Waters (1995) dalam artikelnya yang berjudul Wither The State? Globalizing Politics
(1995), menjelaskan bahwa globalisasi menjadi suatu ancaman bagi negara karena
memperlemah dominasinya. Globalisasi justru melahirkan aktor baru yang menggeser peran
pemerintah seperti Multinational Corporation, International Govermental Organization dan
non-governmental organization. Globalisasi juga memaksa negara tunduk kepada organisasi
politik yang lebih besar seperti NATO, OPEC, APEC, atau pada aspek ekonomi seperti
WTO, World Bank dan IMF (Waters, 1995).
Waters (1995) juga menjelaskan tentang posisi negara yang diperlemah akibat adanya
globalisasi dengan mengadopsi pemikiran Held (1991 dalam waters 1995) yaitu (1)
meningkatnya hubungan ekonomi dan budaya yang mereduksi kekuatan negara. sehingga
kontrol pemerintah dalam kebijakan internal menjadi tidak efektif; (2) munculnya kekuatan
baru seperti TNC dianggap lebih memiliki kekuatan dibanding pemerintah; (3)
tanggungjawab negara seperti komunikasi, pertahanan dan ekonomi akan lebih baik bila
dikoordinasikan pada basis antar-pemerintah, tidak hanya ditangani sendiri; (4) negara harus
tunduk pada unit politik yang lebih besar seperti NATO, OPEC, APEC atau pada organisasi
internasional seperti IMF dan WTO; (5) sistem pemerintahan global merupakan sistem
dengan perkembangan politik dan administratif yang muncul karena dinilai lebih baik
daripada kekuatan negara (Waters 1995, 124). Berdasarkan pemikiran tersebut jelas bahwa
kontur dan postur negara dalam globalisasi melemah akibat munculnya berbagai sistem
maupun kekuatan baru akibat hasil dari fenomena globalisasi ini.
Terdapat permasalahan lain dalam aspek lingkungan yang menggambarkan pengaruh kuat
sebuah kedaulatan negara. Pertama adalah permasalahan teritori dan domestik dalam satu
negara yang dapat membahayakan negara lain tanpa kontrol yang baik dari pemerintah
domestik. Kedua adalah permasalahan alam semesta di luar teritori negara-negara yang
membutuhkan manajemen khusus, karena dianggap sebagai milik bersama seperti: atmosfir,
satelit benua benua Antartika, dan sebagainya. Peran kedaulatan negara menanggapi
permasalahan-permasalahan lingkungan tersebut dinilai sangat lemah. Kemudian dibentuklah
konferensi antar negara untuk bersama menghadapi permasalahan tersebut, seperti
diadakannya program PBB (UNCED) yakni konferensi “Earth Summit” di Rio de Janeiro,
Brazil pada tahun 1992 dan juga dibentuk rezim internasional seperti protocol kyoto. Adapula
solusi yang ditawarkan oleh Greene (1997 dalam Waters 1995) adalah adanya privatisasi dan
pengaturan regulasi antar negara (Waters 1995, 135-145).
Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa kedaulatan sebuah negara dalam
fenomena globalisasi memang mengalami banyak degradasi, karena semakin banyak isu-isu
yang tidak dapat ditangani oleh negara-negara itu sendiri. Globalisasi pun turut memunculkan
aktor-aktor baru seperti NGO, MNC, IGO yang dianggap lebih mampu menyelesaikan isu-isu
baru yang muncul. Penulis berpendapat bahwa globalisasi memang melemahkan kedaulatan
negara dengan kebebasan dan demokrasi yang dimiliki warga negara dan munculnya aktor-
aktor baru. Akan tetapi bukan berarti bahwa kedaulatan negara benar-benar hilang.
Pemerintah tetap sebagai aktor utama dalam dunia internasional karena hanya pemerintahlah
yang memiliki kekuatan penuh untuk berdaulat dan memberi keputusan terhadap pilihan yang
diambil untuk negaranya.
Referensi:
Waters, Malcolm. 1995. “Wither The State? Globalizing Politics” dalam Globalization,
London : Routledge, pp.123-159