Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

BIOFARMASETIKA
“FASE FARMAKOKINETIK”

Disusun Oleh :
GANJAR TAUFIK. F
(311100 )

PRODI S1 FARMASI
STIKes BAKTI TUNAS HUSADA
TASIKMALAYA
2013
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Fase farmakokinetik berkaitan dengan masuknya zat aktif ke dalam tubuh
pemasukan in vivo tersebut secara keseluruhan merupakan fenomena fisikokimia
yang terpadu di dalam organ penerima obat. Fase farmakokinetik ini merupakan
salah satu unsur penting yang menentukan profil keberadaan zat aktif pada tingkat
biofase dan selanjutnya menentukan aktivitas terapeutik obat (Aiache, 1993).

Aktivitas serta toksisitas suatu obat tergantung pada lama keberadaan dan
perubahan zat aktif didalam tubuh (Aiache, 1993). Menurut Shargel (1988),
bahwa intensitas efek farmakologik atau efek toksik suatu obat seringkali
dikaitkan dengan konsentrasi obat pada reseptor, yang biasanya terdapat dalam
sel-sel jaringan. Oleh karena sebagian besar sel-sel jaringan diperfusi oleh cairan
jaringan atau plasma, maka pemeriksaan kadar obat dalam plasma merupakan
suatu metode yang sesuai untuk pemantauan pengobatan.

Pemantauan konsentrasi obat dalam darah atau plasma meyakinkan bahwa


dosis yang telah diperhitungkan benar-benar telah melepaskan obat dalam plasma
dalam kadar yang diperlukan untuk efek terapetik. Dengan demikian pemantauan
konsentrasi obat dalam plasma memungkinkan untuk penyesuaian dosis obat
secara individual dan juga untuk mengoptimasi terapi (Shargel, 1988).

Tanpa data farmakokinetik, kadar obat dalam plasma hampir tidak


berguna untuk penyesuaian dosis. Dari data tersebut dapat diperkirakan
modelfarmakokinetik yang kemudian diuji kebenarannya, dan selanjutnya
diperoleh parameter-parameter farmakokinetiknya (Shargel, 1988).

Model farmakokinetik sendiri dapat memberikan penafsiran yang lebih


teliti tentang hubungan kadar obat dalam plasma dan respons farmakologik.
Model kompartemen satu terbuka menganggap bahwa berbagai perubahan kadar
obat dalam plasma mencerminkan perubahan yang sebanding dengan kadar obat
dalam jaringan. Tetapi model ini tidak menganggap bahwa konsentrasi obat dalam
tiap jaringan tersebut adalah sama dengan berbagai waktu. Disamping itu, obat
didalam tubuh juga tidak ditentukan secara langsung, tetapi dapat ditentukan
konsentrasi obatnya dengan menggunakan cuplikan cairan tubuh (Shargel, 1988).

Saat ini telah tersedia data farmakokinetik obat, yang meliputi berbagai
parameter farmakokinetik, yaitu bioavailabilitas oral, volume distribusi, waktu
paruh dan bersihan (clearance) dalam keadaan fisiologik maupun patologik.
Dimana kondisi fisiologik dan kondisi patologik ini dapat menimbulkan
perubahan pada parameter farmakokinetik obat (Setiawati, 2007).

Data farmakokinetik ini sangat penting untuk semua jenis obat terutama
untuk obat yang lazim dikonsumsi masyarakat. Karena kemungkinan besar
konsumsi obat yang terlalu sering akan menimbulkan toksisitas serta efek
samping yang beresiko terhadap kelanjutan penyakit. Menurut Setiawati (2007),
prinsip dan data farmakokinetik sangatlah penting diketahui oleh seorang dokter
agar dapat menetapkan regimen dosis yang optimal bagi masing-masing
pasiendengan berpedoman pada kadar obat dalam plasma atau serum.

Deksametason merupakan salah satu contoh obat yang data


farmakokinetiknya telah tersedia dibeberapa literatur. Seperti yang dilaporkanoleh
Widodo, dkk (1993), dengan perolehan data farmakokinetik sebagai berikut ; Vd
= 0,8 L/kg, ketersediaan biologik = 80%, waktu paruh = 3 jam, eliminasi sekitar
3% terjadi direnal tanpa diubah, sisanya dimetabolisme didalam hati.

Menurut hasil penelitian Robert and William (1987), diperoleh data


farmakokinetik deksametason sebagai berikut ; availabilitas oral (%) 78 ± 14,
ekskresi urin (%) 2,6 ± 0,6, ikatan protein plasma (%) 68 ± 3, klirens (ml.min-
1.kg-1) 3,7 ± 0,9, t1/2 (jam) 3,0 ± 0,8.

Dari data hasil penelitian sebelumnya telah diketahui data farmakokinetik


deksametason. Namun penelitian tersebut hanya menggunakan produk jadi
deksametason yang beredar dipasaran baik dalam bentuk tablet, injeksi maupun
sediaan tetes mata. Dan belum pernah ada penelitian serta data yang
menggunakan baku murni deksametason untuk ditetapkan profil
farnakokinetiknya.

Berdasarkan uraian diatas, dari berbagai penelitian dan data tersebut, maka
penulis merasa tertarik untuk menentukan profil farmakokinetika deksametason
pada kelinci dengan menggunakan baku murni deksametason BPFI.

Universitas Sumateramenggunakan baku murni deksametason untuk


ditetapkan profil farnakokinetiknya.

1.1.3. Rumusan Masalah


Bagaimana sifat kerja obat?
 
1.2.3. Tujuan
 Mengetahui sifat kerja obat beserta komponen-komponennya.
 

 
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Deskripsi Sifat Kerja Obat


Obat bekerja menghasilkan efek terapeutik yang bermanfaat. Sebuah obat
tidak menciptakan suatu fungsi di dalam jaringan tubuh atau organ, tetapi
mengubah fungsi fisiologis. Obat dapat melindungi sel dari pengaruh agents kimia
lain, meningkatkan fungsi sel, atau mempercepat atau memperlambat proses kerja
sel. Obat dapat menggantikan zat tubuh yang hilang (contoh, insulin, hormon
tiroid, atau estrogen).
 

2.2. Mekanisme Kerja Obat

Obat menghasilkan kerja dengan mengubah cairan tubuh atau membran sel
atau dengan beinteraksi dengan tempat reseptor. Jel aluminium hidroksida obat
mengubah zat kimia suatu cairan tubuh (khususnya dengan menetralisasi kadar
asam lambung). Obat-obatan, misalnya gas anestsi mum, beinteraksi dengan
membran sel. Setelah sifat sel berubah, obat mengeluarkan pengaruhnya.
Mekanisme kerja obat yang paling umum ialah terikat pada tempat reseptor sel.
Reseptor melokalisasi efek obat. Tempat reseptor berinteraksi dengan obat karena
memiliki bentuk kimia yang sama. Obat dan reseptor saling berikatan seperti
gembok dan kuncinya. Ketika obat dan reseptor saling berikatan, efek terapeutik
dirasakan. Setiap jaringan atau sel dalam tubuh  memiliki kelompok reseptor yang
unik. Misalnya, reseptor pada sel  jantung  berespons pada preparat digitalis.

