Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN KEGIATAN PROGRAM BEASISWA

PERTUKARAN MAHASISWA TANAH AIR-NUSANTARA


SISTEM AHLI KREDIT TEKNOLOGI INFORMASI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2019/2020

Disusun oleh :

SILVIA FAUZIAH NASUTION


(19603189001)

ILMU KEOLAHRAGAAN

FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2019
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimphakan rahmat dan karunianya kepada kita
semua, sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita nabi agung
Muhammad SAW. Manusia yang menjadi teladan kita semua di muka bumi, manusia yang
membawa kita dari jaman jahiliah menuju jaman yang terang benderang, semoga kita selalu
mendapatkan syafaatnya di hari akhir.

Makalah ini telah saya susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu saya menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka saya
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar saya dapat memperbaiki makalah ini dan
makalah-makalah selanjutnya.

Yogyakarta, 8 November 2019

penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................. i

DAFTAR ISI................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan Penulisan 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Tes Psikologis 2


B. Tes-tes Psikologi Pada Atlet 2
C. Pengertian Latihan Mental 3
D. Metode Latihan Mental Pada Atlet 6

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan 10
B. Saran 10

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….. 11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Psikologi Olahraga adalah sebuah cabang ilmu yang relatif baru di Indonesia, psikologi
olahraga masuk dalam ranah Sport Science. Sport science adalah rumpun ilmu pengetahuan
yang berfokus untuk membantu atlet agar mempunyai kualitas teknik, fisik dan mental yang
berada dalam level tertinggi (Latihan, n.d.).
Sebagaimana sebuah ilmu, Ilmu psikologi dan ilmu olahraga menuntut adanya suatu
obyektifitas. Salah satu usaha obyektifitas yang dilakukan adalah melalui pengukuran. Dalam
kaitannya dengan mengukur aspek psikologi pada pelaku olahraga, tidak mudah melakukan
pengukurannya karena jiwa manusia bersifat abstrak, namun berbagai usaha telah dilakukan para
ahli psikologi untuk mengkuantifikasikan aspek-aspek psikologi manusia yang pada masa kini
lazim disebut pengukuran psikologis ( Psychological Assessments).
Tidak seperti atribut fisik, atribut psikologis tidak dapat diukur secara langsung. Atribut
psikologi merupakan konstruk, konstruk adalah konsepsi hipotetis hasil imajinasi ilmiah ilmuwan
yang memilki eksistensi yang nyata dan bisa menimbulkan gejala yang dapat diukur (Chaplin,
1981:108). Dalam psikologi, konstruk adalah konsep hipotetis hasil imajinasi ilmiah ilmuwan
yang berusaha menjelaskan tingkah laku manusia (Noer, 1987:1). Konstruk bisa berupa respon-
respon tertentu (misalnya : respon agresifitas), kondisi atau situasi (misalnya : setres) atau suatu
konsep yang telah terjelaskan (misalnya: ego) (Cronbach, 1990:702).

B. Rumusan Masalah
1) Apa yang dimaksud tes pengukuran psikologi?
2) Apa saja tes-tes pengukuran psikologis pada atlet?
3) Apa yang dimaksud dengan latihan mental?
4) Apa saja model latihan mental pada atelt?

C. Tujuan Penulisan
1) Memberikan penjelasan kepada pembaca tentang teknik-teknik atau tes pengukuran
psikologi pada atlet.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tes Psikologis


