Anda di halaman 1dari 28

Laporan Kasus

Kejang pada Neonatus

Disusun Oleh:

Faradina Santi
Novel Gultom
Sonya Andzil

Pembimbing :
Dr. dr. Dewi A. Wisnumurti, Sp.A(K), IBCLC

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus yang berjudul “Hypoxic Ischemic Encephalopathy (HIE)”.

Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang

turut membantu hingga terselesaikannya laporan kasus ini. Ucapan terimakasih ini

penulis sampaikan kepada:

1. dr. H. Nuzelly Husnedi, MARS selaku Direktur RSUD Arifin Achmad yang

telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan kegiatan

kepaniteraan klinik di RSUD Arifin Achmad.

2. Dr. dr. Dewi A. Wisnumurti, Sp.A(K), IBCLC selaku pembimbing yang telah

memberikan waktu, ilmu, pikiran, serta membimbing dengan penuh kesabaran

dari awal hingga selesainya penulisan laporan kasus ini.

3. Dr.dr.Harry Mangunsong, Sp.A, dr. Riza Yefri, Sp.A, dan dr. Hotber Edwin

Rolan Pasaribu, M.Si.Med.,Sp.A(K) selaku penguji pada laporan kasus ini.

4. Teman-teman seperjuangan terimakasih atas motivasi dan perhatian kepada

penulis.

Setelah berusaha maksimal untuk memberikan yang terbaik, penulis

menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan di dalam laporan kasus ini.

Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari

semua pihak demi kesempurnaan laporan kasus ini. Akhir kata, semoga laporan

kasus ini bermanfaat dan menambah pengetahuan kita.

Pekanbaru, November 2018


DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR.......................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR............................................................................ iii
DAFTAR TABEL................................................................................. iv

BAB I. PENDAHULUAN.................................................................... 1
1.1. Latar Belakang................................................................ 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA......................................................... 3


2.1. Definisi Hypoxic Ischemic Encephalopathy................... 3
2.2. Epidemiologi Hypoxic Ischemic Encephalopathy.......... 3
2.3. Etiologi Hypoxic Ischemic Encephalopathy................... 4
2.4. Patofisiologi Hypoxic Ischemic Encephalopathy........... 5
2.5. Klasifikasi dan Manifestasi Klinik Hypoxic
Ischemic Encephalopathy................................................
6
2.6. Tatalaksana Hypoxic Ischemic Encephalopathy............. 8
2.7. Prognosis Hypoxic Ischemic Encephalopathy................ 9

BAB III. LAPORAN KASUS.............................................................. 10

BAB IV. PEMBAHASAN.................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA........................................................................... 21
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1 Patofisiologi Hypoxic-Ischemic Encephalopathy.................. 5
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1 Faktor Risiko Asfiksia Neonatorum yang Menyebabkan HIE.......... 4
Tabel 2 Klasifikasi HIE ................................................................................. 7
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hypoxic Ischemic Encephalopathy (HIE) adalah suatu sindroma yang ditandai

secara klinis dan laboratorium, akibat cedera akut pada otak yang disebabkan oleh

