Anda di halaman 1dari 19

MAL PRAKTEK DAN KELALAIAN DALAM PRAKTEK KEPERAWATAN

Malpraktik dalam Keperawatan

A. Definisi Malpraktik dalam Keperawatan

Dalam suatu kasus di California tahun 1956 Gumawadi (1994) mendifinisikan malpraktik adalah
kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk menerapkan tingkat keterampilan dan
pengetahuannya di dalam memberikan pelayanan pengobatan dan perawatan terhadap seorang pasien
yang lazim diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit atau terluka dilingkungan wilayah
yang sama.

Malpraktek adalah kelalaian dari seorang dokter/perawat untuk menerapkan tingkat keterampilan dan
pengetahuannya didalam memberikan pelayanan pengobatan/perawatan terhadap seorang pasien,
yang lazim diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit/terluka dilingkungan wilayah yang
sama. (Yulianus, Malpraktek 2003)

Ellis dan Hartley (1998) mengungkapkan bahwa malpraktik merupakan batasan yang spesifik dari
kelalaian (negligence) yang ditujukan pada seorang yang telah terlatih atau berpendidikan yang
menunjukan kinerja sesuai bidang tugas/pekerjaannya. Malpraktik dalam keperawatan adalah suatu
batasan yang digunakan untuk menggambarkan kelalaian perawat dalam melakukan kewajibannya.

B. Jenis Malpraktik

Malpraktik terbagi kedalam tiga jenis, yaitu malpraktik kriminil (pidana), malpraktik sipil (perdata)
malpraktik etik.

1. Malpraktik kriminal (pidana) merupakan kesalahan dalam menjalankan praktek yang berkaitan
dengan pelanggaran UU Hukum “pidana”. Yaitu seperti :

a. Menyebabkan pasien meninggal/luka karena kelalaian

b. Melakukan abortus

c. Melakukan pelanggaran kesusilaan/kesopanan

d. Membuka rahasia kedokteran/keperawatan

e. Pemalsuan surat keterangan

f. Sengaja tidak memberikan pertolongan pada orang yang dalam keadaan bahaya.

2. Malpraktik sipil (perdata). Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan malpraktik sipil apabila
tidak melaksanakan kewajiban atau tidak melaksanakan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati
(ingkar janji). Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikatagorikan malpraktik sipil antara lain :

a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan

b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya

c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna

d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan


3. Malpraktik etik, merupakan tidakan keperawatan yang bertentangan dengan etika keperawatan,
sebagaimana yang diatur dalam kode etik keperawatan yang merupakan seperangkat standar etika,
prinsip, aturan, norma yang beraku untuk perawat.

C. Malpraktik dalam Keperawatan

Banyak kemungkinan yang dapat memicu perawat melakukan malpraktik. Malpraktik lebih spesifik dan
terkait dengan status profesional seseorang, misalnya perawat, dokter, atau penasihat hukum.

Vestal, K.W. (1995) mengatakan bahwa untuk mengatakan secara pasti malpraktik, apabila penggugat
dapat menunjukan hal-hal dibawah ini.

1. Duty, pada saat terjadinya cedera, terkait dengan kewajibannya yaitu, kewajiban mempergunakan
segala ilmu dan kepandaiannya untuk menyembuhkan atau setidaknya meringankan beban penderitaan
pasiennya berdasarkan standar profesi. Hubungan perawat-klien menunjukan bahwa melakukan
kewajiban berdasarkan standar keperawatan.

2. Breach of the duty, pelanggaran terjadi sehubungan dengan kewajibannya, artinya menyimpang dari
apa yang seharusnya dilakukan menurut standar profesinya.

3. Injuri, seseorang mengalami cedera (injury) atau kerusakan (damage) yang dapat dituntut secara
hukum. Misalnya pasien mengalami cedera sebagai akibat pelanggaran. Keluhan nyeri, adanya
penderitaan, atau stres emosi dapat dipertimbangkan sebagai akibat cedera jika terkait dengan cedera
fisik.

4. Proximate caused, pelanggaran terhadap kewajibannya menyebabkan atau terkait dengan cedera
yang dialami pasien. Misalnya, cedera yang terjadi secara langsung berhubungan dengan pelanggaran
terhadap kewajiban perawat terhadap pasien.

Sebagai penggugat, seseorang harus mampu menunjukan bukti pada setiap elemen dari keempat
elemen di atas. Jika semua elemen itu dapat dibuktikan, hal ini menunjukan bahwa telah terjadi
malpraktik dan perawat berada pada tuntutan malpraktik. Tuntutan malpraktik dapat bersifat
pelanggaran sebagai berikut.

1. Pelanggaran etika profesi. Pelanggaran ini sepenuhnya tanggung jawab organisasi profesi (Majelis
Kode Etik Keperawatan) sebagaimana tercantum pada pasal 26 dan 27 Anggaran Dasar PPNI.
Sebagaimana halnya dokter, perawat pun merupakan tenaga kesehatan profesional yang menghadapi
banyak masalah moral/etik sepanjang melaksanakan praktik profesional. Beberapa masalah etik, antara
lain moral unprepareness, moral blindness, amoralssm, dan moral fanaatism. Masalah etika yang terjadi
pada tenaga keperawatan ditangani organisasi profesi keperawatan (PPNI) melalui Majelis Kode Etik
Keperawatan.

2. Sanksi administratif. Berdasarkan Keppres No. 56 tahun 1995 dibentuk Majelis Disiplin Tenaga
Kesehatan (MDTK) dalam rangka pemberian perlindungan yang seimbang dan objektif kepada tenaga
kesehatan dan masyarakat penerima pelayanan kesehatan. MDTK bertugas meneliti dan menentukan
ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan standar profesi yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan. Berdasarkan pemeriksaan MDTK, hasilnya
akan dilaporkan kepada pejabat kesehatan berwenang untuk diambil tindakan disiplin terhadap tenaga
kesehatan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tindakan
sebagaimana yang dimaksud tidak mengurangi ketentuan pada : pasal 54 ayat (1) dan ayat (2) UU No.
23 tahun 1992 tentang Kesehatan, yaitu : (1) terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan
atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin. (2) penentuan ada
tidaknya kesalahan atau kelalaian sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 ditentukan oleh Majelis
Disiplin Tenaga Kesehatan.

