Anda di halaman 1dari 34

TUGAS MATA KULIAH EPIDEMIOLOGI

PENYELIDIKAN WABAH LEPTOSPIROSIS


Dosen : Dr. Mondastri Korib, dr., MPH

Oleh:
Rini Novita sari 19420033
Roy Pataringas 19420036
Septiana Damayanti 19420038
Shopia Mabella 19420039
Siti Aminah Multazamiyah 19420040
Astri Pinilih 19420049
Eko Purnanto 19420050

PROGRAM PASCASARJANA KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNG
TAHUN 2020
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1

BAB II. GAMBARAN MASALAH ............................................................... 4

BAB III. TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi ......................................................................................... 6


3.2. Epidemiologi ................................................................................ 6
3.3. Etiologi ......................................................................................... 8
3.4. Reservoir ...................................................................................... 9
3.5. Patogenesis ................................................................................... 10
3.6. Manifestasi Klinis ........................................................................ 11
3.7. Faktor Risiko ................................................................................ 12
3.8. Definisi kasus leptospirosis .......................................................... 15
3.9. Diagnosis Banding ....................................................................... 18
3.10Tatalaksana ................................................................................... 18

BAB IV. KEBIJAKAN DAN PROGRAM NASIONAL

4.1. Kegiatan Pencegahan & Pengendalian Penyakit .......................... 20


4.2. Kebijakan Operasional Pengendalian Leptospirosis .................... 22
4.3. Strategi Pengendalian Leptospirosis ............................................ 23
4.4. Kegiatan Pokok Pengendalian Leptospirosis ............................... 23
4.5. Manajemen KLB .......................................................................... 24
4.6. Sistem Rujukan ............................................................................ 24
4.7. Pengendalian Faktor Risiko ......................................................... 25
4.8. Strategi Promosi Kesehatan dlm Pengandalian leptospirosis ...... 25
4.9. Peran Jajaran Kesehatan ............................................................... 25

BAB V. LANGKAH – LANGKAH INVESTIGASI .................................... 27

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan................................................................................... 29
6.2. Saran ............................................................................................. 29

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Leptospirosis adalah penyakit zoonasa yang di sebabkan oleh infeksi


bakteri berbentuk spiral dari genus Leptospira yang pathogen, yang ditularkan
secara langsung dan tidak langsung dari hewan ke manusia. Definisi penyakit
zoonosa (Zoonosis) adalah penyakit yang secara alami dapat ditularkan dari
hewan vertebrata ke manusia atau sebaliknya.

Leptospirosis merupakan zoonosis yang diduga paling luas


penyebarannya di dunia, di beberapa negara di kenal dengan istilah “deman urin
tikus”, tetepi dikarenakan sulitnya diagnosis klinis dan mahalnya alat diagnostik
banyak kasus Leptospirosis yang tidak terlaporkan. Faktor lemahnya
surveilans,keberadaan vektor dengan tingginya populasi tikus dan kondisi sanitasi
lingkungan yang jelek dan kumuh akibat banjir merupakan faktor faktor penyebab
terjadinya kasus Leptospirosis.

Dari aspek penyebabnya, Leptospirosis adalah suatu bakterial zoonosis.


Dari aspek cara transmisinya Leptospirosis merupakan salah satu direct zoonoses
(host to host transmission) karena penularannya hanya memerlukan satu vertebra
saja. Penyakit ini bebas berkembang di alam diantara hewan baik liar maupun
domistik dan manusia merupakan infeksi terminal yaitu manusia tidak
menularkan. Dari aspek ini penyakait tersebut termasuk golongan
anthropozoonoses, karena manusia merupakan “dead and” infeksi. Leptospirosis
disebut juga sebagai “Weills Disease”, yang diberikan sebagai penelitian dan
penghargaan kepada penemu pertama bakteri ini yaitu Adolf Weill di Heidelberg,
Jerman (1870), melaporkan adanya penyakit tersebut pada manusia dengan
gambaran seperti demam, pembesaran hati dan limpa, ikterus dan ada tanda tanda
kerusakan pada ginjal.

Dinegara Tiongkok/Cina Leptospirosis semula dianggap sebagai penyakit


yang berkaitan dengan pekerjaan (Occupational disease) pada para petani, sedang

1
di Jepang Leptospirosis disebut Akiyama atau demam musim gugur. Di Jerman
ada dua kelompok dokter Jerman menemukannya pada tentara Jerman yang
menderita French Fever ditimur laut perancis.

Di USA Leptospira dari kelompok Hebdomadis ternyata lebih prevalen


dari serovar serovar dari serogroup yang lain. Leptospira dari kelompok
Hebdomadis ini terutama strain Hardjo dibukitkan mempunyai asosiasi dengan
penyakit yang bersifat klinis, keguguran dan agalaksia,dan telah diisolasikan dari
fetus sapi yang abortus.

Lepstospirosis di Indonesia terutama disebarkan oleh tikus yang


melepaskan bakteri melalui urin ke lingkungan. Sedangkan binatang lain yang
diduga bisa menularkan Leptospirosis di Indonesia menurut survei yang
dilakukan Balitvet bulan mei 2011 adalah anjing, babi, sapi, dan kambing.
Manusia terinfeksi melalui kulit yang terluka atau selaput mukosa. Leptospirosis
ringan diperkirakan mencapai 90% dari seluruh kasus Leptospirosis di masyarkat
dengan gejala demam, sakit kepala dan nyeri otot. Sisanya 10 % merupakan
Leptospirosis berat yang disertai gejala kegagalan ginjal, sakit kuning dan
perdarahan.

Beberapa wilayah di Indonesia merupakan daerah endemis untuk


Leptospirosis dan sampai saat ini Leptospirosis masih menjadi ancaman bagi
kesehatan masyarakat di Indonesia karena berkaitan dengan keberadaan faktor
resiko yaitu tingginya populasi tikus sebagai reservoar Leptospirosis, buruknya
sanitasi lingkungan serta semakin meluasnya daerah banjir di Indonesia, sehingga
saat ini Leptospirosis di Indonesia terus menyebar dan menyebabkan kematian
manusia.1

Setiap tahun kejadian Leptospiroasis diperkirakan mencapai 1,03 juta


kasus diselurh dunia (95% CI : 0,43-1,75). Leptospirosis paling banyak dijumpai
di negara berkembang dan tropis. Prevalensi dan insidensi Leptospirosis di
Indonesia selalu berubah setiap tahunnya. Pada tahun 2008 terdapat 131 penduduk
Semarang dengan Leptospirosis positif. Pada tahun 2012 dilaporkan terdapat 239

2
kasus Leptospirosis dengan 29 kasus kematian di Indonesia( case fatality rate
12,13 %).Pada tahun 2013,2014, dan 2015 jumlah kasus Leptospirosis di
Indonesia secara berturut turut adalah 640,545 dan 336 kasus, sedangkan jumlah
di Jawa Timur secara berturut turut adalah 244, 61, 3 kasus. Terdapat penurunan
jumlah kasus Leptospirosis yang signifikan pada daerah Jawa Timur dari tahun
2013 hingga 2015. Sedangkan angka kematian akibat Leptospirosis di Indonesia
berkisar antara 2,5% sampai 16,4 %.2

Dalam upaya pengendalian Leptospirosis Kementerian Kesehatan telah


melaksanakan berbagai upaya seperti membuat surat edaran kewaspadaan
Leptospirosis setiap tahunya, pengadaan rapit tes diagnostik sebagai buffer stok
apabila terjadi KLB, mendistribusikan media KIE seperti buku pedoman,leaflet,
poster,roll banner dll. Beberapa masalah dalam kegiatan penanggulangan
Leptospirosis di Indonesia diantaranya sebagian besar pasien Leptospirosis datang
kerumah sakit dalam keadaan terlambat, masih rendanya sensitivitas kemampuan
petugas kesehatan dasar dalam mendiagnosis Leptospirosis, terbatasnya fasilitas
pemeriksaan laboratorium serta surveilans Leptospirosis yang belum berjalan
dengan baik.1

Hal tersebutlah yang menjadi bahan pertimbangan mengapa kasus


Leptospirosis di Indonesia perlu diangkat sebagai bahan pemikiran para
pengambil kebijakan baik ditingkat daerah maupun pusat dalam hal ini adalah
dinas kesehatan dan stakeholder lainnya.