Suatu obat yang diminum per oral akan melalui tiga fase: farmasetik
(disolusi), farmakokinetik, dan farmakodinamik, agar kerja obat dapat terjadi.
Dalam fase farmasetik, obat berubah menjadi larutan sehingga dapat menembus
membrane biologis. Jika obat diberikan melaluirute subkutan, intramuscular, atau
intravena, maka tidak terjadi fase farmaseutik. Fase kedua, yaitu farmakokinetik,
terdiri dari empat proses (subfase):absorpsi, distribusi, metabolisme (atau
biotransformasi), dan ekskresi. Dalam fase farmakodinamik, atau fase ketiga,
terjadi respons biologis atau fisiologis.

2.3. Fase Farmakokinetik

Farmakokinetik adalah ilmu tentang cara obat masuk ke dalam tubuh,


mencapai tempat kerjanya, dimetabolisme, dan keluar dari tubuh. Dokter dan
perawat menggunakan pengetahuan farmakokinetiknya ketika memberikan obat,
memilih rute pemberian obat, menilai resiko perubahan keja obat, dan
mengobservasi respons klien.Empat proses yang termasuk di dalamnya adalah :
absorpsi, distribusi, metabolisme (biotransformasi), dan ekskresi (eliminasi).

1. Absorpsi

Absorpsi adalah pergerakan partikel-partikel obat dari konsentrasi


tinggi dari saluran gastrointestinal ke dalam cairan tubuh melalui
absorpsipasif, absorpsi aktif, rinositosis atau pinositosis.

Absorpsi aktif umumnya terjadi melalui difusi(pergerakan dari


konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah). Absorpsi aktif membutuhkan
carier atau pembawa untuk bergerak melawan konsentrasi. Pinositosis
berarti membawa obat menembus membran dengan proses menelan.

Absorpsi obat dipengaruhi oleh aliran darah, nyeri, stress, kelaparan,


makanan dan pH. Sirkulasi yang buruk akibat syok, obat-obat
vasokonstriktor, atau penyakit yang merintangi absorpsi. Rasa nyeri, stress,
dan makanan  yang padat, pedas, dan berlemak dapat memperlambat masa
pengosongan lambung, sehingga obat lebih lama berada di dalam lambung.
Latihan dapat mengurangi aliran darah dengan mengalihkan darah lebih
banyak mengalir ke otot, sehingga menurunkan sirkulasi ke saluran
gastrointestinal.

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi absorpsi obat antara lain rute


pemberian obat, daya larut obat, dan kondisi di tempat absorpsi.
Setiap rute pemberian obat memiliki pengaruh yang berbeda pada
absorpsi obat, bergantung pada struktur  fisik jaringan. Kulit relatif tidak
dapat ditembus zat kimia, sehingga absorpsi menjadi lambat. Membran
mukosa dan saluran nafas mempercepat absorpsi akibat vaskularitas yang
tinggi pada mukosa dan permukaan kapiler-alveolar. Karena obat yang
diberikan per oral harus melewati sistem pencernaan untuk diabsorpsi,
kecepatan absorpsi secara keseluruhan melambat. Injeksi intravena
menghasilkan absorpsi yang paling cepat karena dengan rute ini obat
dengan cepat masuk ke dalam sirkulasi sistemik.

Daya larut obat diberikan per oral setelah diingesti sangat bergantung
pada bentuk atau preparat obat tersebut. Larutan atau suspensi, yang tersedia
dalam bentuk cair, lebih mudah diabsorpsi daripada bentuk tablet atau
kapsul. Bentuk dosis padat harus dipecah terlebih dahulu untuk memajankan
zat kimia pada sekresi lambung dan usus halus. Obat yang asam melewati
mukosa lambung dengan cepat. Obat yang bersifat basa tidak terabsorpsi
sebelum mencapai usus halus.

Kondisi di tempat absorpsi mempengaruhi kemudahan obat masuk ke


dalam sirkulasi sistemik. Apabila kulit tergoles, obat topikal lebih mudah
diabsorpsi. Obat topikal yang biasanya diprogamkan untuk memperoleh
efek lokal dapat menimbulkan reaksi yang serius ketika diabsorpsi melalui
lapisan kulit. Adanya edema pada membran mukosa memperlambat
absorpsi obat karena obat membutuhkan waktu yang lama untuk berdifusi
ke dalam pembuluh darah. Absorpsi obat parenteral yang diberikan
bergantung pada suplai darah dalam jaringan.Sebelum memberikan sebuah
obat melalui injeksi, perawat harus mengkaji adanya faktor lokal, misalnya;
edema, memar, atau jaringan perut bekas luka, yang dapat menurunkan
absorpsi obat. Karena otot memiliki suplai darah yang lebih banyak
daripada jaringan subkutan (SC), obat yang diberikan per intramuskular
(melalui otot) diabsorpsi lebih cepat daripada obat yang disuntikan per
subkutan. Pada beberapa kasus, absorpsi subkutan yang lambat lebih dipilih
karena menghasilkan efek yang dapat bertahan lama. Apabila perfusi
jaringan klien buruk, misalnya pada kasus syok sirkulasi, rute pemberian
obat yang terbaik ialah melalui intravena. Pemberian obat intravena
menghasilkan absorpsi yang paling cepat dan dapat diandalkan.

Obat oral lebih mudah diabsorpsi, jika diberikan diantara waktu makan.
Saat lambung terisi makanan, isi lambung secara perlahan diangkut ke
duodenum, sehingga absorpsi melambat. Beberapa makanan dan antasida
membuat obat berikatan membentuk kompleks yang tidak dapat melewati
lapisan saluran cerna. Contoh, susu menghambat absorpsi zat besi dan
tetrasiklin. Beberapa obat hancur akibat peningkatan keasaman isi lambung
dan pencernaan protein selama makan. Selubung enterik pada tablet tertentu
tidak larut dalam getah lambung, sehingga obat tidak dapat dicerna di dalam
saluran cerna bagian atas. Selubung juga melindungi lapisan lambung dari
iritasi obat.

Rute pemberian obat diprogramkan oleh pemberi perawatan kesehatan.