asfiksia neonatorum.1,2 Angka kejadian HIE berkisar antara 0,3˗1,8% di negara-

negara maju, sedangkan di Indonesia belum ada data yang cukup lengkap. Insiden

HIE di Amerika Serikat terjadi pada 6/1000 neonatus cukup bulan. Dua puluh

hingga 50% neonatus dengan HIE meninggal pada masa neonatal, 25˗30% yang

bertahan hidup mempunyai kelainan permanen pada perkembangan saraf.3-5

Faktor risiko terjadinya HIE dibagi atas faktor risiko antepartum,

intrapartum, dan janin yang dapat menyebabkan gangguan delivery oksigen ke

otak janin. Faktor risiko antepartum berupa primipara, demam saat kehamilan,

hipertensi dalam kehamilan, anemia, diabetes mellitus, penyakit hati dan ginjal,

penyakit kolagen dan pembuluh darah, perdarahan antepartum, riwayat

kematian neonatus sebelumnya, penggunaan sedasi, dan analgesia.2 Faktor risiko

intrapartum berupa malpresentasi, partus lama, persalinan yang sulit dan

traumatik, mekoneum dalam ketuban, ketuban pecah dini, induksi oksitosin, dan

prolaps tali pusat. Faktor risiko janin berupa prematuritas, berat badan lahir

rendah (BBLR), pertumbuhan janin terhambat, dan kelainan kongenital. Asfiksia

disertai kejang merupakan manifestasi umum yang sering dijumpai pada neonatus

dengan HIE.2,6

Upaya terbaik penanganan HIE adalah mengidentifikasi, dan mencegah


neonatus yang mempunyai risiko mengalami asfiksia sejak dalam kandungan

hingga persalinannya. Setelah neonatus lahir, segera melakukan resusitasi yang

adekuat, mengatasi asidosis metabolik, mempertahankan gula darah stabil,

mempertahankan kadar kalsium normal, dan mengatasi kejang.4,7-12 Hipertermi

merupakan kondisi yang harus dikhawatirkan karena mengakibatkan kerusakan

pada neuron. Berdasarkan prinsip tersebut, salah satu terapi yang sangat efektif

untuk mengatasi neonatus dengan HIE, yaitu cooling therapy. Terapi tersebut

harus dimulai dalam usia 6 jam pertama kehidupan pada neonatus dengan gestasi

sama atau lebih dari 36 minggu, dan berat badan sama atau lebih besar dari 1800

gram.13

Neonatus yang mengalami HIE mempunyai prognosis yang bervariasi,

neonatus dengan HIE stadium ringan umumnya sembuh total, sedangkan pada

stadium sedang 80% sembuh total, dan 20% sembuh dengan kecatatan bila gejala

menetap hingga 5˗7 hari. Indikator prognosis buruk adalah awitan lambat

pernapasan spontan seperti yang diperkirakan oleh nilai APGAR. Neonatus

dengan nilai APGAR 0 sampai 3 pada menit ke-10 memiliki angka kematian

sebesar 20% dan insidens cerebral palsy sejumlah 5%; apabila nilai APGAR tetap

rendah pada menit ke-20, angka kematian meningkat sampai 60% dan insidensi

cerebral palsy menjadi 57%.1


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Hypoxic Ischemic Encephalopathy

Hypoxic Ischemic Encephalopathy (HIE) adalah suatu sindroma yang

ditandai secara klinis dan laboratorium, akibat cedera akut pada otak yang

disebabkan oleh asfiksia neonatorum. Hypoxic Ischemic Encephalopathy (HIE)

merupakan penyebab kerusakan permanen sel-sel pada sistem saraf pusat (SSP)

yang berdampak pada kematian dan kecacatan berupa cerebral palsy atau

intellectual disability, sedangkan ensefalopati adalah istilah klinis pada neonatus

yang mengalami gangguan kesadaran pada waktu dilakukan pemeriksaan tanpa

diketahui etiologi yang jelas.1,2

2.2 Epidemiologi Hypoxic Ischemic Encephalopathy

Angka kejadian HIE berkisar antara 0,3˗1,8% di negara-negara

berkembang, sedangkan di Indonesia belum ada data yang cukup lengkap. Insiden

HIE di Amerika Serikat terjadi pada 6/1000 neonatus cukup bulan. Dua puluh

hingga 50% neonatus dengan HIE meninggal pada masa neonatal, 25˗30% yang

bertahan hidup mempunyai kelainan permanen pada perkembangan saraf.3

Partus lama adalah persalinan yang berlangsung lebih dari 18 jam atau

kala II yang lebih dari 2 jam pada primigravida dan lebih cepat untuk

multigravida, sekitar 58% asfiksia terjadi karena proses persalinan tersebut. Selain

berdasarkan lama proses persalinan, angka kejadian HIE memiliki hubungan

dengan jenis persalinan, 56% persalinan dengan tindakan (seksio sesaria, vacum

dan forsep) menyebabkan asfiksia neonatorum dan sekitar 44% asfiksia


neonatorum dari proses persalinan spontan. 10

2.3 Etiologi Hypoxic Ischemic Encephalopathy

Hypoxic-Ischemic Encephalopathy (HIE) akibat asfiksia neonatorum yang

terjadi selama proses kehamilan, proses persalinan dan melahirkan, atau periode

segera setelah lahir. Janin sangat bergantung pada plasenta untuk pertukaran

oksigen, asupan nutrisi, dan pembuangan produk sisa sehingga jika terjadi

gangguan pada aliran darah umbilikal maupun plasental, hampir selalu akan

menyebabkan asfiksia.2

Faktor risiko asfiksia neonatorum yang menyebabkan HIE secara garis besar

dibagi dalam 3 kategori, yaitu faktor risiko antepartum, intrapartum, dan janin

yang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Faktor Risiko Asfiksia Neonatorum yang Menyebabkan HIE


Faktor risiko antepartum Faktor risiko intrapartum Faktor risiko janin
1. Primipara 1. Malpresentasi 1. Prematuritas
2. Penyakit pada ibu: 2. Partus lama 2. BBLR
a. Demam saat 3. Persalinan yang sulit 3. Pertumbuhan janin
kehamilan dan traumatik terhambat
b. Hipertensi dalam 4. Mekoneum dalam 4. Kelainan kongenital
kehamilan ketuban
c. Anemia 5. Ketuban pecah dini
d. Diabetes mellitus 6. Induksi oksitosin
e. Penyakit hati dan 7. Prolaps tali pusat
ginjal
f. Penyakit kolagen dan
pembuluh darah
3. Perdarahan antepartum
4. Riwayat kematian
neonatus sebelumnya
5. Penggunaan sedasi,
analgesia atau anestesia
Sumber: Depkes RI 2008 6
2.4 Patofisiologi Hypoxic Ischemic Encephalopathy

