Anda di halaman 1dari 213

Daftar Isi

Hakekat Sabar dalam Al-Quran


(Kajian Tematik dalam Surah Al-Baqarah)
The Meaning of Patience in The Alquran
(Thematic study of Verse al-Baqarah) — 213
Hamka Hasan

Penegakan Hukum Atas Hak Beragama Bagi Anak


(Law Enforcement The Religious Right For Children ) — 234
Soefyanto

Mempertahankan Keutuhan Keluarga:


(Saling Pengertian adalah Kunci Kebahagiaan)
Keeping Family Integrity:
(Understanding is the Key to Happiness) — 274
Abdul Azis

Pencegahan Terorisme
Melalui Tinjauan Agama dan Pendidikan
(Terrorism Prevention Through Religion
and Education Review) — 299
H. Muhammad Ilyasin

Peran KUA dalam Sosialisasi Tentang Larangan Pernikahan


Beda Agama Sebagai Upaya Mewujudkan Keluarga
Sakinah:
Menimbang Prinsip Keyakinan dan Kemaslahatan
(Role of Religious Affairs Office in Disseminating Prohibition of
Interfaith Married as Efforts to Realize Harmonious (Sakinah)
Family:
Weighing The Principle of Faith and Welfare) — 323
Abdul Jalil.
Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.II 2013

Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Masjid


Masjid NU dan Pemberdayaan Masyarakat Nahdliyin:
Antara Cita dan Fakta
(NU’s Mosque and the Empowerment of Nahdliyin Society:
Between Idea and Fact) — 345
A. Musthofa Asrori

Dakwah Lewat Syair :


Telaah Nazam Akhlak Karya KH. Muhammad
— 375
Sugeng Sugiarto
The Meaning of Patience in The Al-Quran
(Thematic study of Verse al-Baqarah)

Hakekat Sabar dalam Al-Quran


(Kajian Tematik dalam Surah al-Baqarah)

Hamka Hasan
Fakultas Dirasat Islamiyah, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
email : hamka_hasan75@yahoo.com

Abstract : Patience is sometimes interpreted as a gesture of caving, helplessness, weakness, accept


what is and other meanings. In contrast, the Qur’an gives a different meaning, namely
effort to reach a noble goal. This means that the patient requires a strength not a
weakness; activity not passivity; never give up, not mentality of loser. To find these
conclusions, this paper uses the method of thematic interpretation combined with
linguistic approach. This Methods and approaches can reveal the implicit meanings of
the words in the Qur’an. The data used mainly primary and secondary data from the
classics and modern books with the critical reading.

Abstraksi : Sabar kadang kala dimaknai sebagai sikap mengalah, ketidakberdayaan, lemah,
menerima apa adanya dan makna-makna yang lain. Sebaliknya, al-Quran memberikan
makna berbeda yaitu upaya keras untuk mencapai sebuah cita-cita yang mulia. Ini
berarti bahwa sabar membutuhkan kekuatan bukan kelemahan; keaktifan, bukan
kepasifan; pantang menyerah, bukan bermental kalah. Untuk menemukan kesimpulan
tersebut, makalah ini menggunakan metode tafsir tematik yang digabungkan dengan
pendekatan linguistik. Metode dan pendekatan ini dapat menyingkap makna-makna
yang tersirat di balik kata-kata dalam al-Quran. Data yang digunkan adalah data
primer dan sekunder dari kitab-kitab klasik dan modern dengan pembacaan kritis.
Keywords : Patience, Verse of Al-Baqarah.
214_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

A. Pendahuluan
Konsep sabar dalam al-Quran menjadi salah satu bahasan ulama yang
cukup menarik dan penting. Disamping karena terakait dengan masalah
teologi juga terkait dengan apek sosial masyarakat. Kajian Al-Quran
tentang sabar menjadi salah satu bentuk kajian tafsir maudhu’î.

Seperti dengan kajian tafsir maudhu’î yang lain, makalah ini memakai
beberapa langkah yang dianggap menukung dalam pengkajian
tentang konsep sabar secara ontologis yang terdapat dalam surah al-
Baqarah. Penulis terlebih dahulu mengidentifikasi setiap ayat yang
mengandung kata sabar, kemudian sejumlah ayat tersebut diklasifikasi
sesuai dengan tema pokok yang terkandung didalamnya. Tema-tema
tersebut melahirkan sejumlah pembahasan seperti yang terdapat dalam
pembahasan makalah ini.

Untuk menemukan kajian yang konprehensif, maka penulis memakai


beberapa pendekatan, diantaranya: pendekatan kebahasaan, eksegisis,
informatif dan argumentatif. Makalah ini akan menjelaskan tentang
sabar secara kebahasaan, sabar menurut surah al-Baqarah, hakekat sabar,
manfaat sabar, objek kesabaran serta hubungan antara sabar dengan
surah al-Baqarah.

B. Sabar dalam Literatur Kebahasaan


Sabar adalah salah satu unsur internal yang dimiliki oleh setiap
manusia. Meskipun term ini dipersilisihkan oleh kalangan intelektual
tentang posisinya dalam manusia. Sebagian mereka mengatakan bahwa
sabar adalah sikap yang dimiliki oleh setiap orang dan sebagian lain
condong mengatakan bahwa sabar adalah sifat yang melekat pada diri
seseorang. Lebih dari itu, term ini diperdebatkan tentang eksistensinya.
Sebagian kalangan mengatakan bahwa setiap orang secara fitrah
memiliki unsur tersebut dan sebagian yang lain mengatakan bahwa
unsur ini timbul-tenggelam dalam diri manusia.
Hakekat Sabar dalam Al-Quran _215

Secara etimologi kata sabar pada awalnya diartikan sebagai “menahan


pada tempat yang sempit”1. Selanjutnya, jika kata sabar dikaitkan
dengan manusia, maka dapat berarti menahan jiwa dari hal-hal yang
dapat dibenarkan oleh logika dan wahyu2. Lafadz sabar merupakan
lafadz yang umum. Lafadz ini dapat berkembang maknanya sesuai
dengan redaksi kalimat yang merangkai kata sabar tersebut3. sedangkan
Ibn Faris menulis bahwa kata sabar memiliki tiga makna, yaitu: pertama,
membelenggu4; kedua, ujung tertinggi dari sesuatu; ketiga, jenis batu-
batuan.5 Pengertian tersebut di atas dapat memberikan indikasi bahwa
kata sabar secara etimologi dapat dipahami sebagai proses yang “aktif”
bukan “passif”6.

Kata sabar dengan aneka ragam derivasinya ditemukan makna yang


beragam antara lain: shabara bih yang berarti “menjamin”. Shabîr yang
berarti “pemuka masyarakat yang melindungi kaumnya”. Dari akar
kata tersebut terbentuk pula kata yang berarti “gunung yang tegar dan
kokoh”, “awan yang berada di atas awan lainnya sehingga melindungi
apa yang terdapat di bawahnya”, “batu-batu yang kokoh”, “tanah yang
gersang”, “sesuatu yang pahit atau menjadi pahit”. Dengan pengertian-
pengertian ini, Quraish Shihab menyimpulkan bahwa sebuah kesabaran
menuntut ketabahan menghadapi sesuatu yang sulit, berat, pahit, yang
harus diterima dan dihadapi dengan penuh tanggung jawab7. Dari
pengertian tesebut, sabar secara terminologi dapat dirumuskan menjadi
“menahan diri/membatasi jiwa dari keinginannya demi mencapai
sesuatu yang lebih baik/luhur.

C. Konsep Sabar menurut surah al-Baqarah


Pada pembahasan sebelumnya, penulis telah memaparkan pengertian
sabar menurut ulama bahasa. Pengertian itu terambil dari beberapa
kamus yang khusus menelaah dan mengkaji perkembangan bahasa
arab. Pada pembahasan ini, penulis akan membahas konsep sabar dalam
surah al-Baqarah. Meskipun pembahasan antara kedua konsep tersebut
216_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

terpisah, namun penulis beusaha mencari titik temu dan hubungan


antara keduanya.

Kata sabar dengan seluruh derivasinya ditemukan sekitar 123 kali


dalam Al-Quran yang tersebar pada surah Makkiyah dan Madaniyah.
Meskipun sebagian diantara ulama memberikan perhitungan yang
berbeda seperti Imam Al-Gazali menyebutnya sekitar 70 kali8, ibn Al-
Qayyim menyebutnya 90 kali9 dan Abu Thalib al-Makki sekitar 90
kali.10 Meskipun jumlah kata sabar dalam Al-Quran beragam, namun
keragaman itu dapat dikompromikan dengan melihat sebab perbedaan
tersebut. Ulama berbeda cara pandangnya untuk menghitung satu
ayat yang memuat dua atau tiga kata sabar. Jika jumlah ayat yang
didalamnya terdapat kata sabar dihitung, maka akan berbeda dengan
seluruh kata sabar yang terdapat dalam Al-Quran karena ada satu ayat
yang mengandung dua atau tiga kata sabar.

Sedangkan jumlah ayat yang berbicara tentang sabar dalam surah


al-Baqarah sekitar 8 ayat dengan 9 kali pengulangan. Perbedaan jumlah
ayat dan jumlah penyebutan disebabkan karena pada ayat 153 terdapat
2 kali penyebutan. Pada pembahasan ini, penulis akan memaparkan
beberapa aspek yang berkenaan dengan sabar yang terdapat dalam
surah al- Baqarah, yaitu: pengertian, hakekat, objek dan manfaat orang
sabar dan hubungan antara sabar dengan surah al-Baqarah.

D. Pengertian orang sabar


Penulis melihat bahwa dari sekian banyak ayat Al-Quran yang berbicara
tentang sabar, maka ayat yang paling tepat untuk menggambarkan
pengertian ini adalah Firman Allah swt., pada surah Al-Baqarah ayat
155-156:
‫ﺺ ِﻣ َﻦ ْاﻷ َْﻣ َﻮ ِال‬
ٍ ‫ﻮع َوﻧَـ ْﻘ‬ ِ ‫اﳋﻮ‬ ٍِ ِ
ِ ُ‫اﳉ‬
ْ ‫ف َو‬ َْْ ‫َوﻟَﻨَْﺒـﻠَُﻮﻧﱠ ُﻜ ْﻢ ﺑ َﺸ ْﻲء ﻣ َﻦ‬
ِ ‫ اﻟﱠ ِﺬﻳﻦ إِ َذا أَﺻﺎﺑـْﺘـﻬﻢ ﻣ‬.‫ﺼﺎﺑِ ِﺮﻳﻦ‬ ِ
ٌ‫ﺼﻴﺒَﺔ‬ ُ ُْ ََ َ َ ‫ﺲ َواﻟﺜ َﱠﻤَﺮات َوﺑَ ﱢﺸ ِﺮ اﻟ ﱠ‬ ِ ‫َو ْاﻷَﻧْـ ُﻔ‬
‫ﻗَﺎﻟُﻮا إِﻧﱠﺎ ﻟِﻠﱠ ِﻪ َوإِﻧﱠﺎ إِﻟَْﻴ ِﻪ َر ِاﺟﻌُﻮ َن‬
Hakekat Sabar dalam Al-Quran _217

Artinya: Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah
berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila
ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi râji`ûn”

Secara tekstual ayat tersebut menggambarkan bahwa manusia akan

‫ﺺ ِﻣ َﻦ ْاﻷ َْﻣ َﻮ ِال‬


ٍ ‫ﻮع َوﻧَـ ْﻘ‬ ِ ‫اﳋﻮ‬ ٍِ ِ
ِ ُ‫اﳉ‬
ْ ‫ف َو‬ َْْ ‫َوﻟَﻨَْﺒـﻠَُﻮﻧﱠ ُﻜ ْﻢ ﺑ َﺸ ْﻲء ﻣ َﻦ‬
menerima cobaan di dunia dari Allah swt., berupa rasa khawatir,
kelaparan, kemiskinan, kematian dan kelaparan. Oleh karena itu,
ِ ‫ اﻟﱠ ِﺬﻳﻦ إِ َذا أَﺻﺎﺑـْﺘـﻬﻢ ﻣ‬.‫ﺼﺎﺑِ ِﺮﻳﻦ‬ ِ
ٌ‫ﺼﻴﺒَﺔ‬ َ ‫ﺲ َواﻟﺜ َﱠﻤَﺮات َوﺑَ ﱢﺸ ِﺮ اﻟ ﱠ‬ ِ ‫َو ْاﻷَﻧْـ ُﻔ‬
Allah swt., memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw., untuk
ُ ُْ ََ َ
menyampaikan sebuah pesan dari-Nya berupa kabar gembira kepada
‫ﻗَﺎﻟُﻮا إِﻧﱠﺎ ﻟِﻠﱠ ِﻪ َوإِﻧﱠﺎ إِﻟَْﻴ ِﻪ َر ِاﺟﻌُﻮ َن‬
orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah,
mereka mengatakan ”kami ini adalah milik Allah swt., dan kepada-
Nyalah kami kembali”. Adapun isi pesan tersebut adalah sebagaimana
yang tertera pada ayat selanjutnya:

َ ِ‫ات ِﻣ ْﻦ َرﱢ�ِ ْﻢ َوَر ْﲪَﺔٌ َوأُوﻟَﺌ‬


.‫ﻚ ُﻫ ُﻢ اﻟْ ُﻤ ْﻬﺘَ ُﺪو َن‬ َ ِ‫أُوﻟَﺌ‬
َ ‫ﻚ َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ْﻢ‬
ٌ ‫ﺻﻠَ َﻮ‬
Artinya : Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan
rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat
petunjuk.
ِ ‫ﺺ ِﻣﻦ ْاﻷَﻣﻮ‬
َْ 166 َsurah ٍal-Baqarah
‫ال‬Ayat ‫ﻮع َوﻧَـ ْﻘ‬ِ ُ‫اﳉ‬ ‫ف َو‬
ْtersebut ِ ‫اﳋﻮ‬ ‫ﻮﻧﱠ ُﻜ ْﻢ ﺑِ َﺸ ْﻲ ٍء ِﻣ‬upaya
َdiْ ْ atas‫َﻦ‬menggambarkan َُ‫َوﻟَﻨَْﺒـﻠ‬
Allah ِswt.,
ٌ‫ﺼﻴﺒَﺔ‬ َ ‫ﻳﻦ إِ َذا أ‬
‫ ْﻢ ُﻣ‬mendefiniskan
‫َﺻﺎﺑـَْﺘـ ُﻬ‬ َ ‫ اﻟﱠ ِﺬ‬.‫ﻳﻦ‬
orang-orang
َ ‫ﺼﺎﺑِ ِﺮ‬ ‫ﱢﺸ ِﺮ اﻟ‬yaitu
‫ﱠ‬sabar, ‫ات َوﺑ‬
َ
ِorang
‫اﻟﺜ َﱠﻤَﺮ‬yang
‫ﺲ َو‬ ِ apabila
‫َو ْاﻷَﻧْـ ُﻔ‬
(
ditimpa musibah mereka mengatakan “sesungguhnya
155 : 2 / ‫اﻟﺒﻘﺮة‬ ) ‫ن‬
َ ‫ﻮ‬ ‫ﻌ‬ ‫اﺟ‬ِ ‫إِﻟَﻴ ِﻪ ر‬kami
‫ﺎ‬‫ﱠ‬‫ﻧ‬ِ‫إ‬‫و‬ ِ ‫ إِﻧﱠﺎ ﻟِﻠﱠ‬milik
‫ﻪ‬
adalah
‫ﻗَﺎﻟُﻮا‬
Allah swt., dan kepada-Nyalah kami dikembalikan”. ُ َ ْ َ 11

