Anda di halaman 1dari 30

REFERAT

DIAGNOSIS PENYAKIT KULIT PADA NEONATUS

Disusun oleh :

Jimmy Salomo Nugraha Tobing


112019012

Dokter Pembimbing :

dr. Melanie R.Mantu Sp.A(K),Mkes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

RSUD TARAKAN JAKARTA PUSAT

PERIODE 23 Agustus 2021 – 30 Oktober 2021


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kulit neonatus memiliki perbedaan karakteristik dengan dewasa.Setelah lahir, kulit
neonatus mengalami proses perubahan dalam adaptasi terhadap lingkungan di luar kandungan.
Sebagai contoh, deskuamasi dari lapisan atas stratum korneum terjadi secara normal pada
seluruh bayi dan dipercaya sebagai proses adaptasi normal. Kulit bayi pun mudah mengalami
trauma karena dermoepidermal junction belum berkembang sempurna.1
Kondisi kulit bayi yang baru lahir cenderung berubah dalam 30 hari dianggap masa
transien. Kondisi ini sangat umum dan hampir selalu ada pada bayi baru lahir .Masalah praktis
yang ditimbulkan oleh erupsi kulit pada bayi baru lahir berhubungan dengan mengesampingkan
proses infeksi.Muncul lesi kulit yang cenderung umum pada bayi yang baru lahir dianggap
fisiologis.1
Pada bayi baru lahir (newborn) terdapat kelainan kulit yang bersifat sementara sehingga
perlu dibedakan dengan keadaan yang serius atau permanen. Terkadang kelainan sementara ini
akan membuat orang tua bayi menjadi khawatir, sehingga diperlukan pengetahuan mengenai
kelainan-kelainan kulit yang dapat terjadi pada bayi baru lahir. Jika kelainan tersebut
merupakan hal yang serius atau permanen, maka perlu diberikan tatalaksana yang sesuai.2,3
Pada penelitian di sebuah rumah sakit pendidikan di Turki, ditemukan bahwa 90,7%
neonatus memiliki satu atau lebih lesi kulit.3 Kebanyakan lesi kulit bersifat sementara namun
angka kejadian lesi patologis pun tidak jarang, khususnya jika kondisi kebersihan tidak terlalu
baik.3 Diagnosis akurat penyakit kulit pada bayi merupakan proses yang memerlukan
pengamatan, evaluasi dan pengetahuan terminologi serta morfologi kulit. Lesi kulit apapun
selama periode ini harus secara hati-hati diperiksa dan dibedakan dari kondisi kulit yang lebih
serius untuk menghindari terapi yang tidak perlu dan meyakinkan orang tua tentang prognosis
yang baik dari manifestasi kulit yang dialami. Kalaupun perlu diterapi maka dapat diterapi
dengan tepat sebab dalam penatalaksanaan pada neonatus, dosis terapeutik dan sediaannya
seringkali berbeda dengan dewasa. Obat-obatan yang digunakan pun berbasis per kilogram.3

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI PERIODE NEONATAL


Periode neonatal didefinisikan sebagai 28 hari pertama kehidupan, di mana pada periode ini
terjadi adaptasi cepat. Kulit memiliki peran penting dalam menjalankan fungsinya sebagai
sawar dan termoregulator.1

2.2 KARAKTERISTIK KULIT NEONATUS


• Di dalam kandungan, kulit janin dilindungi oleh vernix caseosa dan dikelilingi cairan
amnion. Verniks Caseosa berfungsi sebagai penghalang mekanis terhadap bakteri dan
maserasi dalam cairan ketuban.Selama trimester terakhir kehamilan,janin ditutupi oleh
selaput pelindung disebut vernix caseosa.Setelah lahir, kulit akan terpapar dan beradaptasi
dengan udara lingkungan yang kering.4 Vernix caseosa terdiri dari air, protein, dan lemak
yang melindungi kulit di dalam kandungan dari cairan amnion. Penyebaran vernix caseosa
selama gestasi bersamaan dengan maturasi sawar transepidermal. Kulit bayi kurang bulan
keratinisasi buruk dan lemak subkutan kurang. Kehilangan air transepidermal meningkat
jika dibandingkan dengan bayi cukup bulan. Bayi kurang bulan tidak dapat berkeringat
sampai usia beberapa minggu, sedangkan bayi cukup bulan telah dapat berkeringat sejak
lahir. Pada bayi post matur, verniks kaseosa berwarna kuning disertai pewarnaan empedu
yang berasal dari mekonium dan gangguan hemolitik Infeksi intrauterin ditandai kolonisasi
bakteri pada verniks kaseosa dengan bau yang khas (tanda awal sepsis neonatal).2

Gambar 2.0.Verniks Caseosa.


2.3 KELAINAN KULIT PADA NEONATUS
1. Hiperplasia Sebacea
Kelenjar sebasea dapat ditemukan di seluruh kulit, kecuali telapak tangan dan
kaki.Kelenjar sebasea terdapat pada lapisan epitel kulit. Kelenjar sebasea terbesar dan