Beberapa menit setelah janin mengalami hipoksia berat, akan terjadi

bradikardia, hipotensi, curah jantung turun, dan gangguan metabolik seperti

asidosis respiratorius. Respon sistem sirkulasi pada fase awal dari janin adalah

peningkatan aliran pintas melalui duktus venosus, duktus arteriosus, dan foramen

ovale, dengan tujuan memelihara perfusi dari otak, jantung, adrenal, hati, ginjal,

dan usus secara sementara.4

Patologi hipoksik˗iskemik tergantung organ yang terkena dan derajat berat-

ringannya hipoksia. Pada fase awal hipoksik-iskemik akan terjadi kongesti akibat

kebocoran cairan intravaskuler karena peningkatan permeabilitas dinding

pembuluh darah dan pembengkakan sel endotel merupakan tanda nekrosis

koagulasi dan kematian sel. Kongesti dan petekie tampak pada perikardium,

pleura, timus, jantung, adrenal dan meningen. Hipoksia intrauterin yang lama

dapat menyebabkan periventricular leukomalacia (PVL) dan hiperplasia otot

polos arteriole pada paru yang merupakan predisposisi untuk terjadi hipertensi

pulmoner pada neonatus. Distres napas yang ditandai dengan gasping, dapat

terjadi akibat aspirasi benda asing dalam cairan amnion (misalnya mekonium,

lanugo dan skuama).4

Kombinasi hipoksia kronik pada janin dan cedera hipoksik-iskemik akut

setelah lahir akan menyebabkan neuropatologik khusus dan hal tersebut

tergantung pada usia kehamilan. Pada neonatus cukup bulan akan terjadi nekrosis

neuronal korteks (lebih lanjut akan terjadi atrofi kortikal) dan cedera iskemik

parasagital. Pada neonatus kurang bulan akan terjadi PVL dan intraventricular

haemorrhage (IVH). Pada neonatus cukup bulan lebih sering terjadi infark fokal
atau multifokal pada korteks yang menyebabkan kejang fokal dan hemiplegia jika

dibandingkan dengan neonatus kurang bulan.4

Gambar 2.1 Patofisiologi HIE14

2.5 Klasifikasi dan Manifestasi Klinik Hypoxic Ischemic Encephalopathy

Janin relatif aman selama dalam kandungan terhadap kontaminasi

mikroorganisme karena terlindung oleh plasenta, selaput amnion, korion, dan

beberapa faktor anti infeksi pada cairan. Tanda hipoksia pada janin dapat

diidentifikasi pada beberapa menit hingga beberapa hari sebelum persalinan.

Retardasi pertumbuhan intrauterin dengan peningkatan tahanan vaskular

merupakan tanda awal hipoksia janin. Asidosis terjadi akibat komponen metabolik

atau respiratorik, terutama pada janin menjelang cukup bulan. Tanda-tanda

hipoksia janin merupakan dasar pemberian oksigen konsentrasi tinggi pada ibu

dan indikasi tindakan terminasi kehamilan untuk mencegah kematian janin atau

kerusakan sistem saraf pusat (SSP).

Air ketuban yang berwarna kuning dan mengandung mekoneum

mengakibatkan distres pada janin. Pada saat lahir, terjadi depresi pernapasan dan
kegagalan pernapasan spontan. Setelah beberapa jam kemudian, neonatus akan

tampak hipotonia atau berubah menjadi hipertonia berat atau tonus tampak

normal.4

Klasifikasi dan manifestasi klinis HIE bervariasi, tergantung derajat cedera

yang terjadi. American Medical Association pada tahun 1976 menerbitkan

modifikasi pembagian HIE menurut Sarnat dan Sarnat pada neonatus cukup bulan

yang sampai sekarang masih dipergunakan.1

Tabel 2. Pembagian HIE pada Neonatus Cukup Bulan

Tanda klinis Derajat 1 Derajat 2 Derajat 3


Tingkat kesadaran  Hyperalert Letargis Stupor
Tonus otot Normal Hipotonik Flaksid
Refleks tendon/klonus Hiperaktif Hiperaktif Tidak ada
Refleks Moro Kuat Lemah Tidak ada
Pupil Midriasis Miosis Tidak sama, refleks
cahaya lemah
Kejang Tidak ada Sering Decerebrate
EEG Normal Voltase rendah Burst supresi sampai
    berubah menjadi isoelektrik
aktivitas kejang
Durasi >24 jam bila 24 jam – 14 hari Beberapa hari hingga
  berkembang, minggu
selain itu dapat
tetap normal
Sumber: Nelson: Ilmu Kesehatan Anak Esensial1

Pucat, sianosis, apnea, bradikardia, dan tidak ada respon terhadap stimulasi

juga merupakan tanda-tanda HIE. Edema serebral berkembang dalam 24 jam,

kemudian menyebabkan depresi batang otak. Selama fase tersebut, sering timbul

kejang yang memberat dan bersifat refrakter dengan pemberian dosis standar obat

antikonvulsan. Selain disebabkan oleh HIE, kejang juga disebabkan oleh

hipokalsemia dan hipoglikemia.


