Anda di halaman 1dari 30

FARMASI KOMUNITAS

TUGAS KELOMPOK
MENGUMPULKAN ARTIKEL DAN LAINNYA TERKAIT DENGAN TEMA
MENGENAL FARMASI KOMUNITAS DALAM BIDANG PELAYANAN
FARMASI DI PUSKESMAS

DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK
NUR WAHDANIA S NH0518061
NURHADINDA DZULHIJJAH NH0518063
RISKA PRATIWI NH0518075
SYAMSURIANI NH0518086
SYAMSURIANI NH0518087

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


PROGRAM STUDI DIPLOMA TIGA FARMASI
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
NANI HASANUDDIN
MAKASSAR
2020

1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...................................................................................................2

1. Perencanaan............................................................................................3

2. Pengadaan...............................................................................................7

3. Penerimaan..............................................................................................13

4. Pendistribusian.......................................................................................16

5. Monitoring Efek Samping Obat.............................................................23

6. Evaluasi....................................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................28

2
1. Perencanaan

A. Definisi Perencanaan

Pengobatan merupakan salah satu program pokok dalam

Pelayanan Kesehatan. Dasar (PKD). Obat merupakan komponen

asensial dari suatu public untuk PKD dikendalikan oleh Dinas

kesehatan Kota (DKK) Tasikmalaya berdasarkan kebijakan

Departemen Kesehatan RI. Perencanaan kebutuhan obat di

Puskesmas senantiasa tidak sesuai dengan kebutuhan riil. Hal ini

sering terjadi kesenjangan antara permintaan obat Puskesmas dengan

perencanaan kebutuhan obat yang diusulkan. Oleh sebab itu proses

perencanaan kebutuhan obat public perlu dikaji dan ditemukan upaya

pemecahannya. Tujuan penelitian untuk mengetahui metode

perencanaan kebutuhan obat public yang telah dilaksanakan di

Puskesmas dan mengidentifikasi permasalahan yang berkaitan

dengan perencanaan obat (Hartono,2007).

Untuk memerbaiki perencanaan kebutuhan obat public, DKK

dapat memberikan bimbingan intensif kepada Puskesmas agar

pelaksana farmasi dan penulis resep dapat memahami dan

menerapkan standar pengobatan rasional di Puskesmas. Dengan

demikian diharapkan perencanaan kebutuhan obat public dapat lebih

mendekati kebutuhan yang riil (Hartono,2007).

3
Perencanaan pengadaan obat senantiasa berdasarkan alokasi

dana yang tersedia bukan berdasarkan jumlah kebutuhan yang

sebenarnya (direncanakan). Dalam kebijaksanaan obat nasional

(KONAS) tahun 1983 yang direvisi pada tahun 2005, target kewajibab

standar pelayanan minimal (SPM) Pelayanan Kefarmasian pada tahun

2010 menyebutkan bahwa “Ketersediaan obat sesuai dengan

kebutuan sebesar 90% pengadaan obat essensial 100 % dan

pengadaan obat generik 100% (Hartono,2007).

Perencanaan merupakan tahap yang penting karena faktor

perencanaan obat yang tidak tepat, belum efektif dan kurang efisien

berakibat kepada tidak terpenuhnya kebutuhsn obat- obatan yang

suatu pelayanan kesehatan. Jika suatu perencanaan di Puskesmas

direncanakan tidak baik maka akan terjadi kekurangan atau kelebihan

(pemborosan obat) di suatu Puskesmas. Beberapa kegiatan dalam

perencanaan terdiri atasa pemilihan/ seleksi obat, kompilasi

pemakaian obat, proyeksi kebutuhan obat dll (Nibong, 2017).

Perencanaan strategis obat merupakan suatu proses kegiatan

seleksi obat dan perbekalan kesehatan untuk menentukan jenis dan

jumlah obat dalam rangka pemeuhan kebutuhan obat di Puskesmas

malalui tahap analisi situasi, tahap memformulasikan tujuan, tahap

strategis dan formulasi, tahap rencana harian, serta tahap evaluasi

dan control (Maryati, 2019)

4
Perencanaan dan pengadaan obat merupakan tahap yang

penting dalam pemenuhan kebutuhan obat- obatan di suatu pelayanan

kesehatan. Dari 96 jenis permintaan obat dan alat kesehatan (alkes)

yang diajukan Puskesmas Pembina Palembang bulan januari Tahun

2010 terdapat 43 jenis obat yang tidak terpenuhi sesuai dengan yang

diminta. Yujuan penelitian ini adalah unutk mengetahui informasi

mendalam mengenai perencanaan dan pengadaan obat di Puskesmas

Pembina Palembang (Safriantini, 2011).

B. Jenis –jenis perencanaan

1. Proses perencanaan kebutuhan obat

Berdasarkan hasil wawancara dengan para informan, diketahui

bahwa terkait dengan proses perencanaan obat di Puskesmas

Lawa, mereka merencanakan berdasarkan 10 penyakit terbesar

yang ada di wilayah kerjanya serta direncanakan tiap tiga bulan.

