Anda di halaman 1dari 26

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat studi
pustaka (library research) dengan menggunakan sumber data berupa buku-
buku referensi dan artikel-artikel jurnal ilmiah. Pada penelitian ini
rangkaian kegiatannya berkenanaan dengan pengumpulan data pustaka,
membaca dan mencatat, lalu mengolah informasi yang sesuai dan
diperlukan untuk menjawab rumusan masalah yang akan dipecahkan.
Adapun prosedur yang dilakukan pada penelitian studi pusataka ini
meliputi: 1) menggali ide umum tentang penelitian, 2) mencari informasi
yang mendukung topik penelitian, 3) mempertegas fokus penelitian dan
mengorganisasi bahan yang sesuai, 4) Mencari dan menemukan sumber
data berupa sumber pustaka utama yaitu buku dan artikel-artikel jurnal
ilmiah, 5) melakukan re-organisasi bahan dan catatan simpulan yang
didapat dari sumber data, 6) melakukan review atas informasi yang telah
dianalisis dan sesuai untuk membahas dan menjawab rumusan masalah
penelitian, 7) memperkaya sumber data untuk memperkuat analisis data
dan 8) menyusun hasil penelitian.

3.2 Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder.


Data sekunder merupakan data yang diperoleh bukan dari pengamatan
langsung. Akan tetapi data tersebut diperoleh dari hasil penelitian yang
telah dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu. Sumber data sekunder
yang dimaksud berupa buku dan laporan ilmiah primer atau asli yang
terdapat di dalam artikel atau jurnal (tercetak dan/atau non-cetak)
berkenaan dengan sejarah matematika dan peletakannya dalam aktivitas
pembelajaran. Pemilihan sumber didasarkan pada empat aspek yakni:128
(1) Provenance (bukti), yakni aspek kredensial penulis dan dukungan
bukti, misalnya sumber utama sejarah; (2) Objectivity (Objektifitas), yakni
apakah ide perspektif dari penulis memiliki banyak kegunaan atau justru
merugikan; (3) Persuasiveness (derajat keyakinan), yakni apakah penulis
termasuk dalam golongan orang yang dapat diyakini; dan (4) Value (nilai
kontributif), yakni apakah argumen penulis meyakinkan, serta memiliki
kontribusi terhadap penelitian lain yang signifikan.

3.3 Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode dokumentasi. Metode dokumentasi merupakan metode
pengumpulan data dengan mencari atau menggali data dari literatur yang
terkait dengan apa yang dimaksudkan dalam rumusan masalah.130 Data-
data yang telah didapatkan dari berbagai literatur dikumpulkan sebagai
suatu kesatuan dokumen yang digunakan untuk menjawab permasalahan
yang telah dirumuskan.

3.4 Metode Analisis Data

Analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara


sistematis data yang telah terkumpul untuk meningkatkan pemahaman
penelitian tentang kasus yang diteliti dan mengkajinya sebagai temuan
bagi orang lain.131 Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah analisis anotasi bibliografi (annotated bibliography). Anotasi
berarti suatu kesimpulan sederhana dari suatu artikel, buku, jurnal, atau
beberapa sumber tulisan yang lain, sedangkan bibliografi diartikan sebagai
suatu daftar sumber dari suatu topik.132 Dari kedua definisi tersebut,
anotasi bibliografi diartikan sebagai suatu daftar sumber- sumber yang
digunakan dalam suatu penelitian, dimana pada setiap sumbernya
diberikan simpulan terkait dengan apa yang tertulis di dalamnya.
Terdapat tiga hal yang harus diperhatikan dalam suatu analisis
anotasi bibliografi. Ketiga hal tersebut adalah:133 (1) Identitas sumber
yang dirujuk; (2) Kualifikasi dan tujuan penulis; (3) Simpulan sederhana
mengenai konten tulisan; dan (4) Kegunaan/pentingnya sumber yang
dirujuk dalam menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.

3.5 Prosedur Penelitian

Terdapat empat prosedur yang digunakan dalam peneltian ini. Tiga


prosedur tersebut yakni:134 (1) Organize, yakni mengorganisasi literatur
yang akan ditinjau/di-review. Literatur yang di-review merupakan literatur
yang relevan/sesuai dengan permasalahan. Adapun tahap dalam
mengorganisasi literatur adalah mencari ide, tujuan umum, dan simpulan
dari literatur dengan membaca abstrak, beberapa paragraf pendahuluan,
dan kesimpulannya, serta mengelompokkan literatur berdasarkan kategori-
kategori tertentu; (2) Synthesize, yakni menyatukan hasil organisasi
literatur menjadi suatu ringkasan agar menjadi satu kesatuan yang padu,
dengan mencari keterkaitan antar literatur; (3) Identify, yakni
mengidentifikasi isu-isu kontroversi dalam literatur. Isu kontroversi yang
dimaksud adalah isu yang dianggap sangat penting untuk dikupas atau
dianalisis, guna mendapatkan suatu tulisan yang menarik untuk dibaca;
dan (4) Formulate, yakni merumuskan pertanyaan yang membutuhkan
penelitian lebih lanjut.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Hasil Penelitian


4.1.1 Tipe-tipe Belajar
Menurut Gagne dalam Silberman (2010:50) ada tiga elemen belajar,
yaitu individu yang belajar, situasi stimulus, dan responden yang
melaksanakan aksi sebagai akibat dari stimulasi. Selanjutnya, Gagne juga
mengemukakan tentang sistematika delapan tipe belajar, sistematika lima
jenis belajar, fase-fase belajar, implikasi dalam pembelajaran, serta
aplikasi dalam pembelajaran.
Sistematika ”Tujuh Tipe Belajar”

Menurut Robert M. Gagne, ada 7 tipe belajar, yaitu:


1. Tipe belajar tanda (Signal learning)
Belajar dengan cara ini dapat dikatakan sama
dengan apa yang dikemukakan oleh Pavlov. Semua
jawaban/respons menurut kepada tanda/sinyal.
2. Tipe belajar rangsang-reaksi (Stimulus-response
learning)
Tipe ini hampir serupa dengan tipe satu, namun
pada tipe ini, timbulnya respons juga karena
adanyadorongan yang datang dari dalam serta
adanya penguatan sehingga seseorang mau
melakukan sesuatu secara berulang-ulang.
3. Tipe belajar berangkai (Chaining Learning)
Pada tahap ini terjadi serangkaian hubungan
stimulus-respons, maksudnya adalah bahwa suatu
responspada gilirannya akan menjadi stimulus baru dan
selanjutnya akan menimbulkan respons baru.
4. Tipe belajar asosiasi verbal (Verbal association
learning)
Tipe ini berhubungan dengan penggunaan bahasa,
dimana hasil belajarnya yaitu memberikan reaksi verbal
pada stimulus/perangsang.
5. Tipe belajar membedakan (Discrimination learning)
Hasil dari tipe belajar ini adalah kemampuan untuk
membeda-bedakan antar objek-objek yang terdapat
dalm lingkungan fisik.
6. Tipe belajar konsep (Concept Learning)
Belajar pada tipe ini terutama dimaksudkan untuk
memperoleh pemahaman atau pengertian tentang suatu
yang mendasar.
7. Tipe belajar kaidah (Rule Learning)
Tipe belajar ini menghasilkan suatu kaidah yang
terdiri atas penggabungan beberapa konsep.
8. Tipe belajar pemecahan masalah (Problem solving)
Tipe belajar ini menghasilkan suatu prinsip yang
dapat digunakan untuk memecahkan suatu
permasalahan.

4.1.2 Analisis Kebutuhan Belajar

a. Pengertian Analisi Kebutuhan Belajar

John McNeil (dalam Sanjaya, 2008) mendefinisikan analisis


kebutuhan (need assessment) adalah proses menentukan prioritas
kebutuhan pendidikan. Sejalan dengan pendapat McNeil, Seel dan
Glasgow (dalam Sanjaya, 2008) menjelaskan tentang analisis kebutuhan
bahwa kebutuhan itu pada dasarnya adalah kesenjangan (discrepancies)
antara apa yang telah tersedia dengan apa yang telah tersedia dengan apa
yang diharapkan, dan need assessment adalah proses mengumpulkan
informasi tentang kesenjangan dan menentukan prioritas dari
kesenjangan untuk dipecahkan.

Roger Kaufman & Fenwick W. English (dalam Warsita, 2011)


mendefinisikan analisis kebutuhan sebagai suatu proses formal untuk
menentukan jarak atau kesenjangan antara keluaran dan dampak yang
nyata dengan keluaran dan dampak yang diinginkan, kemudian
menempatkan deretan kesenjangan ini dalam skala prioritas, lalu memilih
hal yang lebih penting untuk diselesaikan masalahnya. Maka analisis
kebutuhan adalah alat atau metode untuk mengidentifikasi masalah guna
menentukan tindakan atau solusi yang tepat.

Ada beberapa hal yang melekat pada pengertian need assessment,


baik yang dikemukakan McNeil maupun Glasgow. Pertama, merupakan
suatu proses artinya ada rangkaian kegiatan dalam pelaksanaan need
assessment, dan bukan merupakan suatu hasil, akan tetapi suatu aktivitas
tertentu dalam upaya mengambil keputusan tertentu. Kedua, kebutuhan
itu sendiri pada hakikatnya adalah kesenjangan antara harapan dan
kenyataan. Dengan demikian, need assessment itu adalah kegiatan untuk
mengumpulkan informasi tentang kesenjangan yang seharusnya dimiliki
setiap siswa dengan apa yang telah dimiilki.

Dengan demikian analisis kebutuhan adalah suatu cara yang


sistimatis untuk memilih dan menentukan prioritas kebutuhan sebagai
masukan dalam pengambilan alternatif kebijakan tentang masyarakat
bagi para pemimpin/pelaksana kegiatan. Keputusan diambil pada tahap
perencanaan sebagai persiapan penyelenggaraan suatu program, yang
didasarkan atas layak tidaknya kondisi masyarakat .

b. Fungsi Analisis Kebutuhan Belajar


Berikut merupakan fungsi analisis kebutuhan pembelajaran
Morison (dalam Warsita, Bambang dkk, 2011) :
a. Mengidentifikasi kebutuhan yang relevan dengan pekerjaan atau
tugas sekarang, yaitu masalah yang mempengaruhi hasil
pembelajaran.
b. Mengidentifikasi kebutuhan mendesak yang terkait dengan
finansial, keamanan atau masalah-masalah lain yang menggangu
pekerjaan atau lingkungan pendidikan
c. Menyajikan skala prioritas untuk memilih tindakan yang tepat
dalam mengatatasi masalah-masalah pembelajaran.
d. Memberikan data basis untuk menganalisis efektifitas kegiatan
pembelajaran.

