Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH METODE PENELITIAN KUALITATIF

“Paradigma Penelitian Kualitatif”

Oleh :Kelompok 1

DosenPembimbing:
Dr. Mara Samin Lubis, S.Ag., M.Ed

NAMA NIM
AINUN PALIHA
MAI DELA ADE PRATIWI 0305172081
SITI RAHMAH

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
dengan ini kami ucapkan puji dan syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah pancasila yang
ber-judul “Paradigma Penelitian Kualitatif”.
Adapun makalah pancasila tentang “Paradigma Penelitian Kualitatif” ini telah
kami usahakan semaksimal mungkin dan tentunya berkat bantuan dari banyak pihak,
sehingga dapat memperlancar proses pembuatan makalah ini. Oleh sebab itu, kami juga
ingin mrnyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.
Akhirnya penulis mengharapkan semoga makalah ini dapat diambil manfaatnya
sehingga dapat memberikan manfaat bagi pembaca. Selain itu, kritik dan saran kami
tunggu untuk perbaikan makalah ini nantinya.

Medan, Maret 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................

DAFTAR ISI.......................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................

1.1 LATAR BELAKANG.........................................................................................


1.2 RUMUSAN MASALAH.....................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................

2.1 PENGERTIAN PENELITIAN KUALITATIF....................................................


2.2 KARAKTERISTIK PENELITIAN KUALITATIF.............................................
2.3 PARADIGMA PENELITIAN KUALITATIF....................................................
2.4 IMPLEMENTASI PARADIGMA PENELITIAN KUALITATIF......................

BAB III PENUTUP.............................................................................................................

3.1 KESIMPULAN....................................................................................................
3.2 SARAN................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Dalam ilmu pengetahuan metode penelitian menjadi salah satu ciri khas
yang menjadi pembahasan dalam diskusi akademis. Metode penelitian merupakan
cara yang digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan informasi tentang sesuatu
yang akan diteliti. Metode penelitian memberikan gambaran rancangan penelitian
yang meliputi prosedur, waktu penelitian, sumber data, dan dengan langkah apa
data tersebut diperoleh dan selanjutnya diolah dan dianalisis.

Ada berbagai macam metode penelitian yang bisa digunakan oleh peneliti.
Salah satunya yaitu metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif
adalah penelitian yang bertujuan memahami realitas sosial, yaitu melihat dunia
dari apa adanya dan fakta yang ada di lapangan. Seorang peneliti kualitatif
haruslah orang yang memiliki pengetahuan luas. Karenanya, melakukan penelitian
kualitatif dengan baik dan benar berarti telah memiliki jendela untuk memahami
dunia dan realitas sosial.

Metode penelitian memiliki makna dan karakteristik tersendiri. Serta


metode penelitian kualitatif memiliki paradigma yang akan menjadi topik bahasan
di dalam makalah ini. Untuk menjawab pertanyaan seputar metode penelitian
kualitatif serta paradigma, penulis akan memaparkan di dalam makalah yang
berjudul “Paradigma Penelitian Kualitatif”.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dibuat rumusan masalah
yaitu:
1. Apa pengertian metode penelitian kualitatif?
2. Apa sajakah karakteristik penelitian kualitatif?
3. Apa sajakah paradigma penelitian kualitatif?
4. Bagaimanakah implementasi dari paradigma penelitian kualitatif?
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN PENELITIAN KUALITATIF


Kualitatif didefenisikan sebagai suatu proses yang mencoba untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai kompleksitas yang ada dalam
interaksi manusia.1
Menurut Kirk&Miller metode kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu
pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada
manusia . Menurut Strauss dan Corbin yang dimaksud dengan penelitian kualitatif
adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat
dicapai dengan menggunakan prosedur statistik dari pengukuran.
Menurut Bogdan & Biklen menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah
salah satu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan
atau tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati. Pendekatan kualitatif
diharapkan mampu menghasilka uraian yang mendalam tentang ucapan, tulisan,
dan perilaku yang diamati dari suatu individu, kelompok, masyrakat, atau
organisasi.
Menurut Sugiyono, metode penelitan kualitatif adalah penelitian yang
digunakan untuk meneliti pada kondisi objek alamiah, dimana peneliti merupakan
instrumen kunci. 2
Pada penelitian kualitatif memiliki beberapa kata kunci, yaitu: proses,
pemahaman, interaksi, manusia. Proses dalam melakukan penelitian merupakan
penekanan dalam riset kualitatif oleh karena itu dalam melaksanakan penelitian,
peneliti lebih berfokus pada proses dari pada hasil akhir.

1
Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif,(Yogyakarta: GRAHA ILMU, 2006), h.
193
2
Pupu Saeful Rhamat, Penelitian Kualitatif, Jurnal : EQUILIBRIUM, Vol.5, No.9, Januari-Juni 2009,
h.2-3, diakses pada http://yusuf.staff.ub.ac.id, pada tanggal 05 maret 2020 pukul 19.00 WIB
2.2 KARAKTERISTIK PENELITIAN KUALITATIF
Penelitian kualitatif berbeda dengan penelitian lain. Karakteristik penelitian
kualitatif, yaitu:
a. Dalam penelitian kualitatif data dikumpulkan dalam kondisi yang asli atau
alamiah.
b. Peneliti sebagai alat penelitian, artinya peneliti sebagai alat utama pengumpul
data yaitu dengan metode pengumpulan data berdasarkan pengamatan dan
wawancara.
c. Dalam penelitian kualitatif diusahakan pengmpulan data secara deskriptif yang
kemudian ditulis dalam laporan. Data yang diperoleh berupa kata-kata dan
bukan gambar
d. Mementingkan rincian konstektual. Peneliti mengumpulkan dan mencatat data
yang sangat rinci mengenai hal-hal yang dianggap bertalian dengan masalah
yang diteliti.
e. Hasil penelitian bersifat emergent dan flexible, responsif terhadap perubahan
situasi penelitian yang sedang berjalan.
f. Peneliti menggunakan waktu yang cukup banyak untuk terlibat dalam kegiatan
penelitian itu bersama subjeknya dalam situasi yang alamiah.3