Sejarah pengembangan tes psikologi sendiri juga berkaitan dengan human perfomance
manusia dalam menghadapi situasi terpapar setres secara fisik dan psikologis. Prototipe inventori
kepribadian yang pertama yaitu Woodworth Personal Data Sheet (PDS) yang diperkenalkan
tahun 1917. PDS adalah tes tertilis yang mengukur simtom neurotik prajurit U.S. Army.
Instrumen Pengukuran Psikologis memiliki banyak metode yaitu melalui observasi,
wawancara dan yang paling umum digunakan adalah testing psikologi. Testing Psikologi adalah
alat ukur yang objektif dan dibakukan atas sampel perilaku tertentu (Anastasi dan Urbina,
1997:4). Ini sesuai dengan definisi Cronbach yang mendefinisikan tes sebagai : “Tes adalah
prosedur sistematik untuk mengobservasi perilaku atau mendeskripsikannya dengan bantuan
skala numerikal dan kategorikal” (1990:32).
Testing psikologis pada hakekatnya adalah alat ukur terhadap suatu konstruk dan masing-
masing konstruk memiliki testing sendiri-sendiri. Dengan kata lain, testing psikologis bersifat
sangat spesifik dan memiliki ruang lingkup terhadap yang terbatas untuk mengukur satu konstruk
tertentu. Testing psikologis memiliki banyak ragam jenis, namun untuk menggolongkan jenis-
jenis testing psikologis sebelumnya harus dipahami dahulu jenis-jenis psikologis yang diukur
oleh testing tersebut.
Suryabrata (2000:13-14) menggolongkan berbagai atribut psikologis menjadi empat
kelompok yaitu : 1) Kepribadian; 2) Intelegensi; 3) Potensi Intelektual; 4) Hasil Belajar.
Berdasarkan golongan ini, maka berbagai tes psikologi yang ada yang akan dikembangkan itu
dapat digolongkan menjadi empat yaitu : 1) Tes Kepribadian; 2) Tes Intelegensi; 3) Tes Potensi
Intelektual; 4)Tes Hasil Belajar.
Tes psikologis selain dibedakan berdasarkan atribut psikis yang dikukurnya juga
memiliki beberapa macam nama dan bentuk yang berbeda-beda. Meskipun semuanya tidak
terlepas dar lingkup definisi “tes” yang telah disebutkan sebelumnya. Setidaknya terdapat tiga
istilah dalam lingkup tes-tes kepribadian yaitu: 1) Kuisioner atau inventori; 2) Skala; dan 3)
Teknik Proyektif.
Kuisioner atau inventori digunakan untuk mengumpulkan data deskripsi-diri.
Adainventori tentang kebiasaan, minat, sikap sosial, dan lain-lain. Inventori biografi dapat
mengumpulkandata diri seseorang mulai dari catatan saat masa dalam kandungan ( prenatal )
sampai perasaan- perasaan dan pengalaman masa lalu hingga masa kini (Cronbach, 1990:43).
Skala yaitu sekumpulan item-item yang memiliki serangkaian lambang/simbol atau
angkayang disusun dengan cara tertentu sehingga simbol atau angka itu dengan aturan tertentu
dapatdiberikan kepada individu (atau pada perilaku individu) untuk mengkuantifikasikan suatu
gejala yangdiukur oleh skala itu (Kerlinger, 1990:788, Chaplin, 1981:444). Pada umumnya
skala digunakan untuk mengukur sikap manusia, tapi juga memungkinkan untuk mengukur
kepribadian, sikap, minat, persepsi atau atribut psikologis lainnya.
Teknik proyektif adalah metode yang menanyakan suatu interpretasi dari stimulus
yangambigous seperti misalnya bercak tinta. Interpretasi subyek dianggap mencerminkan aspek-
aspek kepribadian seperti pikiran, perhatian dan motif-motifnya (Cronbach, 1990:705, Anastasi
dan Urbina,1997:411). Teknik ini banyak digunakan dalam bidang psikologi klinis, namun
jarang digunakandalam penelitian olahtaga karena cara penilaian dan interprestasinya
membutuhkan keterampilan yangrumit. Selain itu, ada keraguan terhadap validitas dan
reliabilitasnya karena tes semacam ini rentanterhadap bias.
Testing psikologis dalam berbagai bentuk dan bermacam-macam tujuan banyak
digunakandalam bidang pendidikan, industri dan bisnis, klinis, serta dalam penelitian-penelitian
psikologi. Olahraga juga termasuk salah satu bidang yang mengambil manfaat adanya tes
psikologi. Di amerika serikat, testing psikologis adalah bagian integral dari penelitian dan
pembinaan olahraga. Testing psikologis dilakukan oleh psikolog atau psikolog olahraga dan
biasanya dilakukan untuk dua tujuan,yaitu : untuk seleksi dan/atau dasar pengambian keputusan
dan 2) sebagai bagian dari pengembangan program latihan (LeUnes, 2002: 259 dan Nideffer,
1981 dalam LeUnes, 2002: 236).

