Anda di halaman 1dari 14

Pembetulan SPT

gambar taxes 13

Manusia itu tempat salah. Saat kita lapor SPT, sangat mungkin ada kesalahan dalam pembuatan.
Peraturan perundang-undangan perpajakan memungkinkan pembetulan SPT. SPT yang ada kesalahan
ditimpa menjadi SPT yang benar.

Tidak ada batasan berapa kali satu SPT dibetulkan. Boleh berkali-kali. Ada juga yang sampai lebih dari 4
kali pembetulan. Semua jenis SPT dapat dibetulkan berkali-kali. Tetap biasanya yang paling banyak
pembetulan adalah SPT Masa PPN.

Mungkin ada faktur pajak yang terlambat diterima sehingga belum sempat dilaporkan sebagai pajak
masukan. Atau ada kesalahan penulisan dalam faktur pajak sehingga dibetulkan lagi dengan yang benar.
Sehingga Wajib Pajak membetulkan SPT yang sudah dilaporkan.

Atau bisa juga membetulkan SPT karena masalah finansial. Sebenarnya SPT Masa PPN kurang bayar
Rp100.000.000,00 tetapi baru dibayar pada saat SPT normal sebesar Rp75.000.000,00 dengan tidak
melaporkan sebagian faktur pajak yang sudah diterbitkan. Setelah ada uang, atau pelanggan membayar
piutang kita, baru dibetulkan lagi dengan menambah kekurangan sebesar Rp25.000.000,00.

Tidak melaporkan sebagian atau semua faktur pajak keluaran sebenarnya tidak boleh. Dalam hal
petugas pajak “lagi rajin“, maka faktur pajak keluaran yang belum diterbitkan dapat ditagih dengan
SKPKB. Petugas AR akan melakukan pemeriksaan data konkret dan ditambah sanksi. Pemeriksaan data
konkret dapat dilakukan secepatnya setelah berlalunya tanggal pelaporan SPT Masa PPN.

Undang-Undang KUP mengatur pembetulan SPT di Pasal 8.

Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan
dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan
tindakan pemeriksaan.

Perbedaan pembuatan SPT normal dengan SPT pembetulan hanya di kode status. SPT normal
menggunakan kode nol (0). Sedangkan SPT pembetulan menggunakan kode 1, 2, dan seterusnya. Tidak
ada batasan.
Terus SPT mana yang berlaku? SPT terakhir. Misal ada pembetulan 2 maka yang dianggap sebagai SPT
oleh kantor pajak adalah SPT Pembetulan ke 2. SPT normal dan Pembetulan ke-1 sudah tergantikan.

Walaupun begitu, petugas masih bisa melihat semua SPT yang dilaporkan. Walaupun ada pembetulan ke
4, petugas bisa melihat SPT normal sampai dengan pembetulan ke 4. Dibandingkan mana yang
dibetulkan. Dan petugas mencari alasan pembetulan. Jika petugas masih bingung, tinggal panggil Wajib
Pajak dan minta penjelasan ke Wajib Pajak.

Walaupun demikian, ada batasan pembetulan SPT. Batasan pembetulan SPT yaitu:

pemberiksaan, baik pemeriksaan pajak biasa maupun pemeriksaan bukti permulaan;

daluwarsa

Bukankah saat diperiksa boleh pembetulan SPT juga? Istilah yang digunakan sebenarnya bukan
pembetulan SPT tapi pengungkapan ketidakbenaran.

Ada 2 pengungkapan ketidakbenaran.

pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT. Diatur di Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang KUP;

pengungkapan ketidakbenaran perbuatan. Diatur di Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang KUP.

Pengungkapan ketidakbenaran perbuatan terkait dengan tindak pidana perpajakan. Sehingga fungsi
pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sesuai Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang KUP adalah supaya
tidak dilakukan penyidikan.

Karena pelaku sudah mengakui kesalahan perbuatannya dan membayar denda yang ditentukan oleh
undang-undang maka penyidik tidak meneruskan ke penyidikan.