2.3 PARADIGMA PENELITIAN KUALITATIF


Menurut Bogdan dan Biklen, paradigma merupakan beberapa asumsi yang
dipegang bersama yang mengarahkan cara berfikir dari penelitian. Paradigma
merupakan pola atau model tentang bagaimana sesuatu distruktur atau bagaimana
bagian-bagian berfungsi.
Dalam penelitian kualitatif, paradigma penelitian sering dibuat dengan
bentuk skematik. Paradigma yang digambarkan dalam bentuk skematik akan
menceritakan alur penelitian dengan berurut .4

Dalam penelitian kualitatif terdapat beberapa paradigma,yaitu:


3
St. Suwarno, Pengantar Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Sanata Dharma Press, 2016), h.2
4
S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 37
A. FUNGSI TEORI
Menurut Fred N. Kerlinger teori merupakan suatu set dalil yang terdiri dari
konstruk-konstruk yang mempunyai definisi dan saling terkait.5Dalam penelitian
kualitatif, teori yang sudah ada memiliki kegunaan yang cukup penting, teori
dalam penelitian kualitatif digunakan secara lebih longgar, teori memungkinkan
dan membantu untuk memahami apa yang sudah diketahui secara intuitif pada
saat pertama, tetapi bersifat jamak untuk berubah sebagaimana teori sosial
berubah. Pada umumnya teori bagi penelitian kualitatif berguna sebagai sumber
inspirasi dan pembanding.6
Kedudukan teori sendiri dalam penelitian hendaknya dipahami dari
keterkaitannya dengan kedudukan hipotesis, metode dan metodologi. Akan
dijelaskan dalam tabel dibawah ini mengenai kedudukan teori di tengah tiga
konsep dasar dalam penelitian.
Tabel Konsep Dasar dalam penelitian
KONSEP PENGERTIAN RELEVANSI
Teori Serangkaian konsep penjelas Sesuai keinginan
Hypotesis Pernyataan/proposisi yang bisa diuji Validitas
Metodologi Pendekatan umum untuk mengkaji Sesuai kegunaan
topik penelitian
Metode Suatu teknik penelitian tertentu Harus sebangun dengan
teori, hipotesi, dan
metodologi
Sebagaimana pada tabel diatas, teori menyediakan serangkaian konsep
penjelas (explanatory concepts). Tanpa sebuah teori, tidak akan terlaksana
penelitian. Di dalam penelitian sosial, contoh teori adalah fungsionalisme (yang
mengkaji fungsi-fungsi pranata sosial), behaviorisme (yang melihat semua
perilaku dalam kerangka stimulus dan respon), dan interaksi simbolik (yang
memusatkan bagaimana kita mengkaitkan makna-makna simbolis dengan relasi-
relasi interpersonal.

5
Wirawan, Evaluasi: Teori, Model, Metodologi, Standar Aplikasi, dan Profesi, (Jakarta:
Rajawali Press, 2011), h. 35
6
Madekhan, “Posisi dan Fungsi Teori dalam Penelitian Kualitatif”, Jurnal Dosen Program Studi
Bahasa Inggris FKIP Universitas Lamongan, h. 2.
Dengan demikian teori merupakan sumber tenaga bagi penelitian, dimana
seiring perkembangan zaman, teori dikembangkan dan dimodifikasi oleh berbagai
penelitian. Di sini diyakini bahwa ketika didayagunakan teori tidak pernah salah,
namun hanyadalam pemahaman lebih ataupun kurang berguna.
Dalam penelitian kualitatif, karena permasalahan yang dibawa oleh peneliti
bersifat sementara, maka teori yang digunakan dalam penelitian kualitatif juga
bersifat sementara, dan akan berkembang setelah peneliti memasuki lapangan atau
dalam konteks sosial. Dalam kaitannya dengan teori, penelitian kualitatif bersifat
menemukan teori.
Dasar penelitian kualitatif berada di seputar upaya memperoleh data secara
alamiah. Bagaimana peneliti berupaya memperoleh pengetahuan secara sistematik
dalam suasana alamiah, tidak artifisial atau buatan. Atas sifatnya demikian, maka
teori dalam penelitian kualitatif, memiliki kegunaan yang cukup penting. Teori
dalam penelitian kualitatif digunakan untuk memungkinkan dan membantu
peneliti kualitatif memahami apa yang sudah diketahui secara intuitif pada saat
pertama, tetapi pada fase berikutnya bisa berubah sebagaimana teori sosial
berubah.
Peneliti kualitatif akan lebih profesional kalau menguasai semua teori
sehingga wawasannya lebih luas, dan dapat menjadi instrumen penelitian yang
baik. Teori bagi peneliti kualitatif akan berfungsi sebagai bekal untuk bisa
memahami konteks sosial secara lebih luas dan mendalam. Selain itu teori
berfungsi juga sebagai klasifikasi, eksplanatur, dan prediktif. Oleh karena itu
penelitian kualitatif jauh lebih sulit dari penelitian kuantitatif, karena peneliti
kualitatif harus berbekal teori yang luas sehingga mampu menjadi “human
instrument” yang baik. Penelitian kualitatif jauh lebih sulit bila dibandingkan
dengan penelitian kuantitatif karena data yang terkumpul bersifat subyektif dan
instrument sebagai alat pengumpul data adalah peneliti itu sendiri.7

