Roseline Natazsa - Journal Reading ENL
Roseline Natazsa - Journal Reading ENL
Oleh:
Roseline Natazsa Puri Gracia, S.Ked
(71 2018 010)
Pembimbing:
dr. Riliani Hastuti, Sp. KK
1
HALAMAN PENGESAHAN
Oleh
Roseline Natazsa Puri Gracia, S.Ked
(71 2018 010)
Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan
Kepaniteraan Klinik di SMF Penyakit Kulit dan Kelamin RSUP dr. Rivai
Abdullah Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang.
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas baca jurnal yang
berjudul “Clinical and histopathological features in lepra reaction: a study of 50
cases” sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di
SMF Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang.
Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta
para keluarga, sahabat, dan pengikutnya sampai akhir zaman.
Dalam penyelesaian tugas ini, penulis banyak mendapat bantuan,
bimbingan, dan saran dari berbagai pihak, baik yang diberikan secara lisan
maupun tulisan. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat
dan terima kasih kepada :
1. dr. Riliani Hastuti, Sp.KK, selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Senior
di SMF Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang
2. Rekan sejawat seperjuangan serta semua pihak yang telah membantu
dalam menyelesaikan tugas ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan tugas ini masih
banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan
kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan.
Penulis
3
DAFTAR ISI
4
BAB I
PENDAHULUAN
I. Informasi Jurnal
Penulis : Urvi H. Shah, Monal M. Jadwani, Sahana P. Raju,
Pranav H. Ladani, Neela V. Bhuptani
Judul : Clinical and histopathological features in lepra
reaction: a study of cases
Penerbit/Tahun : International Journal of Research in Dermatology on
May 2019
Instansi : Department of dermatology, venerealogy and leprosy
PDU Government Medical College and Hospital,
Rajkot, Gujarat, India.
b. Pendahuluan
Kusta adalah penyakit granulomatosa kronis yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae. Dikenal juga sebagai Hansen’s disease. Kusta
adalah infeksi progresif kronis pada manusia tetapi tiba-tiba ketika
kondisinya menguntungkan, “keadaan reaksional” dapat menyebabkan
kusta, yang merupakan masalah utama dalam pengelolaan pasien kusta.
Reaksi tersebut adalah hasil respon dinamis kekebalan tubuh
menghadapi M. leprae yang mungkin terjadi sebelum, selama atau
mengikuti setelah selesainya multi-drug therapy (MDT).
5
Secara klinis, kata reaksi digambarkan sebagai munculnya gejala
dan tanda-tanda peradangan akut lesi pada pasien dengan kusta. Dan
secara imunologis, reaksi adalah episode hipersensitivitas akut terhadap
antigen bakteri, karena gangguan dalam keseimbangan imunologis yang
sudah ada sebelumnya.
Ada dua jenis utama reaksi lepra (LR, lepra reactions): reaksi tipe
1 dan reaksi tipe 2. Tipe 1 LR (T1LR), juga dijelaskan sebagai reaksi
"reversal", adalah hipersensitivitas tipe yang tertunda (hipersensitivitas
tipe IV) yang terjadi pada pasien kusta borderline dengan respon imun
seluler terhadap antigen M. leprae. Ini ditandai dengan peradangan akut
pada lesi kulit yang sudah ada sebelumnya, bisa menjadi eritematosa
atau edema dan dapat bersquamasi atau jarang mengalami ulserasi. Tidak
jarang lesi baru juga dapat muncul. Saraf sering menjadi rapuh dan
hilangnya fungsi sensorik dan motorik yang disebut sebagai neuritis.
Sesekali, edema pada wajah, tangan atau kaki adalah gejala yang
muncul, tetapi merupakan gejala konstitusional yang tidak biasa. Tipe 1
LR dapat terjadi kapan saja tetapi umumnya muncul setelah memulai
multi-drug therapy (MDT) atau selama masa nifas.
Tipe 2 LR (T2LR), juga dikenal sebagai eritema nodosum
leprosum (ENL), adalah kompleks imun yang dimediasi
(hipersensitivitas tipe III) komplikasi penyakit multibasiler (LL dan BL).
Mereka dapat terjadi sebelum, selama atau setelah perawatan. Lebih
tinggi indeks bakteriologis asli, semakin besar kemungkinan ENL akan
berkembang. Meluasnya ENL signifikan dengan buruknya prognostik.