2. Waktu pelaksanaan perencanaan obat

Berdasarkan hasil wawancara dengan para informan, diketahui

bahwa terkait waktu pelaksanaan kebutuhan obatdi Puskesmas

Lawa, mereka melaksanakan kebutuhan obat di Puskesmas Lawa,

mereka melaksanakan kebutuhan obat pada akhir tahun dan

didrop di awal tahun sementaea itu untuk kebutuhan obat dalam

setahun perencanaanya tiap 3 bulan pihak Puskesmas melakukan

pengamprahan ke gudang farmasi kota, dalam hal penyusunan

5
perencanaan obat yang bertanggung jawab adalah penanggung

jawab gudang obat dan belum ada tim perencanaan dalam

penyusun obat.

3. Pertimbangan yang dilakukan dalam proses seleksi obat

Berdasarkan hasil wawancara dengan para informan, diketahui

bahwa dalam proses seleksi obat di Puskesmas Lawa

pertimbangan yang dilakukan dilihat dari kekosongan obat dan

disesuaikan dengan jumlah kunjungan pasien.

4. Alasan dilakukan perencanaan obat.

Berdasarkan hasil wawancara engan para informan, diketahui

bahwa terkait dengan tujuan oerencanaan obat di Lawa, mereka

mengungkapkan beberapa alasan sebagai berikut, agar kebutuhan

pasien dapat terpenuhi dan mencegah kekosongan obat.

5. Masalah perencanaan pengelolaan obat

Berdasarkan hasil wawancara dengan para informan, diketahui

bahwa masalah yang ada dalam perencanaan obat di puskesmas

Lawa perencanaan obat kadang tidak terealisasi 100% obat yang

diminta dan kadang juga obat yang dating tidak sesuai dengan

obat yang diminta. Hal ini menyebabkan kekurangan atau

kekosongan obat (Rismalawati,2017).

6
2. Pengadaan

A. Definisi pengadaan obat

Pengadaan obat merupakan suatu proses pemenuhan

kebutuhan operasional obat dan bahan medis habis pakai yang

dibutuhkan oleh puskesmas, sebagai bentuk realisasi dari

perencanaan kebutuhan obat yang telah dilakukan sebelumnya. Hal ini

dilakukan untuk menjamin ketersediaan obat dengan jumlah yang

tepat di waktu yang tepat pula (Hadidah, 2016). Dalam hal ini,

ketidaktepatan perencanaan obat yang dilakukan sebelumnya akan

memengaruhi proses pengadaan obat yang dilakukan puskesmas.

Kedua proses tersebut saling berhubungan dan menentukan

ketersediaan obat dan bahan medis habis pakai di puskesmas dalam

pemberian pelayanan kesehatan kepada pasien (Rahma fathiyah,

2018)

Pengadaan obat di Puskesmas mencakup penyusunan dan

pengajuan permintaan obat kepada Gudang Farmasi sesuai dengan

kebutuhan. Pengadaan dilakukan sebagai bentuk realisasi dari

perencanaan kebutuhan yang telah dilakukan oleh Puskesmas.

Efektivitas kegiatan pengadaan ditunjukkan melalui ketersediaan obat,

kesesuaian jumlah obat dengan kebutuhan, kesesuaian harga obat

(Rahma fathiyah, 2018))

7
Salah satu aspek penting lain dan menentukan adalah pengadaan

obat. Sebuah proses pengadaan yang efektif akan menjamin

ketersediaan obat yang tepat dengan kuantitas yang tepat, pada harga

pantas dan pada standar kualitas diakui. Kegiatan penerimaan dan

pemeriksaan obat merupakan salah satu kegiatan dalam tahap

pengadaan obat. Selain itu kegiatan pemilihan metode pengadaan

juga merupakan salah satu cakupan tahap pengadaan obat.3,5 Hal

lain yang dianggap perlu diketahui dalam hal pengadaan obat adalah

prosedur pengadaan obat. Karena ketidaksesuian prosedur

pengadaan obat dengan aturan yang berlaku merupakan salah satu

masalah yang terjadi dalam hal pengadaan obat. Dan hal ini akan

berdampak kepada ketersediaan obat di suatu unit pelayanan

kesehatan (Safriantini dian dkk, 2011)

Menurut Departemen Kesehatan RI Tahun 2007, kegiatan

pengadaan obat di Puskesmas meliputi penyusunan daftar permintaan

obat yang sesuai kebutuhan, pengajuan kebutuhan permintaan obat

kepada Dinas Kesehatan Daerah Tingkat II/ Gudang Obat dengan

menggunakan formulir daftar permintaan obat serta penerimaan dan

pengecekan jumlah obat. Pengadaan obat berdasarkan e-katalog

telah dilaksanakan sejak tahun 2013 untuk 196 item obat dalam 327

sediaan generik, dan melibatkan kurang lebih 29 industri farmasi

(Rosalia Clara Nibong, 2018)