B. FORMULASI TEORI
Definisi formulasi teori secara umum adalah menetapkan masalah hingga
melakukan penelitian. Dalam hal ini ketika peneliti ingin melakukan penelitian,
7
Tohirin, Metode Penelitian Kualitatif dalam Pendidikan Bimbingan Konseling, (Jakarta:
RajawaliPress, 2012), h. 16.
maka peneliti harus mempunyai sebuah teori untuk pijakan. Hal ini bertujuan
untuk pijakan atau dasar awal penelitian.Formulasi teori berdasarkan tipe
penelitian dapat dibedakan. Antara penelitian kualitatif dan kuantitatif mempunyai
proses formulasi teori yang berbeda. Pada penelitian kualitatif, formulasi teori
dilakukan secara formal. Dalam hal ini, ketika peneliti ingin melakukan penelitian
kualitatif, peneliti harus menyusun sebuah teori serta membuat hipotesa terlebih
dahulu. Menurut nanang (39,2010) penelitian kualitatif dimulai dari sebuah
hipotesa. Dalam menyusun hipotesa tentunya membutuhkan sebuah teori. Teori
ini bersiat formal, karena sudah harus ikut disusun pada proposal penelitian.
Dalam hal ini, formulasi teori sudah tercetak atau tercantum sehingga bersifat
formal.
Berbeda dengan penelitian kualitatif, penelitian kuantitatif mempunyai
sebuah proses yang terbalik dibandingkan penelitian kualitatif. Pada penelitian
kuantitatif, hipotesa ditentukan terakhir setelah melakukan penelitian. Hal ini
tentunya secara formal dapat dikatakan bahwa pada penelitian kuantitatif tidak
ada formulasi teori. Dalam proposal penelitian kuantitatif, formulasi teori tidak
dicantumkan, karena penelitian kuantitatif sendiri awalnya hanya mereka-reka
fenomena. Setelah mereka sebuah fenomena, baru peneliti melakukan penelitian.
Dalam hal ini tentunya secara formal tidak ada formulasi teori. Namun, pada
kenyataannya peneliti sudah memiliki formulasi teori sendiri. Hal ini dapat
dikatakan dengan proses formulasi teori informal, karena formulasi teori yang
dilakukan peneliti tidak dicantumkan pada proposal penelitian.
Dengan demikian, formulasi teori sangat dibutuhkan pada saat akan
melakukan penelitian. Hal ini karena formulasi teori bersifat wajib, dalam
melakukan sebuah penelitian. Formulasi teori ada pada penelitian, hanya saja
berbeda pada prosesnya. Pada penelitian kualitatif, formulasi teori dilakukan
secara formal karena sudah matang dan dicantumkan dalam proposal
penelitiannya. Sedangkan pada penelitian kuantitatif, meskipun tidak ada
formulasi teori secara formal, hal ini karena fungsi dari penelitian kuantitatif
tersebut. Namun, pada penelitian kuantitatif juga perlu untuk formulasi teori. Hal
ini karena pada penelitian lapangan, mindset kita sudah terbentuk matang
sehingga penelitian dapat berjalan dengan lancar.8

C. VERIFIKASI TEORI
Penelitian menggunakan metode ilmiah melibatkan verifikasi teori.
Verifikasi adalah usaha untuk mencari atau memahami makna/arti, keteraturan,
pola-pola, penjelasan, alur sebab akibat atau proposisi. Verifikasi juga dapat
diartikan sebagai pembuktian kebenaran. Sedangkan teori adalah kumpulan dari
konsep, defenisi, danproposisi-proposisi yang yang sistematis yang digunakan
untuk menjelaskan dan memprediksi fenomena atau fakta.
Jadi verifikasi teori (theory verification) adalah proses memverifikasi teori
lewat pengujian hipotesis secara empiris (dengan menggunakan fakta). Secara
empiris berarti menggunakan fakta yang objektif, secara hati-hati diperoleh,
benar-benar terjadi, tidak tergantung dari kepercayaan atau nilai-nilai peneliti
maupun kepercayaan orang lain. Peneliti tidak menggantungkan pada
kepercayaannya tetapi pada fakta yang ditunjukkan secara empiris. Fungsi
verifikasi teori adalah untuk meyakinkan bahwa teori yang diperoleh telah
memenuhi syarat sebagai teori yang dapat memperkuat penelitian.9

D. PERSOALAN ETIK DAN EMIK


Istilah etik dan emik dikembangkan pertama kali oleh Pike dan Harris pada
tahun 1960-an sampai dengan tahun 1980-an. Etik dan emik adalah dua macam
sudut pandang dalam etnografi yang cukup mengundang perdebatan.
Pike, pada penelitian sosialnya memperlakukan etik dan emik sebagai satu
kesatuan dari unit analisis. Sedangkan Harris memperlakukan etik sebagai cara
bagi etnografer untuk mendapatkan informasi dari masyarakat, dimana informasi
dari masyarakat tersebut sebagai emik. Harris memposisikan etik dan emik
sebagai suatu strategi penelitian, sedangkan Pike bukan pada strategi penelitian
tetapi konsep yang utuh .

8
Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009), h.31-33
9
Eus Soliha, Keterkaitan Teori dan Riset Empiris, (Semarang: Universitas Stikubang Semarang)
2011, h. 41
Emik (native point of view) misalnya, mencoba menjelaskan suatu
fenomena dalam masyarakat dengan sudut pandang masyarakat itu sendiri. Secara
sangat sederhana, emik mengacu pada pandangan warga masyarakat yang dikaji,
sedangkan etik mengacu pada pandangan si pengamat.
Contoh kasus: Pada sebuah fenomena masyarakat seperti pengemis. Bila
perilaku pengemis disebut sebagai sebuah fakta sosial atau sebuah keniscayaan.
Maka berlaku sebutan: pengemis adalah sampah masyarakat, manusia tertindas,
manusia yang perlu dikasihani, manusia kalah, manusia korban kemiskinan
struktural, dn sebagainya. Anggapan ini bukan sebuah kesalahan berpikir,
melainkan sebuah sudut pandang etik orang di luar pengemis untuk menunjukkan
fakta yang semestinya berlaku seperti itu, bukan pandangan emik, bagaimana
pengemis melihat dirinya sendiri.
Dalam pandangan emik yang bersifat interpretif atau fenomenologis,
pengemis adalah subjek. Mereka adalah aktor kehidupan yang memiliki hasrat dan
kehidupan sendiri yang unik. Pandangan subjektif seperti ini diperlukan untuk
mengimbangi pandangan obyektif yang seringkali justru memojokkan mereka,
melihat mereka sebagai korban kehidupan, kesenjangan ekonomi, atau
ketidakadilan sosial, bukan sebagai identitas masyarakat yang memiliki pemikiran
dan pengalaman hidup yang mereka rasakan dan alami sendiri.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa pendekatan yang merujuk pada sudut
pandang peneliti, disebut pendekatan etik. Pendekatan yang merujuk pada sudut
pandang subyek yang diteliti, disebut pendekatan emik10