E. Hakekat Sabar
Sabar merupakan salah satu aspekِ penting yang terkandung dalam
ِ ‫وﻟَ ِﻜ ﱠﻦ‬swt.,‫ب‬
ujianْ‫اﻟ‬Allah
‫ﱪ‬ ِ seperti
ِ
‫ﺮ‬ ‫ﻐ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻟ‬‫ا‬‫و‬ ‫ق‬ ِ‫ ْﺸ ِﺮ‬telah
‫ﻞ اﻟْ َﻤ‬dijelaskan ‫ ْن ﺗُـ َﻮﻟﱡﻮا ُو ُﺟ‬Apa َ‫ِْﱪﱠ أ‬hakekat
‫ﱠ‬ َ ْ ْ
َ َ yang َ َ‫ﻮﻫ ُﻜ ْﻢ ﻗﺒ‬
َ sebelumnya. ‫ﺲ اﻟ‬ َ ‫ﻟَْﻴ‬
‫ءَاﺗَﻰ‬yang
‫ﲔ َو‬ ‫ﺎب‬ِ َ‫واﻟْ ِﻜﺘ‬dari
‫ َواﻟﻨﱠﺒِﻴ‬dipahami ‫ﺔ‬ِ ‫ِ َﻜ‬ujian
‫ﺋ‬‫ﻼ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻟ‬ ‫ا‬
‫و‬ ِ
‫ﺮ‬ ‫ﺧ‬ِswt.,
‫اﻵ‬ ِyang
‫م‬‫ﻮ‬ ‫ـ‬‫ﻴ‬‫ﻟ‬ ‫ا‬
‫و‬ ِ ‫اﻣﻦ ﺑِﺎﻟﻠﱠ‬dalam
َ ‫ﱢ‬ َ ْ ْ ْ َ ?.َ َ َ‫َﻣ ْﻦ ء‬
‫ﻪ‬
sabar dapat Allah termaktub
َ pada surah َ َ al-Baqarahْ َtersebut
‫ﲔ َواﺑْ َﻦ اﻟ ﱠﺴﺒِ ِﻴﻞ‬
firmannya pada ayat 155-157
ِ ِ
َ ‫ﺎل َﻋﻠَﻰ ُﺣﺒﱢﻪ َذ ِوي اﻟْ ُﻘ ْﺮَﰉ َواﻟْﻴَﺘَ َﺎﻣﻰ َواﻟْ َﻤ َﺴﺎﻛ‬ َ ‫اﻟْ َﻤ‬
‫ﺼ َﻼةَ َوءَاﺗَﻰ اﻟﱠﺰَﻛﺎ َة َواﻟْ ُﻤﻮﻓُﻮ َن‬ ‫ﺎب َوأَﻗَ َﺎم اﻟ ﱠ‬ ِ َ‫ﲔ وِﰲ اﻟﱢﺮﻗ‬ ِِ
َ َ ‫َواﻟ ﱠﺴﺎﺋﻠ‬
‫ﲔ اﻟْﺒَﺄْ ِس‬ ِ ِ ‫ﺼﺎﺑِ ِﺮﻳﻦ ِﰲ اﻟْﺒﺄْﺳ ِﺎء واﻟ ﱠ‬ ِ‫ﺑِ َﻌ ْﻬ ِﺪ ِﻫﻢ إ‬
َ ‫ﻀﱠﺮاء َوﺣ‬ َ َ َ َ ‫ﱠ‬ ‫اﻟ‬‫و‬َ ‫ا‬
‫و‬ ‫ﺪ‬
ُ ‫ﺎﻫ‬
َ ‫ﻋ‬
َ ‫ا‬ ‫ذ‬
َ ْ
ِ ِ ‫ﱠ‬ ِ‫أُوﻟَﺌ‬
(177 :2/‫ﻚ ُﻫ ُﻢ اﻟْ ُﻤﺘﱠـ ُﻘﻮ َن )اﻟﺒﻘﺮة‬ َ ‫ﺻ َﺪﻗُﻮا َوأُوﻟَﺌ‬ َ َ ‫ﻳﻦ‬ ‫ﺬ‬ ‫ﻟ‬ ‫ا‬ ‫ﻚ‬َ
218_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

Allah swt., berfirman: “Orang sabar adalah orang yang apabila


ditimpa musibah mereka mengatakan “´Innâ Lillâhi wa ´Innâ ´Ila´ihi
Râji’ûn” (“Sesungguhnya kami adalah milik Allah swt., dan kepada-
Nyalah kami kembali”). Ar-Razi dalam tafsirnya-mengutip Abu Bakr al-
Warraq-menulis bahwa ungkapan “´Innâ Lillâhi wa ´Innâ ´Ila´ihi Râji’ûn”
merupakan hakekat sabar. Hakekat tersebut dapat dirumuskan sebagai
berikut:Pertama, premis pertama (´Innâ Lillâhi) menunjukkan pengakuan
manusia bahwa hanya Dia-lah penguasa di alam semsta ini sekaligus
mengakui bahwa hanya Dia-lah yang patut disembah. Sedangkan
premis kedua wa ´Innâ (´Ila´ihi Râji’ûn) menunjukkan pengakuan
bahwa alam serta seluruh isinya termasuk manusia akan hancur binasa;
Kedua, ungkapan “´Innâ Lillâhi wa ´Innâ ´Ila´ihi Râji’ûn” merupakan
pengakuan manusia akan adanya hari akhirat. Hari ini merupakan
hari dibangkitkannya seluruh umat manusia. Pengakuan ini sekaligus
mempertegas keyakinan orang sabar bahwa mereka akan diberikan
pahala/balasan atas kemampuannya untuk mempertahankan sikap
sabar untuk menghadapi berbagai macam cobaan dan ujian dari Tuhan
mereka; Ketiga, ungkapan ´Innâ Lillâhi mengindikasikan adanya kerelaan
dan keridhaan menerima ujian, cobaan dan musibah yang menimpah
manusia pada saat sekarang ni, sementara ungkapan wa ´Innâ ´Ila´ihi
Râji’ûn” menjadi indikasi kerelaan dan keridhaan menerima segala ujian,
cobaan dan musibah yang ditimpakan pada saat-saat yang akan datang
baik di dunia maupun di akhirat.12

Abu Hayyan dalam tafsirnya mengemukakan bahwa ungkapan “


wa ´Innâ ´Ila´ihi Râji’ûn” adalah menunjukkan adanya pengakuan dan
keridhaan terhadap musibah kematian yang akan menimpa setiap manusia
yang merupakan musibah yang paling agung. Disamping itu, ungkapan
ini menjadi sebuah peringatan kepada seluruh umat manusia bahwa
musibah tersebut senantiasa dialami baik untuk keluarga maupun untuk
diri sendiri yang semestinya dihadapi dengan penuh sikap kesabaran.
Dia menambahkan bahwa ayat tersebut mengandung dua esensi, yaitu:
Pertama, fardhu berupa kewajiban menerima taqdir Allah swt.; Kedua,
Hakekat Sabar dalam Al-Quran _219

sunnah berupa anjuran untuk mengucapkan/memperdengarkan kalimat


“´Innâ Lillâhi wa ´Innâ ´Ila´ihi Râji’ûn”sebagai tekanan kepada orang kafir
bahwa kami (orang muslim) senantiasa berada dalam ketaatan kepada-
Nya meskipun dalam kesusahan dan kesulitan.13

Qurais Shihab memahami ungkapan “´Innâ Lillâhi wa ´Innâ ´Ila´ihi


Râji’ûn” bahwa kami adalah milik-Nya. Jika demikian, Dia melakukan
apa saja sesuai dengan kehendak-Nya. Tetapi Allah Maha Bijaksana.
Segala tindakan-Nya pasti benar dan baik. Tentu ada hikmah di balik
ujian atau musibah itu. Dia Maha pengasih, Maha Penyayang, kami akan
kembali kepada-Nya, sehingga ketika bertemu nanti, tentulah pertemuan
itu adalah pertemuan dengan kasih sayang-Nya. Kami adalah milik
Allah. Bukan hanya saya sendiri yang menjadi miliknya, kami semua
yang juga merupakan makhluk-Nya, Jika kali ini petaka menimpa saya,
maka bukan saya yang pertama ditimpa musibah, bukan juga yang
terakhir, makna ini akan meringankan petaka, karena semakin banyak
yang ditimpa petaka, semakin ringan dipikul.14

Setiap orang berhak untuk mengapresiasikan sikap sabarnya dalam


menghadapi ujian, cobaan dan musibah. Namun hal penting yang harus
diperhatikan adalah kemampuannya untuk menghayati ungkapan“´Innâ
Lillâhi wa ´Innâ ´Ila´ihi Râji’ûn. Ada beberapa makna yang bisa dipahami
dari ungkapan tersebut seperti yang telah dijelaskan diatas, yaitu:
Pertama, Pengakuan bahwa semua alam beserta isinya termasuk manusia
dan apa yang dimiliki oleh manusia adalah milik-Nya. Dia berhak
“mengeksploitasi” semua itu karena manusia hanya diberikan hak
pakai saja sedangkan hak milik adalah kepunyaan-Nya. Pengakuan ini
sekaligus menajadi dasar aqidah seorang hamba terhadap-Nya, karena
mencakup aspek ´ulûhiyah, ‘ubûdiyyah dan rubûbiyyah; Kedua, pengakuan
bahwa seluruh alam dan isinya termasuk manusia akan mengalami
kehancuran. Pengakuan ini sekaligus mempertegas bahwa akhir dari
segalanya adalah semua makhluk akan kembali kepada-Nya. Inilah
yang diistilahkan sebagai hari akhirat, kebangkitan dan pembalasan.
Dengan demikian, maka manusia senantiasa menyandarkan dirinya
220_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

kepada-Nya sebagai aplikasi sikap sabarnya ketika menerma ujian,


cobaan dan musibah dari-Nya. Ujian, cobaan dan musibah sebagai jalan
untuk mendekatkan diri kepad-Nya bukan justru musibah itu menjadi
penghalang untuk dekat kepada-Nya. Inilah esensi sikap sabar yang
terkandung dalam Al-Quran.

F. Objek Sabar dalam Surah al-Baqarah


Pembahasan ini dimaksudkan sebagai penjelasan tentang macam-
macam musibah yang Allah swt., timpakan kepada hamba-Nya yang
harus diterima dengan sabar dan lapang dada.

Secara etimologi mushîbah berarti lemparan panah yang tepat sasaran.15


Kemudian istilah ini tereduksi menjadi hal-hal yang menimpa manusia.

‫ﺺ ِﻣ َﻦ ْاﻷ َْﻣ َﻮ ِال‬ ِ ‫اﳋﻮ‬ ٍِ


ٍ ‫ﻮع َوﻧَـ ْﻘ‬ َْ ْ ‫َوﻟَﻨَْﺒـﻠَُﻮﻧﱠ ُﻜ ْﻢ ﺑِ َﺸ ْﻲء ﻣ َﻦ‬
Hanya saja Al-Quran menggunakan istilah ini baik dari segi keburukan
ِ ُ‫اﳉ‬
ْ ‫ف َو‬
maupun kebaikan. Dari segi keburukan dapat dilihat di surah Ali Imran:
ِ ‫ اﻟﱠ ِﺬﻳﻦ إِ َذا أَﺻﺎﺑـْﺘـﻬﻢ ﻣ‬.‫ﺼﺎﺑِ ِﺮﻳﻦ‬ ِ ِ ‫ﺲ واﻟﺜﱠﻤﺮ‬
ٌ‫ﺼﻴﺒَﺔ‬ ‫اﻟ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺸ‬ َ َ َ َ َ ِ ‫َو ْاﻷَﻧْـ ُﻔ‬
‫ﺑ‬‫و‬ ‫ات‬
165, 166, an-Nisa: 62, asy-Syura: 30. Adapun yang berkonotasi pada
ُ ُْ ََ َ َ ‫ﱠ‬ ‫ﱢ‬
kebaikan dapat dilihat pada at-Taubah: 50, an-Nisa: 73, an-Nur: 43, ar-

‫ﻗَﺎﻟُﻮا إِﻧﱠﺎ ﻟِﻠﱠ ِﻪ َوإِﻧﱠﺎ إِﻟَْﻴ ِﻪ َر ِاﺟﻌُﻮ َن‬


Rum 48.16 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa mushibah adalah
cobaan dan ujian yang menimpa manusia.

Allah swt secara tegas menyatakan bahwa diri-Nya akan memberikan


cobaan kepada setiap manusia. Hal lain yang dapat dipahami dari ayat itu
bahwa cobaan yang diberikan Allah swt., kepada hamba-Nya merupakan

َ ِ‫ات ِﻣ ْﻦ َرﱢ�ِ ْﻢ َوَر ْﲪَﺔٌ َوأُوﻟَﺌ‬


.‫ﻚ ُﻫ ُﻢ اﻟْ ُﻤ ْﻬﺘَ ُﺪو َن‬ َ ِ‫أُوﻟَﺌ‬
َ ‫ﻚ َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ْﻢ‬
ٌ ‫ﺻﻠَ َﻮ‬
tujuan perantara bagi-Nya untuk mengetahui hamba-hamba-Nya yang
termasuk golongan orang-orang sabar.

Penulis berpendapat bahwa ada dua ayat dalam surah al-Baqarah yang
secara tekstual berbicara tentang objek kesabaran, yaitu: ayat 155 dan 177:

‫ﺺ ِﻣ َﻦ ْاﻷ َْﻣ َﻮ ِال‬


ٍ ‫ﻮع َوﻧَـ ْﻘ‬ ِ ‫اﳋﻮ‬ ِ ٍ ِ
ِ ُ‫اﳉ‬
ْ ‫ف َو‬ َْْ ‫َوﻟَﻨَْﺒـﻠَُﻮﻧﱠ ُﻜ ْﻢ ﺑ َﺸ ْﻲء ﻣ َﻦ‬
ِ ‫ اﻟﱠ ِﺬﻳﻦ إِ َذا أَﺻﺎﺑـْﺘـﻬﻢ ﻣ‬.‫ﺼﺎﺑِ ِﺮﻳﻦ‬ ِ ِ ‫ﺲ واﻟﺜﱠﻤﺮ‬
ٌ‫ﺼﻴﺒَﺔ‬ ُ ُْ ََ َ َ ‫ﱠ‬ ‫اﻟ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺸ‬
‫ﱢ‬ َ َ َ َ َ ِ ‫َو ْاﻷَﻧْـ ُﻔ‬
‫ﺑ‬‫و‬ ‫ات‬
(155 :2/‫ﻗَﺎﻟُﻮا إِﻧﱠﺎ ﻟِﻠﱠ ِﻪ َوإِﻧﱠﺎ إِﻟَْﻴ ِﻪ َر ِاﺟﻌُﻮ َن )اﻟﺒﻘﺮة‬

ِ ‫ﻮﻫ ُﻜﻢ ﻗِﺒﻞ اﻟْﻤ ْﺸ ِﺮِق واﻟْﻤ ْﻐ ِﺮ‬


‫ب َوﻟَ ِﻜ ﱠﻦ اﻟِْ ﱠﱪ‬ ‫ﱡ‬ ِ ‫ﻟَْﻴ‬
َ َ َ َ َ ْ َ ‫ﺲ اﻟْﱪﱠ أَ ْن ﺗُـ َﻮﻟﻮا ُو ُﺟ‬
َ
‫ﺺ ِﻣ َﻦ ْاﻷ َْﻣ َﻮ ِال‬
ٍ ‫ﻮع َوﻧَـ ْﻘ‬
ِ ُ‫اﳉ‬
ْ ‫ف َو‬ ِ ‫اﳋﻮ‬ ‫ٍء ِﻣ‬Sabar
َْْ ‫َﻦ‬Hakekat ‫ِ َﺸ ْﻲ‬dalam ‫_ﻨَْﺒـﻠَُﻮﻧﱠ ُﻜ‬221
‫ ْﻢ ﺑ‬Al-Quran َ‫َوﻟ‬
ٌ‫ﺼﻴﺒَﺔ‬ ِ ‫ اﻟﱠ ِﺬﻳﻦ إِ َذا أَﺻﺎﺑـْﺘـﻬﻢ ﻣ‬.‫ﺼﺎﺑِ ِﺮﻳﻦ‬
‫ﱠ‬ ‫اﻟ‬ ِ
‫ﺮ‬ ‫ﺸ‬
‫ﱢ‬ ‫ﺑ‬‫و‬ ‫ات‬ِ ‫ﺲ واﻟﺜﱠﻤﺮ‬ ِ ‫َو ْاﻷَﻧْـ ُﻔ‬
ُ ْ ََُ َ َ َ َ َ َ َ
( 155 :2/‫اﺟﻌُﻮ َن )اﻟﺒﻘﺮة‬
Artinya : Dan sungguh akan Kami berikan cobaan ِ ‫ر‬kepadamu,
‫ﻪ‬ ِ ‫إِﻧﱠﺎ ﻟِﻠﱠ‬sedikit
ِ ‫وإِﻧﱠﺎ إِﻟَﻴ‬dengan
‫ﻪ‬ ‫ﻗَﺎﻟُﻮا‬
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. َ ْ َDan berikanlah
berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila
ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “`Innâ lillâhi wa `innâ ` ilaihi râji`ûn”

‫ب َوﻟَ ِﻜ ﱠﻦ اﻟِْﱪﱠ‬ ِ ‫ﻮﻫ ُﻜﻢ ﻗِﺒﻞ اﻟْﻤ ْﺸ ِﺮِق واﻟْﻤ ْﻐ ِﺮ‬ ‫ﱡ‬ ِ ‫ﻟَْﻴ‬
َ َ َ َ َ ْ َ ‫ﺲ اﻟْﱪﱠ أَ ْن ﺗُـ َﻮﻟﻮا ُِو ُﺟ‬ َ
‫ﲔ َوءَاﺗَﻰ‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ‫ﱠ‬ ِ
َ ‫َﻣ ْﻦ ءَ َاﻣ َﻦ ﺑﺎﻟﻠﻪ َواﻟْﻴَـ ْﻮم ْاﻵﺧﺮ َواﻟْ َﻤ َﻼﺋ َﻜﺔ َواﻟْﻜﺘَﺎب َواﻟﻨﱠﺒﻴﱢ‬
‫ﲔ َواﺑْ َﻦ اﻟ ﱠﺴﺒِ ِﻴﻞ‬ ِ ِ
َ ‫ﺎل َﻋﻠَﻰ ُﺣﺒﱢﻪ َذ ِوي اﻟْ ُﻘ ْﺮَﰉ َواﻟْﻴَﺘَ َﺎﻣﻰ َواﻟْ َﻤ َﺴﺎﻛ‬ َ ‫اﻟْ َﻤ‬
‫ﺼ َﻼةَ َوءَاﺗَﻰ اﻟﱠﺰَﻛﺎ َة َواﻟْ ُﻤﻮﻓُﻮ َن‬ ‫ﺎب َوأَﻗَ َﺎم اﻟ ﱠ‬ ِ َ‫ﲔ وِﰲ اﻟﱢﺮﻗ‬ ِِ
َ َ ‫َواﻟ ﱠﺴﺎﺋﻠ‬
ِ ِ ‫ﺼﺎﺑِ ِﺮﻳﻦ ِﰲ اﻟْﺒﺄْﺳ ِﺎء واﻟ ﱠ‬ ِِ
‫ﲔ اﻟْﺒَﺄْ ِس‬َ ‫ﻀﱠﺮاء َوﺣ‬ َ َ َ َ ‫ﺎﻫ ُﺪوا َواﻟ ﱠ‬ َ ‫ﺑِ َﻌ ْﻬﺪﻫ ْﻢ إِذَا َﻋ‬
ِ ‫أُوﻟَﺌِﻚ اﻟﱠ‬
(177 :2/‫ﻚ ُﻫ ُﻢ اﻟْ ُﻤﺘﱠـ ُﻘﻮ َن )اﻟﺒﻘﺮة‬ َ ِ‫ﺻ َﺪﻗُﻮا َوأُوﻟَﺌ‬َ ‫ﻳﻦ‬ َ َ‫ﺬ‬
Artinya: Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu
suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada
Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan
harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta;
dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat;
dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang
yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka
itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang
bertakwa.