8
Kesimpulan yang dapat diambil adalah Sistem Informasi

Perencanaan Pengadaan Obat Dinas Kesehatan Kabupaten telah

berfungsi degnan baik sehingga diharapkan dapat membantu

pemerintah daerah dalam mengambil keputusan untuk melakukan

perencanaan pengadaan obat tahun berikutnya. (Rahmawatie Erni,

Santosa, 2015)

B. Mekanisme pengadaan obat

Mekanisme pelaksanaan perencanaan dan pengadaan obat

yang dilakukan Puskesmas. Data sekunder yang digunakan yaitu

dokumen Standar Operasional Prosedur tentang pengelolaan Obat

dan Bahan Medis Habis Pakai. Variabel dalam penelitian ini yaitu

perencanaan dan pengadaan obat, yang diukur berdasarkan elemen

persyaratan di dalam Permenkes Nomor 74 Tahun 2016.

Sedangkan, elemen persyaratan pengadaan obat meliputi

penyusunan Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat

(LPLPO) secara rutin Elemen persyaratan perencanaan meliputi

pembuatan Laporan Keadaan Obat (LKO), dan proses seleksi atau

pemilihan jenis obat (Rahma fathiyah, 2018)

C. Sistem pengadaan obat

Sistem pengadaan obat GFK melakukan sistem desentralisasi

dan dan cara pengadaannya dengan tender/pelelangan kepada

9
perusahaan farmasi dalam memenuhi ketersediaan obat tingkat kota.

Sedangkan untuk sistem dan metode pengadaan di Puskesmas

Pembina karena penyediaan obatnya berasal dari Dinas Kesehatan

dan GFK maka pihak puskesmas tinggal menerima obatnya saja.

Selain itu, Puskesmas Pembina juga melakukan pengadaan obat

sendiri yang diminta dari dokter spesialisnya. (Safriantini dian dkk,

2011)

Hasil kajian terhadap Sistem Pendukung Keputusan

Perencanaan Pengadaan Obat berdasarkan ABC indeks kritis

menunjukkan bahwa metode perhitungan berdasarkan ABC indeks

kritis hanya digunakan untuk melihat jenis kekritisan obat yang jumlah

jenis obatnya sudah diketahui. Dalam menentukan Perencanaan

Pengadaan obat masih dibutuhkan metode perhitungan perencanaan

pengadaan obat serta bentuk penyajian data yang lengkap dan

disertai grafik. Metode epidemologi yang bersifat proaktif memiliki

peluang yang lebih besar untuk menyelesaikan masalah stok obat,

namun juga terdapat unsur ketidakpastian di dalamnya. (Rahmawatie

Erni, Santosa, 2015)

D. Cara pengadaan obat

Cara pengadaan obat yang dilakukannya di Puskesmas

Pembina juga ada dua yaitu pembelian dan obat yang didapatkan dari

pihak Dinas Kesehatan Kota Palembang. Karena sebagai salah satu

10
Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan (UPTD), puskesmas hanya

menerima obat yang diajukannya kepada pihak Dinas Kesehatan

tanpa ikut dalam proses cara pengadaan obat. (Safriantini dian dkk,

2011)

Proses seleksi Obat dan Bahan Medis Habis Pakai ini harus

melibatkan tenaga kesehatan yang ada di Puskesmas seperti dokter,

dokter gigi, bidan, dan perawat, serta pengelola program yang

berkaitan dengan pengobatan (Permenkes RI No. 30 Tahun 2014),

dan Puskesmas Sario telah menjalankan sesuai dengan permenkes

no. 30 tahun 2014. Metode untuk perencanaan dan pengadaan obat

yang digunakan di Dinas Kesehatan Kota Manado yaitu berbeda-beda

sesuai dengan tugas, pokok, dan fungsinya masing-masing. Dan untuk

perencanaan dan pengadaan (Rosalia Clara Nibong, 2018

Perencanaan Pengadaan obat memiliki 2 metode, yaitu metode

konsumsi dan metode epidemiologi. metode konsumsi merupakan

metode perencanaan berdasarkan atas analisis konsumsi logistik

periode sebelumnya [7] sedangkan metode epodemiologi merupakan

metode perencanaan berdasarkan atas analisis jumlah kasus penyakit

pada periode sebelumnya. Jumlah kasus ini tergantung dari jumlah

kunjungan, bor/los (hari perawatan) frekuensi penyakit dan standar

pengobatan (Rahmawatie Erni, Santosa, 2015)

11
Metode konsumsi yang bersifat reaktif ternyata tidak mengatasi

masalah stok obat karena pengadaan dilakukan bila ada kebutuhan.