3
terbanyak pada daerah wajah, kulit kepala,dan trunkus atas. Kelenjar sebasea dapat juga
ditemukan pada mukosa bukal, glans penis atau klitoris, areola, dan alis. Pada kulit kepala,
dahi, pipi dan dagu terdapat kelenjar sebasea sekitar 400 – 900 kelenjar/cm 2 sedangkan di
area lain hanya 100 kelenjar/cm.2,3
Kelenjar sebasea adalah kelenjar holokrin dimana sekresinya terbentuk dari
disintegrasi lengkap dari sel kelenjar. Kelenjar holokrin ini terdiri dari asinar yang
berhubungan dengan saluran ekskresi. Siklus hidup sebosit, sel yang membentuk kelenjar
sebasea, dimulai pada perifer kelenjar dalam lapisan sel basal mitotik. Seiring dengan
diferensiasi dan maturisasi sebosit, terjadi peningkatan lipid dan migrasi ke saluran ekskresi
sentral. Siklus hidup sebosit matur berakhir saat mencapai saluran sentral dan melepaskan
kandungan lipid sebagai sebum.2,3
Kelenjar sebasea sangat sensitif terhadap androgen, walaupun jumlah kelenjar
sebasea selalu sama selama hidup, aktivitas dan ukuran bervariasi tergantung dengan usia
dan tingkat sirkulasi hormon. Kelenjar sebasea, seperti kelenjar keringat, berhubungan
dengan metabolisme androgen di kulit.1
Enzim yang ditemukan pada sebosit yang berhubungan dengan metabolisme
androgen antara lain adalah 5-alfa-reduktase tipe I, 3-beta-hidroksisteroid dehidrogenase,
dan 17-beta-hidroksisteroid dehidrogenasi tipe II. Enzim tersebut memetabolisme androgen
lemah seperti dehidroepiandrosteron-sulfat menjadi androgen yang lebih poten misalnya
dihidrotestoterone. Androgen poten ini akan berikatan dengan reseptor pada sebosit
menyebabkan peningkatan ukuran dan tingkat metabolisme pada kelenjar sebasea.
Penelitian telah menunjukkan bahwa aktifitas 5-alfa-reduktase lebih tinggi pada kulit kepala
dan kulit wajah daripada daerah lain, sehingga testosteron dan dihidrotestosteron
menstimulasi lebih banyak proliferasi kelenjar sebasea pada area ini. Estrogen dapat
menurunkan sekresi kelenjar sebasea.2
Pada masa perinatal, kelenjar sebasea membesar dan menghasilkan vernix caseosa
yang seringkali terlihat pada bayi baru lahir. Kelenjar sebasea mengecil saat bayi dan masa
kanak – kanak karena tidak menerima hormon dari ibu lagi,. Saat pubertas, kelenjar sebasea
membesar dan aktivitasnya meningkat akibat peningkatan produksi androgen. Kelenjar
sebasea mencapai fungsi maksimum pada dekade ketiga kehidupan. Seiring bertambahnya
umur, hormon androgen berkurang, dan pergantian sel sebosit mulai melambat.2
Penurunan pergantian sel menyebabkan akumulasi sebosit primitif dalam kelenjar sebasea,
4
sehingga terjadi pembesaran kelenjar sebasea, atau hiperplasia sebasea. Pembesaran
kelenjar terjadi terutama pada area yang paling banyak kelenjar sebasea seperti wajah.
Walaupun kelenjar sebasea dapat membesar hingga 10 kali ukuran normal, sekresi sebum
sangat sedikit. Berlawanan dengan sebosit normal memiliki banyak lipid, hiperplasia
kelenjar sebasea yang hiperplastik mengandung sedikit sebosit yang tidak berdiferensiasi
dengan inti sel yang membesar dan hanya sedikit lemak sitoplasmik.1,2
Hiperplasia sebasea juga berhubungan dengan terapi imunosupresi jangka panjang
cyclosporine A setelah transplantasi. Walaupun mekanisme pada reaksi ini belum begitu
dimengerti, efek samping ini spesifik hanya terjadi pada penggunaan cysclosporine A yang
sangat lipofilik. Imunosupresan tipe lain tidak berhubungan dengan peningkatan
prevalensi hiperplasia sebasea.
Setidaknya sekitar 50% bayi baru lahir normal mengalaminya.2 Makula atau papula kecil,
ukuran < 1 mm, warna putih-kuning sering ditemukan pada dahi, hidung, bibir atas, dan
pipi bayi cukup bulan mewakili hiperplasia glandula sebacea. Papul-papul kecil akan
semakin mengecil dan hilang seluruhnya dalam 1 minggu kehidupan.Hal ini tidak
berhubungan dengan jenis kelamin, ras, dan usia kehamilan.3
Tidak ada pengobatan yang diperlukan untuk hiperplasia sebaceous, walaupun
pasien mungkin meminta pengangkatan lesi untuk alasan kosmetik atau karena
kekhawatiran tentang keganasan.
a. Elektrokauterisasi: Jarum dengan muatan listrik memanas dan menguapkan benjolan dan
membentuk keropeng yang akhirnya jatuh. Hal ini juga menyebabkan beberapa perubahan
warna pada daerah yang terkena.
b. Eksisi: eksisi dan pengangkatannya yang lengkap karena termasuk papula jinak
c. Terapi laser menggunakan laser untuk menghaluskan lapisan atas kulit Anda dan
menghilangkan sebum yang terperangkap.
d. Cryotherapy: dengan cara membekukan benjolan, menyebabkan mereka dengan mudah
jatuh dari kulit Anda. Pilihan ini juga bisa menyebabkan beberapa perubahan warna.
e. Isotretinoin: Penggunaan isotretinoin dalam mengobati hiperplasia sebaceous dibenarkan
oleh keefektifannya dalam mengurangi ukuran kelenjar sebaceous, selain tindakannya
dalam mengurangi proliferasi sebocytes basal, menekan produksi sebum. Isotretinoin oral
telah terbukti efektif dalam membersihkan beberapa lesi setelah 2-6 minggu pengobatan,
namun lesi sering kambuh setelah penghentian terapi. Dosis isotretinoin oral berkisar
5
antara 10-40 mg setiap hari atau 0,05% isotretinoin gel jarang diindikasikan sebagai
pengobatan penekan untuk menstimulasi hiperplasia sebasea luas. Hiperplasia sebasea
harus didiagnosis dengan tepat, dan cara perawatan yang tepat diperlukan untuk
menghindari kerusakan pada kosmetik..
f. Obat antiandrogen: Tingkat testosteron yang lebih tinggi tampaknya merupakan
kemungkinan penyebab hiperplasia sebaceous. Obat resep antiandrogen dapat menurunkan
testosteron dan merupakan pengobatan resor terakhir untuk wanita saja.
g. Kompres hangat: Menerapkan kompres hangat atau lap yang direndam dalam air hangat di
benjolan bisa membantu membubarkan penumpukan. Sementara ini tidak akan
menyingkirkan hiperplasia sebasea, hal itu dapat membuat benjolan lebih kecil dan kurang
terlihat.2,3

Gambar 2.1 Hiperplasia sebasea pada hidung neonatus usia 1 hari.2


2. Milia
Milia adalah kista epithelial yang berasal dari penyumbatan saluran kelenjar ekrin yang
berisi massa keratin.Milia adalah salah satu jenis kista epidermoid, yang dibatasi
epidermoid dan berisi massa keratin.5 Milia dapat ditemukan pada berbagai populasi dan
umur. Milia primer ditemukan pada bayi baru lahir (50% dari semua bayi lahir) yang
diperkirakan merupakan normal. Milia adalah kista epidermois.Kista berasal dari folikel
sebacea.Milia primer tumbuh di kulit wajah yang menghasilkan folikel rambut vellus. Milia
sekunder terjadi akibat kerusakan pilosebaceus.6 Lesi berupa papul padat, diameter 1-2 mm,
dan berwarna putih mutiara (pearly white) sampai kuning muda. Milia tidak berhubungan
dengan maturitas, lebih sering pada bayi perempuan dari pada laki-laki. Lokasi tersering
pada wajah dan milia juga bisa ditemukan di mukosa (Epstein pearls) dan palatum (Bohn
6
nodules). Papul akan pecah spontan dan mengeluarkan isinya ke permukaan kulit pada usia
beberapa minggu.Jika timbul jaringan parut pada anak yang lebih besar dapat perlahan
dikelupas lalu isinya diekstraksi dengan jarum.6

Gambar 2.2 Milia dan Epstein Pearls.5

Tidak ada terapi topical maupun sistemik


yang efektif untuk milia primer dan sekunder.
Terdapat laporan tentang penggunaan
isotretinoin topical, etretinate oral dan minocycline
dalam menerapi pasien dengan Milia en plaque. Milia dapat dibiarkan begitu saja, tetapi
jika pasien meminta pengangkatan, insisi dengan jarum cutting-edge dan pengeluaran isi
biasanya efektif. Tindakan ini dapat dilakukan tanpa anestesi local. Paper clip dilaporkan
berhasil digunakan untuk mengeluarkan isi kista. Milia en plaque dapat diterapi dengan
efektif dengan elektrodesiccation, laser karbon dioksida, dermabrasi dan cryosurgery.5