2.4 IMPLEMENTASI PARADIGMA PENELITIAN KUALITATIF

A. Beberapa Persoalan yang Berkaitan dengan Teori

Bagian ini menyajikan empat pendapat yang berkaitan langsung atau


tidak langsung dengan penyusunan teori. Persoalan-persoalan tersebut terdiri
dari (1) generalisasi, (2) kausalitas, dan (3) emik-etik.

10
M. Rawa El Amady, Etik dan Emik pada Karya Etnografi,(Jakarta : Padi Press, 2014) h. 168
1. Persoalan Generalisasi

Uraian tentang pembentukan teori pada dasarnya telah banyak banyak


mempersoalkan tentang generalisasi. Namun, jika kita kaji, akan tampak
generalisasi yang dikemukakan berbeda dengan generalisasi sebagai biasa
dapat diandalkan menjadi tujuan penelitian. Generalisasi akan menjadi
persoalan apabila kita mengadopsi konsep generalisasi paradigma ilmiah,
kemudian menerapkannya dalam penelitian kualitatif. Persoalan generalisasi
ini diuraikan dari segi generalisasi sebagai tujuan sains, beberapa pembahasan
konsep generalisasi klasik, generalisasi alamiah sebagai alternatif, dan
11
hipotesis kerja dengan ciri-cirinya.

a. Konsep Dasar Generalisasi

Pada dasarnya tujuan ilmu ialah untuk meramalkan dan


mengonatrol. Peramalan dan kontrol tersebut tidak dapat diakses tanpa
landasan. Landasan-dasar itu terletak pada bagian hukum dan
pernyataannya yang oleh Kaplan dinamakan generalisasi nomologis,
yaitu untuk memberikan dasar atau landasan. Generalisasi nomologis
memiliki sejumlah ciri, dan yang terpenting adalah benar-benar
universal, tidak terbatas pada waktu dan tempat, dan harus merumuskan
apa yang senantiasa menjadi kasus di mana-mana.

Dengan kata lain, generalisasi mempertahankan nilai-nilai yang


bebas konteks dan nilai-nilai tersebut terletak pada kemampuan mengatur
usaha meramalkan dan mengontrol. Sesungguhnya banyak ilmuwan
yakin akan generaisasi inkuiri menjadi semua dan berakhir semua.
Dalam hal ini mereka berusaha mencari jawaban atas pertanyaan Apakah
suatu kegiatan ilmiah yang ditujukan pada sesuatu di dalam
pembahasan umum generalisasi akan merupakan hasil yang berguna?
Generalisasi menjadi konsep yang mrnarik karena terjebak pada
tujuaannya untuk menjelaskan bahwa apa yang baik bagi sesuatu akan
baik pula bagi keseluruhan.

11
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2019) h.75
b. Kelemahan-kelemahan Konsep Generalisasi Klasik

Pada generalisasi menurut konsep klasik yang ditetapkan oleh Kaplan,


merupakan sebagian kelemahan berikut.

a) Bergantung pada determinisme

Pada analisis akhir tidak akan ada generalisasi jika tidak ada
determinisme. Dengan kata lain, jika tidak ada penghubung yang
dapat dipercaya dan cocok, seseorang tidak akan dapat menarik
pernyataan tentang penghubung-penghubung itu (hukum) yang akan
ditemukan dalam menyerap cara-cara universal yang benar.

b) Bergantung pada logika induktif

Generalisasi tidak ditemukan dalam alam, tetapi merupakan hasil


ciptaan manusia. Secara empiris, generalisasi menjadi bergantung
pada pengalaman pembuat generalisasi.

c) Bergantung pada asumsi bebas dari waktu dan konteks

Kaplan mengingatkan pada generalisasi nomologis harus dalam


bentuk senantiasa berlaku bagi kasus-kasus harus di mana-mana.

d) Terjadi dalam dilema nomotetik-ideografik

Nomotetik artinya berdasarkan hukum sedangkan ideografik


berdasarkan individu tertentu. Dilema utamanya ialah: generalisasi
merupakan nomotetik dalam alam, berbentuk hukum, namun untuk
menerapkannya dalam rangka tujuan meramalkan dan mengontrol
generalisasi itu harus diaplikasikan ke hal-hal yang khusus. Dengan
demikian kemungkinan-kemungkinan dan sifat relatifnya menjadi
terarah.

e) Terjerat dalam jerat kekeliruan redukunjuk

Generalisasi menghendaki perlunya reduksi pada kasus khusus.


Dengan demikian hal itu berarti mengurangi hampir seluruh fenomena
dari populasi yang ditentukan untuk keperluan penerapan bagi
generalisasi tunggal.

c. Generalisasi Alamiah Sebagai Suatu Alternatif

Studi kasus sering dipandanag tidak berguna karena dianggap


bukan merupakan landasan yang cocok untuk generalisasi. Sebaliknya,
studi kasus sering pula dijadikan metode penelitian yang diminati karena
secara epistimologis sesuai dengan pengalaman pembaca dan bagi para
peneliti kasus merupakan dasar alamiah untuk generalisasi. Berdasarkan
pandangan yang tampak bertentangan ini, Robert Stake mengajukan
adanya generalisasi alamiah sebagai alternatif.