Melihat masih adanya kasus kematian akibat Leptospirosis dibeberapa


daerah di Indonesia menunjukan bahwa indonesia memang sebagai daerah yang
belum bebas dari Leptospirosis, meskipun angka kejadian Leptospirosis semakin
menurun. Satu kasus kematian yang dilaporkan akibat Leptospirosis sudah
merupakan Kejadian Luar Biasa/KLB

3
BAB II

GAMBARAN MASALAH

Indonesia merupakan Negara dengan insiden Leptospirosis yang tinggi.


Leptospirosis terdapat di 33 provinsi Indonesia dan berkaitan dengan keberadaan
binatang tikus (Rodent) sebagai reservoir utama disamping binatang penular
lainnya seperti anjing, kucing, sapi dan lainnya serta lingkungan sebagai faktor
resiko. Buruknya sanitasi lingkungan serta semain meluasnya daerah banjir di
Indonesia merupakan faktor tingginya kejadian Leptospirosis.3
Peningkatan kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secara
epidemiologi pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu dan menjurus pada
terjadinya wabah disebut dengan kejadian luar biasa (KLB). Kejadian luar biasa
Leptospirosis dapat menimbulkan dampak kesehatan dan non kesehatan bagi
masyarakat. KLB berdampak pada sektor ekonomi baik pemerintah, swasta dan
rumah tangga. Hal ini juga dapat mempengaruhi kualitas hidup masyarakat.4
Beberapa wilayah di Indonesia merupakan daerah endemis Leptospirosis.
Kegiatan penanggulangan Leptospirosis belum menjadi kegiatan rutin di sejumlah
wilayah di Indoensia. Pada tahun 2001, sebanyak 139 spesimen serum telah
dilakukan pemeriksaan terhadap Leptospirosis dan hasilnya 18,7% positif dengan
sevoar dominan adalah bataviae.1 Pada keadaan banjir di bulan Januari 2002
terjadi wabah Leptospirosis teruatama di Jakarta. Kegiatan serosurvei telah
dilakukan pada binatang pada saat banjir tersebut. Hasil memperlihatkan tingkat
seropositif yang tinggi diantara binatang peliharaan sebagai reservoir infeksi
seperti kucing, anjing, dan ternak sapi dengan demikian risiko infeksi pada
manusia tinggi.4
Dampak kesehatan bagi manusia yang terjangkit Leptospirosis bervariasi.
Case Fatality Rate dilaporkan sekitar 5%-30% yang dipengaruhi oleh ketepatan
waktu intervensi. Leptospirosis dapat menimbulkan komplikasi yang berat seperti
Weil’s disease, perdarahan paru berat hingga kematian. Dampak bagi perorangan
dan keluarga adalah biaya perawatan rumah sakit dan kehilangan waktu bekerja.

4
Sedangkan KLB akan menyebabkan masalah ekonomi dan sosial secara
signifikan. Leptospirosis dapat menyebabkan dampak ekonomi bagi petani lokal
dan ekonomi nasional seiring dengan berkurangnya produksi pangan dan susu.4,5
KLB penyakit menular merupakan masalah kesehatan masyarakat karena
dapat menyebabkan jatuhnya korban kesakitan dan kematian dalam jumlah besar,
menyerap anggaran biaya yang besar dalam upaya penanggulanggannya,
berdampak pada sektor ekonomi, pariwisata serta berpotensi menyebar luas lintas
kabupaten/kota, provinsi bahkan global yang membutuhkan koordinasi dalam
penanggulangannya. Kejadian KLB perlu diperkirakan secara awa; dan diikuti
oleh kebijakan serta tindakan yang cepat dan tepat.3,4
Leptospirosis merupakan penyakit yang sering terlupakan sehingga
menimbulkan ketidakwaspadaan, sehingga dapat terjadi peningkatan jumlah
kasus dan menjadi wabah secara global. Dampak penyakit ini terjadi di berbagai
sektor sehingga diperlukan pendekatan yang holistik dan penangganan perspektif
secara global. Dibutuhkan pendekatan yang terintegrasi yaitu hewan-manusia-
ekosistem dalam memprediksi, mencegah dan menanggulangi terjadinya KLB
Leptospirosis. Organisasi internasional yaitu International Leptospirosis Society
dapat mengembangkan upaya pencegahan melalui koorsinasi dengan Negara-
negara terjangkit, seperti misalnya mengembangkan registrasi kasus secara global
sehingga dapat memperikrakan insidens dan prevalensi yang dapat mendukung
kebijakan kesehatan publik.4,5

5
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh
mikroorganisme Leptospira interogans tanpa memandang bentuk spesifik
serotipenya. Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Weil pada tahun 1886 yang
membedakan penyakit yang disertai dengan ikterus ini dengan dengan penyakit
lain yang juga menyebabkan ikterus. Bentuk berat dari penyakit ini dikenal
sebagai Weil’s disease. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti mud
fever, slime fever, swamp fever, autumnal fever, infectious jaundice, field fever,
cane cutter fever, dan lain-lain.27Leptospirosis acapkali luput didiagnosa karena
gejala klinis tidak spesifik, dan sulit dilakukan konfirmasi diagnosa tanpa uji
laboratorium. Kejadian luar biasa leptospirosis dalam dekade terakhir di beberapa
negara telah menjadikan leptospirosis sebagai salah satu penyakit yang termasuk
the re-emerging infectious diseases.6

3.2 Epidemiologi

Leptospirosis terjadi di berbagai belahan dunia tetapi pada umumnya di


wilayah tropis dan subtropis dengan curah hujan yang tinggi. Leptospirosis
merupakan penyakit endemis di sejumlah negara bahkan di dunia. Sering
memiliki distribusi musiman dan meningkat dengan adanya peningkatan curah
hujan atau peningkatan temperatur bahkan penyakit ini dapat terjadi sepanjang
tahun.

Sejumlah Negara di wilayah Asia Tenggara telah melaporkan adanya


kasus Leptospirosis dari waktu ke waktu dan sebagian besar negara di wilayah
Asia Tenggara merupakan wilayah endemis Leptospirosis. Besaran masalah
Leptospirosis di setiap negara berbeda-beda dan sering dipengaruhi oleh berbagai
faktor seperti sosio-kultural, pekerjaan, perilaku dan faktor lingkungan. Risiko

6
tertular Leptospirosis semakin tinggi di wilayah pedesaan dimana masyarakat
sebagian besar merupakan petani atau peternak.

1. Distribusi di Dunia Umumnya kasus Leptospirosis pada manusia dilaporkan dari


India, Indonesia, Thailand dan Sri Lanka selama musim hujan. Wabah besar
Leptospirosis di wilayah Asia Tenggara telah di laporkan terjadi di Jakarta (2003),
Mumbai (2005) dan Sri Lanka (2008). Wabah musiman di laporkan terjadi di
wilayah Thailand bagian Utara dan Gujarat (India) setelah hujan deras dan banjir.
Berdasarkan laporan beberapa tahun terakhir, insiden kasus Leptospirosis secara
global di perkirakan dari 0,1-1 per 100.000 per tahun di daerah beriklim sedang
dan 10-100 per 100.000 pertahun di daerah tropik lembab. Insiden penyakit ini
dapat mencapai lebih dari 100 per 100.000 per tahun pada keadaan wabah dan
paparan tinggi pada kelompok risiko.

