LP Diabetic Foot
LP Diabetic Foot
Oleh:
190070300011032
Kelompok 3
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Definisi
B. Klasifikasi
Ada berbagai macam klasifikasi kaki diabetik yaitu salah satunya klasifikasi
Wagner, yang lebih banyak digunakan adalah yang dianjurkan oleh International
Working Group On Diabetik Foot karena dapat menentukan kelainan apa yang lebih
dominan yakni vaskular, infeksi dan neuropati, sehingga arah pengelolaan dalam
pengobatan dapat tertuju dengan baik, namun pada penelitian ini klasifikasi yang
digunakan adalah klasifikasi berdasarkan Wagner.
C. Epidemiologi
D. Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya kaki diabetik dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu:
1. Usia
Penelitian di Amerika Serikat yang melaporkan bahwa persentase kaki diabetik
paling tinggi pada usia ≥45 tahun. Tubuh mengalami banyak perubahan terutama
pada organ pankreas yang memproduksi insulin dalam darah pada usia ≥45 tahun,
kejadian kaki diabetik sangat tinggi pada usia ini karena fungsi tubuh secara fisiologis
menurun.
Pada usia tua fungsi tubuh secara fisiologis menurun karena proses aging terjadi
sehingga penurunan sekresi atau resistensi insulin dan kemampuan fungsi tubuh
terhadap pengendalian glukosa darah yang tinggi kurang optimal serta menyebabkan
penurunan sekresi atau resistensi insulin yang mengakibatkan timbulnya
makroangiopati, yang akan mempengaruhi penurunan sirkulasi darah yang salah
satunya pembuluh darah besar atau sedang pada tungkai yang lebih mudah untuk
terjadinya kaki diabetik.
2. Jenis Kelamin
Penelitian menyebutkan bahwa prevalensi diabetes melitus secara keseluruhan
lebih banyak terjadi pada wanita dibanding pria. Penyebab perbedaan prevalensi kaki
diabetik diantara pria dan wanita dapat disebabkan oleh : faktor hormonal (adanya
hormon estrogen pada wanita yang dapat mencegah komplikasi vaskuler yang
berkurang seiring bertambahnya usia), perbedaan kebiasaan hidup seperti kebiasaan
merokok dan konsumsi alkohol pada laki- laki.
3. Lama Menderita Diabetes Mellitus
Kaki diabetik terutama terjadi pada penderita diabetes melitus yang telah
menderita 10 tahun atau lebih dengan kadar glukosa darah tidak terkendali yang
menyebabkan munculnya komplikasi yang berhubungan dengan vaskuler sehingga
mengalami makroangiopati-mikroangiopati yang akan terjadi vaskulopati dan neuropati
yang mengakibatkan menurunnya sirkulasi darah dan adanya robekan/luka pada kaki
penderita diabetik yang sering tidak dirasakan.
4. Obesitas
Obesitas adalah penumpukan lemak di badan secara abnormal atau berlebihan
yang dapat mengganggu kesehatan seseorang, dikatakan obesitas apabila Indeks
Massa Tubuh (IMT) ≥ 23 untuk wanita dan IMT ≥ 25 untuk laki- laki. Hal ini akan
membuat resistensi insulin yang menyebabkan aterosklerosis, sehingga terjadi
gangguan sirkulasi darah pada kaki yang dapat menyebabkan terjadinya kaki diabetik.
5. Hipertensi
Hipertensi (TD >130/80mmHg) pada penderita diabetes melitus karena adanya
viskositas darah yang tinggi akan berakibat menurunnya aliran darah sehingga terjadi
defisiensi vaskuler, selain itu hipertensi dengan tekanan >130/80mmHg dapat
merusak atau mengakibatkan lesi pada endotel pembuluh darah. Kerusakan pada
endotel akan berpengaruh terhadap makroangiopati melalui proses adhesi dan
agregasi trombosit yang berakibat vaskuler defisiensi sehingga dapat terjadi hipoksia
pada jaringan yang akan mengakibatkan terjadinya ulkus.
