Anda di halaman 1dari 18

Makalah Prinsip Etika Bisnis Islam

Diposkan oleh Unknown  pada tanggal March 31, 2017

Prinsip Etika Bisnis Islam

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Untuk membangun kultur bisnis yang sehat, idealnya dimulai dari perumusan etika yang
akan digunakan  sebagai norma perilaku sebulum aturan (hukum) perilaku dibuat dan
dilaksanakan, atau aturan (norma) etika tersebut diwujudkan dalam bentuk aturan hukum.
Sebagai kontrol terhadap individu pelaku dalam bisnis yaitu melalui penerapan kebiasaan atau
budaya moral atas pemahaman dan penghayatan nilai-nilai dalam prinsip moral sebagai inti
kekuatan suatu perusahaan dengan mengutamakan kejujuran, bertanggung jawab, disiplin,
berprilaku tanpa diskriminasi.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa saja Prinsip Etika Bisnis Islam ?


2.      Apa saja Aspek Dasar Prinsip Etika Bisnis Islam ?
3.      Bagaimanakah Langkah-langkah Pengaplikasian Prinsip Etika Bisnis Islam tersebut ?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Prinsip Etika Bisnis Islam
Untuk membangun kultur bisnis yang sehat, idealnya dimulai dari perumusan etika yang
akan digunakan  sebagai norma perilaku sebulum aturan (hukum) perilaku dibuat dan
dilaksanakan, atau aturan (norma) etika tersebut diwujudkan dalam bentuk aturan hukum.
Sebagai kontrol terhadap individu pelaku dalam bisnis yaitu melalui penerapan kebiasaan atau
budaya moral atas pemahaman dan penghayatan nilai-nilai dalam prinsip moral sebagai inti
kekuatan suatu perusahaan dengan mengutamakan kejujuran, bertanggung jawab, disiplin,
berprilaku tanpa diskriminasi[1].
Etika bisnis hanya bisa berperan dalam suatu komunitas moral, tidak merupakan
komitmen individual saja, tetapi tercantum dalam suatu kerangka sosial. Etika bisnis menjamin
bergulirnya kegiatan bisnis dalam jangka panjang, tidak berfokus pada keuntungan jangka
pendek saja. Etika bisnis akan meningkatkan kepuasan pegawai yang
merupakan stakeholders yang penting untuk diperhatikan.
Etika bisnis membawa pelaku bisnis untuk masuk dalam bisnis internasional. Karenanya,
harus :
1.      Pengelolaan bisnis secara professional.
2.      Berdasarkan keahlian dan keterampilan khusus.
3.      Mempunyai komitmen moral yang tinggi.
4.      Menjalankan usahanya berdasarkan profesi/keahlian.
Karena itu, etika bisnis secara umum menurut Suarny Amran, harus berdasarkan prinsip-
prinsip sebagai berikut :
1.      Prinsip Otonomi : Yaitu kemampuan untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan
keselarasan tentang apa yang baik untuk dilakukan dan bertanggung jawab secara moral atas
keputusan yang diambil.
2.      Prinsip Kejujuran : Dalam hal ini kejujuran adalah merupakan kunci keberhasilan suatu bisnis,
kejujuran dalam pelaksanaan control terhadap konsumen, dalam hubungan kerja, dan
sebagaianya.
3.      Prinsip Keadilan : Bahwa setiap orang dalam berbisnis diperlakukan sessuai dengan haknya
masing-masing dan tidak ada yang boleh dirugikan.
4.      Prinsip Saling Menguntungkan: Juga dalam bisnis yang kompetetif.
5.      Prinsip Integritas Moral : Ini merupakan dasar dalam berbisnis, harus menjaga nama baik
perusahaan tetap dipercaya dan merupakan perusahaan terbaik.

B.     Aspek Dasar Prinsip Etika Bisnis Islam


Demikian pula dalam islam, etika bisnis islami harus berdasarkan pada prinsip-prinsip
dasar yang berlandaskan pada Al Qur’an dan Al Hadits, sehingga dapat diukur dengan aspek
dasarnya yang meliputi[2] :
1.      Barometer Ketaqwaan Seseorang. Allah s.w.t. berfirman (QS. Al Baqarah:188).
Artinya : “ Dan janganlah kalian memakan harta sebagian yang lain dengan cara yang
bathil. Dan janganlah pula kalian membawa urusan harta itu kepada hakim, agar kamu dapat
memakan sebagian dari harta manusia dengan cara yang dosa sedangkan kamu mengetahui”

2.      Mendatangkan Keberkahan. Allah s.w.t. berfirman (QS. Al A’raf:96)


Artinya : “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa , pastilah
kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”

3.      Mendapatkan Derajat Seperti Para Nabi, Shiddiqin & Syuhada. Rasulullah s.a.w. bersabda:
Artinya : “Dari Abu Sa’id Al-Khudri ra. Beliau berkata bahwa Rasulullah s.a.w.
bersabda “Pebisnis yang jujur lagi dipercaya (amanah) akan bersama para nabi, shiddiqin dan
syuhada”. (HR.Turmudzi)

4.      Berbisnis Merupakan Sarana Ibadah Kepada Allah s.w.t.. Banyak ayat yang menggambarkan
bahwa aktifitas bisnis merupakan sarana ibadah, bahkan perintah dari Allah s.w.t.. Diantaranya
(QS.At Taubah:105)
Artinya : “Dan katakanlah “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-
orang mukmin akan meliahat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kapada (Allah)
Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang
telah kamu kerjakan”
Berdasarkan prinsip-prinsip dasar etika bisnis Islam diatas, maka secara teologis islam
menawarkan nilai-nilai dasar atau prinsip-prinsip umum yang penerapannya dalam  bisnis
disesuaikan dengan perkembangan zaman dan mempertimbangkan dimensi ruang dan waktu.
Nilai-nilai dasar etika bisnis dalam islam adalah[3] :
1.      Tauhid (Kesatuan dan Integrasi-Kesamaan)
Dalam hal ini adalah tauhid sebagaimana terefleksikan dalam konsep kesatuan yang
memadukan keseluruhan aspek-aspek kehidupan muslim baik dalam bidang ekonomi, politik,
sosial menjadi keseluruhan yang homogen, serta mementingkan konsep konsistensi dan
keteraturan yang menyeluruh.
Dari konsep ini maka Islam menawarkan keterpaduan agama, ekonomi, dan sosial demi
membentuk kesatuan. Atas dasar pandangan ini pula maka etika dan bisnis menjadi terpadu,
vertikal maupun horizontal, membentuk suatu persamaan yang sangat penting dalam sistem
Islam[4].