Kedua ayat tersebut menjelaskan beberapa macam cobaan yang akan


ditimpakan kepada hamba-Nya, diantaranya: ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, kekurangan jiwa dan kekurangan pangan, kesempitan
hidup, penderitaan dan kondisi dalam peprangan. Mengapa Allah swt.,
Menurut hemat penulis, objek yang disebutkan di atas telah mencakup
dari keseluruhan unsur kehidupan manusia, yaitu: unsur jasmani dan
rohani.
222_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

Ayat pertama yang berbicara tentang objek sabar adalah:

‫ﺺ ِﻣ َﻦ ْاﻷ َْﻣ َﻮ ِال‬


ٍ ‫ﻮع َوﻧَـ ْﻘ‬ ِ ‫اﳋﻮ‬ ٍِ ِ
ِ ُ‫اﳉ‬
ْ ‫ف َو‬ َْْ ‫َوﻟَﻨَْﺒـﻠَُﻮﻧﱠ ُﻜ ْﻢ ﺑ َﺸ ْﻲء ﻣ َﻦ‬
ِ ‫ اﻟﱠ ِﺬﻳﻦ إِذَا أَﺻﺎﺑـْﺘـﻬﻢ ﻣ‬.‫ﺼﺎﺑِ ِﺮﻳﻦ‬ ِ ِ ‫ﺲ واﻟﺜﱠﻤﺮ‬
ٌ‫ﺼﻴﺒَﺔ‬ ُ ُْ ََ َ َ ‫ﱠ‬ ‫اﻟ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺸ‬
‫ﱢ‬ ‫ﺑ‬
َ‫و‬َ َ َ َ ِ ‫َو ْاﻷَﻧْـ ُﻔ‬
‫ات‬
(155 :2/‫ﻗَﺎﻟُﻮا إِﻧﱠﺎ ﻟِﻠﱠ ِﻪ َوإِﻧﱠﺎ إِﻟَْﻴ ِﻪ َر ِاﺟﻌُﻮ َن )اﻟﺒﻘﺮة‬
Ayat ini mengemukakan bahwa Allah swt., akan menimpakan 5 hal
kepada manusia, yaitu:

1. Rasa takut/khawatir
‫ب َوﻟَ ِﻜ ﱠﻦ‬
‫ﱠﱪ‬2. ِْ‫اﻟ‬Kelaparan ِ ‫ﻮﻫ ُﻜﻢ ﻗِﺒﻞ اﻟْﻤ ْﺸ ِﺮِق واﻟْﻤ ْﻐ ِﺮ‬ ‫ﱡ‬ ِ ‫ﻟَْﻴ‬
َ َ َ َ َ ْ َ ‫ﺲ اﻟْﱪﱠ أَ ْن ﺗُـ َﻮﻟﻮا ُِو ُﺟ‬ َ
‫ﲔ َوءَاﺗَﻰ‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ‫ﱠ‬ ِ
3.
َ ‫َﻣ ْﻦ ءَ َاﻣ َﻦ ﺑﺎﻟﻠﻪ َواﻟْﻴَـ ْﻮم ْاﻵﺧﺮ َواﻟْ َﻤ َﻼﺋ َﻜﺔ َواﻟْﻜﺘَﺎب َواﻟﻨﱠﺒﻴﱢ‬
Kekurangan harta

‫ﻴﻞ‬ِ ِ‫ﺒ‬Kekurangan
‫ﲔ َواﺑْ َﻦ اﻟ ﱠﺴ‬ ِ‫ﺎل ﻋﻠَﻰ ﺣﺒﱢ ِﻪ َذ ِوي اﻟْ ُﻘﺮﰉ واﻟْﻴﺘَﺎﻣﻰ واﻟْﻤﺴﺎﻛ‬
ُ َ َ ‫اﻟْ َﻤ‬
4.
َ jiwa َ َ َ َ َ َ َْ
‫اﻟﱠﺰَﻛﺎ َة َواﻟْ ُﻤﻮ‬buah-buahan
‫َن‬5. ‫ﻓُﻮ‬Kekurangan ‫ﺎب َوأَﻗَ َﺎم اﻟ ﱠ‬
‫(َﻼةَ َوءَاﺗَﻰ‬pangan)
‫ﺼ‬ ِ َ‫ﲔ وِﰲ اﻟﱢﺮﻗ‬ ِ‫واﻟ ﱠﺴﺎﺋِﻠ‬
َ َ َ
‫ﲔ اﻟْﺒﺄْ ِس‬
Fakhruddin ِ ِ ِ
‫ﰲ اﻟْﺒَﺄْ َﺳﺎء َو‬dalam
ar-Razi--salah
ِ
ِ ‫ِﺮﻳﻦ‬ayat
seorang pakar dibidang tafisr--mengatakan
ِ ِ ِ
‫ﺑِ َﻌ ْﻬﺪﻫ‬
dalamَtafsirnya َ ‫ َوﺣ‬bahwa‫ﻀﱠﺮاء‬ ‫“اﻟ ﱠ‬ketakutan” َ ‫ﺼﺎﺑ‬ ‫ ﱠ‬ini‫ َواﻟ‬dapat
‫ﺎﻫ ُﺪوا‬ ‫ ْﻢ إذَا َﻋ‬dengan
َ diartikan
ketakutan(kepada 177 :2Allah /‫اﻟﺒﻘﺮة‬swt.,
) ‫“َن‬kelaparan”
‫ ُﻫ ُﻢ اﻟْ ُﻤﺘﱠـ ُﻘﻮ‬adalah
‫ﻚ‬ ِ‫وأُوﻟَﺌ‬puasa
‫ا‬
‫ﻮ‬ ‫ﻗ‬
ُ ‫ﺪ‬
َ ‫ﺻ‬ ‫ﻳﻦ‬ ِramadhan,
‫ﺬ‬ ‫ﻚ اﻟﱠ‬ ِ‫أُوﻟَﺌ‬
“kekurangan harta” berupa zakat dan shadaqah, “kekurangan jiwa”
َ َ َ
bulan
َ َ
berupa penyakit dan kematian.17 Pandangan ini dapat dipahamia bahwa
cobaan yang diberikan Allah swt., adalah cobaan untuk melaksanakan
perintah-perintah-Nya seperti taqwa,puasa dean zakat. Disamping itu,
ada cobaan lain yang harus diterima dengan penuh kesabaran seperti
kematian yang dialami oleh setiap makhluk hidup.

‫ن‬Mutawalli Sya’rawiِ pakar tafsir abad


َ ‫و‬ ‫ﺪ‬ُ ‫ﺘ‬
َ ‫ﻬ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻟ‬
ْ ‫ا‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻚ‬
َ ‫ﺌ‬َ‫ﻟ‬‫و‬ ُ
‫أ‬‫و‬ ‫ﺔ‬
ٌ ‫ﲪ‬ ْ ‫ر‬ ‫و‬ ‫ﻢ‬ ِ�‫ﻦ رﱢ‬XXI ‫ﻣ‬ِ ‫ات‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻠ‬
َ ‫ﺻ‬
menafsirkan
‫ﻢ‬ ِ
‫ﻬ‬ ‫ﻴ‬َ‫ﻠ‬‫ﻋ‬ ‫ﻚ‬
“perasaan
َ ِ‫أُوﻟَﺌ‬
ْ ُ ُ ُ َ َ َ َ ْ َ ْ
takut” sebagai perasaan khawatir yang timbul pada diri manusia karena ٌ َ َ ْ ْ َ
adanya sebuah ancaman dari luar. Baik ancaman itu (terhadap 157 :2/jasmani‫)اﻟﺒﻘﺮة‬
ِ ِ‫ﺼﺎﺑ‬ ‫ﱠ‬ ‫ﱠ‬ ِ‫ﺼ َﻼ ِة إ‬
lapar”ِ adalah ِ‫ﻮا اﺳﺘَﻌ‬yang
ِ‫ﻮا ﺑ‬perasaan ِ ‫ﻬﺎ اﻟﱠ‬oleh
‫ﻳﻦ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﱠ‬ ‫اﻟ‬ ‫ﻊ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻠ‬ ‫اﻟ‬ ‫ن‬ ‫ﱠ‬ ‫اﻟ‬
‫و‬ ‫ﱪ‬ ‫ﺼ‬
‫ﱠ‬ ‫ﺎﻟ‬ ‫ﻴﻨ‬ ‫ﻨ‬ ‫اﻣ‬ ‫ء‬ ‫ﻳﻦ‬ ‫ﺬ‬ َ ‫ﻳَﺎأَﻳـﱡ‬
maupun rohani. “Perasaan dialami
َ َ َ
َ manusia untuk makan dalam
setiap ْ ُ
َ rangka mempertahankan ْ ُ َ َ َ hidupnya.
“Kekurangan harta” dapat berupa kehilangan sejumlah (153 harta:2/‫ﺒﻘﺮة‬ yang ‫)اﻟ‬
ِ ‫ِ واﻟﻠﱠﻪُ ﻣﻊ اﻟ ﱠ‬... ‫ﻮت‬
(249 :2/‫ﻳﻦ )اﻟﺒﻘﺮة‬ َ ‫ﺼﺎﺑ ِﺮ‬ َ َ َ ُ ُ‫ﺼ َﻞ ﻃَﺎﻟ‬ َ َ‫ﻓَـﻠَ ﱠﻤﺎ ﻓ‬
Hakekat Sabar dalam Al-Quran _223

dimiliki oleh manusia, baik kekurangan itu setelah dimiliki secarah sah
atau telah menjadi kepemilikan sempurna ataupun harta itu rusak di
alam bebas. Kehilangan harta ini dapat diakibatkan oleh mansuia itu
sendiri ataupun kehilangan itu disebabkan oleh Allah swt. “Kekurangan
jiwa” dapat berupa kematian yang disebabkan oleh Allah swt, berupa
kematian secara alami ataupun disebabkan oleh manusia berupa
pembunuhan atau peperangan. “Kekurangan pangan” pernyataan
ini dapat diartikan secara luas meskipun arti dasarnya adalah buah-
buahan atau pangan. Tsmarât dapat diartikan sebagai hasil dari setiap
usaha yang dilakukan.18 Manusia terkadang membuka suatu usaha, ia
bercita-cita untuk mendapatkan sesuatu dari hasil usahanya, namun
kenyataannya tidak sesuai dengan harapan. Inilah salah satu maksud

ِ ‫ﺺ ِﻣﻦ ْاﻷَﻣﻮ‬
ungkapan “kekurangan tsamarât”.
‫ال‬ ٍ ‫ﻘ‬
ْ ‫ـ‬
َ ‫ﻧ‬‫و‬ ‫ﻮع‬
ِ ‫اﳉ‬
ْ ‫و‬ ‫ف‬ِ ‫اﳋﻮ‬ ْ ‫ﻦ‬ ِ ‫وﻟَﻨَﺒـﻠُﻮﻧﱠ ُﻜﻢ ﺑِ َﺸﻲ ٍء‬
‫ﻣ‬
Qurash Shihab ْ َ
َ menafsirkan َ ayatُ 155 َ dengan َ
ْ َ mengatakan ْ ْ bahwa َْ َ
ujian yang
‫ﺔ‬ ‫ﻴﺒ‬ ِ
‫ﺼ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ـ‬ ‫ﺘ‬ ‫ـ‬‫ﺑ‬‫ﺎ‬ ‫َﺻ‬
‫أ‬ ‫ا‬‫ذ‬ِ
akan diberikan Allah
‫إ‬ ‫ﻳﻦ‬ ِ
‫ﺬ‬ ‫ﱠ‬
‫ﻟ‬ ‫ا‬ . ‫ﻳﻦ‬ ِ
‫ﺮ‬ ِ
‫ﺑ‬ ‫ﺎ‬ ‫ﺼ‬ ‫اﻟ‬ ِ
swt., kepada hamba-Nya
‫ﺮ‬ ‫ﺸ‬ ‫ﺑ‬‫و‬ ‫ات‬ِ ‫ﺮ‬ ِ ‫َﻧْـ ُﻔ‬atau
berupa sedikit
ٌ َ ُyakni
rasa takut, َ َ َ hati menyangkut
ْ ُ َْkeresahan َ ‫ﱠ‬ ‫ﱢ‬ َ َ yang
sesuatu َ َ ‫َواﻟﺜ‬buruk,
‫ﱠﻤ‬ ‫ﺲ‬ ‫َو ْاﻷ‬
‫ْﻴ ِﻪ َر ِاﺟ‬perut ‫ إِﻧﱠﺎ ﻟِﻠﱠ ِﻪ‬tetapi
َ‫َوإِﻧﱠﺎ إِﻟ‬kosong,
hal-hal yang tidak menyenangkan yang diduga akan terjadi. Sedikit rasa
lapar, yakni keinginan meluap(155 :untuk 2/‫اﻟﺒﻘﺮة‬ ) ‫ﻌُﻮ َن‬karena
makan ‫ﻗَﺎﻟُﻮا‬
tidak menemukan makanan yang dibutuhkan, serta kekurngan harta,
jiwa dan buah-buahan.19

Adapun ayat kedua adalah:

‫ب َوﻟَ ِﻜ ﱠﻦ اﻟِْﱪﱠ‬ ِ ‫ﻮﻫ ُﻜﻢ ﻗِﺒﻞ اﻟْﻤ ْﺸ ِﺮِق واﻟْﻤ ْﻐ ِﺮ‬ ‫ﱡ‬ ِ ‫ﻟَْﻴ‬
َ َ َ َ َ ْ َ ‫ﺲ اﻟْﱪﱠ أَ ْن ﺗُـ َﻮﻟﻮا ُِو ُﺟ‬ َ
‫ﲔ َوءَاﺗَﻰ‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ‫ﱠ‬ ِ
َ ‫َﻣ ْﻦ ءَ َاﻣ َﻦ ﺑﺎﻟﻠﻪ َواﻟْﻴَـ ْﻮم ْاﻵﺧﺮ َواﻟْ َﻤ َﻼﺋ َﻜﺔ َواﻟْﻜﺘَﺎب َواﻟﻨﱠﺒﻴﱢ‬
‫ﲔ َواﺑْ َﻦ اﻟ ﱠﺴﺒِ ِﻴﻞ‬ ِ ِ
َ ‫ﺎل َﻋﻠَﻰ ُﺣﺒﱢﻪ َذ ِوي اﻟْ ُﻘ ْﺮَﰉ َواﻟْﻴَﺘَ َﺎﻣﻰ َواﻟْ َﻤ َﺴﺎﻛ‬ َ ‫اﻟْ َﻤ‬
‫ﺼ َﻼةَ َوءَاﺗَﻰ اﻟﱠﺰَﻛﺎ َة َواﻟْ ُﻤﻮﻓُﻮ َن‬ ‫ﺎب َوأَﻗَ َﺎم اﻟ ﱠ‬ ِ َ‫ﲔ وِﰲ اﻟﱢﺮﻗ‬ ِِ
َ َ ‫َواﻟ ﱠﺴﺎﺋﻠ‬
ِ ِ ‫ﺼﺎﺑِ ِﺮﻳﻦ ِﰲ اﻟْﺒﺄْﺳ ِﺎء واﻟ ﱠ‬ ِِ
‫ﲔ اﻟْﺒَﺄْ ِس‬َ ‫ﻀﱠﺮاء َوﺣ‬ َ َ َ َ ‫ﺎﻫ ُﺪوا َواﻟ ﱠ‬ َ ‫ﺑِ َﻌ ْﻬﺪﻫ ْﻢ إِذَا َﻋ‬
ِ ‫أُوﻟَﺌِﻚ اﻟﱠ‬
(177 :2/‫ﻚ ُﻫ ُﻢ اﻟْ ُﻤﺘﱠـ ُﻘﻮ َن )اﻟﺒﻘﺮة‬ َ ِ‫ﺻ َﺪﻗُﻮا َوأُوﻟَﺌ‬َ ‫ﻳﻦ‬ َ َ‫ﺬ‬
224_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

Ayat ini menjelaskan tiga hal yang menjadi bahan ujian bagi manusia,
yaitu:

1. Kesempitan

2. Penderitaan

3. Peperangan.

Ketiga hal tersebut di atas merupakan ujian dari Allah swt., bagi
hamba-Nya. Hamba harus bersikap sabar menghadapi ujian tersebut.
Pada umumnya ulama tafsir menafsirkan kata “al-Ba’sâ´i” (kesempitan)
sebagai sesuatu yang menimpa manusia berupa kefakiran dan kelaparan
baik itu lansung dari arti Allah swt., ataupun melalui perantaraan
manusia.20 Adapun kata “adh-dharrâ´i” lebih dipahami penderitaan yang
berhubungan langsung dengan manusia secara intenal seperti penyakit.
Sementara al-ba´ts adalah kondisi dan situasi pertempuran di medan
perang.21

Abu Hayyan lebih jauh menjelaskan ketiga aspek tersebut di atas


dengan tinjauan kebahasaan. Mengapa kata “al-Ba’sâ´i”dan “adh-
dharrâ´i” dihubungkan dengan huruf “Fî” sementara kata “al-Ba´ts”
hanya dihubungkan dengan zharf ? kedua kata tersebut dihubungkan
dengan kata Fî karena kedua hal tersebut tidak pernah lepas dari
manusia. Manusia senantiasa berada dalam kefakiran dan penyakit.
Bebeda dengan al-ba´ts yang terjadi pada waktu tertentu saja.22

Ar-Razi menafsirkan objek kesabaran disini seperti dengan ahli tafsir


sebelumnya. Dia mengutip pandangan Ibn Abbas bahwa a-al-ba’sâî
adalah kefakiran, adh-dharrâ´ adalah penyakit yang berhubungan dengan
jasmani. Sedangkan hîna al-ba´as adalah petempuran di jalan Allah swt.,
dan jihad. Sebab al-ba´as secara etimologi berarti hal yang menggambarkan
kondisi yang sengit dan keras. Peperangan digambarkan sebagai al-ba´as
karena kondisi yang sangat keras bila terjadi peperangan.23
ِ ِ ‫ﺼﺎﺑِ ِﺮﻳﻦ ِﰲ اﻟْﺒﺄْﺳ ِﺎء واﻟ ﱠ‬ ِِ
‫ﲔ اﻟْﺒَﺄْ ِس‬
َ ‫ﻀﱠﺮاء َوﺣ‬ َ َ َ َ ‫ﺎﻫ ُﺪوا َواﻟ ﱠ‬ َ ‫ﺑِ َﻌ ْﻬﺪﻫ ْﻢ إِذَا َﻋ‬
ِ ‫أُوﻟَﺌِﻚ اﻟﱠ‬
َ ِ‫وﻟَﺌ‬Hakekat
(177 :2/‫ﻚ ُﻫ ُﻢ اﻟْ ُﻤﺘﱠـ ُﻘﻮ َن )اﻟﺒﻘﺮة‬ ُ‫ﻗُﻮا َوأ‬Sabar
‫ﺻ َﺪ‬ ‫ﻳﻦ‬
َ ‫ﺬ‬Al-Quran
َ dalam َ _225
G. Manfaat Sabar
Ada beberapa ayat yang terdapat dalam surah al-Baqarah yang
berbicara tentang manfaat orang sabar baik secara langsung maupun
tidak langsung. Ayat tersebut adalah:

َ ِ‫ات ِﻣ ْﻦ َرﱢ�ِ ْﻢ َوَر ْﲪَﺔٌ َوأُوﻟَﺌ‬


‫ﻚ ُﻫ ُﻢ اﻟْ ُﻤ ْﻬﺘَ ُﺪو َن‬ َ ‫ﻚ َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ْﻢ‬
ٌ ‫ﺻﻠَ َﻮ‬ َ ِ‫أُوﻟَﺌ‬
(157 :2/‫)اﻟﺒﻘﺮة‬
ِ ‫ﺼ َﻼ ِة إِ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ ﻣﻊ اﻟ ﱠ‬ ‫ﺼ ِْﱪ َواﻟ ﱠ‬ ‫اﺳﺘَﻌِﻴﻨُﻮا ﺑِﺎﻟ ﱠ‬ ِ‫ﱠ‬
َ ‫ﺼﺎﺑ ِﺮ‬
‫ﻳﻦ‬ ََ َ ‫ﻳَﺎأَﻳـﱡ َﻬﺎ اﻟﺬ‬
ْ ‫ﻳﻦ ءَ َاﻣﻨُﻮا‬
(153 :2/‫)اﻟﺒﻘﺮة‬
ِ ‫ِ واﻟﻠﱠﻪُ ﻣﻊ اﻟ ﱠ‬... ‫ﻮت‬
(249 :2/‫ﻳﻦ )اﻟﺒﻘﺮة‬ َ ‫ﺼﺎﺑ ِﺮ‬ َ َ َ ُ ُ‫ﺼ َﻞ ﻃَﺎﻟ‬ َ َ‫ﻓَـﻠَ ﱠﻤﺎ ﻓ‬
Secara tekstual ayat tersebut di atas menggambarkan manfaat orang
sabar adalah:

ِ ِ‫ﺼﺎﺑ‬
‫ﱠ‬ ‫ﱠ‬ ‫اﻟ‬ ‫ن‬ ِ
‫إ‬ ِ ‫ﺼ َﻼ‬
1. Mereka akan mendapatkan:
‫ﻳﻦ‬‫ﺮ‬ ‫اﻟ‬ ‫ﻊ‬‫ﻣ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻠ‬ ‫ﱠ‬ ‫ة‬ ‫ﱠ‬ ‫اﻟ‬
‫و‬ ِ
‫ﱪ‬ ‫ﺼ‬
‫ﱠ‬ ‫ﺎﻟ‬ِ‫ﺑ‬ ‫ا‬
‫ﻮ‬ ‫ﻴﻨ‬
ُ ِ‫ﻳﺎأَﻳـﱡﻬﺎ اﻟﱠ ِﺬﻳﻦ ءاﻣﻨُﻮا اﺳﺘَﻌ‬
ََ َ
َ a. Keberkatan. َ ْ ْ ََ َ َ َ
b. Rahmat. (153 :2/‫)اﻟﺒﻘﺮة‬
c. Petunjuk.
2. Allah swt., akan senantiasa bersama mereka
Hamba Allah swt., yang benar-benar mampu mengaplikasikan sikap
sabarnya bila ditimpa musibah akan mendapatkan ganjaran dari-Nya.
Ganjaran ini dapat diistilahkan dengan manfaat bagi mereka yang
mampu menerima cobaan dan ujian dengan sabar dan lapang dada.
Allah swt., menegaskan dalam firman-Nya bahwa hamba-Ku yang
sabar akan mendapatkan keberkatan yang sempurna dan Rahmat dari
tuhan mereka, dan mereka itulah yang mendapat petunjuk. Disamping
itu sejumlah ayat yang menegaskan bahwa Allah swt., bersama dengan
orang-orang yang sabar

Ayat 157 secara tegas menjelaskan manfaat yang akan diterima oleh
orang sabar dari Allah swt., berupa keberkatan, Rahmat dan petunjuk.
226_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

Quraish Shihab memahami manfaat yang akan didapatkan orang sabar


adalah bahwa keberkatan yang akan diterimanya berupa keberkatan
yang sempurna, banyak dan beraneka ragam. Hal ini dipahami dengan
melihat bentuk jamak yang digunakan ayat tersebut. Bentuk rahmat
dapat berupa limpahan pengampunan, pujian, menggantikan yang
lebih baik dari pada nikmat sebelumnya yang telah hilang dan lain-lain.
Semua keberkatan itu bersumber dari Tuhan Yang Maha memelihara
dan mendidik umat manusia. Dengan demikian, maka keberkatan
itu dilimpahkan sesuai dengan pendidikan dan pemeliharaan-Nya.
Disamping itu, mereka juga mendapatkan Rahmat. Meskipun kata
tersebut berbentuk tunggal, namun dapat dipahami sebagai jamak karena
dia adalah bentuk mashdar. Tak seorangpun yang mengetahui bentuk
Rahmat allah yang diberikannya itu. tentunya berbeda dengan rahmat
makhluk. Sebab rahmat makhluk lahir atas belas kasihan atau rasa pedih
terhadap ketidakberdayaan orang lain yang kemudian mendorongnya
untuk membantunya. Dan yang terakhir adalah mereka mendapatkan
petunjuk. Petunjuk ini tentunya petunjuk yang dapat mengantarkannya
ke jalan yang benar baik di dunia maupun di akhirat.24

Ar-Razi memahami mamfaat itu dengan redaksi yang hampir sama


bahwa manfaat berupa keberkatan adalah pujian dan pengangan
kepada orang sabar dari allah swt., sementara Rahmat berupa limpahan
kenikmatan dari-Nya baik yang tiba-tiba maupun yang konstan. Adapun
tentang petunjuk dapat berupa petunjuk untuk mendapatkan kebaikan,
petunjuk untuk mendapatkan sejumlah pahala dan petunjuk untuk
sampai ke surga 25

Manfaat lain yang didapatkan orang sabar adalah mereka senantiasa


dekat dengan Allah swt., sebagaimana dalam firman-Nya di atas. Qurais
Shihab memahami ungkapan “Allah akan bersama-sama orang sabar”
sebagai keharusan melibatkan Allah swt., dalam setiap urusan manusia
jika mereka ingin berhasil dan ingin mengatasi segala bentuk penyebab
kesedihan dan kesulitan. Mereka harus bersama Allah swt., dalam
kesulitannya dan dalam perjuangannya. Ketika itu, allah swt., Maha
ِ ‫أُوﻟَﺌِ ﱠ‬
َ ِ‫ﺻ َﺪﻗُﻮا َوأُوﻟَﺌ‬
(177 :2/‫ﻚ ُﻫ ُﻢ اﻟْ ُﻤﺘﱠـ ُﻘﻮ َن )اﻟﺒﻘﺮة‬ َ ‫ﻳﻦ‬
َ ‫ﻚ اﻟﺬ‬
َ
Hakekat Sabar dalam Al-Quran _227

mengetahui, Maha Perkasa, lagi Maha Kuasa pasti membantunya, karena


Dia pun telah bersama hamba-Nya. Tanpa kebersamaan itu, kesulitan
tdiak akan tertanggulangibahkan tidak mustahil kesulitan diperbesar
‫ﻚ ُﻫ ُﻢ اﻟْ ُﻤ ْﻬﺘَ ُﺪو َن‬ َ ِ‫ات ِﻣ ْﻦ َرﱢ�ِ ْﻢ َوَر ْﲪَﺔٌ َوأُوﻟَﺌ‬
oleh setan dan nafsu amaran manusia sendiri.26
ٌ ‫ﺻﻠَ َﻮ‬َ ‫ﻚ َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ْﻢ‬ َ ِ‫أُوﻟَﺌ‬
H. Hukum Bersabar (157 :2/‫)اﻟﺒﻘﺮة‬
‫ﻳﻦ‬
َ ‫ﺼﺎﺑِ ِﺮ‬
Pembahasan ِ‫ َﻼ ِة إ‬mendeskripsikan
‫ﻪَ َﻣ َﻊ اﻟ ﱠ‬ini‫ﱠن اﻟﻠﱠ‬akan ‫ﺼ‬ ‫ﺘَﻌِﻴﻨُﻮا ﺑِﺎﻟ ﱠ‬secara
‫ﺼ ِْﱪ َواﻟ ﱠ‬ ‫اﺳ‬
ْ ‫َاﻣﻨُﻮا‬singkat
‫ﻳﻦ ء‬
َ َ ‫اﻟﱠ ِﺬ‬tentang
‫ﻳَﺎأَﻳـﱡ َﻬﺎ‬
(153 :2/‫)اﻟﺒﻘﺮة‬
hukum sabar yang dapat dipahami dari surah al-Baqarah. Ada beberapa
argumentasi yang dapat dikemukakan sebagai pendukung pandangan
(249 :2/bahwa
yang mengatakan ‫)اﻟﺒﻘﺮة‬sabar‫ﻳﻦ‬
َ ‫ﺎﺑِ ِﺮ‬adalah
‫ﺼ‬ ‫ِ َواﻟﻠﱠﻪ‬...yang
‫َﻣ َﻊ اﻟ ﱠ‬kewajiban
ُ ‫ﻮت‬
ُ ُ‫ﻟ‬diwajibkan
‫ﺼ َﻞ ﻃَﺎ‬َ َ‫ﻤﺎ ﻓ‬oleh
‫ﻓَـﻠَ ﱠ‬
Allah swt. 27

1. Firman allah swt:

ِ ‫ﺼ َﻼ ِة إِ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ ﻣﻊ اﻟ ﱠ‬ ‫اﺳﺘَﻌِﻴﻨُﻮا ﺑِﺎﻟ ﱠ‬


‫ﺼ ِْﱪ َواﻟ ﱠ‬ ِ‫ﱠ‬
َ ‫ﺼﺎﺑ ِﺮ‬
‫ﻳﻦ‬ ََ َ ‫ﻳَﺎأَﻳـﱡ َﻬﺎ اﻟﺬ‬
ْ ‫ﻳﻦ ءَ َاﻣﻨُﻮا‬
(153 :2/‫)اﻟﺒﻘﺮة‬
Ayat ini memakai redaksi al-´amr (perintah). Ulama sepakat bahwa
redaksi perintah pada ayat ini bermakna wajib. Hal ini sejalan dengan
kaidah yang yang disepakati oleh ulama bahwa redaksi perintah
menunjukkan hal wajib. Disamping itu, banyak ayat lain yang
menunjukkan redaksi al-´amr.

2. Ada beberapa ayat yang melarang untuk melaksanakan lawan dari


sabar, seperti:

‫ﻮﻫ ُﻢ‬‫ﱡ‬‫ﻟ‬‫ﻮ‬‫ـ‬ُ‫ﺗ‬ ‫ﻼ‬


َ ‫ﻓ‬
َ ‫ﺎ‬‫ﻔ‬ً ‫ﺣ‬ ‫ز‬ ‫ا‬
‫و‬ ‫ﺮ‬‫ﻔ‬َ ‫ﻛ‬
َ ‫ﻳﻦ‬‫ﺬ‬ِ ‫ﻳﺎأَﻳـﱡﻬﺎ اﻟﱠ ِﺬﻳﻦ ءاﻣﻨﻮا إِذَا ﻟَِﻘﻴﺘﻢ اﻟﱠ‬
ُ َ ْ َ ُ َ ُُ َُ َ َ َ َ
(15:‫ْاﻷ َْدﺑَ َﺎر)اﻷﻧﻔﺎل‬
Ayat ini menceritakan tentang larangan meninggalkan medan
perang. Dengan demikian dapat dipahami bahwa mereka yang
meninggalkan medan perang berarti mereka tidak bersabar terhadap

‫ﻮل َوَﻻ ﺗُـْﺒ ِﻄﻠُﻮا‬ ِ ‫ﻳﺎأَﻳـﱡﻬﺎ اﻟﱠ ِﺬﻳﻦ ءاﻣﻨُﻮا أ‬


ِ ‫َﻃﻴﻌﻮا اﻟﻠﱠﻪ وأ‬
cobaan yang diberikan oleh allah swt.
َ ‫َﻃﻴﻌُﻮا اﻟﱠﺮ ُﺳ‬ َ َ ُ ََ َ َ َ
(33 :‫أ َْﻋ َﻤﺎﻟَ ُﻜ ْﻢ )ﳏﻤﺪ‬
(15:‫ْاﻷ َْدﺑَ َﺎر)اﻷﻧﻔﺎل‬
228_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

‫ﻮل َوَﻻ ﺗُـْﺒ ِﻄﻠُﻮا‬ ِ ‫ﻳﺎأَﻳـﱡﻬﺎ اﻟﱠ ِﺬﻳﻦ ءاﻣﻨُﻮا أ‬


ِ ‫َﻃﻴﻌﻮا اﻟﻠﱠﻪ وأ‬
َ ‫َﻃﻴﻌُﻮا اﻟﱠﺮ ُﺳ‬ َ َ ُ ََ َ َ َ
(33 :‫أ َْﻋ َﻤﺎﻟَ ُﻜ ْﻢ )ﳏﻤﺪ‬
Ayat ini melarang seseorang untuk membatalkan/menghapus
amal shalehnya dengan perilaku-perilaku yang bertentanagn dengan
ajaran islam. Jika hal itu dilakukan, maka mereka tidak mampu
bersabar dalam melaksanakan ajaran agama.
‫اﻹﻣﺴﺎك‬.
3. Salah satu fungsi al-Quran adalah sebagai pembawa berita dan
ancaman. Manusia tidak akan berhasil untuk mengatasi segala
keinginannya dan tidak mampu melaksanakan perintah agama jika ‫اﳊﺒﺲ‬.
tidak dibarengi dengan sikap dan sifat sabar yang ada dalam dirinya.
Dengan demikian, maka sabar sebgai sarana untuk mencapai tujuan
menjadi wajib.

I. Hubungan Antara Surah Al-Baqarah Dengan Hakekat Sabar


Surah al-Baqarah adalah surah II dalam urutan mushhâf setelah
surah al-Fâtihah. Ada beberapa ulama yang mengkaji hubungan antara
penamaan sebuah surah dengan kandungan ayat yang terdapat dalam
surah tersebut. Oleh karena itu, pembahasan ini akan menjelaskan
hubungan antara surah al-Baqarah dengan hakekat sabar.