6. Kebiasaan Merokok
Merokok merupakan faktor kuat menyebabkan penyakit arteri perifer yang mana
sudah dibuktikan berhubungan dengan kaki diabetik. Nikotin yang dihasilkan dari
rokok akan menempel pada dinding pembuluh darah sehingga menyebabkan
insufisiensi dari aliran pembuluh darah ke arah kaki yaitu arteri dorsalis pedis, poplitea
dan tibialis menjadi menurun.
7. Riwayat Ulserasi pada Kaki
Riwayat ulserasi yang ditandai dengan luka terbuka pada permukaan kulit,
nekrosis jaringan karena gangguan peredaran darah ke organ perifer ditandai dengan
menurunnya pulsasi arteri dorsalis pedis dan neuropati ditandai dengan menurunnya
sensasi rasa pada penderita diabetes melitus tipe 2.
E. Manifestasi Klinis
1. Pemeriksaan Fisik
Melakukan penilaian ulkus kaki merupakan hal yang sangat penting karena
berkaitan dengan keputusan dalam terapi. Pemeriksaan fisik diarahkan untuk
mendapatkan deskripsi karakter ulkus, menentukan ada tidaknya infeksi,
menentukan hal yang melatarbelakangi terjadinya ulkus (neuropati, obstruksi
vaskuler perifer, trauma atau deformitas), klasifikasi ulkus dan melakukan
pemeriksaan neuromuskular untuk menentukan ada/ tidaknya deformitas, adanya
pulsasi arteri tungkai dan pedis.
Deskripsi ulkus DM paling tidak harus meliputi; ukuran, kedalaman, bau, bentuk
dan lokasi. Penilaian ini digunakan untuk menilai kemajuan terapi. Pada ulkus yang
dilatarbelakangi neuropati ulkus biasanya bersifat kering, fisura, kulit hangat, kalus,
warna kulit normal dan lokasi biasanya di plantar tepatnya sekitar kaput metatarsal
I-III, lesi sering berupa punch out. Sedangkan lesi akibat iskemia bersifat sianotik,
gangren, kulit dingin dan lokasi tersering adalah di jari. Bentuk ulkus perlu
digambarkan seperti; tepi, dasar, ada/tidak pus, eksudat, edema atau kalus.
Kedalaman ulkus perlu dinilai dengan bantuan probe steril. Probe dapat membantu
untuk menentukan adanya sinus, mengetahui ulkus melibatkan tendon, tulang atau
sendi. Berdasarkan penelitian Reiber, lokasi ulkus tersering adalah di permukaan
jari dorsal dan plantar (52%), daerah plantar (metatarsal dan tumit: 37%) dan
daerah dorsum pedis (11%).
Sedangkan untuk menentukan faktor neuropati sebagai penyebab terjadinya
ulkus dapat digunakan pemeriksaan refleks sendi kaki, pemeriksaan sensoris,
pemeriksaan dengan garpu tala, atau dengan uji monofilamen. Uji monofilamen
merupakan pemeriksaan yang sangat sederhana dan cukup sensitif untuk
mendiagnosis pasien yang memiliki risiko terkena ulkus karena telah mengalami
gangguan neuropati sensoris perifer. Hasil tesdikatakan tidak normal apabila pasien
tidak dapat merasakan sentuhan nilon monofilamen. Bagian yang dilakukan
pemeriksaan monofilamen adalahdi sisi plantar (area metatarsal, tumit dan dan di
antara metatarsal dan tumit) dan sisi dorsal.
Ankle brachial index (ABI) merupakan pemeriksaan non-invasif untuk
mengetahui adanya obstruksi di vaskuler perifer bawah. Pemeriksaan ABI sangat
murah, mudah dilakukan dan mempunyai sensitivitas yang cukup baik sebagai
marker adanya insufisiensi arterial. Pemeriksaan ABI dilakukan seperti kita
mengukur tekanan darah menggunakan manset tekanan darah, kemudian adanya
tekanan yang berasal dari arteri akan dideteksi oleh probe Doppler (pengganti
stetoskop). Dalam keadaan normal tekanan sistolik di tungkai bawah (ankle) sama
atau sedikit lebih tinggi dibandingkan tekanan darah sistolik lengan atas (brachial).