B. Tes-tes Psikologis Pada Atlet


Dalam bidang olahraga, tes psikologis dapat dikelompokkan ke dalam dua domain besar
yaitu: 1) tes yang mengukur konstruk yang general digunakan dalam asesmen psikologis; 2) tes
yang mengukur konstruk psikologis khas pada olahraga; dan 3) tsting yang mengukur konstruk
psikologis yang spesifik pada satu cabang olahraga saja. Pertama, tes yang mengukur konstruk
yang general dalam asesmen psikologis. Beberapa inventori lain yang umum digunakan untuk
mengukur kondisi mental (state) seseorang atlet ketika tampil berolahraga antara lain Profile of
Mood States (POMS) yang mengukur kondisi mood seseorang; State-Trait Anxienty Inventory
(STAI) yang mengukur kecemasan; Test of Atentional and Interpersonal Style (TAIS) yang
mengidentifikasi tipe atensi seseorang sehingga dapat disesuaikan dengan tipe atensi untuk
cabangolahraga tertentu; Task and Ego Orientation Questionnaire (TEOSQ) yang mengukur
kemampuanmental mengarahkan diri pada tujuan.
Tujuan digunakannya testing-testing semacam ini agar pelatih dan psikolog olahraga
memiliki gambaran lengkap mengenai profil kepribadian atlet sehingga mereka dapat
menentukan metode mental training dan metode melatih yang tepat bagi atlet tersebut. Ini
berkaitan dengan prinsip individual dalam latihan (Harsono, 1996), dimana suatu latihan
haruslah menyesuaikan kapasitas fisik setiap atlet. Demikian pula dalam hal perbedaan
psikologis atlet seperti kepribadian, dengan adanyagambaran lengkap dari hasil tes kepribadian,
maka pelatih dalam memberikan motivasi atau reward-punisment yang lebih efektif atau
mengena terhadap atlet.
Para ahli psikologi olahraga mulai mengembangkan tes-tes psikologi dari dan untuk
kalangan olahragawan, yang juga disebut sport-specific test (leUnes, 2002; 251). Tes ini hanya
digunakan dalam setting olahraga saja sampel standardisasinya dikembangkan dari sampel atlet
atau orang-orang yang terlibat olahraga, sehingga interprestasinya lebih memudahkan. Atlet yang
terlibat secara langsung dalam olahraga menemukan bahwa tes yang dikembangkan secara
sepesifik untuk mengukur kostruk dalam konteks olahraga jauh lebih praktis dan membantu dari
apa tes-tes psikologi yang umum digunakan (Smith et al, 1995 dalam Gill, 2000: 55), karena
lebih focus mengukur karakteristik yang dibutuhkan oleh pelaku olahraga. Testing psikologis
pertama kali dikembangkan adalah Athletic Motivation Inventory (AMI) oleh Ogilvie, lyon dan
Tutko untuk mengukur sikap, perilaku dan keterlibatan seseorang dalam olahraga.
Yang ketiga, tes psikologis dalam olahraga semacam ini ada juga yang bersifat sport-
specificcontext , yang mana tes psikologis tersebut hanya secara khusus mengukur suatu
konstruk psikologis yang spesifik pada satu cabang olahraga. Contohnya adalah Motivations of
Marathoners Scales (MOMS) yang mengukur motivasi pelari marathon; Tennis-Attentional and
Interpersonal Style Style(T-TAIS) untuk mengetahui tipe atensi yang spesifik dalam cabang
olahraga tenis; B-TAIS untuk mengukur tipe atensi untuk olahraga baseball.
Sebagaimana tes-tes lainnya, tes Psikologis dalam olahraga juga harus memenuhi
kondisi-kondisi tes yang ideal agar bisa memenuhi syarat sebagai sebuah alat ukur yang objektif.
Kondisi yangideal itu yaitu tes harus: 1) terstandar, 2) memiliki reliabilitas 3) memiliki validitas
yang cukup, dan 3) memiliki norma (Anastasi & Urbina, 1997:6, 84; Azwar, 2001:4;
Cronbach, 1991:33; Suryabrata,2000:29).
a) Terstandar
Suatu tes dikatakan terstandardisasi ( standardized ) bila kata-kata dan tindakan
tester, piranti yang digunakan dalam tes, dan aturan-aturan skoring telahditetapkan secara
pasti, sehingga skor yang terkumpul pada waktu dan tempat yang berbeda dapatcukup
komparabel. Dengan kata lain, standardisasi menyangkut keseragaman prosedur. Dalam
rangkamenjamin keseragaman prosedur, penyusun tes harus menyediakan petunjuk-
petunjuk yang rinci bagi penyelenggaraan setiap tes yang baru dikembangkan. Petunjuk
itu meliputi jumlah materi yangdigunakan, batas waktu, instruksi-instruksi lisan,
demonstrasi awal, cara-cara menjawab pertanyaandari peserta tes, cara melakukan
scoring, dan setiap rincian lain dari situasi testing (Cronbach,1991:33).

