Anda di halaman 1dari 22

Laboratorium / SMF Kedokteran Radiologi REFERAT

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

KISTA NASOPALATINA

Oleh
Noor Hijriyati Shofiana
NIM. 1510015015

Dosen Pembimbing
dr. Abdul Mu’ti, M. Kes., Sp.Rad

Laboratorium / SMF Ilmu Radiologi


Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
Januari 2020

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat tentang “Kista
Nasopalatina”. Referat ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di
Laboratorium Ilmu Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
Tidak lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada dr. Abdul Mu’ti,
M. Kes, Sp.Rad selaku dosen pembimbing klinik yang telah memberikan banyak
bimbingan, perbaikan dan saran penulis sehingga referat ini dapat diselesaikan
dengan baik. Penulis menyadari masih terdapat banyak ketidaksempurnaan dalam
referat ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan
referat ini. Akhir kata penulis berharap semoga referat ini menjadi ilmu
bermanfaat bagi para pembaca.

Samarinda, Januari 2020

Penulis,

Noor Hijriyati Shofiana

i
DAFTAR ISI

Hal
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang...........................................................................................1
1.2. Tujuan........................................................................................................2
BAB II......................................................................................................................3
2.1 Anatomi Nasopalatina...............................................................................3
2.2 Definisi Kista.............................................................................................4
2.3 Epidemiologi.............................................................................................5
2.4 Etiopatomekanisme...................................................................................5
2.5 Diagnosis...................................................................................................6
2.6 Tatalaksana..............................................................................................12
2.7 Komplikasi..............................................................................................12
2.8 Diagnosis Banding...................................................................................13
BAB III...................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................15
LAMPIRAN...........................................................................................................16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.

1.1. Latar Belakang

Kista nasopalatina adalah kista non-odontogenik yang paling umum terjadi


di masyarakat. Kista nasopalatina pertama kali diperkenalkan oleh Meyer pada
tahun 1914. Kista ini dikenal juga dengan nama lain seperti incisive canal cyst
[CITATION Sid14 \l 1033 ]. Pada umumnya kista berkembang pada garis tengah
maksila anterior dekat foramen incisive [ CITATION Cha16 \l 1033 ].

Hingga saat ini belum ada data pasti yang menyatakan prevalensi kasus
kista nasopalatina di Indonesia. Namun penelitian menyatakan bahwa kista
nasopalatina berkontribusi sebesar 1,7-11,9% kasus dari total seluruh kasus kista
pada mulut dan region maxillofacial [ CITATION Oli17 \l 1033 ]. Kista
nasopalatine diperkirakan memiliki angka kejadian sekitar 1% dari populasi
[ CITATION Cha16 \l 1033 ].

Pada umumnya penderita mengeluhkan pembengkakan pada palatum


bagian posterior, tanpa disertai adanya gejala. Penderita mungkin tidak merasakan
keluhan apapun (asimtomatik) dan lesi diketahui pada saat melakukan
pemeriksaan radiografi rutin. Beberapa penderita mungkin datang dengan satu
keluhan atau lebih [ CITATION Ded13 \l 1033 ]. Pada beberapa kasus yang
jarang, bengkak disertai dengan sensasi terbakar yang mungkin terjadi karena
penekanan pada n. sfenopalatina. Nyeri tidak umum dikeluhkan, namun mungkin
terjadi akibat penekanan n. sfenopalatina atau ketika kista terkena infeksi
sekunder [ CITATION Gar19 \l 1033 ].

1
1.2. Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk menambah wawasan dan
ilmu pengetahuan secara umum mengenai Fraktur Avulsi Lateral Margin Distal
Tibia. Adapun tujuan secara khususnya adalah untuk mengetahui pemeriksaan
radiologi apa saja yang dapat dilakukan dan melihat gambaran radiologi yang
khas pada Fraktur Avulsi Lateral Margin Distal Tibia sehingga dapat mempermud
ah menegakkan diagnosis serta membedakan gambaran radiologi fraktur lateral
margin distal tibia dengan diagnosis banding lainnya.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Nasopalatina