Sebagai tambahan, disfungsi SSP, gagal jantung kongesti dan syok

kardiogenik, hipertensi pulmonal persisten, sindroma distress nafas, perforasi

gastrointestinal, hematuria dan nekrosis tubular akut sering terjadi bersama

dengan asfiksia pada masa perinatal. Setelah persalinan, hipoksia yang terjadi

biasanya disebabkan karena gagal nafas dan insufisiensi sirkulasi.4

2.6 Tatalaksana Hypoxic Ischemic Encephalopathy

Tujuan utama tatalaksana HIE yaitu mengidentifikasi dan mencegah

neonatus yang mempunyai risiko mengalami asfiksia sejak dalam kandungan

hingga persalinannya dengan segera melakukan resusitasi yang meliputi ventilasi,

oksigenasi, perfusi adekuat pada neonatus yang mengalami apnea, dan dilanjutkan

dengan mengoreksi asidosis metabolik, mempertahanakan kadar glukosa dan

kalsium kadar normal. Bila ada kejang maka fenobarbital adalah obat pilihan

dengan dosis awal 20 mg/kgBB, jika diperlukan dapat ditambahkan

10 mg/kgBB hingga 40˗50 mg/kgBB/hari secara intravena. Fenitoin dengan dosis

awal 20 mg/kgBB atau lorazepam 0,1 mg/kgBB dapat digunakan untuk kejang

yang bersifat refrakter. Kadar fenobarbital dalam darah harus dimonitor dalam 24

jam setelah dosis awal dan terapi pemeliharaan dimulai dengan dosis 5

mg/kgBB/hari. Langkah selanjutnya adalah mencegah timbulnya edema serebri

dengan cara mencegah cairan berlebih.4, 7-12

Hipertermia adalah keadaan yang selalu diwaspadai dalam proses

resusitasi dan stabilisasi terhadap neonatus yang mengalami asfiksia. Suhu tubuh

yang tinggi akan mengakibatkan kerusakan pada neuron. Berdasarkan prinsip

tersebut, salah satu terapi yang sangat efektif untuk menangani neonatus dengan

HIE, yaitu cooling therapy. Terapi tersebut berhasil dalam menurunkan angka
mortalitas dan kecacatan.13

Cooling therapy hanya dapat diberikan kepada neonatus dengan gestasi

sama atau lebih dari 36 minggu serta pada neonatus dengan berat badan lahir sama

atau lebih dari 1800 gram dan HIE derajat 2 atau 3. Cooling therapy harus dimulai

dalam 6 jam pertama kehidupan, dengan suhu dipertahankan 33-34⁰C selama 72

jam. Cooling therapy dapat dilakukan dengan menggunakan alat yang canggih

maupun alat yang sederhana. Peralatan teknologi yang canggih dapat berupa

Blanketrol, Criticool, Tecothern, dan Cool cap. Peralatan yang sederhana berupa

passive cooling dan ice gel pack.13,14

2.7 Prognosis Hypoxic Ischemic Encephalopathy

Neonatus yang mengalami HIE mempunyai prognosis yang bervariasi,

neonatus dengan HIE stadium ringan umumnya sembuh total, sedangkan pada

stadium sedang 80% sembuh total, dan 20% sembuh dengan kecatatan bila gejala

menetap hingga 5˗7 hari. Indikator prognosis buruk adalah awitan lambat

pernapasan spontan seperti yang diperkirakan oleh nilai APGAR. Neonatus

dengan nilai APGAR 0 sampai 3 pada menit ke-10 memiliki angka kematian

sebesar 20% dan insidens cerebral palsy sejumlah 5%; apabila nilai APGAR tetap

rendah pada menit ke-20, angka kematian meningkat sampai 60% dan insidensi

cerebral palsy menjadi 57%.1


BAB III
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : By. WY/ Laki-laki

No MR : 998317

Alamat : Jl. Handayani gg Anggrek, Pekanbaru

Agama : Islam

Suku : Minang

Nama Orang tua

Ayah : Tn. R

Ibu : Ny. WY

Tanggal masuk RSUD AA : 11 Oktober 2018 pukul 23.00 WIB

Tanggal masuk IPN : 11 Oktober 2018 pukul 23.05 WIB

Tanggal periksa : 11 Oktober 2018

Tanggal pulang : 08 November 2018

Status pulang : Pulang Hidup

ANAMNESIS

Diberikan oleh : Ibu kandung pasien

Keluhan utama : Gawat napas sejak lahir pada neonatus cukup bulan sesuai

masa kehamilan dari ibu dengan riwayat partus lama (Kala

II memanjang).
Riwayat penyakit sekarang :

Neonatus laki-laki lahir pada tanggal 11 Oktober 2018 pukul 23.00 WIB di

VK Camar RSUD Arifin Achmad secara spontan dan riwayat ketuban pecah dini

4 jam dengan kehamilan G1P0A0H0, dan gestasi 36–38 minggu. Ibu dirujuk dari

Puskesmas Simpang Tiga karena ketuban pecah dini 4 jam, serta keterbatasan

fasilitas kesehatan baik untuk ibu maupun neonatus yang akan dilahirkan. Hasil

pemeriksaan dalam pukul 10.00 WIB menunjukkan pembukaan 3 cm dengan

denyut jantung janin (DJJ) 145 denyut/menit. Ibu sudah mulai kesakitan hebat dan

mulai mengedan meskipun dilarang. Ibu diobservasi di VK Camar sejak pukul

10.45 WIB dan pukul 15.15 WIB pembukaan 5 cm dengan DJJ 153 denyut/menit,

ibu dan janin dalam kondisi baik. Pada pukul 20.00 WIB, pembukaan 10 cm

dengan DJJ 140 denyut/menit. Ibu dipimpin untuk persalinan, namun ibu

kelelahan saat mengedan, kemudian neonatus baru lahir setelah dipimpin

mengedan selama 2 jam 45 menit dan neonatus lahir pukul 23.00 WIB.