Hingga 50% pasein LL dan 15% pasien BL mungkin mengalami reaksi
ENL. Serangan sering akut pada awalnya, tetapi mungkin prolong atau
berulang selama beberapa tahun dan akhirnya tenang tapi berbahaya,
terutama di mata. Manifestasi ENL yang paling umum adalah nodul
eritematosa yang menyakitkan pada wajah dan permukaan ekstensor
anggota badan. Lesi mungkin dangkal atau dalam, dengan nanah,
ulserasi, atau indurasi kronis dan akhirnya memudar. ENL adalah
gangguan sistemik menghasilkan demam dan malaise dan mungkin
6
disertai dengan uveitis, daktilitis, radang sendi, neuritis, limfadenitis,
miositis, dan orkitis. Neuritis perifer dan uveitis dengan komplikasi
sinekia, katarak dan glaukoma adalah komplikasi ENL paling serius.
Sebagian besar T2 LR terjadi selama tahun pertama MDT.
Reaksi bertanggung jawab untuk sebagian besar kerusakan saraf
yang permanen, deformitas, dan kecacatan. Secara klinis terdeteksi
gangguan fungsi saraf (NFI, nerve function impairment) terjadi di sekitar
10% dari paucibacillary dan 40% dari pasien kusta multibasiler. Ini
merujuk bahwa "silent neuropathy" wajar untuk subklinis keterlibatan
saraf dapat mungkin terjadi pada semua pasien kusta karena 30% dari
serabut saraf perlu dihancurkan sebelum gangguan sensorik
bermanifestasi.
Secara histologis, pada reaksi tipe 1 limfosit terdapat dalam lesi,
edema parah dengan disrupsi granuloma dan pembentukan giant-cell.
Dalam reaksi tipe 2 (ENL), neutrofil menginfiltrasi ke granuloma,
terdapat vaskulitis dan degenerasi makrofag dengan kerusakan foam-cell.
Karakteristik dasar dicatat oleh ahli patologi untuk mendiagnosis
reaksi tipe 1 yang dijelaskan oleh Ridley. Penelitian ini menggunakan
kriteria yang disepakati sebelumnya yang digunakan oleh Lockwood et
al sebagai berikut.
Edema: edema kulit didefinisikan sebagai pemisahan kolagen dengan
pallor dan vascular dilatasi. Intragranuloma edema dikatakan ada ketika
granuloma tidak kompak dan sel-sel inflamasi dipisahkan oleh ruang
intersel.
Erosi epidermis: didefinisikan sebagai keadaan inflamasi granulomatosa
yang merusak epidermis basal.
Spongiosis: didefinisikan sebagai pemisahan keratinosit oleh edema
intersel.
Lockwood et al menemukan bahwa lima temuan histologis, yaitu:
edema intra-granuloma, pembesaran ukuran dan jumlah giant-cell,
dermal edema, dan ekspresi HLA-DR berkorelasi dengan klinis reaksi
tipe 1.
7
c. Tujuan
Tujuan dan objektif dari penelitian ini adalah untuk membuat
pengamatan rinci gambaran klinis dan histopatologi pada reaksi lepra tipe
1 dan tipe 2.
d. Metode
Studi klinis-histopatologis ini dilakukan di Rumah Sakit Umum
Pusat Departemen Dermatologi, Venereologi dan Kusta di pusat
perawatan tersier (P.D.U Government Medical College and Hospital,
Rajkot, Gujarat, India) selama periode satu tahun (Oktober 2017-
November 2018). Biopsi diambil dari semua pasien yang secara klinis
didiagnosis sebagai reaksi lepra. Pewarnaan Acid Fast Bacilli (AFB),
semua pemeriksaan rutin termasuk tingkat hemoglobin, total WBC,
jumlah diferensial, LED, urin untuk albumin, gula dan mikroskopi, tes
fungsi hati dan tes fungsi ginjal untuk menyingkirkan adanya gangguan
sistemik telah dilakukan. Kami memasukkan spesimen biopsi kulit pasien
pada semua umur, didiagnosis sebagai reaksi lepra (tipe 1 dan tipe 2)
setelah menunjukkan korelasi klinis-patologis. Pasien dengan diagnosis
diragukan ditinjau secara klinis dan jika dibutuhkan, dikeluarkan dari
penelitian. Data yang dikumpulkan disajikan dalam jumlah dan
persentase dan dianalisis dengan Microsoft Excel.