c. Tujuan Analisis Kebutuhan Belajar


Berikut merupakan tujuan analisis kebutuhan pembelajaran
(Warsita, Bambang dkk, 2011) :
a. Menginventaris atau mengidentifikasi masalah-masalah
pembelajaran.
Identifikasi masalah merupakan proses membandingkan
keadaan sekarang dengan keadaan yang diharapkan atau
seharusnya. Hasilnya akan menunjukkan kesenjangan antara kedua
keadaan tersebut. Kesenjangan ini disebut dengan kebutuhan. Bila
kesenjangan kedua keadaan tersebut besar, kebutuhan itu perlu
diperhatikan atau diselesaikan. Kebutuhan yang besar dan
ditetapkan untuk diatasi itu disebut masalah. Oleh karena itu,
kebutuhan yang lebih kecil mungkin untuk sementara waktu atau
seterusnya diabaikan. Artinya, kebutuhan yang tidak dianggap
sebagai masalah. Hasil akhir dari identifikasi masalah adalah
perumusan tujuan pembelajaran umum.
b. Menyusun skala prioritas pemecahan masalah.
Setelah anda mengetahui masalah-masalah pembelajaran yang
dihadapi, maka Anda perlu mencari alternatif pemecahan masalah
tersebut dengan menggunakan skala prioritas pemecahan masalah.
Adapun beberapa pertimbangan yang perlu Anda perhatikan dalam
menilai atau menentukan skala prioritas pemecahan masalah,
yaitu : a) tingkat signifikansi pengaruhnya, b) luas ruang
lingkupnya, dan c) pentingnya peranan kesenjangan tersebut
terhadap masa depan lembaga atau program.
c. Merumuskan tujuan
Hasil kegiatan analisis kebutuhan pembelajaran yaitu daftar
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang masih belum dikuasi
peserta didik dan perlu dikuasi peserta didik. Dengan kata lain,
kegiatan analisis kebutuhan ini akan menghasilkan kompetensi
kompetensi yang masih belum dikuasai dan perlu dikuasai peserta
didik. Kompetensi dasar inilah yang akan menjadi dasar acuan
tahap selanjutnya yaitu perumusan Tujuan Instruksional Umum
(TIU) atau Tujuan Pembelajaran Umum (TPU).

d. Langkah-Langkah Melakukan Analisis Kebutuhan


Berikut merupakan langkah-langkah dalam melakukan analisis
kebutuhan Gosslow dalam buku perencanaan dan desain sistem
pembelajaran (Senja, 2008) :
a. Pengumpulan Infomasi
Pada saat merancang pembelajaran pertama kali seorang
desainer perlu memahami terlebih dahulu informasi tentang siswa
dapat mengerjakan apa, siapa memahami apa, siapa yang akan belajar,
kendala-kendala apa yang akan dihadapi, dan bagaimana pengaruh
keadaan tertentu terhadap karakteristik siswa. Berbagai informasi
yang dikumpulkan akan bermanfaat dalam menentukan tujuan yang
ingin dicapai beserta skala prioritas dalam pemecahan suatu masalah.

b. Identifikasi Kesenjangan
Identifikasi kesenjangan menjelaskan identifikasi kesenjangan
melalui Organizational Elements Model (OEM). Dalam model OEM,
menjelaskan adanya lima elemen yang saling berkaitan. Dua elemen
pertama, yaitu input dan proses adalah bagaimana menggunakan
setiap potensi dan sumber yang ada, sedangkan elemen terakhir
meliputi produk, output dan outcome merupakan hasil akhir dari suatu
proses. Komponen input, meliputi kondisi yang tersedia pada saat ini
misalnya tentang keuangan, waktu, bangunan, guru, pelajar,
kebutuhan, problem, tujuan, materi kurikulum yang ada.
Komponen proses, meliputi pelaksanaan pendidikan yang
berjalan yang terdiri atas pola pembentukan staf, pendidikan yang
berlangsung sesuai dengan kompetensi, perencanaan, metode,
pembelajaran individu, dan kurikulum yang berlaku. Komponen
produk, meliputi penyelesaian pendidikan, keterampilan, pengetahuan
dan sikap yang dimiliki, serta kelulusan tes kompetensi.Komponen
Output, meliputi ijazah kelulusan, keterampilan prasyarat, lisensi.
Komponen Outcome meliputi kecukupan dan kontribusi individu atau
kelompok saat ini dan masa depan. Outcome merupakan hasil akhir
yang diperoleh.
Melalui analisis hasil, desainer dapat menentukan sejauh mana
hasil yang diperoleh dapat berkontribusi pada pencapaian tujuan.
Inilah proses yang pada hakikatnya menentukan kesenjangan antara
harapan dan apa yang terjadi. Berdasarkan analisis itulah, desainer
dapat mendeskripsikan masalah dan kebutuhan pada setiap komponen
yakni input, proses, produk, dan output.
c. Analisis Performance
Tahap ketiga dalam proses need assessment, adalah tahap
menganalisis performance. Menganalisis performance dilakukan
setelah desainer memahami berbagai informasi dan mengidentifikasi
kesenjangan yang ada. Ketika menemukan adanya kesenjangan,
selanjutnya identifikasi kesenjangan mana yang dapat dipecahkan
melalui perencanaan pembelajaran dan mana yang memerlukan
pemecahan dengan cara lain, seperti melalui kebijakan pengelolaan
baru, penentuan struktur organisasi yang lebih baik, atau mungkin
melalui pengembangan bahan dan alat-alat. Untuk menentukan semua
itu kita perlu memahami faktor-faktor penyebab terjadinya
kesenjangan dan pemahaman tersebut dapat dilakukan pada saat need
assessment berlangsung.
Analisis performance meliputi identifikasi terhadap guru,
identifiaski saran dan kelengkapan penunjang belajar siswa,
identifikasi kebijakan sekolah, identifikasi iklim sosial dan iklim
psikologis.