2.      Khilafah (Intelektualitas-Kehandak Bebas-Tanggungjawab dan Akuntabilitas)


Kebebasan tanpa batas adalah suatu hal yang mustahil dilakukan oleh manusia karena
tidak menuntut adanya pertanggung jawaban dan akuntabilitas.
Untuk memenuhi tuntunan keadilan dan kesatuan, manusia perlu mempertaggung
jawabkan tindakanya, secara logis prinsip ini berhubungan erat dengan kehendak bebas. Ia
menetapkan batasan mengenai apa yang bebas dilakukan oleh manusia dengan bertanggung
jawab atas semua yang dilakukannya.

3.      Ibadah (Penyerahan Total)


Kemampuan pelaku bisnis untuk menjadikan penghambaan manusia kepada tuhan
sebagai wawasan batin sekaligus komitmen moral yang berfungsi memberikan arah, tujuan dan
pemaknaan terhadap aktualisasi kegiatan bisnisnya.

4.      Tazkiyah (Kejujuran-Keadilan-Keterbukaan)
Kebenaran dalam konteks ini selain mengandung makna kebenaran lawan dari kesalahan,
mengandung pula dua unsur yaitu kebajikan dan kejujuran.
Dalam konteks bisnis kebenaran dimaksudkan sebagia niat, sikap dan perilaku benar
yang meliputi proses akad (transaksi) proses mencari atau memperoleh komoditas
pengembangan maupun dalam proses upaya meraih atau menetapkan keuntungan.
Islam sangat mengajurkan untuk berbuat adil dalam berbisnis, dan melarang berbuat
curang atau berlaku dzalim. Rasulullah diutus Allah untuk membangun keadilan. Kecelakaan
besar bagi orang yang berbuat curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari
orang lain meminta untuk dipenuhi, sementara kalau menakar atau menimbang untuk orang
selalu dikurangi.
Kecurangan dalam berbisnis pertanda kehancuran bisnis tersebut, karena kunci
keberhasilan bisnis adalah kepercayaan..
Al-Qur’an memerintahkan kepada kaum muslimin untuk menimbang dan mengukur
dengan cara yang benar dan jangan sampai melakukan kecurangan dalam bentuk pengurangan
takaran dan timbangan. Allah s.w.t. berfirman “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu
menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya,” (Q.S.Al Isra’:35).
Dalam beraktivitas di dunia kerja dan bisnis, Islam mengharuskan untuk berbuat adil,tak
terkecuali pada pihak yang tidak disukai. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-
Maidah ayat 8 yang artinya: “Hai orang-orang beriman,hendaklah kamu jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah SWT,menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-sekali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak
adil.Berlaku adillah karena adil lebih dekat dengan takwa.”

5.      Ihsan (Kebaikan Orang Lain-Kebersamaan-Profesionalisme)


Kebebasan merupakan bagian penting dalam nilai etika bisnis islam, tetapi kebebasan itu
tidak merugikan kepentingan kolektif. Kepentingan individu dibuka lebar. Tidak adanya batasan
pendapatan bagi seseorang mendorong manusia untuk aktif berkarya dan bekerja dengan segala
potensi yang dimilikinya.
Kecenderungan manusia untuk terus menerus memenuhi kebutuhan pribadinya yang tak
terbatas dikendalikan dengan adanya kewajiban setiap individu terhadap masyarakatnya melalui
zakat, infak dan sedekah.

C.    Aplikasi Prinsip Etika Bisnis Islam


Dari 4 prinsip etika dasar bisnis islami, maka pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana
akhlaq bisnis islami itu dilaksanakan ? Apa langkah-langkah konkrit bisnis islami itu ?  Ada 6
langkah awal dalam memulai etika bisnis islami[5], yaitu :
1.      Niat ikhlas mengharap ridha Allah s.w.t.
Rasulullah s.a.w. bersabda “Bahwasanya segala amal perbuatan manusia itu tergantung
dari niatnya. Dan bahwasanya bagi setiap orang (akan mendapatkan) dari apa yang telah
diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya mengharapkan dunia, atau karena wanita yang ingin
dinikahinya, maka hijrahnya itu hanya akan mendapatkan apa yang telah diniatkannya”
(HR.Bukhari)

2.      Profesional.
Rasulullah s.a.w. bersabda “Dari Aisyah ra. Rasulullah s.a.w. bersabda, Sesungguhnya
Allah mencintai seseorang yang apabila dia beramal, dia menyempurnakan amalnya”
(HR.Thabrani)

3.      Jujur & Amanah.


Rasulullah s.a.w. bersabda “Dari Abu Sa’id Al-Khudri ra. beliau berkata bahwa
Rasulullah s.a.w. bersabda “Pebisnis yang jujur  lagi dipercaya (amanah) akan bersama para
nabi, shiddiqin dan syuhada”. (HR.Turmudzi)

4.      Mengedepankan etika sebagai seorang muslim.


Rasulullah s.a.w. bersabda “Dari Abu Hurairah ra. Raslullah s.a.w. bersabda “Orang
beriman yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaknya. Dan sebaik-
baik kalian adalah yang paling baik akhlaknya terhadap istri-istrinya”. (HR.Turmudzi)
5.      Tidak melanggar prinsip syariah.
Allah s.w.t. berfirman “ Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan
taatlah kepada Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu.” (QS.47:33)