8
d. Hasil
Pada reaksi tipe 1 semua pasien adalah pria dan dalam reaksi tipe 2
rasio pria : wanita adalah 1,93: 1. Secara keseluruhan, kelompok usia
yang paling umum terkena adalah 31-40 tahun (42%) diikuti oleh 41-50
tahun (28%) dan 21-30 tahun (18%) (Gambar 1).
9
Gambar 3. Jenis reaksi dalam berbagai tipe kusta
Gambar 4 Gambar 5
Gambar 4. Lesi yang timbul dan meradang pada reaksi tipe 1 kusta
borderline lepramatosa. Gambar 5. Ulserasi multiple ENL pada lesi
yang sudah ada sebelumnya.
10
Gambar 6. Temuan klinis reaksi tipe 1 dan tipe 2
Gambar 7 Gambar 8
Gambar 7. Folikulotropisme limfosit pada reaksi tipe 1.
Gambar 8. Limfositik panniculitis.
11
Gambar 9. Edema dermal dengan
infiltrat inflamasi neutrofilik perivaskular.
12
Deposisi fibrin di dinding pembuluh dan perubahan seperti vaskulitis
tercatat hanya 46% kasus dan edema vaskular terlihat pada 10% kasus
(Gambar 10).
e. Diskusi
Beberapa pengamatan menarik dilakukan dalam penelitian kami.
70% dari pasien lepra Tipe I dan Tipe II berada pada kelompok usia 31-
50 tahun, sedangkan kelompok usia yang paling umum dicatat dalam
penelitian yang dilakukan oleh Prasannan et al adalah 21-40 tahun
(44,4%). Rasio pria : wanita adalah 1,93 : 1 dalam penelitian kami
berkorelasi dengan temuan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Prasannan et al, yang menunjukkan rasio 2 : 1 untuk pria : wanita.
Tingkat kekambuhan pada reaksi tipe I adalah 25% yang
berkorelasi dengan temuan Kumar et al yang juga menunjukkan
kekambuhan sebesar di 29,4%. Tingkat rekurensi pada reaksi tipe II lebih
banyak pada 69,6% pasien dalam penelitian kami, yang hampir mirip
dengan studi yang dilakukan oleh Kumar et al (87,9%).
Dalam penelitian kami, 75% pasien dalam reaksi tipe I adalah
borderline tuberkuloid, dibandingkan dengan 92,85% kasus dalam
penelitian Kumar et al. Pada reaksi tipe II 100% pasien adalah jenis
lepromatosa, dibandingkan dengan 65% kasus pada penelitian Kumar et
al.
Pada pasien dengan reaksi tipe II, demam ditemukan pada 82,6%
kasus, artralgia 69,5%, neuritis 69,5%, edema ekstremitas 69,5% kasus,
deformitas seperti tangan cakar, auto-amputasi jari-jari kaki 17,39% dan
ulserasi sebanyak 8,69% sedangkan dalam penelitian oleh Kumar et al,
13
demam tercatat dalam semua kasus (100%), artralgia 70%, edema
ekstremitas 85% dan neuritis 40% kasus.
f. Keterbatasan
Tidak tercantum keterbatasan penelitian dalam penelitian ini.
g. Kesimpulan
Reaksi lepra lebih sering terjadi pada pasien di atas usia 20 tahun
karena orang-orang ini lebih rentan terpapar penyakit. Dominasi pria
karena pria berpergian bekerja lebih banyak dan mendapatkan paparan
14
yang lebih tinggi dan karenanya memiliki lebih banyak kemungkinan
terinfeksi. Reaksi Tipe I ditemukan lebih banyak kelompok borderline
dan reaksi tipe II ditemukan lebih banyak pasien LL daripada jenis yang
lain, yang merupakan hasil yang tidak dapat dipungkiri. Sehubungan
dengan kekambuhan, episode tunggal lebih umum pada reaksi tipe I dan
episode rekurensi lebih banyak pada reaksi tipe II. Sangat penting untuk
mengenali reaksi kusta terlepas dari jenis reaksi. Ini dikarenakan pasien
dengan reaksi tipe I lebih rentan untuk mengalami deformitas sedangkan
pasien dengan reaksi tipe II lebih rentan terhadap komplikasi sistemik.