Pada keadaan di mana terjadi stenosis arteri di tungkai bawah maka akan terjadi
penurunan tekanan. ABI dihitung berdasarkan rasio tekanan sistolik ankle dibagi
tekanan sistolik brachial. Dalam kondisi normal, harga normal dari ABI adalah >0,9,
ABI 0,71–0,90 terjadi iskemia ringan, ABI 0,41–0,70 telah terjadi obstruksi vaskuler
sedang, ABI 0,00–0,40 telah terjadi obstruksi vaskuler berat.
2. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan untuk menegakkan diagnosis
secara pasti adalah dengan melakukan pemeriksaan lengkap yakni pemeriksaan
CBC (Complete BloodCount), pemeriksaan gula darah, fungsi ginjal, fungsi hepar,
elektrolit.
Untuk menentukan patensi vaskuler dapat digunakan beberapa pemeriksaan
non invasif seperti; (ankle brachial index/ ABI) yang sudah dijelaskan pada
pemeriksaan fisik. Pemeriksaan lainnya ialah transcutaneous oxygen tension
(TcP02), USG color Doppler atau menggunakan pemeriksaan invasif seperti; digital
subtraction angiography (DSA), magnetic resonance angiography (MRA) atau
computed tomography angoigraphy (CTA).
Apabila diagnosis adanya penyakit obstruksi vaskuler perifer masih diragukan,
atau apabila direncanakan akan dilakukan tindakan revaskularisasi maka
pemeriksaan digital subtraction angiography, CTA atau MRA perlu dikerjakan. Gold
standard untuk diagnosis dan evaluasi obstruksi vaskuler perifer adalah DSA.
Pemeriksaan DSA perlu dilakukan bila intervensi endovascular menjadi pilihan
terapi. Pemeriksaan foto polos radiologis pada pedis juga penting untuk
mengetahui ada tidaknya komplikasi osteomielitis. Pada foto tampak gambaran
destruksi tulang dan osteolitik
G. Penatalaksanaan
1. Debridemen
Tindakan debridemen merupakan salah satu terapi penting pada kasus kaki
diabetika. Debridemen dapat didefinisikan sebagai upaya pembersihkan benda asing
dan jaringan nekrotik pada luka. Luka tidak akan sembuh apabila masih didapatkan
jaringan nekrotik, debris, kalus, fistula/rongga yang memungkinkan kuman
berkembang. Setelah dilakukan debridemen luka harus diirigasi dengan larutan
garam fisiologis atau pembersih lain dan dilakukan dressing (kompres). Ada
beberapa pilihan dalam tindakan debridemen, yaitu debridemen mekanik, enzimatik,
autolitik, biologik, dan debridement bedah. Debridemen mekanik dilakukan
menggunakan irigasi luka cairan fisiolofis, ultrasonic laser, dan sebagainya, dalam
rangka untuk membersihkan jaringan nekrotik. Debridemen autolitik terjadi secara
alami apabila seseorang terkena luka. Proses ini melibatkan makrofag dan enzim
proteolitik endogen yang secara alami akan melisiskan jaringan nekrotik. Secara
sintetis preparat hidrogel dan hydrocolloid dapat menciptakan kondisi lingkungan
yang optimal bagi fagosit tubuh dan bertindak sebagai agent yang melisiskan
jaringan nekrotik serta memacu proses granulasi. Belatung (Lucilla serricata) yang
disterilkan sering digunakan untuk debridemen biologi. Tujuan debridemen bedah
adalah untuk:
Pada saat seseorang berjalan maka kaki mendapatkan beban yang besar.
Pada penderita diabetes melitus yang mengalami neuropati permukaan plantar kaki
mudah mengalami luka atau luka menjadi sulit sembuh akibat tekanan beban tubuh
maupun iritasi kronis sepatu yang digunakan. Metode off loading yang sering
digunakan adalah: mengurangi kecepatan saat berjalan kaki, istirahat (bed rest),
kursi roda, alas kaki, removable cast walker, total contact cast, walker, sepatu boot
ambulatory. Total contact cast merupakan metode off loading yang paling efektif
dibandingkan metode yang lain. TCC dirancang mengikuti bentuk kaki dan tungkai,
dan dirancang agar tekanan plantar kaki terdistribusi secara merata. Telapak kaki
bagian tengah diganjal dengan karet sehingga memberikan permukaan rata dengan
telapak kaki sisi depan dan belakang (tumit).