6.      Ukhuwah islamiyah.
Rasulullah s.a.w. bersabda “Sesungguhnya diantara hamba-hamba Allah ada
sekelompok manusia yang mereka itu bukan para nabi dan bukan pula orang-orang mati syahid,
namun posisi mereka pada hari kiamat membuat para nabi dan syuhada menjadi iri. Sahabat
bertanya ‘Beritahukan kepada kami, siapa mereka itu ? Rasulullah menjawab ‘Mereka adalah
satu kaum yang saling mencintai karena Allah meskipun diantara meraka tidak ada hubungan
kekerabatan dan tidak pula ada motivasi duniawi. Demi Allah wajah mereka bercahaya dan
mereka berada diatas cahaya. Mereka tidak takut tatkala manusia takut, dan mereka tidak
bersedih hati”.(HR.Abu Daud)

 
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan

Etika bisnis hanya bisa berperan dalam suatu komunitas moral, tidak merupakan
komitmen individual saja, tetapi tercantum dalam suatu kerangka sosial. Etika bisnis menjamin
bergulirnya kegiatan bisnis dalam jangka panjang, tidak berfokus pada keuntungan jangka
pendek saja.
Etika bisnis akan meningkatkan kepuasan pegawai yang merupakan stakeholders yang
penting untuk diperhatikan

DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an dan Terjemahannya.2012.
Aziz, Abdul M.Ag, 2013. “Etika Bisnis Perspektif Islam”. Bandung, Penerbit Alfabeta.

[1] Aziz, Abdul M.Ag, 2013. “Etika Bisnis Perspektif Islam”. Bandung, Penerbit


Alfabeta. Hal 36
[2] Aziz, Abdul M.Ag, 2013. “Etika Bisnis Perspektif Islam”. Bandung, Penerbit
Alfabeta. Hal 37
[3] Aziz, Abdul M.Ag, 2013. “Etika Bisnis Perspektif Islam”. Bandung, Penerbit
Alfabeta. Hal 43
[4] Aziz, Abdul M.Ag, 2013. “Etika Bisnis Perspektif Islam”. Bandung, Penerbit
Alfabeta. Hal 46
[5] Aziz, Abdul M.Ag, 2013. “Etika Bisnis Perspektif Islam”. Bandung, Penerbit
Alfabeta Hal 39
PINSIP PRINSIP ETIKA
BISNIS ISLAM
Reply
 
February 10, 2012
A+A-
EMAILPRINT

A.    Pendahuluan
Etika bisnis merupakan ilmu yang dibutuhkan banyak pihak tetapi masih
bersifat problematis dari sisi metodologis. Ilmu ini dibutuhkan untuk merubah performen
dunia bisnis yang dipenuhi oleh praktek praktek mal bisnis. Yang dimaksud praktek mal-
bisnis adalah mencakup baik business crimes maupun business tort, yakni business
crimes sebagai perbuatan bisnis yang melanggar hukum pidana atau business tort
sebagai perbuatan bisnis yang melanggar etika.[1] Al-Qur’an  sebagai sumber nilai, telah
memberikan nilai-nilai prinsipil untuk mengenali perilaku-perilaku yang bertentangan dengan
nilai-nilai al-Qur’an. Dalam al-Qur’an  terdapat terma-terma, al-bathil, al- fasad dan azh-
zhalim  yang dapat difungsikan sebagai landasan-landasan atau muara perilaku yang bertentangan
dengan nilai perilaku yang dibolehkan atau dianjurkan al- Qur’an khususnya dalam dunia bisnis.
Hal ini beralasan bahwa beberapa ayat yang mempunyai kandungan tentang bisnis, seringkali
mengunakan terma-terma di atas ketika menjelaskan tentang perilaku bisnis yang buruk.[2]
Ketika ayat-ayat al-Qur’an dengan terma-terma, al-bathil, al- fasad dan azh-
zhalim  dihubungkan dengan pengertian hakikat bisnis, dapat diambil kesimpulan bahwa salah
satu landasan praktek mal bisnis adalah setiap praktek bisnis yang mengandung unsur kebatilan,
kerusakan dan kezaliman baik sedikit maupun banyak, tersembunyi maupun terang-terangan.
Dapat menimbulkan kerugian secara material maupun immateri baik bagi si pelaku, pihak lain
maupun masyarakat. Dapat menimbulkan ketidakseimbangan dan ketidakadilan. Menimbulkan
akibat-akibat moral maupun akibat hukum yang mengikutinya, baik menurut hukum agama
maupun hukum positif. Namun demikian penilaian terhadap suatu praktek mal bisnis tidak
disyaratkan adanya tiga. landasan kebatilan, kerusakan dan kezhaliman sekaligus, melainkan
adanya salah satu dari ketiga landasan di atas secara otomatis telah memasukan suatu aktivitas
maupun entitas bisnis ke dalam kategori praktek mal bisnis.[3]

B.     Prinsip Prinsip Etika Bisnis Islam


Dengan memperhatikan al-Qur’an melalui praktek mal bisnis al-bathil, al-
fasad  dan azh-zhalim, maka pakar ekonomi muslim mengemukakan sejumlah prinsip (aksioma)
dalam ilmu ekonomi Islam yang mesti diterapkan dalam bisnis syari’ah, antara lainn[4]