3. Eritema Toksikum Neonatorum


Eritema Toksikum Neonatorum merupakan ruam transien pada neonatus sehat yang
ditandai makula eritema kecil dengan / tanpa papula sentral atau pustul. Lesi dengan 1-2
mm (+) eosinofil usia hari ke 2. kondisi idiopatik yang sering terjadi, ditemukan pada
hampir 50-75% bayi cukup bulan dan jarang terjadi pada bayi kurang bulan. Lesi ini
menyebar, sembuh sendiri, dan bersifat jinak. Makula eritematosa tak beraturan
berdiameter 1 sampai 3 cm dengan vesikel atau pustula sentral 1-4 mm, berwarna putih-
kuning, dan keras. Terkadang bercak eritema merupakan satu-satunya manifestasi.
Biasanya muncul pada usia 24 sampai 48 jam kehidupan, namun dapat terlambat sampai
usia 10 hari. Awal terjadinya lesi ini dapat tertunda beberapa hari sampai minggu pada
bayi kurang bulan. Eritema Toksikum Neonatorum adalah lesi jinak dan akan sembuh
secara spontan dalam 2 sampai 3 minggu kehidupan tanpa sisa.6 Lesi dapat jarang atau
7
banyak dan berkelompok pada beberapa tempat atau tersebar luas pada permukaan tubuh.
Telapak tangan dan kaki biasanya tidak terkena lesi ini. Pustula terbentuk di bawah
stratum korneum atau lebih dalam pada epidermis dan mewakili kumpulan eosinofil yang
juga berakumulasi di sekitar bagian atas dari folikel pilosebasea. Eosinofil dapat
ditemukan pada pewarnaan Wright dari isi vesikel atau pustula. Angka kejadian
eosinofilia pada darah perifer hampir mencapai 20%, khususnya pada bayi yang memiliki
banyak lesi ini.6
Penyebab Eritema Toksikum Neonatorum tidak diketahui. Trauma mekanis atau
kelahiran cukup bulan diduga sebagai faktor etiologi. Faktor genetik, lingkungan atau ras
mungkin memiliki peran pada etiologi Eritema Toksikum Neonatorum.6 Lesi pada
Eritema Toksikum Neonatorum dapat menyerupai pioderma, kandidosis, herpes simplex,
Transient Neonatal Pustular Melanosis dan miliaria tapi dapat dibedakan oleh
karakteristik infiltrat eosinofil dan tidak adanya organisme pada pewarnaan. Kultur bakteri
dan jamur dari lesi serta pewarnaan Gram akan membantu untuk membedakan Eritema
Toksikum Neonatorum dengan kelainan kulit yang lainnya. Perjalanan penyakit Eritema
Toksikum Neonatorum dan tidak ada terapi yang dibutuhkan. 6

Gambar 2.3 Eritema Toksikum Neonatorum. Makula eritematosa, beberapa dengan


papulopustula sentral kecil, pada lengan neonatus usia 1 hari.6

4. Transient Neonatal Pustular Melanosis


Transient Neonatal Pustular Melanosis merupakan erupsi pustular idiopatik pada newborn
yang sembuh dengan meninggalkan makula pigmentasi coklat kecil. Lesi ini lebih jarang
dari pada Eritema Toksikum Neonatorum dan lebih sering pada neonatus dengan kulit
8
yang berpigmen gelap daripada kulit putih.7 Lesi ini bersifat sementara, jinak, sembuh
sendiri dengan penyebab yang tidak diketahui. Lesi ini dicirikan oleh tiga jenis lesi, yaitu:
- Pustula-pustula superfisial yang menyebar
- Pustula-pustula yang pecah dengan skuama kolaret, dengan makula hiperpigmentasi
di tengah
- Makula hiperpigmentasi
Pustula muncul pada fase awal, dan makula pada fase lanjut. Makula berpigmen juga
seringkali tampak saat lahir atau berkembang pada tempat pustula atau vesikel yang pecah
dalam hitungan jam atau selama hari pertama kehidupan.7 Makula hiperpigmentasi dapat
bertahan sampai 3 bulan. Karakteristik makula hanya berupa peningkatan melanisasi dari
sel epidermal.Fase pustula jarang berlangsung lebih dari 2-3 hari. Fase aktif menunjukkan
pustula intra atau subkorneal yang berisi leukosit polimorfonuklear, debris, dan kadang
eosinofil.7

Gambar 2.4 (A) Bayi baru lahir dengan pustula kongenital berdinding tipis yang mudah
ruptur. (B) Papul ,Makula hiperpigmentasi yang muncul.2

Lesi ini dapat ditemukan dalam distribusi yang menyebar. Lesi dapat terjadi di
mana-mana dengan tempat predileksi adalah leher anterior, dahi, dan punggung bawah
walaupun kulit kepala, ekstrimitas, telapak tangan dan kaki pun bisa terkena.7,8
Apusan dari isi vesikel atau pustula akan menunjukkan predominasi neutrofil
dengan sedikit eosinofil pada sediaan pewarnaan Wright. Kultur dan pewarnaan dapat
digunakan untuk membedakan pustula dari Eritema Toksikum Neonatorum dan pioderma
karena mereka tidak mengandung bakteri atau kumpulan eosinofil. Pewarnaan gram dari

9
pustula Eritema Toksikum Neonatorum atau Transient Neonatal Pustular Melanosis tidak
akan menunjukkan organisme. Pewarnaan Wright biasanya menunjukkan predominasi
neutrofil.Transient Neonatal Pustular Melanosis merupakan kondisi yang tidak berbahaya
yang tidak memerlukan pengobatan. Pustula biasanya menghilang pada usia 5 hari,
meninggalkan makula pigmentasi residual yang sembuh selama 3 minggu sampai 3
bulan.8

5. Akropustulosis Infantil
Secara umum, lesi ini terjadi pada usia 2-10 bulan. Lesi awalnya merupakan papul
eritematosa yang tersebar kemudian menjadi vesikulopustula dalam 24 jam dan menjadi
krusta sebelum akhirnya menyembuh. Predisposisi lesi ini adalah pada laki-laki kulit
hitam namun semua ras dapat terkena, begitu juga dengan jenis kelamin pria dan wanita.
Penyebab lesi ini sampai sekarang masih belum diketahui. Gejala yang sering timbul
adalah gatal, dan bayi menjadi rewel. Predileksi lesi ini adalah pada telapak tangan dan
telapak kaki. Tiap episode berlangsung 7-14 hari. Setelah 2-4 minggu remisi, lesi baru
muncul. Pola siklik ini berlangsung sekitar 2 tahun. Resolusi permanen biasanya ditandai
dengan interval remisi yang lebih panjang antara periode aktivitas.
Pewarnaan gram dari isi lesi menunjukkan neutrofil dan kadang predominan eosinofil.
Secara histologis, ditemukan pustula neutrofilik, subkorneal, berbatas tegas dengan atau
tanpa eosinofil.9
Diagnosa banding pada bayi cukup bulan termasuk Transient neonatal pustular
melanosis, erythema toxicum, milia, cutaneous candidosis, dan staphylococcal pustulosis.
Pada bayi yang lebih besar dan balita, pertimbangan diagnostik tambahan termasuk
skabies, dan riwayat infeksi skabies sebelumnya, dermatitis dishidrotik, psoriasis pustular,
dermatosis pustular subkorneal, dan hand-foot-and-mouth disease (HFMD).
Terapi diarahkan untuk mengurangi ketidaknyamanan pada bayi. Sediaan kortikosteroid
topikal atau antihistamin oral menurunkan keparahan rasa gatal dan dengan demikian
mengurangi rewel pada bayi. Dapsone 2mg/kg/24 jam per oral dua kali sehari efektif tapi
secara potensial memiliki efek samping serius seperti anemia hemolitik dan
methemoglobinemia dan harus digunakan dengan hati-hati.9

10
Gambar 2.5 Akropustulaosis pada lateral dan plantar kaki. Kombinasi vesikel akut intak dan
hiperpigmentasi kecokelatan pada vesikel yang tua.9