b) Memiliki Reliabilitas
Reliabilitas adalah “sejauhmana hasil suatu pengukuran dapatdipercaya” (Azwar,
2001:4). Hasil pengukuran baru dapat dipercaya hanya apabila dalam beberapakali
pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok yang sama diperoleh hasil yang relatif sama,
selamaaspek yang diukur dalam diri subjek memang belum berubah. Reliabilitas merujuk
pada konsistensiskor yang dicapai oleh orang yang sama ketika mereka diuji ulang
dengan tes yang sama padakesempatan yang berbeda, atau diuji dengan item-item yang
ekuivalen, atau di bawah kondisi pengujian yang berbeda (Anastasi & Urbina, 1997:84;
Azwar, 2001:4).

c) Memiliki Validitas Yang Cukup

Validitas adalah keterandalan, kecermatan, atau ketepatan tes tersebut dalam


menjalankan fungsi ukurnya. (Anastasi & Urbina,1997:113; Azwar, 2001:5-6;
Suryabrata, 2000:41). Validitas dapat dilihat dari tiga arah, yaitu 1) dari arah isi yang
diukur; 2) dari arah atribut (konstruk) yang diukur, dan 3) dari arah kriteria alat ukur
lainyang relevan.

d) Memiliki Norma
Skor-skor pada tes psikologis paling umum diinterpretasikan dengan acuan pada
norma-norma yang menggambarkankinerja tes dari sampel terstandardisasi. Dengan
mengacu pada sampel standardisasi, skor mentahdiubah menjadi ukuran relatif. Skor
mentah individu diacu pada distribusi skor yang diperoleh lewat sampel standardisasi,
untuk menemukan dimana tempatnya dalam distribusi itu (Anastasi & Urbina,1997:48).