Selain pemeriksaan, batasan pembetulan SPT juga daluwarsa (istilah di KUP untuk istilah kedaluwarsa di
KBBI).

Daluwarsa SPT adalah 5 tahun. SPT tahun pajak 2012 akan daluwarsa pada akhir tahun 2017. Sehingga
jika ada yang menyampaikan SPT tahun pajak 2012 tahun 2018 atau lebih maka sistem tidak dapat
menerima.
Kadang ada juga yang tetap ingin menyampaikan SPT walaupun sudah daluwarsa. Jika dilakukan secara
fisik (SPT Manual) ke kantor pajak, sebenarnya bisa saja diterima. Tetapi tidak diterima sebagai SPT.
Biasanya diterima sebagai “surat lain-lain“.

SPT yang dicatat sebagai surat lain-lain akan langsung diberikan ke petugas AR untuk dilakukan analisis.

Pengungkapan Ketidakbenaran
By Raden Agus Suparman February 10, 2012

Istilah "Pengungkapan Ketidakbenaran" muncul di tingkat peraturan pemerintah, peraturan menteri


keuangan dan peraturan direktur jenderal pajak. Pengungkapan ketidakbenaran mengacu ke Pasal 8
ayat (3) dan ayat (4) UU KUP. Judul Pasal 8 UU KUP sendiri "Pembetulan SPT". Tetapi pembetulan sendiri
hanya diatur di ayat (1), sedangkan ayat (3) dan (4) mengatur pembetulan. Mari kita bandingkan kata-
kata yang saya garis bawahi:

Pasal 8 ayat (1) UU KUP

Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan
dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan
tindakan pemeriksaan.

Pasal 8 ayat (3) UU KUP

Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan
mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38,
terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila
Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan
disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi
administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang
dibayar.

Pasal 8 ayat (4) UU KUP

Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak
belum menerbitkan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan
dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah
disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya ...

Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011 mengatur lebih lanjut ketentuan pengungkapan
ketidakbenaran, yaitu di Bagian Ketiga, Pasal 7 dan Pasal 8 dan diberi judul "Pengungkapan
Ketidakbenaran". Walapun Pasal 8 UU KUP diberijudul "Pembetulan SPT" tetapi ayat (3) dan (4) bukan
Pembetulan SPT tetapi Pengungkapan Ketidakbenaran.
Di UU KUP hanya disebutkan "pemeriksaan" untuk Pasal 8 (3) dan Pasal 8 (4) UU KUP. Tetapi di
Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011 sudah ada pemisahan yang jelas bahwa Pasal 9 (3) UU KUP
dimaksudkan untuk pemeriksaan Bukti Permulaan. Saya kutif Pasal 7 ayat (4) Peraturan Pemerintah No.
74 Tahun 2011:

Apabila setelah Wajib Pajak melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana


dimaksud pada ayat (3) masih ditemukan data yang menyatakan lain dari pengungkapan ketidakbenaran
perbuatan tersebut, terhadap Wajib Pajak tetap dapat dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan.

Di bagian penjelasan Pasal 7 (1) Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011 menyebutkan :

meskipun Wajib Pajak telah melakukan perbuatan sebagaimana tersebut di atas dan terhadap Wajib
Pajak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Wajib Pajak tetap memiliki kesempatan untuk
mengungkapkan sendiri kesalahannya dan terhadap Wajib Pajak tidak akan dilakukan Penyidikan.

Dari dua kutifan tersebut semakin jelas bahwa Pasal 8 (3) UU KUP dilakukan pada saat sedang dilakukan
Pemeriksaan Bukti Permulaan. Kemudian setelah dilakukan pengungkapan ketidakbenaran Pasal 8 (3)
UU KUP maka pemeriksaan bukti permulaan telah dilanjutkan untuk membuktikan kebenaran. Jika
benar maka pemeriksa bukti permulaan menerima. Dan kepada Wajib Pajak harus diberitahu bahwa
tidak akan dilanjutkan ke proses penyidikan. Keharusan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis di
atur di Pasal 6 ayat (7) huruf b Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011.