Menurut Stake, ada dua jenis generalisasi. Pertama, rasionalistik


secara proposisional dalam bentuk hukum, yaitu makna yang biasanya
diterapkan dalam wacana ilmiah. Kedua, yang lebih intuitif dan empiris,
yang berdasarkan pengalaman langsung sesuaii dengan makna yang
dimaksud oleh istilah generalisasi alamiah. Menurut pengertian pertama,
generalisasi dari studi kasus barangkali tidak banyak kontribusinya.
Sebalikinya menurut pengertian kedua, kasus merupakan alat yang kuat
guna memenuhinya. Dengan kata lain, jika diinginkan orang memahami
lebih banyak, berilah informasi yang biasa dialami mereka. Mereka akan
mampu secara bijaksana dan proposisional menarik generalisasi alamiah
yang membuktikan pemahaman mereka luas.

d. Hipotesis Kerja Sebagai Generalisasi Alamiah

Hipotesis kerja berasal dari perumusan klasik, kemudian


ditegaskan oleh Lincoln dan Guba. Menurut Cronbach, jika peneliti
berpindah dari satu situasi ke situasi yang lain, tugasnya menguraikan
dan menafsirkan akibat yang baru. Hal itu dilakukan dalam kerangka
keunikan yang ditemukan dalam setiap situasi yang baru. Generalisasi
barulah datang kemudian. Jika kita memberikan bobot yang tepat
terhadap kondisi setempat, generalisasi apa pun yang ditarik merupakan
hipotesis kerja bukanlah kesimpulan.
Kondisi setempat membuat seseorang sukar sekali mengadakan
generalisasi. Masalahnya terletak senantiasa pada adanya perbedaan
dalam konteks dari satu situasii ke situasi lainnya, bahkan pada satu
situasi pun terjadi perbedaan sepanjang masa. Jadi, bagaimanakah
seseorang mengatakan bahwa satu hipotesis kerja yang dikembangkan
pada konteks A dapat diaplikasikan pada konteks B? Menurut Lincoln
dan Guba hal itu dapat dicapai melalui penerapan kriteria empiris dan
strategi deskripsi suatu situasi. Kriteria tersebut adalah dapatnya
ditransfer dan kesamaan (simillarity) antara dua konteks yang dinamakan
kecocokan (fittingness). Kecocokan didefinisikan sebagai derajat
kesesuaian antara konteks pengirim dan penerima. Jika konteks A dan
konteks B secukupnya sesuai (congruence), maka hipotes kerja konteks
pengirim sebelumnya dapat diaplikasikan pada konteks penerima.

Sewaktu memanfaatkan generalisasi dalam bentuk hipotesis kerja


tersebut, tetap ada persoalan yang dihadapi ditinjau dari segi paradigma
alamiah. Seorang peneliti tidaklah cukup apabila hanya mengasumsikan
bahwa kedua konteks, baik nengirim maupun penerima, itu sama. Hal
demikian lazim disaksikan dalam penelitian konvensional, yaitu
menggeneralisasikan suatu konsep dengan jalan mengasumsikan bahwa
konteks tersebut berasal dari konteks sampel yang representatif,
kemudian digeneralisasikan pada populasi yang diasumsikan memiliki
ciri-ciri yang sama.

Dari segi penelitian kualitatif hal demikian belumlah cukup.


Peneliti yang ingin membuat keputusan tentang dapatnya dialihkan hal
tersebut, jelas masih bergantung pada kriteria kecocokannya. Untuk itu
seseorang memerlukan informasi tentang kedua konteks tersebut agar
keputusan yang dibuat benar-benar terjamin. Peneliti sangat perlu
menyediakan informasi yang cukup sebagai dasar membuat keputusan.
Informasi ini dinamakan uraian rinci. Menyusun uraian rinci merupakan
strategi deskripsi suatu situasi.
Menyusun uraian rinci pada dasarnya bergantung pada fokus
suatu konteks. Uraian tersebut hendaknya memaparkan secara khusus
segala sesuatu yang perlu diketahuii oleh pembaca agar ia dapat
memahami penemuan-penemuan.

2. Persoalan Kausalitas

Konsep penelitian yang berusaha mencari sebab-akibat berasal dari


penelitian klasik yang lebih banyak memberi perhatian, terutama pada latar
eksperimental. Kemampuan penelitian tentang hal itu sangat diragukan oleh
banyak orang. Ada suatu cerita penelitian yang diungkapkan oleh Barker , yaitu
sebagai berikut.

Beberapa tahun lalu saya menjadi mahasiswa dari Kurt Lewin, dia
bersama Tamara Dembo dan saya mengadakan eksperimen tentang frustrasi.
Hasil penemuan eksperimen itu sudah diverifikasikan oleh peneliti lain dan
menjadi bagian dari kepustakaan psikologi secara ilmiah. Eksperimen tersebus
menghasilkan informasi mendasar tentang akibat anak-anak yang mengalami
frustrasi sebagai yang didefinisikan dala eksperimen dan proses yang
menghasilkan akibat-akibat tersebut. Demikianlah waktu berlalu. Suatu saat
mahasiswa saya dan dia meneliti frustrasi. Selama penelitian itu berlang sung,
pada mulanya tampaknya biasa-biasa saja. Mahasiswa saya itu, Clifford L. Fawl,
tidak mengaplikasikan studi eksperimen sebelumnya. Ia tidak merencanakan
frustrasi baci siswa-siswanya. Ia memelopori dan memperluas penelitian dari
anak-anak di lapangan. Ia mencari dan mecatat perilaku anak- anak setiap hari
dan menemukan fenomena, bukan sebagai eksperimenter. Inilah laporannya:

Hasilnya... Sangat mengagumkan dalam dua hal. Pertama, walaupun


dengan penafsiran secara longgar tentang frustrasi, sedikit sekali kejadian yang
dapat ditemukan dari sesuatu yang diharapkan... Kedua... hubungan berarti tidak
dapat ditemukan di antara frustrasi... Dan akibat- nya pada perilaku seperti...
Agresi... Dan manifestasi mengandung arti lain secara teoretis.