C. Pengertian Latihan Mental


Latihan mental dilakukan sepanjang atlet menjalani latihan olahraga, karena latihan
mental merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari program latihan tahunan atau periodesasi
latihan. Latihan-latihan tersebut ada yang memerlukan waktu khusus (terutama saat-saat pertama
mempelajari latihan relaksasi dan konsentrasi), namun pada umumnya tidak terikat oleh waktu
sehingga dapat dilakukan kapan saja. Menurut Lismadiana (tanpa tahun) latihan mental adalah
suatu metode latihan dimana penampilan ‘/pada suatu tugas diimajinasikan atau divisualiasikan
tanpa latihan fisik yang tampak. Latihan Mental atau pelatihan otak mengacu pada penggunaan
terstruktur dari latihan kognitif atau teknik. Tujuannya adalah untuk meningkatkan fungsi otak
tertentu. Menurut Driskell, J. E., Copper, C., & Moran, A, (1994:481) Latihan mental adalah
latihan kognitif suatu tugas sebelum kinerja.
Latihan mental harus dilakukan bersamaan dengan latihan komponen fisik, teknik dan
taktik. Mental yang tangguh dalam mengikuti kompetisi tidak tiba-tiba di miliki oleh seorang
atlet tanpa di latih dan diprogram secara sistematis. Oleh sebab itu latihan mental ini perlu
disadari oleh pelatih dan atlet itu sendiri. Dengan latihan mental ini atlet akan dapat fokus
terhadap kompetisi yang akan diikuti.
Merujuk dari arti mental dan latihan seperti penjelasan di atas maka latihan mental dapat
diartikan latihan yang diprogramkan dan dilakukan berbentuk kejiwaan baik kognitif, afektif,
maupun psikomotor secara terorganisir. Pelatihan mental harus dianggap sebagai penting bagian
dari mempersiapkan atlet untuk jadwal yang menuntut praktek dan kompetisi sebagai latihan
fisik. Atlet yang sukses adalah orang yang sangat termotivasi, fokus, dan percaya diri. Sikap ini
meningkatkan kemungkinan mereka akan mencapai kinerja puncak ketika ia menghitung.
Termasuk dalam pelatihan mental adalah memperoleh kemampuan untuk mengendalikan dan
fokus emosi kita menjadi kekuatan positif dalam mencapai kinerja yang optimal dalam
kondisistres yang tinggi.

D. Metode Latihan Mental Pada Atlet


Menurut Zackyubaid (2010) ada enam metode latihan mental atlet, sebagai upaya
untuk tampil secara maksimal dalam olahraga kompetitif, antara lain:
a) Berfikir Positif
Berfikir positif dimaksudkan sebagai cara berfikir yang mengarahkan sesuatu
ke arah yang positif, melihat segi baiknya. Hal ini perlu dibiasakan bukan saja oleh
atlet, tetapi terlebih-lebih bagi pelatih yang melatihnya. Dengan membiasakan diri
berfikir positif dapat menumbuhkan rasa percaya diri, meningkatkan motivasi dan
menjalin kerjasama antara berbagai pihak. Pikiran positif akan diikuti dengan
tindakan dan perkataan positif pula, karena pikiran akan menuntun tindakan.

b) Membuat Catatan Harian Latihan Mental (Mental Log)


Catatan latihan mental merupakan catatan harian yang ditulis setiap atlet
selesai melakukan latihan, pertandingan, atau acara lain yang berkaitan dengan
olahraganya. Dalam buku catatan latihan mental ini dapat dituliskan pikiran,
bayangan, ketakutan, emosi, dan hal-hal lain yang dianggap penting dan relevan oleh
atlet. Catatan ini semestinya dapat menceritakan bagaimana atlet berfikir, bertindak,
bereaksi, juga merupakan tempat untuk mencurahkan kemarahan, frustrasi, kecewa,
dan segala perasaan negatif jika melaku- kan kegagalan atau tampil buruk. Dengan
melakukan perubahan pola pikir akan hal-hal negatif tadi menjadi positif, atlet dapat
menggunakan catatan latihan mentalnya sebagai “langkah baru” setelah mengalami
frustrasi, keraguan, ketakutan, ataupun perasaan berdosa/ bersalah untuk kembali
membangun sikap mental yang positif dan penuh percaya diri.

c) Penetapan sasaran (goal-setting)