2. Distribusi di Indonesia Pada tahun 2007 terjadi peningkatan kasus Leptospirosis


pada manusia, di laporkan sebanyak 667 kasus dan 93% hasil laboratorium
konfirmasi dengan angka kematian 8%. Pada tahun 2010 kasus Leptospirosis di
Indonesia di laporkan sebanyak 410 kasus dengan 46 kasus kematian (CFR 11,
2%). Kasus tersebut ditemukan di delapan (8) provinsi : DKI Jakarta, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bengkulu, Kepulauan Riau, dan
Sulawesi Selatan.
Pada periode tahun 2009 sd 2011 kasus Leptospirosis di Indonesia semakin
meningkat. Tahun 2011 merupakan kasus paling banyak dengan 857 kasus
dengan 82 kasus kematian (CFR 9, 56%) hal tersebut di karenakan terjadinya KLB
di provinsi Di Yogyakarta. Tahun 2012 kasus mengalami penurunan yaitu 222
kasus dan 28 kematian akan tetapi angka kematian meningkat CFR 12, 6% di
karenakan meningkatnya kasus kematian di kota Semarang. Tahun 2013 di
laporkan terjadi sebanyak 640 kasus dengan kematian 60 kasus (CFR 9,37%)
meningkatnya jumlah kasus karena terjadi KLB di Kabupaten Sampang Madura.
Sedangkan tahun 2014 hingga bulan Oktober dilaporkan sebanyak 411 kasus
dengan kematian sebanyak 56 kasus (CFR 13,63%). Terjadi peningkatan angka

7
kematian karena terjadi KLB di Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Tengah karena
intensitas hujan yang tinggi berakibat tejadinya banjir.7

3.3 Etiologi
Leptospirosis disebabkan oleh organisme pathogen dari genus Leptospira
yang termasuk dalam ordo Spirochaeta dalam Famili Trepanometaceae. Bakteri
ini berbentuk spiral dengan pilinan yang rapat dan ujung-ujungnya berbentuk
seperti kait sehingga bakteri sangat aktif baik gerakan berputar sepanjang
sumbunya, maju-mundur, maupun melengkung, Ukuran bakteri ini 0,1 mm x 0,6
mm sampai 0,1 mm x 20 mm.
Leptospira dapat di warnai dengan pewarnaan karbolfuchsin. Namun
bakteri ini hanya dapat dilihat dengan mikroskop medan gelap. Bakteri ini bersifat
aerob obligat dengan pertumbuhan optimal pada suhu 280C-300C dan pH 7,2 –
8,0. Dapat tumbuh pada media yang sederhana yang kaya vitamin(Vit B2 dan
B12), asam lemak rantai panjang dan garam ammonium. Asam lemak rantai
panjang akan di gunakan sebagai sumber karbon tunggal dan di metabolisme oleh
alfa-oksidase. Leptospira peka terhadap asam dan dapat hidup di air tawar selama
kurang lebih satu bulan tetapi di air laut, air selokan dan air kemih yang tidak
dilencerkan akan cepat mati.
Genus Leptospira terbagi dalam dua serovarian yaitu L. interrogate yang
bersifat pathogen (yaitu memiliki potensi untuk menyebabkan penyakit pada
hewan dan manusia) dan serovarian L. Biflexa yang bersifat non pathogen/
saprophytic (yaitu hidup bebas dan umumnya dianggap tidak menyebabkan
penyakit). Leptospira pathogen dipelihara di alam di tubulus ginjal dan saluran
kelamin hewan tertentu. Saprophytic Leptospira ditemukan di berbagai jenis
lingkungan basah atau lembab mulai dari permukaan air dan tanah lembab.
Bahkan untuk Saprophytichalophilic (menyukai garam) Leptospira dapat
ditemukan dalam air laut.
Unit Sistematis dasar dari kedua species tersebut adalah serovar, yang
ditentukan berdasarkan kesamaan dan perbedaan antigenik. Masingmasing
serovar memiliki susunan karakteristik antigenik. Sebelum analisis DNA

8
berkembang, klasifikasi serovar di lakukan dengan pengujianserologis reaksi
silang aglutinasi absorpsi (menggunakan antibody serum untuk mengindetifikasi
jenis yang sama atau berbeda dari bakteri). Saat ini lipopolisakarida (LPS) adalah
antigen utama yang terlibat dalam klarifikasi serologi. Heterogenitas struktur
dalam komponen karbohidrat dari gugus LPS berasal dari perbedaan gen yang
terlibat dalam biosintesis LPS tampaknya menjadi dasar untuk menetukan variasi
antigenik diamati antara serovarian.7

3.4 Reservoir
Hampir semua spesies mamalia dapat menjadi tempat berkembangnya
Leptospira di dalam ginjalnya dan bertindak sebagai sumber infeksi untuk
manusia dan hewan lainnya. Biasanya yang menjadi reservoir untuk Leptospira
adalah sapi, kerbau, kuda, domba, kambing, babi, anjing dan hewan pengerat.
Tikus merupakan binatang pertama kali dikenali sebagai reservoir Leptospirosis,
yang dapat menularkan Leptospira seumur hidup mereka tanpa menunjukan
manifestasi klinis, yaitu sebagai carrier berkepanjangan. Mereka di curigai
sebagai sumber utama infeksi pada manusia. Meskipun serovar
Ichterohaemorrhagiae, Copenhageni, Grippotyphosa dan Ballum telah sering
dikaitkan dengan tikus, serovar lainnya juga telah diisolasi dari tikus. Babi dan
sapi, dalam keadaan carrier dapat mengeluarkan Leptospira dalam jumlah yang
sangat besar (Yaitu, kolonisasi Leptospira kronis tubulus ginjal) dan dapat
menjadi sumber infeksi bagi manusia. Tidak semua hewan yang terinfeksi dengan
Leptospira menujukan gejala sakit. Beberapa hewan menjadi host alami untuk
serovar tertentu biasanya tidak menunjukan gejala sakit atau relatif sakit ringan
setelah terinfeksi dengan serovar itu. Namun, hewan tersebut dapat mengalami
sakit berat setelah terinfeksi dengan serovar lain. Infeksi kronis pada hewan dapat
menyebabkan masalah reproduksi, seperti aborsi dan mengurangi kesuburan pada
sapi dan babi mungkin menderita sindrom icterohaemorahagic dengan akibat
fatal. Anjing dapat menderita penyakit kronis yang menyebabkan kerusakan
ginjal, tetapi juga mungkin menderita sindrom Weil’s seperti penyakit akut
setelah infeksi serovar tertentu.

9
Leptospirosis di Indonesia terutama disebarkan oleh tikus yang
melepaskan bakteri melalui urin ke lingkungan. Reservoir yang tahan terhadap
infeksi bakteri Leptospira tikus got (Rattus Norvegicus) kebun/ladang (Rattus
exulans) akan menjadi sumber penularan pada manusia dan hewan. Sedangkan
tikus yang peka terhadap infeksi bakteri Leptospira seperti tikus rumah asia
(Rattus tanezumi), tikus got (Rattus norvegicus), dll. Hewan-hewan lain yang
berpotensi tertular Leptospirosis (babi, sapi, kambing, domba, kuda, anjing,
kucing, kelinci, bajing kucing, dll) dapat pula sebagai sumber penularan kepada
manusia pada kondisi tertentu. Hewan-hewan yang menjadi sumber penularan
Leptospirosis ialah rodent (tikus, tupai), babi, sapi, kambing, domba, kuda,
anjing, kucing, serangga, burung, insektivora (landak, kelelawar). Di Indonesia
tikus adalah menjadi sumber utama penular Leptospirosis.7

3.5 Patogenesis
Infeksi pada manusia biasanya terjadi akibat air minum atau makanan
yang terkontaminasi dengan leptospira. Selaput mukosa dan kulit yang terluka
merupakan tempat masuk yang paling mungkin bagi leptospira patogenik. Setelah
masuknya bakteri ini terjadi infeksi tersebar di seluruh tubuh termasuk cairan
serebrospinal dan mata, tetapi tidak timbul lesi pada tempat masuk. Hialuronidase
dan gerak yang menggangsir (burrowing motility) telah diajukan sebagai
mekanisme masuknya leptospira ke tempat infeksi tersebut, yang secara normal
terlindung.
Bakteri leptospira yang memasuki aliran darah berkembang, lalu
menyebar luas ke seluruh jaringan tubuh. Kemudian terjadi respon imunologi baik
secara seluler maupun humoral sehingga infeksi ini dapat ditekan dan terbentuk
antibodi spesifik. Walaupun demikian beberapa organisme ini masih bertahan
pada daerah yang terisolasi secara imunologi seperti di dalam ginjal dimana
sebagian mikroorganisme akan mencapai convoluted tubules, bertahan disana dan
dilepaskan melalui urin (fase leptospirurik).Urin pada fase leptospirurik
merupakan salah satu media penularan penyakit ini.32 Leptospira dapat dijumpai
dalam air kemih sekitar 8 hari sampai beberapa minggu setelah infeksi dan sampai

