TINJAUAN PUSTAKA
Pohon alaban (Vitex pubescens Vahl) merupakan jenis pohon dari jenis Lamiaceae yang
berasal dari daerah Asia Selatan sampai Asia Timur. Pohon ini berukuran sedang hingga besar
dan tingginya mencapai 40 meter dengan diameter batang nya ±130cm, tekstur kayunya padat
dan berwarna pucat. Kayu alaban tidak mengandung silica dan jika dibakar akan tahan lama.
Kadar air pada kayu alaban tergolong besar dimana rata-rata kadar air pada kulit kayu alaban tua
adalah sebesar 21,1515% dan kadar air kulit kayu alaban muda adalah 16,3656%. Hal ini
dikarenakan air yang ada diujung batang di serap terlebih dahulu dibaningkan bagian yang lebih
rendah, inimerupakan kemampuan atau daya hisap daun saat terjadinya proses penguapan di
permukaan sel daun (Nurlyanto, 2010).
Kayu alaban merupakan jenis pohon yang mudah tumbuh dan dapat ditanam pada
berbagai jenis tanah, memiliki daya tahan terhadap kebakaran dan banyak tumbuh di hutan
sekunder. Pada tahun 1994 tanaman laban telah dibudidayakan oleh Pusat Pengembangan
Teknologi Arang Terpadu diatas tanah seluas 1,4 Ha, sehingga sejak tahun 1997 telah
berproduksi yang dimanfaatkan sebagai bahan baku arang (Kasmawarni, 2013).
2.2 Air Gambut
Air di wilayah gambut merupakan sumber air baku yang potensial untuk diolah menjadi
air bersih, terutama di daerah-daerah pedalaman Kalimantan, Sumatera maupun Papua. Secara
umum proses tahapan pengolahan air gambut tidak berbeda jauh dengan air baku tawar lainnya.
Masalah utama dalam mengolah air gambut berhubungan dengan karakteristik spesifik yang
dimilikinya. Air gambut merupakan satu satunya sumber air permukaan bagi daerah Riau, Jambi,
Kalimantan Selatan, Kalimantan tengah. Air gambut memiliki derajat keasaman yang tinggi
dengan pH(3-5) dan memiliki ciri berwarna coklat kemerahan dengan kandungan organik dan
logam sehingga tidak memenuhi standar agar dapat digunakan sebagai air minum seperti yang
dikeluarkan oleh Kepmenkes No. 492/MENKES/PER/ IV/2010 dan Peraturan Pemerintah No.
82 Tahun 2001 (Suherman, 2013).
Air gambut adalah air yang mencakup daerah gambut. Karakteristik air gambut adalah
intensitas warna yang lebih tinggi (merah kuning atau kecokelatan). Semakin rendah pH dalam
kisaran 2-5, asam, dengan kandungan organik lebih tinggi dan konsentrasi rendah partikel dan
kation. Kandungan Fe, Al, Na, S dan P lebih tinggi, sedangkan kandungan unsur mikro dalam
lumut gambut adalah B, S, Zn, C, Ag, Au, Ca, Ba, Ti, V, Cu, Mn, dan Co. Metode
elektrokoagulasi adalah proses metode air gambut menjadi air murni (Rustanti, 2009).
Warna coklat kemerahan pada air gambut merupakan akibat dari tingginya kandungan zat
organik (bahan humus) terlarut terutama dalam bentuk asam humus dan turunannya. Asam
humus tersebut berasal dari dekomposisi bahan organik seperti daun, pohon atau kayu dengan
berbagai tingkat dekomposisi, namun secara umum telah mencapai dekomposisi yang stabil.
Warna akan semakin tinggi karena disebabkan oleh adanya logam besi yang terikat oleh
asamasam organik yang terlarut dalam air tersebut (Yusnimar, 2010).
Air gambut pada desa tanipah Kecamatan Aluh-aluh Kalimantan selatan telah mengalami
pencemaran dikarenakan air gambut tersebut berdekatan dengan muara sungai sehingga aktivitas
bongkar muat batubara menjadi salah satu penyebab tercemarnya air. Air gambut tersebut
mengandung berbagai macam logam dintaranya yaitu Mn, Pb, Cu Cd dan Fe, idantara logam-
logam tersebut kandungan logam Fe lah yang paling tinggi dan melebihi standar batas baku mutu
air. Air gambut pada kecamatan aluh aluh termasuk pada air kelas 3 dimana hanya dapat
dgunakan sebagai air pengairan tanaman dan tidak layak untuk dikonsumsi (Sanjaya, 2018).
2.4 Adsorpsi
Adsorpsi adalah fenomena akumulasi pada permukaan suatu spesies pada batas
permukaan padat-cair yang disebabkan arena gaya tarik menarik. Adsorpsi dibagi menjadi 2 tipe
yaitu adsorpsi tipe fisis atau Van der Waals dan adsorpsi kimia. Adsorpsi fisis yaitu ketika
adsorbat dan permukaan adsorben hanya terikat dengan gaya Van der Waals, dan adsorpsi kimia
yaitu adsorpsi yang terjadi dalam hal ini adalah non spesifik dan nn-selektif penyebab gaya
tariknya yang dikarenakan adanya ikatan koordinasi hidrigen dan gaya Van der Waals
(Widayatno, 2017).
