Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PENGRTIAN INTELGENSI MENURUT PARA AHLI

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Tes Intelegensi

Dosen Pengampu : Faisal Adnan Reza, S.Psi., M.Psi., Psikolog.

Disusun oleh

Kelompok 1 :

1. Dian Asti Karina (2231060)


2. M. Rizky Wahid (2231060)
3. Nur Diana Kholidah (2231060)
4. Rahma Anindya Irawan (2231060122)
5. Sintia Nabela (2231060265)
6. Suci Ayu Lestari (2231060268

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan karunia-Nya,
sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu. Sholawat serta salam, tak
lupa kita limpahkan nabi Muhammad SAW. Alhamdullilah kami ucapkan atas selesainya
makalah ini yang dibuat dengan judul “Pengertian Intelegensi Menurut Para Ahli.”
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Abnormal yang diampu
oleh bapak Faisal Adnan Reza, S.Psi., M.Psi., Psikolog.

Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik secara
langsung maupu tidak langsung sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Kami menyadari
makalah yang dibuat masih jauh dari sempurna sehingga kritik dan saran yang
membangun akan sangat membantu bagi kesempurnaan makalah ini.

Bandar lampung, 5 Maret 2024

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ………………………………………………………… 1


B. Rumusan Masalah ……………………………………………………... 1
C. Tujuan Penulisan ………………………………………………………. 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Intelegensi Menurut Para Ahli …………………………… 2


B. Sejarah Penggunaan Test Intelengensi dan Bakat …………………… 3

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ……………………………………………………………… 9

DAFTAR PUSTAKA

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak lahir hingga dewasa, kita menghadapi berbagai tes pada hampir seiap titik balik
dalam kehidupan. Tes digunakan di hampir setiap negara di muka bumi untuk konseling,
seleksi, dan penempatan. Tes dilakukan di berbagai tempat mulai dari sekolah-sekolah,
kantor pemerintah, industri, klinik-klinik medis, dan pusat-pusat konseling. Sebagian
besar orang telah menjalani lusinan tes dan tidak pernah memikirkan hal itu. Tes adalah
suatu prosedur standar untuk mengambil sampel perilaku dan menggambarkannya dalam
kategori atau skor.

Tes Intelegensi ini adalah tes yang digunakan untuk mengukur tingkat intelegensi
seseorang. Tes ini sering digunakan dalam dunia pendidikan dan dunia kerja. Saat di
tingkat sekolahan (SD – SMA), jenis tes intelegensi yang paling sering kita temui adalah
Tes Pendidikan Dasar (TKD). Beberapa psikolog berpendapat bahwa inteligensi
merupakan suatu kemampuan tunggal dan umum yang dimiliki seseorang dalam taraf
yang berbeda-beda dan diterapkan ke berbagai jenis tugas. Intelegensi bisa diukur dengan
menggunakan beberapa jenis tes, antara lain: WAIS, WISC, WPPSI, Tes Binet, SPM,
CPM, APM, CFIT, K-ABC, PPVT, KIT, IST, LIPS, dan lain-lain.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian intelegensi menurut para ahli?
2. Bagimanakah sejarah penggunaan tes intelegensi dan bakat?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian intelegensi menurut para ahli.
2. Untuk mengetahui sejarah penggunaan tes intelegensi dan bakat.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Intelegensi Menurut Para Ahli

Inteligensi adalah kualitas yang bersifat tunggal (unitary), diwariskan secara genetis,
dan dapat diukur. Perkembangan selanjutnya terfokus pada singularitas dan pluraritas.
Spearman percaya bahwa inteligensi mencakup faktor g (daya penalaran abstrak) yang
konsisten, faktor s (spesifik) yang berbeda pada kinerja yang berbeda. Faktor g lebih
banyak mewakili segi genetis sedangkan faktor s lebih banyak diperoleh melalui latihan
dan pendidikan (Semiawan, 2008). Berdasarkan konsep-konsep fungsional, Binet
menyatakan sifat inteligensi ada 3 (tiga) macam, yaitu sebagai berikut.