Saat lahir, neonatus tidak menangis, tonus otot lemah, neonatus langsung

dibawa ke Instalasi Perawatan Neonatus (IPN) untuk dilakukan resusitasi di infant

warmer sampai VTP 2 siklus. Kemudian dilakukan injeksi vitamin K1 (1 mg)

intramuskular di paha kiri dan diberikan salep mata. Setelah dievaluasi,

didapatkan nilai APGAR 2/3, berat badan lahir 2760 gram. Neonatus merintih,

sianosis, retraksi hebat, didapatkan Downe score 7. Neonatus dipasang NCPAP

didapatkan saturasi oksigen 90-96%, kemudian diletakkan di dalam inkubator.

Sisa ketuban berwarna jernih. Inisiasi menyusui dini (IMD) tidak dilakukan

karena neonatus tidak stabil. Buang air besar dan buang air kecil tidak ada.
Neonatus dirawat di ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU). Hasil

pemeriksaan suhu saat tiba 35,2oC per aksila, kemudian dilakukan pengukuran

gula darah sewaktu (GDS) didapatkan hasil 145 mg/dL, serta dilakukan

pemasangan oral gastric tube (OGT). Setelah 3 jam dirawat di IPN neonatus

kejang seperti mengayuh sepeda selama lebih kurang 20 detik, diberikan sibital 55

mg IV, kemudian kejang berhenti. Hasil pemeriksaan suhu saat usia 6 jam 36,1oC

per aksila. Frekuensi napas tidak teratur, kemudian di lakukan pemasangan

endotracheal tube (ETT) dengan kesimpulan neonatus kemungkinan mengalami

HIE.

Selama minggu pertama, kesadaran neonatus letargi, frekuensi napas tidak

teratur, namun suhu dan nadi stabil. Pada pemeriksaan GDS didapatkan kadar

gula darah stabil yaitu 145 mg/dL, 87 mg/dL, 60 mg/dL, 82 mg/dL, 87 mg/dL

dan 81 mg/dL. Pada hari pertama neonatus dipuasakan atau nothing per oral

(NPO) dan diberikan cairan intravena D10%1/5NS+KCL 5 mg sebanyak 9 cc/jam

dan miloz 2 cc/jam. Selanjutnya dilakukan pemberian susu formula secara

bertahap yaitu 2 cc/3 jam, 10 cc/3jam dan 15 cc/3 jam. Berat badan neonatus

mengalami peningkatan dari 2760 gram menjadi 3352 gram. Pada hari pertama

rawatan, neonatus kejang 2 kali, hari ke˗2 neonatus kejang 1 kali, hari ke˗5

neonatus kejang 1 kali, dan hari ke˗6 rawatan neonatus mengalami kejang

sebanyak 2 kali. Pada pemeriksaan darah rutin didapatkan hasil Hb 19,9 mg/dL,

Ht 58,6%, leukosit 15.310/uL, trombosit 180.000/uL, rasio IT 0,28 dan CRP 6

mg/L dengan hasil analisa gas darah pH 7,45, pCO2 37mmHg, pO2 133 mmHg,

HCO3 26 mmHg, BE 2 dan hasil elektrolit Natrium 125 mmol/L, Kalium 3,8

mmol/L, kalsium 0,97 mmol/L, lactat 3,3 mmol/L sedangkan untuk hasil
pemeriksaan faktor pembekuan darah didapatkan hasil PT 20,8 detik, APTT 42,4

detik dan INR 1,72. Tatalaksana selanjutnya adalah pemberian antibiotik lini

pertama yaitu Bactesyn 200 mg/12 jam dan Mikasin 20 mg/12 jam Sibital 15

mg/12 jam serta transfusi fresh frozen plasma.

Pada awal minggu kedua, kesadaran neonatus letargi, suhu, frekuensi

pernapasan, dan nadi stabil. Neonatus kembali mengalami kejang, kemudian

diberikan sibital 15 mg/12 jam dan piracetam 400 mg/12 jam. Neonatus diberikan

cairan intravena D10% 1/5NS +KCL5 mg, AS 10% 3g, dan milos 1 cc/jam.

Kemudian, neonatus mendapatkan susu formula 15 cc/3jam. Berat badan neonatus

menurun dari 3478 gram menjadi 3115 gram. Pada pemeriksaan darah rutin

didapatkan hasil Hb 16,7 mg/dL, Ht 50,5%, leukosit 9.630/uL,

trombosi399.000/uL, rasio IT 0,19, CRP 48 dan pemeriksaan kultur darah yang

hasilnya menunggu beberapa hari. Pasien mendapatkan terapi yaitu Mikasin 20

mg/12 jam dan Bactesyn 200 mg/12 jam. Pada akhir minggu kedua GDS pada

pasien stabill yaitu 74 mg/dL, 70 mg/dL, 79 mg/dL, dan 70 mg/dL. Hasil kultur

darah didapatkan hasil yaitu steril. Tatalaksana selanjutnya yaitu penghentian

pemberian bactesyn 200mg/12 jam dan dilanjutkan Meropenem 120 mg/8 jam,

dilanjutkan dengan pemberian Neurotam 400 mg/8jam.