1.      Tawhid   ( Kesatuan )
Secara esensial, tawhid   dipandang sebagai paradigma Islam bagi penghambaan makhluk
pada sang pencipta dan dalam melaksanakan seluruh perintahNya. Di samping keterkaitan secara
vertikal Tawhid  juga menjadi perekat bagi hubungan antar manusia. Sehingga bagaikan uang
logam dengan dua sisi tak terpisah. Tawhid  mengajarkan bahwa Allah adalah pencipta dan
mengajarkan kebersamaan, dan persaudaraan sesama manusia.[5]
Di samping itu tawhid   juga mengandung arti bahwa alam semesta didesain
dan diciptakan secara sadar oleh Allah, yang bersifat esa dan unik, dan ia tidak terjadi karena
kebetulan atau aksiden.[6] Penciptaan alam baik flora maupun fauna ditundukkan Allah sebagai
sumber daya ekonomis dan keindahan bagi umat manusia.[7] Sementara manusia sendiri
dihadapan Allah adalah sama, hanya taqwa dan amal shaleh yang membedakannya.[8] Sehingga
segala sesuatu yang diciptakan-Nya memiliki suatu tujuan. Tujuan inilah yang akan memberikan
arti dan signifikansi bagi eksistensi jagat raya, di mana manusia merupakan salah satu bagiannya.
[9]
Implikasi dari doktrin tawhid  adalah terbukanya kesempatan yang sama bagi manusia
dalam memperoleh rizki Allah meskipun ketidakmerataan ekonomi di antara manusia tidak
terlepas dari kekuasaan Allah. Namun, dalam kerangka tawhid , perbedaan kemampuan secara
ekonomis ini justru mendorong pada adanya persaudaraan, saling membantu dan bekerja sama
dalam bidang ekonomi melalui mekanisme shirkah, qirad, dan sebagainya.[10]
Konsep tauhid merupakan dimensi vertikal Islam sekaligus horizontal yang memadukan
segi politik, sosial ekonomi kehidupan manusia menjadi kebulatan yang homogen yang konsisten
dari dalam dan luas sekaligus terpadu dengan alam luas.[11]
Dari konsepsi ini, maka Islam menawarkan keterpaduan agama, ekonomi, dan sosial
demi membentuk kesatuan. Atas dasar pandangan ini maka pengusaha muslim dalam melakukan
aktivitas bisnis harus memperhatikan tiga hal:14 (1), tidak diskriminasi terhadap pekerja, penjual,
pembeli, mitra kerja atas dasar pertimbangan ras, warna kulit, jenis kelamin atau agama.
[12]
 (2),  Allah yang paling ditakuti dan dicintai.[13] (3), tidak menimbun kekayaan atau serakah,
karena hakikatnya kekayaan merupakan amanah Allah.[14]
   Tauhid mengantarkan manusia pada pengakuan akan keesaan Allah selaku Tuhan
semesta alam. Dalam kandungannya meyakini bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini
bersumber dan berakhir kepada-Nya. Dialah pemilik mutlak dan absolut atas semua yang
diciptakannya. Oleh sebab itu segala aktifitas khususnya dalam muamalah dan bisnis manusia
hendaklah mengikuti aturan-aturan yang ada jangan sampai menyalahi batasan-batasan yang
telah diberikan.
2.Khilafah  (Perwakilan)
Selain Tawhid konsep khilafah dalam Islam menempatkan manusia sebagai
wakil Allah di muka bumi.[15] Manusia dipandang paling mulianya ciptaan Allah dibanding
makhluk lainnya, malaikat sekalipun. Dalam diri manusia terdapat kombinasi bumi dan spirit
ketuhanan serta dilengkapi dengan kesadaran, kebijaksanaan dan kreativitas. Selain itu manusia
mendapat sarana berupa sumber-sumber materi yang dapat membantunya dalam mengemban
misinya secara efektif. Dalam konteks ini Islam menilai bahwa manusia bebas untuk mengatur
kehidupannya dengan pola ekonomi yang manapun, bukan manusia yang dikendalikan hukum-
hukum ekonomi, sebagaimana pernyataan Marx Weber. Pola ekonomi yang dipilih manusia
dalam mengatur kehidupannya merupakan penentu bagi sifat dan gagasannya tentang dirinya
sendiri. Meski bebas memilih, manusia sebagai khalifah harus tetap memandang bahwa agama
merupakan sarana mengatur kehidupan di bumi.[16]
Dengan demikian, konsep khilafah  itu bersifat kreatif dari sekedar status.
Keberadaan manusia sebagai khalifah Allah terletak pada daya kreatifitas mereka dalam
memakmurkan bumi.[17] Karenanya, sebagai upaya mewujudkan khalifah manusia, al-Faruqi
menilai pentingnya membangun pemerintahan dengan sistem khilafah, bukan dawlah  (negara)
sebagaimana yang dipraktekkan negara-negara Barat. Sebab, sistem khilafah lebih dekat dengan
tradisi Islam dan berakar pada tawhid  sementara sistem dawlah sangat jauh dari esensi konsep
ummah dalam Islam.[18]
3.‘Adalah  (keadilan)
Prinsip keadilan merupakan salah satu sumbangan terbesar Islam kepada umat manusia
untuk dilaksanakan dalam setiap aspek kehidupan. Islam memberikan suatu aturan yang dapat
dilaksanakan sebagai pengganti amalan-amalan tradisional yang amat bertentangan. Setiap
anggota masyarakat didorong untuk memperbaiki kehidupan material di samping berusaha untuk
memperbaiki kehidupan spiritual dan mengingatkan bahwa setiap benda di dunia ini adalah
untuk diambil manfaatnya. Tetapi secara bersamaan, Islam mendidik mereka bertanggung jawab
bukan saja kepada isteri dan keluarga, tetapi juga saudara-saudaranya yang miskin dan melarat,
negara dan akhirnya seluruh makhluk. Setelah mendapat manfaat dari harta kekayaannya
masing-masing sudah selayaknya memberikan faedah yang sama kepada masyarakat yang lain.
[19]
Persaudaraan sebagaimana ungkapan di atas yang merupakan bagian integral dari
konsep tawhid  dan khilafah  akan tetap menjadi konsep kosong yang tidak memiliki substansi,
jika tidak dibarengi dengan keadilan sosio-ekonomi. Sehingga konsep ini merupakan kunci untuk
memahami ilmu ekonomi, Islam dan masyarakat Islam yang bertujuan untuk menciptakan
“keseimbangan” dalam masyarakat.[20]
4. Tawazun  (Keseimbangan)
Keseimbangan  Ajaran Islam berorientasi pada terciptanya karakter manusia yang
memiliki sikap dan prilaku yang seimbang dan adil dalam konteks hubungan antara manusia
dengan diri sendiri, dengan orang lain (masyarakat) dan dengan lingkungan.[21]
Keseimbangan ini sangat ditekankan oleh Allah dengan menyebut umat Islam