1) Kecenderungan untuk menetapkan dan mempertahankan (memperjuangkan) tujuan


tertentu. Makin cerdas seseorang, semakin cakap dia membuat tujuan sendiri,
mempunyai inisiatif sendiri, tidak menunggu perintah saja.
2) Kemampuan untuk mengadakan penyesuaian dengan maksud mencapai tujuan
tersebut. Makin cerdas seseorang, maka dia akan semakin dapat menyesuaikan cara-
cara menghadapi sesuatu dengan semestinya dan semakin dapat bersikap kritis.
3) Kemampuan untuk oto-kritik, yaitu kemampuan untuk mengkritik diri sendiri,
kemampuan untuk belajar dari kesalahan yang telah dibuatnya. Semakin cerdas
seseorang, maka dia akan semakin dapat belajar dari kesalahannya, dan tidak
mengulangi kesalahan yang sama.

Menurut David Wechsler (1958), inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak


secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif
(Munandar, 1996). Menurut Carl Witherington, inteligensi merupakan kesempatan
bertindak sebagaimana dimanifestasikan dalam kemampuan-kemampuan atau kegiatan-
kegiatan sebagai berikut.

a. Fasilitas dalam menggunakan bilangan dan angka.


b. Efisiensi penggunaan bahasa.
c. Kecepatan pengamatan.
d. Fasilitas dalam memahami hubungan.
e. Mengkhayal atau mencipta.

2
Selanjutnya Witherington mengemukakan bahwa “kognitif adalah pikiran, kognitif
(kecerdasan pikiran) melalui pikiran dapat digunakan dengan cepat dan tepat dalam
mengatasi suatu situasi untuk memecahkan masalah”. Sedangkan perkembangan kognitif
(perkembangan mental), adalah perkembangan pikiran. Pikiran adalah bagian dari proses
berpikir dari otak. Pikiran yang digunakan untuk mengenali, mengetahui, dan
memahami”. Louis L Thurstone (1938) Thurstone memandang inteligensi bersifat
multifaktor. Faktor-faktor yang membentuk inteligensi adalah faktor umum (common
factors, disingkat c) dan faktor khusus (specific factors). Faktor umum terdiri dari tujuh
faktor yang membentuk perilaku tertentu yang bersifat umum. Menurut Spearman
(Atkinson, Atkinson, Smith dan Bem, t.th:174), semua individu memiliki faktor
inteligensi umum (g) dalam jumlah yang bervariasi. Seseorang dapat dikatakan secara
umum cerdas atau bodoh tergantung pada jumlah g yang ia miliki.

B. Sejarah Penggunaan Tes Intelegensi dan Bakat

Sejarah tes psikologi adalah sebuah kisah menarik yang memiliki banyak relevenasi
dengan praktek-praktek masa kini. Bagaimanapun juga, tes-tes di masa kini tidak berasal
dari suatu kekosongan; tes-tes tersebut berkembang secara perlahan dari sekumpulan tes
pelopor yang diperkenalkan lebih dari 100 tahun silam. Psikologi tidak bisa memiliki
kepastian dan ketepatan ilmu-ilmu fisika, jika tidak diletakkan pada suatu pondasi
eksperimen dan pengukuran. Langkah ke arah terrsebut dapat dilakukan dengan
menerapkan serangkaian tes dan pengukuran mental terhadap sejumlah besar individu.
Hasilnya akan memiliki hasil ilmiah yang tinggi dalam menemukan ketetapan proses-
proses mental, saling ketergantungannya dan variasinya di lingkungan yang berbeda-
beda.

1. Bentuk-Bentuk Dasar Tes di Cina pada Tahun 2200 SM


Meskipun penggunaan tes psikologi secara luas sebagian besar merupakan
suatu fenomena abad 20, para ahli sejarah mencatat bahwa bentuk-bentuk dasar
tes berawal pada sekitar tahun 2200 SM, yaitu ketika kaisar Cina memerintahkan
para pejabatnya untuk diuji setiap 3 tahun untuk menentukan kelayakan mereka
atas suatu jabatan (Bowman, 1989; Chaffee, 1985; Franke, 1963; Teng, 1942-43).
Tes semacam itu dimodifkasi dan diperbaiki selama berabad-abad hingga ujian
tertulis diperkenalkan pada masa dinasti Han (202 SM-200 M). Ada lima topik