6. Eosinophilic Pustular Folliculitis


Lesi ini biasanya
ditandai dengan kejadian
berulang dari
papulopustula yang gatal,
folikular pada wajah,
tubuh, dan ekstrimitas.
Angka kejadian pada bayi mencakup kurang dari 10% dibandingkan dengan seluruh kasus
dengan lesi lebih menonjol pada kulit kepala, selain itu lesi ini dapat terjadi juga pada
batang tubuh dan ekstrimitas dan jarang pada telapak tangan dan kaki.8,9
Faktor etiologi Eosinophilic Pustular Folliculitis termasuk metabolit siklooksigenase
dengan zat kemotaktik; respon terhadap saprofit atau dermatofit kulit, memicu infiltrasi
eosinofilik dan destruksi folikel; atau autoantibodi terhadap substansi interselular pada
epidermis bawah atau sitoplasma pada sel basal epidermis dan bagian luar folikel rambut.8
Patogenesis Eosinophilic Pustular Folliculitis berhubungan dengan aktivitas kelenjar
sebacea karena lesi muncul paling sering pada folikel rambut daerah tubuh yang memiliki
kelenjar sebacea yang banyak. Kebanyakan teori patogenesis Eosinophilic Pustular
Folliculitis memicu mekanisme imunologis pada awal lesi.8
Lima puluh persen pasien memiliki eosinofilia perifer sampai 5%, dan sekitar sepertiga
(32%) memiliki leukositosis (> 10.000/mm3).8
Ada beberapa pilihan pengobatan untuk Eosinophilic Pustular Folliculitis.
Kortikosteroid topikal cenderung menjadi pilihan pertama untuk ketiga jenis Eosinophilic
Pustular Folliculitis dan telah menunjukkan tingkat respons yang baik pada anak-anak
dan orang dewasa. Pemanfaatan dan kemanjuran terapi lain tampaknya tergantung pada
varian Eosinophilic Pustular Folliculitis.9 Fototerapi UVB adalah pengobatan pilihan
untuk pasien dengan Eosinophilic Pustular Folliculitis yang sulit diobati terkait dengan
HIV. Indometasin oral adalah obat yang efektif untuk pengobatan Eosinophilic Pustular
Folliculitis klasik dan memiliki profil efek samping ringan. Ini adalah lini pertama
pengobatan oral untuk Eosinophilic Pustular Folliculitis klasik pada orang dewasa yang
11
tidak terinfeksi HIV. Dosis efektif indometasin berkisar antara 50-75 mg/hari.Obat
tersebut, suatu metabolit asam arakinodik siklooksigenase yang poten, merupakan faktor
kemotaksis untuk eosinofil, neutrofil, lipid, dan prostaglandin. Ini menurunkan produksi
lokal dari faktor kemotaktik turunan asam arakinodik ini, yang dianggap berperan dalam
patogenesis Eosinophilic Pustular Folliculitis.Remisi Eosinophilic Pustular Folliculitis
dikaitkan dengan peningkatan konsentrasi serum interferon (IFN-γ) tanpa perubahan
esensial dari kadar IL-4 serum. Indometasin dapat mendorong remisi Eosinophilic
Pustular Folliculitis dengan mengubah produksi sitokin. isotretinoin (1 mg/kg/hari)
dilaporkan berhasil mengobati.10

Gambar 2.6 Eosinophilic Pustulaar Folliculitis pada bayi.10

7. Salmon Patch (Nevus Simplex)


Lesi ini merupakan makula
vaskular, berwarna merah muda pucat dan
kecil. Paling sering terjadi pada glabela,
kelopak mata, bibir atas, dan daerah leher
pada 30-40% dari bayi baru lahir yang normal. Lesi ini mewakili pelebaran vaskular yang
terlokalisasi, menetap untuk beberapa bulan dan dapat menjadi lebih terlihat saat
menangis atau perubahan suhu lingkungan. Kebanyakan lesi pada wajah akan menghilang
seluruhnya, dalam beberapa bulan sampai tahun tapi lesi pada leher posterior dan daerah
oksipital biasanya menetap sepanjang hidup namun tidak memiliki dampak klinis apapun
atau dengan kata lain tidak perlu diterapi. Lesi pada daerah wajah harus dibedakan dengan
port-wine stain yang merupakan lesi permanen. Salmon patch biasanya simetris, dengan
lesi pada kedua kelopak mata atau kedua sisi batang tubuh. Port-wine stain biasanya lebih
besar dan unilateral, dan biasanya berakhir sepanjang garis tengah.

12
Gambar 2.7 Salmon patches.5
8. Mongolian Spots
Lesi ini biasanya terlihat saat lahir, walaupun bisa juga muncul beberapa minggu
setelah lahir. Lesi ini berupa belang berwarna biru pada regio lumbosakral yang disebakan
oleh melanosit yang terperangkap selama migrasi ke dermis. Walapun dapat terjadi pada
seluruh ras, tapi lebih sering pada anak-anak Asia atau kulit hitam.
Lesi makular biru atau keabuan memiliki batas yang bervariasi; terjadi paling sering
pada daerah presakral tapi dapat juga ditemukan sepanjang paha bagian belakang, kaki,
punggung, dan bahu. Dapat berupa satu lesi atau beberapa dan biasanya melibatkan daerah
yang luas. Lebih dari 80% bayi kulit hitam, Asia, dan India Timur memiliki lesi ini,
insiden pada bayi kulit putih kurang dari 10%. Warna yang unik dari makula ini terjadi
karena lokasi dermal dari melanosit yang mengandung melanin tertahan migrasinya dari
neural crest ke epidermis.
Mongolian spot biasanya hilang selama beberapa tahun pertama kehidupan tapi
terkadang menetap. Penentuan diagnosis dari lesi ini dapat secara klinis ditentukan tanpa
perlu adanya tes penunjang lainnya. Lesi ini bukanlah suatu keganasan. Beberapa lesi
dapat menyebar pada daerah yang tidak biasa serta jarang hilang. Penampilan karakteristik
dan awal terjadinya membedakan lesi ini dari memar karena kekerasan pada anak.

Gambar 2.8 Mongolian Spot.4

13
9. Cutis Marmorata
Cutis marmorata adalah lesi kulit dimana terdapat warna kulit kebiruan akibat dari
adanya pelebaran pembuluh darah kapiler dan venula.1 Hal ini terjadi ketika bayi baru
lahir terpapar dengan suhu udara lingkungan yang rendah. Perubahan vaskular ini
mewakili respon pembuluh darah yang fisiologis dan menghilang dengan bertambahnya
usia, walaupun terkadang ditemukan pada anak yang lebih tua. 8 Lesi ini terutama
mengenai daerah batang tubuh dan ekstrimitas. Keadaan ini dapat menghilang dari
beberapa minggu sampai bulan.1
Cutis marmorata persisten terjadi pada penyakit disautonomia familial, dan sindrom
Cornelia de Lange, Down, dan trisomi 18. Cutis marmorata telangiectatica congenita
secara klinis mirip, tapi lesi lebih banyak, dapat segmental, persisten, dan dapat
berhubungan dengan kehilangan jaringan dermal, atrofi epidermal, dan ulserasi. Kondisi
ini dapat meningkat pada tahun pertama kehidupan, dengan setengah menunjukkan
penurunan tanda pembuluh darah. Bentuk kongenital berhubungan dengan mikrosefali,
mikrognatia, bibir sumbing, gigi distrofi, glaukoma, dan asimetri tengkorak. 8
Penatalaksanaannya adalah dengan menghangatkan neonatus maka akan terjadi perbaikan
warna kulit seperti semula, kecuali pada yang persisten.1