Infiltrasi granuloma makrofag oleh neutrofil adalah tanda yang dapat
diyakini dari ENL. Tanda-tanda klasik vaskulitis tidak selalu ada pada
ENL. Folliculotropism dan limfositik panniculitis sering terjadi pada
reaksi tipe 1 sementara panniculitis neutrofilik umum terjadi pada ENL.
Histopatologi lebih signifikan untuk prognosis dibandingkan untuk
diagnostik.
h. Pemberitahuan
Penelitian ini memberi saya kebahagian luar biasa untuk menjadi
bagian dari D.V.L departemen bergengsi P.D.U Govt. Medical College
and hospital, Rajkot tempat penelitian ini dilakukan. Saya berhutang budi
kepada setiap orang yang terlibat untuk membuat penelitian ini sukses.
Pendanaan : Tidak ada sumber pendanaan
Benturan kepentingan : Tidak ada yang dinyatakan
Persetujuan etis : Tidak diperlukan.
15
BAB II
TELAAH JURNAL
2) Intervention
Pada penelitian ini tidak dilakukan intervensi.
3) Comparison
Pada penelitian ini tidak terdapat perbandingan.
4) Outcome
Reaksi lepra lebih sering terjadi pada pasien di atas usia 20 tahun
karena orang-orang ini lebih rentan terpapar penyakit. Dominasi pria karena
pria berpergian bekerja lebih banyak dan mendapatkan paparan yang lebih
tinggi dan karenanya memiliki lebih banyak kemungkinan terinfeksi. Reaksi
Tipe I ditemukan lebih banyak kelompok borderline dan reaksi tipe II
ditemukan lebih banyak pasien LL daripada jenis yang lain, yang
merupakan hasil yang tidak dapat dipungkiri. Sehubungan dengan
kekambuhan, episode tunggal lebih umum pada reaksi tipe I dan episode
rekurensi lebih banyak pada reaksi tipe II. Sangat penting untuk mengenali
reaksi kusta terlepas dari jenis reaksi. Ini dikarenakan pasien dengan reaksi
tipe I lebih rentan untuk mengalami deformitas sedangkan pasien dengan
reaksi tipe II lebih rentan terhadap komplikasi sistemik. Infiltrasi granuloma
makrofag oleh neutrofil adalah tanda yang dapat diyakini dari ENL. Tanda-
tanda klasik vaskulitis tidak selalu ada pada ENL. Folliculotropism dan
limfositik panniculitis sering terjadi pada reaksi tipe 1 sementara
panniculitis neutrofilik umum terjadi pada ENL. Histopatologi lebih
signifikan untuk prognosis dibandingkan untuk diagnostik.
17
III. Penilaian VIA (Validity, Importancy, Applicability)
1) Validity
Research question
Is the research question well-defined that can be answered using this
study design?
Tidak dijelaskan desain penelitian pada jurnal ini.
Randomization
Was the randomization list concealed from patients, clinicians, and
researchers?
Pada penelitian ini tidak dijelaskan mengenai randomisasi.
18
2) Importancy
Is this study is important?
Ya, penelitian ini penting karena hasil penelitian bertujuan untuk
dapat mengenali reaksi kusta. Sangat penting untuk dapat mengenali
reaksi kusta ini, karena pasien dengan reaksi tipe I lebih rentan untuk
mengalami deformitas sedangkan pasien dengan reaksi tipe II lebih
rentan terhadap komplikasi sistemik. Sehingga dapat mencegah
komplikasi dalam penanganan pasien lepra.
3) Applicability
Are your patient so different from these studied that the results may
not apply to them?
Tidak, walaupun penelitian ini dilakukan di India tetapi
kemungkinan jenis pasien dan hasil yang tidak jauh berbeda akan
didapatkan bila penelitian ini diterapkan di Indonesia.
Is your environment so different from the one in the study that the
methods could not be use there?
Tidak, penelitian ini dilakukan pada lingkungan yang relatif
sama dan tidak melibatkan berbagai ras atau etnis, sehingga hasil yang
tidak jauh berbeda akan terjadi bila penelitian ini diterapkan di
Indonesia.
19
BAB III
SIMPULAN
20
DAFTAR PUSTAKA
21