassezia sp., kekurangan nutrisi dan faktor neurogenik. Gangguan
nutrisi berperan sebagai faktor pemicu DSI. Dermatitis seboroik infantil terjadi pada usia 2 minggu
dengan peningkatan insiden pada usia 3 bulan. Kasus: Bayi laki-laki 4 bulan dengan keluhan ruam
merah bersisik pada hampir seluruh tubuh disertai gatal, badan bengkak, diare cair akut dan sesak nafas.
Pada pemeriksaan fisik keadaan umum tampak sakit berat, status gizi kwashiorkor. Status dermatologikus
tampak skuama sedang-tebal, kekuningan, sulit dilepaskan dengan luas lesi / body surface area (BSA) 14
%. Pengobatan bagian Dermatologi dan Venereologi (DV) berupa topikal oleum cocos, krim
hidrokortison, krim AIAFp (non steroid anti-inflammatory agent with antifungal properties) dan krim
ketokonazol serta sirup cetirizine Pengobatan suportif bagian ilmu kesehatan anak berupa pemberian
vitamin dan tambahan nutrisi untuk memenuhi kebutuhan kalori, serta tatalaksana suportif lain. Diskusi:
Penyembuhan lesi kasus ini terlambat akibat gangguan nutrisi. Perbaikan gizi dan pemberian
mikronutrien seperti zink berperan penting pada penyembuhan lesi DSI dengan kwashiokor. Zink bekerja
sebagai imunomodulator, mengaktivasi neutrofil, sel Natural Killer (NK) dan memodulasi sitokin
proinflamasi. Lesi mengalami perbaikan dengan tatalaksana sesuai panduan praktek klinis.

Kata kunci: Dermatitits seboroik infantil, gangguan nutrisi, tatalaksana

INFANTILE SEBORRHEIC DERMATITIS IN KWASIOKHOR


EXTENDED ABSTRACT
Putri Laksmi Karim,1* Nopriyati2
1,2
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya / RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang
085273638057, putrilaksmikarim92@yahoo.com

Introduction: Infantile seborrheic dermatitis (ISD) is a chronic inflammatory skin condition


characterized by erithematous and oily scales in infants. Etiopathogenesis of ISD includes hormonal
changes, fungal infections, especially Malassezia sp., nutritional deficiencies and neurogenic factors.
Nutritional disorders is a trigger factor for ISD. Infantile seborrheic dermatitis occurs at 2 weeks age
with an increased incidence at 3 months. Case: A 4-month-old baby with eritematous and scale on body
with itching, swelling, acute diarrhea and shortness of breath. On physical examination looked ill and
nutritional status is kwashiorkor. The dermatologic status is moderate to thick, yellowish, difficult to
remove with a 14% body surface area (BSA). Dermatology and Venereology (DV) topical treatment is
oleum cocos, hydrocortison, AIAFp and ketoconazole cream and oral cetirizine. Supportive treatment
from the pediatric is providing vitamins, nutrition to get calorie needs and other supportive therapies.
Discussion: The healing lesion of this case was delayed because nutritional disorders. Nutrition repair
and micronutrient such as zinc have important fuction to healing DSI with kwashiokor. Zinc as an
immunomodulator, activating neutrophils, Natural Killer (NK) cells and modulating cytokines. The
lesions improve with management according to clinical practice guidelines.