Pada minggu ketiga, kesadaran neonatus letargi, dengan keadaan suhu,

frekuensi pernapasan, nadi, dan GDS stabil. Neonatus mendapatkan susu formula

yang diberikan secara bertahap yang dimulai dari 40 cc/3 jam, 60 cc/3 jam, 70

cc/3 jam, 90 cc/3 jam, dan 100 cc/3jam sehingga berat badan neonatus mengalami

peningkatan dari 3115 gram menjadi 3230 gram. Kultur darah kedua didapatkan

hasil steril. Pemberian Meropenem 120 mg/8 jam dan Mikasin 20 mg /12 jam
dihentikan dan dilanjutkan dengan Sibital oral 15 mg/12 jam, Neurotam oral 4

ml/12 jam, dan Depaken oral 1 ml/12 jam. Pada akhir minggu ketiga, neonatus

dipindahkan dari NICU ke SCN.

Keadaan neonatus pada minggu keempat semakin membaik. Kesadaran

alert keadaan suhu, frekuensi pernapasan, nadi dan GDS dalam batas normal.

Neonatus mendapatkan susu formula 90cc/3jam dan berat badan neonatus juga

mengalami peningkatan dari 3230 gram menjadi 3410 gram. Terapi pada neonatus

yaitu pemberian Neurotam oral 4 ml/12 jam dan Depaken oral 1 ml/12 jam. Ibu

melakukan perawatan metode kangguru (PMK) selama jam kunjung. Neonatus

dipulangkan pada usia 28 hari dalam keadaan sadar, suhu tubuh stabil, dan GDS

dalam batas normal.

Setelah dilakukan follow up tanggal 14 November 2018 dengan ibu dari

pasien melalui telepon, yaitu saat neonatus usia 1 bulan 6 hari atau 6 hari setelah

rawatan di RSUD Arifin Achmad, neonatus dalam kondisi sehat. Imunisasi

neonatus hanya Hepatitis B yang diberikan di RSUD Arifin Achmad saat pulang.

Asupan yang diberikan sampai saat ini adalah susu formula SGM 150 mg untuk

usia 0-6 bulan sebanyak 90 cc per 3 jam dan menghabiskan 6 kotak susu formula

SGM 150 mg perminggu. Neonatus kontrol ke poliklinik anak pada tanggal 19

November 2018, berat badan saat kontrol 3510 gr, namun pasien belum pernah

kontrol ke rehabilitasi medik.

Riwayat kehamilan (Ante Natal Care):

Ibu P1A0H1 dengan riwayat partus lama. Ibu mengingat hari pertama haid

terakhir (HPHT) yaitu tanggal 5 Januari 2018 dan taksiran usia kehamilan 37–38

minggu berdasarkan ultrasonography (USG) di RSUD Arifin Ahmad. Kelainan


fisik ibu tidak ditemukan, tekanan darah 120/80 mmHg, denyut jantung 92

denyut/menit, frekuensi napas 22 kali/menit, berat badan selama hamil 46 kg dan

tinggi badan 153 cm. Ibu melakukan antenatal care (ANC) sebanyak 3 kali

dibidan, dikatakan janin dalam keadaan baik. Tekanan darah ibu yaitu 120/80

mmHg dan tidak memiliki riwayat darah tinggi. Ibu memiliki riwayat keputihan

berwarna putih kekuningan, gatal, tidak berbau dan tidak diobati sejak awal

kehamilan. Ibu tidak pernah melakukan perawatan payudara, konsultasi gizi dan

tidak pernah menggunakan KB. Setelah neonatus dilahirkan, plasenta lahir

lengkap dengan monokorioamniotik dan kontraksi uterus baik.

Riwayat orangtua :

- Ibu usia 21 tahun, pendidikan terakhir SMA, seorang ibu rumah tangga,

penghasilan tidak ada, dan asuransi JAMKESDA.

- Ayah usia 23 tahun, pendidikan terakhir Sarjana, seorang swasta,

penghasilan ±1,5 juta rupiah per bulan dan asuransi JAMKESDA.

Hal-hal penting dari anamnesis ibu:

Ibu dengan primigravida, riwayat ANC 3 kali, riwayat keputihan sejak awal

kehamilan namun tidak diobati, dan proses persalinan primigravida yang lama

ditandai dengan kala II lebih dari 2 jam.

Hal-hal penting dari pemeriksaan neonatus:

Neonatus, laki-laki dengan usia berdasarkan Ballad score 36−38 minggu, nilai

APGAR 2/3, Downe score 7, berat badan lahir 2760 gram, GDS 145 mg/dL,

neonatus mengalami kejang sebanyak 1 kali saat usia 3 jam dan usia 6 jam.
Diagnosis neonatus:

1. NCB (36−38minggu) - SMK - BBLC (2760 gram)

2. Hypoxic Ischemic Encephalopaty (HIE) grade III

3. Hipotermia

Prognosis:

Quo ad vitam : Dubia ad malam

Quo ad functionam : Dubia ad malam


Minggu I
Tanda-tanda GDS Toleransi Asupan Cairan Berat Badan Pemeriksaan Terapi
vital (TTV) Minum Penunjang
Kesadaran letargi, Stabil = 145 Nothing per oral Susu formula D10% 1/5NS 2760 gram Hb 19,9 mg/dL, Ht 58,6%, Bactesyn 200
frekuensi napas mg/dl. (NPO) = usia hari 2cc/3 jam, +KCL5 mg, −>3352 gram leukosit 15.310/uL, mg/12 jam,
tidak stabil, suhu, ke-1 10cc/3jam dan 15 AS 10% 3 gr trombosit 180.000/uL, MIikasin 20 mg/12
dan nadi stabil cc/3 jam rasio IT 0,28 dan CRP 6 jam, Sibital 15
Kejang sebanyak 6 mg/L , PT 20.8 detik, mg/12 jam.
kali APTT 42,4 detik dan INR Transfusi FFP
1,72

