Tugas Mata Kuliah Epidemiologi
Tugas Mata Kuliah Epidemiologi
Oleh:
Rini Novita sari 19420033
Roy Pataringas 19420036
Septiana Damayanti 19420038
Shopia Mabella 19420039
Siti Aminah Multazamiyah 19420040
Astri Pinilih 19420049
Eko Purnanto 19420050
Halaman
DAFTAR ISI
6.1. Kesimpulan................................................................................... 29
6.2. Saran ............................................................................................. 29
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
di Jepang Leptospirosis disebut Akiyama atau demam musim gugur. Di Jerman
ada dua kelompok dokter Jerman menemukannya pada tentara Jerman yang
menderita French Fever ditimur laut perancis.
2
kasus Leptospirosis dengan 29 kasus kematian di Indonesia( case fatality rate
12,13 %).Pada tahun 2013,2014, dan 2015 jumlah kasus Leptospirosis di
Indonesia secara berturut turut adalah 640,545 dan 336 kasus, sedangkan jumlah
di Jawa Timur secara berturut turut adalah 244, 61, 3 kasus. Terdapat penurunan
jumlah kasus Leptospirosis yang signifikan pada daerah Jawa Timur dari tahun
2013 hingga 2015. Sedangkan angka kematian akibat Leptospirosis di Indonesia
berkisar antara 2,5% sampai 16,4 %.2
3
BAB II
GAMBARAN MASALAH
4
Sedangkan KLB akan menyebabkan masalah ekonomi dan sosial secara
signifikan. Leptospirosis dapat menyebabkan dampak ekonomi bagi petani lokal
dan ekonomi nasional seiring dengan berkurangnya produksi pangan dan susu.4,5
KLB penyakit menular merupakan masalah kesehatan masyarakat karena
dapat menyebabkan jatuhnya korban kesakitan dan kematian dalam jumlah besar,
menyerap anggaran biaya yang besar dalam upaya penanggulanggannya,
berdampak pada sektor ekonomi, pariwisata serta berpotensi menyebar luas lintas
kabupaten/kota, provinsi bahkan global yang membutuhkan koordinasi dalam
penanggulangannya. Kejadian KLB perlu diperkirakan secara awa; dan diikuti
oleh kebijakan serta tindakan yang cepat dan tepat.3,4
Leptospirosis merupakan penyakit yang sering terlupakan sehingga
menimbulkan ketidakwaspadaan, sehingga dapat terjadi peningkatan jumlah
kasus dan menjadi wabah secara global. Dampak penyakit ini terjadi di berbagai
sektor sehingga diperlukan pendekatan yang holistik dan penangganan perspektif
secara global. Dibutuhkan pendekatan yang terintegrasi yaitu hewan-manusia-
ekosistem dalam memprediksi, mencegah dan menanggulangi terjadinya KLB
Leptospirosis. Organisasi internasional yaitu International Leptospirosis Society
dapat mengembangkan upaya pencegahan melalui koorsinasi dengan Negara-
negara terjangkit, seperti misalnya mengembangkan registrasi kasus secara global
sehingga dapat memperikrakan insidens dan prevalensi yang dapat mendukung
kebijakan kesehatan publik.4,5
5
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh
mikroorganisme Leptospira interogans tanpa memandang bentuk spesifik
serotipenya. Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Weil pada tahun 1886 yang
membedakan penyakit yang disertai dengan ikterus ini dengan dengan penyakit
lain yang juga menyebabkan ikterus. Bentuk berat dari penyakit ini dikenal
sebagai Weil’s disease. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti mud
fever, slime fever, swamp fever, autumnal fever, infectious jaundice, field fever,
cane cutter fever, dan lain-lain.27Leptospirosis acapkali luput didiagnosa karena
gejala klinis tidak spesifik, dan sulit dilakukan konfirmasi diagnosa tanpa uji
laboratorium. Kejadian luar biasa leptospirosis dalam dekade terakhir di beberapa
negara telah menjadikan leptospirosis sebagai salah satu penyakit yang termasuk
the re-emerging infectious diseases.6
3.2 Epidemiologi
6
tertular Leptospirosis semakin tinggi di wilayah pedesaan dimana masyarakat
sebagian besar merupakan petani atau peternak.