Surah ini dinamakan surah al-Baqarah karena karean memuat kisah


tentang baqarah (sapi betina). Kisah ini diuraikan panjang lebar dalam
surah tersebut mulai ayat 67 hingga ayat 73. intinya bahwa umat Nabi
Musa as., saling menuduh tentang siapa yang membunuh seseorang dari
bani israil. Persoalan ini dibawa kepada Nabi Musa as., lalu allah swt.,
memerintahkan kepada mereak untuk menyembelih sapi betina. Bagian
dari sapi yang telah disembelih tersebut dipukulkan kepada mayat yang
diperselisihkan pembunuhnya itu. dengan izin dan kekuasaan Allah
SWT., mayat tersebut menjadi hidup. Dengan demikian, maka surah
Hakekat Sabar dalam Al-Quran _229

ini diharapkan dapat dipahami dalam kerangka untuk membenarkan


kekuasaan dan keagungan Allah swt., dan segala implikasinya.

Bagaimana hubungan antara sabar dengan sapi betina tersebut ?


Hakekat sabar adalah termaktub pada ucapan “´Innâ Lillâhi wa ´Innâ ´Ila´ihi
Râji’ûn”, yang menunjukkan dua persaksian, yaitu: Pertama, Pengakuan
bahwa semua alam beserta isinya termasuk manusia dan apa yang
dimiliki oleh manusia adalah milik-Nya. Dia berhak “mengeksploitasi”
semua itu karena manusia hanya diberikan hak pakai saja dan hak
milik adalah kepanyaan-Nya. Pengakuan ini sekaligus menajadi dasar
aqidah seorang hamba terhadap-Nya, karena mencakup aspek ´ulûhiyah,
‘ubûdiyyah dan rubûbiyyah; Kedua, pengakuan bahwa seluruh alam dan
isinya termasuk manusia akan mengalami kehancuran. Pengakuan
ini sekaligus mempertegas bahwa akhir dari segalanya adalah semua
makhluk akan kembali kepada-Nya. Inilah yang diistilahkan sebagai hari
akhirat, kebangkitan dan pembalasan. Dengan demikian, maka manusia
senantiasa menyandarkan dirinya kepada-Nya sebagai aplikasi sikap
sabarnya ketika menerma ujian, cobaan dan musibah dari-Nya. Ujian.
Cobaan dan musibah sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepad-Nya
bukan justru musibah itu menajdi penghalang untuk dekat kepada-Nya.
Inilah esensi sikap sabar yang terkandung dalam Al-Quran. Dengan
demikian, maka sabar adalah bagian penting dari ketauhidan manusia.
Karfena hakekat sabar tergambar dari dua unsur terebut, yaitu: unsur
pengakuan akan kekuasaan allah swt., dan pengakuan atas hari akhirat.
Baik surah al-Baqarah maupun hakekat sabar keduanya memiliki unsur
ketauhidan.

J. Penutup
Ada beberapa kesimpulan yang dapat dikemukakan sebagai penutup
dalam makalah ini, diantaranya:

1. Sabar menurut tinjauan kebahasaan adalah menahan. Konsep ini


terkait dengan makna sabar yang terkandung dalam Al-Quran.
230_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

2. Hakekat sabar adalah kemampuan seseorang menghayati kalimat


“´Innâ Lillâhi wa ´Innâ ´Ila´ihi Râji’ûn”.

3. Objek dan manfaat kesabaran yang terkandung dalam al-Quran


mencakup aspek jasmani dan rohani.

4. Hakekat sabar terkait dengan tujuan dan makna yang terkandung


dalam penamaan surah al-Baqarah.
Hakekat Sabar dalam Al-Quran _231

Daftar Pustaka

Al-Biqai, Nuzhm ad-Durar fI Tanâsub al-´Ayât wa as-Suwar, Beirut:Dâr


al-Kutub al-’Ilmiyah, 1995 M/1415 H.

Faris, Ibn, Mu’jam Maqâyîs al-Lughah, Beirut: Dar al-Fikr, t.th

Al-Gazali, Ihya ‘Ulum ad-Din,Beirut: Dar Ma’rifah, 1990 M/

Hayyan, Abu, Al-Bahr Al-Muhîth, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.

al-Makki, Abu Thalib, Qauth al-Qulub, (Cairo: Dar al-halabi, t.th), Juz I.

Qayyim, Ibn, Madarij as-Salikin, (Cairo: Dar Salam, t.th), Juz II.

, Juz IV.

Shihab, Quraish, Tafsir al-Amanah, (Indonesia: Pustaka Kartini, 1992


M/1413 H), Cet. I.

________, Tafsir al-Mishbâh;Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,


(jakarta: Lentera Hati, 2000 M/1421 H), Juz II.

Ar-Raghib al-Ashfahani, Mufradât al-Fâdz al-Quran, edisi. Shafwan


Adnan Dawudi, Damsykus: Dar al-Qalam,1992 M/1412 H.

Ar-Razi, Fahruddin, Tafsir al-Fakhru ar-Razi, Beirut: Dâr al-Fikr, 1985


M/1405 H.

Samin al-Halabi, ad-Durru al-Mashûn fî ‘Ulûm al-kitâb al-maknûn,


Lubnan: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1994 M/1414 H.

Sya’rawi, Tafsîr Sya’rawî, Mesir: al-Akhbar al-Yaum, 1991.


‫ﻮل َوَﻻ ﺗُـْﺒ ِﻄﻠُﻮا‬ ِ ‫(وأ‬15
َ ‫ﻮﻫﻢﻴﻌُﻮا اﻟﱠﺮ ُﺳ‬
‫َﻃ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﱠ‬
‫ﻠ‬ :‫اﻷﻧﻔﺎل‬
‫اﻟ‬ ‫ا‬‫ﻮ‬ ‫ﻴﻌ‬ ِ ‫ﻳﺎأَﻳـﱡﻬﺎ اﻟﱠ ِﺬﻳﻦْاﻷءَْدﺑَاﻣﻨَُﺎرﻮا) أ‬
‫َﻃ‬
ُ ‫ﻳﻦ َﻛَ َﻔَﺮوا َز ْﺣ ًﻔُﺎ ﻓَ َﻼ ﺗَُـﻮﻟَﱡ‬ َ ‫ﻳﺎأَﻳـﱡﻬﺎ اﻟﱠ ِﺬﻳﻦ ءاﻣﻨُﻮا إِذَا َﻟَِﻘﻴﺘَُﻢ اﻟﱠ ِﺬ‬
ُ َ
232_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013 (33 :ُ‫أ َْﻋ َﻤﺎﻟَُ ُﻜ ْﻢ )َﳏﻤﺪ‬ ََ َ َ َ
(15:‫ْاﻷ َْدﺑَ َﺎر)اﻷﻧﻔﺎل‬
ِ ‫َﻃﻴﻌﻮا اﻟﻠﱠﻪ وأ‬ ِ ِ‫ﱠ‬
‫ﻮل َوَﻻ‬
َ ‫ اﻟﱠﺮ ُﺳ‬Endnotes
‫َﻃﻴﻌُﻮا‬ َ َ ُ ‫ﻳﻦ ءَ َاﻣﻨُﻮا أ‬ َ ‫ﻳَﺎأَﻳـﱡ َﻬﺎ اﻟﺬ‬
(33 :‫ﺎﻟَ ُﻜﻢ )ﳏﻤﺪ‬kata:
1. Arti menahan ini diperoleh ْdari
‫أ َْﻋ َﻤ‬
ِ ‫ﻮل وَﻻ ﺗُـﺒ‬ ِ ‫اﻹﻣﺴﺎك‬. ِ ُ‫ﻳﺎأَﻳـﱡﻬﺎ اﻟﱠ ِﺬﻳﻦ ءاﻣﻨ‬
‫ا‬
‫ﻮ‬ ‫ﻠ‬
ُ
2. Sabar dengan pengertian‫ﻄ‬ ْ َ “menahan”َ ‫ﺳ‬ُ ‫َو ُ ﱠ‬dapat
‫ﺮ‬‫اﻟ‬ ‫ا‬
‫ﻮ‬ ‫ﻴﻌ‬ ‫َﻃ‬ ‫أ‬ َ‫ﻮا اﻟﻠﱠﻪ‬berarti
ُ‫ﻮا أَﻃﻴﻌ‬fisik
َ َ material
َ َ seperti
َ
menahan seseorang dalam tahanan/kurungan dan dapat berarti non fisik/
inmaterial seperti menahan diri/jiwa dalam ‫اﳊﺒﺲ‬. (33 :‫َْﻋ َﻤﺎﻟَ ُﻜ ْﻢ )ﳏﻤﺪ‬yang
menghadapi sesuatu
‫أ‬
diinginkannya.
‫اﻹﻣﺴﺎك‬.
3. Ar-Raghib al-Ashfahani, Mufradât al-Fâdz al-Quran, edisi. Shafwan Adnan
Dawudi, (Damsykus: Dar al-Qalam,1992 M/1412 H), h. 474-475.

4. Makna ini diambil dari kata ‫اﳊﺒﺲ‬.Kata ini semakna dengan ‫اﻹﻣﺴﺎك‬.
5. Ibn Faris, Mu’jam Maqâyîs al-Lughah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), Juz III, H.
3249-330.
‫اﳊﺒﺲ‬.yang
6. Yang saya maksudkan sebagai proses yang aktif adalah sebuah proses
bergerak dalam satu ruang dan waktu. Sabar dapat terealisasikan jika ada
proses yang aktif untuk “menahan”, “membelenggu” dan “menutup”. Jika
hal ini dilakukan secara aktif, maka proses ini akan berujung pada sebuah
hasil yang disebut sebagai ‘sabar.
7. Quraish Shihab, Tafsir al-Amanah, Indonesia: Pustaka Kartini, 1992 M/1413
H, Cet. I, h. 111.
8. Imam al-Gazali, Ihya ‘Ulum ad-Din,(Beirut: Dar Ma’rifah, 1990 M), Juz IV, h.
61
9. Ibn Qayyim, Madarij as-Salikin, (Cairo: Dar Salam, t.th), Juz II, h. 121.
10. Abu Thalib al-Makki, Qauth al-Qulub, (Cairo: Dar al-halabi, t.th), Juz I, h. 197
11. Konsep ini dapat dilihat dalam Abu Hayyan, Al-Bahr Al-Muhîth, (Beirut: Dar
al-Fikr, t.th), Juz II, h. 57-58 . Dia mengatakan bahwa isim maushûl dapat
berfungsi sebagai jawaban yang terbuang, yaitu : siapa orang-orang sabar
itu? jawabannya adalah lanjutan ayat itu.
12. Fahruddin ar-Razi, Tafsir al-Fakhru ar-Razi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1985 M/1405
H), Juz III,h. 171.
13. Abu Hayyan, al-Bahr Al-Muhîth, h. 57-58
14. Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh;Pesan, Kesan dan Keserasian Al-
Quran, (jakarta: Lentera Hati, 2000 M/1421 H), Juz II, h. 343.
15. Ar-Raghib al-Ashfahani , Mufradât al-Fâdz al-Qur’ân, h. 495
16. Ar-Raghib al-Ashfahani, Mufradât al-Fâdz al-Qur’ân, h. 495
17. Fahruddin ar-Razi, Tafsir al-Fakhru ar-Razi, Tafsîr al-Fakhr ar-Râzi, Juz III, h.
167
Hakekat Sabar dalam Al-Quran _233

18. Mutawalli Sya’rawi, Tafsir Sya’rawi, (Mesir: al-Akhbar al-Yaum, 1991), Juz
II, h. 666.
19. Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh;Pesan, Kesan dan Keserasian Al-
Quran, op. cit., Juz II, h, 342.
20. Qurais Shihab, Tafsir al-Mishbâh;Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, h. 364-
366, Mutawalli Sya’rawi, Tafsîr Sya’rawî, h. 728-743, ar-Razi, op. cit, jilid III, h.
37-48, Abu Hayyan, al-Bahr al-Muhîth, h. 128-141, al-Biqai, Nuzhm ad-Durar
fI Tanâsub al-´Ayât wa as-Suwar, Beirut:Dar al-Kutub al-’Ilmiah, 1995 M/1415
H, jilid I, h. 323-333
21. al-Biqai, Nuzhm ad-Durar fi Tanâsub al-Ayât was-Suwar, h. 323-333
22. Abu Hayyan, al-Bahr al-Muhîth, h. 128-141.
23. Ar-Razi, Tafsîr al-Fakhr ar-Râzi, Jilid V-VI, h. 49
24. Qurais shiahb, Tafsir al-Mishbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, h. 344.
25. Lihat ar-Razi, Tafsîr al-Fakhr ar-Râzi, h. 172.
26. Tafsir al-Mishbâh, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, h. 340
27. Ibn Qayyim berpendapat bahwa sabar adalah wajib secara ijma’. Lihat Ibn
Qayyim, Madârij as-Sâlikîn, h. 121.
Law Enforcement The Religious Right
For Children

Penegakan Hukum Atas Hak Beragama


Bagi Anak

Soefyanto
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah,
Jakarta & Universitas Islam Jakarta
email : soefyantowiryoatmojo@yahoo.com
 

Abstract : Children must always be protected as well as possible. Parents, families and
communities are responsible for keeping and maintaining the rights of the child in
accordance with the rights and obligations imposed by law. To ensure the protection
of minors in religion, religion in accordance with the religion of their parents. Anyone
who intentionally commit a ruse to choose another religion not of his own volition,
but the child is not known to be its choice, it is an act that can be punishable by
penal provisions. The provision is to provide maximum protection of children from
irresponsible actions.

Abstraksi : Anak senantiasa harus dilindungi dengan sebaik-baiknya. Orang tua, keluarga
dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak-hak anak
sesuai dengan hak dan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Untuk menjamin
perlindungan terhadap anak yang belum dewasa dalam memeluk agama, agamanya
sesuai dengan agama yang dipeluk orang tuanya. Barang siapa  dengan sengaja
melakukan tipu muslihat untuk memilih agama lain bukan atas kemauannya sendiri,
padahal diketahui anak tersebut belum dapat menentukan pilihannya, hal tersebut
merupakan perbuatan yang dapat diancam dengan ketentuan pidana. Ketentuan
tersebut untuk memberikan perlindungan maksimal terhadap anak dari tindakan yang
tidak bertanggung jawab.
Keywords : Child Protection, Freedom of Religion.
Penegakan Hukum Atas Hak Beragama Bagi Anak _235

A. Pendahuluan
A. Latar Belakang

Siapapun kita, tidak boleh melewatkan perhatiannya terhadap


anak dan pertumbuhannya, karena merekalah yang akan melanjutkan
keberadaan kita sebagai bangsa, dan sebagai manusia. Perlindungan
Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan
hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi,
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.1

Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber
daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan
bangsa yang memiliki peranan strategis, dan mempunyai ciri dan sifat
khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka
menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial
secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang.

Indonesia pada saat ini telah memliki beberapa undang-undang yang


berhubungan langsung dengan anak;

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang


Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun  2002 Tentang


Perlindungan Anak (Lembaran Negara Tahun  2002 Nomor 109,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4235;

- Konvensi tentang Hak-Hak Anak yang disetujui pada tanggal 20


November 1989, dan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil Dan
Politik, Ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) 
Tertanggal 16 Desember 1966.

 Kajian ini dimaksudkan sebagai bagian perhatian terhadap anak dari


aspek hukum, khususnya hak beragama bagi anak, yang merupakan
harapan bangsa Indonesia, dan dengan disahkan dan diundangkan
236_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

Undang-Undang Perlindungan Anak kini menjadi tonggak upaya


mewujudkan hak beragama bagi anak yang merupakan bagian dari
perlindungan anak dan semangat penegakan hukum sebagai bagian
dari pembangunan hukum nasional. Di samping itu dengan persetujuan
konvensi-konvensi menjadilah institusi internasional yang mewajibkan
Indonesia menyebarluaskan norma, mentaati dan melaporkan
pelaksanaannya ke Sekjen PBB.

b.  Pokok Permasalahan

Permasalahan dimaksudkan adanya gap antara dassollen dan dassein,


antara konsepsi perundangundangan dengan pelaksanaannya. Apalagi
kini peristiwa terkait hak beragama selau menjadi isu nasional yang
berdimensi internasional. Identifikasi masalah dapat dirumuskan
sebagai berikut: Bagaimana konsepsi perundang-undangan tentang hak
beragama bagi anak dan bagaimana pelaksanaan perlindungan tersebut
dalam masyarakat, dan bagaimana langkah penyelesaian dalam hal
terjadi kasus yang mengabaikan perlindungan hak beragama bagi anak.

 c.   Tujuan Penelitian dan manfaat  

Secara umum tujuan penelitian ingin mengungkapkan obyek yang


hendak diteliti, untuk mengungkapkan dan menemukan sejauh mana
Negara Indonesia  memberikan perlindungan hak beragama kepada anak-
anak. Untuk mengungkapkan dan secara khusus menemukan penerapan
hukum bagi pelaku yang mengabaikan ketentuan perlindungan anak
dalam hal ini perlindungan hak beragama sesuai peraturan perundang-
undangan.

Manfaatnya, dapat menemukan identifikasi ketentuan yang


menyangkut pelayanan perlindungan anak  sesuai dengan  yang
dikehendaki peraturan perundang-undangan, yang sekaligus memenuhi
prinsip hak asasi manusia, dan dapat menemukan landasan teoritis dan
yuridis perlindungan hak beragama bagi anak dan menambah informasi
Penegakan Hukum Atas Hak Beragama Bagi Anak _237

dalam pengembangan ilmu pengetahuan hukum khususnya hukum


perlindungan anak, perlindungan hak beragama bagi anak

d.   Jenis dan Sumber Data

Bahan hukum; primer, sekunder, tersier.