Dengan kata lain, frustrasi jarang terjadi pada masa kanak-kanak dan,
apabila hal itu terjadi, tidak ada akibatnya pada perilaku yang diamati di
laboratorium. Hal itu berarti bahwa eksperimen sebelumnya yang
memanipulasikan frustrasi dengan sangat baiknya sebagai yang didefinisikan
dan yang diperlihatkan oleh subjek (berdasarkan teori kita) tetapi eksperimen itu
tidak mensimulasikan kehidupan sebagai yang diperlihatkan oleh kehidupan
anak-anak kita sehari-hari.

Dari ceritera di atas dapat disimak bahwa dalam hal-hal tertentu


keunggulan penelitian kualitatif lebih banyak mem berikan jawaban terhadap
inkuiri, termasuk yang bersifat kausalitas sekalipun. Untuk menganalisis
kedudukan prinsip kausalitas dalam penelitian kualitatif ada baiknya
dikemukakan beberape pandangan para penulis sebagai berikut.

Lalland dan Lofland menyatakan bahwa sangat tepat apabila peneliti


ingin mengetahui nebab- eabab, sejauh ia mengenal apapun yang berkenaan
aupun penjelasan yang dlibuat peneliti dan tentu naja perlu mengacu pada
konjengtur, hipotesis atau teori. Seteruanya ereka menganjurkan agar peneliti
menelaah kualitas yang ungkin hubungannya berasal dari salah satu di antara
katiga bentuk hubungan sebab-akibat berikut: (1) hubungan tunggal, (2)
hubungan dengan sejumlah penyebab, dan (3) hubungan dengan penyebab yang
makin bertambah. Di pihnk Jain, mereka mengingatkan para peneliti agar
menyediakan tempat secukupnya saja dalam laporan hasil penelitiannyn tentang
variasi penyebab teoretis.

Patton menyatakan bahwa spekulasi hubungan kausal secara keseluruhan


diperlukan sejauh itu dinamakan spekulasi. Ia lebih menekankan bahwa prinsip
utama dari analisis kualitatif ialah bahwa hubungan kausal dan pernya- taan
teoretis harus secara jelas muncul dan berakar dari fenomena yang ditelaah.
Teori muncul dari data; ia tidak boleh dipaksakan kepada data. Miles dan
Huberman mengulas tentang kemungki- nan analisis data secara kualitatif
termasuk di dalamnya tentang adanya hubungan sebab-akibat.

Pada mulanya Guba dan Lincoln mempertanyakan tentang hubungan


kausalitas, kemudian memberikan jawabannya sebagai berikut: Jawaban
terhadap pertanyaan sebab-akibat penting apakah seseorang tertarik pada
perama- lan atau kontrol di satu pihak atau pada verstehen di lain pihak.
Jawaban itu ditegaskan lagi dengan menyatakan bahwa jawaban terhadap
pertanyaan X dapat menyebabkan Y (seperti dalam eksperimen, Penulis) dan
apakah X nienyebab- kan Y dalam latar alamiah, keduanya bermanfaat.

Kemudian lima tahun kemudian jawaban yang diberikan t atas tersebut


dibahas lagi secara mendalam oleh mereka. asilnya disajikan dalam bentuk
kritikan tajam terhadap hakikat konsep kausalitas. Mereka mengusulkan satu
definisi terhadap prinsip kausalitas dan menamakannya saling mempertajam
secara simultan (mutual simultaneus shaping) untuk mengganti kausalitas.

Pendapat Lofland dan Lofland cukup moderat, sedangkan lebih tegas


mempertahankan prinsip kausalitas. Guba dan Lincoln mulanya menyetujui
kemudian merumuskan konsep baru sama sekali di dalam rangka paradigma
naturalisti Penulis ingin menegaskan bahwa pendapat Patton masih relevan
karena manfaat yang diperoleh dari teknik indub sebagai yang dipaparkan pada
ceritera yang menarik sebelumnya Selain itu, analisis data tentang adanya
prinsip kausalitas terse dapat dipelajari melalui buku Miles dan Huberman.
Dalam pada itu apabila seseorang ingin menerapkan paradigma naturalistik
murni barangkali konsep saling mempertajam secara simultan per dikaji secara
mendalam.