3
yang dites: hukum perdata, masalah-masalah militer, pertanian, pajak, dan
geografi.
Sistem ujian Cina mencapai bentuk finalnya sekitar rahun 1370 ketika
keahlian dalam ajaran-ajaran klasik Konfusius ditekankan. Dalam ujian
pendahuluan,para calon diharuskan menginap selama satu hari dan satu malam
dalam bilik kecil yang terisolasi, menulis esai tentang topik yang ditentukan, dan
menulis puisi. Satu hingga tujuh persen calon yang lulus akan pindah ke distrik
ujian, yang memerlukan tiga sesi terpisah selama tiga hari dan tiga malam.
2. Fisiognomi, Frenologi, dan Psikograf
Fisiognomi dilandasi pendapat bahwa kita dapat menilai karakrer dalam diri
orang-orang dari penampilan luar mereka, terutama wajah. Meskipun
menyesatkan dan sekarang sangat diragukan, fisiognomi mewakili bentuk awal tes
psikologi. Ketertarikan terhadap fisiognomi berawal pada abad keempat, yairu
ketika filsuf Yunani Aristoteles (384-322 SM) menerbitkan sebuah risalah pendek
yang didasarkan pada pendapat bahwa jiwa dan tubuh saling "bersimpati." Pada
intinya, Aristoteles berargumen bahwa perubahan-perubahan dalam jiwa
seseorang (karakter dalam diri) dapat mempengaruhi penampilan tubuh, dan
begitu juga sebaliknya.
Terbentuknya frenologi biasanya diatribusikan pada seorang dokter
berkebangsaan Jerman Franz Joseph Gall (1758-1828). "Ilmu pengetahuan" yang
diciptakannya sebenarnya didasarkan pada suatu irisan tipis dari hal yang masuk
akal. Dalam karya terkenalnya, The Anatomy and Physiology of the Nervous
System in General, and of the Brain in Particular (1810), Gall berargumen bahwa
otak adalah organ perasaan sekaligus Kecakapan dan bahwa kemampuan-
kemampuan tersebut terlokalisasi. Lebih lanjut, ia menyimpulkan, hingga tingkat
di mana kecakapan tertentu berkembang dengan baik, komponen otak yang sesuai
akan membesar. Pada akhirnya, karena tengkorak menyesuaikan dengan bentuk
otak, suatu "tonjolan" pada tengkorak akan menunjukkan peningkatan kecakapan
dasar tersebut. Asumsi yang masuk akal ini (namun tidak benar) membuat Gall
dan para pengikutnya dapat mengetahui apakah scorang individu adalah orang
yang penuh kasih, pendiam, penuh harapan, suka berkelahi, murah hati, percaya
diri, bahagia, suka meniru—lusinan sifat diketahui dari tonjolan-tonjolan tulang
tengkorak.