Perencanaan Pengadaan Obat menggunakan metode konsumsi

kurang sesuai dengan kebutuhan serta tidak dapat dijadikan dasar

pengkajian penggunaan obat sehingga sering terjadi kekurangan stok

obat pada gudang farmasi Dinas Kesehatan Kabupaten Boyolali

(Rahmawatie Erni, Santosa, 2015)

12
3. Penerimaan

A. Pengertian penerimaan

Penerimaan adalah kegiatan dalam menerima obat-obatan yang

diserahkan dari unit pengelolaan yang lebih tinggi kepada unit

pengelolaan dibawahnya. Penerimaan obat harus dilaksanakan oleh

petugas pengelola obat atau petugas lain yang diberi kuasa oleh

kepala Puskesmas (Yuliana, 2018).

Penerimaan obat yaitu penerimaan obat oleh petugas pemeriksa

dan penerima barang. Pihak petugas dari unit gudang obat memeriksa

jumlah, jenis, dan spesifikasi barang yang dipesan, expired date dan

sesuai faktur obat (Mellen dan Pudjihardjo, 2013).

Penerimaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai

adalah suatu kegiatan dalam menerima Sediaan Farmasi dan Bahan

Medis Habis Pakai dari Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota atau hasil

pengadaan Puskesmas secara mandiri sesuai dengan permintaan

yang telah diajukan (Najoan, dkk. 2019)

Penerimaan obat merupakan suatu kegiatan dalam menerima

sediaan farmasi dan atau bahan habis pakai dari instalasi farmasi atau

distributor obat. Penerimaan obat dalam ruang obat di puskesmas

merupakan suatu kegiatan dalam menerima kegiatan obat atau bahan

medis pakai dari Instalasi farmasi atau gudang obat Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota atau hasil pengadaan puskesmas secara mandiri

13
sesuai dengan permintaan yang diajukan oleh puskesmas dan

memenuhi persyaratan keamanan, khasiat, dan mutu (Dianita, dkk.

2017)

B. Tujuan penerimaan

Tujuannya adalah agar Sediaan Farmasi yang diterima sesuai

dengan kebutuhan berdasarkan permintaan yang diajukan oleh

Puskesmas, dan memenuhi persyaratan keamanan, khasiat, dan

mutu. Tenaga Kefarmasian dalam kegiatan pengelolaan bertanggung

jawab atas ketertiban penyimpanan, pemindahan, pemeliharaan dan

penggunaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai berikut kelengkapan

catatan yang menyertainya. Tenaga Kefarmasian wajib melakukan

pengecekan terhadap Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai

yang diserahkan, mencakup jumlah kemasan/peti, jenis dan jumlah

Sediaan Farmasi, bentuk Sediaan Farmasi sesuai dengan isi dokumen

LPLPO, ditandatangani oleh Tenaga Kefarmasian, dan diketahui oleh

Kepala Puskesmas. Bila tidak memenuhi syarat, maka Tenaga

Kefarmasian dapat mengajukan keberatan. Masa kedaluwarsa

minimal dari Sediaan Farmasi yang diterima disesuaikan dengan

periode pengelolaan di Puskesmas ditambah satu bulan (Permenkes,

2016).

Penerimaan obat bertujuan agar obat yang diterima sesuai

dengan kebutuhan berdasarkan permintaan yang diajukan oleh

14
Puskesmas. Petugas penerima obat bertanggung jawab atas

pemeriksaan fisik, penyimpanan, pemindahan, pemeliharaan dan

penggunaan obat beserta kelengkapan catatan yang menyertainya

(Yuliana, 2018).

Petugas penerima obat wajib melakukan pengecekan terhadap

obat yang diserahterimakan, meliputi kemasan, jenis dan jumlah obat,

bentuk sediaan obat sesuai dengan isi dokumen (LPLPO), dan ditanda

tangani oleh petugas penerima serta diketahui oleh kepala

Puskesmas. Bila ditemukan adanya obat yang tidak memenuhi syarat

dalam hal ini terjadi kekurangan atau kerusakan maka petugas

penerima dapat mengajukan keberatan. Setiap penambahan obat,

dicatat dan dibukukan pada buku penerimaan obat dan kartu stok

(Yuliana, 2018).

15
4. Pendistribusian

A. Pengertian Pendistribusian

Distribusi merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam

melakukan pengeluaran dan pengiriman obat-obat yang bermutu,

terjamin keabsahan serta tepat jenis dan jumlah dari gudang obat

secara merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan unit-unit

pelayanan kesehatan (Tim MGPM Pati, 2015).

Distribusi sediaan farmasi merupakan suatu kegiatan

penyaluran baik obat maupun bahan obat sesuai dengan persyaratan

guna menjaga kualitas dari sediaan farmasi yang didistribusikan

tersebut. (Mudin, 2018).