3. Persoalan Emik dan Etik


Pada sat ini persoalan emik dan etik lebih popular di bidang antropologi
dan keduanya jelas sangat relevan untuk dibahas dalam penelitian kualitatif.
Secara tuntas kedua persoalan itu dibahas dalam tulisan L. Pike (1954, Vol. 1 :
8-28)yang berjdudl Language in Relation to a Unifed Theory of the Stucrure of
Human Behavior. Pokok-pokok pikiran dibawah ini sebagian mengikuti tukisan
tersebut.
Apabila seorang pengamat akan menguraikan perilaku manusia, ada dua
titik tolak yang dianut yang bermanfaat menurut situasi tertentu. Jika orang
menggunakan pendekatan etik terhadap data, maka ia melakukan generalisasi
pernyataan tentang data bahwa ia (a) mengelompokkan secara sistematis seluruh
data yang dpaat diperbandingkan , seluruh kebudayaan dunia, ked lama system
tunggal; (b) menyediakan seperangkat kriteria untuk mengklasifikasikan setiap
unsur data; (c) mengorganisasikan data yang telah diklasifikasikan ke dalam
tipe-tipe; dan (d) mempelajari, menemukan, dan menguraikan setiap data yang
baru yang ditemukan ke dalam kerangka system yang telah dibuatnya sebelum
mempelajari kebudayaan dari data yang ditemukan.
Sebaliknya, pendekatan emik merupakan esensi yang sahih untuk satu
Bahasa atau satu kebudayaan pada satu waktu tertentu; pendekatan ini
merupakan usaha untuk mengungkapkan dan menguraikan pola suatu bahasa
atau kebudayaan tertentu dari cara unsur-unsur bahasa atau kebudayaan itu
berkaitan satu dengan lainnya dalam melakukan fungsi sesuai dengan pola
tersebut. Jadi pendekatan ini tidak berusaha menguraikan segi generalisasi ke
dalam klasifikasi yang diperoleh sebelum studi suatu kebudayaan dilakukan.
Guna memperoleh gambaran menyeluruh mengenai kedua hal tersebut,
berikut diuraikan ciri-ciri keduanya. Pendekatan emik adalah structural yang
berarti peneliti berasumsi bahwa perilaku manusia terpola dalam system pol aitu
sendiri.satuan-satuan dari system terpola tersebut sama-sama dengan satuan-
satuan kelompok structural itu membentuk masyarakat tertentu melalui aksi dan
reaksi para anggotanya. Jadi, bukan terdiri dari tindakan analisis untuk mencapai
konstrak yang dapat diterapkan pada data itu. Dengan demikian tujuan
pendekatan emik adalah mengungkapkan atau menguraikan system perilaku
Bersama satuan strukturnya dan kelompok kelompok structural satuan-satuan
itu.
Pendekatan etik terdiri atas kumpulan rumit antara tujuan dan prosedur.
Pertama, salah satu tujuannya dapat dikatakan nonstructural atau mengikuti
pengelompokan. Ini berrati bahwa jika menggunakan pendekatan ini, peneliti
menyusun system kategori yang logis, cara pengelompokan, dan satuan-satuan
tanpa mempedulikan struktur yang ada dalam bahasa perorangan.
Pengelompokan nonstructural demikian dapat berupa salah satu tipe atau
kombinasi tipe-tipe. Jadi, dalam hal ini, (a) pendekatan ini dapat berawal dari
seperangkat setiap kriteria yang dipilih oleh analisis secara sistematis atau secara
arbitrer tanpa menghiraukan system emik yang telah diketahui; (b) kriteria itu
dapat diterapkan pada satuan-satuan yang dipilih diantara berbagai kegiatan
system emik, tetapi diklasifikasikan atas dasar kriterianya yang lohis tanpa
mempedulikan system emik tempat asal satuan-satuan itu; (c) satuan-satuan
perilaku yang diklasifikasikan demikian dapat diperlakukan atas dasar ciri-ciri
fisik semata, seperti mengabaikan sejauh mungkin adanya kenytaan bahwa
unsur-unsur itu diabstrasikan dari sitem tindakan dan reaksi manusia; dan (d)
satuan-satuan perilaku, walaupun diklasifikasikan tanpa memperhatikan system
individual tempat asalnya, sebetulnya dapat juga diklasifikasikan mengikuti
kenyataan bahwa hal-hal itu memang diabstraksikan sengaja dari perilaku
manusia sehingga unsur-unsur pengertian atau maksudnya membentuk
seperangkat kriteia bagi klasifikasi emik itu.
Kedua, tujuan pokok kegiatan etik lainnya adalah aplikasi, pada tahap
pemulaan penelitian emik, suatu klasifikasi etik yang telah dibuat atas dasar tipe-
tipe yang telah disusun sebelumnya terhadap system kultur atau bahasa tertentu.
Dalam contoh demikian pendekatan etik adalah pra-struktural. Hal ini berarti
memanfaatkan penggunaan cara khusus sebagai perkiraan sampai mencapai
analisis system struktur bahasa dan kultur emik. Dengan demikian, analisis
memilih salah satu diantara banyak kemungkinan klasifikasi etik umum yang
mengarhkannya kepada pengalaman untuk sejauh mungkin mendekati hasil
emik dengan upaya sekecil mungkin. Ia beranggapan bahwa tidak efisian untuk
mengadakan pengalihan bagi setiap sistematisasi etik pengetahuan umum.
Dengan cara ini, analisis etiknya yang pertama tentang system kultur adalah pra-
struktural, yaitu suatu rangka peristilahan etik ini kemudian diperhalus sebagai
perkiraan etik kedua yang dilakukan pada system emik, demikian seterusnya
sampai tiba pada perkiraan emik, yaitu analisis yang tampak baginya
mempengaruhi hubunga structural ke dalam suatu system kebudayaan.
Apa yang diuraikan diatas adalah perbedaan ciri-ciri etik dan emik secara
umum. Seterusnya dikemukakan perbedaan emik dan etik secara khusus,
yaitu :12
a. Dari Segi Titik Pandang “Dari Dalam” dan “Ke Luar”
Titik pandang emik dapat dikatakan dari dalam atau internal. Hal ini
disebabkan oleh car aitu mengklasifikasikan perilaku berkenaan dengan