3. Pelanggaran hukum. Pelanggaran dapat bersifat perdata maupun pidana. Pelanggaran bersifat
perdata sebagaimana pada UU No.23 tahun 1992 pada pasal 55 ayat (1) dan ayat (2) berbunyi : (1)
setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan. (2)
ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Caffee (1991) dalam Vestal, K.W. (1995) mengidentifikasi 3 area dimana perawat beresiko melakukan
kesalahan, antara lain :

1. Assessment errors, termasuk kegagalan mengumpulkan data/informasi tentang pasien secara


adekuat, atau kegagalan mengidentifikasi informasi yang diperlukan seperti data hasil pemeriksaan
laboratorium, tanda-tanda vital, atau keluhan pasien yang membutuhkan tindakan segera. Untuk
menghindari kegagalan ini, perawat seharusnya dapat mengumpulkan data dasar secara komperhensif
dan mendasar.

2. Planning errors, termasuk :

a. Kegagalan mencatat masalah pasien dan kelalaian menuliskan dalam rencana keperawatan.

b. Kegagalan mengkomunikasikan secara efektif rencana keperawatan yang telah dibuat.

c. Kegagalan memberikan instruksi yang dapat dimengerti oleh pasien.

Untuk mencegah kesalahan tersebut diatas, jangan hanya mengira-ngira dalam membuat rencana
keperawatan tanpa mempertimbangkan dengan sebaik-baiknya. Seharusnya dalam menulis harus
dengan pertimbangan yang jelas dengan berdasarkan masalah pasien. Bila dianggap perlu, lakukan
modifikasi rencana berdasarkan data baru yang terkumpul. Rencana harus realistik, berdasarkan
standar yang telah ditetapkan termasuk pertimbangan yang diberikan oleh pasien. Komunikasikan
secara jelas baik secara liasan maupun dengan tulisan. Bekerja berdasarkan rencana dan lakukan secara
hati-hati instruksi yang ada. Setiap pendapat perlu divalidasi dengan teliti.

3. Intervension errors, temasuk kegagalan menginterprestasikan dan melaksanakan tindakan


kolaborasi, kegagalan melakukan asuhan keperawatan secara hati-hati, kegagalan mengikuti/mencatat
order/perintah dari dokter atau supervisor. Untuk menghindari kesalahan ini, sebaiknya rumah sakit
tetap melaksanakan program pendidikan berkelanjutan.

D. Pedoman Mencegah Malpraktik

Vestal, K.W (1995) memberikan pedoman guna mencegah terjadinya malpraktik, sebagai berikut :

1. Berikan kasih sayang kepada pasien sebagaimana anda mengasihi diri sendiri. Layani pasien dan
keluarganya dengan jujur dan penuh rasa hormat.

2. Gunakan pengetahuan keperawatan untuk menetapkan diagnosa keperawatan yang tepat dan
laksanakan intervensi keperawatan yang diperlukan. Perawat mempunyai kewajiban untuk menyusun
pengkajian dan melaksanakan pengkajian dengan benar.

3. Utamakan kepentingan pasien. Jika tim kesehatan lainnya ragu-ragu terhadap tindakan yang akan
dilakukan atau kurang merespon terhadap perubahan kondisi pasien, diskusikan bersama dengan tim
keperawatan guna memberikan masukan yang diperlukan bagi tim kesehatan lainnya.
4. Tingkatkan kemampuan anda secara teus menerus, sehingga pengetahuan yang dimiliki senantiasa
up-to-date.

5. Jangan melakukan tindakan dimana tindakan itu belum anda kuasai.

6. Laksanakan asuhan keperawatan berdasarkan model proses keperawatan.

7. Catatlah rencana keperawatan dan respon pasien selama dalam asuhan keperawatan. Nyatakan
secara jelas dan lengkap. Catatlah sesegera mungkin fakta yang anda observasi secara jelas,

8. Lakukan konsultasi dengan anggota tim lainnya. Biasakan bekerja berdasarkan kebijakan
organisasi/rumah sakit dan prosedur tindakan yang berlaku.

9. Pelimpahan tugas secara bijaksana, dan diketahui lingkup tugas masing-masing.

Pelayananpublik.id- Malpraktek merupakan istilah yang sering didengar dalam dunia kedokteran.
Namun kata malpraktek bukanlah hal yang menyenangkan didengar melainkan menakutkan karena bisa
menyebabkan cacat seumur hidup bahkan kematian.

Malpraktik juga berarti merugikan pasien akibat kelalaian dokter dan petugas paramedis. Kesalahan ini
bisa disengaja maupum tidak sengaja dan berakibat ringan maupun fatal.

Untuk pembahasan lebih lanjut, berikut penjelasan mengenai malpraktik mulai dari pengertian, unsur,
hukum pidana hingga contohnya.

Pengertian Malpraktek

Malpraktik secara umum adalah ketidakcakapan yang tidak dapat diterima yang diukur dengan ukuran
yang terdapat pada tingkat keterampilan sesuai dengan derajat ilmiah yang lazimnya dipraktikkan pada
setiap situasi dan kondisi di dalam komunitas anggota profesi yang mempunyai reputasi dan keahlian
rata-rata.

Malpraktik juga berarti kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam
melaksanakan profesinya yang tidak sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional,
akibat kesalahan atau kelalaian tersebut pasien menderita luka berat, cacat bahkan meninggal dunia.

Berikut ini pengertian malpraktik menurut beberapa ahli.

1. M. Jusuf Hanafiah

Malpraktik adalah sebuah tindakan yang atas dasar kelalaian dalam mempergunakan tingkat
keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang
terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama.

2. Soekidjo Notoatmodjo

Menurut Soekidjo Notoatmodjoalpraktik berasal dari kata ‘mala’ artinya salah atau tidak semestinya,
sedangkan ‘praktik’ adalah proses penangan kasus (pasien) dari seseorang professional yang sesuai
dengan prosedur kerja yang telah ditentukan oleh kelompok profesinya. Sehingga malpraktik dapat
diartikan mealakukan tindakan atau praktik yang salah satu menyimpang dari ketentuan atau prosedur
yang baku. Dalam bidang kesehatan, malpraktik adalah penyimpangan penanganan kasus atau masalah
keshatan (termasuk penyakit) oleh petugas kesehatan, sehingga menyebabkan dampak buruk bagi
penderita atu pasien.”

3. Munir Fuady
Munir menyebut malpraktik adala kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat
keterampilan dan ilmu yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka
menurut ukuran di lingkungan yang sama. Yang dimaksud kelalaian di sini adalah sikap kurang hati-hati,
yaitu tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati melakukannya dengan wajar, tapi
sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati tidak akan melakukannya dalam
situasi tersebut. Kelalaian diartikan pula dengan melakukan tindakan kedokteran di bawah standar
pelayanan medis (standar profesi dan standar prosedur operasional).

Namun malpraktij tentunya tak hanya berlaku di dunia kedokteran.

Malpraktik bisa terjadi pada semua profesi. Apakah dia seorang pengacara/advokat, hakim, ekonom,
perusahaan farmasi dan lainnya.