Distribusi menjadi aspek penting dalam menjamin kualitas

sediaan. Untuk memastikan mutu sepanjang alur pendistribusian,

maka kualitas produk perlu dipantau mulai dari produk masuk gudang

hingga sampai di tangan konsumen (dalam hal ini apotek, rumah sakit,

PBF). Salah satu cara pemerintah dalam menjamin mutu sediaan

farmasi adalah dengan menerapkan CDOB (Cara Distribusi Obat yang

Baik). CDOB diatur dalam Peraturan Kepala BPOM No.

HK.03.1.34.11.12.7542 tahun 2012 (Mudin, 2018).

B. Pendistribusian Obat

Obat merupakan kegiatan penyaluran dan penyerahan obat

serta bahan medis habis pakai kepada pasien. Menurut Permenkes RI

16
No. 74 tahun 2016, pendistribusian sediaan farmasi dan bahan medis

habis pakai merupakan kegiatan pengeluaran dan penyerahan

sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai secara merata dan

teratur untuk memenuhi kebutuhan sub unit/satelit farmasi Puskesmas

dan jaringannya. Tujuan dari distribusi obat di puskesmas yaitu untuk

memenuhi kebutuhan sediaan farmasi sub unit pelayanan kesehatan

yang ada di wilayah kerja puskesmas dengan jenis, mutu, jumlah dan

waktu yang tepat.

Puskesmas Kabupaten Magelang yang dijadikan sampel dalam

penelitian ini merupakan puskesmas yang terdapat pelayanan rawat

inap, sehingga metode distribusi yang digunakan yaitu floor stock.

Sistem pendistribusian floor stock merupakan pedistribusian obat

dimana seluruh persediaan obat kebutuhan pasien disimpan di dalam

ruamg perawatan dan pengelolaannya menjadi tanggung jawab

perawat. Kebutuhan obat pasien langsung dilayani oleh perawat di

ruang rawat, sehingga farmasis tidak terlibat dalam proses pengkajian

resep. Pelayanan di ruang rawat jalan di puskesmas menggunakan

sistem individual prescribing, yaitu merupakan sistem yang

memberikan pelayanan kepada pasien secara individual dan dengan

meode ini dapat memudahkan penarikan pembayaran atas obat yang

telah diberikan kepada pasien.

17
Metode distribusi yang dilakukan di Puskesmas Kabupaten

Magelang telah sesuai dengan Permenkes RI No. 74 tahun 2016

tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas, yaiti bahwa

pendistribusian ke sub unit (ruang rawat inap, UGD, dan lain-lain)

dilakukan dengan cara pemberian obat sesuai resep yang diterima

(floor stock), pemberian obat per sekali minum (dispensing dosis unit)

atau kombinasi, sedangkan pendistribusian ke jaringan puskesmas

dilakukan dengan cara penyerahan obat sesuai dengan kebutuhan

(floor stock) Dianita, dkk.2017)

Distribusi obat adalah penyerahan obat sejak setelah sediaan

disiapkan oleh instalasi farmasi rumah sakit sampai dengan

dihantarkan kepada perawat, dokter, atau profesional pelayanan

kesehatan lain untuk diberikan kepada penderita (Mardiyanti, 2007).

Distribusi merupakan kelanjutan dari kegiatan penyimpanan

yang berguna untuk memenuhi kebutuhan logistiK bagian-bagian

dalam suatu organisasi. Untuk mendukung efektifitas dan efisiensi

kinerja tiap bagian maupun organisasi secara keseluruhan, dalam

penyaluran kebutuhan logistik harus memperhatikan dan

mengimplementasikan beberapa asas penyaluran logistik. Beberapa

asas tersebut adalah sebagai berikut:

a. Ketepatan jenis dan spesifikasi logistik yang disampaikan.

Penyampaian logistik hendaknya sesuai dengan jenis dan

18
spesifikasi logistik yang telah ditetapkan sehingga secara

fungsional dapat mencapai batas yang optimal, baik dilihat dari

sisi kualitas maupun kuantitas.

b. Ketepatan nilai logistik yang disampaikan. Ketepatan

penyampaian logistik sesuai dengan nilai yang telah ditetapkan

berarti tidak kurang ataupun lebih dari nilai yang telah ditetapkan

semula. Hal ini terkait dengan pertimbangan pelaksanaan

program efisiensi bagian dan organisasi secara keseluruhan.

c. Ketepatan jumlah logistik yang disampaikan. Ketepatan jumlah

logistik yang disampaikan berarti bagian distribusi tidak

menyampaikan logistik kebagian dengan jumlah kurang atau

lebih dari permintaan atau kebutuhan.

d. Ketepatan waktu penyampaian. Apabila distribusi logistik tidak

tepat waktu, terlambat misalnya, jelas akan menghambat aktivitas

organisasi karena seharusnya bagian dapat melakukan kegiatan

operasional.

e. Ketepatan kondisi logistik yang disampaikan Untuk mendukung

kelancaran aktivitas suatu bagian dalam organisasi hendaknya

barang yang disampaikan merupakan barang yang siap pakai

(ready for use) sehingga kondisi barang tersebut harus baik

bukan barang yang rusak (Mardiyanti, 2007).