Palatum adalah struktur yang membentuk langit-langit berupa atap
lengkung pada rongga mulut. Palatum memisahkan mulut dari saluran hidung.
Keberadaan struktur ini memungkinkan mengunyah atau menghisap dan bernapas
berlangsung secara bersamaan [ CITATION Lau15 \l 1033 ]. Langit-langit (palatum)
manusia terdiri dari bagian keras yaitu hard palate dan bagian fibromuskular
disebut soft palate. Bagian hard palate dibagi menjadi hard palate primer dan
hard palate sekunder. Bagian hard palate primer berada di depan foramen
incisivus sedangkan hard palate sekunder berada dibelakang memisahkan hidung
dan faring. Soft palate, atau disebut juga dengan velum merupakan bagian
fibromuscular yang menutup di belakang ke bagian hard palate dan tersusun atas
lima pasang otot yaitu m. palatoglossus, m. palatopharyngeus, m. levator veli
palatine, tendon tensor veli palatine, dan uvulae (Burg, et al., 2016).

Kanal nasopalatina (nasopalatine canal) adalah saluran panjang berada di


garis tengah maksila anterior yang menyambungkan palatum ke dasar kavum
nasal. Kanal ini akan bermuara di kavum oral sebagai sebuah foramen di posterior
gigi incisivus, dan bermuara di kavum nasal sebagai foramen Stenson. Kanal
nasopalatina dilalui oleh a. palatina descenden dan n. nasopalatina [CITATION
Tha13 \l 1033 ].

3
Gambar 2.1a. Gambaran ductus nasopalatina berdasarkan pencitraan CT Scan

Gambar 2.1b. Skema ductus nasopalatina

2.2 Definisi Kista


Kista adalah kantung berisi cairan, nanah atau zat lain yang terbungkus
selaput semacam jaringan. Kumpulan sel-sel ini terpisah dengan jaringan normal

4
yang ada di sekitarnya sehingga tidak akan mengganggu sel-sel lainnya apa bila
dilakukan pembedahan. Kista bersifat jinak tetapi bisa juga berubah menjadi
ganas. Beberapa kista bisa mengecil dan ada juga yang menghilang dengan
sendirinya [ CITATION Sar12 \l 1033 ].

2.3 Epidemiologi
Berdasarkan WHO, dikutip dari Garg, et al., kista nasopalatine merupakan
salah satu tipe kista non-odontogenik non-neoplastik yang cukup umum terjadi di
masyarakat. Penelitian menyatakan bahwa sekitar 3-12% kista pada rahang yang
dilakukan tindak operasi adalah kista nasopalatina [ CITATION Gar19 \l 1033 ].

Kista nasopalatina dapat terjadi pada semua usia mulai dari rentang 7
sampai 72 tahun, namun kejadian tertinggi ditemukan pada dewasa usia dekade
keempat dan keenam. Kasus pada usia muda cenderung jarang ditemukan
[ CITATION Cha16 \l 1033 ] . Kista ini tercatat terjadi pada 1% dari seluruh populasi
dan menyerang lebih banyak pria dibandingkan wanita dengan rasio sekitar 2,5:1.
Kista nasopalatina berkontribusi sebesar 1,7-11,9% dari seluruh kista pada rahang
yang tercatat (Dedhia, Dedhia, Dokhar, & Desai, 2013; Siddappa, Sunil, Kumar,
& Selvamani, 2014).

2.4 Etiopatomekanisme
Teori terjadinya kista nasopalatine hingga saat ini masih belum jelas,
tetapi beberapa ahli meyakini teori proliferasi spontan. Ductus nasopalatine pada
umumnya mengalami degenerasi progresif dan sisa epitel yang bertahan dapat
memungkinkan untuk menjadi pencetus dari terjadinya kista nasopalatina, baik
terjadi karena proliferasi spontan maupun proliferasi karena adanya
trauma[ CITATION Shy13 \l 1033 ].

Beberapa faktor predisposisi lainnya diperkirakan juga dapat


meningkatkan resiko terjadinya kista nasopalatina, di antaranya adalah [ CITATION
Cha16 \l 1033 ]:

5
 Riwayat trauma sebelumnya
 Infeksi bakterial lokal
 Kesalahan pemasangan gigi palsu
 Retensi mucus kelenjar ludah minor
 Ras
 Faktor genetik.