Ketika seorang ekonom ketika salah memprediksi kebijakan ekonomi, bisa menimbulkan/berdampak
kerugian bagi masyarakat, atau seorang advokat yang tidak menjalankan profesinya secara profesional
akan merugikan kliennya itu juga disebut malpraktik.

Namun saat ini malpraktik di dunia kesehatan lebih menonjol. Bahkan jika tergolong tindak pidana,
sudah ada undang-undang yang mengatur tentang hukumannya.

Unsur Malpraktik

Malpraktik Kedokteran adalah dokter atau orang yang ada di bawah perintahnya dengan sengaja atau
kelalaian melakukan perbuatan (aktif atau pasif) dalam praktik kedokteran pada pasiennya dalam segala
tingkatan yang melanggar standar profesi, standar prosedur, prinsip-prinsip profesional kedokteran.

Ternyata tidak semua kelalaian itu bisa disebut malpraltik. Ada beberapa unsur yang harus ada sebelum
menyebut sesuatu dengan malpraktek.

1. Kewajiban

Pada saat terjadinya cedera terkait dengan kewajibannya yaitu kewajiban mempergunakan segala ilmu
dan kepandaiannya untuk menyembuhkan atau setidak-tidaknya meringankan beban penderitaan
pasiennya berdasarkan standar profesi.

2. Pengkajian

Pengkakian yang aktual bagi pasien yang ditugaskan untuk memberikan asuhan keperawatan.

3. Proximate caused

Proximate caused (sebab-akibat) pelanggaran terhadap kewajibannya menyebabkan atau terkait


dengan cedera yang dialami klien.

Sedangkan bila ingin menempuh jalur hukum ada pula unsur yang harus dipenuhi dalam malpraktik.

1. Berbuat atau tidak berbuat. Tidak berbuat disini adalah mengabaikan pasien dengan alasn tertentu
seperti tidak ada biaya atau tidak ada penjaminannya.

2. Tindakan berupa tindakan medis, diagnosis, terapeutik dan manajemen kesehatan.

3. Dilakukan terhadap pasien.

4. Dilakukan secara melanggar hokum, kepatuhan, kesusilaan atau prinsip profesi lainnya.

5. Dilakukan dengan sengaja atau ketidak hati-hatian (lalai, ceroboh).

6. Mengakibatkan, salah tndak, ras sakit, luka, cacat, kerusakan tubuh, kematian dan kerugian lainnya.
Penanganan Malpraktik

Permasalahan malpraktek di Indonesia dapat ditempuh melalui 2 jalur, yaitu jalur litigasi (peradilan) dan
jalur non litigasi (diluar peradilan).

Landasan Hukum

1. BAB V pasal 24 ayat (1) :

Tenaga kesehatan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 23 harus memenuhi ketentuan kode etik,
standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar kesehatan, dan standar prosedur
operasional

2. BAB XX (ketentuan pidana)

PASAL 190

(1) : pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan yang melakukan prakrik atau
pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan
pertama terhadap pasien yang dlm keadaan gawat darurat sebagai mana yang dimaksud dlm pasal
32ayat 2 atau pasal 85 ayat 2 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau dan denda
paling banyak 200.000.000

(2) : dalam hal perbuatan sebagai mana di maksud pada ayat 1 mengakibatkan terjadinya kecacatan
atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan tersebut dipidana dg
pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 1M

Pasal 191

Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktek pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan
alat dan tekhnologi sebagai mana yang dimaksud dalam pasal 60 ayat 1 sehingga mengakibatkan
kerugian harta benda, luka berat atau kematian dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun
dan denda paling banyak 100.000.000 (seratus juta rupiah).

Pasal 192

Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan dalih apapun
sebagaimana dimaksud dalam pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun
dan denda paling banyak 1M

Pasal 193

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan bedah plastic dan rekontruksi untuk tujuan mengubah
identitas seseorang sebagai mana yang dimaksud dalam pasal 69 diancam dengan pidana penjara paling
lama 10 tahun dan denda paling banyak 1M

Pasal 194 :

Setiap orang yg dg sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dg ketentuan sbagaimana di maksud dlm pasal
75 ayat 2 di pidana dg pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak 1M

Pasal 195

Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan darah dengan dalih apapun sebagai mana
dimaksud dalam pasal 90 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling
banyak 500.000.000

Pasal 196 :
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau
persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan dan mutu sebagaimana yang di maksud dalam Pasal
98 ayat (2) dan ayat (3) di pidanda dg penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 1M

Pasal 197 :

Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat
kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak 1,5M

Pasal 198 :

Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian
sebagaimana yang dimaksud dalam pasalb 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak
100.000.000

Pasal 200 ;

Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian ASI eklusif sebagaimana dimaksud
dalam pasal 128 ayat (2) di pidana penjara paling lama 1 tahun dan denda paling banyak 100.000.000

Pasal 201

(1) dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 190 ayat (1), pasal 191, pasal
192,196,197,198,199 dan 200 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap
pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan
pemberatan 3 kali dari pidana denda sebagai mana dimaksud dalam pasal 190 ayat (1), pasal 191, pasal
192,196,197,198,199 dan 200.

(2) selain pidana denda sebagaimana dimaksud pda ayat 1, korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan
berupa :

a. pencabutan izin usaha; dan/atau

b. pencabutan status badan hukum

3. secara hukum informed consent berlaku sejak 1981, PP No. 8 tahun 1981.

4. informed consent dikukuhkan menjadi lembaga hukum, yaitu dengan diundangkannya PerMenKes
No. 585 tahun 1989 tentang persetujuan tindakan medic, dalam Bab I, Ketentuan Umum, Pasal 1 (a)
menetapkan Informed Consent; Persetujuan tindakan medic adalah persetujuan yang diberikan oleh
pasien/ keluarganya atas dasr penjelasan mengenai tindakan medic yang akan dilakukan terhadap
pasien tersebut. Semoga bermanfaat. (Nur Fatimah

A. MALPRAKTIK

1. Pengertian

Malpraktek adalah kesalahan dalam menjalankan profesi sebagai dokter, dokter gigi, dokter hewan.
Malpraktek adalah akibat dari sikap tidak peduli, kelalaian, atau kurang keterampilan, kurang hati-hati
dalam melaksanakan tugas profesi, berupa pelanggaran yang disengaja, pelanggaran hukum atau
pelanggaran etika.

Sedangkan Veronica Komalawati menyebutkan malpraktek pada hakekatnya adalah kesalahan dalam
menjalankan profesi yang timbul akibat adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan dokter.
Selanjutnya Herman Hediati Koeswadji menjelaskan bahwa malpraktek secara hafiah diartikan sebagai
bad practice atau praktik buruk yang berkaitan dengan penerapan ilmu dan teknologi medik dalam
menjalankan profesi medik yang mengandunf ciri-ciri khusus.

Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara
harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau
“tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti
harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya
tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi. Sedangkan difinisi malpraktek profesi
kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau tenaga keperawatan (perawat dan bidan) untuk
mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien,
yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang
sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956)

Malpraktik Kedokteran adalah dokter atau orang yang ada di bawah perintahnya dengan sengaja atau
kelalaian melakukan perbuatan (aktif atau pasif) dalam praktik kedokteran pada pasiennya dalam segala
tingkatan yang melanggar standar profesi, standar prosedur, prinsip-prinsip profesional kedokteran,
atau dengan melanggar hukum (tanpa wewenang) karena tanpa informed consent, tanpa SIP (Surat Ijin
Praktik), atau tanpa STR (Surat Tanda Registrasi), tidak sesuai dengan kebutuhan medis pasien, dengan
menimbulkan (causal verband) kerugian bagi tubuh, kesehatan fisik, mental, dan atau nyawa pasien
sehingga membentuk pertanggungjawaban hukum bagi dokter.

Pasal 11 UU 6 /1963 tentang kesehatan menyatakan: dengan tidak mengurangi ketentuan dalam KUHP
dan UU lain terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan tindakan administrative dalam hal sebagai
berikut:

a. Melalaikan kewajiban

b.Melakukan suatu hal yang tidak boleh diperbuat oleh seorang tenaga kerja kesehatan mengingat
sumpah jabatan maupun mengingat sumpah sebagai tenaga kesehatan

c. Melanggar ketentuan menurut undang-undang ini.

Malpraktek secara umum, seperti disebutkan di atas, teori tentang kelalaian melibatkan lima elemen :
(1) tugas yang mestinya dikerjakan, (2) tugas yang dilalaikan, (3) kerugian yang ditimbulkan, (4)
Penyebabnya, dan (5) Antisipasi yang dilakukan.

2. Unsur Malpraktik

Terdiri dari 4 unsur yang harus ditetapkan untuk membuktikan bahwa malpraktek atau kelalaian telah
terjadi (Vestal.1995):

1.Kewajiban (duty): pada saat terjadinya cedera terkait dengan kewajibannya yaitu kewajiban
mempergunakan segala ilmu dan kepandaiannya untuk menyembuhkan atau setidak-tidaknya
meringankan beban penderitaan pasiennya berdasarkan standar profesi.

Contoh: :

Perawat rumah sakit bertanggung jawab untuk:

a. Pengkajian yang aktual bagi pasien yang ditugaskan untuk memberikan asuhan keperawatan.

b. Mengingat tanggung jawab asuhan keperawatan professional untuk mengubah kondisi klien.

c. Kompeten melaksanakan cara-cara yang aman untuk klien.

2.Breach of the duty (Tidak melasanakan kewajiban): pelanggaran terjadi sehubungan dengan
kewajibannya, artinya menyimpang dari apa yang seharusnya dilakukan menurut standar profesinya.
Contoh:

a. Gagal mencatat dan melaporkan apa yang dikaji dari pasien. Seperti tingkat kesadaran pada saat
masuk.

b. Kegagalan dalam memenuhi standar keperawatan yang ditetapkan sebagai kebijakan rumah sakit.

c. Gagal melaksanakan dan mendokumentasikan cara-cara pengamanan yang tepat (pengaman tempat
tidur, restrain, dll)

3. Proximate caused (sebab-akibat): pelanggaran terhadap kewajibannya menyebabkan atau terkait


dengan cedera yang dialami klien.

Contoh:

Cedera yang terjadi secara langsung berhubungan dengan pelanggaran terhadap kewajiban perawat
terhadap pasien atau gagal menggunakan cara pengaman yang tepat yang menyebabkan klien jatuh
dan mengakibatkan fraktur.

4.Injury (Cedera) : sesorang mengalami cedera atau kerusakan yang dapat dituntut secara hukum.

Contoh: :

Fraktur panggul, nyeri, waktu rawat inap lama dan memerlukan rehabilitasi.

Dokter atau petugas kesehatan dikatakan melakukan malpraktek jika :

1. Kurang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan yang sudah berlaku umum dikalangan
profesi kesehatan.

2. Melakukan pelayanan kesehatan dibawah standar profesi.

3. Melakukan kelalaian berat atau memberikan pelayanan dengan ketidak hati-hatian.

4. Melakukan tindakan medic yang bertentangan dengan hokum.

Jika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik kedokteran, maka ia hanya telah
melakukan malpraktek etik. Untuk dapat menuntut penggantian kerugian karena kelalaian, maka
penggugat harus dapat membuktikan adanya 4 unsur berikut :

1. Adanya suatu kewajiban bagi dokter terhadap pasien.

2. Dokter telah melanggar standar pelayanan medic yang lazim digunakan.

3. Penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.

4. Secara factual kerugian disebabkan oleh tindakan dibawah standar.

Kerugian ini kadang kala tidak memerlukan pembuktian dari pasien dengan diberlakukannya doktrin les
ipsa liquitur, yang berarti faktanya telah berbicara. Misalnya terdapatnya kain kassa yang tertinggal
dirongga perut pasien, sehingga menimbulkan komplikasi pasca bedah. Dalam hal ini maka dokterlah
yang harus membuktikan tidak adanya kelalaian dalam dirinya. Namun tetap saja ada elemen yuridis
yang harus dipenuhi untuk menyatakan telah terjadi malpraktek yaitu :

1. Adanya tindakan dalam arti berbuat atau tidak berbuat. Tidak berbuat disini adalah mengabaikan
pasien dengan alasn tertentu seperti tidak ada biaya atau tidak ada penjaminannya.

2. Tindakan berupa tindakan medis, diagnosis, terapeutik dan manajemen kesehatan.


3. Dilakukan terhadap pasien.

4. Dilakukan secara melanggar hokum, kepatuhan, kesusilaan atau prinsip profesi lainnya.

5. Dilakukan dengan sengaja atau ketidak hati-hatian (lalai, ceroboh).

6. Mengakibatkan, salah tndak, ras sakit, luka, cacat, kerusakan tubuh, kematian dan kerugian lainnya.

3. Jenis Malpraktik

Berpijak pada hakekat malpraktek adalan praktik yang buruk atau tidak sesuai dengan standar profesi
yang telah ditetepkan, maka ada bermacam-macam malpraktek yang dapat dipiah dengan
mendasarkan pada ketentuan hukum yang dilanggar, walaupun kadang kala sebutan malpraktek secara
langsung bisa mencakup dua atau lebih jenis malpraktek. Secara garis besar malprakltek dibagi dalam
dua golongan besar yaitu mal praktik medik (medical malpractice) yang biasanya juga meliputi
malpraktik etik (etichal malpractice) dan malpraktek yuridik (yuridical malpractice). Sedangkan
malpraktik yurudik dibagi menjadi tiga yaitu malpraktik perdata (civil malpractice), malpraktik pidana
(criminal malpractice) dan malpraktek administrasi Negara (administrative malpractice).