Bahan hukum primer, bahan yang mempunyai kekuatan mengikat


atau yang membuat orang taat pada hukum, antara lain; Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun  2002 Tentang Perlindungan Anak
(Lembaran Negara Tahun  2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4235. Konvensi Internasional terkait yang kemudian di Ratifikasi
pemerintah Indonesia, Putusan pengadilan/Putusan  Mahkamah Agung,
Putusan Mahkamah Konstitusi.

Bahan Hukum Sekunder, bahan yang tidak mengikat tetapi


menjelaskan mengenai bahan hukum primer, untuk menemukan sumber
bahan-bahan yang berkaitan dengan konsep, doktrin dan kaidah hukum
yang berkaitan yang dapat menambah kejelasan permasalahan, antara
lain, tulisan atau pendapat ahli hukum mengenai asas-asas berlakunya
hukum dalam suatu putusan dalam buku-buku, jurnal, makalah,
internet. Bahan Hukum tersier,  bahan hukum yang yang memberikan
informasi  dan petunjuk lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder.

 e.  Metode pengumpulan data dan analisis

Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara mengumpulkan,


membaca, menelaah mencari, dan mengkaji konsepsi-konsepsi, teori-
teori, pendapat-pendapat atau penemuan-penemuan, antara lain
peraturan perundang-undangan, hasil karya ilmiah. Metode observasi
tidak terstruktur, dimaksudkan tanpa menggunakan pedoman observasi.
Dokumen penting lainnya di sini adalah keputusan pengadilan,
yang diperoleh secara langsung dari pengadilan yang memeriksa
238_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

perkara terkait. Analisis data kualitatif  dilakukan dengan jalan


mengorganisasikan data, memilah-milah menjadi satuan yang dapat
dikelola, mensintesiskan, mencari, dan menemukan pola, menemukan
apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang
dapat diceritakan kepada orang lain.2  Analisa juga dilakukan atas
statemen (statement) atau keterangan atau pendapat yang dikemukakan
oleh subyek dalam forum formal seperti di sidang pengadilan. 

Dengan demikian analisis yang digunakan diskriptif kualitatif, di sini


menjelaskan obyek secara mendalam berdasarkan konsep dan teori yang
digunakan  serta hasil-hasilnya. Sedang penalaran digunakan penalaran
deduktif dari hal-hal yang sifatnya umum, teori, konsep, diambil
kesimpulan yang sifatnya khusus, guna menjawab masalah penelitian.

B. Pembahasan
a. Konsepsi Perlindungan Anak

Perhatian terhadap anak terus berkembang, perkembangan penting


dengan diundangkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, pada tanggal 22 Oktober 2002. Di dalam undang-
undang itu tampak jelas arahan filosofisnya di mana Negara Kesatuan
Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap‑tiap warga negaranya,
termasuk perlindungan terhadap hak anak, hak beragama anak, yang
merupakan hak asasi manusia.

Kiranya, demikian Ir Soekarno dalam pidatonya pada 1 Juni 1945


mengatakan pendapatnya mengenai prinsip ketuhanan yang sesuai bagi
Negara Indonesia.

”....Prinsip Ketuhanan! bukan saja bangsa Indonesia ber Tuhan,


tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya
sendiri....  Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun
Kristem, dengan cara berkeadaban. Apakah cara yang  berkeadaban itu?
Ialah hormat menghormati satu sama lain....”3
Penegakan Hukum Atas Hak Beragama Bagi Anak _239

Selanjutnya, dalam pekembangannya, perumusan pengaturan


mengenai hak asasi manusia yang diputusakan dalam rapat Paripurna
Sidang Tahunan MPR-RI ke-9, 18 Agustus 200, ada perubahan UUD 1945,
di mana sebelum perubahan tidak ada bab tersendiri tentang Hak Asasi
Manusia, dan UUD 1945 sesudah perubahan ada tersendiri tentang Hak
Asasi Manusia,4 yaitu,  Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 28A
sampai dengan Pasal 28J.  Pasal 28 E menegaskan sebagai berikut;

Pasal 28E

1) Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut


agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan,
memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara
dan meninggalkannya, serta berhak kembali.

2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,


menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

 Ketentuan  terkait menunjuk secara jelas  hak beragama dijelaskan:


Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali. Setiap orang berhak atas
kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai
dengan hati nuraninya. Dalam ketentuan berikiutnya; Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.5

Namun dijelaskan pula bahwa; Setiap orang wajib menghormati


hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,
setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain
dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
240_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu


masyarakat demokratis.6

Konvensi – Konvensi Hak Anak,  Hak-Hak Sipil dan Politik

Sebelum Konvensi Hak Anak,  kita mengenal Deklarasi Hak Anak, di


mana pada tahun 1924 deklarasi hak anak diadopsi secara internasional
oleh Liga Bangsa-Bangsa, yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi
Jenewa. Deklarasi merupakan suatu pernyataan umum mengenai prinsip-
prinsip yang bisa diterima bersama dan tidak mengikat seperti konvensi.
Konvensi Hak Anak - Convention on the Rights of the Child -, kata lain dari
treaty (traktat atau pakta), merupakan perjanjian di antara beberapa
negara. Perjanjian ini bersifat mengikat secara yuridis dan politis, oleh
karena itu konvensi merupakan suatu hukum internasional atau biasa
juga disebut sebagai instrumen internasional. Konvensi Hak Anak adalah
perjanjian yang mengikat secara yuiridis dan politis di antara berbagai
negara yang mengatur hak-hak yang berhubungan dengan hak anak.
Hak anak berarti hak asasi manusia untuk anak.7  Bahwa selanjutnya
disetujui oleh Majlis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal
20 November 1989 Konvensi Hak Anak, dan  Indonesia telah meratifikasi
Konvensi Hak Anak, dinyatakan dalam Keputusan Presiden Nomor 36
Tahun 1990 tertanggal 25 Agustus 1990, dengan demikian kita wajib
mengakui dan memenuhi hak-hak anak sebagaimana dirumuskan dalam
Konvensi Hak Anak.8  Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, menegaskan  konsep asas dan tujuan sebagaimana
ketentuan Pasal 2, Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan
Pancasila dan berlandaskan Undang‑Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 serta prinsip‑prinsip dasar Konvensi Hak‑Hak
Anak meliputi: 1. non diskriminasi; 2. kepentingan yang terbaik bagi
anak; 3. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
4. penghargaan terhadap pendapat anak. Perlindungan anak bertujuan
untuk menjamin terpenuhinya hak‑hak anak agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan
Penegakan Hukum Atas Hak Beragama Bagi Anak _241

martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan


dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas,
berakhlak mulia, dan sejahtera.9  

Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil Dan Politik yang ditetapkan


oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) Tertanggal 16 Desember 1966,
Pasal 18 menyatakan bahwa Negara Pihak dalam Kovenan ini berjanji
untuk menghormati kebebasan orang tua dan apabila diakui, wali hukum
yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi
anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.10

Siapa yang dimaksud dengan anak, anak dijelaskan adalah seseorang


yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan. Dalam Konvensi hak anak, secara umum mendefinisikan
sebagai ”manusia yang umumnya belum mencapa 18 tahun”, namun dari
pengertian ini diakui juga kemungkinan adanya perbedaam atau variasi
dalam penentuan batas diberikan juga pengakuan terhadap batasan
umur yang berbeda yang mungkin diterapkan dalam  perundang-
undangan nasional negara peserta.

Kegiatan perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya


hak‑hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi
terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan
sejahtera.

Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam
dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Dari
sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa
dan generasi penerus cita‑cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi  serta
berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta
hak sipil dan kebebasan. Anak adalah tunas, potensi, dan generasi
muda penerus cita‑cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis
242_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan


eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.

Untuk melaksanakan hal itu pandangan mengenai anak adalah


seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan. Anak dimaksud yang memperoleh
perlindungan anak. Perlidungan anak adalah segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi anak dan hak‑haknya agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.

Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin,
dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah, dan negara. Anak juga memiliki hak perlindunagn khusus,
yang dimaksud dengan perlindungan khusus adalah perlindungan yang
diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan
dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak
yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang
diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika,
alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban
penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik
fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban
perlakuan salah dan penelantaran.

Ada beberapa hak anak yang dinormatifkan sebagai muatan dalam


undang-undang. Hak anak, adalah bagian dari hak asasi manusia
yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga,
masyarakat, pemerintah, dan negara. Hak-hak anak dimaksud,
sebagiannya yaitu;11

Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang,


dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas
Penegakan Hukum Atas Hak Beragama Bagi Anak _243

diri dan status kewarganegaraan. Setiap anak berhak untuk beribadah


menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat
kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua. Setiap anak berhak
untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang
tuanya sendiri. Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat
menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar
maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh
atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang‑undangan yang berlaku.12

Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawabnya, ia


perlu mendapat kesempatan yang seluas‑luasnya untuk tumbuh dan
berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan
berakhlak mulia, untuk itu perlu dilakukan upaya perlindungan serta
untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan
terhadap pemenuhan hak‑haknya serta adanya perlakuan tanpa
diskriminasi.

Undang‑undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,


meskipun telah mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban
dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan
negara untuk memberikan perlindungan pada anak namun masih
memerlukan suatu undang‑undang mengenai perlindungan anak sebagai
landasan yuridis bagi pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab
tersebut. Dengan demikian, pembentukan undang‑undang perlindungan
anak didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam
segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional,
khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.13

Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk


menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang
dibebankan oleh hukum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan
perlindungan anak, negara dan pemerintah bertanggung jawab
menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam
244_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan


terarah.

Undang‑undang perlindungan anak menegaskan bahwa


pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah
dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara
terus‑menerus demi terlindunginya hak‑hak anak.  Rangkaian kegiatan
tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan
dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial.
Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi
anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh,
memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila,
serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan
negara.

Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh,


dan komprehensif, undang‑undang Perlindungan Anak meletakkan
kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas‑asas:
a. nondiskriminasi; b. kepentingan yang terbaik bagi anak; c. hak untuk
hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan d. penghargaan
terhadap pendapat anak. Dalam melakukan pembinaan, pengembangan
dan perlindungan anak, perlu peran masyarakat, baik melalui lembaga
perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat,
organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa,
atau lembaga pendidikan.

b. Permasalahan

Masalah perlindungan anak adalah sesuatu yang kompleks, dan


ketepatan  pemahaman perlindungan anak akan sangat bermanfaat.
Kesalahan pemahaman akan menimbulkan berbagai permasalahan
yang tidak mudah untuk diatasi, diselesaikan oleh perorangan tetapi
membutuhkan  perpaduan, dan tanggung jawab bersama antar kita.
Juga dikatakan, kebahagian yang dilindungi adalah kebahagiaan yang
melindungi.14
Penegakan Hukum Atas Hak Beragama Bagi Anak _245

Ada beberapa dasar pemikiran dalam masalah perlindungan


anak; arti, sikap dan tindak, pengertian tentang manusia, pengertian
tentang keadilan, dan hasil interaksi, baik masalah yang positif atau
negatif.15   Lebih lanjut beberapa dasar pemikiran sebagai landasan
pembahasan masalah perlindungan anak sebagai berikut.

Arti sikap dan tindakan, hendaknya kita memahami lebih dahulu


arti atau mempunyai pengertian yang tepat mengenai suatu masalah,
diperlukan pemahaman lebih dahulu. Dengan dimilikinya pengertian 
yang tepat mengenai perlindungan anak misalnya, maka diharapkan
kita akan bersikap dan bertindak tepat pula dalam menghadapi dan
mengatasi permasalahan.

Pemahaman tentang manusia, bahwa manusia adalah mutlak


kita meratakan pengertian mengenai manusia apabila kita mau
berhasil melakukan perlindungan anak. Pengertian yang tidak tepat
mengenai manusia merupakan salah satu faktor penghambat kegiatan
mengembangkan keadilan dan kesejahteraan pada umumnya dan
kegiatan perlindungan anak pada umumnya. Pengertian yang tepat
mengenai manusia dapat pula mengembangkan rasa tanggung jawab
kita terhadap sesama  anggota masyarakat.

Pengertian tentang keadilan, rasa keadilan seseorang akan


mempengaruhi adanya kelangsungan kegiatan perlindungan anak.
Maka dapat dikatakan, bahwa di mana ada keadilan, disitu seharusnya
terdapat pula perlindungan anak yang baik. Anak dilindungi untuk
dapat melaksanakan hak dan kewajibannya secara rasional, bertangung
jawab dan bermanfaat. Hasil interaksi; hampir setiap tindakan dan
masalah yang ada, yang terjadi, baik yang positif atau negatif dapat
merupakan hasil interaksi karena adanya interrelasi antara fenomena yang
ada dan saling mempengaruhi.

Interaksi adalah suatu hubungan timbal balik antara orang satu dengan
orang lainnya,16 Di dalam ilmu sosiologi interaksi selalu dikaitkan dengan
istilah sosial yaitu hubungan timbal balik atau aksi dan reaksi diantara
246_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

orang-orang, yang mana interaksi sosial tidak memperdulikan hubungan


tersebut bersifat bersahabat atau bermusuhan, formal atau informal,
apakah dilakukan berhadapan muka secara langsung atau melalui
komunikasi yang tidak berhadapan secara langsung. Yang penting dalam
interaksi ini adalah adanya kontak dan komunikasi diantara orang-anak
itu. Interaksi di sini interaksi sosial   merupakan hubungan-hubungan
sosial yang menyangkut hubungan antar individu, individu (seseorang)
dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Tanpa adanya
interkasi sosial maka tidak akan mungkin ada kehidupan bersama, tidak
ada proses sosial, tidak ada suatu interaksi atau hubungan timbal balik
atau saling mempengaruhi antar manusia yang berlangsung sepanjang
hidupnya didalam amasyarakat.17 Menurut Soerjono Soekanto, proses
sosial diartikan sebagai cara-cara berhubungan yang dapat dilihat
jika individu dan kelompok-kelompok sosial saling bertemu serta
menentukan sistem dan bentuk hubungan sosial.18

Proses Interaksi sosial adalah pada saat manusia bertindak terhadap


sesuatu atas dasar makna yang dimiliki bagi manusia, makna yang
dimiliki itu berasal dari interaksi antara seseorang dengan sesamanya.
Makna tidak bersifat tetap namun dapat dirubah, perubahan terhadap
makna dapat terjadi melalui proses penafsiran yang dilakukan orang
ketika menjumpai sesuatu. Proses tersebut disebut juga dengan
interpretative process.19

Sedangkan kata interelasi saling berhubungan satu sama lainnya.20


Fenomena bisa berarti gejala, misalkan hal-hal yang dirasakan dengan
pancaindra.21 Di sini dimaksudkan yang penting  adalah mengamati
fenomena mana saja yang relevan dan memainkan peranan yang penting
dalam terjadinya sesuatu tindakan atau hal tertentu.

c.  Perlindungan khusus

Bahwa anak adalah individu yang belum matang baik secara fisik,
mental, maupun sosial. Karena kondisinya yang rentan  dibandingkan
Penegakan Hukum Atas Hak Beragama Bagi Anak _247

dengan orang dewasa, lebih beresiko. Untuk memahami istilah matang


- kematangan perlu mengkaitkan  perkembangan anak, perkembangan
jiwa anak.22 Santrock menjelaskan pengertian perkembangan sebagai
berikut;

“…..Development is the patterrn of change that begins at conception


and continues through the life span. Most development involves growth,
althought it includes decay (as in death and clying). The pattern of movement
is complex because it is product of several processes-biological, cognitive, and
socioemotional….”23

Dimaksud perkembangan tidaklah terbatas pada pengertian


pertumbuhan yang semakin membesar melainkan didalamnya juga
terkandung serangkaian perubahan yang berlangsung secara terus
menerus dan bersifat tetap dari fungsi-fungsi jasmaniah dan rohaniah yang
dimiliki individu menuju ke tahap kematangan melalui pertumbuhan,
pemasakan, dan belajar. Perkembangan menghasilkan bentuk-bentuk
dan ciri-ciri kemampuan baru yang berlangsung dari tahap aktivitas
yang sederhana ke tahap yang lebih tinggi. Perkembangan itu bergerak
secara berangsur-angsur tetapi pasti, melalui suatu bentuk/tahap ke
bentuk/tahap berikutnya, yang kian hari kian bertambah maju, mulai
dari masa pembuahan dan berakhir dengan kematian. Pertumbuhan
dan perkembangan itu pada umumnya berjalan selaras dan pada tahap-
tahap tertentu menghasilkan suatu “kematangan”, baik kematangan
jasmani maupun kematangan mental.

Istilah kematangan24 juga sering digunakan dalam biologi yang


menunjuk pada keranuman atau kemasakan. Kemudian istilah ini
diambil untuk digunakan dalam perkembangan individu karena
dipandang terdapat beberapa persesuaian. Kematangan mula-mula
merupakan suatu hasil dari adanya perubahan-perubahan tertentu dan
penyesuaian struktur pada diri individu, seperti adanya kematangan
jaringan-jaringan tubuh, saraf, dan kelenjar-kelenjar yang disebut dengan
kematangan biologis. Kematangan terjadi pula pada aspek-aspek psikis
248_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

yang meliputi keadaan berpikir; rasa, kemauan, dan lain-lain, serta


kematangan pada aspek psikis ini yang memerlukan latihan-latihan
tertentu. Usaha pemaksaan terhadap kecepatan tibanya masa kematangan
yang terlalu awal akan mengakibatkan kerusakan atau kegagalan dalam
perkembangan tingkah laku individu yang bersangkutan.