Perawat dapat meminta obat diberikan dalam cara atau bentuk yang
berbeda, berdasarkan pengkajian fisik klien. Contoh, bila klien tidak dapat
menelan tablet maka perawat akan meminta obat dalam bentuk eliksir atau
sirup. Pengetahuan tentang  faktor yang dapat mengubah atau menurunkan
absorpsi obat membantu perawat melakukan pemberian obat dengan benar.
Makanan di dalam saluran cerna dapat mempengaruhi pH, motilitas, dan
pengangkuan obat ke dalam saluran cerna. Kecepatan dan luas absorpsi juga
dapat dipengaruhi oleh makanan. Perawat harus mengetahui implikasi
keperawatan untuk setiap obat yang diberikan. Contohnya, obat seperti
aspirin, zat besi, dan fenitoin, natrium (Dilantin) mengiritasi saluran cerna
dan harus diberikan bersama makanan atau segera setelah makan.
Bagaimanapun makanan dapat mempengaruhi absorpsi obat, misalnya
kloksasilin natrium dan penisilin. Oleh karena itu, obat-obatan tersebut
harus diberikan satu sampai dua jam sebelum makan atau dua sampai tiga
jam setelah makan. Sebelum memberikan obat, perawat harus memeriksa
buku obat keperawatan, informasi obat, atau berkonsultasi dengan apoteker
rumah sakit mengenai interaksi obat dan nutrien.
2. Distribusi

Distribusi adalah proses di mana obat menjadi berada dalam cairan


tubuh dan jaringan tubuh. Distribusi obat dipengaruhi oleh aliran darah
(dinamika sirkulasi), afinitas (kekuatan penggabungan) terhadap jaringan,
berat dan komposisi badan, dan efek pengikatan dengan protein.

a. Dinamika Sirkulasi

Obat lebih mudah keluar dari ruang interstial ke dalam ruang


intravaskuler daripada di antara kompartemen tubuh. Pembuluh darah dapat
ditembus oleh kebanyakan zat yang dapat larut, kecuali oleh partikel obat
yang besar atau berikatan dengan protein serum. Konsentrasi sebuah obat
pada sebuah tempat tertentu bergantung pada jumlah pembuluh darah dalam
jaringan, tingkat vasodilasi atau vasokonstriksi lokal, dan kecepatan aliran
darah ke sebuah jaringan. Latihan fisik, udara yang hangat, dan badan yang
menggigil mengubah sirkulasi lokal. Contoh, jika klien melakukan kompres
hangat pada tempat suntikan intramuskular, akan terjadi vasodilatasi yang
meningkatkan distribusi obat.

Membran biologis berfungsi sebagai barier terhadap perjalanan obat.


Barier darah-otak hanya dapat ditembus oleh obat larut lemak yang masuk
ke dalam otak dan cairan serebrospinal. Infeksi sistem saraf pusat perlu
ditangani dengan antibiotik yang langsung disuntikkan ke ruang
subaraknoid di medula spinalis. Klien lansia dapat menderita efek samping
(misalnya konfusi) akibat perubahan permeabilitas barier darah-otak karena
masuknya obat larut lemak ke dalam otak lebih mudah. Membran plasenta
merupakan barier yang tidak selektif terhadap obat. Agens yang larut dalam
lemak dan tidak larut dalam lemak dapat menembus plasenta dan membuat
janin mengalami deformitas (kelainan bentuk), depresi pernafasan, dan pada
kasus penyalahgunaan narkotik, gejala putus zat. Wanita perlu mengetahui
bahaya penggunaan obat selama masa hamil.

b. Berat dan Komposisi Badan


Ada hubungan langsung antara jumlah obat yang diberikan dan
jumlah jaringan tubuh tempat obat didistribusikan. Kebanyakan obat
diberikan berdasarkan berat dan komposisi tubuh dewasa. Perubahan
komposisi tubuh dapat mempengaruhi distribusi obat secara bermakna.
Contoh tentang hal ini dapat ditemukan pada klien lansia. Karena penuaan,
jumlah cairan tubuh berkurang, sehingga obat yang dapat larut dalam air
tidak didistribusikan dengan baik dan konsentrasinya meningkat di dalam
darah klien lansia. Peningkatan persentase leak tubuh secara umum
ditemukan pada klien lansia, membuat kerja obat menjadi lebih lama karena
distribusi obat di dalam tubuh lebih lambat. Semakin kecil berat badan
klien, semakin besar konsentrasi obat di dalam cairan tubuhnya, dan dan
efek obat yang dihasilkan makin kuat. Lansia mengalami penurunan massa
jaringan tubuh dan tinggi badan dan seringkali memerlukan dosis obat yang
lebih rendah daripada klien yang lebih muda.

c. Ikatan Protein

Ketika obat didistribusikan di dalam plasma kebanyakan berikatan


dengan protein (terutama albumin). Dalam derajat (persentase) yang
berbeda-beda. Salah satu contoh obat yang berikatan tinggi dengan protein
adalah diazeipam (valium) yaitu 98% berikatan dengan protein. Aspirin
49% berikatan dengan protein dan termasuk obat yang berikatan sedang
dengan protein. Bagian obat yang berikatan bersifat inaktif,dan bagian obat
selebihnya yanhg tidak berikatan dapat bekerja bebas. Hanya obat-obat yang
bebas atau yang tidak berikatan dengan proteinyang bersifat aktif dan dapat
menimbulkan respon farmakologik.

Kadar protein yang rendah menurunkan jumlah tempat pengikatan


dengan protein, sehingga meningkatkan jumlah obat bebas dalam plasma.
Dengan demikian dalam hal ini dapat terjadi kelebihan dosis, karena dosis
obat yang diresepkan dibuat berdasarkan persentase di mana obat itu
berikatan dengan protein.
Seorang perawat juga harus memeriksa kadar protein plasma dan
albumin plasma klien karena penurunan protein (albumin) plasma akan
menurunkan tempat pengikatan dengan protein sehingga memungkinkan
lebih banyak obat bebas dalam sirkulasi. Tergantung dari obat yang
diberikan akibat hal ini dapat mengancam nyawa.Abses, aksudat, kelenjar
dan tumor juga menggangu distribusi obat, antibiotika tidak dapat
didistribusi dengan baik pada tempat abses dan eksudat. Selain itu, beberapa
obat dapat menumpuk dalam jaringan tertentu, seperti lemak, tulang, hati,
mata dan otot.

3. Metabolisme Atau Biotransformasi

Hati merupakan tempat utama untuk metabolisme. Kebanyakan obat


diinaktifkan oleh enzim-enzim hati dan kemudian diubah menjadi metabolit
inaktif atau zat yang larut dalam air untuk diekskresikan. Tetapi, beberapa
obat ditransformasikan menjadi metabolit aktif, menyebabkan peningkatan
respons farmakologik, penyakit-penyakit hati, seperti sirosis dan hepatitis,
mempengaruhi metabolisme obat.

Waktu paruh, dilambangkan dengan t ½, dari suatu obat adalah waktu


yang dibutuhkan oleh separuh konsentrasi obat untuk dieliminasi,
metabolisme dan eliminasi mempengaruhi waktu paruh obat, contohnya,
pada kelainan fungsi hati atau ginjal, waktu paruh obat menjadi lebih
panjang dan lebih sedikit obat dimetabolisasi dan dieliminasi. Jika suatu
obat diberikan terus – menerus, maka dapat terjadi penumpukan obat.