10
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian. Leptospira dapat dihilangkan
dengan fagositosis dan mekanisme humoral. Kuman ini dengan cepat lenyap dari
darah setelah terbentuknya agglutinin. Setelah fase leptospiremia 4-7 hari,
mikroorganisme hanya dapat ditemukan dalam jaringan ginjal dan okuler.
Leptospiruri berlangsung selama 1-4 minggu. Tiga mekanisme yang terlibat pada
patogenesis leptospirosis ialah: invasi bakteri langsung, faktor inflamasi non
spesifik, dan reaksi imunologi.6

3.6 Manifestasi Klinis


Secara umum, manifestasi klinis leptospirosis dapat dibagi menjadi dua
sindroma klinis yang berbeda. 90% pasien datang dengan penyakit demam ringan
yang anikterik, sedangkan 10% pasien datang dengan sakit parah disertai icterus
dan manifestasi klinis lainnya (Weil’s disease). Baik leptospirosis anikterik
maupun leptospirosis ikterik, melalui perjalanan penyakit bifasik, atau
mempunyai 2 fase penyakit yang khas yaitu fase leptospiraemia dan fase imun
(fase leptospirurik). Masa inkubasi leptospirosis berlangsung selama 2-26 hari,
dengan rata-rata 10 hari.
Leptospirosis anikterik. Ialah bentuk yang lebih umum dan bentuk yang
lebih ringan dari penyakit leptospirosis, dan sering kali bifasik. Pada fase awal
atau fase leptospiraemia, biasanya pasien datang dengan demam, menggigil, sakit
kepala, nyeri otot, kemerahan pada kulit, mual, muntah, conjunctival suffusion
dan kelelahan. Patogen leptospira dapat diisolasi melalui darah, cairan
serebrospinal, dan jaringan. Demam mungkin tinggi dan terus naik secara
remittent hingga mencapai puncaknya pada 40oC sebelum suhu tubuh turun
mencapai suhu tubuh normal. Conjunctival suffusion sangat khas dan biasanya
muncul pada hari ke 3 atau ke 4. Nyeri otot pada umumnya melibatkan otot di
betis, abdomen, regio paraspinal dan rasa nyeri dapat bertambah berat. Apabila
terjadi pada otot leher, mialgia dapat menyebabkan nuchal rigiditty (kaku kuduk)
yang mengingatkan pada gejala meningitis. Pada daerah abdomen, mialgia dapat
meniru gejala dari acute abdomen, yang menyebabkan kebingungan apabila
hendak melakukan operasi emergensi intra-abdomen. Manifestasi klinis yang

11
terjadi di kulit pada leptospirosis ringan diantaranya adalah urtikaria, makula atau
makulopapula, kemerahan dan purpuric rash. Fase pertama berlangsung selama
3-9 hari diikuti dengan penurunan suhu tubuh hingga mencapai normal selama 2-
3 hari, setelah itu fase kedua atau fase imun terjadi.
Fase imun ditandai dengan leptospiruria dan berhubungan dengan
penampakan antibodi IgM dalam serum. Pada fase ini patogen leptospira menetap
didalam glomerolus dan dieliminasi dari seluruh jaringan tubuh kecuali mata dan
mungkin otak, dimana patogen leptospira dapat bertahan selama beberapa minggu
atau bulan. Demam dan gejala awal kembali terjadi pada beberapa pasien, dan
tanda dari meningitis, seperti sakit kepala, fotofobia, dan kaku kuduk dapat
terjadi.
Keterlibatan sistem saraf pusat pada leptospirosis paling sering terjadi
sebagai aseptic meningitis. Komplikasi seperti, optic neuritis, uveitis,
iridocyclitis, chorioretinitis, dan neuropati perifer terjadi lebih sering pada fase
imun. Sebuah manifestasi yang jarang namun parah ialah hemorrhagic
pneumonia. Penyakit pada leptospirosis anikterik mungkin self-limited,
berlangsung selama 4-30 hari, dan umumnya terjadi pemulihan sempurna.
Leptospirosis ikterik. Pada leptospirosis ikterik atau Weil’s disease,
demam tinggi persisten dan ikterus dapat mengaburkan dua fase leptospirosis. Hal
ini biasanya disertai dengan disungsi hepar, insufisiensi ginjal, perdarahan, dan
multi-organ failure (MOF). Perdarahan dapat terjadi berupa ptechiae, purpura,
perdarahan konjungtiva, dan perdarahan saluran cerna. MOF berkaitan dengan
tingginya angka kematian. Myocarditis dan hemorrhagic pulmonary infiltration
adalah komplikasi lain yang dapat berakibat fatal. Leptospirosis ikterik pada
umumnya disebabkan oleh serovar L.icterohaemorrhagiae.6

3.7 Faktor resiko


Faktor risiko Leptospirosis adalah kondisi yang melekat pada individu
(seperti riwayat, usia, jenis kelamin, dan keluarga) dan kebiasaan (seperti
aktivitas sehari-hari) yang lebih umum diantara orang yang terkena Leptospirosis
dibandingkan orang yang tidak terjangkit Leptospirosis. Faktor risiko biasanya

12
tidak menyebabkan penyakit tetapi hanya mengubah probabilitas seseorang (atau
risiko) untuk mendapatkan penyakit. Secara epidemiologik bahwa penyakit
dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu pertama faktor agent penyakit yang
berkaitan dengan penyebab (jumlah, virulensi, patogenitas kuman Leptospira),
faktor kedua yang berkaitan dengan faktor host (pejamu/tuan rumah/penderita)
termasuk di dalamnya adalah keadaan kebersihan perorangan, keadaan gizi, usia,
taraf pendidikan, jenis pekerjaan, sosial ekonomi dll, dan Faktor ketiga adalah
lingkungan fisik (selokan tidak terawat, banyak genangan air) lingkungan bilogik
(banyaknya populasi tikus di dalam atau sekitar rumah, hewan piaraan sebagai
hospes perantara), lingkungan sosial ekonomi (jumlah pendapatan), lingkungan
budaya.

1. Kejadian Leptospirosis menurut umur dan jenis kelamin


Kasus Leptospirosis terbanyak pada umur 15 tahun – 69 tahun. Kasus
Leptospirosis pada anak jarang di laporkan, karena tidak terdiagnosis atau
manifestasi klinis yang berbeda dengan orang dewasa. Laki-laki dan perempuan
mempunyai peluang yang sama tertular Leptospirosis.

2. Kejadian Leptospirosis menurut pekerjaan


Infeksi pada manusia bisa di dapat melalui pekerjaan, aktivitas di luar pekerjaan,
rekreasi, kegemaran orang yang bekerja atau melakukan aktivitas di lingkungan
yang berhubungan dengan tikus atau lingkungan yang tercemari urin tikus
terinfeksi, maka orang tersebut mempunyai risiko terinfeksi. Pekerja
laboratorium yang berhubungan dengan pertanian atau binatang, pekerja
peternakan, pekerja perkebunan karet, pekerja abbatoir, pengolahan ikan dan
unggas, jagal, penggali selokan, pekerja selokan, petani, pekerja pasar, dokter
hewan, pekerja tambang, pekerja hewan, pengelola sampah di daerah endemis
Leptospirosis. Kontak dengan air, lumpur, tanah maupun rumput yang tercemari
urin tikus terinfeksi, saat latihan militer, rekreasi seperti berenang, hiking,
kamping, berburu, memancing, berkebun dan penggunaan air tanah hujan, serta

13
berjalan disekitar rumah tanpa alas kaki mempunyai risiko tinggi untuk tertulari
Leptospira.

3. Faktor Risiko Kejadian Leptospirosis menurut kebiasaan penderita


host/penjamu
Beberapa faktor yang merupakan faktor risiko kejadian Leptospirosis menurut
kebiasaan seperti kebiasaan aktifitas ditempat berair dengan kondisi adanya luka
di badan, kebiasaan tidak merawat luka dengan baik di daerah banyak genangan
air juga merupakan faktor risiko Leptospirosis. Kebiasaan tidak memakai alas
kaki, kebiasaan mandi di sungai, perilaku hidup bersih yang kurang baik seperti
keberadaan sampah di dalam rumah dan kurang pengetahuan tentang
Leptospirosis.