Perlindungan khusus merupakan perlindungan yang diberikan


kepada anak anak  dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan
hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi
secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak
yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika,
dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan
dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental,
anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan
penelantaran.25

Pemerintah diantaranya Kementerian Agama, dan lembaga-lembaga


negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan
perlindungan khusus kepada anak. Perlindungan khusus bagi anak
yang berhadapan dengan hukum meliputi anak yang berkonflik dengan
hukum dan anak korban kejahatan dan tindak pidana. Perlindungan
khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum dilaksanakan melalui:
perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan
hak‑hak anak, penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini,
penyediaan sarana dan prasarana khusus, penjatuhan sanksi yang tepat
untuk kepentingan yang terbaik bagi anak, pemantauan dan pencatatan
terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan
hukum, pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan
orang tua atau keluarga; dan perlindungan dari pemberitaan identitas
melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.

Dalam hal anak menjadi korban kejahatan perlindungan dilaksanakan


melalui upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga,
perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk
menghindari labelisasi, pemberian jaminan keselamatan bagi saksi
Penegakan Hukum Atas Hak Beragama Bagi Anak _249

korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial, dan pemberian
aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan
perkara.

Bagi anak kelompok minoritas dan terisolasi perlindungan dilakukan


melalui penyediaan prasarana dan sarana untuk dapat menikmati
budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya
sendiri, dan menggunakan bahasanya sendiri. Setiap orang dilarang
menghalang‑halangi anak untuk menikmati budayanya sendiri,
mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya, dan menggunakan
bahasanya sendiri tanpa mengabaikan akses pembangunan masyarakat
dan budaya.

Dalam melakukaan pembinan, pengembangan dan perlindungan


anak, perlu peran masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan
anak, lembaga keagaman, lembaga swadaya masyarakat, organisasi
kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa, atau
lembaga pendidikan.

d. Hak Memilih Agama Sebagai  Perlindungan Anak

Adalah hak setiap orang atas kebebasan berpikir, keinsyafan batin


dan beragama. Kebebasan ini  dirumuskan dalam pasal 18 Universal
Declaration of Human Rights;

Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, harti nurani dan agama,
dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan,
dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan
cara mengajarkannya, mempraktekkannya, melaksanakan ibadanya dan
mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di
muka umum maupun sendiri.26

Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil Dan Politik, Pasal 18 ayat 4


menyatakan  bahwa Negara Pihak dalam Kovenan ini berjanji untuk  ...
memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka
sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.
250_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

Ketentuan itu bukan hanya meliputi kebebasan berganti agama


atau keyakinan, tetapi juga kebebasan untuk menyatakan dengan jelas
agamanya atau keyakinannya, entah secara perorangan, entah secara
bersama-sama dengan orang lain, baik di muka umum maupun dalam
lingkungannya sendiri (kehidupan privenya), dalam (1) mengajarkan,
(2) peneterapannya dalam praktek, (3) ibadat, (4). pengabdian pada
perintah-perintah dan peraturan-peraturan agamanya.

Adapun, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan


Anak, secara spesifik menegaskan pengaturan perlindungan anak,
perlindungan kepada anak-anak aspek agama. Perlindungan itu
diperlukan mengingat anak adalah individu yang belum matang baik
secara fisik, mental, maupun sosial. Ketentuan tersebut  tercantum dalam 
Undang-Undang Perlindungan Anak,  BAB IX, tentang, Penyelenggaraan
Perlindungan, Bagian Kesatu tentang “Agama”, menegaskan  sebagai
berikut: Pasal 42; (1) Setiap anak mendapat perlindungan untuk
beribadah menurut agamanya. (2) Sebelum anak dapat menentukan
pilihannya, agama yang dipeluk anak mengikuti agama orang tuanya.
Pasal 43; (1) Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua,
wali, dan lembaga sosial menjamin perlindungan anak dalam memeluk
agamanya. (2) Perlindungan anak dalam memeluk agamanya tersebut
meliputi pembinaan, pembimbingan, dan pengamalan ajaran agama
bagi anak.

Penjelasan Pasal 42 ayat (2) Anak dapat menentukan agama pilihannya


apabila anak tersebut telah berakal dan bertanggung jawab, serta
memenuhi syarat dan tata cara sesuai dengan ketentuan agama yang
dipilihnya, dan ketentuan peraturan perundang‑undangan yang berlaku.
Ketentuan tersebut “diawasi” oleh ketentuan Pasal 86 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang menegaskan
bahwa Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan tipu muslihat,
rangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk memilih agama lain
bukan atas kemauannya sendiri, padahal diketahui atau patut diduga
bahwa anak tersebut belum berakal dan belum bertanggung jawab sesuai
Penegakan Hukum Atas Hak Beragama Bagi Anak _251

dengan agama yang dianutnya dipidana dengan pidana penjara paling


lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).

   Ketentuan lain dengan nafas yang sama dapat dibaca dalam Undang-
Undang  Nomor 23 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Lembaran
Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3886, di mana dalam Pasal 55 menegaskan sebagai
berikut:

“Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir, berekspresi


sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya di bawah bimbingan orang tua
dan atau wali.”

e. Uji Materiil ketentuan Pasal 86 UU Nomor 23 Tahun 2002

Ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak tersebut


pada tahun 2005 telah diajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi
dan telah memperoleh Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 018/
PUU-III/2005. Pemohon uji materiil memiliki kegiatan atau aktivitasnya
sering memberikan dan menyampaikan pelajaran agama, pendidikan
agama, bimbingan agama, penyuluhan agama dan pelayanan kepada
masyarakat umum yang berupa pelajaran dan / khotbah menurut
agamanya, kepada orang-orang yang sudah dewasa dan belum dewasa
atau anak-anak, yang dilakukan di gereja, tempat-tempat ibadah, balai
atau tempat pertemuan umum dan di tempat-tempat pendidikan.

Kegiatan menyampaikan pelajaran agama, pendidikan agama, atau


bentuk  bimbingan lainnya dilakukan, diberikan dan disampaikan atas
kehendak sendiri, baik mereka yang beragama Kristen dan non-Kristen,
maupun kepada mereka yang sudah dewasa dan belum dewasa atau
anak-anak. Pada dasarnya apa yang dilakukan merupakan hak dan/atau
kewenangan konstitusional Pemohon, dan juga merupakan kewajiban
asasi Pemohon menurut peraturan perundang-undangan di Negara
Republik Indonesia dan menurut agama yang dianut oleh Pemohon.
252_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

Bahwa Uji Materiil yang dimohonkan adalah khusus berhubung


dengan berlakunya ketentuan Pasal 86 Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, yang berbunyi;

“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan tipu muslihat, rangkaian


kebohongan, atau membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas
agamanya sendiri, padahal diketahui atau patut diduga bahwa anak tersebut
belum berakal dan belum bertanggung jawab sesuai dengan agama yang
dianutnya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/
atau denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah).”

Ketentuan yang diajukan untuk diuji materiil tersebut tesebut


sebagaimana telah dijelaskan dimuka adalah ketentuan yang merupakan
pengawasan pelaksanaan ketentuan Pasal 42 ayat (2).

Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin,
dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah dan negara. Salah satu hak anak adalah beribadat menurut
agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan
dan usianya dalam bimbingan orang, agar tujuan perlindungan anak
dapat tercapai, yaitu menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal demi
terwujudnya anak yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.

Ketentuan tersebut  dipandang pemohon  akan dapat memberikan


peluang serta mudah disalahgunakan untuk meniadakan, mengekang
ataupun mengurangi hak dan kebebasan berbicara pemohon atau
orang lain yang sama kegiatan atau aktivitasnya dengan pemohon,
para pendidik dan pengajar agama di dalam memberikan pendidikan,
pengajaran dan penerangan atau penyuluhan agama yang dilakukan
atau diselenggarakan di tempat-tempat ibadah dan di sekolah-sekolah
agama, dengan dalih bahwa perbuatan yang dilakukan itu adalah sebagai
perbuatan dengan sengaja menggunakan tipu muslihat, rangkaian
kebohongan, atau membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas
kemauannya sendiri. 
Penegakan Hukum Atas Hak Beragama Bagi Anak _253

Ketentuan Pasal 86 UU Nomor 23 tahun 2002 tersebut menurut


pemohon merugikan kiprahnya dalam memberikan dan menyampaikan
pelajaran agama, pendidikan agama, penyuluhan agama dan pelayanan
masyarakat yang berupa pelajaran dan khotbah menurut agamanya,
kepada orang-orang yang sudah dewasa dan belum dewasa atau
anak-anak, yang dilakukan di gereja, tempat ibadah, balai atau tempat
pertemuan umum dan di tempat-tempat pendidikan, hal itu bertentangan
dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional dan kewajiban asasi
pemohon yang diatur di dalam Undang Undang Dasar Negara RI Tahun
1945; Pasal 28A, Pasal 28B ayat (1) dan (2), Pasal 28C ayat (1) dan (2) Pasal
28E ayat (1), (2), dan (3). yang pokok-pokoknya sebagai berikut:

- Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan


hidup dan kehidupannya.

- Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan


melalui perkawinan yang sah.

- Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan


berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.

- Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan


kebutuhan dasarnya, mendapat pendidikan dan memperoleh
manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya,
demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat
manusia.

- Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan


haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan
negaranya.

- Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut


agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan,
memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara
dan meninggalkannya, serta berhak kembali.  
254_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

- Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,


menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

- Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan


mengeluarkan pendapat.

Alasan yang dikemukakan pemohon antara lain sebagai berikut:27 


Kegiatan atau akitivitasnya sering memberikan dan menyampaikan
pelajaran agama, pendidikan agama, bimbingan agama, penyuluhan
agama dan pelayanan masyarakat umum yang berupa pelajaran dan/
khotbah menurut agamanya, kepada orang-orang yang sudah dewasa
dan belum dewasa atau anak-anak.

Kegiatan yang dilakukan, diberikan dan disampaikan atas kehendak


sendiri, baik mereka yang beragama Kristen dan non Kristen, maupun
kepada mereka yang sudah dewasa dan belum dewasa atau anak-anak,
pada dasarnya merupakan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya,
dan juga merupakan kewajiban asasi menurut peraturan perundang-
undangan di Negara Republik Indonesia dan menurut agama yang
dianutnya.

Uji materiel yang dimohon khusus berhubung dengan berlakunya


ketentuan Pasal 86 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, di mana, dengan berlakunya Pasal 86 UU Nomor 23 Tahun 2002
tersebut, pemohon beranggapan bahwa hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya untuk melakukan kegiatan atau aktivitasnya telah
dirugikan, dengan alasan-alasan sebagai berikut:

1) Hak dan kewajiban konstitusionil di dalam melakukan kegiatan


dan aktivitas, memberikan dan menyampaikan pelajaran agama,
pendidikan agama, bimbingan agama, penyuluhan agama, dan
pelayanan masyarakat umum serta khotbah menurut agamanya,
kepada anak-anak Kristen dan anak-anak yang bukan Kristen
yang datang atas kemauannya sendiri atau orang tua maupun wali
mereka masing-masing, yang dilakukan ditempat-tempat ibadah,
pendidikan/pengajaran agama dan di dalam balai/tempat pertemuan
Penegakan Hukum Atas Hak Beragama Bagi Anak _255

yang terbuka untuk umum, dirugikan,  dan kegiatan tersebut dapat


dianggap telah melakukan ”tindak pidana”.

2) Bahwa ketentuan yang diatur dalam Pasal 86 Undang-Undang


Nomor 23 Tahun 2002, akan dan dapat memberikan peluang, serta
mudah disalahgunakan untuk meniadakan, mengekang ataupun
mengurangi hak dan kebebasan berbicara pemohon, orang lain
yang sama kegiatannya, para pendidik dan pengajar agama di
dalam memberikan pendidikan, pengajaran dan penerangan atau
penyuluhan agama yang dilakukan atau diselenggarakan di tempat-
tempat ibadah dan di sekolah-sekolah agama, dengan dalih bahwa
perbuatan yang dilakukan itu adalah sebagai perbuatan: ”dengan
sengaja menggunakan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau
membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauannya
sendiri ... .”

3) Ketentuan yang diatur dalam Pasal 86 UU Nomor 23 Tahun 2002,


bertentangan dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional dan
kewajiban asasi yang diatur di dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu;

a) Bahwa Pasal 28 ayat (3) UUD 1945 menetapkan dan mengatur;


Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
undang-undang. Namun, ketentuan pada Pasal 86 Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2002 itu potensial untuk mengurangi
dan mengekang kemerdekaan pemohon dan orang-orang lain
yang bersama dengan pemohon untuk berserikat dan berkumpul
mengeluarkan pikiran dengan lisan perihal agama Kristen yang
dilakukan di tempat ibadah, di tempat pertemuan umum dan di
tempat-tempat pendidikan;

b) Bahwa Pasal 28E ayat (1) UUD 1945, mengatur; Setiap orang
bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
256_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan


meninggalkannya, serta berhak kembali.” 

c) Bahwa Pasal 28E ayat (2) UUD 1945, mengatur; Setiap orang berhak
atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan
sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” Namun demikian, ketentuan
yang diatur pada Pasal 86 Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002 berpotensi untuk mengurangi dan mengekang kebebasan
dan kemerdekaan seorang anak untuk memilih pendidikan dan
pengajaran agama yang dikehendakinya, oleh karena harus
mengikuti dan menganut agama orang tuanya atau wali mereka.

4) Bahwa akibat hukum dari peraturan perudang-undangan tersebut,


ialah seseorang yang memberikan pendidikan dan pengajaran agama
tertentu kepada anak yang menganut agama orang tua atau wali
mereka, menyebabkan orang yang memberikan pendidikan dan
pengajaran agama tertentu bukan agama orang tua atau wali dari
si anak, dapat dituduh dan dipidana telah melakukan perbuatan
sebagaimana diatur dalam Pasal 86 Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002 ;

5) Dengan alasan tersebut di atas, maka ketentuan yang diatur pada Pasal
86 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tersebut tidak mempunyai
kekuatan hukum yang berlaku mengikat; Berdasarkan pada alasan-
alasan tersebut di atas, Pemohon mohon kepada Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia berkenan menerima permohonannya,
dan  berkenan memberikan putusan hukum sebagai berikut:

a) Menerima  dan mengabulkan Permohonan Uji Materiil atas Pasal


86 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, yang dimohon beserta seluruh alasan-alasannya ;

b) Menyatakan bahwa materi muatan Pasal 86 Undang-undang


Nomor 23 Tahun 2002 dan/atau bagian dari undang-undang
dimaksud, adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Penegakan Hukum Atas Hak Beragama Bagi Anak _257

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terutama dalam Pasal 28


dan 28E ayat (1) dan (2) ; dan menyatakan bahwa materi muatan
Pasal 86 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 dan/atau bagian
dari undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat ;

Majlis hakim berpendapat bahwa pemohon dapat dikualifikasikan


sebagai pemohon perorangan warga negara Indonesia, memiliki
hak konstitusional. Hak konstitusional yang dimiliki oleh pemohon
tidak ada hubungan sebab akibat dengan ketentuan Pasal 86 Undang
Undang Perlindungan Anak. Pasal 86 sama sekali tidak mengurangi hak
konstitusional pemohon sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E ayat (1)
dan ayat (2) UUD Tahun 1945. Justru sebaliknya, ketentuan sebagaimana 
yang termuat dalam Pasal 86 Undang-Undang Perlindungan Anak
tersebut merupakan penegasan bahwa negara bertanggung jawab
dari kemungkinan tipu muslihat, kebohongan, atau bujukan yang
menyebabkan anak tersebut memilih agama tertentu bukan atas
kesadarannya sendiri.

Mengingat pemohon tidak memiliki legal standing untuk mengajukan


permohonan, maka diputuskan permohonannya dinyatakan tidak
dapat diterima (niet onvankelijk verklaard). Putusan ini diputuskan dalam
rapat permusyawaratan hakim yang dihadiri oleh 9 (sembilan) hakim
konstitusi pada hari senin tanggal 16 Januari 2006 dan diucapkan dalam
sidang pleno Mahkmah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada hari
Selasa, 17 Januari 2006.28

Dengan Keputusan Mahkamah Konstitiusi tersebut, menegaskan


kembali bahwa ketentuan dalam undang-undang tersebut konstitusional
dan berlaku, dapat ditafsirkan sesuai dengan kehendak rakyat  dan
cita-cita demokrasi yakni kebebasan dan persamaan (keadilan). Dan
perlunya menerapkan undang-undang dengan mengadili pelanggaran
undang-undang, pelanggaran hukum dan dengan melaksanakan hukum
berdasarkan undang-undang itu memperkokoh  fungsi negara. Bahkan
258_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

dengan melihat  penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003,


Keputusan Mahkamah Konstitiusi tersebut,  bila dikaitkan dengan sifat
final, dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah
tetutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum, tatkala
putusan tersebut diucapkan dalam sidang  pleno, maka ketika itu lahir
kekuatan mengikat (verbindende kracht).29

f. Kasus Terkait

Permohonan uji materil tersebut terkait dengan kasus hukum yang


terjadi dan kemudian diperiksa di Pengadilan Negeri Indramayu.30  
Kasus dimaksud adalah peristiwa hukum melanggar ketentuan Pasal 86 
yang tercantum dalam Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) Undang Undang
Dasar Negara RI Tahun 1945.