7
kematian karena terjadi KLB di Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Tengah karena
intensitas hujan yang tinggi berakibat tejadinya banjir.7
3.3 Etiologi
Leptospirosis disebabkan oleh organisme pathogen dari genus Leptospira
yang termasuk dalam ordo Spirochaeta dalam Famili Trepanometaceae. Bakteri
ini berbentuk spiral dengan pilinan yang rapat dan ujung-ujungnya berbentuk
seperti kait sehingga bakteri sangat aktif baik gerakan berputar sepanjang
sumbunya, maju-mundur, maupun melengkung, Ukuran bakteri ini 0,1 mm x 0,6
mm sampai 0,1 mm x 20 mm.
Leptospira dapat di warnai dengan pewarnaan karbolfuchsin. Namun
bakteri ini hanya dapat dilihat dengan mikroskop medan gelap. Bakteri ini bersifat
aerob obligat dengan pertumbuhan optimal pada suhu 280C-300C dan pH 7,2 –
8,0. Dapat tumbuh pada media yang sederhana yang kaya vitamin(Vit B2 dan
B12), asam lemak rantai panjang dan garam ammonium. Asam lemak rantai
panjang akan di gunakan sebagai sumber karbon tunggal dan di metabolisme oleh
alfa-oksidase. Leptospira peka terhadap asam dan dapat hidup di air tawar selama
kurang lebih satu bulan tetapi di air laut, air selokan dan air kemih yang tidak
dilencerkan akan cepat mati.
Genus Leptospira terbagi dalam dua serovarian yaitu L. interrogate yang
bersifat pathogen (yaitu memiliki potensi untuk menyebabkan penyakit pada
hewan dan manusia) dan serovarian L. Biflexa yang bersifat non pathogen/
saprophytic (yaitu hidup bebas dan umumnya dianggap tidak menyebabkan
penyakit). Leptospira pathogen dipelihara di alam di tubulus ginjal dan saluran
kelamin hewan tertentu. Saprophytic Leptospira ditemukan di berbagai jenis
lingkungan basah atau lembab mulai dari permukaan air dan tanah lembab.
Bahkan untuk Saprophytichalophilic (menyukai garam) Leptospira dapat
ditemukan dalam air laut.
Unit Sistematis dasar dari kedua species tersebut adalah serovar, yang
ditentukan berdasarkan kesamaan dan perbedaan antigenik. Masingmasing
serovar memiliki susunan karakteristik antigenik. Sebelum analisis DNA
8
berkembang, klasifikasi serovar di lakukan dengan pengujianserologis reaksi
silang aglutinasi absorpsi (menggunakan antibody serum untuk mengindetifikasi
jenis yang sama atau berbeda dari bakteri). Saat ini lipopolisakarida (LPS) adalah
antigen utama yang terlibat dalam klarifikasi serologi. Heterogenitas struktur
dalam komponen karbohidrat dari gugus LPS berasal dari perbedaan gen yang
terlibat dalam biosintesis LPS tampaknya menjadi dasar untuk menetukan variasi
antigenik diamati antara serovarian.7
3.4 Reservoir
Hampir semua spesies mamalia dapat menjadi tempat berkembangnya
Leptospira di dalam ginjalnya dan bertindak sebagai sumber infeksi untuk
manusia dan hewan lainnya. Biasanya yang menjadi reservoir untuk Leptospira
adalah sapi, kerbau, kuda, domba, kambing, babi, anjing dan hewan pengerat.