Suatu obat akan melalui beberapa kali waktu paruh sebelum lebih dari
90% obat itu dieliminasi. Jika seorang klien mendapat 650mg aspirin
(miligram) dan waktu paruhnya adalah 3jam, maka dibutuhkan 3jam untuk
waktu paruh pertama untuk mengeliminasi 325mg, dan waktu paruh kedua 9
atau 6jam untuk mengeliminasi 162mg berikutnya, dan seterusnya sampai
pada waktu paruh keenam atau 18jam dimana tinggal 10mg aspirin terdapat
dalam tubuh, waktu paruh selama 4-8jam dianggap singkat, dan 24jam atau
lebih dianggap panjang. Jika obat memiliki waktu paruh yang panjang
(seperti digoksin: 36 jam), maka diperlukan beberapa hari agar tubuh dapat
mengeliminasi obat tersebut seluruhnya, waktu paruh obat juga dibicarakan
dalam bagian berikut mengenai farmakodinamik, karena proses
farmakodinamik berkaitan dengan kerja obat.

4. EkskresiAtau Eliminasi

Rute utama dari eliminasi obat adalah melalui ginjal, rute-rute lain
meliputi empedu, feses, paru- paru, saliva, keringat, dan air susu ibu. Obat
bebas yang tidak berkaitan dengan protein tidak dapat difiltrasi oleh ginjal.
Sekali obat dilepaskan bebas dan akhirnya akan diekskresikan melalui urin.

pH urin mempengaruhi ekskresi obat. pH urin bervariasi dari 4,5


sampai 8. Urin yang asam meningkatkan eliminasi obat-obat yang bersifat
basa lemah. Aspirin, suatu asam lemah, diekskresi dengan cepat dalam urin
yang basa. Jika seseorang meminum aspirin dalam dosis berlebih, natrium
bikarbonat dapat diberikan untuk mengubah pH urin menjadi basa. Juice
cranberry dalam jumlah yang banyak dapat menurunkan pH urin, sehingga
terbentuk urin yang asam.
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Dalam mencapai kerja maksimal, obat memerlukan beberapa tahap. Yakni


tahap farmasetik, farmakokinetik, dan farmakodinamik. Sebelum obat benar-benar
diserap oleh tubuh, obat perlu diubah menjadi partikel-partikel yang lebih kecil.
Masing-masing obat tidak akan mempunyai waktu perubahan yang berbeda-beda.
Tergantung kandungan obat itu sendiri. Karena beberapa obat tidak 100% obat. .
Keadaan asam-basa urin juga berpengaruh di dalam perubahan partikel obat
tersebut.

Setelah obat mencapai kerja obatnya, obat akan dimetabolasi menjadi


bentuk yang tidak aktif, sehingga lebih mudah untuk diekskresi. Setelah
dimetabolisasi, obat akan keluar dari tubuh melalui ginjal, hati, usus, paru-paru,
dan kelenjar eksokrin. Struktur kimia sebuah obat akan menentukan organ yang
akan mengekskresinya.

3.2. Saran

Berdasarkan materi yang telah dijelaskan dalam makalah ini, maka


perawat seyogyanya mengerti dan memahami akan medikasi khususnya dalam hal
ini adalah tentang sifat kerja obat. Sehingga perawat dapat
mengimplementasikannya dalam proses penanganan terhadap pasien. Maka
asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien akan berjalan dengan baik dan
maksimal. Karena jika perawat tidak paham mengenai medikasi akan
menghambat penanganan terhadap pasien dan penanganan menjadi kurang
maksimal bahkan dapat merugikan pihak pasien.

 
DAFTAR PUSTAKA

Potter dan Perry. 2005.  Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses,
dan Praktik. Jakarta: EGC

Kee Joyce L. Dan Hayes Evelyne R.1996. Farmakologi. Jakarta: EGC


 Nasib obat (Farmakokinetik) atau proses kerja obat di dalam tubuh wanita
hamil
Perubahan Farmakokinetik Obat  (Nasib Obat) pada Wanita Hamil dan
Implikasinya secara Klinik

PENDAHULUAN 

Perubahan fisiologis yang dinamis terjadi pada tubuh seorang wanita hamil karena
terbentuknya unit fetal-plasentalmaternal. Keadaan ini mempengaruhi
farmakokinetika obat baik dari segi absorbsi, distribusi, maupun eliminasinya.
Perubahan-perubahan itu antara lain terjadi pada fungsi saluran cerna, yang akan
berpengaruh pada kecepatan absorbsi obat; perubahan fungsi saluran napas akan
mempengaruhi absorbsi obat inhalan di paru, sedangkan pada ginjal wanita hamil
akan terjadi peningkatan laju filtrasi glomerulus yang akan mengakibatkan
eliminasi obat melalui ginjal meningkat. Farmakokinetika merupakan aspek
farmakologi yang mencakup nasib obat dalam tubuh yaitu absorbsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresinya

Harus dipahami bahwa penggunaan obat-obatan pada tiap-tiap orang harus


dibedakan berdasakan kondisi yang dialaminya. Meskipun penyakitnya sama,
namun pemakaian obatnya tak bisa disamaratakan. Pada seorang wanita yang
hamil akan terjadi peningkatan jumlah volume cairan tubuh yang berakibat
penurunan kadar puncak obat dalam serum. Kondisi hipoalbuminemia (albumin
dalam darah berkurang) yang terjadi selama kehamilan menyebabkan terjadinya
penurunan jumlah protein pengikat (protein binding), sehingga kadar obat bebas
yang terdapat dalam darah akan meningkat. Seperti diketahui, obat yang beredar
bebas dalam darah adalah yang menimbulkan efek terapetik, oleh karena itu
pemberian obat pada wanita hamil mengandung risiko efek terapetik yang
berlebihan, yang kadangkala justru menimbulkan efek toksik baik pada ibu
maupun janinnya.

Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut di atas pemberian obat pada wanita hamil


harus sungguh-sungguh memperhitungkan dosis yang tepat yang didasari oleh
pengetahuan tentang kadar obat bebas dalam darah. Berikut ini akan diuraikan
tentang dasar-dasar perubahan farmakokinetika obat yang terjadi pada wanita
hamil, dan implikasinya terhadap pengawasan dan penyesuaian dosis dari
beberapa jenis obat yang penting dalam kehamilan

PERUBAHAN FARMAKOKINETIK UNIT FETAL-MATERNAL

Farmakokinetik merupakan istilah yang menggambarkan bagaimana tubuh


mengolah obat, kecepatan obat itu diserap (arbsopsi), jumlah obat yang diserap
tubuh (biavailability), jumlah obat yang beredar dalah darah (distribusi),
dimetabolisme oleh tubu dan akhirnya dibuang dari tubuh (eksresi).