Penetapan sasaran (goal-setting) perlu dilakukan agar atlet memiliki arah yang
harus dituju. Sasaran tersebut bukan hanya berupa hasil akhir (output) dari mengikuti
suatu kejuaraan. Penetapan sasaran ini sedapat mungkin harus bisa diukur agar dapat
dilihat perkembangan dari pencapaian sasaran yang ditetapkan. Selain itu pencapaian
sasaran ini perlu ditetapkan sedemikian rupa secara bersamasama antara atlet dan
pelatih. Sasaran tersebut tidak boleh terlalu mudah, namun sekaligus bukan sesuatu
yang mustahil dapat tercapai. Jadi, sasaran tersebut harus dapat memberikan
tantangan bahwa jika atlet bekerja keras maka sasaran tersebut dapat tercapai. Dengan
demikian penetapan sasaran ini sekaligus dapat pula berfungsi sebagai pembangkit
motivasi.

d) Latihan relaksasi
Tujuan dari pada latihan relaksasi, termasuk pula latihan manajemen stres,
adalah untuk mengendalikan ketegangan, baik itu ketegangan otot maupun
ketegangan psikologis. Ada berbagai macam bentuk latihan relaksasi, namun yang
paling mendasar adalah latihan relaksasi otot secara progresif. Tujuan daripada
latihan ini adalah agar atlet dapat mengenali dan membedakan keadaan rileks dan
tegang. Biasanya latihan relaksasi ini baru terasa hasilnya setelah dilakukan setiap
hari selama minimal enam minggu (setiap kali latihan selama sekitar 20 menit).
Sekali latihan ini dikuasai, maka semakin singkat waktu yang diperlukan untuk bisa
mencapai keadaan rileks. Bentuk daripada latihan relaksasi lainnya adalah autogenic
training dan berbagai latihan pernapasan. Latihan relaksasi ini juga menjadi dasar
latihan pengen- dalian emosi dan kecemasan.
Latihan visualisasi dan imajeri. Latihan imajeri (mental imagery) merupakan
suatu bentuk latihan mental yang berupa pembayangan diri dan gerakan di dalam
pikiran. Manfaat daripada latihan imajeri, antara lain adalah untuk mempelajari atau
mengulang gerakan baru; memperbaiki suatu gerakan yang salah atau belum
sempurna; latihan simulasi dalam pikiran; latihan bagi atlet yang sedang rehabilitasi
cedera. Latihan imajeri ini seringkali disamakan dengan latihan visualisasi karena
sama-sama melakukan pembayangan gerakan di dalam pikiran. Namun, di dalam
imajeri si atlet bukan hanya melihat gerakan dirinya namun juga berfungsi untuk
indera pendengaran, perabaan, penciuman dan pengecapan. Untuk dapat menguasai
latihan imajeri, seorang atlet harus mahir dulu dalam melakukan latihan relaksasi.