Tetapi jika pengungkatan tersebut menurut pemeriksa tidak benar, maka proses pemeriksaan bukti
permulaan dilanjutkan dan ditingkatkan di proses penyidikan. Ini diatur di Pasal 7 ayat (4) Peraturan
Pemerintah No. 74 Tahun 2011.

Selain memperjelas posisi antara pemeriksaan dan pemeriksaan bukti permulaan, Peraturan Pemerintah
No. 74 Tahun 2011 juga memperluas "pemaknaan". Perluasan yang saya maksud tertulis di bagian
penjelasan Pasal 7 (1) Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011 yang secara lengkap saya kutif
dibawah. Bagian yang saya maksud perluasan digarisbawahi.

Prinsip dari sistem self assessment dalam pemungutan pajak adalah memberikan kesempatan kepada
Wajib Pajak untuk secara sukarela menghitung, membayar dan melaporkan pajak terutang berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian,
meskipun terhadap Wajib Pajak sedang dilakukan tindakan penegakan hukum, Wajib Pajak tetap
memiliki kesempatan untuk secara sukarela memenuhi kewajiban perpajakannya dengan
mengungkapkan sendiri ketidakbenaran perbuatannya.

Dalam hal Wajib Pajak melakukan perbuatan, yaitu :

a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau

b. menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau
melampirkan keterangan yang isinya tidak benar,yang dilakukan karena kealpaan atau dengan sengaja,
Direktur Jenderal Pajak akan melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebelum melakukan Penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan.

Dalam rangka penerapan sistem self assessment secara konsisten, meskipun Wajib Pajak telah
melakukan perbuatan sebagaimana tersebut di atas dan terhadap Wajib Pajak sedang dilakukan
Pemeriksaan Bukti Permulaan, Wajib Pajak tetap memiliki kesempatan untuk mengungkapkan sendiri
kesalahannya dan terhadap Wajib Pajak tidak akan dilakukan Penyidikan.

Untuk memberikan kepastian hukum, yang dimaksud dengan mulai dilakukan Penyidikan sebagaimana
diatur pada ayat ini adalah saat surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan diberitahukan kepada
Penuntut Umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Dengan demikian, dalam hal
pemberitahuan dimulainya Penyidikan telah dilakukan, kesempatan untuk mengungkapkan
ketidakbenaran perbuatan sudah tertutup bagi Wajib Pajak.

Dari 2 kalimat yang digarisbawahi, kita bisa memaknai bahwa pengungkapan ketidakbenaran Pasal 8 (3)
UU KUP dapat dilakukan untuk perbuatan [1.] tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan, atau [2.]
menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan
keterangan yang isinya tidak benar. Kedua perbuatan tersebut dilakukan dengan alpa dan sengaja!
Konon kabarnya, "pemaknaan" ini berdasarkan prinsip equal treatment dengan Pasal 44B UU KUP.
Perbedaannya, Pasal 8 (3) UU KUP untuk menghentikan proses pemeriksaan bukti permulaan dan
supaya tidak ditingkatkan di proses penyidikan. Sedangkan Pasal 44B untuk menghentikan penyidikan
dan supaya tidak dilanjutkan ke proses penuntutan.

Sedangkan pengungkatan ketidakbenaran Pasal 8 (4) UU KUP digunakan:

[1.] proses pemeriksaan

[2.] sanksi 50%

[3.] berlaku Pasal 9 ayat (8) huruf i Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.

Tiga hal diatas yang menurut saya pembeda antara pengungkapan ketidakbenaran Pasal 8 (3) dan Pasal
8 (4) UU KUP. Yang satu proses pemeriksaan bukti permulaan, satu lagi proses pemeriksaan. Sanksi di
proses pemeriksaan bukti permulaan 150% tetapi sanksi di proses pemeriksaan cukup 50%. Di proses
pemeriksaan Pajak Masukan atas perolehan BKP atau JKP yang tidak dilaporkan dalam SPT Masa PPN
tidak dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (8) huruf i
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya. Sedangkan di proses pemeriksaan
bukti permulaan tidak diatur. Artinya terhadap Pajak Masukan yang belum dilaporkan dapat diakui atau
ditolak.