4. Kejadian Leptospirosis menurut keberadaan tikus di rumah


Faktor risiko kejadian Leptospirosis yang penting adalah keberadaan tikus
didalam rumah dan lingkungan di sekitar rumah. Tikus merupakan hewan penular
utama Leptospirosis (lebih dari 50%). Berdasarkan referensi penelitian hasil
Brooks dkk (2001), adanya tikus di dalam rumah mempunyai risiko 4 kali lebih
tinggi terkena Leptospirosis. Jenis tikus yang sering sebagai reservoar terjadinya
Leptospirosis adalah tikus riul (R.norvegicus), tikus rumah (R.diardii), tikus
kebun (R. exulans) celurut rumah (Suncus murinus). Disamping keberadaan
binatang disekitar rumah juga merupakan faktor risiko seperti anjing, kucing,
kambing, sapi dll.

5. Kejadian Leptospirosis menurut keberadaan hewan ternak/piaraan


Di sebagian besar negara tropis termasuk negara berkembang kemungkinan
paparan Leptospirosis terbesar pada manusia karena terinfeksi dari binatang
ternak, binatang rumah, maupun binatang liar. Di Salem distrik di Tanil Nadu
India, pada bulan Oktober tahun 2000 dilaporkan adanya seorang pekerja di
pegilingan padi yang lingkungannya banyak binatang ternak, anjing, tikus, dan
kucing menderita Leptospirosis, setelah dilakukan pemeriksaan MAT terhadap

14
hewan-hewan tersebut didapatkan 12 dari 23 (52, 1%) tikus, 6 dari 9 (66, 6%)
kucing, 2 dari 4 (50%) anjing, 18 dari 34 (52, 9%) hewan ternak test MAT positif.

6. Kejadian Leptospirosis menurut Lingkungan abiotik dan biotik


Kondisi lingkungan dapat merupakan faktor risiko timbulnya Leptospirosis,
seperti di daerah rawan banjir, daerah kumuh, persawahan/perkebunan dan tempat
rekreasi (kolam renang, danau). Dari beberapa referensi penelitian diketahui
beberapa faktor risiko di lingkungan rumah dengan kondisi rumah tidak sehat,
lingkungan tanah becek banyak genangan air, selokan dekat rumah yang tidak
mengalir, sampah sekitar rumah yang tidak dikelola. Leptospira dapat bertahan
hidup di lingkungan yang ber pH mendekati netral (6,8 – 74). Curah hujan secara
tidak langsung dapat di kaitkan dengan angka kejadian Leptospira, hal ini karena
curah hujan yang tinggi dapat mengakibatkan terjadinya banjir dan adanya
genangan air yang dapat merupakan faktor risiko Leptospirosis. Leptospira dapat
hidup berbulan-bulan dalam lingkungan yang hangat (220C) dan pH relatif netral
(pH 6, 2-8). Bila di air dan lumpur yang paling cocok untuk bakteri Leptospira
adalah dengan pH antara 7,0-7,4. Temperatur antara 280C-300C. Bakteri ini dapat
hidup dalam air yang mengenang. Karakteristik air pada sawah yang cocok untuk
bakteri Leptospira adalah air yang menggenang dengan ketinggian 5-10 cm dan
pH antara 6,7-8,5.7

3.8 Definisi Kasus Leptospirosis


Leptospirosis adalah penyakit zoonosis akut disebabkan oleh bakteri Leptospira
dengan spectrum penyakit yang luas dan dapat menyebabkan kematian.
1. Untuk daerah endemis atau terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) pengobatan
dengan antibiotika yang sesuai dilakukan sejak KASUS SUSPEK
DITEGAKKAN SECARA KLINIS.
2. Sedangkan untuk daerah bukan endemis dan KLB pengobatan dilakukan
setelah dinyatakan KASUS PROBABEL DITEGAKKAN.

15
Ada 3 (tiga) kriteria yang ditetapkan dalam mendenifisikan kasus Leptospirosis
yaitu suspek, probable dan konfirmasi:

a. Kasus suspek
Demam akut dengan atau tanpa sakit kepala disertai:

1) Nyeri otot;

2) Lemah (malaise) dengan atau tanpa;

3) Conjungtival suffusion (mata merah tanpa eksudat); dan

4) Ada riwayat terpapar lingkungan yang terkontaminasi dalam 2 minggu


sebelumnya:

a) Kontak dengan air yang terkontaminasi kuman Leptospira/urin


tikus saat terjadi banjir;

b) Kontak dengan sungai, danau dalam aktifitas mencuci, mandi


berkaitan pekerjaan seperti tukang perahu, rakit bambu dll;

c) Kontak dipersawahan atau perkebunan berkaitan dengan pekerjaan


sebagai petani/pekerja perkebunan yang tidak menggunakan alas kaki;

d) Kontak erat dengan binatang lain seperti sapi, kambing, anjing yang
dinyatakan secara laboratorium terinfeksi Leptospira;

e) Terpapar seperti menyentuh hewan mati, kontak dengan cairan


infeksius saat hewan berkemih, menyentuh bahan lain seperti
plasenta, cairan amnion, menangani ternak seperti memerah susu,
menolong hewan melahirkan dll;

f) Memegang atau menangani spesimen hewan/ manusia yang diduga


terinfeksi Leptospirosis dalam suatu laboratorium atau tempat
lainnya;

g) Pekerjaan yang berkaitan dengan kontak dengan sumber infeksi


seperti dokter hewan, dokter perawat, pekerja potong hewan, petani,

16
pekerja perkebunan, petugas kebersihan dirumah sakit, pembersih
sekolahan, pekerja tambang, pekerja tambak udang/ikan air tawar,
tentara, pemburu;

h) Kontak dengan sumber infeksi yang berkaitan dengan hobby dan


olah raga seperti pendaki gunung, memancing, berenang, arung jeram,
trilomba juang (triathlon), dll.

b. Kasus Probable

1) Kasus suspek dengan minimal 2 gejala/tanda klinis dibawah ini:

a) Nyeri betis;

b) Ikterus;

c) Oliguria/anuria;

d) Manifestasi perdarahan;

e) Sesak nafas;

f) Aritmia jantung;

g) Batuk dengan atau tanpa hemoptisis;

h) Ruam kulit.

2) Kasus suspek dengan RDT (untuk mendeteksi lgM anti Leptospira)


positif, atau;

3) Kasus suspek dengan 3 dari gambaran laboratorium dibawah ini;

a) Trombositopenia <100 000 sel/mm;

b) Lekositosis dengan neutropilia> 80%;

c) Kenaikan bilirubin total >2gr% atau amilase atau CPK; d)


Pemeriksaan urin proteinuria dan/atau hematuria.

17
c. Kasus konfirmasi

Kasus suspek atau kasus probabel disertai salah satu dari berikut ini:

1) Isolasi bakteri Leptospira dari spesimen klinik;

2) PCR positif;

3) Sero konversi MAT dari negatif menjadi positif atau adanya kenaikan
titer 4x dari pemeriksaan awal;

4) Titer MAT 320 (400) atau lebih pada pemeriksaan satu sampel.7

3.9 Diagnosis Banding

a. Leptospirosis ringan mempunyai diagnosis banding meliputi: Demam


dengue/demam berdarah dengue, malaria tanpa komplikasi, rickettsiosis,
demam tifoid, influenza, infeksi hanta virus dsb.
b. Leptospirosis berat mempunyai diagnosis banding meliputi: Sepsis berat,
malaria falciparum berat, hantavirus dengan gagal ginjal, demam tifoid
dengan komplikasi.7
3.10 Tatalaksana

Pengobatan dengan antibiotika yang sesuai dilakukan sejak kasus suspek


ditegakkan secara klinis.