Keywords: Infantile seborrheic dermatitis, nutritional disorders, treatment


PENDAHULUAN
Dermatitits seboroik infantile (DSI) adalah inflamasi kulit kronik bersisik, dengan ruam
kemerahan dan berminyak pada bayi.1-3 Dermatitits seboroik infantil terjadi bulan pertama kehidupan
(minggu ketiga dan keempat), paling sering 3 bulan pertama dan menghilang sendiri tanpa tatalaksana
pada usia 8-12 bulan.1,4,5 Prevalensi DSI kisaran 3 - 5% pada populasi umum, predominan laki-laki
dengan usia 2 -10 minggu. Pasien DSI di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin (RSUPMH)
pada tahun 2013 - 2018 berjumlah 6 bayi, terdiri dari 4 laki-laki dan 2 perempuan.*
Predileksi DSI terdapat di regio skalp, fasialis, retro-aurikula, trunkus, atau regio seborrhea dan
jarang generalisata. Manifestasi klinis umum berupa cradle cap. Pada pasien imunitas rendah, penyebaran
lesi lebih luas, dan sulit ditatalaksana.7 Karakteristik lesi berupa lesi batas tegas, plak merah kecoklatan
dengan skuama kuning berminyak.3 Perubahan hormonal, infeksi jamur terutama Malassezia sp.,
gangguan nutrisi dan faktor neurogenik berhubungan dengan DSI, namun penyebab pasti DSI masih
belum diketahui.5 Dermatitis seboroik infantil dicetuskan oleh beberapa faktor antara lain musim, cuaca
ekstrim, suhu, stress, kulit atau rambut berminyak, obesitas, dan imunokompromais.1,3,4,8
Gangguan nutrisi merupakan salah satu faktor pencetus DSI, anak dengan gizi buruk dapat
memberikan manifestasi klinis kulit.9 Kekurangan energi protein meliputi marasmus, kwashiorkor dan
marasmus-kwashiorkor.10,11 Gizi buruk merupakan keadaan balita yang ditandai oleh satu atau lebih
tanda berupa edema minimal pada punggung kaki, berat badan (BB) / tinggi badan (TB) kurang dari -3
standar deviasi, lingkar lengan atas (LILA) < 11,5 cm pada balita usia 6-59 bulan11
Berikut dilaporkan 1 kasus DSI disertai gangguan nutrisi berupa kwashiokor. Pengobatan DSI
dengan gangguan nutrisi menjadi tantangan tersendiri, diperlukan kolaborasi antar bagian. Kerjasama
baik dalam tatalaksana menghasilkan perbaikan klinis.

Laporan Kasus
Anak laki-laki, 4 bulan datang dengan bercak merah disertai skuama kuning berminyak pada
kepala, badan, tangan, dan tungkai yang semakin meluas sejak 1 pekan sebelum masuk rumah sakit
(SMRS). Kisaran 2,5 bulan SMRS timbul patch eritematous pada trunkus posterior meluas ke trunkus
anterior dan abdomen. Kisaran 2 bulan SMRS patch eritematous meluas, timbul skuama seborrheic di
trunkus posterior, extremitas superior, colli, dan inguinal. Pasien berobat ke dokter umum dikatakan