Tikus merupakan binatang pertama kali dikenali sebagai reservoir Leptospirosis,
yang dapat menularkan Leptospira seumur hidup mereka tanpa menunjukan
manifestasi klinis, yaitu sebagai carrier berkepanjangan. Mereka di curigai
sebagai sumber utama infeksi pada manusia. Meskipun serovar
Ichterohaemorrhagiae, Copenhageni, Grippotyphosa dan Ballum telah sering
dikaitkan dengan tikus, serovar lainnya juga telah diisolasi dari tikus. Babi dan
sapi, dalam keadaan carrier dapat mengeluarkan Leptospira dalam jumlah yang
sangat besar (Yaitu, kolonisasi Leptospira kronis tubulus ginjal) dan dapat
menjadi sumber infeksi bagi manusia. Tidak semua hewan yang terinfeksi dengan
Leptospira menujukan gejala sakit. Beberapa hewan menjadi host alami untuk
serovar tertentu biasanya tidak menunjukan gejala sakit atau relatif sakit ringan
setelah terinfeksi dengan serovar itu. Namun, hewan tersebut dapat mengalami
sakit berat setelah terinfeksi dengan serovar lain. Infeksi kronis pada hewan dapat
menyebabkan masalah reproduksi, seperti aborsi dan mengurangi kesuburan pada
sapi dan babi mungkin menderita sindrom icterohaemorahagic dengan akibat
fatal. Anjing dapat menderita penyakit kronis yang menyebabkan kerusakan
ginjal, tetapi juga mungkin menderita sindrom Weil’s seperti penyakit akut
setelah infeksi serovar tertentu.
9
Leptospirosis di Indonesia terutama disebarkan oleh tikus yang
melepaskan bakteri melalui urin ke lingkungan. Reservoir yang tahan terhadap
infeksi bakteri Leptospira tikus got (Rattus Norvegicus) kebun/ladang (Rattus
exulans) akan menjadi sumber penularan pada manusia dan hewan. Sedangkan
tikus yang peka terhadap infeksi bakteri Leptospira seperti tikus rumah asia
(Rattus tanezumi), tikus got (Rattus norvegicus), dll. Hewan-hewan lain yang
berpotensi tertular Leptospirosis (babi, sapi, kambing, domba, kuda, anjing,
kucing, kelinci, bajing kucing, dll) dapat pula sebagai sumber penularan kepada
manusia pada kondisi tertentu. Hewan-hewan yang menjadi sumber penularan
Leptospirosis ialah rodent (tikus, tupai), babi, sapi, kambing, domba, kuda,
anjing, kucing, serangga, burung, insektivora (landak, kelelawar). Di Indonesia
tikus adalah menjadi sumber utama penular Leptospirosis.7
3.5 Patogenesis
Infeksi pada manusia biasanya terjadi akibat air minum atau makanan
yang terkontaminasi dengan leptospira. Selaput mukosa dan kulit yang terluka
merupakan tempat masuk yang paling mungkin bagi leptospira patogenik. Setelah
masuknya bakteri ini terjadi infeksi tersebar di seluruh tubuh termasuk cairan
serebrospinal dan mata, tetapi tidak timbul lesi pada tempat masuk. Hialuronidase
dan gerak yang menggangsir (burrowing motility) telah diajukan sebagai
mekanisme masuknya leptospira ke tempat infeksi tersebut, yang secara normal
terlindung.
Bakteri leptospira yang memasuki aliran darah berkembang, lalu
menyebar luas ke seluruh jaringan tubuh. Kemudian terjadi respon imunologi baik
secara seluler maupun humoral sehingga infeksi ini dapat ditekan dan terbentuk
antibodi spesifik. Walaupun demikian beberapa organisme ini masih bertahan
pada daerah yang terisolasi secara imunologi seperti di dalam ginjal dimana
sebagian mikroorganisme akan mencapai convoluted tubules, bertahan disana dan
dilepaskan melalui urin (fase leptospirurik).Urin pada fase leptospirurik
merupakan salah satu media penularan penyakit ini.32 Leptospira dapat dijumpai
dalam air kemih sekitar 8 hari sampai beberapa minggu setelah infeksi dan sampai
10
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian. Leptospira dapat dihilangkan
dengan fagositosis dan mekanisme humoral. Kuman ini dengan cepat lenyap dari
darah setelah terbentuknya agglutinin. Setelah fase leptospiremia 4-7 hari,
mikroorganisme hanya dapat ditemukan dalam jaringan ginjal dan okuler.