4
Pada tahun 1931, setelah berpuluh-puluh tahun bereksperimen, Henry C.
Lavery, seorang yang menyebut dirinya jenius dan memiliki keyakinan yang kuat
pada frenologi, menggunakan sedikit kekayaannya untuk mengembangkan mesin
yang disebut Psikograf (McCoy, 2000). Mesin itu terdiri dari ratusan bagian
bergerak yang dirakit menjadi alat besar menyerupai helm yang dipasang di
kepala orang yang dites. Masing-masing dari 32 kecakapan mental diberi
peringkat I sampai S ("tidak mencukupi" hingga "sangat unggul") berdasarkan
cara alat pemeriksaan tersebut melakukan kontak dengan kepala.
3. Era Tes dengan Instrumen Kuningan
Psikologi eksperimen berkembang pada akhir tahun 1800an di Eropa
kontinental dan Inggris Raya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, para psikolog
beralih dari metode yang sepenuhnya subjektif dan introspektif yang telah diikuti
dengan sia-sia pada abad-abad sebelumnya. Kemampuan manusia kemudian dites
di laboratorium. Para peneliti menggunakan prosedur-prosedur objektif yang
dapat diulang. Telah berlalu masa-masa ketika laboratorium pesaing akan
mengajukan argumen tajam tentang "pemikiran tanpa gambaran," di mana satu
kelompok mengatakan bahwa hal itu ada, sementara kelompok lainnya
mengatakan peristiwa mental semacam itu adalah mustahil.
Meskipun penekanan pada metode objektif dan kuantitas yang dapat diukur
merupakan suatu kemajuan besar dari mentalisme sangat mandul yang
mendahuluinya, psikologi eksperimen yang baru ini merupakan jalan buntu,
setidak-tidaknya sejauh berkaitan dengan tes psikologi. Masalahnya adalah para
psikolog eksperimen terdahulu salah mengira proses-proses sensori sederhana
sebagai inteligensi. Mereka menggunakan berbagai instrumen kuningan untuk
mengukur ambang batas sensori dan waktu reaksi, berpikir bahwa kemampuan-
kemampuan tersebut adalah inti dari inteligensi. Karena itu, periode ini terkadang
disebut sebagai era tes psikologi dengan Instrumen Kuningan.
4. Skala Peringkat dan Asal Mulanya
Skala peringkat digunakan secara luas dalam psikologi sebagai cara untuk
mengkuantifikasi berbagai jenis variabel psikologis yang subjektif. Salah satu
contoh skala peringkat sederhana mungkin adalah skala sebelas poin yang
digunakan para dokter ketika bertanya kepada pasien di ruang gawat darurat "Pada
skala 0 sampai 10, di mana 0 berarti sama sekali tidak ada rasa sakit, dan 10
adalah rasa sakit terburuk yang pernah Anda rasakan, seberapa buruk rasa sakit
5
Anda sekarang?" Meskipun masih mentah, ini merupakan suatu bentuk
pengukuran psikologi. Para psikometrisi telah mengembangkan suatu literatur
lengkap tentang ciri-ciri dan penerapan jenis skala peringkatini (Guilford, 1954;
Nunnally, 1967; Nunnally & Bernstein, 1994).
Para ahli sejarah psikologi sebelumnya berpikir bahwa skala peringkat
menggunakan angka yang berasal dari era "instrumen kuningan" Francis Galton
(McReynolds & Ludwig, 1987). Namun, sekarang tampak bahwa bentuk mentah
skala peringkat dapat dirunut ke Galen, seorang dokter Romawi-Greko abad 2.
Galen percaya pada teori humor umum tentang kesehatan dan penyakit, di mana
keselarasan atau keridakselarasan di antara 4 cairan jasmani atau "humor"
menentukan kesehatan seseorang. Keempat humor tersebut adalah empedu
kuning, empedu hitam, lendir, dan darah. Humorologi waktu juga menonjolkan
dikotomi panas-dingin dan basah-kering sebagai elemen kesehatan atau penyakit.
Dalam kaitannya dengan dimensi panas-dingin, Galen mengakui adanya
kebutuhan akan sesuatu yang lebih canggih daripada dikotomi sederhana.
5. Perubahan Konsep-Konsep Reterdasi Mental Pada Tahun 1800an
Awal tehun 1800an, para praktisi medis menyadari bahwa beberapa di antara
mereka yang memiliki kelemahan psikiatrik menderita penyakit yang dapat
disembuhkan yang tidak selalu berarti kurangnya inteligensi, sedangkan orang-
orang luar biasa lainnya, yaitu mereka yang mengalami retardasi mental,
menunjukkan suatu kesinambungan perkembangan yang lebih besar dan selalu
memiliki inteligensi yang lemah. Selain itu, suatu humanisme yang baru muncul
juga mulai memengaruhi praktek-praktek sosial terhadap orang-orang dengan
keterbatasan psikologis dan mental. Dengan humanisme ini muncul suatu
ketertarikan yang lebih besar dalam diagnosis dan pengobatan retardasi mental. Di
garis depan perkembangan ini adalah dua dokter Perancis, J. E. D. Esquirol dan O.
E. Seguin, yang masing-masing merevolusi pemikiran tentang mereka yang
mengalami retardasi mental, sehingga membantu memunculkan kebutuhan akan
tes Binet.
6. Pengaruh Penelitian Awal Binet Terhadap Tesnya
Binet mengembangkan tes kecerdasan yang menggunakan usia mental untuk
membantu mengidentifikasi siswa yang berisiko dan mungkin memerlukan
bantuan di sekolah. Hal ini dapat berdampak besar pada guru dan pendidikan.
Salah satu dampak besar Binet terhadap pendidikan adalah ia menunjukkan bahwa
6
kecerdasan adalah proses yang kompleks. Tidak ada satu pertanyaan pun yang
dapat diajukan yang dapat memberi tahu seorang guru, apakah muridnya
memerlukan perhatian ekstra atau tidak. Sebaliknya, yang ditemukan Binet adalah
sekelompok keterampilan yang bekerja sama dan berinteraksi satu sama lain untuk
membuat seorang anak berhasil di sekolah. Keterampilan seperti pemecahan
masalah, berpikir logis, dan memperhatikan pola adalah bagian dari kelompok
keterampilan kompleks yang membentuk kecerdasan.
7. Binet dan Tes untuk Proses-Proses Mental yang Lebih Tinggi
Pada tahun 1896, Binet dan asistennya di Sorbonne, Victor Henri,
mempublikasikan kajian yang sangat penting terhadap karya seorang Jerman dan
Amerika tentang perbedaan-perbedaan individual. Dalam makalah yang penting
secara historis ini, mereka berargumen bahwa inteligensi dapat diukur dengan
lebih baik melalui proses psikologis yang lebih tinggi ketimbang proses sensori
dasar seperti waktu reaksi. Setelah mengawalinya dengan beberapa kesalahan,
Binet dan Simon akhirnya menetapkan format yang mudah dipahami untuk skala
tahun 1905.
Karakteristik skala tahun 1905 berutang banyak pada tes sebelumnya yang
dikembangkan oleh Dr.Blin (1902) dan muridnya, M. Damaye. Mereka berusaha
memperbaiki diagnosis retardasi mental dengan menggunakan suatu rangkaian
asesmen dalam 20 area seperti bahasa lisan; pengetahuan tentang bagian-bagian
tubuh; kepatuhan terhadap perintah-perintah sederhana; menyebutkan nama
objek-objek umum; dan kemampuan untuk membaca, menulis, serta mengerjakan
aritmetika sederhana. Binet mengkritik skala tersebut karena terlalu subjektif,
karena ada soal-soal yang mencerminkan pendidikan formal, dan karena
menggunakan bentuk jawaban ya atau tidak pada banyak pertanyaan (DuBois,
1970). Namun ia sangat terkesan dengan ide menggunakan suatu rangkaian tes,
yairu karakteristik yang ia adopsi dalam skala tahun 1905-nya.
8. Skala Revisi dan Lahirya IQ
Pada tahun 1908, Binet dan Simon menerbitkan revisi dari skala tahun 1905.
Pada skala terdahulu, lebih dari separuh soal dirancang bagi mereka yang sangat
terbelakang, namun keputusan diagnostik utama mencakup anak-anak yang lebih
tua dan mereka yang memiliki intelegensi di ambang batas. Untuk memperbaiki
ketdakseimbangan ini, sebagian besar soal yang sangat sederhana dihilangkan dan