19
C. Pendistribusian sediaan farmasi

Pendistribusian sediaan farmasi yang dilakukan oleh

Puskesmas Bitung Barat terbagi 2 yaitu didistribusikan ke sub unit dan

ke jaringan Puskesmas. Pendistribusian yang dilakukan untuk sub unit

pelayanan kesehatan yaitu ruang rawat inap, UGD, dan lain-lain

dilakukan atas permintaan dari sub-sub unit tersebut dengan

melakukan anfrak kebutuhan obat ke apotek Puskesmas Bitung Barat

sesuai dengan yang dibutuhkan, sedangkan pendistribusian yang

dilakukan untuk jaringan Puskesmas yaitu Pustu, Polindes, Pusling,

dll, dilakukan atas permintaan dari jaringan-jaringan pelayanan

kesehatan tersebut berdasarkan laporan permintaan obat LPLPO yang

mereka masukkan ke gudang obat Puskesmas Bitung Barat (Najoan,

2019).

Penelitian yang dilakukan oleh Muthahara, dkk (2018)

mengenai pendistribusian obat didapatkan bahwa pendistribusian obat

sudah dilakukan sesuai prosedur, namun terjadinya kekosongan obat

di Puskesmas Kamonji bukan karena proses pengelolaan obat yang

tidak sesuai dengan prosedur tetapi karena obat yang diminta tidak

sesuai dengan yang diterima dari Dinas Kesehatan. Jika dibandingkan

dengan hasil wawancara dan observasi langsung di Puskesmas

Bitung Barat, didapatkan bahwa memang pihak Dinas Kesehatan tidak

selalu dapat memberikan kebutuhan obat sesuai dengan permintaan

20
LPLPO dari Puskesmas dikarenakan ketersediaan obat terbatas dan

dengan banyaknya puskesmas yang ada, oleh karena itu Puskesmas

Bitung Barat selalu mengantisipasi kekosongan obat dengan membeli

kebutuhan obat ke instansi lain misalnya yang pernah dilakukan yaitu

membeli ke Rumah Sakit Budimulia Bitung, agar supaya selain

terhindar dari kekosongan obat, Puskesmas juga dapat melakukan

pendistribusian ke sub-sub unit pelayanan kesehatan dan jaringan

yang ada di Puskesmas Bitung Barat (Najoan, 2019).

D. Pendistribusian Obat dan Bahan Medis Habis Pakai

Pendistribusian obat dan bahan medis habis pakai merupakan

kegiatan pengeluaran dan penyerahan obat dan bahan medis habis

pakai secara merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan sub

unit/satelit farmsi Puskesmas dan jaringannya.

Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan Obat Sub unit

pelayanan kesehatan yang ada di wilayah kerja Puskesmas dengan

jenis mutu, jumlah dan waktu yang tepat.

Sub-sub unit di Puskesma dan jaringannya antara lain:

a. Sub unit pelayanan kesehatan di dalam lingkungan Puskesmas

b. Puskesmas pembantu

c. Puskesmas keliling

d. Posyandu dan

e. Polindes

21
Pendistribusian ke sub unit (ruang, rawat inap, UGD, dan lain-lain)

dilakukan dengan cara pemberian obat sesuai resep yang diterima

(floor stock), pemberian obat per sekali minu (dispensing dosis unit)

atau kombinasi, sedangkan pendistribusian ke jaringan Puskesmas

dilakukan dengan cara obat sesuai dengan kebutuhan (floor stock)

(Permenkes, 2014).

22
5. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

A. Pengertian Monitoring Efek Samping Obat

Merupakan suatu kegiatan pemantauan setiap respon yang

diberikan oleh obat yang dapat merugikan atau tidak diharapkan yang

terjadi pada dosis normal penggunaan obat yang digunakan pada

pasien untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau

memodifikasi fungsi fisiologis (Permenkes, 2016).

Monitoring Efek Samping Obat (MESO) adalah kegiatan

pemantauan dan pelaporan efek samping obat yang dilakukan oleh

tenaga kesehatan secara sukarela (voluntary reporting) dengan

menggunakan formulir pelaporan ESO berwarna kuning, yang dikenal

sebagai form kuning. Monitoring dilakukan terhadap seluruh obat

yang beredar dan digunakan dalam pelayanan kesehatan di

Indonesia (Murni, 2020).

Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan

pemantauan setiap respon terhadap obat yang merugikan atau tidak

diharapkan terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia

untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau modifikasi fungsi

fisiologis (Devianti, 2019)

Kegiatan yang dilakukan adalah menganalisis laporan efek

samping obat, mengidentifikasi obat dan pasien yang mempunyai

resiko tinggi mengalami efek samping obat serta melaporkan kepusat

23
Monitoring Efek Samping Obat Nasional yang bertujuan untuk

menentukan frekuensi dan insidensi efek samping obat yang sudah

sangat dikenal atau baru saja ditemukan (Efrida, 2019).

Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan

pemantauan setiap respon terhadap obat yang tidak dikehendaki,

yang terjadi pada dosis lazim yang digunakan pada manusia untuk

tujuan profilaksis, diagnosa dan terapi. Efek samping obat adalah

reaksi obat yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja

farmokologi (Juwita, 2019)

Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap Obat

yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal

yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan

terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis (Zaberina Fauziyah, 2019)

Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan

pemantauan setiap respon terhadap Obat yang tidak dikehendaki

(Wati, 2019)

B. Tujuan Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

1) Menurut (Murni, 2020)

Tujuan MESO adalah untuk sedini mungkin memperoleh

informasi baru mengenai efek samping obat, tingkat kegawatan,

frekuensi kejadiannya, sehingga dapat segera dilakukan tindak

lanjut yang diperlukan, seperti penarikan obat yang bersangkutan

24
dari peredaran; pembatasan penggunaan obat, misalnya

perubahan golongan obat; pembatasan indikasi; perubahan

penandaan; dan tindakan lain yang dianggap perlu untuk

pengamanan atau penyesuaian penggunaan obat.

2) Menurut (Devianti, 2019)

a) Menemukan efek samping obat sedini mungkin terutama yang

berat, tidak dikenal dan frekuensinya jarang.

b) Menentukan frekuensi dan insidensi efek samping obat yang

sudah sangat dikenal atau yang baru saja ditemukan.

C. Kegiatan Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

1) Menurut (Zaberena Fauziah, 2019)

Kegiatan yang dilakukan dalam MESO antara lain:

a) Mengidentifikasi obat beserta pasien yang mempuyai resiko

tinggi mengalami efek samping obat.

b) Mengisi formulir monitoring efek samping obat

c) Melaporkan kepada pusat monitoring efek samping obat

nasional dengan menggunakan formulir 10.

2) Menurut (Devianti, 2019)

a) Menganalisis laporan efek samping obat

b) Mengidentifikasi obat dan pasien yang mempunyai resiko

tinggi mengalamin efek samping obat.

c) Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

25
D. Faktor Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

Berikut ini merupakan faktor yang perlu diperhatikan adalah

sebagai berikut (Sari, 2019):

1) Kerja sama dengan tim kesehatan lain.

2) Ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat.

26
6. Evaluasi

Evaluasi secara garis besar dapat dikatakan bahwa pemberian nilai

terhadap kualitas tertentu. Selain dari itu evaluasi juga dapat dipandang

sebagai proses merencanakan, memproleh, dan menyediakan informasi

yang diperlukan.

Evaluasi adalah sebagai suatu proses atau usaha dalam

menentukan nilai. Secara khusus penilaian atau evaluasi juga diartikan

sebagai proses pemberian nilai didasarkan pada data kuantitatif hasil

pengukuran untuk keperluan pengambilan keputusan.

Evaluasi penggunaan obat merupakan kegiatan untuk

mengevaluasi penggunaan obat secara terstruktur dan

berkesinambungan untuk menjamin obat yang digunakan sesuai dengan

indikasi, efektif, aman dan terjangkau.

Evaluasi penggunaan obat yang disusun menggunakan SPO yang

telah dibuat pada masing-masing puskesmas, hal ini telah sesuai dengan

permenkes NO. 74 tahun 2016 tentang standar kefarmasian di

puskesmas.

Tujuan dilakukannya evaluasi penggunaan obat yaitu untuk

mendapatkan gambaran pola penggunaan obat pada kasus tertentu serta

melakukan evaluasi secara berkala untuk penggunaan obat tertentu.

27
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Pekerjaan Kefarmasian. Departemen Kesehatan Republik


Indonesia: Jakarta.

Anonim. 2016. Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Departemen


Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta.

Devianti, F. (2019). GAMBARAN PEMBERIAN INFORMASI OBAT (PIO) DI


PUSKESMAS KECAMATAN SUKARAME KOTA BANDAR
LAMPUNG TAHUN 2018 (Doctoral dissertation, Poltekkes
tanjungkarang).

Dianita, P. S., Kusuma, T. M., & Septianingrum, N. M. A. N. (2017). Evaluasi


penerapan standar pelayanan kefarmasian di puskesmas
kabupaten Magelang berdasarkan Permenkes RI no. 74 tahun
2016. URECOL, 125-134.

Dianita, Puspita septie, dkk. 2017. Evaluasi Penerapan Standar Pelayanan


Kefarmasian di Puskesmas Kabupaten Magelang Berdasarkan
Permenkes RI No.74 tahun 2016. Universitas Muhammadiyah
Magelang.

EFRIDA, Y. (2019). GAMBARAN KELENGKAPAN PENULISAN RESEP DI


PUSKESMAS RAWAT INAP SATELIT KOTA BANDAR LAMPUNG
TAHUN 2019 (Doctoral dissertation, Poltekkes tanjungkarang).