Minggu II
Tanda-tanda GDS Toleransi Asupan Cairan Berat Badan Pemeriksaan Terapi
vital (TTV) Minum Penunjang
Kesadaran GDS stabil Baik Susu formula 15 D10% 1/5NS 3478 gram - Hb 16,7 mg/dL, Ht Meropenem 120
neonatus letargi, cc/3jam +KCL5 mg, −>3115 gram 50,5%, leukosit 9.630/uL, mg/8 jam
namun suhu, AS 10% 3 gr trombosi399.000/uL, Mikasin 20 mg/12
frekuensi rasio IT 0,19, CRP 48 jam, Sibital 15
pernapasan, nadi mg/12 jam.
- Hasil kultur keluar
stabil. Kejang Neurotam
Steril
sebanyak 1 kali. 400mg/8jam
Minggu III

Tanda-tanda GDS Toleransi Asupan Cairan Berat Badan Pemeriksaan Terapi


vital (TTV) Minum Penunjang
Kesadaran GDS stabil Baik 40 cc/3 jam, 60 D10% 1/5NS 3115 gram Sibital 15 mg/12
neonatus alert, cc/3 jam, 70 cc/3 +KCL5 mg −>3230 gram. Hasil kultur II Steril jam.
dengan keadaan jam, 90 cc/3 jam, Neurotam
suhu, frekuensi dan 100 cc/3jam 400mg/8jam
pernapasan, nadi
stabil.

Minggu IV
Tanda-tanda GDS Toleransi Asupan Cairan Berat Badan Pemeriksaan Terapi
vital (TTV) Minum Penunjang
Kesadaran GDS stabil Baik 90 cc/3 jam ˗ 3230 gram ˗ Neurotam
neonatus alert, −>3410 gram. 400mg/8jam.
dengan keadaan Depaken oral 1
suhu, frekuensi ml/12 jam.
pernapasan, nadi
stabil.
BAB IV
PEMBAHASAN

Neonatus laki-laki dari ibu primigravida (P1), usia 5 menit lahir cukup

bulan sesuai masa kehamilan, berdasarkan Ballard score sesuai maturitas 36−38

minggu, berat badan neonatus 2760 gram, dengan nilai APGAR 2/3 dan Downe

score 8 yang menunjukkan bahwa neonatus menderita asfiksia berat.16,17

Ibu dirujuk dari Puskesmas Simpang Tiga ke RSUD Arifin Achmad

karena ibu primigravida dengan ketuban pecah dini 4 jam, serta keterbatasan

fasilitas kesehatan baik untuk ibu maupun neonatus yang akan dilahirkan. Hasil

“pemeriksaan dalam” saat tiba di RSUD Arifin Achmad menunjukkan pembukaan

3 cm dan setelah 10 jam perawatan pembukaan sudah mencapai 10 cm, sehingga

dapat disimpulkan bahwa kala I terjadi lebih kurang 13 jam yang dalam hal ini

normal untuk primigravida. Namun, ibu sudah mulai mengedan kuat sejak kala I

fase laten dan ibu sudah kelelahan selama kala II sehingga proses ekspulsif janin

terjadi 2 jam 45 menit yang seharusnya neonatus lahir 2 jam setelah pembukaan

lengkap. Proses persalinan ibu tergolong partus lama karena proses kala II

memanjang.15 Proses persalinan tersebut yang menjadi fakrtor risiko HIE pada

kasus ini.

Diagnosis HIE ditegakkan dari faktor risiko dan gejala yang ditemukan

pada kasus ini yaitu nilai APGAR 2/3, serta manifestasi gangguan neurologi yaitu

kejang 1 kali saat usia 3 jam, sehingga dapat di simpulkan neonatus menderita

HIE grade III. Kemudian dari hasil pemeriksaan laboraturium didapatkan hasil

darah rutin dan analisa gas darah (AGD) dalam batas normal, sedangkan

pemeriksaan elektrolit menunjukkan hiponatremi yang menjadi salah satu faktor


penyebab kejang yang memperberat kondisi HIE. Pengobatan sibital pada pasien

ini pernah dihentikan pada hari ke 5 rawatan karena pasien dalam kondisi bebas

kejang selama 3 hari, namun kejang kembali timbul sehingga pemberian

pengobatan sibital 15 mg/12 jam tetap di lanjutkan sampai 1 minggu sebelum

pulang. Pada minggu ketiga, pasien di pindahkan ke SCN, dengan pengobatan

Sibital oral 15 mg/12 jam dan Neurotam oral 4 ml/12 jam.

Tatalaksana umum pada neonatus ini seharusnya dilakukan cooling

therapy karena sudah memenuhi kriteria untuk dilakukannya cooling therapy,

namun tidak dilakukan karena ketidaktersediaan alat di IPN RSUD Arifin

Achmad,13,14 tetapi neonatus selama 2 hari hanya mencapai suhu batas bawah

normal. Prognosis pada kasus ini tergolong dalam kategori sedang dengan

kemungkinan neonatus akan sembuh dengan kecacatan karena gelaja HIE masih

ditemukan setelah 5˗7 hari.

