Disusun oleh :
Mengesahkan
Pembimbing
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
LAPORAN KASUS
3
Setelah operasi, pasien rutin kontrol untuk luka bekas operasi nya. ± 3 bulan
setelah operasi, luka bekas operasi kering dan muncul keloid.
4
Riwayat Sosial Ekonomi :
Pasien berusia 37 tahun. Pasien merupakan seorang nelayan. Sering
terpapar sinar matahari. Pasien memiliki 1 orang istri dan 1 orang anak yang
belum mandiri. Pengobatan pasien ditanggung oleh JKN PBI.
Kesan sosial ekonomi kurang.
OBYEKTIF
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan di bangsal Flamboyan 27 Juli 2019 pukul 12.00
WIB
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Composmentis, GCS E4M6V5
Tanda-tanda vital
Frekuensi napas : 20x/ menit
Frekuensi nadi : 80x/menit
Tekanan darah : 145/77 mmHg
Suhu : 37.7 oC (aksiler)
Nyeri : VAS 2
Status Gizi
Berat Badan : 50 kg
Tinggi Badan : 167 cm
Status Generalis
Kulit : turgor kulit cukup, pucat (-)
Kepala : Mesosefal
Mata : Konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-),
eksoftalmus (-/-)
Hidung : Epistaksis (-/-), discharge (-/-), nafas cuping hidung (-/-)
5
Mulut : Bibir pucat (-), bibir sianosis (-), bibir kering (-),
faring hiperemis (-), uvula di tengah (+), tonsil T1-T1
hiperemis (-)
Telinga : Discharge (-/-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thoraks : Simetris, bentuk normal, retraksi (-), sela iga melebar (-)
Paru
Inspeksi : Hemithorax kanan dan kiri simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : Stem fremitus kanan sama kuat dengan kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler pada kedua lapangan paru, suara tambahan
tidak ada
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba di SIC V 2 cm medial linea mid clavicularis
sinistra
Perkusi : Batas atas : SIC II linea parasternal sinistra
Batas kanan : Linea parasternal dextra
Batas kiri : Sesuai iktus kordis
Pinggang jantung cekung
Auskultasi : BJ I-II normal, regular, bising tidak ada, gallop tidak ada
Abdomen
Inspeksi : Datar, tidak ada venektasi, tidak ada luka
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani, pekak sisi normal, pekak alih (-), nyeri ketok sudut
costophrenicus (-/-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-)
6
Ekstremitas
Superior Inferior
Mukosa kuku pucat -/- -/-
Edema -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Status Lokalis
Inspeksi : tampak luka pada paha kiri dengan ukuran panjang x lebar x
tinggi, 20cm x 15cm x 2cm, bentuk tidak teratur, tepi luka tegas
Pemeriksaan Penunjang
Hematologi
Tabel 1. Hasil pemeriksaan hematologi (25/07/2019)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai
Rujukan
Hemoglobin 8,3 g/dL 11.0-14.0
Hematokrit 25,6 (L) % 37,0-43,0
MCH 25,7 Pg 27,0-31,0
MCV 79,3 Fl 78-95
MCHC 32,4 g/dL 32-37
Eritrosit 3,23 (L) 106 /uL 4,00-5,50
Leukosit 12,33 103 /uL 4,5-12,5
Trombosit 468 (H) 103 /uL 150-400
Hitung Jenis
Neutrofil 74,9 (H) % 50-70
Limfosit 9,9 (L) % 25-50
Monosit 6,1 (H) % 1-6
Eosinofil 8,8 (H) % 1-4
Basofil 0,3 % 0-1
Diagnosis
Ulkus regio femur sinistra curiga ganas Marjolin’s ulcer
dd Marjolin’s ulcer karsinoma sel basal
7
Marjolin’s ulcer karsinoma sel skuamosa
Rencana Pengelolaan
Ip Dx :
Debridement + biopsi, pemeriksaan histopatologi, pemeriksaan x foto
thoraks, USG Abdomen, pemeriksaan laboratorium (darah rutin,
PTT/APTT)
Ip Rx :
Transfusi PRC 2 kolf
Ketorolac 2 x 1 ampul
Ranitidin 3x 1 ampul
Ceftriakson 2x 1 gram
Ganti balut setiap hari
Ip Mx :
Skala nyeri, tanda – tanda vital
Ip Dx :
Menjelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa luka yang terdapat pada
kaki kiri pasien dicurigai adalah sebuah penyakit keganasan yang timbul
dari bekas luka pada kaki kiri pasien sewaktu kecil yang berubah menjadi
ganas. Namun, masih perlu dilakukan serangkaian pemeriksaan penunjang
unuk menegakkan diagnosis.