Absorpsi, yang merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian,


menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses tersebut. Kelengkapan dinyatakan
dalam persen dari jumlah obat yang diberikan. Tetapi secara klinik, yang lebih
penting ialah bioavailabilitas. Istilah ini menyatakan jumlah obat, dalam persen
terhadap dosis, yang mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh/aktif. Ini
terjadi karena untuk obat-obat tertentu, tidak semua yang diabsorpsi dari tempat
pemberian akan mencapai sirkulasi sestemik. Sebagaian akan dimetabolisme oleh
enzim di dinding ususpada pemberian oral dan/atau di hati pada lintasan
pertamanya melalui organ-organ tersebut. Metabolisme ini disebut metabolisme
atau eliminasi lintas pertama (first pass metabolism or elimination) atau eliminasi
prasistemik. Obat demikian mempunyai bioavailabilitas oral yang tidak begitu
tinggi meskipun absorpsi oralnya mungkin hampir sempurna. Jadi istilah
bioavailabilitas menggambarkan kecepatan dan kelengkapan absorpsi sekaligus
metabolisme obat sebelum mencapai sirkulasi sistemik. Eliminasi lintas pertama
ini dapat dihindari atau dikurangi dengan cara pemberian parenteral (misalnya
lidokain), sublingual (misalnya nitrogliserin), rektal, atau memberikannya
bersama makanan.

Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusi ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah.
Selain tergantung dari aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh sifat
fisikokimianya. Distribusi obat dibedakan atas 2 fase berdasarkan penyebarannya
di dalam tubuh. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke
organ yang perfusinya sangat baik misalnya jantung, hati, ginjal, dan otak.
Selanjutnya, distribusi fase kedua jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang
perfusinya tidak sebaik organ di atas misalnya otot, visera, kulit, dan jaringan
lemak. Distribusi ini baru mencapai keseimbangan setelah waktu yang lebih
lama. 

Setelah melalui fase absorbsi dan fase distribusi obat akan mengalami fase
metabolisme. Metabolisme sendiri merupakan reaksi perubahan zat kimia dalam
jaringan biologi yang dikatilisis oleh enzim menjadi suatu metabolit. Ketika obat
masuk ke aliran darah, fase metabolisme dan fase ekskresi adalah fase yang
bertanggung jawab untuk membuang obat keluar dari tubuh. Biotransformasi atau
metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi dalam
tubuh dan dikatalis oleh enzim. Pada proses ini molekul obat diubah menjadi lebih
polar, artinya lebih mudah larut dalam air dan kurang larut dalam lemak sehingga
lebih mudah diekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya obat menjadi
inaktif, sehingga biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat.
Tetapi, ada obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif, atau tidak toksik. Ada
obat yang merupakan calon obat (prodrug) justru diaktifkan oleh enzim
biotransformasi ini. Metabolit aktif akan mengalami biotransformasi lebih lanjut
dan/atau diekskresi sehingga kerjanya berakhir. Enzim yang berperan dalam
biotransformasi obat dapat dibedakan berdasarkan letaknya dalam sel, yakni
enzim mikrosom yang terdapat dalam retikulum endoplasma halus (yang pada
isolasi in vitro membentuk mikrosom), dan enzim non-mikrosom. Kedua macam
enzim metabolisme ini terutama terdapat dalam sel hati, tetapi juga terdapat di sel
jaringan lain misalnya ginjal, paru, epitel, saluran cerna, dan plasma.

Setelah melalui fase metabolisme, selanjutnya obat akan masuk pada tahap eksresi
atau pembuangan. Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi
dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat
atau metabolit polar diekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak, kecuali pada
ekskresi melalui paru. Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting. Ekskresi
disini merupakan resultante dari 3 preoses, yakni filtrasi di glomerulus, sekresi
aktif di tubuli proksimal, dan rearbsorpsi pasif di tubuli proksimal dan distal.
Ekskresi obat melalui ginjal menurun pada gangguan fungsi ginjal sehingga dosis
perlu diturunkan atau intercal pemberian diperpanjang. Bersihan kreatinin dapat
dijadikan patokan dalam menyesuaikan dosis atau interval pemberian obat.
Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air susu, danrambut,
tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam
pengakhiran efek obat. Liur dapat digunakan sebagai pengganti darah untuk
menentukan kadar obat tertentu. Rambut pun dapat digunakan untuk menemukan
logam toksik, misalnya arsen, pada kedokteran forensik.

Pada wanita hamil, sebisa mungkin untuk menghindari pemakaian obat jenis
apapun terutama pada trimester pertamanya. Penggunaan obat pada wanita hamil
sangat beresiko menimbukan kecacatan pada bayi terutama ketika obat yang
dikonsumsi tersebut kemudian tembus sampai ke plasenta. Pemberian obat pada
wanita hamil bisa dipertimbangkan apabila pemakaian obat tersebut memiliki
manfaat yang lebih besar bagi wanita tersebut dan tanpa atau hanya beresiko kecil
bagi janinnya.

Hasil survai epidemiologis menunjukkan bahwa antara sepertiga hingga


duapertiga dari seluruh wanita hamil akan mengkonsumsi setidaknya 1 macam
obat selama kehamilan. Obat-obat yang sering digunakan antara lain antimikroba,
antiemetik, obat penenang dan analgesik. Masa kehamilan dibagi dalam 3 tahap.
Tahap pertama disebut trisemester pertama kehamilan (tiga bulan pertama masa
kehamilan). Tahap ini merupakan tahap paling kritis karena pada tahap ini
berlangsung proses pembentukan organ-organ penting bayi. Dalam tahap ini janin
sangat peka terhadap kemungkinan kerusakan yang disebabkan obat, radiasi dan/
atau infeksi yang menyerang. Penyebab kerusakan terhadap calon bayi tersebut
disebut teratogen. Pemberian obat-obat tertentu boleh jadi akan memberikan
kecacatan lahir.
Pada tahap ini hindarilah pemakaian obat yang tidak perlu dan tidak diketahui
keamanannya.Tahap selanjutnya adalah trimester kedua kehamilan (bulan
keempat sampai dengan bulan keenam masa kehamilan). Organ bayi sudah
terbentuk. Denyut jantung sudah dapat didengar dan tulang belakang sudah dapat
terlihat dengan peralatan radiologi. Beberapa obat boleh jadi akan mempengaruhi
perkembangan si janin, yang dimanesfetasikan dengan rendahnya berat badan
bayi ketika dilahirkan.Tahap terakhir adalah trisemester ketiga kehamilan (bulan
ketujuh hingga bayi dilahirkan). Pada tahap ini resiko terbesar adalah kesulitan
bernafas pada bayi baru lahir. Beberapa obat dapat mempengaruhi persalinan yang
dimanesfetasikan bayi lahir prematur maupun calon bayi lebih lama dalam
kandungan. Untuk memetakan obat mana yang aman bagi wanita hamil saat ini
mengacu kepada percobaan-percobaan terhadap binatang, dan pengamatan
terhadap penggunaan obat ketika diedarkan. Percobaan yang sangat luas terhadap
wanita hamil bagi obat baru yang akan diedarkan memang tidak ada dan tidak
akan pernah ada mengingat tidak etis menggunakan wanita hamil sebagai obyek
penelitian.