Leptospiruri berlangsung selama 1-4 minggu. Tiga mekanisme yang terlibat pada
patogenesis leptospirosis ialah: invasi bakteri langsung, faktor inflamasi non
spesifik, dan reaksi imunologi.6
11
terjadi di kulit pada leptospirosis ringan diantaranya adalah urtikaria, makula atau
makulopapula, kemerahan dan purpuric rash. Fase pertama berlangsung selama
3-9 hari diikuti dengan penurunan suhu tubuh hingga mencapai normal selama 2-
3 hari, setelah itu fase kedua atau fase imun terjadi.
Fase imun ditandai dengan leptospiruria dan berhubungan dengan
penampakan antibodi IgM dalam serum. Pada fase ini patogen leptospira menetap
didalam glomerolus dan dieliminasi dari seluruh jaringan tubuh kecuali mata dan
mungkin otak, dimana patogen leptospira dapat bertahan selama beberapa minggu
atau bulan. Demam dan gejala awal kembali terjadi pada beberapa pasien, dan
tanda dari meningitis, seperti sakit kepala, fotofobia, dan kaku kuduk dapat
terjadi.
Keterlibatan sistem saraf pusat pada leptospirosis paling sering terjadi
sebagai aseptic meningitis. Komplikasi seperti, optic neuritis, uveitis,
iridocyclitis, chorioretinitis, dan neuropati perifer terjadi lebih sering pada fase
imun. Sebuah manifestasi yang jarang namun parah ialah hemorrhagic
pneumonia. Penyakit pada leptospirosis anikterik mungkin self-limited,
berlangsung selama 4-30 hari, dan umumnya terjadi pemulihan sempurna.
Leptospirosis ikterik. Pada leptospirosis ikterik atau Weil’s disease,
demam tinggi persisten dan ikterus dapat mengaburkan dua fase leptospirosis. Hal
ini biasanya disertai dengan disungsi hepar, insufisiensi ginjal, perdarahan, dan
multi-organ failure (MOF). Perdarahan dapat terjadi berupa ptechiae, purpura,
perdarahan konjungtiva, dan perdarahan saluran cerna. MOF berkaitan dengan
tingginya angka kematian. Myocarditis dan hemorrhagic pulmonary infiltration
adalah komplikasi lain yang dapat berakibat fatal. Leptospirosis ikterik pada
umumnya disebabkan oleh serovar L.icterohaemorrhagiae.6
12
tidak menyebabkan penyakit tetapi hanya mengubah probabilitas seseorang (atau
risiko) untuk mendapatkan penyakit. Secara epidemiologik bahwa penyakit
dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu pertama faktor agent penyakit yang
berkaitan dengan penyebab (jumlah, virulensi, patogenitas kuman Leptospira),
faktor kedua yang berkaitan dengan faktor host (pejamu/tuan rumah/penderita)
termasuk di dalamnya adalah keadaan kebersihan perorangan, keadaan gizi, usia,
taraf pendidikan, jenis pekerjaan, sosial ekonomi dll, dan Faktor ketiga adalah
lingkungan fisik (selokan tidak terawat, banyak genangan air) lingkungan bilogik
(banyaknya populasi tikus di dalam atau sekitar rumah, hewan piaraan sebagai
hospes perantara), lingkungan sosial ekonomi (jumlah pendapatan), lingkungan
budaya.
13
berjalan disekitar rumah tanpa alas kaki mempunyai risiko tinggi untuk tertulari
Leptospira.