7
soal-soal baru ditambahkan pada bagian akhir yang lebih tinggi dari skala
tersebut.
Inovasi utama pada skala tahun 1908 adalah pengenalan konsep tingkat
mental. Tes tersebut telah distandardisasi pada sekitar 300 anak normal berumur
antara 3 hingga 13 tahun. Ini memungkinkan Binet dan Simon untuk mengurutkan
tes berdasarkan tingkat umur di mana mereka biasanya lulus. Soal-soal mana pun
yang bisa dikerjakan oleh 80 hingga 90 persen anak-anak berumur 3 tahun
ditempatkan di tingkat umur 3 tahun, dan seterusnya hingga umur 13. Binet dan
Simon juga membuat sistem skor kasar di mana umur basal diterapkan untuk
pertama kalinya dari tingkat umur di mana tidak lebih dari satu tes yang gagal.
Untuk setiap lima tes yang lulus pada tingkat umur di aras basal, aken diberikan
tingkat mental satu tahun penuh. Sejauh tahun-tahun parsial tingkat mencal cidak
dikreditkan dan berbagai tingkat umur mengerjakan berapa pun di antara tiga
hingga delapan tes, metode tersebut kurang tepat.

8
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
 Menurut David Wechsler (1958), inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak
secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara
efektif (Munandar, 1996). Menurut Carl Witherington, inteligensi merupakan
kesempatan bertindak sebagaimana dimanifestasikan dalam kemampuan-
kemampuan atau kegiatan-kegiatan sebagai berikut.
 Pada tahun 1908, Binet dan Simon menerbitkan revisi dari skala tahun 1905. Pada
skala terdahulu, lebih dari separuh soal dirancang bagi mereka yang sangat
terbelakang, namun keputusan diagnostik utama mencakup anak-anak yang lebih
tua dan mereka yang memiliki intelegensi di ambang batas. Untuk memperbaiki
ketdakseimbangan ini, sebagian besar soal yang sangat sederhana dihilangkan dan
soal-soal baru ditambahkan pada bagian akhir yang lebih tinggi.

9
DAFTAR PUSTAKA

Alfred Binet. Theories and impact on intelegency testing in education. Study.com.

Dr Yuliani Sujiono. Hakikat Pengembangan Kognitif. Modul Belajar

10

Anda mungkin juga menyukai