sebagai ummatan wasathan. Ummatan wasathan adalah umat yang memiliki kebersamaan,
kedinamisan dalam gerak, arah dan tujuannya serta memiliki aturan-aturan kolektif yang
berfungsi sebagai penengah atau pembenar. Dengan demikian keseimbangan, kebersamaan,
kemodernan merupakan prinsip etis mendasar yang harus diterapkan dalam aktivitas maupun
entitas bisnis.[22]
Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa pembelanjaan harta benda harus dilakukan dalam
kebaikan atau jalan Allah dan tidak pada sesuatu yang dapat membinasakan diri.[23] Harus
menyempurnakan takaran dan timbangan dengan neraca yang benar.[24] Dijelaskan juga bahwa
ciri-ciri orang yang mendapat kemuliaan dalam pandangan Allah adalah mereka yang
membelanjakan harta bendanya tidak secara berlebihan dan tidak pula kikir, tidak melakukan
kemusyrikan, tidak membunuh jiwa yang diharamkan, tidak berzina, tidak memberikan
kesaksian palsu, tidak tuli dan tidak buta terhadap ayat-ayat Allah.[25]
Agar keseimbangan ekonomi dapat terwujud maka harus terpenuhi syarat-syarat berikut:
(1), produksi, konsumsi dan distribusi harus berhenti pada titik keseimbangan tertentu demi
menghindari pemusatan kekuasaan ekonomi dan bisnis dalam genggaman segelintir orang. (2),
setiap kebahagiaan individu harus mempunyai nilai yang sama dipandang dari sudut sosial,
karena manusia adalah makhluk teomorfis yang harus memenuhi ketentuan keseimbangan nilai
yang sama antara nilai sosial marginal dan individual dalam masyarakat. (3), tidak mengakui hak
milik yang tak terbatas dan pasar bebas yang tak terkendali.[26]
Keseimbangan) merupakan konsep yang menunjukkan adanya keadilan sosial. Kehendak
bebas (Free Will) yakni manusia mempunyai suatu potensi dalam menentukan pilihan-pilihan
yang beragam, karena kebebasan manusia tidak dibatasi. Tetapi dalam kehendak bebas yang
diberikan Allah kepada manusia haruslah sejalan dengan prinsip dasar diciptakannya manusia
yaitu sebagai khalifah di bumi. Sehingga kehendak bebas itu harus sejalan dengan kemaslahatan
kepentingan individu telebih lagi pada kepentingan umat.
4.Free will  (Kehendak Bebas).
Manusia sebagai khalifah di muka bumi sampai batas-batas tertentu mempunyai
kehendak bebas untuk mengarahkan kehidupannya kepada tujuan yang akan dicapainya.
Manusia dianugerahi kehendak bebas (free will) untuk membimbing kehidupannya sebagai
khalifah. Berdasarkan aksioma kehendak bebas ini, dalam bisnis manusia mempunyai kebebasan
untuk membuat suatu perjanjian atau tidak, melaksanakan bentuk aktivitas bisnis tertentu,
berkreasi mengembangkan potensi bisnis yang ada.24
Dalam mengembangkan kreasi terhadap pilihan-pilihan, ada dua konsekuensi yang
melekat. Di satu sisi ada niat dan konsekuensi buruk yang dapat dilakukan dan diraih, tetapi di
sisi lain ada niat dan konsekuensi baik yang dapat dilakukan dan diraih. Konsekuensi baik dan
buruk sebagai bentuk risiko dan manfaat yang bakal diterimanya yang dalam Islam berdampak
pada pahala dan dosa.[27]
Kebebasan merupakan bagian penting dalam nilai etika bisnis islam,tetapi kebebasan itu
tidak merugikan kepentingan kolektif.Kepentingan individu dibuka lebar.Tidak adanya batasan
pendapatan bagi seseorang mendorong manusia untuk aktif berkarya dan bekerja dengan segala
potensi yang dimilikinya.Kecenderungan manusia untuk terus menerus memenuhi kebutuhan
pribadinya yang tak terbatas dikendalikan dengan adanya kewajiban setiap individu terhadap
masyarakatnya melalui zakat.infak dan sedekah.
5.  Responsibility (Pertanggungjawaban)
Segala kebebasan dalam melakukan bisnis oleh manusia tidak lepas dari
pertanggungjawaban yang harus diberikan atas aktivitas yang dilakukan sesuai dengan apa yang
ada dalam al-Qur’an” Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”.
[28]
 Kebebasan yang dimiliki manusia dalam menggunakan potensi sumber daya mesti memiliki
batas-batas tertentu, dan tidak digunakan sebebas-bebasnya, melainkan dibatasi oleh koridor
hukum, norma dan etika yang tertuang dalam al-Qur’an dan Sunnah rasul yang harus dipatuhi
dan dijadikan referensi atau acuan dan landasan dalam menggunakan potensi sumber daya yang
dikuasai. Tidak kemudian digunakan untuk melakukan kegiatan bisnis yang terlarang atau yang
diharamkan, seperti judi, riba dan lain sebagainya. Apabila digunakan untuk melakukan kegiatan
bisnis yang jelas-jelas halal, maka cara pengelolaan yang dilakukan harus juga dilakukan dengan
cara-cara yang benar, adil dan mendatangkan manfaat optimal bagi semua komponen masyarakat
yang secara kontributif ikut mendukung dan terlibat dalam kegiatan bisnis yang dilakukan.[29]
Pertanggunjawaban ini secara mendasar akan mengubah perhitungan ekonomi dan bisnis
karena segala sesuatunya harus mengacu pada keadilan. Hal ini diimplementasikan minimal pada
tiga hal, yaitu: (1), dalam menghitung margin, keuntungan nilai upah harus dikaitkan dengan
upah minimum yang secara sosial dapat diterima oleh masyarakat. (2), economicreturn bagi
pemberi pinjaman modal harus dihitung berdasarkan pengertian yang tegas bahwa besarnya tidak
dapat diramalkan dengan probabilitas nol dan tak dapat lebih dahulu ditetapkan (seperti sistem
bunga). (3), Islam melarang semua transaksi alegotoris yang dicontohkan dengan
istilah gharar (penipuan).[30]
Tanggung Jawab (Responsibility) terkait erat dengan tanggung jawab manusia atas segala
aktifitas yang dilakukan kepada Tuhan dan juga tanggung jawab kepada manusia sebagai
masyarakat. Karena manusia hidup tidak sendiri dia tidak lepas dari hukum yang dibuat oleh
manusia itu sendiri sebagai komunitas sosial. Tanggung jawab kepada Tuhan tentunya diakhirat,
tapi tanggung jawab kepada manusia didapat didunia berupa hukum-hukum formal maupun
hukum non formal seperti sangsi moral dan lain sebagainya.
6     Benevolence (Kebenaran)