Secara lengkap saya kutif ketentuan pelaksanaan Pasal 8 (4) UU KUP yang diatur di Pasal 8 Peraturan
Pemerintah No. 74 Tahun 2011:
(1) Wajib Pajak dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri secara tertulis mengenai
ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang, sepanjang pemeriksaan
pajak belum menyampaikan surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan.

(2) Laporan tersendiri secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani
oleh Wajib Pajak dan dilampiri dengan:

penghitungan pajak yang kurang dibayar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dalam format Surat
Pemberitahuan;

Surat Setoran Pajak atas pelunasan pajak yang kurang dibayar; dan

Surat Setoran Pajak atas pembayaran sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh
persen).

(3) Untuk membuktikan kebenaran pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemeriksaan tetap dilanjutkan dan atas hasil Pemeriksaan
tersebut diterbitkan surat ketetapan pajak dengan mempertimbangkan laporan tersendiri tersebut serta
memperhitungkan pokok pajak yang telah dibayar.

(4) Dalam hal hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) membuktikan bahwa
pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang dilakukan oleh Wajib Pajak ternyata
tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya, surat ketetapan pajak diterbitkan sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya tersebut.

(5) Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diperhitungkan sebagai kredit
pajak dalam surat ketetapan pajak yang diterbitkan berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).

(6) Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan bukti pembayaran
sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) terkait dengan pengungkapan
ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan.

(7) Dalam hal pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, Pajak
Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak
sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (8) huruf i Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan
perubahannya.

(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang
ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
Menghindari SKPKB Melalui Pengungkapan Ketidakbenaran Pengisian SPT
tax audit

Untuk Wajib Pajak tertentu, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), apalagi dengan jumlah pajak
yang BESAR, sangat dihindari. Menerima SKPKB akan mendapatkan hukuman moral bahwa manajemen
tidak patuh terhadap pajak. SKPKB diterbitkan setelah pemeriksaan pajak. Untuk menghindari SKPKB,
Wajib Pajak dapat menempuh upaya melalui pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT.

Pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT berdasarkan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang KUP. Prinsip
pengungkapan adalah kesadaran sendiri. Dan ini cocok dengan sistem self assessment.

Pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT terjadi pada saat pemeriksaan pajak berlangsung. Wajib
Pajak dengan kesadaran tertentu membayar sendiri pajak yang kurang bayar atau temuan-temuan
pemeriksa sebelum terbit SKPKB. Menurut peraturan pemerintah sebelum terbit SKPKB dipersempit lagi
sebelum Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP).

Selain sejumlah pajak yang kurang bayar, pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT juga diharuskan
membayar sanksi administrasi berupa denda sebesar 50%. Denda sebesar 50% sebenarnya lebih besar
daripada jumlah sanksi bunga dalam SKPKB yaitu maksimal 48%.

Karena itu, bagi wajib pajak yang mementingkan nominal uang, pengungkapan ketidakbenaran tentu
bukan solusi termurah. Selisih 2% lebih murah jika dikalikan ratusan milyar tentu menghasilkan nominal
uang milyaran rupiah.

Tapi bagi Wajib Pajak yang tidak peduli selisih tersebut, boleh diambil solusi pengungkapan
ketidakbenaran pengisian SPT. Bonusnya, SKP Nihil. Syaratnya angka yang kita bayar cocok dengan
perhitungan pemeriksa pajak.

Prosedur Pasal 8 ayat (4) dan Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang KUP sama saja. Perbedaannya ada di
jumlah sanksi administrasi.

Seperti Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang KUP, prosedur pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT
perlu menyiapkan 4 dokumen, yaitu :
Surat tertulis yang ditandatangani;

penghitungan pajak yang kurang dibayar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dalam format Surat
Pemberitahuan;

Surat Setoran Pajak atas pelunasan pajak yang kurang dibayar; dan

Surat Setoran Pajak atas pembayaran sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh
persen).