d. Identifikasi Hambatan
Tahap keempat dalam need assessment adala mengidentifikasi
berbagai kendala yang muncul beserta sumbersumbernya. Dalam
pelaksanaan suatu program berbagai kendala bisa muncul sehingga
dapat berpengaruh terhadap kelancaran suatu program. Berbagai
kendala dapat meliputi, waktu fasilitas, bahan, pengelompokan dan
komposisinya, pilosofi, personal, dan organisasi. Sumber-sumber
kendala bisa berasal dari pertama, orang yang terlibat dalam suatu
program pembelajaran, misalnyaguru, kepala sekolah, dan siswa itu
sendiri. Termasuk juga dalam unsur orang ini adalah unsur filsafat
atau pandangan yang terhadap pekerjaannya, motivasi kerja, dan
kemampuan yang dimilikinya. Kedua, fasilitas yang ada, di dalamnya
meliputi ketersediaan dan kelengkapan fasilitas serta kondisi fasilitas.
Ketiga, berkaitan dengan jumlah pendanaan beserta pengaturannya.
e. Identifikasi Karakteristik Siswa
Tahap kelima dalam need assessment adalah mengidentifikasi
siswa. Tujuan utama dalam desain pembelajaran adalah memecahkan
berbagai problema yang dihadapi siswa, oleh karena itu hal-hal yang
berkaitan dengan siswa adalah bagian dari need assessment.
Identifikasi yang berkaitan dengan siswa di antaranya adalah tentang
usia, jenis kelamin, level pendidikan, tingkat social ekonomi, latar
belakang, gaya belajar, pengalaman dan sikap. Karakteristik siswa
seperti di atas, akan bermanfaat ketika kita menentukan tujuan yang
harus dicapai, pemilihan dan penggunaan strategi pembelajaran yang
di anggap cocok, serta untuk menentukan teknik evaluasi yang relevan
f. Identifikasi Tujuan
Kaufman (1983) mendefinisikan need assessment sebagai
suatu proses mengidentifikasi, mendokumentasi dan menjustifikasi
kesenjangan antara apa yang terjadi dan apa yang akan dihasilkan
melalui penentuan skala prioritas dari setiap kebutuhan. Definisi yang
dikemukakan (Kaufman,1983) berhubungan erat dengan tujuan yang
ingin dicapai. Oleh sebab itu, mengidentifikasi tujuan yang ingin
dicapai merupakan salah satu kegiatan yang harus dilaksanakan dalam
proses need assessment.
Tidak semua kebutuhan menjadi tujuan dalam desain
intruksional. Seorang desainer perlu menetapkan kebutuhankebutuhan
apa yang dianggap mendesak untuk dipecahkan sesuai dengan
kondisi. Ini hakikatnya menentukan skala prioritas dalam need
assessment. Terdapat beberapa teknik dalam menentukan skala
prioritas dari data yang telah terkumpul. Misalnya teknik
perangkingan meliputi Teknik Delphi, Fokus Group Discussion, Q-
Sort, dan Storyboarding. Teknik-teknik ini digunakan untuk
menjaring berbagai tujuan yang dianggap perlu melalui penilaian para
ahli yang terlibat pada diskusi. Dengan demikian, rumusan tujuan
benar-benar hasil suatu studi yang dibutuhkan dan diperlukan untuk
dipecahkan

g. Merumuskan Masalah
Tahap akhir dalam proses analisis masalah adalah menuliskan
pernyataan masalah sebagai pedoman dalam penyusunan proses
desain intruksional. Penulisan masalah pada dasarnya merupakan
rangkuman atau sari pati dari permasalahan yang ditentukan.
Pernyataan masalah harus ditulis secara singkat dan padat yang
biasanya tidak lebih dari satu-dua paragraf.
Selain tahapan analisis kebutuhan Gosslow ada 4 tahap dalam
melakukan analisis kebutuhan berdasarkan (Morison, 2011) menyebutkan
langkah-langkah analisis kebutuhan sebagai berikut :
a) Perencanaan
Pada saat perencanaan yang perlu dilakukan adalah klasifikasi
siswa siapa yang akan terlibat dalam kegiatan analisis kebutuhan.
b) Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilaksanakan sesuai dengan perencaan yang
telah ditentukan, pada saat pengumpulan data peneliti perlu
mempertimbangkan besar kecilnya sampel.
c) Analisa Data
Setelah semua data terkumpul, langkah selanjutnya adalah
melakukan analisa data berdasarkan hasil pengumpulan data yang
telah dilakukan.
d) Membuat Laporan Akhir
Langkah terakhir dalam analisis kebutuhan adalah membuat
laporan akhir terkait dengan hasil penelitian yang dilaksanakan.

Teknik Pengumpulan
a. Data
b. Angket (quisioner)
c. Wawacara mendalam
d. Observasi Partisipasi
e. Menggali Dokumen
f. Poster
g. Brainstorming

Teknik Olah data


a. Catat
b. Daftar (tabulatian)
c. Sajikan (display)
d. Reduksi
e. Verifikasi/tentukan skala Prioritas
f. Pilihan/kesimpulan

4.1.3 Masalah Sosial


Masalah sosial dianggap sebagai masalah masyrakat tergantung
dari sistem nilai sosial masyarkat terserbut adapun beberapa masalah sosial
yang di hadapi masyarakt-masyarakat pada umumnya sama yaitu :
(Soekanto Soerjono,1990:416).
 Kemiskinan
 Kejabatan
 Disorganisasi Keluarga
 Masalah Generasi Muda dalam Masyarakat Modern
 Peperangan
 Pelanggaran Terhadap Norma-norma Masyarakat
 Masalah Kpendudukan
 Masalah Lingkungan Hidup
 Birokrasi
a. Macam-Macam Masalah Sosial di Indonesia
1. Masalah Pendidikan

Seperti yang telah kita ketahui, kualitas pendidikan di


Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru,
sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya punya harapan
terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya.
Memang, guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang
menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan
dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan
dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka
memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka
ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan
berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur
mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun.
Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin
terpuruknya pendidikan di Indonesia, terutama bagi penduduk di
daerah terbelakang. Namun, bagi penduduk di daerah terbelakang
tersebut, yang terpenting adalah ilmu terapan yang benar-benar dipakai
buat hidup dan kerja. Ada banyak masalah yang menyebabkan mereka
tidak belajar secara normal seperti kebanyakan siswa pada umumnya,
antara lain guru dan sekolah.