3. Perawatan Luka
5. Tindakan Bedah
Jenis tindakan bedah pada kaki diabetika tergantung dari berat ringannya
ulkus diabetes melitus. Tindakan bedah dapat berupa insisi dan drainage,
debridemen, amputasi, bedah revaskularisasi, bedah plastik atau bedah profilaktik.
Intervensi bedah pada kaki diabetika dapat digolongkan menjadi empat kelas I
(elektif), kelas II (profilaktif), kelas III (kuratif) dan kelas IV (emergency). Tindakan
elektif ditujukan untuk menghilangkan nyeri akibat deformitas, seperti pada kelainan
spur tulang, hammer toes atau bunions. Tindakan bedah profilaktif diindikasikan
untuk mencegah terjadinya ulkus atau ulkus berulang pada pasien yang mengalami
neuropati. Prosedur rekonsktuksi yang dilakukan adalah melakukan koreksi
deformitas sendi, tulang atau tendon. Tindakan bedah kuratif diindikasikan bila ulkus
tidak sembuh dengan perawatan konservatif. Contoh tindakan bedah kuratif adalah
bila tindakan endovaskular (angioplasti dengan menggunakan balon atau
atherektomi) tidak berhasil maka perlu dilakukan bedah vaskular. Osteomielitis kronis
merupakan indikasi bedah kuratif. Pada keadaan ini jaringan tulang mati dan jaringan
granulasi yang terinfeksi harus diangkat, sinus dan rongga mati harus dihilangkan.
Pada ulkus terinfeksi superfisial tindakan debridement dilakukan dengan tujuan
untuk: drainage pus, mengangkat jaringan nekrotik, membersihkan jaringan yang
menghambat pertumbuhan jaringan, menilai luasnya lesi dan untuk mengambil
sampel kultur kuman. Tindakan amputasi dilakukan bila dijumpai adanya gas
gangren, jaringan terinfeksi, untuk menghentikan perluasan infeksi, mengangkat
bagian kaki yang mengalami ulkus berulang.
H. Komplikasi
Komplikasi berat dari infeksi kaki pada pasien diabetes melitus adalah
fasciitis nekrotika dan gas gangren. Pada keadaan demikian diperlukan tindakan
bedah emergensi berupa amputasi. Amputasi bertujuan untuk menghilangkan kondisi
patologis yang mengganggu fungsi, penyebab kecacatan atau menghilangkan
penyebab yang dapat mengancam jiwa sehingga rehabilitasi kemudian dapat
dilakukan. Indikasi amputasi pada kaki diabetika:
I. Pencegahan
Hipertensi
Viskositas darah meningkat
Memicu reaksi autoimun pada pankreas Gangguan toleransi glukosa
- Nyeri abdomen
- Mual dan muntah Terjadi glukoneogenesis Gangren
- Hiperventilasi
- Nafas bau keton Ulkus diabetik
Glukosa menumpuk dalam darah
Kematian MK : Ketidakseimbangan
kadar glukosa darah
Diabetes Mellitus
DM Tipe 1 DM Tipe 2
- Reaksi Autoimun - Idiopatik, usia, genetik, dll
- Sel beta pancreas hancur - Jumlah sel pancreas menurun
Poliuria /banyak kencing Kerusakan arteri koroner Penyumbatan pembuluh Ginjal tidak dapat Glukosa dalam Kerusakan
jantung darah otak mereabsorbsi glukosa darah (sorbitol) pembuluh darah
Elektrolit tubuh berkurang tertimbun di lensa kapiler mata
melalui urin (natrium, klorida, Penyakit jantung koroner Penurunan aliran oksigen ke Glukosa masuk ke mata
sodium) otak urin Suplai nutrisi dan
Penurunan suplai oksigen Pembentukan oksigen menurun
Merangsang rasa haus dan nutrisi ke otot jantung Penurunan kesadaran Glikosuria katarak
Iskemia pada mata
Minum terus menerus Iskemia miokard MK : Ketidakefektifan Kerusakan MK : Gangguan
perfusi jaringan otak glomerulus ginjal sensori persepsi
Peningkatan asupan cairan Infark miokard Retinopati
(penglihatan)
Glomerulosklerosis
Polidipsia Daya ejeksi otot jantung Kebutaan
berkurang
MK : Ketidakefektifan Nefropati
perfusi jaringan perifer MK : Resiko
MK : Kekurangan volume Penurunan cardiac output cedera
cairan Resiko gagal ginjal
Penurunan aliran oksigen ke kronis
Akral dingin dan pucat
pembuluh darah perifer
MK : Ketidakseimbangan
elektrolit
KONSEP DASAR KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Pengumpulan data
Pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan membantu dalam menentukan
status kesehatan dan pola pertahanan penderita , mengidentifikasikan, kekuatan
dan kebutuhan penderita yang dapt diperoleh melalui anamnese, pemeriksaan fisik,
pemerikasaan laboratorium serta pemeriksaan penunjang lainnya.