Lampiran
8
Pre Op
Durante Op
Post Op
9
Sample Biopsi
Mikroskopik:
Sediaan menunjukkan potongan jaringan dilapisi epitel squamous kompleks,
hyperkeratosis, achantosis dengan stroma subepitel sembab hipercular
mengandung proliferasi “Horn Cyst” disertai sebaran radang limfosit, histiosit dan
leukosit pmn. Tidak tambapk tanda ganas pada sediaan.
Kesimpulan:
Gambaran diatas dapat ditemukan pada Seborrohoeic Keratosis
10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Marjolin’s ulcer adalah kondisi keganasan pada kulit yang sebelumnya terluka
dan mengalami inflamasi kronis. Marjolin ulcer pertama kali dideskripsikan oleh
seorang ahli bedah Prancis yang pada tahun 1828 bernama Jean Nicholas
Marjolin, sebagai suatu kondisi lesi indolen, ulseratif dan agresif tipe karsinoma
sel skuamosa (KSS) pada area tubuh yang sebelumnya pernah menderita trauma
dan inflamasi kronik 2,5
3.1.2 Insidensi
Jenis kelamin pria lebih sering terkena dengan rasio pria dan wanita 3:1, dan usia
rata-rata 53-59 tahun. Kejadian Marjolin’s ulcer pada pasien luka bakar
dilaporkan 2%. Sedangkan 0,2%- 1,7% kasus osteomielitis kronis dilaporkan
berkembang menjadi Marjolin’s ulcer.2,7-9 Oruc (2016) menunjukkan selang
waktu terjadinya luka hingga berkembang menjadi Marjolin’s ulcer adalah 44,2
tahun. 2,3
3.1.3 Patofisiologi
11
keganasan. Teoriteori mengenai penyebab dan mekanisme terjadinya ulkus
Marjolin ada 9 menurut Nthumba, yaitu teori toksin, iritasi kronis, implantasi
elemen epitelial traumatis,3 co-carcinogen, iritasi dan promosi, immunologi,
herediter, sinar ultraviolet, dan teori interaksi genetik dengan lingkungan (Tabel
1). 4 Ulkus Marjolin merupakan tumor epidermoid yang agresif, dan pencitraan
hanya
3.1.4.1 Anamnesis
Dari anamnesis biasanya pasien mengeluh luka yang tak kunjung sembuh selama
lebih dari 1 bulan, ukuran luka membesar, serta didapatkan faktor risiko lain
seperti kondisi immunocompromised. Paparan sinar matahari juga dilaporkan
menjadi salah satu faktor risiko lain.2
Dari pemeriksaan fisik didapatkan trias klasik, yaitu pembentukan nodul, indurasi,
dan ulserasi di lokasi parut. Selain itu, ditemukan juga luka dengan tepi
menggaung, jaringan granulasi yang berlebih, bau tidak sedap, pembesaran,
mudah berdarah, dan nyeri.2
12
3.1.4.3 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan baku emas untuk mengetahui adanya sel-sel ganas adalah biopsi.
Beberapa peneliti merekomendasikan biopsi diambil pada lebih dari satu bagian di
daerah lesi, misalnya bagian tengah dan tepi. Makin besar ukuran lesi, makin
banyak jumlah daerah yang dibiopsi. Karsinoma sel skuamosa adalah tipe yang
paling sering, kemudian karsinoma sel basal, melanoma, dan sarkoma.