2. Masalah Kemiskinan

Dalam kajian sosiologi pembangunan, konsep kemiskinan


dibedakan menjadi tiga macam, yaitu yang pertama kemiskinan
absolut (a fixed yardstick). Konsep kemiskinan absolut ini dirumuskan
dengan membuat ukuran tertentu yang kongkit. Ukuran ini lazimnya
berorientasi pada kebutuhan dasar dalam kehidupan sehari-hari, yaitu
pangan, papan dan sandang. Besarnya ukuran setiap negara berbeda.
Kedua, kemiskinan relatif (the idea of relative). Konsep kemiskinan
relatif ini dirumuskan berdasarkan atau memperhatikan dimensi tempat
dan waktu. Asumsi ini, bahwa kemiskinan di daerah satu dengan
daerah lain tidak sama, demikian juga antara waktu dulu dengan
sekarang berbeda. Ketiga, kemiskinan subjektif. Konsep kemiskinan
sbjektif ini dirumuskan berdasarkan perasaan individu atau kelompok
miskin. Kita menilai individu atau kelompok tertentu miskin, tetapi
kelompok yang kita nilai menganggap bahwa dirinya bukan miskin,
atau sebaliknya. Konsep kemiskinan ketiga inilah yang lebih tepat
apabila memahami konsep kemiskinan dan bagaimana langkah
strategis dalam menangani kemiskinan.

Contoh, ada salah satu keluarga yang tidak mempunyai televisi,


motor, sementara para tetangga yang ada disekitar mempunyai barang-
barang tersebut. Hal seperti inilah yang bisa menjadikan kemiskinan
sebagai masalah sosial.Secara sosiologis, penyebab timbulnya problem
tersebut karena dari salah satu lembaga kemasyarakatan tidak
berfungsi dengan baik, lebih tepatnya lembaga kemasyarakatan yang
bergerak dalam bidang ekonomi.

3. Masalah Kesehatan

Strategi pembangunan kesehatan di Indonesia, mengacu pada


ruang lingkup dan kualitas sehat yang didambakan. Acuannya adalah
pengertian sehat yang telah ditetapkan pemerintah seperti dinyatakan
dalam UU RI No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan bahwa keadaan
sehat meliputi fisik, mental, spiritual maupun sosial yang
memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan
ekonomis. Pengertian tersebut berasal dari definisi yang disusun oleh
World Health Organization (WHO) dari tahun 1980 sampai tahun 1998
yang menyatakan: "Health is a state of physical, mental and social
wellbeing and not merely the absence of disease or infirmity”
(Heerjan,1987:5)1. Sementara tahun 1999 hingga 2002, WHO
memperluas pengertian kesehatan meliputi kesehatan emosional dan
spiritual, sehingga bunyinya "Health is a state of physical, mental,
social, emotional and spiritual wellbeing and not merely the absence
of disease or infirmity” (Marrison, 2002:5)2.
Dewasa ini di Indonesia terdapat beberapa masalah kesehatan
penduduk yang masih perlu mendapat perhatian secara sungguh-
sungguh dari semua pihak antara lain: masalah kekurangan gizi,demam
berdarah,anemia pada ibu hamil, kekurangan kalori dan protein pada
bayi dan anak-anak, terutama di daerah endemic, kekurangan vitamin
A pada anak, anemia pada kelompok mahasiswa, anak-anak usia
sekolah, serta bagaimana mempertahankan dan meningkatkan cakupan
imunisasi,apalagi saat ini terdapat masalah tentang virus corona.
Permasalahan tersebut harus ditangani secara sungguh-sungguh karena

1
Tumanggor, R. (2010). Masalah-Masalah Sosial Budaya Dalam
Pembangunan Kesehatan di Indonesia. Jurnal Masyarakat & Budaya. Vol.12(2):233
2
Tumanggor, R. (2010). Masalah-Masalah Sosial Budaya Dalam
Pembangunan Kesehatan di Indonesia. Jurnal Masyarakat & Budaya. Vol.12(2):233
dampaknya akan mempengaruhi kualitas bahan baku sumber daya
manusia Indonesia di masa yang akan datang.

Terdapat beberapa faktor penyebab masalah kesehatan diantaranya;


1. Disparitas status kesehatan antartingkat sosial ekonomi,
kawasan, perkotaan-pedesaan yang sangat tinggi;
2. Beban ganda penyakit yang diderita masyarakat begitu
komplit dan kompleks;
3. Kinerja pelayanan kesehatan rendah;
4. Perilaku masyarakat kurang mendukung pola hidup bersih
dan sehat;
5. Rendahnya kondisi kesehatan lingkungan;
6. Rendahnya kualitas, pemerataan dan keterjangkauan
pelayanan kesehatan;
7. Terbatasnya tenaga kesehatan dan distribusi tidak merata;
8. Rendahnya status kesehatan penduduk miskin.

4. Masalah Penyimpangan Perilaku Remaja dan Kenakalan


Remaja

Pengertian perilaku menyimpang (deviasi sosial) adalah semua


bentuk perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma sosial yang
ada. Jadi, perilaku menyimpang remaja adalah semua bentuk perilaku
remaja yang tidak sesuai dengan nilai dan norma sosial yang berlaku di
masyarakat.