2. Anamnese
a. Identitas penderita
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat,
status perkawinan, suku bangsa, nomor register, tanggal masuk rumah sakit
dan diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
Adanya rasa kesemutan pada kaki / tungkai bawah, rasa raba yang menurun,
adanya luka yang tidak sembuh – sembuh dan berbau, adanya nyeri pada
luka.
c. Riwayat kesehatan sekarang
Berisi tentang kapan terjadinya luka, penyebab terjadinya luka serta upaya
yang telah dilakukan olrh penderita untuk mengatasinya.
d. Riwayat Kesehatan Dahulu
Adanya riwayat penyakit DM atau penyaki-penyakit lain yang ada kaitannya
dengan defisiensi insulin misalnya penyakit pankreas. Anya riwayat penyakit
jantung, obesitas, maupun arterosklerosis, tindakan medis yang pernah di
dapat maupun obat-obatan yang biasa digunakan oleh penderita
e. Riwayat kesehatan keluaraga
Dari genogram keluarag biasanya terdapat salah satu anggota keluarga yang
juga menderita DM atau penyakit keturunan yang dapat menyebabkan
terjadinya defisiensi insuli misal hipertensi, jantung.
f. Riwayat Psikososial
Meliputin informasi mengenai prilaku, perasaan dan emosi yang dialami
penderita sehubungan dengan penyakitnya serta tanggapan keluarag terhadap
penyakit penderita.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Status kesehatan umum
Meliputi keadaan penderita, kesadara, suara bicara, tinggi badan, berat badan
dan tanda-tanda vital.
b. Kepala dan leher
Kaji bentuk kepala, keadaan rambut, adakah pembesaran pada leher, telinga
kdang-kadang berdenging, adakah gangguan pendengaran, lidah serinng terasa
tebal, ludah menjadi lebih kental, gigi mudah goyah, gusi mudah bengkak dan
berdarah, apakah penglihatan kabur/ganda diplopia lensa mata keruh.
c. Sistem integumenrgor kulit menurun, adanya luka atau warna kehitaman bekas
luka, kelembababn dan suhu kulit di daerah ulkus dan gangren kemerahan pada
kulit sekitar luka, tekstur rambut dan kuku.
d. Sistem pernafasan
Adakah sesak nafas, batuk, sputum, nyeri dada. Pada penderita DM mudah
terjadi infeksi.
e. Sistem kardiovaskuler
Perfusi jaringan menurun, nadi perifer lemah atau berkurang,
takikardi/bradikardi, hipertensi/hipotensi, aritmia, kardiomegalis.
g. Sistem urinary
Poliuri, retensio urine, inkontinensia urine, rasa panas atau sakit saatberkemih.
h. Sistem muskuloskeletal
Penyebaran lemak, penyebaran masa otot, perubahan TB, cepat lelah, lemah
dan nyeri, adanya gangren di ekstrimitas.
i. Sistem neurologis
Terjadi sensoris, parasthesia, anastesia, letargi, mengantuk, reflek lambat,
kacau mental, disorientasi.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Adapun diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien gangren kaki diabetik
adalah sebagai berikut :
1. Risiko Ketidakstabilan kadar glukosa darah b.d status kesehatan klien (penyakit
DM) ditandai dengan peningkatan glukosa darah, polifagi, poliuri dan polidipsi
2. Hipervolemia berhubunagn dengan dengan gangguan mekanisme regulasi
ditandai dengan edema , kadar HB turun.