Nomor 2, 3, dan 4 merupakan lampiran dari surat pengungkapan ketidakbenaran. Sehingga saat
disampaikan ke kantor pajak bukan menyampaikan SPT dan tanda terima juga bukan dengan tanda
terima SPT. Tetapi menggunakan tanda terima surat lain-lain.

Kode setoran pengungkapan ketidakbenaran untuk SPT yang diperiksa adalah SPT Masa PPN maka kode
billing yang dipakai adalah 411211 – 500. Jika SPT Tahunan badan yang diperiksa, maka kode setorannya
411126 – 500. Kalau SPT Tahunan orang pribadi maka 411125 – 500.

SSP sanksi menggunakan kode 510. Sehingga kode billing untuk sanksi kenaikan atas pengungkapan
ketidakbenaran menjadi 411211 – 510 untuk SPT Masa PPN, 411126 – 510 untuk SPT Tahunan badan,
dan 411125 – 510 untuk SPT Tahunan orang pribadi.

Tetapi pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT mungkin saja tidak menyebabkan kurang bayar.
Sehingga tidak ada pajak yang dibayar. Dalam kondisi seperti ini, maka SSP tidak perlu dilampirkan. Hal
ini diatur di Pasal 61 Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013

Pembayaran pajak sebenarnya dimungkinkan untuk diangsur. Pasal 10 ayat (2) Undang-undang KUP
mengindikasikan hal tersebut di mana dinyatakan bahwa tata cara mengangsur pajak diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan. Ketentuan pelaksanaan pengangsuran pajak ini memang diatur oleh
Peraturan Menteri Keuangan, yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007. Secara lebih
teknis lagi, tatacara pengangsuran pajak ini diatur dengan Peraturan DIrjen Pajak Nomor PER-
38/PJ/2008.
Cara Mengangsur Pajak
Hak Wajib Pajak untuk mengajukan permohonan untuk mengangsur pembayaran pajak ini terutama
ditujukan kepada Wajib Pajak yang mengalami kesulitan likuiditas atau Wajib Pajak yang berada dalam
kondisi di luar kekuasaannya (force majeur) sehingga tidak dapat melunasi pajak sesuai dengan jangka
waktunya.

Berikut ini adalah tulisan tentang bagaimana tatacara mengangsur pajak berdasarkan ketentuan-
ketentuan di atas.

Pajak Yang Bagaimana Yang Bisa Diangsur?

Ada dua jenis pajak yang bisa dimohon untuk diangsur. Pertama adalah Pajak yang masih harus dibayar
dalam Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), serta Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan,
Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus
dibayar bertambah. Jatuh tempo pembayan pajak seperti ini sebenarnya adalah 1 (Satu) bulan sejak
tanggal diterbitkannya produk hukum tersebut.

Dengan mengajukan permohonan untuk mengangsur, maka Wajib Pajak punya peluang untuk
membayar secara angsuran sehingga bisa menolong likuiditas Wajib Pajak.

Kedua, yang bisa diajukan permohonan pengangsuran pajak adalah kekurangan pembayaran pajak yang
terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan atau biasa disebut PPh
Pasal 29. Pembayaran PPh Pasal 29 (jatuh tempo pembayaran) sendiri harus dilunasi sebelum SPT
Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan tetapi tidak melebihi batas waktu penyampaian SPT
Tahunan Pajak Penghasilan. Pada umumnya batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Badan adalah
30 April dan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi adalah 31 Maret tahun berikutnya.

Pajak yang diajukan permohonan untuk diangsur di atas, selanjutnya akan disebut sebagai utang pajak
pada bagian berikutnya.

Pengajuan dan Persyaratan Permohonan

Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala kantor Pelayanan Pajak
tempat Wajib Pajak terdaftar untuk mengangsur utangpajak , dalam hal Wajib Pajak mengalami
kesulitan likuiditas atau mengalami keadaan di luar kekuasaannya sehingga Wajib Pajak tidak akan
mampu memenuhi kewajiban pajak pada waktunya.