Diantara bentuk atau macam-macam perilaku menyimpang remaja


antara lain:

1) Tawuran antar pelajar;


2) Penyimpangan seksual meliputi homoseksual,
lesbianisme, dan hubungan seksual sebelum nikah;
3) Alkoholisme;
4) Penyalahgunaan obat terlarang atau narkotika;
5) Kebut-kebutan di jalan raya;
6) Pencurian atau penipuan, dan bentuk-bentuk tindakan
kriminalitas lainnya.

Kenakalan remaja pada umumnya diawali dari munculnya gejala-


gejala, antara lain:

1) Sikap apatis terhadap kewajiban-kewajiban normatif yang


melekat pada dirinya;
2) Adanya kecenderungan sikap untuk suka mengganggu
teman lainnya;
3) Sikap kecewa yang berlebihan karena tidak terpenuhinya
keingian tertentu;
4) Kurang fokus atau perhatian terhadap suatu agenda
kegiatan tertentu;
5) Sikap takut yang berlebihan terhadap sesuatu yang
dianggap merugikan dirinya; dan
6) Ketidakmampuan untuk berperan dalam kelompok atau
sikap ‘manja’ yang berlebihan

Bentuk penyimpangan perilaku remaja dapat dibedakan menjadi


empat, yaitu:

1) Penyimpangan primer, yaitu penyimpangan yang sifatnya


temporer, sementara, dan masyarakat masih bisa
mentolerir;
2) Penyimpangan sekunder, yaitu penyimpangan yang dapat
merugikan atau mengancam keselamatan orang lain,
misalnya tindakan kriminal;
3) Penyimpangan kelompok, yaitu penyimpangan yang
dilakukan secara kelompok, misalnya geng untuk berkelahi,
narkotik; dan
4) Penyimpangan individu, yaitu perilaku menyimpang yang
dilakukan secara sendiri.
5. Masalah Lingkungan Hidup

Problem atau masalah lingkungan hidup harus menjadi perhatian


yang sangat serius, karena persoalan lingkungan adalah:

Menyangkut jaminan kualitas kelangsungan kehidupan generasi


dimasa-masa yang akan datang; dan

Kegagalan dalam menangani persoalan lingkungan akan membawa


dampak negatif disemu sektor kehidupan, baik dalam level lokal,
nasional dan bahkan dunia, misalnya: terjadinya bencana banjir,
pemanasan global; tanah longsor dan sebagainya.

Proses pembangunan dan industrialisasi di negara-negara maju dan


berkembang ternyata membawa dampak munculnya masalah
pencemaran lingkungan, baik pencemaran tanah, pencemaran udara,
pencemaran laut atau air. Meningkatnya pencemaran lingkungan
tersebut secara langsung atau tidak langsung mendorong munculnya
beragam problem kehidupan di berbagai aspek, misalnya:

 Tingkat kualitas kesehatan masyarakat semakin terancam;


 Kualitas kesuburan tanah dan ekosistem lingkungan fisik
terancam;
 Kualitas air sebagai sumber kehidupan semakin tercemar;
 Terjadinya pencemaran udara, karena polusi industri, dan
sebagainya.

6. Masalah Konflik SARA (Suku, Agama, Ras dan


Antarkelompok)

Masalah konflik Suku, Agama, Ras dan Antarkelompok (SARA),


bagi negara-negara berkembang yang multikultural (termasuk
Indonesia) adalah problem yang sewaktu-waktu bisa muncul, dan
dapat mengganggu kelancaran proses pembangunan. Oleh karena
setiap desain pembangunan dan pelaksanaan pembangunan harus
betul-betul meminimalkan terjadinya konflik SARA. Unsur-unsur
konflik SARA adalah:

1) Ada dua pihak atau lebih yang terlibat konflik;


2) Ada tujuan yang menjadi sasaran konflik, dan tujuan
tersebut sebagai sumber konflik; dan
3) Ada perbedaan pikiran, perasaan dan tindakan untuk meraih
tujuan yang saling memaksakan atau menghancurkan.

Ciri-ciri konflik SARA adalah:

1) Bersifat alamiah;
2) Anggota suku, agama, ras, antar kelompok yang terlibat
konflik cenderung lebih terdorong untuk melakukan konflik
berikutnya untuk kepentingan kelompoknya;
3) Umumnya terjadi antara SARA mayoritas dengan
minoritas;
4) Sering diiringi dengan kekerasan yang berlangsung dalam
ruang dan waktu tertentu;
5) Mereka yang terlibat konflik merasa belum puas karena
kebutuhan mereka belum terpenuhi; dan
6) Konflik melibatkan dua kelompok kepentingan yang saling
memperebutkan kebutuhan hidup.

7. Masalah Kriminatlitas

Kriminalitas atau tindakan kriminal merupakan problem sosial


yang bersifat laten (selalu ada dalam kehidupan masyarakat atau
negara manapun), namun tindakan kriminal bukanlah penyimpangan
perilaku yang dibawa sejak lahir, tetapi tindakan kriminal merupakan
hasil dari sosialisasi sub budaya menyimpang. Tindakan kriminal
sering dikategorikan sebagai tindak pidana atau tindakan yang
melanggar hukum pidana. Diantara contoh tindakan kriminal adalah:
korupsi, pencurian, pembunuhan, perampokan, penipuan atau
pemalsuan, penculikan, perkosaan, sindikat narkotik atau
penyalahgunaan obat terlarang.