Gambar 2.9 Cutis marmorata9

10. Harlequin Color Change


Lesi ini merupakan kejadian vaskular yang jarang namun dramatis yang terjadi pada
periode neonatus dan paling sering pada berat badan lahir rendah. Lesi kulit ini terjadi
terutama pada bayi belum cukup bulan, sedangkan jarang pada bayi cukup bulan. Lesi ini
mungkin menggambarkan ketidakseimbangan mekanisme pegaturan pembuluh darah
secara otonom.8 Fenomena ini dikaitkan dengan belum matangnya perkembangan bagian
14
hipotalamus yang mengontrol tonus otot polos pembuluh darah perifer, lesi ini biasanya
terjadi pada 2-5 hari pertama dan bertahan 2-3 minggu. Gambaran klinis yang ditemukan
berupa perubahan warna kulit pada saat bayi tersebut berbaring.1 Daerah tempat berbaring
berwarna kemerahan sedangkan sisi sebelahnya berwarna pucat. Perubahan warna
bertahan hanya 30 detik sampai 20 menit dan terkadang terkena hanya sebagian kecil dari
tubuh atau muka. Perubahan posisi bayi dapat mengembalikan warna pada badannya.
Episode berulang dapat terjadi tapi tidak mengindikasikan ketidakseimbangan otonom
permanen.9

Gambar 2.10 Harlequin Color Change.9

11. Hemangioma.
Hemangioma adalah proliferasi dari pembuluh darah yang tidak normal dan dapat
terjadi pada setiap jaringan pembuluh darah. Hemangioma merupakan tumor vaskular
jinak terlazim pada bayi dan anak.10
Penyebab hemangioma sampai saat ini masih belum jelas. Angiogenesis sepertinya
memiliki peranan dalam kelebihan pembuluh darah. Cytokines, seperti Basic
Fibroblast Growth Factor (BFGF) dan Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF),
mempunyai peranan dalam proses angiogenesis. Peningkatan faktor-faktor
pembentukan angiogenesis seperti penurunan kadar angiogenesis inhibitor misalnya
gamma-interferon, tumor necrosis factor–beta, dan transforming growth factor–beta
berperan dalam etiologi terjadinya hemangioma.10
Prevalensi hemangioma infantil ± 1- 3% pada neonatus dan ± 10% pada bayi sampai
dengan umur 1 tahun. Lokasi tersering yaitu pada kepala dan leher (60%), dan faktor
resiko yang telah teridentifikasi, terutama neonatus dengan berat badan lahir di bawah
1500 gram. Rasio kejadian perempuan dibanding laki-laki 3:1.pembuluh darah kulit
15
mulai terbentuk pada hari ke-35 gestasi dan berlanjut sampai beberapa bulan setelah
lahir. Maturasi sistem pembuluh darah terjadi pada bulan ke-4 setelah lahir. Faktor
angiogenik kemungkinan mempunyai peranan penting pada fase proliferasi dan
involusi hemangioma infantile. Pertumbuhan endotel yang cepat pada hemangioma
infantil mempunyai kemiripan dengan proliferasi kapiler pada tumor. Proliferasi
endotel dipengaruhi oleh agen angiogenik. Angiogenik bekerja melalui dua cara, yaitu
secara langsung mempengaruhi mitosis endotel pembuluh darah dan secara tidak
langsung mempengaruhi makrofag, sel mast, dan sel T helper.10

Gambaran Klinis Hemangioma


Hemangioma infantil superfisialis atau kutaneus, merupakan 50-60% dari semua
hemangioma infantil superfisialis akan berwarna seperti buah strawberi pada saat
matur sehingga sering juga disebut strawberry nevus. Lesi berbatas tegas berbentuk
lonjong atau dapat pula berbentuk bulat, konsistensinya lunak, berwarna merah terang,
dan dapat timbul pada berbagai tempat pada tubuh.11

Gambar 2.11. Hemangioma infantil superfisialis atau kutaneus.11

Hemangioma infantil profunda atau subkutaneus, bila lokasinya cukup dalam akan
tampak seperti daging tumbuh yang berwarna. Bila lokasinya lebih ke superfisial maka
akan tampak seperti nodul kebiru-biruan dan terkadang dijumpai telangeaktasis atau
vena yang dilatasi pada kulit yang melingkupinya, termasuk dalam kelompok ini yaitu
hemangioma infantil intramuskuler dan skeletal.11

16
Gambar 2.12 Hemangioma infantil profunda atau subkutaneus.11
Hemangioma infantil campuran yaitu hemangioma infantil superfisial yang memiliki
indurasi di bawahnya. Lesi berupa tumor yang lunak, berwarna merah kebiruan yang
pada perkembangannya dapat memberikan gambaran keratotik dan verukosa. Sebagian
besar ditemukan pada ekstremitas inferior dan biasanya unilateral.11

Gambar 2.13 Hemangioma infantil campuran.11


Hemangioma infantil viseralis, merupakan hemangioma infantil yang letaknya pada
organ dalam seperti hepar, usus, paru ,otak.11

Gambar 2.14 Hemangioma infantil viseralis.11

Klasifikasi menurut Mulliken (1988) membagi hemangioma infantil menjadi 3 tipe, yaitu :

17
1. Hemangioma infantil kapiler merupakan jenis yang paling umum, dengan angka
insidensi 1-1,5% pada bayi. Tipe ini mempunyai penampilan klinis menonjol bulat,
kadang berlobus, dan berwarna merah.12

Gambar 2.15. Hemangioma infantil kapiler .12


2. Hemangioma infantil kavernosa, secara histologis tersusun oleh saluran-saluran
pembuluh darah dermis yang irregular dan lokasinya di profunda. Penampilan klinisnya
biasanya merupakan lesi yang tidak berbatas tegas, dapat berupa makula eritematosa atau
nodus yang berwarna merah sampai ungu. Bila ditekan mengempis dan akan cepat
menggembung kembali apabila dilepas.12

Gambar 2.16. Hemangioma infantil kavernosa12


3. Hemangioma infantil tipe campuran, terdiri dari komponen kapiler dan kavernosa. Jenis
ini lebih sering dijumpai di banding tipe kavernosa.12
Klasifikasi lain hemangioma infantil yaitu berdasarkan tampilan klinisnya, dibagi
menjadi :
1. Hemangioma infantil terlokalisir, merupakan jenis tersering, mempunyai batas yang
tegas, tumbuh dari fokus tunggal, dan tidak dijumpai tipe pertumbuhan linier atau
geometrik.
2. Hemangioma infantil segmental tumbuh menyerupai plak, yang tampak pada teritorial
kulit yang spesifik,dan tumbuh linier atau geometris. Jenis ini lebih sering mengalami
ulserasi, gangguan tumbuh kembang, dan dapat bersamaan dengan hemangioma infantil
viseral, serta mempunyai prognosis yang lebih jelek.
3. Hemangioma infantil indeterminate, untuk hemangioma lain dengan gambaran klinis
yang tidak khas seperti pada kedua kategori diatas.12
18
Gambar 2.17. Klasifikasi hemangioma infantil berdasarkan morfologinya. a. Hemangioma infantil
terlokalisir. b.Hemangioma infantil segmental. c. Hemangioma infantil indeterminate.12