psoriasis dan diberikan obat minum dan salep racikan, lesi berkurang. Kisaran 1 bulan SMRS lesi
eritematous muncul kembali di trunkus, axilla dan colli, pasien kembali ke dokter umum dikatakan ruam
alergi makanan, hingga ibu pasien diet hanya konsumsi nasi, kerupuk dan kecap. Kisaran 2 pekan SMRS
timbul skuama seborrheic di skalp, fasialis yang semakin menebal dan meluas ke trunkus anterior et
posterior, dan regio inguinal. Pemeriksaan fisik pasien didapatkan status gizi kwashiokor, konjungtiva
anemis, suara nafas rhonki dikedua lapang paru. Pada status dermatologikus regio skalp dan fasialis
terdapat skuama seborrheic, sulit dilepaskan. Regio trunkus anterior et posterior, ekstremitas bilateral dan
inguinal bilateral terdapat skuama seborrheic, selapis mudah dilepaskan dengan luas lesi 14% (Gambar
1). Pemeriksaan laboratorium hemoglobin 8,2mg/dl, leukosit 17,680 mm3, MCV 77,8 fl, hitung jenis
0/4/36/60/10, CRP 6 mg/ dl, albumin 2,7 g/dl, ureum 15 mg / dl, kalsium 6 mg/dl, kalium 2,9 mEq/dl,
klorida 113 mmol/L dan pada pemeriksaan KOH ditemukan blastospora.
Pada pengamatan hari kedua lesi klinis pasien mengalami perbaikan, terjadi pengurangan luas lesi
dari BSA 14 % menjadi 7%, dengan skuama putih kekuningan pada trunkus dan daerah kepala berkurang
walaupun masih ada di daerah alis,kulit kepala, punggung, leher, dan lipat paha. Pada hari perawatan hari
ke 10, kondisi umum pasien mengalami perbaikan, namun lesi pasien menjadi lebih eritematous di lipatan
kulit dengan BSA 17%. Tatalaksana suportif dan antibiotik dihentikan, rencana transfusi darah, dan
koreksi kalium, pada lesi eritematous diberikan salep hidrokortison, lesi erosi diberikan kompres NaCl
0,9% dan krim asam fusidat per 12 jam. Biopsi kulit memberikan kesan dermatitis spongiosis pada
trunkus posterior sinistra (Gambar 2). Tatalaksana salep hidrokortison di hentikan pasien diberikan krim
AIAFp tiap 8 jam dan krim ketokonazol pada lesi eritematous, dan sirup amoksisilin 60 mg tiap 8 jam.
Pada perawatan hari ke 20 lesi merah masih ada namun sudah lebih kering dan membaik, pasien
direncanakan rawat jalan dengan tatalaksana oleum cocos tiap 12 jam seluruh tubuh, krim AIAFp tiap 8
jam pada lesi eritematous oles tipis, ASI on demand 2-3 jam, cetirizine drop 2.5 mg tiap 24 jam, vitamin
B kompleks 1 tablet tiap 24 jam, vitamin C 1 tablet tiap 24 jam. Pasien kontrol ke poli perawatan hari ke
23, ruam merah timbul kembali, demam, muntah, serta diare, mendapatkan tambahan sirup zink 10 mg/24
jam dan sirup parasetamol 60 mg/8 jam. Pada kontrol ke 2, perawatan hari ke 30 kondisi kulit pasien
membaik (Gambar 3).