Adanya kelenjar ludah di antara epitelium yang sedang berproliferasi


dapat mempengaruhi terjadinya formasi kista sekunder dengan cara sekresi musin
pada struktur di sekelilingnya [ CITATION Shy13 \l 1033 ].

2.5 Diagnosis
a. Anamnesis
Pada umumnya penderita hanya mengeluhkan pembengkakan yang
asimtomatik di palatum. Namun penderita mungkin saja mengeluhkan
beberapa keluhan seperti [ CITATION Gar19 \l 1033 ]:
 Pembengkakan yang disertai rasa terbakar pada palatum
Pembengkakan dapat terjadi karena penekanan pada n.
sfenopalatina
 Nyeri
Terjadi karena penekanan pada saraf atau infeksi sekunder pada
kista
 Perasaan asin di mulut
Terjadinya drainase yang dapat berupa mucoid atau bahkan
purulent dan masuk ke kavum oral membuat rasa tidak nyaman
pada penderita
 Obstruksi nasal
 Kebas pada mukosa palatum
 Tooth displacement.

6
Gambar 2.2 Pembengkakan pada palatum anterior

b. Pemeriksaan fisik
Pada inspeksi, dapat ditemukan pembengkakan pada palatum anterior
dekat dengan incisive papilla atau pada garis tengah dan adanya cairan pada
kavum oral. Pembengkakan yang dekat dengan permukaan akan tampak
berwarna sedikit kebiruan. Kista yang terletak lebih dalam tertutupi oleh
mukosa normal, kecuali jika mengalami ulserasi[ CITATION Shy13 \l 1033 ].
Adanya pembengkakan dapat meyebabkan terjadinya deformitas pada wajah.
Pemeriksan fisik yang telah dilakukan pada kasus kista nasopalatina perlu
dikuatkan dengan adanya hasil pemeriksaan radiologis dan histopatologi
[ CITATION Cha16 \l 1033 ].
Pada inspeksi juga dapat ditemukan adanya mahkota gigi yang saling
overlapping karena adanya penonjolan pada midline dekat incisivus. Pada
pemeriksaan rinoskopi anterior, terdapat kasus yang menunjukkan tampak
adanya kesan sempit pada kavum nasi kanan dan kiri dengan dasar kavum
nasi terdesak ke superior [ CITATION Cha16 \l 1033 ].

7
c. Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan radiologis
Pada pemeriksaan radiologi foto polos, kista akan tampak
radiolusen dengan bentuk bulat atau ovoid yang terletak diantara
akar gigi dengan ukuran sekitar 2,5 cm. Lesi ini menyebabkan
pergeseran pada akar gigi incisivus (maxillary occlusal) [ CITATION
Ded13 \l 1033 ].

Gambar 2.3 Maxillary occlusal pada kista nasopalatine

Kista akan tampak memiliki batas sklerotik yang tegas. Pada


beberapa kasus, gambaran seperti hati dapat terlihat. Kista
berberntuk hati ini dapat disebabkan oleh kista yang ekspansi ke
bagian tengah tertahan oleh septum nasi atau dapat pula
disebabkan oleh tulang rawan septum yang saling tumpeng tindih
dengan area yang hiperlusen. Foto panoramic, periapical, CT-scan
dan MRI mungkin dapat digunakan untuk membantu penegakkan
diagnosis kista nasopalatina [ CITATION Cha16 \l 1033 ].

8
Gambar 2.4 Gambaran MRI kista nasopalatina, tampak massa berbentuk bulat radiopaque

9
Gambar 2.5 Gambaran CT Scan potongan axial kista nasopalatina, tampak massa berbentuk bulat
berbatas tegas dan radioluscent

10
 Pemeriksaan histopatologis
Hasil pemeriksaan histopatologis didapatkan hasil bervariasi dan
kombinasi satu atau lebih tipe epitel, tergantung pada daerah yang
terlibat. Tipe epitel yang sering dijumpai pada kista ini adalah
epitel sel squamous (40%) dan epitel silinder bersilia (31%)
[ CITATION Cha16 \l 1033 ]. Pada pemeriksaan histopatologis juga
dapat ditemukan adanya kavitas yang dikelilingi oleh epitel dan
jaringan ikat [ CITATION Shy13 \l 1033 ].