A. Terapi untuk khusus Leptospirosis ringan :


a. Pilihan : Doksisiklin 2X100 mg selama 7 (tujuh) hari kecuali pada anak, ibu
hamil, atau bila ada kontraindikasi Doksisiklin.
b. Alternatif (Bila tidak dapat diberikan doksisiklin)
1. Amoksisilin 3X500mg/hari pada orang dewasa;
2. Atau 10-20mg/kgBB per8 jam pada anak selama 7 hari;
3. Bila alergi Amoksisilin dapat diberikan Makrolid.
B. Terapi Kasus Leptospirosis berat :
1. Ceftriaxon 1-2 gram iv selama 7 (tujuh) hari ;
2. Penisilin Prokalin 1.5 juta unit im per 6 jam selama 7 (tujuh) hari.7

18
BAB IV

KEBIJAKAN DAN PROGRAM NASIONAL

Dalam upaya pengendalian Leptospirosis Kementerian Kesehatan telah


melaksanakan berbagai upaya seperti membuat surat edaran kewaspadaan
Leptospirosis setiap tahun, pengadaan Rapid Tes Diagnostic (RDT) sebagai buffer
stok apabila terjadi KLB, mendistribusikan media KIE seperti buku
pedoman,leaflet, poster, roll banner dll. Beberapa masalah dalam kegiatan
penanggulangan Leptospirosis di Indonesia diantaranya sebagian besar pasien
Leptospirosis datang kerumah sakit dalam keadaan terlambat, masih rendahnya
sensitivitas kemampuan petugas kesehatan dasar dalam mendiagnosis
Leptospirosis, terbatasnya fasilitas pemeriksa laboratorium serta surveilans
Leptospirosis yang belum berjalan dengan baik.8

Kebijakan dan program nasional terkait wabah juga diatur oleh kementrian
pertahanan Republik Indonesia dalam peraturan menteri pertahanan republik
indonesia nomor 40 tahun 2014 tentang perlibatan satuan kesehatan kementrian
pertahanan dan tentara nasional indonesia dalam zoonosis, berikut strategi
pengendalian zoonosis pada pasal 4.9

1. Mengutamakan prinsip pencegahan penularan kepada manusia dengan


meningkatkan upaya pengendalian zoonosis pada sumber penularan;
2. Perkuatan koordinasi lintas sektor untuk membangun sistem pengendalian
zoonosis, sinkronisasi pengawasan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan
kebijakan strategi; dan
3. Perkuatan kapasitas sumber daya manusia, logistik, pendanaan, pelaksanaan,
prosedur teknis pengendalian, kelembagaan dan anggaran pengendalian zoonosis.

19
4.1 Kegiatan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik

Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit membuat


keputusan terkait rencana aksi program pencegahan dan pengendalian penyakit.
Sasaran kegiatan ini adalah meningkatnya pencegahan dan pengendalian penyakit
tular vektor dan Zoonotik dengan indicator.10

1. Persentase kabupaten/kota yang melakukan pengendalian vektor terpadu


dengan target sebesar 80%. Indikator ini dimaksudkan untuk mengetahui
kabupaten/kota yang melakukan pengendalian vektor dengan 2 metode atau
lebih, yang datanya diperoleh dengan menghitung jumlah kabupaten/kota
yang melaksanakan pengendalian vektor dibagi dengan jumlah
Kabupaten/Kota endemis penyakit tular vektor dan penyakit zoonotik lainnya
pada tahun yang sama x 100%.
2. Jumlah kabupaten/kota dengan API <1/1.000 penduduk dengan target
sebanyak 400 kabupaten/kota. Indikator ini dimaksudkan untuk mengetahui
Jumlah Kabupaten/Kota yang telah mencapai API < 1 per 1.000 penduduk,
yang datanya diperoleh dengan menghitung jumlah kumulatif Kabupaten/
Kota dengan API < 1 per 1.000 penduduk.
3. Jumlah kabupaten/kota endemis Filaria berhasil menurunkan angka mikro
filaria menjadi < 1% dengan target sebanyak 75 kabupaten/kota. Indikator ini
dimaksudkan untuk mengetahui kabupaten/kota endemis filariasis yang sudah
menyelesaikan POPM selama 5 tahun dan lulus survei Pre TAS kurang (<
1%), yang datanya diperoleh dengan menghitung jumlah kabupaten/kota
endemis filariasis yang sudah menyelesaikan POPM Selama 5 tahun dan lulus
survei Pre TAS kurang 1%).
4. Persentase kabupaten/kota dengan IR DBD < 49 per 100.000 penduduk
dengan target sebesar 68%. Indikator ini dimaksudkan untuk mengetahui
persentase kab/kota dengan angka yang menunjukkan kasus/kejadian
penyakit dalam suatu populasi pada waktu tertentu <49/100.000 (berdasarkan
target global yang diukur melalui rumusan WHO yaitu penurunan angka
kesakitan 25% pada tahun 2020 dengan menggunakan baseline tahun 2010 --

20
> IR = 65,7 per 100.000 penduduk), yang datanya diperoleh dengan
menghitung jumlah kabupaten/kota dengan IR DBD <49/100.000 penduduk
dibagi dengan seluruh Kabupaten/Kota pada tahun yang sama.
5. Persentase kabupaten/kota yang eliminasi rabies dengan target sebesar 85%.
Indikator ini dimaksudkan untuk mengetahui persentase kabupaten/kota yang
eliminasi rabies yaitu jumlah kabupaten/kota endemis rabies tidak ditemukan
kasus kematian rabies/lyssa) selama 2 tahun berturut-turut, yang datanya
diperoleh dengan menghitung jumlah kabupaten/kota endemis rabies yang
melakukan eliminasi rabies) dibagi jumlah kabupaten/kota endemis rabies x
100 % pada tahun berjalan.
6. Persentase kajian faktor risiko penyakit tular vektor zoonotik di wilayah
layanan B/BTKL PP yang digunakan sebagai salah satu dasar/rujukan upaya
pencegahan/pengendalian penyakit tular vektor zoonotik sebesar 100%.
Indikator ini untuk mendukung upaya pencegahan dan pengendalian penyakit
melalui pelaksanaan kajian faktor risiko penyakit tular vektor zoonotik oleh
B/BTKL PP dan diketahui dengan menghitung jumlah hasil kajian penyakit
tular vektor zoonotik oleh B/BTKL PP yang digunakan oleh Satker Pusat
dalam melakukan upaya pencegahan dan pengendalian penyakit penyakit
tular vektor zoonotik dibagi jumlah seluruh kajian yang dilaksanakan oleh
B/BTKL dalam satu tahun dikali seratus persen.
7. Persentase pelabuhan/bandara/PLBD yang bebas dari faktor risiko penyakit
tular vektor sebesar 100 % Indikator ini untuk mendukung upaya pencegahan
pengendalian penyakit tular vektor melalui upaya pengendalian vektor di
pelabuhan/bandar udara/PLBD dan diketahui dengan menghitung luas
wilayah pelabuhan/bandar udara/. Pos Lintas Batas Darat yang bebas dari
vektor penyakit demam berdarah, malaria, diare, dan pes dalam satu tahun.
Luas wilayah bebas vektor dihitung berdasarkan luas wilayah yang memenuhi
syarat bebas vektor dibagi dengan luas wilayah yang diintervensi dan atau
disurvei dikali seratus persen.