PENATALAKSANAAN
1. Edukasi dan Observasi
Perjalanan alamiah penyakit ini munculnya cepat setelah bayi lahir dan menetap
hingga usia balita, antara usia 5-7 tahun. Hemangioma infantil dengan ukuran yang kecil
sebaiknya dilakukan observasi saja khususnya pada fase proliferasi dan fase involusi.
Setelah sembuh, kulit akan tampak normal atau hanya mengalami kecacatan yang
minimal.13
Orang tua pasien perlu diberikan penjelasan mengenai penyakit dan perjalanan
klinisnya sehingga tidak terjadi kecemasan. Memotivasi orang tua pasien untuk
memeriksakan secara berkala untuk follow-up perkembangan hemangioma infantil perlu
dilakukan. Pemeriksaan yang lebih sering perlu dilakukan apabila lesi besar, mengalami
ulserasi, multipel, atau terletak pada struktur anatomi yang vital.13
2. Terapi Kortikosteroid
Hemangioma infantil yang sensitif akan memperlihatkan respon terapi pada beberapa
hari pemberian kortikosteroid. Jika tidak ada respon yang berupa memudarnya warna,
menjadi lembut, atau berkurangnya pertumbuhan maka terapi harus dihentikan. Jika respon
terapi tampak, maka dosis dan durasi pemberian kortikosteroid dipertahankan sesuai dengan
lokasi dan maturitas hemangioma infantil. Terapi kortikosteroid dapat diberikan dalam
bentuk :
- Kortikosteroid topical, beberapa penelitian melaporkan bahwa golongan
superpotensial efektif untuk pengobatan hemangioma superfisialis dengan ukuran
relatif kecil.11,12

19
- Kortikosteroid injeksi pada lesi. Triamcinolone 10-20 mg/mL dengan dosis maksimal
5 mg/kgBB dapat diberikan pada hemangioma yang meluas dengan cepat dan
menimbulkan komplikasi berupa ulserasi. 11,12
- Kortikosteroid sistemik, merupakan terapi lini pertama untuk hemangioma infantil
yang besar, destruktif, atau mengancam jiwa. Prednison dapat diberikan dengan dosis
2 mg/kgBB/hari pada pagi hari selama 4 – 6 minggu. Selanjutnya dilakukan tapering
dosis selama beberapa bulan.13

Gambar 2.18 Hemangioma infantil yang memberi respon terhadap terapi kortikosteroid. a.
Sebelum terapi. b. Sesudah terapi

3. Recombinant Interferon Alfa-2a


Recombinant interferon alpha-2a (IFN) merupakan agen baru untuk terapi
hemangioma infantil yang besar dan mengancam nyawa. Recombinant interferon alpha-2a
tidak boleh di kombinasikan dengan kortikosteroid. Bila Recombinant interferon alpha-2a
akan diberikan, perlu secepatnya dilakukan tappering off dosis kortikosteroid. Mekanisme
kerja Recombinant interferon alpha-2a akan mempercepat timbulnya fase involusi pada
hemangioma infantil. Indikasi terapi antara lain:
- Tidak respon kortikosteroid
- Kontraindikasi pemberian kortikosteroid jangka panjang
- Komplikasi pada pemberian kortikosteroid
- Penolakan dari orang tua dengan penggunaan terapi kortikosteroid.12
4. Terapi Bedah
Tindakan bedah yang dapat dilakukan adalah operasi eksisi, terutama pada
hemangioma infantil yang tidak mengalami involusi komplet, hemangioma infantil yang
memberi pengaruh kosmetik pada wajah, hemangioma infantil yang berlokasi pada region
periorbita, hidung, mulut, saluran nafas bagian atas, kanal telinga, dan hemangioma infantil
yang mengancam jiwa anak.12
20
12. Dermatitis Atopik (DA)

Dermatitis atopi adalah suatu peradangan kulit berupa dermatitis kronis residif,
disertai rasa gatal, dan mengenai bagian tubuh tertentu. Pada bayi (fase infantil), terutama
di wajah dan pada fase anak, predileksinya terutama di fleksural ekstremitas. Dermatitis
atopik kerap terjadi pada bayi dan anak, dan sekitar 50 % menghilang pada remaja, namun
kadang dapat menetap, atau baru mulai muncul saat usia dewasa.14

Pada berbagai negara, prevalensi Dermatitis atopi selalu meningkat setiap tahunnya.
Sekitar 10-20% anak dan 1-3% dewasa di dunia menderita penyakit ini dan insidensnya
cenderung meningkat di berbagai belahan dunia. Begitu juga dengan data di Indonesia,
Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 menyatakan prevalensi dermatitis di Indonesia sebesar
6,8%. Berdasarkan rekapitulasi yang dilakukan oleh Kelompok Studi Dermatologi Anak
(KSDAI) dari lima kota besar di Indonesia pada tahun 2000, dermatitis atopi masih
menempati peringkat pertama (23,67%) dari 10 besar penyaki kulit anak dan dari sepuluh
rumah sakit besar yag tersebar di seluruh Indonesia dan pada tahun 2010 kejadian
dermatitis mencapai 36% angka kejadian.14

Alergen yang merupakan faktor eksogen, terutama alergen hirup (debu rumah, tungau
debu rumah) berperan penting pada terjadinya dermatitis atopi. Alergen lain yang sering
memengaruhi adalah human dander, animal dander, molds, grasses, trees, ragweed, dan
pollen. Beberapa penelitian menunjukan bahwa peningkatan kada IgE spesifik (IgE
RAST) terhadap tungau dan debu rumah lebih tinggi terhadap DA dengan kondisi lain.
Kadar IgE spesifik meningkat pada tungau debu rumah, bulu anjing, bulu kucing, bulu
kuda, dan jamur.15

Gambar2.19.Dermatitis Atopik pada Wajah.15


21
Gambaran klinisnya, berupa lesi akut, eritematosa, papul, vesikel, erosi, eksudasi/oozing
dan krusta. Dan mudah terjadi infeksi sekunder karena gatal dan garukan. Fase infantile
dapat mereda dan menyembuh, dan pada sebagian pasien dapat berkebang menjadi fase
anak atau fase dewasa.

Kriteria William:

1. Harus ada : Kulit yang gatal ( pada anak-anak dengan bekas garukan).
2. Ditambah 3 atau lebih tanda berikut:
a. Riwayat perubahan kulit/kering di fosa kubiti, fosa poplitea, bagian anterior dorsum
pedis, atau sekitar leher (termasuk kedua pipi pada anak di bawah 10 tahun).
b. Riwayat atopi seperti asma atau hay fever pada anak (riwayat penyakit atopi pada
anak < 4 tahun pada generasi 1 dalam keluarga).
c. Riwayat kulit kering sepanjang akhir tahun
d. Dermatitis fleksural (pipi, dahi, dan paha bagian lateral pada anak < 4 tahun)
e. Awitan di bawah usia 2 tahun (tidak dinyatakan pada anak < 4 tahun).15

Tata Laksana Dermatitis Atopik


 Pelembap
Pelembap berfungsi untuk memulihkan disfungsi sawar kulit. Jenis pelembapnya, antara lain
- Humektan (contoh: gliserin dan propilen glikol)

- Natural moisturizing factor (contoh: urea 10% dalam euserin hidrosa)

- Emolien (contoh: lanolin 10%, petrolatum, minyak tumbuhan dan sintetis)

- Protein rejuvenators (contoh: asam amino)

- Bahan lipofilik (contoh: asam lemak esensial, fosfolipid, ceramide).15

Pelembap digunakan 2 kali sehari, dioleskan setelah mandi, walaupun tidak sedang
terdapat gejala dermatitis atopic.