b c

d e
Gambar 1. Gambaran klinis pasien. (a-b) Regio skalp et fasialis: Patch eritematous ditutupi skuama
sedang sampai tebal, kekuningan, berminyak sulit dilepaskan. (c-e) Regio trunkus anterior et posterior,
ekstremitas superior et inferior: Patch eritematous ditutupi skuama kekuningan, berminyak, sedang,
selapis, mudah dilepaskan.

Gambar 2. Gambar histopatologik biopsi kulit: epidermis dilapisi epitel skuamosa kompleks berkeratin
dengan parakaretosis ↑ dan exocitosis sel-sel radang neutrofil ↑ pada epidermis dan spongiosis ringan ↑.
Dermis berupa jaringan ikat fibrokolagen edematik bersebuk ringan sel-sel radang limfosit yang
mengelilingi perivaskular ↑ pada bagian superfisial dermis. Dijumpai pula adneksa kulit berupa kelenjar
sebasea.
c d

a b e
Gambar 3. Gambar pasien perawatan hari ke 30, lesi membaik (a-e) Regio skalp, trunkus anterior et
posterior, ektremitas bilateral: Patch eritematous, multipel lentikular numular, diskret.

Diskusi
Lesi DSI dapat timbul di seluruh tubuh, bukan suatu keganasan dan sembuh sendiri. 2 Dermatitis
seboroik dapat terjadi pada semua usia, paling sering pada usia 3 bulan (70%), DSI dikaitkan dengan
ukuran dan aktivitas kelenjar sebasea pada bayi, predominan pada laki-laki.5,13
Pasien bayi laki-laki usia 4,5 bulan dengan keluhan lesi kulit ruam kemerahan disertai sisik
berminyak pada kepala, wajah meluas ke badan dan anggota gerak, dimana kondisi ini berawal saat bayi
berusia 40 hari hilang timbul dan mulai menetap sejak usia 2 bulan. Cheong dkk dan dan Wakelin 2016
menyatakan kelainan kulit DSI dimulai pada usia sekitar minggu ke-2 kelahiran dan menetap selama
beberapa minggu sampai beberapa bulan dengan puncaknya pada usia 3 bulan, serta menghilang pada
usia 8-12 bulan dan merupakan inflamasi kronik, meliputi wajah dan daerah diaper.4,7 Lesi pasien terdapat
di kulit kepala, alis, bulu mata, telinga, dada, leher, lipatan paha, dan lipat bokong. Suh dan James dkk
menjelaskan predileksi DSI pada kulit kepala, alis, bulu mata, lipatan nasolabial, bibir, telinga, dada,
leher, lipatan paha, dan lipat bokong, dengan atau tanpa disertai rasa gatal.1,13 Penyebab dermatitis
seboroik belum diketahui pasti, umumnya dipengaruhi Malassezia furfur (dahulu dikenal pityrosporum
ovale), abnormalitas imun dan pengaruh kelenjar androgen pada peningkatan jumlah dan aktivitas
kelenjar sebum.13,14
Pada pengamatan hari kedua lesi klinis pasien mengalami perbaikan, terjadi pengurangan luas lesi
dari BSA 14 % menjadi 7%, dengan skuama putih kekuningan pada trunkus dan daerah kepala berkurang
walaupun masih ada di daerah alis,kulit kepala, punggung, leher, dan lipat paha. Pada hari perawatan hari
ke 10, kondisi umum pasien mengalami perbaikan, tatalaksana suportif dan antibiotik dihentikan, rencana
transfusi darah, dan koreksi kalium. Gambaran histopatologi pasien berupa dermatitis spongiotik pada
trunkus posterior sinistra, dijumpai pada dermatitis seboroik. Diagnosis pasien berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan penunjang sudah mengarah pada DSI.
Tatalaksana DSI pada daerah skalp berdasarkan buku panduan praktik klinik perdoski, berupa
antijamur topikal dan emollient atau AIAFp (non steroid anti-inflammatory agent with antifungal
properties). Antijamur topikal berupa sampo ketokonazol 2% 2 kali/minggu selama 4 minggu, sedangkan
emolien berupa white petrolatum ointment digunakan sehari-hari. Anti inflamasi non steroid memiliki
sifat anti jamur (AIAFp) terdiri dari krim piroctone olamine / alglycera / bisabolol diberikan setiap 12
jam. Tatalaksana pada daerah non skalp dengan anti jamur dan kortikosteroid topikal. Antijamur topikal
dapat diberikan krim ketokonazol 2% 1 kali sehari selama 7 hari dan kortikosteroid topikal dapat
diberikan krim hidrokortison 1% 1 kali sehari selama 7 hari.15 Pasien mendapatkan pengobatan topikal