1. Malpraktik Medik (medical malpractice)

John.D.Blum merumuskan: Medical malpractice is a form of professional negligence in whice miserable


injury occurs to a plaintiff patient as the direct result of an act or omission by defendant practitioner.
(malpraktik medik merupakan bentuk kelalaian professional yang menyebabkan terjadinya luka berat
pada pasien / penggugat sebagai akibat langsung dari perbuatan ataupun pembiaran oleh
dokter/terguguat).

Sedangkan rumusan yang berlaku di dunia kedokteran adalah Professional misconduct or lack of
ordinary skill in the performance of professional act, a practitioner is liable for demage or injuries
caused by malpractice. (Malpraktek adalah perbuatan yang tidak benar dari suatu profesi atau
kurangnya kemampuan dasar dalam melaksanakan pekerjaan. Seorang dokter bertanggung jawab atas
terjadinya kerugian atau luka yang disebabkan karena malpraktik), sedangkan junus hanafiah
merumuskan malpraktik medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat
keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang
terluka menurut lingkungan yang sama.

2. Malpraktik Etik (ethical malpractice)

Malpraktik etik adalah tindakan dokter yang bertentangan dengan etika kedokteran, sebagaimana yang
diatur dalam kode etik kedokteran Indonesia yang merupakan seperangkat standar etika, prinsip,
aturan, norma yang berlaku untuk dokter.

3. Malpraktik Yuridis (juridical malpractice)

Malpraktik yuridik adalah pelanggaran ataupun kelalaian dalam pelaksanaan profesi kedokteran yang
melanggar ketentuan hukum positif yang berlaku.

Malpraktik Yuridik meliputi:

a. Malpraktik Perdata (Civil Malpractice)

Malpraktik perdata terjadi jika dokter tidak melakukan kewajiban (ingkar janji) yaitu tidak memberikan
prestasinya sebagaimana yang telah disepakati. Tindakan dokter yang dapat dikatagorikan sebagai
melpraktik perdata antara lain :
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan

b. Melakukan apa yang disepakati dilakukan tapi tidak sempurna

c. Melakukan apa yang disepakati tetapi terlambat

d. Melakukan apa yang menurut kesepakatan tidak seharusnya dilakukan

b. Malpraktik Pidana (criminal malpractice)

Malpraktik pidana terjadi, jika perbuatan yang dilakukan maupun tidak dilakukan memenuhi rumusan
undang-undang hukum pidana. Perbuatan tersebut dapat berupa perbuatan positif (melakukan
sesuatu) maupun negative (tidak melakukan sesuatu) yang merupakan perbuatan tercela (actus reus),
dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) berupa kesengajaan atau kelalauian. Contoh
malpraktik pidana dengan sengaja adalah :

a. Melakukan aborsi tanpa tindakan medik

b. Mengungkapkan rahasia kedokteran dengan sengaja

c. Tidak memberikan pertolongan kepada seseorang yang dalam keadaan darurat

d. Membuat surat keterangan dokter yang isinya tidak benar

e. Membuat visum et repertum tidak benar

f. Memberikan keterangan yang tidak benar di pengadilan dalan kapasitasnya sebagai ahli

Contoh malpraktik pidana karena kelalaian:

a. Kurang hati-hati sehingga menyebabkan gunting tertinggal diperut

b. Kurang hati-hati sehingga menyebabkan pasien luka berat atau meninggal

c. Malpraktik Administrasi Negara (administrative malpractice)

Malpraktik administrasi terjadi jika dokter menjalankan profesinya tidak mengindahkan ketentuan-
ketentuan hukum administrasi Negara. Misalnya:

a. Menjalankan praktik kedokteran tanpa ijin

b. Menjalankan praktik kedokteran tidak sesuai dengan kewenangannya

c. Melakukan praktik kedokteran dengan ijin yang sudah kadalwarsa.

d. Tidak membuat rekam medik.

4. Upaya Pencegahan Malpraktik

Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga medis karena adanya malpraktek
diharapkan tenaga dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:

a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk
daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).

b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.

c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.

d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.


e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.

f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.

5. Penanganan Malpraktik

Sistem hukum di Indonesia yang salah satu komponennya adalah hukum substantive, diantaranya
hukum pidana, hukum perdata dan hukum administrasi tidak mengenal bangunan hukum “malpraktek”.

Sebagai profesi, sudah saatnya para dokter mempunyai peraturan hukum yang dapat dijadikan
pedoman bagi mereka dalam menjalankan profesinya dan sedapat mungkin untuk menghindari
pelanggaran etika kedokteran.

Keterkaitan antara pelbagai kaidah yang mengatur perilaku dokter, merupakan bidang hukum baru
dalam ilmu hukum yang sampai saat ini belum diatur secara khusus. Padahal hukum pidana atau hukum
perdata yang merupakan hukum positif yang berlaku di Indonesia saat ini tidak seluruhnya tepat bila
diterapkan pada dokter yang melakukan pelanggaran. Bidang hukum baru inilah yang berkembang di
Indonesia dengan sebutan Hukum Kedokteran, bahkan dalam arti yang lebih luas dikenal dengan istilah
Hukum Kesehatan.

Istilah hukum kedokteran mula-mula diunakan sebagai terjemahan dari Health Law yang digunakan oleh
World Health Organization. Kemudian Health Law diterjemahkan dengan hukum kesehatan, sedangkan
istilah hukum kedokteran kemudian digunakan sebagai bagian dari hukum kesehatan yang semula
disebut hukum medik sebagai terjemahan dari medic law.