14
hewan-hewan tersebut didapatkan 12 dari 23 (52, 1%) tikus, 6 dari 9 (66, 6%)
kucing, 2 dari 4 (50%) anjing, 18 dari 34 (52, 9%) hewan ternak test MAT positif.
15
Ada 3 (tiga) kriteria yang ditetapkan dalam mendenifisikan kasus Leptospirosis
yaitu suspek, probable dan konfirmasi:
a. Kasus suspek
Demam akut dengan atau tanpa sakit kepala disertai:
1) Nyeri otot;
d) Kontak erat dengan binatang lain seperti sapi, kambing, anjing yang
dinyatakan secara laboratorium terinfeksi Leptospira;
16
pekerja perkebunan, petugas kebersihan dirumah sakit, pembersih
sekolahan, pekerja tambang, pekerja tambak udang/ikan air tawar,
tentara, pemburu;
b. Kasus Probable
a) Nyeri betis;
b) Ikterus;
c) Oliguria/anuria;
d) Manifestasi perdarahan;
e) Sesak nafas;
f) Aritmia jantung;
h) Ruam kulit.
17
c. Kasus konfirmasi
Kasus suspek atau kasus probabel disertai salah satu dari berikut ini:
2) PCR positif;
3) Sero konversi MAT dari negatif menjadi positif atau adanya kenaikan
titer 4x dari pemeriksaan awal;
4) Titer MAT 320 (400) atau lebih pada pemeriksaan satu sampel.7
18
BAB IV
Kebijakan dan program nasional terkait wabah juga diatur oleh kementrian
pertahanan Republik Indonesia dalam peraturan menteri pertahanan republik
indonesia nomor 40 tahun 2014 tentang perlibatan satuan kesehatan kementrian
pertahanan dan tentara nasional indonesia dalam zoonosis, berikut strategi
pengendalian zoonosis pada pasal 4.9
19
4.1 Kegiatan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik
20
> IR = 65,7 per 100.000 penduduk), yang datanya diperoleh dengan
menghitung jumlah kabupaten/kota dengan IR DBD <49/100.000 penduduk
dibagi dengan seluruh Kabupaten/Kota pada tahun yang sama.
5. Persentase kabupaten/kota yang eliminasi rabies dengan target sebesar 85%.
Indikator ini dimaksudkan untuk mengetahui persentase kabupaten/kota yang
eliminasi rabies yaitu jumlah kabupaten/kota endemis rabies tidak ditemukan
kasus kematian rabies/lyssa) selama 2 tahun berturut-turut, yang datanya
diperoleh dengan menghitung jumlah kabupaten/kota endemis rabies yang
melakukan eliminasi rabies) dibagi jumlah kabupaten/kota endemis rabies x
100 % pada tahun berjalan.
6. Persentase kajian faktor risiko penyakit tular vektor zoonotik di wilayah
layanan B/BTKL PP yang digunakan sebagai salah satu dasar/rujukan upaya
pencegahan/pengendalian penyakit tular vektor zoonotik sebesar 100%.
Indikator ini untuk mendukung upaya pencegahan dan pengendalian penyakit
melalui pelaksanaan kajian faktor risiko penyakit tular vektor zoonotik oleh
B/BTKL PP dan diketahui dengan menghitung jumlah hasil kajian penyakit
tular vektor zoonotik oleh B/BTKL PP yang digunakan oleh Satker Pusat
dalam melakukan upaya pencegahan dan pengendalian penyakit penyakit
tular vektor zoonotik dibagi jumlah seluruh kajian yang dilaksanakan oleh
B/BTKL dalam satu tahun dikali seratus persen.
7. Persentase pelabuhan/bandara/PLBD yang bebas dari faktor risiko penyakit
tular vektor sebesar 100 % Indikator ini untuk mendukung upaya pencegahan
pengendalian penyakit tular vektor melalui upaya pengendalian vektor di
pelabuhan/bandar udara/PLBD dan diketahui dengan menghitung luas
wilayah pelabuhan/bandar udara/. Pos Lintas Batas Darat yang bebas dari
vektor penyakit demam berdarah, malaria, diare, dan pes dalam satu tahun.