oleum cocos 1/3 bagian tubuh tiap 12 jam secara bergantian, krim ketokonazole 2% tiap 8 jam dan salep
hidrokortison. Hidrokortison berperan sebagai antiinflamasi sehingga menurunkan hiperproliferasi
stratum korneum. Fungsi antiinflamasi ini juga membantu memperbaiki proses diferensiasi korneosit
sehingga fungsi barrier kulit pada stratum korneum meningkat dan mengurangi kolonisasi M. furfur ke
kulit.16 Penggunaan hidrokortison atau steroid jangka panjang dapat memberikan beberapa efek samping
pada kulit seperti atropi, telangiektasis, hipertrikosis dan dermatitis perioral.16
Pada perawatan hari ke 16 diberikan tatalaksana topikal AIAFp untuk mengurangi efek steroid
topikal. AIAFp mengandung bisabolol 1,2%, piroctone olamine 0,5%, alglycera 1% dan telmesteine
0,01% berperan sebagai antiinflamasi, antifungal, antipruritus, serta dapat memperbaiki fungsi sawar
kulit.16 Manfaat klinis krim anti inflamasi non steroid yang memiliki sifat anti jamur terbukti dapat
mengurangi sisik secara signifikan dibandingkan plasebo.3 Perbaikan klinis lesi AIAFp sama dengan
hidrokortison, namun jika diberikan jangka panjang AIAFp lebih baik dan tidak membuat efek samping
dikulit seperti hidrokortison.16 Studi klinis Micali 2015 pada DS dewasa selama 4 minggu, secara buta
ganda, dengan plasebo sebagai kontrol, randomisasi 60 sampel untuk pruritus, secara signifikan
didapatkan hasil baik sebesar 68% dibanding plasebo sebesar 11%, tanpa efek samping, sehingga obat ini
dapat dipakai untuk jangka panjang.16 Hasil penelitian Inda dkk 2018 menunjukan topical AIAFp
memberikan efek anti inflamasi sebanding hidrokortison namun efek samping minimal dibandingkan
hidrokortison.17 Penelitian Elmer dkk 2013, membandingkan efisiensi penggunaan krim non steroid untuk
tatalaksana Cradel cap pada infant diatas usia 30 hari dengan subjek penelitian 42 infant, 27 infant
dengan krim non steroid dan 15 infant dengan placebo. Hasil penelitian menunjukan bahwa krim non
seroid merupakan tatalaksana pilihan pada DSI, efektif menurunkan sisik, kemerahan dan tanda DSI.19
Diagnosis kwashiorkor ditegakan dari bagian gizi ilmu kesehatan anak berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan status gizi berdasarkan status gizi sekarang dan riwayat gizi terdahulu dari berat
badan, tinggi badan dan lingkar lengan serta pemeriksaan penunjang menyatakan pasien mengalami
gangguan gizi kwashiorkor disertai anemia, ketidakseimbangan elektrolit dan penyakit lain, sehingga
mempersulit perbaikan lesi pasien. Perbaikan gizi klinis didapat setelah tatalaksana berdasarkan fase
stabilisasi dan fase transisi saat perawatan. Perbaikan gizi makronutrien harus disertai perbaikan
mikronutrien seperti mineral tubuh, salah satunya zink. Peranan zink dalam penyembuhan lesi, melalui
mekanisme regulasi replikasi sel, aktivitas imun, dan perbaikan luka.20
Zink merupakan anti jamur fungistatik yang bekerja dengan meningkatkan kadar tembaga dalam
sel jamur dan merusak ikatan protein besi sulfur sehingga mengganggu metabolisme jamur. 18 Zink
berperan dalam proses perkembangan, zink mempengaruhi regulasi protein, lipid, dan metabolisme asam
nukleat, bertindak sebagai kofaktor dalam metaloenzim dan faktor transkripsi gen, melalui zinc-finger
motif, mengatur replikasi sel, aktivitas kekebalan tubuh, dan perbaikan luka. Zink memiliki efek
antiinflamasi dengan mengaktivasi imun dengan mempertahankan fungsi makrofag, neutrofil dan
merangsang sel Natural Killer serta aktivitas komplemen. Zink dengan menghambat interleukin 6, TNF-
α, nitric oxide, dan integrin serta ekspresi toll like reseptor dari keratinosit.20 Dermatitis seboroik infantil
dapat sembuh sendiri seiring bertambahnya usia. Pemberian krim AIAFp dan Zink pada pasien
memberikan respons yang baik.