Gambar 2.6 Gambaran histopatologis pada kista nasopalatine

11
2.6 Tatalaksana
Penatalaksanaan untuk kista nasopalatina adalah tatalaksana operatif.
Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah tindakan enucleation untuk
mencegah terjadinya relaps lalu diikuti dengan follow-up jangka panjang post
operasi. Teknik marsupialization perlu dipertimbangkan pada lesi yang berukuran
lebih besar. Berdasarkan beberapa penelitian, angka kemungkinan rekurens untuk
kista yang sudah dioperasi rendah, sekitar 0-11% [ CITATION Gar19 \l 1033 ].

Beberapa referensi menyatakan bahwa kista berukuran kecil tidak perlu


dilakukan tindakan pembedaha, namun terdapat referensi lain yang memiliki
pendapat berbeda. Pendapat lain tersebut ialah setelah seorang penderita
didiagnosis kista nasopalatine, maka harus segera dilakukan pembedahan
meskipun penderita tidak memiliki keluhan. Teknik lain yang dapat digunakan
untuk terapi kista nasopalatina adalah eksisi dengan pendekatan flap palatal
[ CITATION Cha16 \l 1033 ].

Tatalaksana pembedahan lebih diutamakan untuk penderita dengan kista


yang sudah memiliki tanda infeksi atau kistanya mengalami pembesaran secara
progresif. Pembedahan bertujuan untuk meminimalkan risiko komplikasi berupa
kelainan pada gigi, malignansi kista menjadi tumor ganas, mencegah trauma
kronis, dan lainnya [ CITATION Cha16 \l 1033 ].

2.7 Komplikasi
Kompikasi yang mungkin terjadi di antaranya (Chandra & Romdhoni,
2016; Oliveira, Leao, Alvarenga, Horta, & Souza, 2017):

 Perdarahan
 Infeksi post-operasi
 Resorbsi akar gigi
 Displacement gigi
 Perforasi tulang
 Hilangnya tulang penyangga yang berbatasan dengan gigi seri

12
 Malignansi
 Mencegah trauma kronis oleh gigi maupun deficit neurosensory
pada mukosa anterior palatum durum post-operasi
 Parestesis anterior palatum durum

2.8 Diagnosis Banding


Diagnosis banding yang perlu diperhatikan dari kista nasopalatine adalah
[ CITATION Gar19 \l 1033 ]:

 Kista radicular lateral


 Kista periodontal lateral
 Odontogenic keratocyst
 Ameloblastoma
 Myxoma odontogenic
 Central giant tumor
 Hemangioma sentral

13
BAB III
KESIMPULAN

Kista adalah kantung berisi cairan, nanah atau zat lain yang terbungkus
selaput semacam jaringan yang umumnya bersifat jinak. Kista nasopalatina adalah
kista non-odontogenik yang paling umum terjadi di masyarakat. Pada umumnya
kista ini berkembang pada garis tengah maksila anterior dekat foramen incisive.
Kista nasopalatina dapat terjadi pada semua usia mulai dari rentang 7 sampai 72
tahun, namun kejadian tertinggi ditemukan pada dewasa usia dekade keempat dan
keenam. Kista ini tercatat terjadi pada 1% dari seluruh populasi dan menyerang
lebih banyak pria dibandingkan wanita dengan rasio sekitar 2,5:1. Kista
nasopalatina berkontribusi sebesar 1,7-11,9% dari seluruh kista pada rahang yang
tercatat.

Pada umumnya penderita hanya mengeluhkan pembengkakan yang


asimtomatik di palatum. Namun penderita mungkin saja mengeluhkan beberapa
keluhan seperti nyeri, rasa aneh dalam mulut, hingga obstruksi nasal. Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan pembengkakan pada palatum yang dapat
meyebabkan terjadinya deformitas pada wajah. Pemeriksan fisik yang telah
dilakukan pada kasus kista nasopalatina perlu dikuatkan dengan adanya hasil
pemeriksaan radiologis dan histopatologi. Pada pemeriksaan radiologis foto polos
kista akan tampak radiolusen dengan bentuk bulat atau ovoid disertai dengan
tampak adanya maxillary occlusal. Pada pemeriksaan CT Scan didapatkan massa
bulat berwarna radioluscent. Meskipun terdapat beberapa perbedaan pendapat
mengenai penangana pada kista berukuran kecil, seluruh kista perlu diberi
tindakan pembedahan untuk mengurangi angka rekurensi.