Neonatus pulang saat usia 28 hari, kenaikan berat badan dari awal masuk

hingga pulang adalah sebesar 650 gram yang seharusnya maksimal 840 gram, hal

ini tidak sesuai dengan kenaikan berat badan perhari secara maksimum

berdasarkan World Health Organization (WHO) yaitu 30 gram perhari.18

Edukasi yang diberikan pada ibu saat neonatus dibolehkan pulang yaitu

melakukan kontrol rutin ke poli anak untuk mengetahui pencapaian tumbuh

kembang, mendapatkan rehabilitasi medik, serta mendapatkan imunisasi yang

sesuai jadwal.

Neonatus sudah melakukan kontrol pada tanggal 19 November 2018 (usia

38 hari) di poli anak RSUD Arifin Achmad dalam keadaan masih terpasang sonde

lambung, berat badan 3510 gram (kenaikan 100 gram dalam 10 hari), dengan
keluhan sering muntah bila diberikan susu formula sebanyak 90 cc tiap 3 jam,

sehingga berat badan tidak naik secara maksimal.


DAFTAR PUSTAKA
1. Ambalavanan N, Carlo WA. Hypoxic-ischemic encephalopathy. Dalam:
Kliegman RM, Stanton BF, St GemeIII JW, Schor NF, Behrman RE,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-20. Philadelphia:
Elsevier;2015.h.838-42.
2. Dharmasetiawani N. Asfiksia dan resusitasi bayi baru lahir. Dalam: Kosim
MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A, penyunting. Buku ajar
neonatologi. Edisi pertama. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2012.h.103-25.
3. Levene M,Evans DJ. Hypoxic-ischemic brain injury. Dalam: Rennie JM
eds. Roberton's Textbook of Neonatology. Edisi 4. Philadelphia: Elsevier;
2005.h1128-48
4. Hill A. Neurological and neuromuscular disorders. Dalam: MacDonald
MG eds. Avery’s neonatology patophysiology & management of
newborn.Edisi ke- 6. Philadelphia, Lippincott Williams & Walkins; 2005.
h.536-55.
5. Utomo MT, Etika R, Harianto A, Indarso F, Damanik SM. Ensefalopati
hipoksik iskemik perinatal (perinatal hypoxic ischemic encephalopathy).
Dalam: Naskah lengkap Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak
XXXVI. Surabaya: IDAI; 2006. Diunduh dari:
http://www.pediatrik.com/pkb/20060220-rle3yn-pkb.pdf
6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pencegahan dan
penatalaksanaan asfiksia neonatorum. Jakarta: DEPKES RI; 2008.h.6-8.
7. Cordes I, Roland EH, Lupton BA, et al. Early prediction of the
development of microcephaly after hypoxic-ischaemic encephalopathy in
the full term newborn; 1994: 93-703.
8. Aurora S, Snyder EY. Perinatal asphyxia. In: Cloherty JP, Eichenwald EC,
Stark AR eds. Manual of neonatal care 5th ed. Philadelphia, Lippincott
Williams & Wilkins, 2004; 536-55.
9. Volpe JJ. Hypoxic-ischemic encephalopathy. In:Volpe J.J.eds. Neurology
of the newborn 4thed.Philadelphia:WB.Saunders Co, 2001;217-394.
10. Rahma AS. Analisis faktor risiko kejadian asfiksia pada bayi baru lahir di
RSUD Yusuf Gowa dan RSUP Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar 2013.
Jurnal Kesehatan. Vol. VII(1);2014:277-86.
11. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Perinatal
asphyxia.In:Gomella TL,Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE eds.
Neonatology management, procedures, on-call problems, diseases, and
drugs 5th ed. New York, Lange Medical Books/McGraw-Hill, 2004; 208-
11.
12. Stoll BJ, Kliegman RM.Nervous system disorders. In: Behrman RE,
Kliegman RM Jenson HB eds. Nelson textbook of pediatrics 17th ed.
Philadelphia, WB Saunders Co. 2004; 559˗68.
13. Karsel K. The S.T.A.B.L.E program. Guidline for neonatal healthcare
providers. 6 th ed. 2013:84˗91.
14. National Neonatology Forum of India. Manual on therapeutic
hypothermia for perinatal asphyxia. Delhi: NNF Publication; 2017: 35˗40
15. Mose JC, Alamsyah M. Persalinan lama. dalam: Prawirohardjo S
penyunting. Ilmu kebidanan. Edisi ke-4. Jakarta: PT.Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo; 2010: 562˗80
16. World Health Association. International statistical classification of
diseases and related health problem 10th revision (ICD˗10). version for
2010. Available from : URL http://apps
.who.int/classifications/icd10/browse/2010/ en#/p21.
17. American Academy of Pediatrics Comittee on Fetus and Newborn and
American College of Obstetrics and Gynecologists Comitte on Obstetrics.
Practice: use and abuse of the APGAR score. 1996(98):141˗2.
18. World Health Organization. Global strategy for infant and young child
feeding: the optimal duration of exlusive breastfeeding. Ganeva: World
Heakth Organization; 2005.

Anda mungkin juga menyukai