Luas wilayah bebas vektor dihitung berdasarkan luas wilayah yang memenuhi
syarat bebas vektor dibagi dengan luas wilayah yang diintervensi dan atau
disurvei dikali seratus persen.
21
4.2 Kebijakan Operasional Pengendalian Leptospirosis
22
Melaksanakan evaluasi untuk mengetahui hasil kegiataan program dan
sebagai dasar perencanaan selanjutnya.
23
8. Bimbingan teknis/supervisi.
9. Monitoring dan evaluasi.
24
anuria/oliguria, sesak nafas atau aritmia jantung. Leptospirosis berat harus
dirawat/dirujuk di Rumah sakit terutama Rumah Sakit Dati II atau Rumah Sakit
Provinsi yang memiliki fasilitas ruang perawatan intensif, dialisis dll. Untuk
menangani komplikasi gagal ginjal, ARDS, dan pendarahan paru.8
25
pengendalian Leptospirosis baik sarana, prasarana, sumber daya manusia dan dana
sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing.8
26
BAB V
LANGKAH-LANGKAH INVESTIGASI
27
pada sore hari dan pengumpulan perangkap tikus keesokan harinya pagi-pagi
sekali. Tikus dibawa ke laboratorium lapangan dan pengambilan darah/ serum dan
organ dengan member label dan nomer untuk diidentifikasi kemudian dikirim ke
Balai Besar Veteriner (BBvet) di Bogor untuk pemeriksaan lebih lanjut.12
28
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Leptospirosis adalah penyakit zoonasa yang di sebabkan oleh infeksi
bakteri berbentuk spiral dari genus Leptospira yang pathogen, yang ditularkan
secara langsung dan tidak langsung dari hewan ke manusia. Faktor yang
atau binatang perilaku hidup bersih yang kurang baik seperti keberadaan sampah
di dalam rumah, keberadaan tikus didalam rumah dan lingkungan di sekitar rumah
karena Leptospira hidup lebih lama dalam lingkungan yang hangat dan kondisi
lembab.
6.2 Saran
Saran untuk masyarakat adalah masyarakat diharapkan dapat
meningkatkan pengetahuan kesehatan terutama mengenai penyakit leptospirosis.
Dengan mengetahui akan penyakit tersebut, pencegahan dan penanggulangannya
dapat dilakukan sehingga penyakit leptospirosis tidak menimbulkan patologi atau
infeksi yang berat karena telatnya penanganan. Masyarakat juga harus
29
meningkatkan dan memelihara lingkungan bersih, membuang sampah pada tong
sampah, menjaga sanitasi diri sendiri maupun lingkungan karena
bakteri Leptospira menyebar pada lingkungan yang kotor dan dapat terbawa oleh
air. Serta diharapkan bagi pemerintah dapat melakukan promosi kesehatan
mengenai penyakit leptospirosis kepada masyarakat terutama di daerah – daerah
yang sering mengalami banjir dan meningkatkan pelayanan medis dalam
mengobati penderita leptospirosis.
30
DAFTAR PUSTAKA
31
10. Keputusan Direktur Jendral Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Nomor HK.
02.03/D1/I.1/527/2018. Rencana Aksi Program Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit 2015-2019. Revisi I - 2018. Jakarta, 2018.
11. Ristianto, Dkk. Studi Pencegahan Penularan Leptospirosis di Daerah Persawahan
di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Vektora, Vol. V No. 1.
Juni, 2013.
12. RI, Ditjen PP&PL Kemenkes. "Buku Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan
Kejadian Luar Biasa Penyakit Menular dan Keracunan Pangan (Pedoman
Epidemiologi Penyakit)." Edisi revisi 2011. Jakarta: KEMENKES RI; 2011. Hal
108-109.
32