Permohonan Wajib Pajak tersebut harus diajukan secara tertulis paling lama 9 (sembilan) hari kerja
sebelum jatuh tempo pembayaran, disertai dengan alasan dan bukti yang mendukung permohonan,
serta jumlah pembayaran pajak yang dimohon untuk diangsur, masa angsuran, dan besarnya angsuran.
Permohonan mengangsur pembayaran pajak harus diajukan dengan menggunakan formulir
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2008.

Jangka waktu 9 (sembilan) hari kerja tersebut dapat dilampaui dalam hal Wajib Pajak mengalami
keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu melunasi utang pajak tepat
pada waktunya.

Jaminan

Wajib Pajak yang mengajukan permohonan angsuran pembayaran pajak harus memberikan jaminan
yang besarnya ditetapkan berdasarkan pertimbangan Kepala Kantor Pelayanan Pajak, kecuali apabila
Kepala Kantor Pelayanan Pajak menganggap tidak perlu. Bentuk jaminan dapat berupa garansi bank,
surat/dokumen bukti kepemilikan barang bergerak, penanggungan utang oleh pihak ketiga, sertifikat
tanah, atau sertifikat deposito.

Wajib Pajak yang mengajukan permohonan dalam jangka waktu yang melampaui jangka waktu 9
(sembilan) hari kerja harus memberikan jaminan berupa garansi bank sebesar utang pajak yang dapat
dicairkan sesuai dengan jangka waktu pengangsuran.

Keputusan Atas Permohonan

Setelah mempertimbangkan alasan berikut bukti pendukung yang diajukan oleh Wajib Pajak, Kepala
Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu
7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal diterimanya permohonan.

Bentuk keputusan yang dapat diberikan oleh Kepala KPP adalah :

menyetujui jumlah angsuran pajak dan/atau masa angsuran sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;

menyetujui jumlah angsuran pajak dan/atau masa angsuran sesuai dengan pertimbangan Kepala Kantor
Pelayanan Pajak; atau

menolak permohonan Wajib Pajak

Apabila jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja telah terlampaui dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak tidak
menerbitkan suatu keputusan, permohonan disetujui sesuai dengan permohonan Wajib Pajak, dan Surat
Keputusan Persetujuan Angsuran Pembayaran Pajak harus diterbitkan paling lama 5 (lima) hari kerja
setelah jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja tersebut berakhir.

Dalam hal permohonan Wajib Pajak disetujui, Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Surat
Keputusan Persetujuan Angsuran Pembayaran Pajak dengan menggunakan formulir Surat Keputusan
Persetujuan Angsuran Pembayaran Pajak sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2008.

Apabila permohonan Wajib Pajak ditolak, maka Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Surat
Keputusan Penolakan Angsuran/Penundaan Pembayaran Pajak dengan menggunakan formulir
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IV Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2008.
Penetapan Angsuran dan Sanksi Bunga

Besarnya pembayaran angsuran atas utang pajak ditetapkan dalam jumlah utang pajak yang sama besar
untuk setiap angsuran, dengan ketentuan angsuran tersebut :

Paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterbitkannya Surat Keputusan Persetujuan Angsuran
Pembayaran Pajak dengan angsuran paling banyak 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan, untuk permohonan
angsuran atas utang pajak berupa pajak yang masih haru dibayar dalam STP, SKPKB, SKPKBT dan Surat
Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan
Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah; atau

Paling lama sampai dengan bulan terakhir Tahun Pajak berikutnya, untuk permohonan atas kekurangan
pembayaran utang pajak berupa pajak yang terutang SPT Tahunan PPh (PPh Pasal 29) dengan angsuran
paling banyak 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan.

Dalam hal Wajib Pajak disetujui untuk mengangsur pembayaran pajak kecuali untuk utang pajak berupa
Surat Tagihan Pajak, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua Persen) per
bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) UU KUP yang dihitung sejak jatuh tempo
pembayaran sampai dengan pembayaran angsuran/pelunasan, dengan ketentuan bagian dari bulan
dihitung penuh 1 (satu) bulan.