8. Masalah Aksi Protes, Pergolakan Darah, dan Pelanggaran


HAM

Aksi protes, pergolakan daerah dan pelanggaran HAM,


merupakan masalah sosial yang cukup kompleks, dan menuntut
adanya perhatian khusus dalam pemecahannya. Telebih kondisi sosial
budaya masyarakat yang multikultural, seperti di Indonesia. Hampir
setiap hari terjadi aksi protes dan demonstrasi di daerah-daerah. Hal ini
tentu dapat mengganggu proses perubahan atau pembangunan
masyarakat.

b. Mengidentifikasi Sumber Masalah

Untuk mencari model penyelesaian masalah social kita mesti


mengetahui sumber penyebab masalah tersebut. Minimal ada dua
pendekatan untuk memandang sumber maslalah sosial. Pertama, ada
masalah yang dianggap bersumber dari individu (personal blame),
Kedua, ada masalah yang dianggap bersumber dari sistem sosial
(environmental blame). Individu dikatakan sebagai sumber masalah
ketiika tingkah lakunya dianggap bertentangan dengan nilai atau standar
sosial yang berlaku di masyarakat atau individu tersebut bermaslah
karena ia memiliki kondisi mental yang buruk yang kemudian tingkah
lakunya berpengaruh negatif pada orang lain. Misalnya seseorang karena
kemampuan pengendalian emosi yang lemah saat berinteraksi dengan
orang disekitarnya sehingga melakukan tindakan kekerasan. Dengan
demikian ada gangguan interaksi antara dia dengan orang lain. Contoh
lain terjadinya kemiskinan karena disebabkan rendahnya motivasi serta
aktualisasi diri individu-individu miskin atau adanya angka putus sekolah
yang tinggi karena kurangnya motivasi belajar serta ketiadaan orientasi
masa depan.

Sedangkan masalah sosial yang dianggap bersumber dari sistem


sosial (environmental blame), terjadi jika lembaga-lembaga dan
organisasi tidak berfungsi sebagaimana mestinya sehingga berpengaruh
buruk pada sendi-sendi kehidupan masyarakat. Misalnya saja masalah
korupsi di Indonesia yang sudah begitu meluas serta berlangsung lama
dapat menyebabkan masalah lain seperti kemiskinan karena sumber-
sumber kehidupan yang seharusnya dapat diakses secara luas menjadi
hilang. Jika ada ganguan pada lembaga penegakan hukum dalam proses
pemberantasan korupsi sehingga masalah terebut tidak bisa dihilangkan,
maka dapat dikatakan bahwa sumber masalah berasal dari level sistem.
Meski tentunya individu yang melakukan korupsi bisa dikatakan pula
sebagai sumber masalahnya, namun bila korupsi terjadi dalam kualitas
serta kuantitas yang besar di masyarakat, maka harus ada kontrol yang
kuat dari sistem sosial, dalam hal ini adalah sistem penegakan hukum.

Bila personal blame menganggap bahwa sumber korupsi berasal


dari mental atau perilaku buruk individu, maka environmental blame
memandang bahwa sistem sosial harus memiliki fungsi memfasilitasi
kehidupan warga agar fungsi-fungsi kehidupan masyarakat dapat
berjalan. Jika kita menggunakan pedekatan komprehensif dari contoh
kasus ini dapat dilihat bagaimana keterkaitan antara perilaku individu
(yang melakukan korupsi) dengan sistem (yang seharusnya
mengendalikan perilaku sekaligus melindungi setiap individu dari warga
masyarakat).

Kadangkala dalam mengindentifikasi sumber masalah apakah


dari individu atau sistem, memunculkan pemahaman saling
mempengaruhi dilihat dari akibatnya. Misalnya masalah yang bersumber
dari sistem dapat menyebabkan tingkat frustasi tertentu pada level
individu. Tingkat frustasi yang tinggi dapat menyebabkan tingkah laku
menarik diri (withdrawl) sehingga individu menjadi pasif dan tidak mau
bertindak keluar dari masalahnya. Keadaan individu yang demikian bisa
terus berlangsung meski sistem sosial awal yang menyebabkan dia
frustasi sudah berubah dan membaik.

c. Menterjemahkan Masalah Menjadi Kebutuhan

Kita sudah mengetahui dua pendekatan dalam mengindetifikasi


sumber masalah sehingga bisa dilihat apakah sumber masalah berasal
dari individu atau level sistem atau bahkan mungkin untuk kepentingan
penyelesaian masalah yang komprehensif kita menggunakan dua
pendekatan tersebut pada saat yang sama, maka yang dilakukan
kemudian adalah menterjemahkan masalah tersebut menjadi kebutuhan.
Mengubah masalah menjadi kebutuhan ini penting dilakukan karena
selanjutnya kita akan segera mengetahui sumber-sumber pemecahan
masalah yang bisa dimobilisasi atau digerakan.

Untuk melakukan hal tersebut kita perlu mengetahui terlebih


dahulu beberapa kemungkinan penyebab munculnya masalah sosial
atau difungsi sosial baik pada level individu, kelompok, keluarga,
masyarakat dan organisasi, yaitu sebagai berikut :

1. Tidak dimiilikinya kapasitas untuk memecahkan masalah


(misalnya orang tua yang tidak memiliki keterampilan
membimbing anak dengan baik)
2. Tidak adanya akses pada sistem sumber pemecahan
masalah ( seperti pengguna narkoba yang ingin melepas
ketergantungannya atau anak korban kekerasan tidak tahu
kemana harus mencari pertolongan) atau akses tersebut
mengalami gangguan
3. Adanya gangguan di dalam sistem sumber pemecahan
masalah sehingga sistem tersebut tidak berjalan
sebagaimanan mestinya (misalnya adanya praktik mafia
peradilan atau penanganan suatu masalah di sebuah
lembaga pelayanan sosial oleh orang yang tidak
kompeten)
4. Tidak adanya kebijakan sosial yang memadai atau
kemungkinan lain kebijakan tersebut tidak berpihak pada
masyarakat yang lebih luas
5. Tidak tersedianya sama sekali sistemsistem pelayanan
sosial yang langsung dapat memberikan bantuan
6. Terjadinya anomali atau mekanisme kontrol sosial di
masyarakat tidak berfungsi, atau tidak ada sama sekali.