e) Latihan Konsentrasi
Konsentrasi merupakan suatu keadaan dimana kesadaran seseorang tertuju
kepada suatu obyek tertentu dalam waktu tertentu. Dalam olahraga, masalah yang
paling sering timbul akibat terganggunya konsentrasi adalah berkurang- nya akurasi
lemparan, pukulan, tendangan, atau tembakan sehingga tidak mengenai sasaran.
Akibat lebih lanjut jika akurasi berkurang adalah strategi yang sudah dipersiapkan
menjadi tidak jalan sehingga atlet akhirnya kebingungan, tidak tahu harus bermain
bagaimana dan pasti kepercayaan dirinya pun akan berkurang.
Selain itu, hilangnya konsentrasi saat melakukan aktivitas olahraga dapat pula
menyebabkan terjadinya cedera. Tujuan daripada latihan konsentrasi adalah agar si
atlet dapat memusatkan perhatian atau pikirannya terhadap sesuatu yang ia lakukan
tanpa terpengaruh oleh pikiran atau hal-hal lain yang terjadi di sekitarnya. Pemusatan
perhatian tersebut juga harus dapat berlangsung dalam waktu yang dibutuhkan. Agar
didapatkan hasil yang maksimal, latihan konsentrasi ini biasanya baru dilakukan jika
si atlet sudah menguasai latihan relaksasi. Salah satu bentuk latihan konsentrasi
adalah dengan memfokuskan perhatian kepada suatu benda tertentu nyala lilin; jarum
detik; bola atau alat yang digunakan dalam olahraganya. Lakukan selama mungkin
dalam posisi meditasi
BAB III
PENUTUP 
A. Kesimpulan
Penggunaan testing psikologis kepada atlet tampaknya belum banyak dilakukan di
Indonesia, dan kalau pun dilakukan hanya terbatas untuk kepentIngan penelitian. Hal ini antara
lain karena mahalnya biaya melakukan testing psikologis dan tidak tersedianya sumber daya
yangmemadai untuk melakukan prosedur tersebut. Selain itu, kebijakan kode etik psikologi dari
HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia) menyatakan untuk melakukan testing psikologis
sangat terbatas pada psikolog yang memiliki ijin praktek saja, sehingga testing psikologis sangat
jarang dilakukan dikalngan olahraga. Testing psikologis masih menjadi ranah ilmu psikologi
saja; sementara psikologi olahraga lebih banyak terfokus pada intervensi-intervensi untuk
memaksimalkan performa atlet, tetapi sayangnya dengan mengabaikan profil psikologis masing-
masing atlet. Dan dari metode latihan mental ini yang terpenting adalah pilihan cara yang
digunakan sebaiknya disesuaikan dengan karakter atlet atau dapat juga mengkombinasikan
beberapa cara agar tidak menimbulkan kejenuhan atlet.

B. Saran
Semoga ditahun yang akan datang terjadi kolaborasi antara ilmuwan psikologi dan
olahraga untuk merancang atau mengadaptasi tes-tes psikologis yang bersifat sport-specific,
sehingga dapat digunakan untuk kalangan olahraga. Dengan adanya gambaran objektif dari alat
ukur psikologis yang valid danreliabel, para pelatih dan atlet dapat memahami area-area psikis
yang harus dibenahi secara lebihefektif
DAFTAR PUSTAKA

Anastasi. Anna & Urbina, Susana. 1997. Psychological Testing, Seventh Edition New Jersey:
Simon & Schuster.

Alwisol. 2004. Psikologi Kepribadian Malang: UMM Press

Suryabrata, Sumadi. 2000. Pengembangan Alat Ukur Psikologis . Yogyakarta: Penerbit Andi

Azwar, Syaifuddin. 2001. Reliabilitas dan Validitas(Cetakan kesepuluh). Yogyakarta: Penerbit


Andi

Butcher & Nezami, 1994. Handbook of Psychological Assesments New York: Mc. Graw-Hill
Book Inc.

Chaplin, J. P. 1981.Kamus Lengkap Psikologi. Diterjemahkan oleh Dari. Kartini Kartono. Jakarta:
Rajagrafindo Persada

Bar-Eli, M., Dreshman, R., Blumenstein, B., & Weinstein, Y. (2002). The effect of mental training
with biofeedback on the performance of young swimmers. Applied psychology, 51(4), 567-
581.

Connaughton, D., Wadey, R., Hanton, S., & Jones, G. (2008). The development and maintenance
of mental toughness: Perceptions of elite performers. Journal of Sports Sciences, 26(1), 83-
95.

Cornwall, M. W., Bruscato, M. P., & Barry, S. (1991). Effect of Mental Practice on Isometric
Muscular Strength 1. Journal of Orthopaedic & Sports Physical Therapy, 13(5), 231-234.

Crust, L., & Azadi, K. (2010). Mental toughness and athletes' use of psychological strategies.
European Journal of Sport Science, 10(1), 43-51.

Anda mungkin juga menyukai