12
Ibid,. h.84
system perilaku yang dengannya hal itu sedapatnya merupakan bagian, dan
juga berkenaan dengan berbagai peristiwa yang dapat dibandingkan atau
kebiasaan-kebiasaan dalam satu kebudayaan tertentu.
Sebaliknya, titik pandnag etik dapat dikatakan dari luar atau eksternal.
Hal itu disebabkan oleh atas dasar maksud-maksud etik seseorang analis
berdiri jauh sekali dari luar atau berada di luar suatu kebudayaan tertentu.
Dari situlah ia memandang peritiwa-peristiwa yang berbeda, terutama dalam
hubungannya dengan persamaan dan perbedaan, dan dengan
membandigkannya dengan kebudayaan lain daripada dengan mengaitkannya
dengan urutan sekelompok peristiwa dalam satu kebudayaan tertentu.
b. Hubungan dengan Keseluruhan
Dengan tekniknya, pendekatan emik dapat mempersoalkan beberapa
perbandingan ciri bahasa dan kebudayaan tanpa mempedulikan keseluruhan
data yang berasal dari masing-masing kebudyaan itu.
Secara toeritis pendekatan emik tidak akan puas sama sekali apabila data
suatu bahasa atau kebudayaan sekecil apa pun tidak mengaitkan analisisnya
dengan bahas atau kebudayaan itu secara keseluruhan. Hal itu disebabkan
oleh analisis emik per bagian bergantung pada hubungannya dengan
keseluruhan.
Pendekatan emik harus berkaitan dengan peritiwa-peristiwa sebagai
bagian keseluruhan yang lebih besar dnegan hal mana hal itu berkaitan dan
dari hal mana hal itu memperoleh hasilnya yang signifikan. Di pihak lain,
untuk suatu keperluan tertentu dari segi konteksnya atau dari segi system
peristiwa, pendekatan etik dapat mengabstraksikan peristiwa-peristiwa agar
dapat mengelompokannya ke dalam skala dunia tanpa memperhatikan esensi
struktur suatu bahasa atau kebudayaan tertentu. Sebagai ilustrasi dapat
dikemukakan bahwa dari segi pandnagan emik, seorang analisis dapat
menguraikan fungsi struktur sebuah mobil secara keseluruhan dengan
menunjuk bahwa desain bagian-bagian mobil itu hanya dapat berfungsi
dalam kaitannya dengan keseluruhan. Dari segi pendekatan etik, analisis
pada suatu saat dapat menunjuk bagian-bagian yang terdapat di gudang.
Bagian-bagian itu dapat membentu sebuah mobil atas dasar krieria tertentu,
c. Hakikat Fisik, Respons, dan Distribusi
Sering sekali terjadi analisis etik memusatkan diri hanya pada diri fisik
suatu peristiwa tanpa menunjuk pada maksud, pengertian, atau
penggunaannya, dan tanpa menunjuk pada tempat-tempat potensial atau
actual terjadinay peristiwa itu dalam hubungannya dengan urutan peristiwa
lainnya.
Sebaliknya, pendekatan emik pada seluruh tingkatan analisisnya
berkaitan secara langsung maupun tidak langsung pada ciri-ciri fisik suatu
peristiwa maupun pada ciri-ciri distribusinya. Satuan-satuan emik
dinyatakan oleh peristiwa dalam kerangka fisik lainnya.
d. Identitas
Kriteria identitas bagi pendekatan etik adalah unsur-unaur yang tercatat
secara sistematis dan dikemukakan oleh analisis sebagai kerangka semua
kebudayaan atas dasar pengalaman umumsebelum ia memulai kegiatan
analisis emiknya dalam suatu kebudayaan tertentu. Pada pihak lain, untuk
maksud-maksud emik, kriteria identitas pada tahap struktur yang ditelaah
ditentukan secara secepatnya pada setiap bahasa atau kebudayaan, dengan
mnunjuk pada identitas aatau perbedaan respons terhadap berbagai macam
kegiatan.
Jadi, kriteria etik menampilkan segi mutlak dalam kerangka rentangan
sensitivitas alat penelitian, kriteria emik lebih menampilkan kenisbian
dengan identitas kegiatan yang ditentukan dengan cara menunjuk pada
system kegiatan tertentu.
e. Titik Tolak dari Segi Nilai
Pendekatan etik menekankan nilai dari segi berikut : (1) dengan jalan
memberikan kepda siswa atau mahasiswa yang baru belajar latihan yang
luas tentang jenis perilaku yang terjadi di duniain sehingga menjadi lebih
siap untuk mengenal secara cepat perbedaan jenis-jenis peristiwa yang
diamati dan membantunya agar dapat membedakan secara tajam perbedaan-
perbedaan dalam peristiwa yang sama. (2) Selama proses berlangsung, ia
dapat memperoleh Teknik dan simbolisme mencatat peristiwa-peristiwa
suatu kebudayaan. (3) Akhirnya sebagai seorang spesialis yang berasal dari
suatu kebudayaan tidak ada jalan lain untuk memulai analisis emiknya
dengan deskripsi peristiwa itu secara kasar, tentative, dan secara kurang
tepat. (4) Dalam studi terjadinya peristiwa geografis, atau difusi jenis
kegiatan tertentu dalam satu lokasi, seseorang analisis barangkali tidak
memilih sesuatu untuk mengadakan studi emik secara lengkap tentang suatu
kebudayaan. Untuk itu ia membandingkannya secara etik dengan jalan
menarik sampel dari beberapa lokasi dengan mendalami beberapa daerah
strategis secara emik.
Nilai studi secara emik adalah : (1) mengarah pada pengertian tentang
cara di tempat bahasa atau kebudayaan dikonstruksi, bukan sebagai satu seri
berbagai macam bagian, tetapi sebagai kegiatan Bersama. (2) hal itu
membantu seseorang untuk meminati bukan saja susunan bahasa dan
kebudayaan secara keseluruhan, melainkan juga membantu seseorang untuk
memahami pemeran individual dlaam drama kehidupan, yaitu sikap, motif,
perhatian, respons, konflik, dan perkembangan pribadinya.
Dengan uraian tersebut tampak adanya perbedaan di antara keduanya
walaupun bagi pandangan orang awam sebenarnya sukar untuk menarik
garis perbedaan yang tegas di anatara pendekatan etik dan emik itu.
Persoalan penelitian kualitatif sehubungan dengan kedua pendekatan itu
ialah : jika kita benar-benar mau melaksanakan penelitian kualitatif,
ternyata tidak semudah matematika sederhana. Jika mau melaksanakan
penelitian dengan paradigma alamiah, maka jelas bahwa kita harus
menggunakan pendekatan emik dan menjauhkan pendekatan etik dari benak
kita. Hal demikian lebih mudah mengatakannya daripada menerapkannya
karena dalam diri kita telah terbentuk seperangkat pengetahuan, kategori,
system klasifikasi, yang barangkali secara sadar atau tidak dapat kita
kenkaan pada data. Namun, walaupun dnegan segala keterbatasan itu,
hendaknya kita berusaha agar dengan pendekatan itu kita makin dekat pada
pendekatan emik.13

13
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2019) h.88

Anda mungkin juga menyukai