Sejak World Congress ke VI pada bulan agustus 1982, hukum kesehatan berkembang pesat di Indonesia.
Atas prakarsa sejumlah dokter dan sarjana hukum pada tanggal 1 Nopember 1982 dibentuk Kelompok
Studi Hukum Kedokteran di Indonesia dengan tujuan mempelajari kemungkinan dikembangkannya
Medical Law di Indonesia. Namun sampai saat ini, Medical Law masih belum muncul dalam bentuk
modifikasi tersendiri. Setiap ada persoalan yang menyangkut medical law penanganannya masih
mengacu kepada Hukum Kesehatan Indonesia yang berupa Undang-Undang No. 36 Tahun 2009, KUHP
dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kalau ditinjau dari budaya hukum Indonesia, malpraktek
merupakan sesuatu yang asing karena batasan pengertian malpraktek yang diketahui dan dikenal oleh
kalangan medis (kedokteran) dan hukum berasal dari alam pemikiran barat. Untuk itu masih perlu ada
pengkajian secara khusus guna memperoleh suatu rumusan pengertian dan batasan istilah malpraktek
medik yang khas Indonesia (bila memang diperlukan sejauh itu) yakni sebagai hasil oleh piker bangsa
Indonesia dengan berlandaskan budaya bangsa yang kemudian dapat diterima sebagai budaya hukum
(legal culture) yang sesuai dengan system kesehatan nasional.

Dari penjelasan ini maka kita bisa menyimpulkan bahwa permasalahan malpraktek di Indonesia dapat
ditempuh melalui 2 jalur, yaitu jalur litigasi (peradilan) dan jalur non litigasi (diluar peradilan).

Untuk penanganan bukti-bukti hukum tentang kesalahan atau kealpaan atau kelalaian dokter dalam
melaksanakan profesinya dan cara penyelesaiannya banyak kendala yuridis yang dijumpai dalam
pembuktian kesalahan atau kelalaian tersebut. Masalah ini berkait dengan masalah kelalaian atau
kesalahan yang dilakukan oleh orang pada umumnya sebagai anggota masyarakat, sebagai penanggung
jawab hak dan kewajiban menurut ketentuan yang berlaku bagi profesi. Oleh karena menyangkut 2
(dua) disiplin ilmu yang berbeda maka metode pendekatan yang digunakan dalam mencari jalan keluar
bagi masalah ini adalah dengan cara pendekatan terhadap masalah medik melalui hukum. Untuk itu
berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Repiblik Indonesia (SEMA RI) tahun 1982, dianjurkan agar
kasus-kasus yang menyangkut dokter atau tenaga kesehatan lainnya seyogyanya tidak langsung
diproses melalui jalur hukum, tetapi dimintakan pendapat terlebih dahulu kepada Majelis Kehormatan
Etika Kedokteran (MKEK).
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran merupakan sebuah badan di dalam struktur organisasi profesi
Ikatan Dokter Indonesia (IDI). MKEK ini akan menentukan kasus yang terjadi merpuakan pelanggaran
etika ataukah pelanggaran hukum.

Pada tanggal 10 Agustus 1995 telah ditetapkan Keputusan Presiden No. 56/1995 tentang Majelis
Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) yang bertugas menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau
kelalaian dokter dalam menjalankan tanggung jawab profesinya. Lembaga ini bersifat otonom, mandiri
dan non structural yang keanggotaannya terdiri dari unsur Sarjana Hukum, Ahli Kesehatan yang
mewakili organisasi profesi dibidang kesehatan, Ahli Agama, Ahli Psikologi, Ahli Sosiologi. Bila
dibandingkan dengan MKEK, ketentuan yang dilakukan oleh MDTK dapat diharapkan lebih obyektif,
karena anggota dari MKEK hanya terdiri dari para dokter yang terikat kepada sumpah jabatannya
sehingga cenderung untuk bertindak sepihak dan membela teman sejawatnya yang seprofesi. Akibatnya
pasien tidak akan merasa puas karena MKEK dianggap melindungi kepentingan dokter saja dan kurang
memikirkan kepentingan pasien.

B. INFORMED CHOICE

Informed choice berarti membuat pilihan setelah mendapatkan penjelasan tentang alternatif asuhan
yang akan dialaminya, pilihan (choice) harus dibedakan dari persetujuan (concent). Persetujuan penting
dari sudut pandang bidan, karena itu berkaitan dengan aspek hukum yang memberikan otoritas untuk
semua prosedur yang dilakukan oleh bidan. Sedangkan pilihan (choice) lebih penting dari sudut
pandang wanita (pasien)sebagai konsumen penerima jasa asuhan kebidanan.

Tujuannya adalah untuk mendorong wanita memilih asuhannya. Peran bidan tidak hanya membuat
asuhan dalam manajemen asuhan kebidanan tetapi juga menjamin bahwa hak wanita untuk memilih
asuhan dan keinginannya terpenuhi. Hal ini sejalan dengan kode etik internasional bidan yang
dinyatakan oleh ICM 1993, bahwa bidan harus menghormati hak wanita setelah mendapatkan
penjelasan dan mendorong wanita untuk menerima tanggung jawab untuk hasil dari pilihannya.

Rekomendasi

1) Bidan harus terus meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dalam berbagai aspek agar
dapat membuat keputusan klinis dan secara teoritis agar dapat memberikan pelayanan yang aman dan
dapat memuaskan kliennya

2) Bidan wajib memberikan informasi secara rinci dan jujur dalam bentuk yang dapat dimengerti oleh
wanita dengan menggunakan media laternatif dan penerjemah, kalau perlu dalam bentuk tatap muka
secara langsung

3) Bidan dan petugas kesehatan lainnya perlu belajar untuk membantu wanita melatih diri dalam
menggunakan haknya dan menerima tanggung jawab untuk keputusan yang mereka ambil sendiri

4) Dengan berfokus pada asuhan yang berpusat pada wanita dan berdasarkan fakta, diharapkan
bahwa konflik dapat ditekan serendah mungkin

5) Tidak perlu takut akan konflik tapi menganggapnya sebagai suatu kesempatan untuk saling
memberi dan mungkin suatu penilaian ulang yang objektif, bermitra dengan wanita dari sistem asuhan
dan suatu tekanan positif.

Bentuk pilihan (choice) yang ada dalam asuhan kebidanan

Ada beberapa jenis pelayanan kebidanan yang dapat dipilih oleh pasien antara lain :

1) Gaya, bentuk pemeriksaan antenatal dan pemeriksaan laboratorium/screaning antenatal

2) Tempat bersalin (rumah, polindes, RB, RSB, atau RS) dan kelas perawatan di RS
3) Masuk kamar bersalin pada tahap awal persalinan

4) Pendampingan waktu bersalin

5) Clisma dan cukur daerah pubis

6) Metode monitor denyut jantung janin

7) Percepatan persalinan

8) Diet selama proses persalinan

9) Mobilisasi selama proses persalinan

10) Pemakaian obat pengurang rasa sakit

11) Pemecahan ketuban secara rutin

12) Posisi ketika bersalin

13) Episiotomi

14) Penolong persalinan

15) Keterlibatan suami waktu bersalin, misalnya pemotongan tali pusat

16) Cara memberikan minuman bayi

17) Metode pengontrolan kesuburan

C. INFORMED CONCENT

Informed concent bukan hal yang baru dalam bidang pelayanan kesehatan. Informed concent telah
diakui sebagai langkah yang paling penting untuk mencegah terjadinya konflik dalam masalah etik.