Simpulan
Telah dilaporkan satu kasus DSI pada bayi laki-laki usia 4,5 bulan dengan gangguan nutrisi, diagnosis
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorik penunjang serta
pemeriksaan histopatologi. Pasien ditatalaksana sesuai panduan klinis dan krim AIAFp. dapat
dipertimbangkan sebagai alternatif pemberian tatalaksana krim steroid pada DSI. Perbaikan klinis didapat
dengan kerjasama perbaikan gizi dari bagian ilmu kesehatan anak. Krim AIAFp dapat dipertimbangkan
sebagai alternatif pemberian tatalaksana krim steroid pada DSI. Krim AIAFp dapat dipertimbangkan
sebagai alternatif pemberian tatalaksana krim steroid pada DSI.
Daftar Pustaka
1. Suh DH. Seborrheic Dermatitis. In: Sewon K, Masayuki A, Anna l B, Enk AH, David J M, Amy J
M, et al., editors. Fitzpatrick’s Dermatology. 9th ed. New York: McGraw-Hill Education; 2019. p.
428–37.
2. Victoire A, Magin P, Coughlan J, Ml VD, Victoire A, Magin P, et al. Interventions for infantile
seborrhoeic dermatitis ( including cradle cap ). Cochrane Database Syst Rev Interv. 2019;(3).
3. Perdoski. Pedoman nasional pelayanan kedokteran: Tatalaksana dermatitis seboroik. Widaty S,
Bramono K, Pusponegoro EH, Sri A, Yosi A, editors. Jakarta; 2018.
4. Wakelin S. Seborrhoeic Dermatitis. In: Griffiths CEM, Barker J, Bleiker T, Chalmers R, editors.
rook text book of dermatology. New Delhi: Designs and Patents Act 1988.; 2016. p. 1257–67.
5. Alexopoulos A, Kakourou T, Orfanou I, Xaidara A, Chrousos G. Retrospective Analysis of the
Relationship Between Infantile Seborrheic Dermatitis and Atopic Dermatitis. Pediatr Dermatol.
2014;31(2):125–30.
6. Cheong WK, Yeung CK, Torsekar RG, Suh DH, Ungpakorn R, Widaty S, et al. Treatment of
Seborrhoeic Dermatitis in Asia : A Consensus Guide. 2016;187–96.
7. Dermatitis S. HHS Public Access. J Clin Investig Dermatol. 2016;3(2).
8. Reider N, Fritsch PO. Other Eczematous Eruptions. In: Bolognia JL, Schaffer J V, Cerroni L,
Callen JP, editors. Dermatology. 4th ed. Philadelphia: Elsevier; 2018. p. 226–41.
9. WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. world Health Organization; 2009.
10. Heilskov S, Rytter MJH, Vestergaard C, Briend A, Babirekere E, Deleuran MS. Dermatosis in
children with oedematous malnutrition ( Kwashiorkor ): a review of the literature. JEADV.
2014;995–1001.
11. Kemenkes. Pencegahan dan Tatalaksana Gizi Buruk pada Balita. Izwardy D, Prawitasari T,
editors. Jakarta; 2019.
12. James WD, Berger TG, Elteson drik m. Seborrheic Dermatitis, Psoriasis, Recalcitrant
Palmoplantar Eruptions, Pustular Dermatitis, and Erythroderma. In: James WD, Berger TG,
Elteson drik m., editors. Andrews’s diseases of the skin. Philadelphia: Elsevier; 2016. p. 185–6.
14. Alterations G. Eczematous Eruptions in Childhood. In: Huwirzt clinical pediatric dermatology. p.
37–70.
13. James WD, Berger TG, Elteson DM. Seborrheic Dermatitis, Psoriasis, Recalcitrant Palmoplantar
Eruptions, Pustular Dermatitis, and Erythroderma. In: James WD, Berger TG, Elteson drik m.,
editors. Andrews’s diseases of the skin. Philadelphia: Elsevier; 2016. p. 185–6.
15. Perdoski. Dermatitis Seboroik. In: Widaty S, Soebono H, Nilasari H, Listiawan MY, Siswati AS,
editors. Panduan Praktik Klinik. Jakarta; 2017. p. 15–22.
16. Clark GW, Pope SM, Jaboori KA, Army M. Diagnosis and Treatment of Seborrheic Dermatitis.
2015;
17. Aryani IA, Yahya YF, Roiana N, Maradong R. Efficacy of SEBCLAIR Cream for Moderate
Seborrhoeic Dermatitis on The Face as An Adjuvant Therapy ( Randomised Clinical Trial ,
Double Blind ). Biosci Med. 2018;2(2):54–60.
18. Micali G, Oglio F, Tedeschi A, Fusto C, Lacarrubba F. An anti inflammation/antifungal, non
corticosteroid combination cream for the treatment of mild/moderate seborrheic dermatitis of the
face: a pilot open-label trial utilizing clinical and erythema directed digital photography
evaluation. J Am Acad Dermatol poster. 2015;1665.
19. David E, Tanuos H, Sullivan T, Yan A, Kircik L. A double blind, placebo controlled pilot study to
estimate the efficacy and tolarability of a nonsteroidal cream for treatment of cradle cap
(seborrheic dermatitis). Journal of drugs in dermatology. 2013; 448-52.
20. Karabay E, Cerman AA. Serum zinc levels in seborrheic dermatitis : a case-control study. Turkish
J Med Sci. 2019;1503–8.

Anda mungkin juga menyukai