 Kebenaran disini juga meliputi kebajikan dan kejujuran. Maksud dari kebenaran adalah
niat, sikap dan perilaku benar dalam melakukan berbagai proses baik itu proses transaksi,
proses memperoleh komoditas, proses pengembangan produk maupun proses perolehan
keuntungan.
Adapun prinsip-prinsip etika bisnis menurut Al-Qur’an  dapat dijelaskan sebagai berkut:
1.    Melarang bisnis yang dilakukan dengan proses kebatilan (QS. 4:29). Bisnis harus didasari
kerelaan dan keterbukaan antara kedua belah pihak dan tanpa ada pihak yang dirugikan. Orang
yang berbuat batil termasuk perbuatan aniaya, melanggar hak dan berdosa besar (QS.4:30).
Sedangkan orang yang menghindarinya akan selamat dan mendapat kemuliaan (QS.4:31).
2.    Bisnis tidak boleh mengandung unsur riba (QS. 2:275). 
3.    Kegiatan bisnis juga memiliki fungsi sosial baik melalui zakat dan sedekah (QS.9:34).
Pengembangan harta tidak akan terwujud kecuali melalui interaksi antar sesama dalam berbagai
bentuknya. 
4.  Melarang pengurangan hak atas suatu barang atau komoditas yang didapat atau diproses dengan
media takaran atau timbangan karena merupakan bentuk kezaliman (QS. 11:85), sehingga dalam
praktek bisnis, timbangan harus disempurnakan (QS. 7:85, QS. 2:205).
5.  Menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan baik ekonomi maupun sosial, keselamatan dan
kebaikan serta tidak menyetujui kerusakan dan ketidakadilan.
6.  Pelaku bisnis dilarang berbuat zalim (curang) baik bagi dirinya sendiri maupun kepada pelaku
bisnis yang lain (QS. 7:85, QS.2:205).
Etika bisnis Islam sebenarnya telah diajarkan Nabi Muhammad SAW saat menjalankan
perdagangan. Karakteristik Nabi Muhammad SAW sebagai pedagang adalah, selain dedikasi dan
keuletannya juga memiliki sifat shidiq, fathanah, amanah dan tabligh. Ciri-ciri itu masih
ditambah Istiqamah, yang semuanya beliau lakukan atas pedoman al-Qur’an  diantaranya :
1.    Shidiq berarti mempunyai kejujuran dan selalu melandasi ucapan, keyakinan dan amal perbuatan
atas dasar nilai-nilai yang diajarkan Islam.
2.    Fathanah berarti mengerti, memahami, dan menghayati secara mendalam segala yang menjadi
tugas dan kewajibannya. Sifat ini akan menimbulkan kreatifitas dan kemampuan melakukakan
berbagai macam inovasi yang bermanfaat.
3.    Amanah berarti tanggung jawab dalam melaksanakan setiap tugas dan kewajiban. Amanah
ditampilkan dalam keterbukaan, kejujuran, pelayanan yang optimal, dan ihsan (kebajikan) dalam
segala hal.
4.    Tablig mengajak sekaligus memberikan contoh kepada pihak lain untuk melaksanakan
ketentuan-ketentuan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.
5.    Istiqamah atau konsisten dalam iman dan nilai-nilai kebaikan, meski menghadapi godaan dan
tantangan. Istiqamah dalam kebaikan ditampilkan dalam keteguhan, kesabaran serta keuletan
sehingga menghasilkan sesuatu yang optimal.[31]