Dari kemungkinan keenam penyebab masalah tersebut kita


dapat mengetahui apa yang harus dikembangkan atau diperbaiki
sehingga muncul kebutuhan-kebutuhan akan pelayanan. Misalnya jika
ada orang tua yang bermasalah dengan pembimbingan anak sehingga
kerap terjadi pertengkaran atau bahkan tindakan-tindakan kekerasan,
maka kebutuhan orang tua tersebut adalah penguasaan keterampilan
pembimbingan anak dan kemungkinan lain kebutuhan untuk bisa
melakukan self coping pada situasi-situasi distress. Pada kasus yang
lingkupnya makro, bentuk-bentuk tindakan yang dibutuhkan
mencakup mengembangkan atau merubah kebijakan-kebijakan sosial,
melakukan kontol sosial, perencanaan sosial, advokasi, kampanye,
pengembangan masyarakat, aksi sosial, dan sebagainya sesuai isu
yang berkembang.

Dalam sistem pelayanan sosial seringkali diperlukan


pendekatan multi disiplin sehingga treatmen yang dilakukan
berdasarkan pada kebutuhan manusia yang utuh dan holistik. Untuk
mengembangkan bentuk-bentuk pelayanan, seringkali diperlukan
pelibatan berbagai profesi untuk mengefektifkan pencapaian
kebutuhan-kebutuhan pelayanan.

d. Sebab-sebab terjadinya Masalah Sosial


Masalah sosial timbul dari kekurangan-kekurangan dalam diri
manusia atau kelompok sosail yang bersumber pada faktor-faktor
ekonomis, biologis, biopsikologis dan kebudayaan.setiapa masyarakat
mempunyai norma yang bersangkut-paut dengan kesejahteraan,
kebendaan, kesehatan fisik, kesehatan mental, serta penyusaain diri
indivindu atau kelompok sosial. Penyimpangan-penyimpangan terhadap
norma-norma tersebut merupakan gejala abnormal yang merupakan
masalah sosial.( Soekanto Soerjono,1990:401).
Selain itu terdapat beberapa penyebab masalah sosial
yaitu,sebagai berikut:
1. Masalah Sosial Akibat Perubahan Sosial
Masyarakat setiap saat mengalami perubahan baik itu yang
direncanakan atau pun yang tidak direncanakan. Perubahan sosial
terjadi ketika ada perubahan pada struktur sosial yaitu pola-pola
tingkah laku dan interaksi masyarakat, perubahan pada dimensi
status dan peranan, perubahan institusi, serta perubahan nilai-nilai
di masyarakat.

Setiap perubahan pada satu dimensi, mengakibatkan


perlunya penyesuaian dari dimensi yang lainnya. Jika penyesuaian
tidak terjadi, maka dimungkinkan muncul masalah sosial akibat
dari ketidaksesuaian tersebut. Misalnya saat ini teknologi informasi
mampu melintasi berbagai ruang budaya yang berbeda. Satu sisi
ada pengaruh positif akibat bertukarnya informasi tersebut seperti
berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, munculnya
kesadaran mengenai interdependesi dalam kesatuan global
community, dan sebagainya. Namun di sisi lain pengaruh buruk
juga terjadi akibat pergesekan nilai budaya yang berbeda dan
bertolak belakang.

Pada wilayah sosial yang lebih kecil misalnya pada


keluarga yang baru terbentuk, tahap dan perkembangan di
dalamnya membutuhkan pola perilaku, peranan, dan interaksi yang
sesuai dengan fungsi-fungsi keluarga yang seharusnya. Bagaimana
seorang perempuan yang tadinya hidup sendiri harus berperan
sebagai seorang istri bagi pasangan hidupnya dan ibu bagi anak-
anaknya. Begitu pula seorang pria yang semula memiliki pola
hidup sendiri, maka setelah menikah harus berbagi tanggung jawab
bersama pasangan hidupnya sebagai suami dan ayah bagi anak-
anaknya.

Jika adaptasi dari perubahan tersebut tidak terjadi maka bisa


memunculkan masalah dalam keluarga tersebut misalnya
ketidakmampuan suami yang harus mencari nafkah sekaligus
berperan sebagai kepala keluarga yang memimpin istri dan
anaknya, atau interaksi yang tidak dibangun dengan pola
komunikasi yang tepat antara anggota keluarga, tidak memiliki
kemampuan dalam proses pembimbingan anak, bisa menyebabkan
konflik-konflik serta ketidakharominsan keluarga sehingga bisa
berakhir dengan perceraian, kekerasan, atau ketidaklayakan
pengasuhan anak.

2. Masalah Sosial dan Disfungsi Sosial

Setiap manusia menjalankan fungsi-fungsi tertentu untuk


menjaga kelangsungan hidupnya. Manusia akan berfungsi dengan
baik jika ia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup serta puas
dengan keadaan diri, dapat menjalankan peran-peran dalam
kehidupannya dengan baik serta dapat melakukan interaksi positif
dengan manusia lainnya. Jika seseorang tidak bisa menjalankan
fungsi-fungsi tersebut maka ia mengalami disungsi sosial.

Profesional yang bekerja membantu mengembalikan


keberfungsian sosial orang adalah pekerjaan sosial. Mereka bekerja
dengan individu, kelompok, keluaraga, masyarakat atau organisasi
dengan basis pengetahuan serta metode yang dimilikinya. Orang
dengan fungsionalitas sosial ditunjukkan dengan kemampuannya
menjalankan tugas-tugas kehidupan baik itu kehidupan pribadi
maupun kehidupan dengan lingkungan masyarakatnya.

Anda mungkin juga menyukai