3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru yang
ditandai dengan dyspnea, pernapasan cuping hidung, RR 26x/mnt
4. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis (DM) yang ditandai dengan
mengeluh nyeri, frekuensi nadi meningkat,tampak meringis
5. Deficit Nutrisi berhubunagn dengan peningkatan kebutuhan metabolism d.d napsu
makan menurun, mualkadar albumin turun
6. Perfusi Perifer tidak efektif berhubungan dengan turgor kulit menurun > 2detik,
edema, nyeri pada ekstremitas penyembuhan luka lambat
7. Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan perubahan sirkulasi
ditandai dengan kerusakan jaringan ,nyeri
INTERVENSI KEPERAWATAN
Terapeutik
1. Timbang BB setiap hari pada waktu yang sama
2. Batasi asupan cairan dan garam
3. Tinggikan tempat tidur 30-40 derajat
Edukasi
1. Ajarkan cara mengukur dan mencatat asupan dan
haluaran cairan
2. Ajarkan cara membatasi cairan
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberikan deuretik
Observasi
1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya napas
2. Monitor pola napas (seperti bradipneu, takipnea,
hiperventilasi, Kussmaul, Cheyne-stokes, Biot, ataksik)
3. Monitor kemampuan batuk efektif
4. Monitor adanya produksi sputum
5. Monitor adanya sumbatan jalan napas
6. Auskultasi bunyi napas
7. Monitor saturasi oksigen
Terapeutik
1. Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
Dokumentasikan hasil pemantauan
4. Nyeri akut Manajemen nyeri (I.08238)
berhubungan dengan Observasi
agen cedera biologis 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
(DM) yang ditandai kualitas dan intensitas nyeri
dengan mengeluh 2. Identifikasi skala nyeri
nyeri, frekuensi nadi 3. Identifikasi respon nyeri non verbal
meningkat,tampak Terapeautik
meringis 1. Berikan teknik non farmakologi
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
Kolaborasi
1. Pemberian analgesik
Pemberian analgesic (I.08243)
Observasi
1. Monitor efektifitas analgesik
Kolaborasi
2. Mengkolaborasikan pemberian dosis dan jenis
analgesik
5. Deficit Nutrisi Manajemen Nutrisi (1.03119):
berhubunagn dengan Observasi:
peningkatan 1. Identifikasi status nutrisi
kebutuhan metabolism 2. identifikasi alergi dan intoleransi makanan
d.d napsu makan 3. monitor berat badan
menurun, mualkadar Terapeutik:
albumin turun 1. lakukan oral hygene sebelum makan jika perlu
2. berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
3. berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
Pemantauan Nutrisi ( I.03123)
Observasi
ADA, 2011, Standards of Medical Care for Patients With Diabetes Mellitus, Diabetes Care
25.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2013. Riset
Kesehatan Dasar 2013, Jakarta : Laporan Nasional.
Black & Hawks, 2009. Medical Surgical Nursing, 7thed, St.Louis, Elsevier Saunders.
Bustan, M.N, 2007. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular, Cetakan Kedua, Edisi Revisi,
Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Kristianto, Heri. 2014. Pemeriksaan Fisik dan Diagnostik Sistem Endokrin. Materi Kuliah.
Malang
PERKENI. 2011. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe2 di
Indonesia 2011
PPNI (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1. Jakarta
PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1: Cetakan II. Jakarta
PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1: Cetakan II. Jakarta
Smeltzer& Bare, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah, Edisi 8, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
Soegondo, S, dkk., 2011. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Balai Penerbit FKUI,
Jakarta