 Kortikosteroid Topikal

Pada bayi dan anak dianjurkan penggunaan kortikosteroid golongan VII-IV.

- Pada dermatitis atopik fase bayi/anak yang ringan dapat dimulai dengan penggunaan
22
kortikosteroid golongan VII (contoh: hidrokortison cream 1-21/2 %, metilprednisolon
atau flumetason.
- Pada dermatitis atopik derajat sedang dapat digunakan kortikosteroid golongan VI
(contoh: desonid, triamsinolon asetonid, prednikarbat, hidrokortison butirat, flusinolon asetonid)

- Pada dermatitis atopik yang lebih parah, dapat digunakan kortikosteroid golongan V
(contoh: flutikason, betametason 17 valerat) atau golongan IV (contoh: mometason furoat
(MF) , aklometason. mometason furoat tergolong kortikosteroid potensi sedang, namun
pada penelitian klinis, mebuktikan bahwa mometason furoat tidak mengakibatkan efek
atrofigenik atau hanya minimal.15

Dalam keadaan tertentu, kortikosteroid topical potensi kuat dapat digunakan secara
singkat -2 minggu. Bila dermatitis atopik sudah teratasi, segera ganti dengan potensi
sedang atau lemah.3,5Wajah dan fleksura dapat dikontrol dengan pemberian kortikostreoid topical
potensi sedang selama 5-7 hari, kemudian diganti menjadi kortikostreoid topical potensi lebih
ringan atau inhibitor kalsineurin inhibitor. Gunakan kortikostreoid topical 2 kali sehari sampai lesi
terkontrol atau selama 14 hari. Kortikosteroid topical adalah pilihan utama dermatitis atopik,
namun terdapat keterabatasan terutama efek samping pada pemakaian dalam jangka waktu yang
panjang.15,17

 Obat Penghambat Kalsineurin (Takrolimus dan Pimekrolimus)

Takrolimus adalah golongan penghambat kalsineurin bekerja pada sel T, sel


Langerhans, sel mas, dan sel keratinosit. Tacrolimus memiliki mekanisme kerja yang sama
dengan cylosporin A, yang mampu menghambat degranulasi sel mas dan mensuspensi
pengeluaran TNFα.

Krim tacrolimus (protopic) 0,03% dan 0,1% aman digunakan pada anak 2-15 tahun
dalam jangka waktu pendek atau panjang secara bergantian. Krim tacrolimus tidak
mengakibatkan atrofi pada kulit.Efek sampingnya berupa nefrotoksik dan
hipertensi.Pimekrolimus merupakan golongan askomisin makrolaktam, yang menghambat
sitokin inflamasi dari sel mas yang teraktivasi, misalnya IL-2, II-3, II-4, IL-8, IL-10, TNF
γ, TNFα yang bekerja selektif pada sel T yang berperan pada lesi dermatitis atopik.
Pimekrolimus juga mencegah pelepasan mediator inflamasi (histamin, tryptase,
heksosaminidase) dari sel mas yang teraktivasi.

23
Takrolimus dan pimekrolimus dapat dioleskan dua kali sehari selama satu hingga tiga
minggu. Bila lesi membaik, frekuensi pemakaian dapat dikurangi menjadi sekali sehari
sampai lesi bersih. Daerah yang dioles harus menghindari pajanan matahari atau sumber
UV lain untuk menghindari risiko kanker kulit.Takrolimus dan pimekrolimus tidak
mempunyai efek antiproliferasi dan tidak mengganggu immunosurveillance. Pengobatan
jangka panjang dengan tacrolimus lebih aman dibandingkan dengan pengobatan
konvensional.15

12. Dermatitis Seboroik.

Dermatitis seboroik adalah kelainan kulit papuloskuamosa kronis yang umum dijumpai
pada anak dan dewasa. Penyakit ini ditemukan pada area kulit yang memiliki banyak
kelenjar sebasea seperti wajah, kulit kepala, telinga, tubuh bagian atas dan fleksura
(inguinal, inframammae, dan aksila). Pada bayi biasanya terjadi pada 3 bulan pertama
kehidupan (Sering disebut cradle cap) Keluhan utama biasanya berupa sisik kekuningan
yang berminyak dan umumnya tidak gatal. Pada anak dan dewasa, biasanya yang menjadi
keluhan utama adalah kemerahan dan sisik di kulit kepala, lipatan nasolabial, alis mata,
area post aurikula, dahi dan dada. Lesi lebih jarang ditemukan di area umbilikus,

interskapula, perineum dan anogenital. Area kulit yang kemerahan biasanya gatal. Pasien
juga dapat mengeluhkan ketombe (Pitiriasis sika). Keluhan dapat memburuk jika terdapat
stressor atau cuaca dingin. Pada bayi umumnya bersifat swasirna sementara cenderung
menjadi kronis pada dewasa.16

Gambar 2.20. Cradle cap.14 Gambar 2.21 Dermatitis Seboroik pada Bayi.14

Pada pemeriksaan fisik, pada bayi, dapat ditemukan skuama kekuningan atau putih yang
berminyak dan tidak gatal. Skuama biasanya terbatas pada batas kulit kepala (skalp) dan
dapat pula ditemukan di belakang telinga dan area alis mata. Lesi lebih jarang ditemukan
24
di lipatan fleksura, area popok dan wajah. Pada anak dan dewasa dapat bervariasi mulai
dari: Ketombe dengan skuama halus atau difus, tebal dan menempel pada kulit kepala,
Lesi eksematoid berupa plak eritematosa superfisial dengan skuama terutama di kulit
kepala, wajah dan tubuh, di dada dapat pula menunjukkan lesi petaloid atau pitiriasiformis,
apabila terdapat di kelopak mata, dapat disertai dengan blefaritis, dan dapat meluas hingga
menjadi eritroderma.15,17

Gambar.2.22 Pengobatan Dermatitis Seboroik.17

13. Dermatitis Popok

Dermatitis popok (napkin dermatitis, diaper dermatitis) adalah dermatitis akut yang terjadi
di daerah genitokrural sesuai dengan tempat kontak popok (bagian cembung) terutama
dijumpai pada bayi akibat memakai popok. Memiliki riwayat kontak lama dengan popok
basah (urin/feses). Tempat predileksinya di bokong, area perianal, genital, paha bagian
dalam dan daerah pinggang, sesuai dengan area kontak popok.17

25
Gambar 2.21. Dermatitis Popok.17
Pada anak frekuensi tertinggi pada usia 9-12 bulan dan 12-24 bulan. Dengan gambaran
makula eritematosa, berbatas agak tegas (bentuk mengikuti bentuk popok yang berkontak,
mons pubis, skrotum pinggang dan perut bagian bawah), disertai papul, vesikel, pustul,
erosi, maserasi ringan dan eskoriasi. Pada stadium lanjut gambaran klinis lebih berat
(Jacquet’s dermatitis) dapat menjadi erosi, nodul, infiltrat dan ulserasi. Bila terinfeksi jamur
kandida (biasanya harus dipikirkan bila sudah lebih dari 3 hari) tampak plak eritematosa
(merah cerah), lesi lebih basah disertai maserasi, berbatas tegas, didaerah tepi lesi terdapat
papul, pustul, kadang terdapat lesi satelit.17