14
DAFTAR PUSTAKA

Chandra, A. A., & Romdhoni, A. C. (2016, Mei-Agustus). Kista Nasopalatina


(Laporan Kasus). Jurnal THT-KL, 9(2), 56-63.

Dedhia, P., Dedhia, S., Dokhar, A., & Desai, A. (2013). Case Report:
Nasopalatine Duct Cyst. Mumbai: Hindawi Publishing Corporation.
Retrieved January 14, 2020

Garg, R., Rathi, A., Mittal, G., Sharma, S., Agarwal, A., & Dwivedi, P. (2019).
Nasopalatine duct cyst: A case report. International Journal of Applied
Dental Sciences, 5(1), 66-69.

Oliveira, L. J., Leao, P. L., Alvarenga, R. R., Horta, M. C., & Souza, P. E. (2017,
December). Nasopalatine duct cyst - diagnosis, treatment and
postoperative complications: report of two cases. J Bras Patol Med Lab,
53(6), 407-412.

Sari, Waning, Indrawati, Lili, Harjanto, & Basuki, D. (2012). Panduan Lengkap
Kesehatan Wanita. Jakarta: Penebar Plus (Penebar Swadaya Grup).

Sherwood, L. (2015). Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem, Edisi 8. Jakarta:


Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Shylaja, S., Balaji, K., & Krishna, A. (2013, October-December). Nasopalatine


Duct Cyst: Report of a Case with Review of Literature. Indian J
Otolaryngol Head Neck Surg, 65(4), 385-388.

Siddappa, A., Sunil, S. M., Kumar, M., & Selvamani. (2014, November).
Nasopalatine Duct Cyst - A Report Case. IOSR Journal of Dental and
Medical Sciences (IOSR-JDMS), 13(11), 46-48. Retrieved January 14,
2020

Thakur, A. R., Burde, K., Guttal, K., & Naikmasur, V. G. (2013). Anatomy and
morphology of the nasopalatine canal using cone-beam computed
tomography. Imaging Science in Dentistry, 43, 273-281.

15
LAMPIRAN

LAPORAN KASUS

 Identitas Pasien
Nama pasien : Nn. S
Umur : 14 tahun
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Malinau Sebrang
Pasien datang ke Poli Onkologi RSUD Abdul Wahab Sjahranie pada tanggal 10
Januari 2020

 Riwayat Singkat
Pasien datang ke Poli Onkologi RSUD Abdul Wahab Sjahranie pada
tanggal 10 Januari dengan keluhan adanya benjolan dalam mulut

 Pemeriksan penunjang
a. Pemeriksaan CT Scan
Pasien dirujuk dari poli onkologi ke radiologi untuk dilakukan
pemeriksaan CT Scan kepala tanpa kontras dengan klinis kista palatum

16
Gambaran CT Scan Potongan Sagital

17
Gambaran CT Scan Potongan Coronal

Gambaran CT Scan Potongan Axial

Kesan:

Tidak terdapat kelainan intracranial/intracerebral

Soft tissue mass pada sisi kiri palatum yang mendesak dan mengerosi
dasar sinus maxillaris kiri

 Diagnosis Klinis
Tumor palatum

 Penatalaksanaan
Jum’at, 10 Januari 2020 di Poli Onkologi RSUD Abdul Wahab Sjahranie
- Gejala klinis tumor palatum
- Dirujuk untuk pemeriksaan CT Scan Kepala tanpa kontras dan
pemeriksaan FNAB

Rabu, 15 Januari 2020 di Poli Onkologi RSUD Abdul Wahab Sjahranie

18
- Dilakukan permintaan rawat inap oleh DPJP untuk pre operasi
- Permintaan pemeriksaan darah lengkap
- Rencana tindakan: pemeriksaan lengkap
- Pemberian injeksi untuk terapi sementara: injeksi pethidin

19

Anda mungkin juga menyukai