Selain dari pada itu Rasululah Saw, sangat banyak memberikan petunjuk mengenai etika
bisnis, Ciri-ciri Rasulullah Saw berbisnis diantaranya adalah:

1)        Bahwa prinsip esensial dalam bisnis adalah kejujuran. Dalam doktrin Islam, kejujuran
merupakan syarat fundamental dalam kegiatan bisnis. Rasulullah sangat intens menganjurkan
kejujuran dalam aktivitas bisnis. Dalam tataran ini, beliau bersabda: “Tidak dibenarkan seorang
muslim menjual satu jualan yang mempunyai aib, kecuali ia menjelaskan aibnya” (H.R. Al-
Quzwani). “Siapa yang menipu kami, maka dia bukan kelompok kami” (H.R. Muslim).
Rasulullah sendiri selalu bersikap jujur dalam berbisnis. Beliau melarang para pedagang
meletakkan barang busuk di sebelah bawah dan barang baru di bagian atas
2)        Kesadaran tentang signifikansi sosial kegiatan bisnis. Pelaku bisnis menurut Islam, tidak hanya
sekedar mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya, sebagaimana yang diajarkan Bapak ekonomi
kapitalis, Adam Smith, tetapi juga berorientasi kepada sikap ta’awun (menolong orang lain)
sebagai implikasi sosial kegiatan bisnis. Tegasnya, berbisnis, bukan mencari untung material
semata, tetapi didasari kesadaran memberi kemudahan bagi orang lain dengan menjual barang.
3)        Tidak melakukan sumpah palsu. Nabi Muhammad saw sangat intens melarang para pelaku
bisnis melakukan sumpah palsu dalam melakukan transaksi bisnis Dalam sebuah hadis riwayat
Bukhari, Nabi bersabda, “Dengan melakukan sumpah palsu, barang-barang memang terjual,
tetapi hasilnya tidak berkah”. Dalam hadis riwayat Abu Zar, Rasulullah saw mengancam
dengan azab yang pedih bagi orang yang bersumpah palsu dalam bisnis, dan Allah tidak akan
memperdulikannya nanti di hari kiamat (H.R. Muslim). Praktek sumpah palsu dalam kegiatan
bisnis saat ini sering dilakukan, karena dapat meyakinkan pembeli, dan pada gilirannya
meningkatkan daya beli atau pemasaran. Namun, harus disadari, bahwa meskipun keuntungan
yang diperoleh berlimpah, tetapi hasilnya tidak berkah.
4)        Ramah-tamah. Seorang pelaku bisnis, harus bersikap ramah dalam melakukan bisnis. Nabi
Muhammad Saw  mengatakan, “Allah merahmati  seseorang yang ramah  dan toleran  dalam
berbisnis” (H.R. Bukhari dan Tarmizi).
5)        Tidak boleh berpura-pura menawar dengan harga tinggi, agar orang lain tertarik membeli
dengan harga tersebut. Sabda Nabi Muhammad, “Janganlah kalian melakukan bisnis najsya
(seorang pembeli tertentu, berkolusi dengan penjual untuk menaikkan harga, bukan dengan niat
untuk membeli, tetapi agar menarik orang lain untuk membeli).
6)        Tidak boleh menjelekkan bisnis orang lain, agar orang membeli kepadanya. Nabi Muhammad
Saw bersabda, “Janganlah seseorang di antara kalian menjual dengan maksud untuk
menjelekkan apa yang dijual oleh orang lain” (H.R. Muttafaq ‘alaih).
7)        Tidak melakukan ihtikar. Ihtikar ialah (menumpuk dan menyimpan barang dalam masa tertentu,
dengan tujuan agar harganya suatu saat menjadi naik dan keuntungan besar pun diperoleh).
Rasulullah melarang keras perilaku bisnis semacam itu.
8)        Takaran, ukuran dan timbangan yang benar. Dalam perdagangan, timbangan yang benar dan
tepat harus benar-benar diutamakan. Firman Allah: “Celakalah bagi orang yang curang, yaitu
orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila
mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi” (QS. 83: 112).
9)        Bisnis tidak boleh mengganggu kegiatan ibadah kepada Allah. Firman Allah, “Orang yang tidak
dilalaikan oleh bisnis lantaran mengingat Allah, dan dari mendirikan shalat dan membayar zakat.
Mereka takut kepada suatu hari yang hari itu, hati dan penglihatan menjadi goncang”.
10)     Membayar upah sebelum kering keringat karyawan. Nabi Muhammad Saw bersabda,
“Berikanlah upah kepada karyawan, sebelum kering keringatnya”. Hadist ini mengindikasikan
bahwa pembayaran upah tidak boleh ditundatunda. Pembayaran upah harus sesuai dengan kerja
yang dilakuan.
11)     Tidak monopoli. Salah satu keburukan sistem ekonomi kapitalis ialah melegitimasi monopoli
dan oligopoli. Contoh yang sederhana adalah eksploitasi (penguasaan) individu tertentu atas hak
milik sosial, seperti air, udara dan tanah dan kandungan isinya seperti barang tambang dan
mineral. Individu tersebut mengeruk keuntungan secara pribadi, tanpa memberi kesempatan
kepada orang lain. Ini dilarang dalam Islam.
12)     Tidak boleh melakukan bisnis dalam kondisi eksisnya bahaya (mudharat) yang dapat merugikan
dan merusak kehidupan individu dan sosial. Misalnya, larangan melakukan bisnis senjata di saat
terjadi chaos (kekacauan) politik. Tidak boleh menjual barang halal, seperti anggur kepada
produsen minuman keras, karena ia diduga keras, mengolahnya menjadi miras. Semua bentuk
bisnis tersebut dilarang Islam karena dapat merusak esensi hubungan sosial yang justru harus
dijaga dan diperhatikan secara cermat.
13)     Komoditi bisnis yang dijual adalah barang yang suci dan halal, bukan barang yang haram,
seperti babi, anjing, minuman keras, ekstasi, dan sebagainya. Nabi Muhammad Saw bersabda,
“Sesungguhnya Allah mengharamkan bisnis miras, bangkai, babi dan “patung-patung” (H.R.
Jabir).
14)     Bisnis dilakukan dengan suka rela, tanpa paksaan. Firman Allah, “Hai orangorang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil, kecuali
dengan jalan bisnis yang berlaku dengan suka-sama suka di antara kamu” (QS. 4: 29).
15)     Segera melunasi kredit yang menjadi kewajibannya. Rasulullah memuji seorang muslim yang
memiliki perhatian serius dalam pelunasan hutangnya. Sabda Nabi Saw, “Sebaik-baik kamu,
adalah orang yang paling segera membayar hutangnya” (H.R. Hakim).
16)     Memberi tenggang waktu apabila pengutang (kreditor) belum mampu membayar. Sabda Nabi
Saw, “Barang siapa yang menangguhkan orang yang kesulitan membayar hutang atau
membebaskannya, Allah akan memberinya naungan di bawah naunganNya pada hari yang tak
ada naungan kecuali naungan-Nya” (H.R. Muslim).
17)     Bahwa bisnis yang dilaksanakan bersih dari unsur riba. Firman Allah, “Hai orang-orang yang
beriman, tinggalkanlah sisa-sisa riba jika kamu beriman (QS. al-Baqarah: 278) Pelaku dan
pemakan riba dinilai Allah sebagai orang yang kesetanan (QS. 2: 275). Oleh karena itu Allah
dan Rasulnya mengumumkan perang terhadap riba.
Dengan ciri-ciri etika bisnis Islam yang tersebut diatas, kita dapat mengetahui perbedaan
bagaimana etika bisnis dalam Islam dengan etika bisnis kebanyakan budaya barat. Perbedaan
tersebut antara lain sebagai berikut:

C.      Upaya Membangun Bisnis yang Sesuai dengan Al-Qur’an

Selama ini dalam pemikiran kita telah didominasi oleh pandangan hidup Materialisme


pada satu sisi dan pandangan keterpisahan antara kehidupan dunia dan kehidupan agama. Kedua
sisi ini harus disadari telah membenamkan kesadaran kita kepada keyakinan bahwa bisnis
merupakan aktivitas duniawi yang hanya diperuntukan bagi pemenuhan kebutuhan hidup yang
bersifat jasmaniah semata. Karena itu upaya mewujudkan etika bisnis untuk membangun bisnis
yang sesuai dengan al-Qur’an  dapat di lakukan beberapa hal, 
pertama, suatu rekonstruksi kesadaran baru tentang bisnis. Pandangan bahwa etika bisnis
sebagai bagian tak terpisahkan atau menyatu merupakanstruktur fundamental sebagai perubah
terhadap anggapan dan pemahaman tentangkesadaran sistem bisnis amoral yang telah
memasyarakat. Bisnis dalam al-Qur’an  disebut sebagai aktivitas yang bersifat material sekaligus
immaterial. Sehingga suatu bisnis dapat disebut bernilai, apabila kedua tujuannya yaitu
pemenuhan kebutuhan material dan spiritual telah dapat terpenuhi secara seimbang. Dengan
pandangan kesatuan bisnis dan etika, pemahaman atas prinsip-prinsip etika Suatu bisnis bernilai,
apabila memenuhi kebutuhan material dan spiritual secara seimbang, tidak mengandung
kebatilan, kerusakan dan kezaliman. Akan tetapi mengandung nilai
kesatuan,keseimbangan, kehendak bebas, pertanggung-jawaban, kebenaran, kebajikan dan
kejujuran. Dengan demikian etika bisnis dapat dilaksanakan oleh siapapun. 
Kedua, yang patut dipertimbangkan dalam upaya mewujudkan etika bisnis untuk
membangun tatanan bisnis yang Islami yaitu diperlukan suatu cara pandang baru dalam
melakukan kajian-kajian keilmuan tentang bisnis dan ekonomi yang lebih berpijak pada
paradigma pendekatan normatifetik sekaligus empirik induktif yang mengedepankan penggalian
dan pengembangan nilai-nilai al-Qur’an , agar dapat mengatasi perubahan dan pergeseran zaman
yang semakin cepat. Atau dalam kategori pengembangan ilmu pengetahuan modern
harus dikembangkan dalam pola pikir abductive pluralistic.[32] Dengan pola pikir ini
pengembangan ilmu-ilmu keislaman akan menjadi tajam dan proaktif terhadap persoalan-
persoalan kontemporer dan dapat mentransformasikannorma-norma dan nilai-nilai agama ke
dalam bingkai keilmuan sebagai cultural force.
[1] Suwantoro,.Aspek-aspek Pidana di Bidang Ekonomi, (Jakarta: Ghalia, 1990), 20-21
[2]R. Lukman Fauroni, Rekonstruksi Etika Bisnis: Perspektif Al-Qur’an , (Iqtisad Journal Of
Islamic Economics Vol. 4, No. 1, 2003), 96
[3] Beekun, Rafiq Issa, Islamic Business Ethict, (Virginia: International In- titute ofIslamic
Thought, 1997) dan lihat juga Naqvi, Syed Nawab, 1993. Ethict and Eco- nomics: An Islamic
Syntesis,diterjemahkan oleh Husin Anis: Etika dan Ilmu Ekonomi Suatu Sintesis
Islami,  Bandung: Mizan. 1993), 50
[4] Sri Nawatmi, Etika Bisnis Prespektif Islam, Fokus Ekonomi (FE), April 2010 Vol. 9,
No.1, (Semarang : Unisversitas Stikubank, 2010) , 54-55
[5] M. Nejatullah Shiddiqi, Muslim Economic Thingking, (Leicester: The Islamic Foundation,
1981), 5
[6] al- Qur’an, 3: 191: 38: 27; 23: 15
[7] Ibid, 6: 142 – 145; 16: 10 – 16
[8] Ibid, 2: 213; 40: 13
[9] Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi..., 204
[10] Ahmad Muflih Syaifuddin, “Perbandingan Sistem Ekonomi Islam dengan Kapitalisme dan
Marxisme” dalam Wawasan Islam dan Ekonomi, ed. Mustofa Kamal, (Jakarta: FEUI, 1997), 128
[11] Syed Nawab Naqvi, Ethics and Economics. An Islamic Synthesis, telah diterjemahkan oleh Husin Anis, Etika
dan Ilmu Ekonomi. Suatu Sintesis Islami ( Bandung: Mizan,  1993), 50-51. 14 Rafiq Issa Beekun, Islamic Business
Ethics (Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1997), 20-23.
[12] QS. al-Hujurat (49): 13.
[13] QS. al-An’am (6): 163.
[14] QS.al-Kahfi(18):46.
[15] al-Qur'an, 2: 30; 6:165; 38: 28
[16] Ismail Raji al-Faruqi, “Is the Muslim Definable in Term of his Economic
Pursuits?” dalam Islamic Perspectives, ed. Khursyid Ahmad M dan Zafar Ishaq Anshari,
(London: The Islamic Foundation, tt), 192
[17] Saefuddin dan Marasbessy, Desekularisasi Pemikiran, 87
[18] Ismail Raji al-Faruqi, Tawhid......, 143
[19]Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Vol I, Terj. Soeroyo, Nastangin (Yogyakarta :
Dana Bhakti Wakaf, 1995), 74
[20] Akbar S. Ahmad, Discovering Islam : Making Sence Moslem History and Society, Terj.
Nurding Ram dan Ramli Yakub dalam Citra Muslim : Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, (Jakarta :
Erlangga, 1992), 235
[21] Muslich,Etika Bisnis Islam,......37.
[22] Muhammad dan Lukman Fauroni, Visi al-Qur’an tentang Etika dan Bisnis,  (Jakarta: Salemba Diniyah, 2002),
13.
[23] QS. al-Baqarah (2):195.
[24] QS. al-Isra (17):35.
[25] QS. al-Furqan (25):67-68,72-73.
[26] Syed Nawab Naqvi, Etika dan Ilmu Ekonomi,....99 dan Rafiq Issa Beekun, Islamic Business Ethics,..... 24
[27] Muslich, Etika Bisnis Islam,.....42, Lihat juga  QS. An-Nisa (4):85, QS.al-Kahfi (18):29.
[28] QS. al Mudassir (74): 38.
[29] Muslich, Etika bisnis Islam., 43.
[30] Syed Nawab Naqvi, Etika dan Ilmu Ekonomi,...103.
[31]Suyanto, M., Muhammad Business Strategy and Ethics, (Yogyakarta: Andi Offset,2008)

[32]Lukman Fauroni, Rekonstruksi Etika Bisnis: Perspektif Al-Qur’an, (Iqtisad Journal Of Islamic


Economics Vol. 4, No. 1, 2003), 104

Anda mungkin juga menyukai