21
4.2 Kebijakan Operasional Pengendalian Leptospirosis

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Direktoral Jenderal Pencegahan


dan Pengendalian Penyakit memaparkan petunjuk teknis pengendalian
Leptospirosis. Berikut kebijakan operasional pengendalian Leptospirosis.8

1. Pengendalian Leptospirosis dilakukan secara desentralisasi dan otonomi


daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku;
2. Pelaksanaan pengendalian Leptospirosis dilakukan dengan memperkuat
kerjasama lintas program dan lintas sektor terkait secara terpadu dengan
koordinator Komda Pengendalian Zoonosis di daerah (kab/ kota/prov) dan
Komnas Pengendaliaan Zoonosis di jenjang nasional;
3. Pengendalian Leptospirosis mengikutsertakan peran serta aktif semua
komponen masyarakat lainnya termasuk organisasi masyarakat dan swasta;
4. Penatalaksanaan kasus dilaksanakan secara dini sejak diagnosis klinis suspek
ditegakkan dengan pemberian pengobatan antibiotika sesuai dengan petunjuk
teknis;
5. Pembiayaan pengendalian Leptospirosis berasal dari pemerintah daerah
kabupaten/kota, provinsi dan pemerintah pusat sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku serta bantuan masyarakat internasional yang tidak
mengikat dan tak bertentangan dengan peraturan yang berlaku;
6. Peningkatan kapasitas sumber daya terutama sumber daya manusia melalui
pelatihan untuk petugas pelaksana kabupaten/kota diselenggarakan oleh dinas
kesehatan kabupaten/kota dengan fasilitasi dinas kesehatan provinsi serta
pusat;
7. Ditjen PP dan PL, dalam hal ini Direktorat PPBB menyelenggarakan
Pelatihan untuk Pelatih (ToT) dalam pegendalian Leptospirosis;
8. Mengembangkan jejaring pengendalian Leptospirosis di setiap jenjang
administrasi pemerintahan dengan berbagai mitra pemangku kepentingan;
9. Meningkatkan pembinaan teknis dan monitoring untuk mencapai kualitas
pelaksanaan pengendalian penyakit Leptospirosis secara optimal; 10.

22
Melaksanakan evaluasi untuk mengetahui hasil kegiataan program dan
sebagai dasar perencanaan selanjutnya.

4.3 Strategi Pengendalian Leptospirosis8

1. Membangun komitmen politis disetiap jenjang administrasi pemerintahan


dengan melaksanakan advokasi dan sosialisasi program pengendalian
Leptospirosis di daerah endemis agar tercapai tujuan pengendalian
Leptospirosis;
2. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia;
3. Meningkatkan Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) dan penanggulangan KLB
Leptospirosis;
4. Peningkatan surveilans epidemiologi pada manusia dan faktor risiko;
5. Penatalaksanaan kasus Leptospirosis secara dini sejak kasus suspek sesuai
dengan standar, di fasilitas pelayanan kesehatan dan di masyarakat;
6. Pengendalian faktor risiko;
7. Penguatan upaya prefentif dan promotif (KIE) untuk peningkatan peran
masyarakat;
8. Penguatan jejaring;
9. Penguatan pelaksanaan monitoring dan evaluasi.

4.4 Kegiatan Pokok Pengendalian Leptospirosis

Dalam kegiatan upaya penanggulangan Leptospirosis dilakukan beberapa


kegiatan pokok pengendalian sebagai berikut.8

1. Advokasi dan sosialisasi.


2. SKD dan respon KLB.
3. Survelans pada manusia dan faktor risiko.
4. Diagnosis dan tatalaksana Leptospirosis.
5. Pemeriksaan laboratorium mikrobiologi.
6. Pengendalian faktor risiko.
7. Promosi kesehatan/KIE.

23
8. Bimbingan teknis/supervisi.
9. Monitoring dan evaluasi.

4.5 Manajemen KLB

KLB Leptospirosis ditetapkan apabila memenuhi salah satu kriteria (sesuai


Permenkes 1501 tahun 2010) sebagai berikut:8

1. Terjadinya kasus baru disuatu wilayah kabupaten/kota yang sebelumnya


pernah ada kasus Leptospirosis; atau
2. Munculnya kesakitan Leptospirosis di suatu wilayah kecamatan yang selama
1 tahun terakhir tidak ada kasus;
3. Terjadinya peningkatan kasus baru Leptospirosis dua kali atau lebih
dibandingkan dengan minggu atau bulan yang sama pada periode waktu tahun
sebelumnya di suatu wilayah; atau
4. Terjadinya peningkatan jumlah kasus di suatu wilayah kabupaten/ kota selama
3(tiga) kurun waktu dalam hari atau minggu berturutturut; atau
5. Terjadinya peningkatan angkat kematian (case fatality rate) akibat kasus
Leptospirosis sebanyak 50 % atau lebih dibandingkan angka kematian kasus
Leptospirosis pada periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.
Dalam kasus yang dicurigai KLB, penegakan diagnostik Leptospirotis
harus disegerakan untuk mendapatkan pengobatan yang tepat dan mengambil
tindakan pencegahan segera. Untuk KLB di daerah yang jauh dan akses yang sulit.
Penggunaan RDT untuk mendeteksi antibodi dapat sangat membantu.8
Ketika KLB Leptospirosis sudah dinyatakan terjadi, maka sumber infeksi
harus segera diidentifikasi dan kontrol lingkungan yang tepat harus diaktifkan,
dengan informasi yang tepat kepada maskyarakat yang berisiko, termasuk dokter,
tenaga kesehatan dan pemangku kebijakan setempat.8

4.6 Sistem Runjukan

Apabila menunjukan gejala Leptospirosis berat yaitu kasus suspek dan


kasus probable yang di Sertai gejala/tanda klinis ikterus, manifestasi pendarahan,

24
anuria/oliguria, sesak nafas atau aritmia jantung. Leptospirosis berat harus
dirawat/dirujuk di Rumah sakit terutama Rumah Sakit Dati II atau Rumah Sakit
Provinsi yang memiliki fasilitas ruang perawatan intensif, dialisis dll. Untuk
menangani komplikasi gagal ginjal, ARDS, dan pendarahan paru.8

4.7 Pengendalian Faktor Risiko

Pengendalian Leptospirosis terdiri dari 2 cara yaitu : pencegahan primer


dan pencegahan sekunder. Pencegahan Primer adalah perlindungan terhadap orang
sehat agar terhindar dari Leptospirosis, sehingga kegiatannya bersifat promotif,
dan proteksi spesifik dengan cara vaksinasi. Sedangkan pencegahan sekunder
yang sarannya adalah orang yang sudah sakit Leptospirosis, dicegah agar orang
tersebut terhindar dari komplikasi yang nantinya akan menyebabkan kematian.
Kegiatan pengendalian faktor risiko Leptospirosis dilakukan pada: (a) sumber
infeksi; (b) alur transmisi antara sumber infeksi dan manusia; atau (c) infeksi atau
penyakit pada manusia.8

4.8 Strategi Promosi Kesehatan Dalam Pengendalian Leptospirosis

Promosi kesehatan adalah upaya meningkatkan kemampuan individu,


keluarga kelompok dan masyarakat dalam pengendalian Leptospirosis melalui
pembelajaran dari kelompok masyarakat dan masyarakat dalam pengendalian
Leptospirosis melalui pembelajaran diri, oleh untuk dan bersama masyarakat agar
dapat menolong dirinya serta mengembangkan kegiatan sumber daya masyarakat,
sesuai sosial budaya masyarakat dan didukung oleh kebijakan publik yang
berwawasan kesehatan setempat. Untuk penanggulangan Leptospirosis strategi
promosi kesehatan yang harus dilakukan meliputi: strategi advokasi, strategi bina
suasana dan strategi pemberdayaan.8

4.9 Peran Jajaran Kesehatan, Pemangku Kepentingan Dan Masyarakat

Pengendalian Leptospirosis tidak dapat dilaksanakan hanya oleh jajaran


kesehatan saja dan perlu didukung pemangku kepentingan dan masyarakat agar
dapat mencapai tujuan. Dukungan tersebut diperlukan dalam berbagai kegiatan

25
pengendalian Leptospirosis baik sarana, prasarana, sumber daya manusia dan dana
sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing.8

Contoh daerah yang melakukan program pencegahan penularan


leptospirosis yang dirangkum dalam sebuah jurnal oleh Ritiyanto, dkk ialah daerah
Persawahan kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Komitmen
pemerintah Kabupaten Bantul peningkatan kasus leptospirosis tahun 2010-2011
dinyatakan sebagai kejadian luar biasa (KLB) SK Bupati Kabupaten Bantul No.
31 Tahun 2011 tanggal 24 Januari 2011, berisi tentang keterlibatan lintas sektor
dan pemenuhan persediaan obat/perbekalan medis untuk penanggulangan
leptospirosis dan pengendalian tikus. Berdasarkan SK Bupati Tahun 2011 tersebut,
telah disusun strategi penanggulangan leptospirosis meliputi pengendalian tikus
(racun tikus dan gropyokan), pengendalian bakteri Leptospira sp. hidup bebas di
genangan air (pemberian lysol), pengelolaan lingkungan (manajemen sampah,
siaga banjir dan penghilangan genangan air), pengobatan penderita leptospirosis
(antibiotik) dan pencegahan penularan leptospirosis (penyuluan/Komunikasi,
Informasi dan Edukasi, PHBS, deteksi cepat, dan perawatan). Diharapkan strategi
tersebut dapat menanggulangi leptospirosis. melalui pendekatan lintas sektor
secara terintegrasi, terjalin kemitraan dengan instansi lain, dan status KLB dapat
dicabut.11

Hasil tindakan kedaruratan yang dilakukan yaitu:11

1. Tindakan kedaruratan pencegahan leptospirosis pada masyarakat


a. Penyuluhan Kepada Masyarakat.
b. Penyebaran leaflet, poster dan baliho.
2. Tindakan kedaruratan pencegahan leptopsioris pada tempat penampungan air dan
genangan air di lingkungan rumah
3. Tindakan kedaruratan pengendalian tikus di Kabupaten Bantul
a. Pengendalian tikus di habitat rumah.
b. Pengendalian tikus di habitat sawah/kebun.
c. Flutuasi kasus leptospirosis dan tindakan kedaruratan leptospirosis.