Bunga tersebut dihitung berdasarkan saldo utang pajak dan ditagih dengan menerbitkan Surat Tagihan
Pajak pada setiap tanggal jatuh tempo angsuran atau pada tanggal pembayaran.

Berikut ini adalah contoh perhitungan bunga atas angsuran pajak sebagaimana dinyatakan dalam
penjelasan Pasal 19 ayat (2) Undang-undang KUP.

Wajib Pajak menerima SKPKB sebesar Rp1.120.000,00 yang diterbitkan pada tanggal 2 Januari 2009
dengan batas akhir pelunasan tanggal 1 Februari 2009. Wajib Pajak tersebut diperbolehkan untuk
mengangsur pembayaran pajak dalam jangka waktu 5 (lima) bulan dengan jumlah yang tetap sebesar
Rp224.000,00. Sanksi administrasi berupa bunga untuk setiap angsuran dihitung sebagai berikut:

• angsuran ke-1 : 2% x Rp1.120.000,00 = Rp22.400,00.

• angsuran ke-2 : 2% x Rp896.000,00 = Rp17.920,00.

• angsuran ke-3 : 2% x Rp672.000,00 = Rp13.440,00.

• angsuran ke-4 : 2% x Rp448.000,00 = Rp8.960,00.

• angsuran ke-5 : 2% x Rp224.000,00 = Rp4.480,00.


Apa Itu SKPKB?
SKPKB adalah Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. Surat ini merupakan salah satu sarana administrasi
bagi Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak untuk melakukan penagihan pajak, yang mana jumlah pajak yang
harus dibayar bisa bertambah.

Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 dijelaskan bahwa SKPKB merupakan surat ketetapan pajak
yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran
pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, serta jumlah pajak yang masih harus dibayar.

Sebenarnya apa sih yang menyebabkan wajib pajak mendapatkan SKPKB? Berapa denda yang harus
dibayar wajib pajak dalam menutupi kekurangan bayarnya? Mari simak penjelasan berikut yang juga
akan memberi tahu Anda bagaimana cara membayar kekurangan pajak secara mudah.

Baca Juga: Utang Pajak dan Piutang Pajak, Kenali Dua Istilah Ini!

Kondisi yang Menyebabkan SKPKB Terbit

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(KUP) Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009, disebutkan bahwa Ditjen Pajak dapat menerbitkan SKPKB dalam jangka waktu lima tahun setelah
saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak.

Dalam Pasal 13 ayat 1 Undang-Undang 6/1983 itu pun dijelaskan sejumlah kondisi yang membuat Ditjen
Pajak mengeluarkan SKPKB. Kondisi dimaksud adalah:

Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang pajak
dibayar.

Apabila surat pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya
sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran.

Asal tahu saja, jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa paling lambat 20 hari setelah
akhir masa pajak, Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak (WP) pribadi
paling lama 3 bulan setelah akhir tahun pajak, sementara SPT PPh WP badan paling lama 4 bulan setelah
akhir tahun pajak.
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) ternyata tidak seharusnya dikenai tarif 0%.

Apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 tentang pembukuan atau Pasal 29 tentang
pemeriksaan tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang.

Apabila kepada Wajib pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak secara jabatan.

Kurang Bayar Pajak, Kena Denda

Jika Anda mendapat SKPKB dari Ditjen Pajak, maka biaya yang harus Anda bayarkan tidak lah hanya
jumlah kekurangan bayar pajak Anda sebagaimana tertera dalam surat ketetapan yang diterbitkan.

Melainkan Anda harus membayar tambahan sanksi administrasi atau denda berupa bunga yang
besarannya tergantung kasus kurang bayar pajak Anda. Berikut ragam besaran sanksi untuk wajib pajak
yang mendapat SKPKB:

Tambahan bayar denda berupa bunga sebesar 2% dari nilai kekurangan pajak. Bunga ini akan dihitung
berkali lipat setiap bulan dengan pengenaan sanksi maksimal terhitung 24 bulan sejak terutangnya pajak
atau berakhirnya masa pajak sampai diterbitkannya SKPKB.