Adsorpsi adalah suatu proses yang terjadi ketika suatu fluida (cairan maupun gas) terikat
kepada suatu padatan dan akhirnya membentuk suatu film (lapisan tipis) pada permukaan
padatan tersebut. Berbeda dengan absorpsi, dimana fluida terserap oleh fuida lainnya dengan
membentuk suatu larutan. Dalam adsorbsi digunakan istilah adsorbat dan adsorben, dimana
adsorbat adalah substansi yang terjerap atau substansi yang akan dipisahkan dari pelarutnya,
sedangkan adsorben merupakan suatu media penyerap yang dalam hal ini berupa senyawa
karbon (Syauqiah, 2011).
2.5 Pembuatan Arang Aktif
Pembuatan arang aktif dapat dibuat dengan beberapa tahapan. Tahap pertama adalah
dehidrasi, tahap kedua adalah karbonisasi dan tahap ketiga yaitu aktivasi.
1. Dehidrasi adalah proses penghilangan air pada bahan baku
2. karbonisasi dilakukan dengan menggunakan furnace akan menghasilkan arang,
sehingga pada penelitian kali ini akan digunakan alat modifikasi yang dibuat
sedemikian rupa.
3. Tahap aktivasi memiliki 2 metode yang bisa digunakan, yaitu tahap aktivasi fisika
yang menggunakan temperature tinggi. Metode kedua adalah aktivasi kimia yang
merupakan proses perendaman terlebih dahulu bahan baku pada activating agent
(Setyoningsih, 2018).
Proses aktivasi pada arang secara umum ada tiga, antara lain proses fisika, kimia dan
kombinasi fisika-kima. Proses pengaktifan secara fisika dilakukan dengan pembakaran arang
dalam tungku dengan suhu tinggi (Hendra, 2010). Proses pengaktifan secara kimia dilakukan
dengan menambahkan senyawa kimia tertentu pada arang. Senyawa kimia yang dapat digunakan
sebagai bahan pengaktif antara lain KCl, NaCl, ZnCl2, CaCl2, MgCl2, H3PO4, Na2CO3 dan
garam mineral lainnya (Meisrilestari, 2013).
Luas permukaan dari arang aktif menentukan adsorpsivitasnya. Luas permukaan dapat
ditingkatkan dengan melakukan aktivasi secara kimia maupun fisika. Penggunaan H3PO4 dan
NaCl sebagai aktivator kimia dalam pembuatan arang aktif sudah sangat sering digunakan.
Dikarenakan dengan menggunakan activator ini sudah terbukti menghasilkan karbon katif yang
memiliki permukaan yang luas dan pori-pori besar untuk menyerap (Esterlita, 2015). Menurut
menurut Nurhayati (2018) aktivasi menggunakan NaCl merupakan aktivator yang efektif karena
mudah didapat, harganya lebih ekonomis, tidak berbahaya dan tidak beracun. Aktivator yang
bersifat asam menimbulkan kerusakan kompleks pada permukaan arang aktif sehingga
berdampak baik pada proses aktivasi secara maksimal (Erawati, 2018).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Verayana (2018) yang berjudul Pengaruh Aktivator
HCl dan H3PO4 terhadap Karakteristik (Morfologi Pori) Arang Aktif Tempurung Kelapa serta
Uji Adsorpsi pada Logam Timbal (Pb) menyebutkan bahwa hasil terbaik didapatkan dari arang
aktif dengan perlakuan aktivasi H3PO4 dimana Kadar air dan kadar abu yang dihasilkan
memenuhi SNI. Hal ini berlaku pula dengan penyerapan logam timbal (Pb) dan ukuran pori yang
lebih besar.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Permatasari (2014) yang berjudul Karakterisasi
Karbon Aktif Kulit Singkong (Manihot Utilissima) Dengan Variasi Jenis Aktivator menyebutkan
bahwa activator yang terpilih adalah NaCl dibandingkan jenis aktivator lain yaitu H3PO4 dan
KOH. Hal ini dikarenakan pada activator NaCl memenuhi syarat SNI kadar abu, kadar zat
terbang dan kadar air yang sudah ditetapkan dibandingkan dengan aktivator yang lain
Penelitian lain yang dilakukan oleh Nurhayati (2018) yang berjudul Pengaruh
Konsentrasi Dan Waktu Aktivasi Terhadap Karakteristik Karbon Aktif Ampas Tebu Dan
Fungsinya Sebagai Adsorben Pada Limbah Cair Laboratorium menyebutkan bahwa karon aktif
terbaik yang dihasilkan dari karbon aktif yang di aktivasi menggunakan NaCl dibandingkan
aktivator lain. Aktivator NaCl menghasilkan daya serap I2 sebesar 46%, kadar air 1%, dan kadar
abu 7%, sehingga sesuai SNI 06-3730-1995.