Pemeriksaan radiologi juga dapat membantu diagnosis. Dari foto polos dapat
ditemukan lamellated periosteal reaction dan destruksi tulang. CT scan bisa
melihat kondisi tulang, namun evaluasi tulang dan jaringan lunak lebih baik
dengan pemeriksaan MRI. Batas keterlibatan tulang dapat ditampilkan dengan
baik melalui pemeriksaan MRI sehingga dapat membantu proses operasi.
13
pada flap lokal lebih tinggi. Observasi kekambuhan pada defek eksisi Marjolin’s
ulcer yang direkonstruksi dengan skin graft lebih mudah. Selain itu, lokasi donor
skin graft dapat digunakan lagi apabila perlu tindakan rekonstruksi kembali.
Waktu operasi yang lebih singkat, tingkat keberhasilan tinggi, serta dapat
menutup defek luas, juga menjadi keunggulan skin graft. Namun, dari segi ini
limfadenektomi pada kasus Marjolin’s ulcer masih kontroversial. Tindakan
amputasi masih kontroversial. mungkin dilakukan jika eksisi lokal luas tidak
adekuat karena adanya keterlibatan tulang dan sendi.2
3.1.5.2 Radioterapi
14
3.1.6 Prognosis
Salah satu faktor yang paling penting adalah derajat histologi. Survival rate lebih
tinggi apabila diameter kurang dari 10 cm. Marjolin’s ulcer dengan diameter lebih
dari 10 cm, memiliki kemungkinan metastasis lebih tinggi. Durasi antara waktu
terjadinya luka dan timbulnya Marjolin’s ulcer yang lebih singkat dan histologi
sel diferensiasi baik, memiliki prognosis yang lebih baik.
3.2.1 Definisi
Keratosis seboroik merupakan tumor jinak kulit yang paling banyak muncul pada
usia dewasa menengah dan usia tua. Berupa tumor kecil atau makula hitam yang
menonjol diatas permukaan kulit. Keratosis seboroik adalah tumor jinak yang
berasal dari proliferasi epidermal, sering dijumpai pada orang tua dan biasanya
asimtomatik.7
3.2.2 Etiologi
Penyebab pasti dari keratosis seboroik belum diketahui. Ada pendapat yang
mengatakan bahwa faktor keturunan memegang peranan penting. Beberapa kasus
menurun melalui autosomal dominan. Ada pula yang mengatakan bahwa terpapar
sinar matahari secara kronis yang menjadi penyebabnya.7
3.2.3 Patofisiologi
Epidermal Growth Faktor (EGF) atau reseptornya, telah terbukti terlibat dalam
pembentukan keratosis seboroik. Tidak ada perbedaan yang nyata dari ekspresi
reseptor immunoreactive growth hormone di keratinosit pada epidermis normal
dan keratosis seboroik.
Frekuensi yang tinggi dari mutasi gene dalan meng-encode reseptor tyrosine
kinase FGFR3 (fibroblast growth factor receptor 3) telah ditemukan pada
15
beberapa tipe keratosis seboroik. Hal ini menjadi alasan bahwa faktor gen menjadi
basis dalam patogenesis keratosis seboroik. FGFR3 terdapat dalam reseptor
transmembrane tyrosine kinase yang ikut serta dalam memberika sinyal transduksi
guna regulasi pertumbuhan, deferensiasi, migrasi dan penyembuhan sel. Mutasi
FGFR3 terdapat pada 40% keratosis seboroik hiperkeratosis, 40% keratosis
seboroik akantosis, dan 85% keratosis seboroik adenoid.
3.2.4 Diagnosis
1. Anamensis
Biasanya asimptomatik, pasien hanya mengeluh terdapat bejolan
hitam terasa tidak nyaman.
Lesi kadang dapat terasa gatal, ingin digaruk atau di jepit.
Pasien kadang terasa benjolan semakin membesar secara lambat.
Lesi tidak dapat sembuh sendiri secara tiba-tiba.
Sebagian kasus terdapat riwayat keluarga yang diturunkan.
Lesi dapat timbul diseluruh tubuh kecuali telapak tangan dan kaki
serta membran mukosa.