Denda sebesar 2% per bulan ini diberikan kepada wajib pajak yang ketahuan terutang pajak, belum
bayar pajak atau tidak bayar pajak berdasarkan hasil pemeriksaan Ditjen Pajak atau keterangan pajak
lainnya. Serta bagi wajib pajak yang mendapat Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sebagai Pengusaha
Kena Pajak (PKP) secara jabatan.

Tambahan bayar denda berupa kenaikan sebesar 50% dari pajak penghasilan yang tidak atau kurang
bayar dalam satu tahun pajak.

Tambahan bayar denda berupa kenaikan sebesar 100% dari pajak penghasilan yang tidak atau kurang
dipotong, dipungut, disetor, dan dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetor.

Tambahan bayar denda berupa kenaikan sebesar 100% dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa,
serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar.

Denda sebesar 50% dan 100% sebagaimana tertuang dalam poin 2, 3, dan 4 dikenakan kepada WP yang
tidak menyampaikan surat pemberitahuan pajak sesuai tenggat waktu yang ditentukan, PPN dan PPnBM
yang tidak seharusnya dikenai tarif 0%, serta WP yang tidak melakukan pembukuan atau belum
diperiksa kepatuhannya oleh DJP.

Berikut Cara Hitung Denda Kurang Bayar Pajak

Wajib pajak PT Murni mempunyai penghasilan kena pajak selama tahun pajak 2006 sebesar
Rp100.000.000 dan menyampaikan SPT tepat waktu. Pada bulan April 2009 bedasarkan hasil
pemeriksaan Ditjen Pajak diterbitkan SKPKB maka perhitungan sanksi bunga yang harus dibayar PT
Murni adalah sebagai berikut:
Penghasilan Kena Pajak Rp100.000.000

Pajak penghasilan terutang Rp30.000.000

(30% x Rp100.000.000)

Kredit pajak Rp10.000.000 (-)

Pajak yang kurang dibayar Rp20.000.000

Bunga 24 bulan (24×2%xRp20.000.000) Rp9.600.000 (+)

Jumlah pajak yang masih harus dibayar Rp29.600.000

Catatan: Meski SKPKB PT Murni terbit lebih dari dua tahun sejak berakhirnya tahun pajak terutang,
namun besaran bunga yang dikenakan atas kekurangan tersebut tetap dikalikan 24 bulan atau dua
tahun saja karena hitungan ini merupakan sanksi maksimal.

Bila SKPKB PT Murni terkait penghasilan kena pajaknya terbit pada tahun 2007, maka perhitungan denda
kena pajaknya adalah sebagai berikut:

Pajak yang kurang dibayar Rp20.000.000

Bunga 12 bulan (12×2%xRp20.000.000) Rp4.800.000 (+)

Jumlah pajak yang masih harus dibayar Rp24.800.000

Bayar Denda Pajak Secara Online

Nah, sekarang Anda sudah tau kan bagaimana serba-serbi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. Jangan
lupa, setelah SKPKB diterbitkan, Anda punya tenggat waktu untuk segera membayar kekurangan pajak.

Untuk mempermudah urusan Anda, saat ini pembayaran denda pajak sudah bisa dilakukan secara
online. Pembayaran bahkan bisa Anda lakukan melalui telepon genggam Anda dengan menggunakan
layanan PajakPay pada platform transaksi OnlinePajak.

PajakPay adalah sistem cash management (manajemen kas) dari aplikasi OnlinePajak yang berguna
untuk pembayaran pajak secara online hanya dengan 1 klik. Tak hanya menghemat waktu untuk
menghindari antrian proses administrasi di kantor pajak maupun bank, PajakPay juga dapat membantu
anda menyimpan bukti bayar pajak yang menurut UU KUP Pasal 28 harus disimpan selama 10 tahun

Anda mungkin juga menyukai