Sesuai dengan perkembangan kehamilan akan terjadi perubahan-perubahan


fisiologis yang dinamis terhadap farmakokinetik obat yang meliputi proses
absorbsi, distribusi, dan eliminasi obat. Pemberian obat pada masa kehamilan
yang terutama ditujukan pada ibu, seringkali tanpa memperhitungkan efeknya
pada plasenta dan janin yang merupakan suatu unit yang saling berinteraksi
selama kehamilan. Penelitian menunjukkan bahwa kebanyakan obat dapat
melewati sawar plasenta dengan mudah, sehingga membuat janin sebagai
penerima obat yang tidak berkepentingan. Sebaliknya, dengan ditemukannya
teknik diagnosis antenatal yang semakin canggih, muncul upaya untuk memberi
terapi pada janin intrauterin melalui pemberian obat pada ibunya. 

Respon ibu dan janin terhadap obat selama kehamilan dipengaruhi oleh dua faktor
utama: 1) Perubahan absorbsi, distribusi, dan eliminasi obat dalam tubuh wanita
hamil. 2) unit plasental-fetal yang mempengaruhi jumlah obat yang melewati
sawar plasenta, persentase obat yang dimetabolisme oleh plasenta, distribusi dan
eliminasi obat oleh janin. 

1) Perubahan Farmakokinetik Obat Akibat Perubahan Maternal


 1.1.a. Absorbsi saluran cerna

 Faktor-faktor tersebut di bawah ini mempengaruhi absorbsi obat di


saluran cerna:

 Formula obat.

 Komposisi makanan.

 Komposisi kimia.

 pH cairan usus.

 Waktu pengosongan lambung.

 Motilitas usus.

 Aliran darah.

 Peningkatan kadar progesteron dalam darah dianggap


bertanggungjawab terhadap penurunan motilitas usus, yang memperpanjang
waktu pengosongan lambung dan usus hingga 30-50%. Hal ini menjadi bahan
pertimbangan yang penting bila dibutuhkan kerja obat yang cepat. Pada wanita
hamil terjadi penurunan sekresi asam lambung (40% dibandingkan wanita tidak
hamil), disertai peningkatan sekresi mukus, kombinasi kedua hal tersebut akan
menyebabkan peningkatan pH lambung dan kapasitas buffer. Secara klinik hal ini
akan mempengaruhi ionisasi asam-basa yang berakibat pada absorbsinya. Mual
dan muntah yang sering terjadi pada trimester pertama kehamilan dapat pula
menyebabkan rendahnya konsentrasi obat dalam plasma. Pada pasien-pasien ini
dianjurkan untuk minum obatnya pada saat mual dan muntah minimal, biasanya
pada sore hari. Dengan mengubah formula obat menurut perubahan sekresi usus
dan mengatur kecepatan dan tempat pelepasan obat, diharapkan absorbsi obat
akan menjadi lebih baik.

 1.1.b. Absorbsi paru


 Pada kehamilan terjadi peningkatan curah jantung, tidal volume,
ventilasi, dan aliran darah paru. Perubahan-perubahan ini mengakibatkan
peningkatan absorbsi alveolar, sehingga perlu dipertimbangkan dalam pemberian
obat inhalan. Hal ini tidak berarti bahwa obat-obat anestesi inhalan akan lebih
cepat kerjanya, karena hal itu tergantung pada keseimbangan paru dan distribusi
pada jaringan.

 1.2. Distribusi

 Volume distribusi obat akan mengalami perubahan selama


kehamilan akibat peningkatan jumlah volume plasma hingga 50%. Peningkatan
curah jantung akan berakibat peningkatan aliran darah ginjal sampai 50% pada
akhir trimester I, dan peningkatan aliran darah uterus yang mencapai puncaknya
pada aterm (36-42 L/jam); 80% akan menuju ke plasenta dan 20% akan
mendarahi myometrium. Peningkatan total jumlah cairan tubuh adalah 8 L, terdiri
dari 60% pada plasenta, janin dan cairan amnion, sementara 40% berasal dari ibu.
Akibat peningkatan jumlah volume ini, terjadi penurunan kadar puncak obat
(Cmax) dalam serum. Oleh karena itu obat-obatan yang terutama didistribusikan
ke cairan tubuh akan mengalami penurunan Cmax dalam serum.

 1.3. Pengikatan protein

 Sesuai dengan perjalanan kehamilan, volume plasma akan


bertambah, tetapi tidak diikuti dengan peningkatan produksi albumin, sehingga
menimbulkan hipoalbuminemia fisiologis. Hormon-hormon steroid dan plasenta
akan menempati lokasi pengikatan protein sehingga pengikatan protein oleh obat
akan menurun, dan kadar obat bebas akan meningkat. Obat-obat yang tidak terikat
pada protein pengikat secara farmakologis adalah obat yang aktif, maka pada
wanita hamil diperkirakan akan terjadi peningkatan efek obat. Tetapi obat yang
bebas akan mengalami biotransformasi sehingga sesungguhnya tidak terjadi
perubahan konsentrasi obat bebas. Konsentrasi glikoprotein pada wanita hamil
tidak berbeda dari wanita yang tidak hamil, tetapi terjadi penurunan glikoprotein
yang menyolok pada janin.

 1.4.a. Eliminasi oleh hati


 Fungsi hati dalam kehamilan banyak dipengaruhi oleh kadar
estrogen dan progesteron yang tinggi. Pada beberapa obat tertentu seperti
phenytoin, metabolisme hati bertambah, cepat mungkin akibat rangsangan pada
aktivitas enzim mikrosom hati yang disebabkan oleh hormon progesteron;
sebaliknya pada obat-obatan seperti teofilin dan kafein, eliminasi hati berkurang
sebagai akibat sekunder inhibisi komfetitif dari enzim oksidase mikrosom oleh
estrogen dan progesteron. Estrogen juga mempunyai efek kolestatik yang
mempengaruhi ekskresi obat-obatan seperti rifampisin ke sistem empedu.

 1.4.b. Eliminasi ginjal

 Pada kehamilan terjadi peningkatan aliran plasma renal 25-50%.


Obat-obat yang dikeluarkan dalam bentuk utuh dalam urin seperti penisilin,
digoksin, dan lithium menunjukkan peningkatan eliminasi dan konsentrasi serum
steady state yang lebih rendah.