Informed concent berasal dari dua kata, yaitu informed (telah mendapat penjelasan/ keterangan/
informasi) dan concent (memberikan persetujuan/ mengizinkan. Informed concent adalah suatu
persetujuan yang diberikan setelah mendapatkan informasi.

Menurut Veronika Komalawati pengertian informed concent adalah suatu kesepakatan/persetujuan


pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah pasien mendapatkan
informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai
informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.

Dalam PERMENKES no 585 tahun 1989 (pasal 1)

Informed concent ditafsirkan sebagai persetujuan tindakan medis adalah persetujuan yang diberikan
pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang dilakukan terhadap
pasien tersebut.

Langkah-langkah pencegahan masalah etik

Dalam pencegahan konflik etik dikenal ada 4, yang urutannya adalah sebagai berikut

1) Informed concent

2) Negosiasi

3) Persuasi
4) Komite etik

Informed concent merupakan butir yang paling penting, kalau informed concent gagal, maka butir
selanjutnya perlu dipergunakan secara berurutan sesuasi dengan kebutuhan.

Informed concent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien/walinya yang berhak terhadap bidan
untuk melakukan suatu tindakan kebidanan terhadap pasien sesudah memperoleh informasi lengkap
dan yang dipahaminya mengenai tindakan itu.

Menurut Culver and Gert, ada 4 komponen yang harus dipahami pada suatu consent :

1. Sukarela (volunteriness)

Sukarela mengandung makna bahwa pilihan yang dibuat atas dasar sukarela tanpa ada unsur paksaan
didasari informasi dan kompetensi, sehingga pelaksanaan sukarela harus memenuhi unsur informasi
yang diberikan sejelas-jelasnya.

2. Informasi (Information)

Jika pasien tidak tahu, sulit untuk didapat mendeskripsikan keputusan. Dalam berbagai kode etik
pelayanan kessehatan bahwa informasi yang lengkap dibutuhkan agar mampu membuat keputusan
yang tepat. Kurangnya informasi atau diskusi tentang risiko, efek samping tindakan, akan membuat
pasien sulit mengambil keputusan, bahkan ada rasa cemas dan bingung.

3. Kompetensi (competence)

Kompetensi bermakna suatu pemahaman bahwa seseorang membutuhkan sesuatu hal untuk mampu
membuat keputusan dengan tepat, juga membutuhkan banyak informasi.

4. Keputusan (decision)

Pengambilan keputusan merupakan suatu proses, yang merupakan persetujuan tanpa refleksi.
Pembuatan keputusan merupakan tahap terakhir proses pemberian persetujuan. Keputusan penolakan
pasien terhadap suatu tindakan harus divalidasi lagi apakah karena pasien kurang kompetensi. Jika
pasien menerima suatu tindakan, beritahulah juga prosedur tindakan dan buatlah senyaman mungkin.

Salah satu factor yang mendorong perlunya informed consent karena pasien mempunyai kesadaran
akan hak mutlak atas tubuhnya dan hak untuk menentukan atas diri sendiri.

Dasar hukum informed consent :

Dasar hukum informed consent telah dirangkum dalam UU Kesehatan No 36/ 2009

1. BAB V pasal 24 ayat (1) :

Tenaga kesehatan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 23 harus memenuhi ketentuan kode etik,
standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar kesehatan, dan standar prosedur
operasional

2. BAB XX (ketentuan pidana)

PASAL 190

(1) : pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan yang melakukan prakrik atau
pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan
pertama terhadap pasien yang dlm keadaan gawat darurat sebagai mana yang dimaksud dlm pasal
32ayat 2 atau pasal 85 ayat 2 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau dan denda
paling banyak 200.000.000
(2) : dalam hal perbuatan sebagai mana di maksud pada ayat 1 mengakibatkan terjadinya kecacatan
atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan tersebut dipidana dg
pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 1M

Pasal 191

Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktek pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan
alat dan tekhnologi sebagai mana yang dimaksud dalam pasal 60 ayat 1 sehingga mengakibatkan
kerugian harta benda, luka berat atau kematian dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun
dan denda paling banyak 100.000.000 (seratus juta rupiah).

Pasal 192

Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan dalih apapun
sebagaimana dimaksud dalam pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun
dan denda paling banyak 1M

Pasal 193

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan bedah plastic dan rekontruksi untuk tujuan mengubah
identitas seseorang sebagai mana yang dimaksud dalam pasal 69 diancam dengan pidana penjara paling
lama 10 tahun dan denda paling banyak 1M

Pasal 194 :

Setiap orang yg dg sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dg ketentuan sbagaimana di maksud dlm
pasal 75 ayat 2 di pidana dg pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak 1M

Pasal 195

Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan darah dengan dalih apapun sebagai mana
dimaksud dalam pasal 90 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling
banyak 500.000.000

Pasal 196 :

Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau
persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan dan mutu sebagaimana yang di maksud dalam Pasal
98 ayat (2) dan ayat (3) di pidanda dg penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 1M

Pasal 197 :

Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat
kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak 1,5M

Pasal 198 :

Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian
sebagaimana yang dimaksud dalam pasalb 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak
100.000.000

Pasal 200 ;

Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian ASI eklusif sebagaimana dimaksud
dalam pasal 128 ayat (2) di pidana penjara paling lama 1 tahun dan denda paling banyak 100.000.000

Pasal 201
(1) dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 190 ayat (1), pasal 191, pasal
192,196,197,198,199 dan 200 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap
pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan
pemberatan 3 kali dari pidana denda sebagai mana dimaksud dalam pasal 190 ayat (1), pasal 191, pasal
192,196,197,198,199 dan 200.

(2) selain pidana denda sebagaimana dimaksud pda ayat 1, korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan
berupa :

a. pencabutan izin usaha; dan/atau

b. pencabutan status badan hukum

3. secara hukum informed consent berlaku sejak 1981, PP No. 8 tahun 1981.

4. informed consent dikukuhkan menjadi lembaga hukum, yaitu dengan diundangkannya PerMenKes
No. 585 tahun 1989 tentang persetujuan tindakan medic, dalam Bab I, Ketentuan Umum, Pasal 1 (a)
menetapkan Informed Consent; Persetujuan tindakan medic adalah persetujuan yang diberikan oleh
pasien/ keluarganya atas dasr penjelasan mengenai tindakan medic yang akan dilakukan terhadap
pasien tersebut.