Hartono, J.P (2007). Analisis proses perencanaan kebutuhan obat public


untuk pelayanan kesehatan dasar (PKD) DI Puskesmas Se Wilayah
Kerja Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya (Doctoral dissertation,
program Pascasarjana Universitas Diponegoro).

JUWITA, I. (2019). GAMBARAN PEMBERIAN INFORMASI OBAT DI


INSTALASI FARMASI RAWAT JALAN RUMAH SAKIT UMUM
DAERAH Dr. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG TAHUN
2019 (Doctoral dissertation, Poltekkes tanjungkarang).

Mardiyanti, Etty, 2007. Sistem Informasi Obat Untuk Mendukung Monitoring


Distribusi Obat Pada Pasien Rawat Inap Di Instalasi Farmasi
Rumah Sakit Umum Bina Kasih Ambarawa. Magister Ilmu
Kesehatan Masyarakat: Diponegoro.

28
Maryati, H., & Chotimah, I. (2019). PERBANDINGAN PERENCANAAN
STRATEGIS OBAT JKN DI UNIT FARMASI PADA PUSKESMAS
YANG TERAKREDITASI DAN PUSKESMAS YANG BELUM
TERAKREDITASI TAHUN 2018. PROMOTOR,2(2), 143-150.

Mellen, R. C., & Pudjirahardjo, W. J. (2013). Faktor Penyebab dan Kerugian


Akibat Stockout dan Stagnant Obat di Unit Logistik RSU Haji
Surabaya. Jurnal Administrasi Kesehatan Indonesia, 1(1), 99-107.

Mudin, N. (2018). Penjaminan Mutu dalam Pendistribusian Sediaan Farmasi.


Majalah Farmasetika,3(1), 1-6.

Murni, N., & Asriwaty, A. (2020). PENGARUH PENERAPAN STANDAR


PELAYANAN KEFARMASIAN DI PUSKESMAS TERHADAP
PENINGKATAN KEPUASAN PASIEN. Jurnal Kesmas Prima
Indonesia, 2(1), 17-24.

Najoa, Gabriella Windy. 2019. ANALISIS PENGELOLAAN SEDIAAN


FARMASI DI PUSKESMAS BITUNG BARAT KOTA BITUN.
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi:
Manado.

Najoan, G. W., Tucunan, A. A., & Kolibu, F. K. (2019). ANALISIS


PENGELOLAAN SEDIAAN FARMASI DI PUSKESMAS BITUNG
BARAT KOTA BITUNG. KESMAS, 8(6).

Nibong, C, R., Kolib, F.K., & Mandang, C.K. (2017). Analisis Perencanaan
dan Pengadaan Obat di Puskesmas Sario Kota Manado.
KESMAS,2017,6.3.

Notoatmojo S. 2012. Metodeologi Penelitian. Rineka Cipta: Yogyakarta

Permenkes, 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


74 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Puskesmas. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Permenkes. 2014. Starndar Pelayanan Kefarmasian di Peskesmas Dengan


Rahmat tuhan yang Maha Esa: Menteri kesehatan republic
Indonesia.

Rismalawati, R., & Lestari, H. (2017). Studi Manajemen Pengolahan Obat di


Puskesmas Lawa Kabupaten Muna Barat Tahun 2015. (Jurnal
ilmiah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat), 2017,1.3.

29
Safriantini, D., Ainy, A., & Mutahar, R. (2011). Analisis Perencanaan dan
Pengadaan Obat di puskesmas Pembina Palembang. Jural ilmu
kesehatan masyarakat,2(1)

Sari, R. P., & Mardhiyah, M. (2019). TINGKAT KEPUASAN PASIEN


TERHADAP PELAYANAN INFORMASI OBAT DI APOTEK BURING
FARMA MALANG (Doctoral dissertation, Akademi Farmasi Putera
Indonesia Malang).

Tim MGPM Pati, 2015. Administrasi Farmasi Jilid 3. Yogyakarta: Deepublish


(Grup Penerbitan CV Budi Utama).

WATI, S. N. (2019). PROFIL POLA PERESEPAN OBAT ANTIBIOTIK PADA


PASIEN UMUM SPESIALIS ANAK DI INSTALASI FARMASI RAWAT
JALAN RUMAH SAKIT PETROKIMIA GRESIK (Doctoral dissertation,
Universitas Muhammadiyah Gresik).

Yuliana Pande, A. (2018). Sistem Pengelolaan Obat Di Puskesmas Maukaro


Kabupaten Ende Tahun 2017 (Doctoral dissertation, Poltekkes
Kemenkes Kupang).

ZABERINA FAUZIAH, W. E. N. N. Y. (2019). GAMBARAN PEMBERIAN


INFORMASI OBAT DI PUSKESMAS RAWAT INAP SATELIT KOTA
BANDAR LAMPUNG TAHUN 2019 (Doctoral dissertation, Poltekkes
tanjungkarang).

30

Anda mungkin juga menyukai