 1.5. Ketersediaan obat

 Perusahaan farmasi sering memberi peringatan kepada masyarakat


untuk mengurangi bahkan menghindari penggunaan obat selama kehamilan.
Seringkali terdapat informasi yang salah tentang efek teratogenik dari obat yang
sebetulnya dapat ditoleransi dengan baik oleh wanita hamil. Hal-hal tersebut
berakibat terapi pada wanita hamil sering kali tidak optimal. Dengan mengetahui
bahwa konsentrasi obat dalam serum rendah selama kehamilan, akan dihindari
pemberian obat yang tidak optimal akibat perubahan farmakokinetik pada wanita
hamil.
2) Efek kompartemen fetal-plasental

Tergantung pada jenis obat dan hasil penelitian eksperimental, tubuh dapat dibagi
menjadi satu atau lebih kompartemen. Jika pemberian obat menghasilkan satu
kesatuan dosis maupun perbandingan antara kadar obat janin: ibu maka dipakai
model kompartemen tunggal. Tetapi jika obat lebih sukar mencapai janin maka
dipakai model dua kompartemen di mana rasio konsentrasi janin: ibu akan
menjadi lebih rendah pada waktu pemberian obat dibandingkan setelah terjadi
distribusi. Contohnya adalah salisilat atau diazepam yang kadarnya dalam plasma
janin lebih tinggi dibandingkan kadar dalam plasma ibu. Hal ini penting untuk
memperhitungkan efek obat pada janin berdasarkan konsentrasi obat dalam
plasma ibu. Perbedaan aliran darah plasenta, protein plasma pengikat,
keseimbangan asam basa antara ibu dan janin mempengaruhi rasio konsentrasi
obat janin: ibu.
 2.1. Efek protein pengikat

 Protein plasma janin mempunyai afinitas yang lebih rendah


dibandingkan protein plasma ibu terhadap obat-obatan. Tetapi ada pula obat-
obatan yang lebih banyak terikat pada protein pengikat janin seperti salisilat.
Albumin plasma ibu akan menurun selama kehamilan sementara albumin janin
akan meningkat. Proses yang dinamis ini akan menghasilkan perbedaan rasio
albumin janin: ibu pada usia kehamilan yang berbeda. Obat-obat yang tidak
terikat (bebas) adalah yang mampu melewati sawar plasenta, seperti dikloksasilin
yang mencapai kadar dalam darah ibu lebih tinggi daripada pada janin

 2.2. Keseimbangan asam-basa

 Molekul yang larut dalam lemak dan tidak terionisasi menembus


membran biologis lebih cepat dibandingkan molekul yang kurang larut dalam
lemak dan terionisasi. Jadi pH dan janin merupakan penentu transfer plasenta
yang penting khususnya untuk obat-obatan asam atau basa lemah dimana pKa
mendekati pH plasma. PH plasma janin sedikit lebih asam dibandingkan ibu.
Dengan demikian basa lemah akan lebih mudah melewati sawar plasenta. Tetapi
setelah melewati plasenta dan mengadakan kontak dengan darah janin yang relatif
lebih asam, molekul-molekul akan lebih terionisasi. Hal ini akan berakibat
penurunan konsentrasi obat pada janin dan menghasilkan gradien konsentrasi.
Fenomena ini dikenal sebagai ion trapping.

 2.3. Eliminasi obat secara feto-placental drug eliminaton

 Terdapat bukti-bukti bahwa plasenta manusia dan fetus mampu


memetabolisme obat. Semua proses enzimatik, termasuk fase I (oksidasi,
dehidrogenasi, reduksi, hidrolisis, dan lain-lain) dan fase II (glukoronidase,
metilasi dan asetilasi) telah ditemukan pada hati bayi sejak 7 sampai 8 minggu
pasca pembuahan. Tetapi kebanyakan proses enzimatik tidak matang, dan
aktivitasnya sangat rendah. Kemampuan eliminasi yang berkurang dapat
menimbulkan efek obat yang lebih pan-jang dan lebih menyolok pada janin.
Kenyataan bahwa lebih dari setengah aliran darah janin menuju ke jantung dan
otak tanpa melalui hati menambah alasan terjadinya efek ini. Sebagian besar
eliminasi obat pada janin adalah dengan cara difusi obat kembali ke kompartemen
ibu. Tetapi kebanyakan metabolit lebih polar dibandingkan dengan asal-usulnya
sehingga kecil kemungkinan mereka akan melewati sawar plasenta, dan berakibat
penimbunan metabolit pada jaringan janin. Dengan pertambahan usia kehamilan,
makin banyak obat yang diekskresikan ke dalam cairan amnion, hal ini
menunjukkan maturasi ginjal janin.

 2.4. Keseimbangan Obat Maternal-fetal

 Jalur utama transfer obat melalui plasenta adalah dengan difusi


sederhana. Obat-obat yang bersifat lipofilik lebih mudah menembus plasenta
daripada zat nonlipofilik. Obat yang tidak terionisasi pada pH fisiologis akan lebih
mudah berdifusi melalui plasenta dibandingkan obat-obat yang bersifat asam atau
basa. Perubahan-perubahan pada aliran darah plasenta akibat keadaan
patofisiologis sekunder (hipertensi dalam kehamilan, solusio plasenta) atau karena
efek farmakologis obat oksitosik atau nikotin dapat mempengaruhi transfer obat
melalui plasenta. Kecepatan tercapainya keseimbangan obat antara ibu dan janin
mempunyai arti yang penting pada keadaan konsentrasi obat pada janin harus
dicapai secepat mungkin, seperti pada kasus-kasus aritmia atau infeksi janin
intrauterin, karena obat diberikan melalui ibunya.
3) Mekanisme Transfer Obat melalui Plasenta

Obat-obatan yang diberikan kepada ibu hamil dapat menembus sawar plasenta
sebagaimana halnya dengan nutrisi yang dibutuhkan janin, dengan demikian obat
mempunyai potensi untuk menimbulkan efek pada janin. Perbandingan
konsentrasi obat dalam plasma ibu dan janin dapat memberi gambaran pemaparan
janin terhadap obat-obatan yang diberikan kepada ibunya.

Waddell dan Marlowe (1981) menetapkan bahwa terdapat 3 tipe transfer obat-
obatan melalui plasenta sebagai berikut:
1) Tipe I
 Obat-obatan yang segera mencapai keseimbangan dalam kompartemen ibu
dan janin, atau terjadi transfer lengkap dari obat tersebut. Yang dimaksud dengan
keseimbangan di sini adalah tercapainya konsentrasi terapetik yang sama secara
simultan pada kompartemen ibu dan janin.
2) Tipe II
 Obat-obatan yang mempunyai konsentrasi dalam plasma janin lebih tinggi
daripada konsentrasi dalam plasma ibu atau terjadi transfer yang berlebihan. Hal
ini mungkin terjadi karena transfer pengeluaran obat dari janin berlangsung lebih
lambat.
3) Tipe III
 Obat-obatan yang mempunyai konsentrasi dalam plasma janin lebih
rendah daripada konsentrasi dalam plasma ibu atau mterjadi transfer yang tidak
lengkap. Faktor-faktor yang mempengaruhi transfer obat melalui plasenta antara
lain adalah:

 Berat molekul obat. Pada obat dengan berat molekul lebih dari
500D akan terjadi transfer tak lengkap melewati plasenta.