Apakah informed consent?

1. Persetujuan yag diberikan pasien/ walinya yang berhak terhadap bidan, untuk melakuka suatu
tindakan kebidanan kepada pasien setelah memperoleh informasi lengkap dan dipahami mengenai
tindakan yang akan dilakukan.

2. Informed consent merupakan suatu proses.

3. Informed consent bukan hanya suatu formulir, tetapi bukti jaminan informed consent telah terjadi.

4. Merupakan dialog antara bidan dan pasien didasari keterbukaan akal pikiran, dengan bentuk
birokratisasi penandatanganan formulir.

5. Informed consent berarti pernyataan kesediaan/ penolakan setelah mendapat informasi secukupnya
sehingga yang diberi informasi sudah cukup mengerti akan segala akibat dari tindakan yang akan
dilakukan sebelum ia mengambil keputusan.

6. Berperan dalam mencegah konflik etik tetapi tidak mengatasi masalah etik, tuntutan, pada intinya
adalah bidan harus berbuat yang terbaik bagi klien.

Menurut Dr. H.J.J Leenen, isi dari informasi adalah diagnosis, terapi, tentang cara kerja, risiko,
kemungkinan perasaan sakit, keuntungan terapi, prognosa.

Persetujuan ini mempunyai kekuatan mengikat dalam arti mempunyai kekuatan hukum, berari bidan
telah menjalankan kewajibannya memberikan informasi dan memberikan hak kepada bidan untuk
melakukan tindakan medic.

Yang berhak memberikan persetujuan, mereka yang dalam keadaan sadar dans ehat mental, telah
berumur 21 tahun atau telah menikah, bagi mereka yang telah berusia lebih 21 tahun, tetapi dibawah
pengampuan, maka persetujuandiberikan oleh wali. Ibu hamil yang telah melangsungkan perkawinan,
berapapun umurnya, menurut hukum adalah dewasa, berhak mendapatkan informasi.

Dalam proses informed concent :

1) Dimensi yang menyangkut hukum


Dalam hal ini informed concent merupakan perlindungan bagi pasien terhadap bidan yang berprilaku
memaksakan kehendak, dimana proses informed concent sudah memuat :

Keterbukaan informasi dari bidan kepada pasien

Informasi tersebut harus dimengerti pasien

Memberikan kesempatan kepada pasien untuk memberikan kesempatan yang baik

2) Dimensi yang meyangkut etik

Dari proses informed concent terkandung nilai etik sebagai berikut :

Menghargai kemandirian/otonomi pasien

Tidak melakukan intervensi melainkan membantu pasien bila dibutuhkan/diminta sesuai dengan
informasi yang telah dibutuhkan

Bidan menggali keinginan pasien baik yang dirasakan secara subjektif maupun sebagai hasil pemikiran
yang rasional.

Syarat sahnya perjanjian atau consent :

1. Adanya Kata Sepakat

Sepakat dari pihak tanpa paksaan, tipuan maupun kekeliruan. Kata sepakat setelah pasien mendapat
informasi yang jelas dari bidan. Informasinya tidak boleh ada unsur berdasarkan kepentinahn subjektif
bidan, termasuk upaya mencari keuntungan finansial semata, sehingga tindakan yang dilakukan tidak
didasari suatu interpretasi data yang tepat. Piahk pasien harus menceritaka keadaan yang sebenarnay
sehingga mempermudah perolehan data yang tepat dan objektif.

2. Kecakapan

Artinya seseorang memiliki kecakapan memberikan persetujuan, jika orang itu mampu melakukan
tindakan hukum, dewasa dan tidak gila. Apabila karena suatu hal sehingga ia dipaksa untuk memberikan
persetujuannya, misalnya tidak ada keluarganya, maka apabila tindakan yang dilakukan bidan gagal,
maka persetujuan dianggap tidak sah.

3. Suatu Hal Tertentu

Objek dalam persetujuan harusdisebutkan dengan jelas, misalnya harus ditulis dengan jelas identitas
pasien. Kemudian yang terpenting harus dilampirkan identitas yang memberika persetujuan.

4. Suatu Sebab yang Halal

Maksudnya isi pesetujuan tidak boleh bertentangan dengan UU, tata tertib, kesusilaan, norma dan
hukum.

Informed consent mengandung beberapa segi hukum :

1. Pernyataan dalam informed consent menyatakan kehendak ke2 pihak.

2. Informed consent tidak meniadakan/ mencegah diadakannya tuntutan di muka pengadilan/


membebaskan RS/ bidan terhadap tanggung jawabnya apabila terdapat kelalaian.

3. Formulir yang ditandatangani pasien pada umumnya berbunyi segala akibat dari tindakan akan
menjadi tanggung jawab pasien sendiri bukan bidan/ RS. Rumusan tersebut secara hukum tidak
mempunyai kekuatan hukum, megingat seseorang tidak dapat membebaskan diri dari tanggung
jawabnya atas keselahan yang belum dibuat.

Penatalaksanaan informed consent cukup sulit, terbukti masih ditemukan beberapa masalah yang
dihadapi oleh pihak bidan atau rumah sakit atau rumah bersalin, yaitu diantaranya :

1. Pengertian kemampuan diantanya secara hukum dari orang ayng akan menjalani tindakan, serta
siapa yang berhak menandatangani surat persetujuan, harus ditentukan pengaturan mengenai batas
usia, kesadaran, kondisi dan mentalnya. Seperti ibu yang takut, mampu menetapakan pilhan ataau
berkonsentrasi terhadappenjelasan yang diberikan. apakah orang dalam keadaan sakit mampu secara
hukum mampu menyatakan secara hukum persetujuan.

2. Masalah wali yang sah, timbul apabila pasien tidak mampu secara hukum untuk menyatakan
persetujuannya.

3. Masalah informasi yaitu sebeerapa jauh informasi dianggap jelas tetapi tidak terlalu terinci sehingga
dianggap menakut-nakuti.

4. Dalam memberikan persetujuan apakah diperlukan saksi, jika diperlukan apakah saksi tersebut perlu
manandatangani formulir yang ada. Bagaimana menentukan saksi.

5. Dalam keadaan darurat misalnya kasus pendarahan pada bumil dan keluarganya tidak dapat
dihubungi dalam keadaan ini siapakah yang berhak memberikan persetujuan sementara pasien perlu
segera ditolong. Bagaimana perlindungan hukum kepada bidan atas dasar keadaan darurat dan upaya
penyelamatan ibu dan janin.

Jadi manfaat informed consent adalah untuk mengurangi kejadian malpraktek dan agar bidan lebih
berhati-hati dalam pemberian informasi pelayanan kebidanan

Anda mungkin juga menyukai