Dermatitis popok iritan dan dermatitis popok kandida (atau kombinasi keduanya) termasuk
dermatitis popok yang paling sering terjadi. Kandida akan memperburuk dermatitis popok
jika terjadi dalam waktu lebih dari 3 hari. Meskipun drmikian banyak krim antifugal yang
efektif pada daerah ini (daerah popok). Sebuah kombinasi baru dan mudah digunakan
(meskipun lebih mahal) yakn kombinasi resep yang mengandung mikonazol dan zink
oksida telah diakui untuk penatalaksanaan dermatitis popok. Dibutuhkan edukasi kepada
orang tua serta dokter layanan primer diharapkan memberikan instruksi pemakaian topical
steroid dalam penatalaksanaan kasus dermatitis popok. Karena tingginya penyerapan
steroid pada daerah lembab serta adanya oklusi pada popok, pada regio ini penggunaan
steroid harus dibatasi dalam penggunaan jangka pendek (3-7 hari) hidrokortison (1% atau
2,5%) salep. Penggunaan steroid tersebut efektif pada hampir semua kasus dermatitis
popok ketika dibutuhkan pemakaian steroid topical. Demikian juga dengan pemakaian
produk steroid terhalogenasi seperti nystatin dan triamcinolone serta clotrimazole dan
betamethason dipropionate, harus dihindari karena meningkatkan resiko athopy steroid dan
suppresi aksis hipotalamus pituitari ketika steroid jenis potensi sedang dan tinggi digunakan
pada daerah popok. Akhirnya, orang tua harus diberi pengetahuan bahwa faktanya masalah

26
dermatitis popok juga dapat diselesaikan dengan melatih anak untuk menggunakan toilet
sehingga popok tidak perlu digunakan.17

14. Sucking Blisters


Sucking blister merupakan bula yang terdapat pada permukaan, bersifat soliter atau
tersebar pada ekstrimitas atas bayi baru lahir. Lesi kulit ini diyakini terjadi akibat isapan kuat
dari janin pada daerah tertentu saat di dalam kandungan. Tempat yang sering adalah lengan
bawah, ibu jari, dan telunjuk. Bula-bula ini sembuh cepat tanpa gejala sisa.8 Diagnosis dapat
dikonfirmasi dengan cara observasi pada neonatus ketika sedang menghisap daerah lesi.
dalam beberapa hari sampai minggu. Namun perlu diperhatikan riwayat dari ibu saat
mengandung, sebab sulit dibedakan dengan penyakit kulit lain yang lebih membutuhkan
penanganan serius seperti herpes simplex, candidiasis, neonatal lupus erythematosus, bullous
impetigo, mastocytosis, incontinencia pigmenti, dan epidermolysis bullosa.2

Gambar 2.22 Sucking blisters.2

BAB III
27
KESIMPULAN

Dermatosis pada periode neonatal sering ditemukan dan menjadi penyebab kecemasan
pada orang tua yang membuat mereka mencari konsultasi kesehatan. Mayoritas lesi kulit
neonatus biasanya fisiologis, sementara dan self-limited. Hanya lesi-lesi patologis yang
memerlukan terapi. Karakteristik kulit neonatus sangat sensitif terutama karena pada masa ini
terjadi penyesuaian awal terhadap fungsi kulit sebagai cukup bulanoregulator. Penting bagi
seorang dokter untuk dapat mengidentifikasi dan mendiagnosis lesi kulit pada neonatus secara
tepat agar dapat menghindari terjadinya intervensi diagnostik dan tindakan terapeutik yang
tidak perlu.
Beberapa lesi kulit, baik fisiologis ataupun patologis, dapat muncul pada saat lahir
dan selama periode neonatal. Pengetahuan mengenai lesi-lesi kulit fisiologis pada neonatus
akan membuat diagnosis lebih terarah sehingga tatalaksana yang akan diberikan pun akan
sesuai. Oleh karena itu, perlu pengamatan yang cermat serta pengetahuan mengenai
patofisiologi pada setiap lesi kulit yang terjadi akan mengarahkan pada ketepatan pemberian
tatalaksana.
Dalam mengevaluasi prevalensi lesi kulit selama periode neonatal, penelitian-penelitian
yang ada telah mempertimbangkan hubungannya dengan jenis kelamin, usia kehamilan, dan
proses kelahiran. Namun, penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang berbeda seperti
riwayat kehamilan, penggunaan obat-obatan, maupun riwayat penyakit ibu perlu dievaluasi.
Data tersebut dapat berguna dalam memahami perjalanan terjadinya lesi kulit yang terjadi pada
neonatus.

DAFTAR PUSTAKA

28
1. Paller Amy S, Mancini Anthony J. Hurwitz Clinical Pediatrics Dermatology: A Textbook
of Skin Disorders of Childhood and Adolescence 4th ed. 2011. China: Elsevier Inc.
2. Wolff K et al. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 8th ed. 2012. New York :
The McGraw-Hill Companies
3. Agarwal G, Kumar V, Ahmad S, Goel K, Goel P, et al. A Study on Neonatal Dermatosis in
a Tertiary Care Hospital of Western Uttar Pradesh India. 2012. J Community Med Health
Educ 2:169. doi:10.4172/2161-0711.1000169
4. T Lissauer and Graham Clayden. Illustrated Textbook of Pediatrics. 2012. London : Mosby
Elsevier
5. Kliegman, Robert M, et al. Nelson textbook of Pediatrics 19th ed. 2011. Philadelphia:
Elsevier Inc.
6. Del Giudice P. Milia and cutaneous leishmaniasis. Br J Dermatol. May 2007;156(5):1088
7. L. Weibel, et al. Skin diseases of the infant. Kinderspital Zürich und Dermatologische
Klinik Universitätsspital Zürich 2012;38(12):477-92.
8. J. Kaur, N. Sharma: Incidence Of Physiological And Pathological Skin Changes In The
Newborn. The Internet Journal of Dermatology. 2012. Volume 9 Number 1. DOI:
10.5580/2acb
9. Giard F, Marcoux D, McCuaig C. Eosinophilic pustular folliculitis (Ofuji's disease) in
childhood: a review of four cases. Pediatr Dermatol 1991;8:189-93.
10. Larralde M, Morales S, Santos MA, Lamas F, Schroh R, Corbella C. Eosinophilic pustular
folliculitis infancy: report of two new cases. Pediatr Dermatol 1999;16: 118-20.
11. G Gokdemir, et al. Cutaneous Lesions In Turkish Neonates Born In A Teaching Hospital.
2009. Sisli Etfal Research and Teaching Hospital, Istanbul, Turkey
12. Katz, D. A., & Damron, T. August 1, 2002 Hemangioma 2012. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1059368 [Accessed 20 th September 2021, 18.00
P.M]
13. Hamzah, M. 1999 Hemangioma, dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Balai Penerbit
FK UI, Edisi Ketiga, Jakarta, 220-22
14. Sjamsuhidajat, Wim de Jong Buku Ajar Ilmu Bedah. 2004. Edisi 2. Jakarta : EGC. Hal.
330, 380, 592.
15. Schock L. Atopic dermatitis: pathogenesis and clinical findings. The Calgary Guide to

29
Understanding Disease
16. S Ha-Neul and Benedict Evans. Childhood Skin Rashes. InnovAiT.2011. Vol. 4 no. 2 75-81

17. Departemen Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FK UI. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
edisi ketujuh. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2017

30

Anda mungkin juga menyukai