 PKa (pH saat 50% obat terionisasi).

 Ikatan antara obat dengan protein plasma.

Mekanisme transfer obat melalui plasenta dapat dengan cara difusi, baik aktif
maupun pasif, transport aktif, fagositosis, pinositosis, diskontinuitas membran dan
gradien elektrokimiawi.
 3.1. Difusi pasif

 Difusi tidak memerlukan energi, hal ini digambarkan menurut


Fick’s sebagai berikut:
 D/KA adalah resisitensi membran; adalah perbedaan konsentrasi
yang dibutuhkan oleh sejumlah zat agar dapat berdifusi melewati plasenta.

 Pada manusia sawar plasenta terdiri atas 3 lapisan, yaitu: epitel


trofoblas yang melapisi vili, jaringan ikat korion dan endothel kapiler. Terdapat
hubungan langsung antara permukaan vili, yang merupakan permukaan tempat
pertukaran zat, dengan kebutuhan nutrisi janin (yaitu berat badan janin).
Perbandingan antara berat plasenta/berat janin sesuai usia kehamilan mengikuti
kurva eksponensial dan rasio ini menurun sesuai pertambahan usia kehamilan.
Tetapi pada keadaan patologis kemampuan plasenta untuk mengadakan transfer
zat akan mengalami gangguan, sehingga hubungan antara berat plasenta dengan
luas permukaan pertukaran tidak berlaku lagi.

 3.2. Transport fasilitatif dan transport aktif

 Pada transport fasilitatif tidak diperlukan energi, tetapi


memerlukan keberadaan zat pembawa (carrier) untuk mengangkut zat-zat melalui
plasenta. Hal ini terjadi pada transport glukosa. Transport aktif membutuhkan
energi. Perpindahan zat-zat terjadi karena adanya gradien (perbedaan) konsentrasi,
transport ini dapat dihambat atau menjadi jenuh oleh kerja racun metabolik.

 Fagositosis dan pinositosis adalah mekanisme transport lambat


seperti yang terjadi pada mukosa usus dan dapat terjadi pada trofoblas. Proses ini
berlangsung sangat lambat dan tidak mempunyai makna dalam transfer obat
melalui plasenta. Eritrosit dapat melewati plasenta karena adanya celah-celah
pada permukaan plasenta, tetapi belum jelas apakah mekanisme ini juga berlaku
untuk obat-obatan. Terdapat suatu gradien elektrokimiawi pada plasenta akibat
perbedaan pH darah ibu dan janin. Obat yang bersifat basa lemah cenderung lebih
mudah terurai dalam darah janin dibandingkan di dalam darah ibu. Jadi gradien
elektrokimiawi lebih bermakna pada obatobat yang terionisasi yang mempunyai
pK mendekati pH darah.

 3.3. Aspek-aspek mutakhir transfer obat melalui plasenta

 Kemajuan pesat telah dicapai dalam hal teknik pemeriksaan darah


dari arteri dan vena tali pusat sewaktu janin di dalam kandungan. Keuntungan
metode ini adalah bahwa darah dapat diambil sewaktu-waktu dari pertengahan
usia kehamilan hingga genap bulan, untuk mempelajari farmakokinetika obat.
Tetapi terdapat 2 masalah yaitu: 1. Memilih jenis obat yang akan diteliti dan 2.
Desain protokol penelitian. Variabel tentang transfer obat melalui plasenta sangat
luas dan masih harus diawasi terutama untuk obat-obat yang membahayakan janin
dan obat-obat yang proses transfernya buruk tetapi harus mencapai konsentrasi
yang dibutuhkan oleh janin.

 Obat-obat yang diberikan pada pasien selama persalinan,


konsentrasinya dalam darah talipusat bukan merupakan petunjuk jumlah obat
yang ditransfer ke janin. Apabila obat melewati plasenta, terjadi distribusi dalam
janin dan konsentrasi obat di darah perifer menurun bersamaan dengan
kemampuan jaringan untuk mengeluarkan obat tersebut. Pada akhir proses
distribusi jumlah obat yang ditransfer harus sama dengan jumlah obat yang
diekskresikan dari janin dengan anggapan bahwa konsentrasi obat tetap konstan
dalam darah ibu dan tercapai keseimbangan antara kompartemen ibu dan janin.
Pemberian obat secara langsung ke dalam cairan amnion akan mengatasi masalah
yang berkaitan dengan sawar plasenta. Metode pemberian obat ini sangat berguna
khususnya pada obat-obatan yang transfernya buruk

KESIMPULAN

Kehamilan berkaitan dengan berbagai macam perubahan fisiologis yang


mempengaruhi perlakuan tubuh terhadap obatobatan. Tetapi pada kebanyakan
obat hasil akhir perubahanperubahan ini tidak menimbulkan perubahan kadar obat
bebas dalam darah, yang berarti tidak terjadi perubahan efek obat.
Pada obat-obatan yang mengalami peningkatan ekskresi, dosis perlu ditingkatkan,
sedangkan pada obat-obatan yang terikat pada protein plasma, kondisi
hipoalbuminemia yang terjadi berakibat konsentrasi obat bebas menjadi lebih
tinggi. Maka pengaturan dosis pada obat-obatan tersebut harus mengacu pada
pengukuran kadar obat bebas. Aspek lain yang penting mengenai pemberian obat
pada wanita hamil adalah efek obat itu pada janin. Hampir semua obat dapat
melewati sawar plasenta dan mencapai konsentrasi yang terdeteksi di dalam janin.

Pemberian obat selama kehamilan dapat bertujuan pengobatan pada ibu maupun
janin intrauterin. Pemberian obat harus mengacu pada tujuan pengobatan dan
kedaruratan pemberian; pola terapi yang bersifat
rasional, efektif, aman dan ekonomis, dapat dijangkau jika dalam pengobatan
dipakai prinsip “Panca Tepat”:
1. Diagnosis penyakit yang tepat.
2. Pemilihan jenis obat yang tepat.
3. Dosis, lama pemberian, dan interval pemberian yang tepat.
4. Memperhatikan patologi dan perlangsungan penyakit secara tepat.
5. Pengawasan dan penanganan efek dan efek samping obat secara tepat.
Oleh karena itu seorang dokter haruslah bijaksana dalam menentukan terapi yang
terbaik untuk kepentingan ibu dan janin.

Anda mungkin juga menyukai