16
2. Pemeriksaan Fisik
Keratosis seboroik tampak sebagai lesi berupa papul atau plak yang agak
menonjol, namun dapat juga terlihat menempel pada permukaan kulit. Lesi
biasanya memiliki pigmen warna yang sama yaitu coklat, namun kadang
kadang juga dapat ditemukan yang bewarna hitam atau hitam kebiruan, bentuk
bulat sampai oval, ukuran dari miliar sampai lentikular bahkan sampai
35x15cm. pada lesi multiple distribusi seiring dengan lipatan kulit.
Permukaan lesi biasanya berbenjol benjol. Pada lesi yang memiliki permukaan
halus biasanya terkandung jaringan keratotik yang menyerupai butiran
gandum. Pada perabaan terasa lunak dan berminyak.
Lesi biasanya timbul pada usia lebih dari 40 tahun dan terus bertambah seiring
dengan bertambahnya usia. Pada beberapa individu lesi dapat bertambah besar
dan tebal, namun jarang lepas dengan sendirinya.
3. Pemeriksaan Penunjang
17
Setidaknya ada 5 gambaran histologi yang dikenal : acanthotic (solid),
reticulated (adenoid), hyperkeratotic (papilomatous), clonal dan irritated.
Gambaran yang bertumpang tindih biasa dijumpai.
18
4. Keratosis senilis
Lesi awalnya berupa makula atau plak kecoklatan berbentuk bulat atau
irreguler, dapat soliter atau multiple, berbatas tegas, teleangiektasi dengan
permukaan kasar, kering dan skuama yang melekat.
3.2.6 Prognosis
Keratosis seboroik merupakan tumor jinak dan tidak menjadi ancaman bagi
kesehatan individu. Lesi keratosis seboroik umumya tidak mengecil namun akan
bertambah besar dan tebal seiring dengan waktu, dan tidak berubah menjadi
ganas.
3.2.7 Terapi
A. Terapi Obat
Keratolytic agent
Dapat menyebabkan epitelium yang menanduk menjadi mengembang,
lunak, maserasi kemudian deskuamasi.
1. Amonium lactat lotion
Mengandung asam laktat dan asam alfa hidroxi yang mempunyai daya
keratolitik dan memfasilitasi pelepasan sel-sel keratin. Sedian 15% dan
5% strenght; 12% strenght dapat menyebabkan iritasi muka karena
menjadikan sel-sel keratin tidak beradesi.
2. Trichloroacetic acid
19
Terapi topikal dapat digunakan tazarotene krim 0,1% dioles 2 kali sehari
dalam 16 minggu menunjukkan perbaikan keratosis seborik pada 7 dari 15
pasien.
B. Terapi Bedah
1. Krioterapi
Merupakan bedah beku dengan menggunakan cryogen bisa berupa
nitrogen cair atau karbondioksid padat. Mekanismenya adalah dengan
membekukan sel-sel kanker, pembuluh darah dan respon inflamasi
lokal. Pada keratosis seboroik bila pembekuan terlalu dingin maka
dapat menimbulkan skar atau hiperpigmentasi, tetapi apabila
pembekuan dilakukan secara minal diteruskan dengan kuretase akan
memberikan hasil yang baik secara kosmetik.
2. Bedah listrik
Elektrodesikasi
20
sangat tergantung pada operator dan sering meninggalkan bekas
berupa jaringan parut.
3. Laser CO2
4. Bedah scalpel
Satu cara konservatif namun tetap dipakai sampai sekarang ialah bedah
skalpel. Umumnya karena invasi tumor sering tidak terlihat sama
dengan tepi lesi dari permukaan, sebaiknya bedah ini dilebihkan 3-4
mm dari tepi lesi agar yakin bahwa seluruh isi tumor bisa terbuang.
Keuntungan prosedur ini ialah tingkat kesembuhan yang tinggi serta
perbaikan kosmetis yang sangat baik.
5. Dermabrasi
21
pertumbuhan sel-sel epitel, foilikel rambut, kelenjar keringat yang ada.
Proses ini menyerupai penyembuhan pada donor-site skin graft
22
DAFTAR PUSTAKA
23