26
BAB V

LANGKAH-LANGKAH INVESTIGASI

Penanggulangan KLB leptospirosis ditujukan pada upaya penemuan dini


serta pengobatan penderita untuk mencegah kematian. Intervensi lingkungan
untuk mencegah munculnya sarang-sarang atau tempat persembunyaian tikus.
Vaksinasi hewan peliharaan terhadap leptospira.12
Penyelidikan Epidemiologi Penyelidikan epidemiologi dilakukan
terhadap setiap laporan kasus dari rumah sakit atau laporan puskesmas.
Penyelidikan kasus Leptospirosis lain di sekitar tempat tinggal penderita, tempat
kerja, tempat jajan atau daerah banjir. Penyelidikan Epidemiologi dilakukan
terhadap :
a) Terhadap manusianya :
Penemuan penderita dengan melaksanakan pengamatan aktif. Di desa/
kelurahan yang ada kasus Leptospirosis pencarian penderita baru berdasarkan
gejala/tanda klinis setiap hari dari rumah ke rumah.Bila ditemukan suspek dapat
dilakukan pengambilan darah sebanyak 3-5 ml, kemudian darah tersebut diproses
untuk mendapatkan serumnya guna pemeriksaan serologis di laboratorium. Serum
dibawa dari lapangan dengan menggunakan termos berisi es, setelah sampai di
sarana kesehatan disimpan di freezer 4° C sebelum dikirim ke Bagian
Laboratorium Mikrobiologi RSU Dr. Kariadi Fakultas Kedokteran Undip
Semarang untuk dilakukan pemeriksaan uji MAT (Microscopic Agglutination
Test) untuk mengetahui jenis strainya. 12
b) Rodent dan hewan lainnya.
Di desa/kelurahan yang ada kasus, secara bersamaan waktunya dengan
pencarian penderita baru dilakukan penangkapan tikus hidup (trapping).
Spesimen serum tikus yang terkumpul di kirim ke BBvet Bogor untuk diperiksa
secara serologis. Pemasangan perangkap dilakukan di dalam rumah maupun di
luar rumah selama minimal 5 hari berturut-turut. Setiap perangkap (metal live
traps) harus diberi label/nomor. Pemasangan perangkap dengan umpan dipasang

27
pada sore hari dan pengumpulan perangkap tikus keesokan harinya pagi-pagi
sekali. Tikus dibawa ke laboratorium lapangan dan pengambilan darah/ serum dan
organ dengan member label dan nomer untuk diidentifikasi kemudian dikirim ke
Balai Besar Veteriner (BBvet) di Bogor untuk pemeriksaan lebih lanjut.12

28
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Leptospirosis adalah penyakit zoonasa yang di sebabkan oleh infeksi

bakteri berbentuk spiral dari genus Leptospira yang pathogen, yang ditularkan

secara langsung dan tidak langsung dari hewan ke manusia. Faktor yang

mempengaruhi penyebaran leptospirosis antara lain kondisi selokan buruk,

kebiasaan tidak memakai alas kaki, kebiasaan mandi/mencuci di sungai,

pekerjaan yang beresiko seperti; pekerjaan yang berhubungan dengan pertanian

atau binatang perilaku hidup bersih yang kurang baik seperti keberadaan sampah

di dalam rumah, keberadaan tikus didalam rumah dan lingkungan di sekitar rumah

dan kurang pengetahuan tentang Leptospirosis.

Pada pemeriksaan fisik di jumpai demam, bradikardia, nyeri otot,

hepatomegali, dan lain-lain. Diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan

laboratorium, seperti pemeriksaan serologis dan urinalisis. Kejadian pada negara

beriklim hangat lebih tinggi dari negara yang beriklim sedang,

karena Leptospira hidup lebih lama dalam lingkungan yang hangat dan kondisi

lembab.

6.2 Saran
Saran untuk masyarakat adalah masyarakat diharapkan dapat
meningkatkan pengetahuan kesehatan terutama mengenai penyakit leptospirosis.
Dengan mengetahui akan penyakit tersebut, pencegahan dan penanggulangannya
dapat dilakukan sehingga penyakit leptospirosis tidak menimbulkan patologi atau
infeksi yang berat karena telatnya penanganan. Masyarakat juga harus

29
meningkatkan dan memelihara lingkungan bersih, membuang sampah pada tong
sampah, menjaga sanitasi diri sendiri maupun lingkungan karena
bakteri Leptospira menyebar pada lingkungan yang kotor dan dapat terbawa oleh
air. Serta diharapkan bagi pemerintah dapat melakukan promosi kesehatan
mengenai penyakit leptospirosis kepada masyarakat terutama di daerah – daerah
yang sering mengalami banjir dan meningkatkan pelayanan medis dalam
mengobati penderita leptospirosis.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku petunjuk teknis pengendalian Leptospirosis, 2017, Kementerian Kesehatan


Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit,
cetakan ke 3.
2. Laporan kasus KLB Leptospirosis di Magetan Jawatimur, 2018, Jurnal, Rosa de
Lima.
3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk Teknis Pengendalian
Leptospirosis. Cetakan Ke-3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
DIrektorat Jenderal Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit. 2017.
4. Schneider MC, Jancloes M, Buss DF, Aldighieri S, Bertherat E et al.
Leptospirosis: A Silent Epidemic Disease. Int. J. Environ. Res. Public Health
2013, 10, 7229-7234.
5. Costa F, Hagan JE, Calcagno J, Kane M, Torgerson P. Global Morbidity and
Moratlity of Leptospirosis: A Systematic Review. PLOS Negleted Tropical
Diseases. 2015.
6. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simandibrata M and Setiati S. Buku ajar ilmu
penyakit dalam edisi VII. 2017 ed. Jakarta: Pusat penerbitan departemen ilmu
penyakit dalam, 2017.
7. Kemenkes. Surat Edaran Tentang Kewaspadaan Kejadian Luar Biasa
Leptospirosis. 2017. Jakarta: Dirjen Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit
Kemenkes.
8. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jendral Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit. Petunjuk Teknis Pengendalian Leptospirosis. Cetakan ke-
3. 2017.
9. Kementrian Pertahanan Republik Indonesia. Peraturan Mentri Pertahanan
Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perlibatan Satuan Kesehatan
Kementrian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia Dalam Zoonosis. Jakarta,
2014.

31
10. Keputusan Direktur Jendral Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Nomor HK.
02.03/D1/I.1/527/2018. Rencana Aksi Program Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit 2015-2019. Revisi I - 2018. Jakarta, 2018.
11. Ristianto, Dkk. Studi Pencegahan Penularan Leptospirosis di Daerah Persawahan
di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Vektora, Vol. V No. 1.
Juni, 2013.
12. RI, Ditjen PP&PL Kemenkes. "Buku Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan
Kejadian Luar Biasa Penyakit Menular dan Keracunan Pangan (Pedoman
Epidemiologi Penyakit)." Edisi revisi 2011. Jakarta: KEMENKES RI; 2011. Hal
108-109.

32

Anda mungkin juga menyukai