Ketentuan Pasal 86 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tersebut


berbunyi;

“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan tipu muslihat, rangkaian


kebohongan, atau membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas
agamanya sendiri, padahal diketahui atau patut diduga bahwa anak tersebut
belum berakal dan belum bertanggung jawab sesuai dengan agama yang
dianutnya, dipidana ….”,

Peristiwa hukum dimaksud terjadi dan diperiksa di Pengadilan Negeri


Indramayu,31  kiranya dapat dijadikan sebagai suatu yurisprudensi,
perilaku kongkrit memenuhi ketetuan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 Pasal 86.

Ketentuan  Pasal 86 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002  tersebut


dapat dirinci memiliki beberapa unsur, sebagai berikut:

a. setiap orang

b. dengan sengaja menggunakan tipu muslihat, rangkaian


kebohongan, atau membujuk anak untuk memilih agama lain
bukan atas agamanya sendiri,
Penegakan Hukum Atas Hak Beragama Bagi Anak _259

c. diketahui atau patut diduga bahwa anak tersebut belum berakal


dan belum bertanggung jawab sesuai dengan agama yang
dianutnya,

d. dipidana ….”,

Dalam kasus  terdapat, unsur-unsur sebagaimana diuraikan di atas,


Majelis Hakim mencatat dan mempertimbangkan  sebagai berikut:

Unsur 1.

Setiap Orang; Yang dimaksud dengan setiap orang dalam undang-


undang adalah subyek hukum baik perorangan atau bersama-
sama (koorporasi) yang melakukan perbuatan pidana dan mampu
mempertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukannya;

Pada sekitar bulan September 2003 terdakwa telah membuka kegiatan


Minggu Ceria yang ditujukan untuk anak-anak yang beragama Kristen
saja, namun pelaksanaannya para terdakwa mengajak anak-anak yang
non Kristen untuk mengikutinya dan terdakwa tidak melarangnya.

Unsur 2.

Sengaja mengunakan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau


membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauan sendiri.
Mengenai apa yang dimaksud  membujuk;

a) Yang dimaksud membujuk adalah melakukan pengaruh dengan


kelicikan terhadap orang, sehingga orang tersebut menurutinya
berbuat sesuatu yang apabila mengetahuinya masalah sebenarnya
ia tidak akan berbuat begitu (dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP), R. Susilo).

b) membujuk berasal dari kata ”bujuk” yang berarti usaha untuk


mengelabui dengan tujuan menyakinkan apa yang disampaikannya
(Kamus lengkap Bahasa Indonesia karangan  Drs. Bambang
Marhinyanto, penerbit Terbit Terang Surabaya).
260_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

c) Berdasarkan fakta-fakta dari keterangan para saksi dan para


terdakwa :

d) benar, para terdakwa telah membuka kegiatan Minggu ceria


di rumahnya terdakwa dan kegiatan tersebut bertujuan untuk
memberikan nilai raport bagi anak-anak yang beragama Kristen,
dan kegiatan tersebut juga untuk anak-anak Kristen saja.

e) semula kegiatan tersebut diikuti anak-anak Kristen namun sebulan


kemudian terdakwa mengajak anak-anak yang beragama Islam.

f) dalam Minggu Ceria ini juga diajarkan matematika dan pelajaran


sekolah lainnya, namun dalam kenyataannya diajarkan pula berdoa 
secara Kristen, benyanyi lagu-lagu Kristen, mewarnai gambar
tokoh-tokoh Kristen dan bercerita tentang tokoh-tokoh Kristen,
dan selain diajarkan hal tersebut pada setiap kegiatan Minggu
ceria di beri makanan kecil dan minuman serta diajak jalan-jalan
ke kolam renang, ke Taman Mini Indonesia Indah, dan diberikan
Al Kitab (Injil) dan diajak pula pada acara natalan dan kebaktian
di Gereja.

g) bahwa anak tersebut sudah pandai menyanyi lagu-lagu rohani


Kristen dan berdoa secara Kristen.

h) bahwa sekarang anak-anak tersebut sudah di Islam-kan lagi.

Menurut Drs. Abdul Wahid Syahuri, MM, saksi ahli dari Dep. Agama
Kabupaten Indramayu, menyatakan bahwa anak-anak muslim yang
diajak mengikuti acara Minggu Ceria dan sudah bisa bernyanyi lagu-
lagu Kristen berdoa secara Kristen adalah sudah murtad. Dan menurut
John Nainggolan M.Th. saksi a de charge, menyatakan sebenarnya
kegiatan Minggu ceria tersebut hanya untuk anak-anak yang beragama
Kristen saja, dan bagi anak-anak yang beragama Islam dilarang untuk
mengikutinya.

Dengan tindakan para terdakwa pada kegiatan Minggu Ceria


mengajarkan menyanyi lagu Kristen, mewarnai gambar tokoh-tokoh
Penegakan Hukum Atas Hak Beragama Bagi Anak _261

Kristen, berdoa secara Kristen dan (kepada saksi Yusliyah) di beri Al


Kitab (Injil) serta diajak acara kebaktian di gereja, kepada anak yang
beragama Islam, diajak jalan-jalan ke kolam renang dan ke Taman Mini
yang akhirnya anak-anak tersebut pandai bernyanyi lagu-lagu Kristen
dan berdoa secara Kristen. Tindakan para terdakwa tersebut sudah
dikategorikan membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas
kemauannya sendiri, ini dimaksud bahwa unsur tersebut telah terbukti
menurut hukum.

Unsur 3.

Diketahuinya atau patut diduga bahwa anak tersebut belum berakal


atau belum bertanggung jawab sesuai dengan agama yang dianutnya.
Dan anak-anak tersebut masih berumur 11 sampai dengan 13 tahun dan
masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD).

Dilihat dari usia anak tersebut masih di bawah umur, belum


dewasa, masih belum dapat melakukan perbuatan hukum, belum bisa
menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, segala sesuatu masih
tergantung pada orang tuanya atau walinya, oleh karena itu patut diduga
bahwa anak tersebut belum berakal dan belum bertanggungjawab sesuai
dengan agama yang dianutnya telah terbukti.

Unsur 4.

Yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta


melakukan. Bahwa untuk dapat membuktikan unsur tersebut telah
dilihat fakta yang terungkap;

- benar pada bulan September tahun 2003 mereka terdakwa


bersepakat untuk membuka kegiatan Minggu Ceria di rumah
terdakwa I, di Kabupaten Indramayu.

- dalam kegiatan Minggu Ceria tersebut terdakwa I sebagai pengajar,


terdakwa II sebagai koordinator dan merangkap sebagai pengajar,
sedangkan terdakwa III  sebagai penanggungjawab kegiatan
Minggu Ceria dan juga kadang-kadang mengajar Al Kitab.
262_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

- semula kegiatan diikuti anak-anak beragama Kristen, kerena


memang kegiatan tersebut diperuntukan untuk anak-anak yang
beragama Kristen saja, namun kemudian anak-anak yang beragama
Islam yang mengikuti kegiatan tersebut, sementara, terdakwa I dan
terdakwa II sudah mengetahui kalau anak tersebut beragama Islam
tapi mereka terdakwa tidak melarangnya malahan telah diajarkan
doa Kristen, nyanyian lagu-lagu rohani Kristen, diajak kebaktian
di Subang, diundang talan dan diajak ke Taman Mini, diberikan
buku dan alat tulis yang bergambar salib, kaos dan makanan serta
minuman, dan diberi Al Kitab.

- Terdakwa I dan tedakwa II sudah melaporkan kejadian tersebut ke


terdakwa III namun terdakwa III tetap diam dan membiarkannya,
padahal terdakwa III tahu kalau sebenarnya kegiatan tersebut
bukan untuk anak-anak yang beragama Islam.

- melihat fakta tersebut terbukti ada kerjasama saling berhubungan


dan saling mendukung sesuai dengan tugas masing-masing.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, unsur - yang melakukan dan
yang turut serta melakukan- telah terbukti.

- Dengan demikian keseluruhan unsur dari pasal 86 UU  Nomor 23


Tahun 2002 jo. Pasal 55 ayat (1) ke KUHP telah dapat dibuktikan,
dan tidak diketemukan adanya alasan pembenar dan pemaaf
yang dapat menghapus kesalahan terdakwa, oleh karena itu para
terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, para


terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana, menyatakan terdakwa (I, terdakwa II, dan terdakwa III),
telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana  ‘secara bersama-sama membujuk anak untuk memilih agama lain bukan
atas kemauan sendiri, diketahui dan patut diduga anak tersebut belum berakal
dan belum bertanggungjawab sesuai dengan agama yang dianutnya’.32
Penegakan Hukum Atas Hak Beragama Bagi Anak _263

Perkara di Tingkat Banding

Perkara tersebut diajukan banding pada Pengadilan Tinggi Bandung,


yang kemudian memeriksa pada tingkat Banding dalam register perkara
Nomor 241/Pid/2005/PT.Bdg, di mana dalam putusannya menyatakan:33

- Majelis Hakim Pengadilan Tinggi meneliti, mempelajari dengan


seksama surat-surat pemeriksaan perkara, berita acara dan salinan
resmi putusan Pengadilan Negeri Indramayu No. 181/Pid.B/2005/
PN.Im, ditinjau dalam hubungannya satu dengan yang lain,
maka membenarkan dan menyetujui pendirian Hakim Tingkat
Pertama, yang di dalam putusannya, telah dengan tepat dan
benar menyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa
terdakwa bersalah melakukan tindak pidana ”Secara bersama-
sama membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas
kemauannya sendiri, diketahui dan patut diduga anak tersebut
belum berakal dan bertanggung jawab sesuai dengan agama yang
dianutnya.” sehingga putusan tersebut dapat disetujui dan diambil
alih serta dijadikan sebagai pertimbangan hukumnya sendiri di
dalam memeriksa dan mengadili perkara ini.

- Bahwa berdasarkan akan pertimbangan-pertimbangan hukum


tersebut di atas, maka putusan Pengadilan Negeri Indramayu
tertanggal 1 September 2005, No. 181/Pid.B/2005/PN.Im,
dikuatkan.34

Perkara di Tingkat Kasasi

Kasus hukum pada Pengadilan Negeri Indramayu No. 181/Pid.B/2005/


PN.Im, Perkara Nomor 241/Pid/2005/PT.Bdg., diajukan ke tingkat Kasasi
dengan akta permohonan Kasasi No  05/Akta.Pid/2005/PN.Im tanggal
28 Nopember 2005, dengan register Mahkamah Agung Nomor  2275 K/
Pid/2005.

Alasan-alasan yang diajukan  pada pokoknya adalah sebagai berikut:35


Bahwa Judex Facti telah keliru dan salah menerapkan hukum
264_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

karena tekanan dari intimidasi dari kelompok organisasi massa dalam


persidangan, maka suasana persidangan tidak kondusif sehingga para
Pemohon tidak mampu mengungkapkan secara jelas dan terang dimuka
persidangan tentang dasar, maksud dan tujuan aktifitas yang dilakukan
oleh karena itu objektifitas perkara yang terungkap di persidangan
sangat diragukan, lagi pula dalam pertimbangan hukumnya menyatakan
para Pemohon melakukan bujukan kepada anak-anak atau lingkungan
sekitar untuk pindah agama (Kristenisasi), padahal para Pemohon
Kasasi merasa prihatin dan sedih melihat masyarakat lingkungan sekitar
yang hidup di bawah garis kemiskinan dan tekanan ekonomi yang
berat, anak-anak yang tidak terurus sehingga menimbulkan kepedulian
terhadap sesama manusia tanpa memandang latar belakang, ras dan
agama dengan melakukan pengobatan secara gratis, mengajar membaca
anak-anak dan lain-lain tanpa memiliki maksud atau tujuan Kristenisasi
kepada masyarakat.

Bahwa Judex Facti telah keliru dan salah menerapkan hukum karena
dalam situasi dan kondisi di bawah tekanan, ancaman dan intimidasi
dari kelompok organisasi massa yang banyak jumlahnya, (suasana tidak
kondusif), maka seharusnya dalam memutus perkara tetap menjunjung
tinggi kebenaran dan keadilan serta mempertimbangkan dampak
psikologis, traumatis para Pemohon Kasasi pada saat persidangan
sehingga putusan memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak;

Atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat, alasan-


alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena Judex Facti tidak salah
menerapkan hukum. Selanjutnya, berdasarkan pertimbangan di atas,
putusan Judex Facti tidak bertentangan dengan hukum dan/atau Undang-
undang, maka permohonan kasasi tersebut harus ditolak, selanjutnya
mengadili dan menyatakan; menolak permohonan kasasi.36 Dengan
keputusan itu menguatkan putusan Pengadilan Negeri Indramayu
Nomor 181/Pid.B/2005/PN.Im.

Dengan kasus hukum tersebut, maka Undang-Undang Nomor 23


Tahun  2002 Tentang Perlindungan Anak, khususnya terkait hak beragama
Penegakan Hukum Atas Hak Beragama Bagi Anak _265

bagi anak telah diperjelas secara kongkrit  arah konsepsi pengaturan dan
operasionalnya di masyarakat. Dengan peristiwa hukum yang terjadi di
Indramayu, kemudian diperiksa di pengadilan tingkat pertama, tingkat
banding, bahkan sampai tingkat kasasi, serta telah diajukan uji materiil di
Mahkamah Konstitsi, maka menjadi terang, jelas dan kokoh regulasinya.

Analisa Permasalahan Kasus

Apabila kita melihat konsepsi perlindungan anak, di mana pihak


terdakwa, atau orang dewasa yang berkewajiban memberikan
perlindungan kepada anak-anak, menyatakan merasa prihatin dan
sedih melihat masyarakat lingkungan sekitar yang hidup di bawah garis
kemiskinan dan tekanan ekonomi yang berat, anak-anak yang tidak
terurus sehingga menimbulkan kepedulian terhadap sesama manusia
tanpa memandang latar belakang, ras dan agama dengan melakukan
pengobatan secara gratis, mengajar membaca anak-anak dan lain-lain,
tanpa memiliki maksud atau tujuan Kristenisasi kepada masyarakat,
maka menunjukkan bahwa permasalahannya kurang atau tidak 
dipahaminya konsep perlindungan anak, khususnya pada aspek;

- Kesatu; arti perlindungan anak secara tepat, sehingga sikap


dan tindakannya menjadi tidak  tepat, demikian pula analisa
permasalahannya. Secara teori apabila dimiliki pengertian yang
tepat akan dapat membuat kebijaksanaan  yang lebih baik dan
dapat dilaksankan.

- Kedua; pengertian manusia, pengertian keadilan, dan juga hasil


interaksi. Kelemahan pemahaman yang diperlukan berdampak
tidak tepat memahami obyek dan subyek dalam perlindungan
anak, yang sama-sama mempunyai hak dan kewajiban.
Seharusnya dalam perlindngan anak akan menciptakan, bahwa
kebahagian yang dilindungi adalah kebahagiaan yang melindungi.
Ketidakpahaman konsepsi ini menjadikan pelaksanaan
perlindungan tidak memberikan kebahagiaan pada satu pihak,
atau bahkan pada pihak-pihak lainnya.
266_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

Peristiwa hukum sebagaimana telah diuraikan, kiranya dapat menjadi


tanda bahwa Indonesia telah melaksanakan isi perjanjian internasional
itu secara yuridis dan secara politis. Penegakan hukum atas peristiwa
hukum tersebut juga membuktikan Indonesia melaksanakan hak-hak
yang berhubungan dengan hak anak, yang berarti juga melaksanakan
hak asasi manusia.

Selanjutnya menjadi tugas warga masyarakat untuk secara


berkelanjutan memelihara ketentuan tersebut dengan memberikam
pelayanan perlindungan hukum atas hak beragama bagi anak-anak.
Diharapkan masyarakat memiliki pemahaman demikian, sehingga
semua pihak dapat menjaga norma hukum agar menjadi hidup dan
masyarakat memiliki daya mengawasi pelaksanannya.

Dari pembahasan di atas, menjadi jelas bahwa anak harus dilindungi,


dipelihara dan dijaga dengan sebaik-baiknya, karena dalam diri anak
tersebut melekat harkat, martabat, dan hak-hak lain sebagai manusia yang
harus dijunjung tinggi. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara,
anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa,
sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang, ikut berpartisipasi, serta berhak atas kebebasan bergerak
dan berekspresi serta perlindungan dari tindak kekerasan dan perlakuan
diskriminatif.

Orang tua, keluarga dan masyarakat ikut bertanggung jawab untuk


menjaga dan memelihara hak-hak anak sesuai dengan hak dan kewajiban
yang dibebankan oleh hukum, demikian pula negara dan pemerintah,
utamanya dalam menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak itu
sendiri, juga bertanggung jawab dalam menjamin pertumbuhan dan
perkembangan anak secara terarah dan optimal. Perlindungan dan
tanggung jawab tersebut secara terus menerus demi terselenggaranya
perlindungan anak. Bahwa setiap anak mendapat perlindungan untuk
beribadah menurut agamanya, dan sebelum anak dapat menentukan
pilihannya, agama yang dipeluk anak mengikuti agama orang tuanya.
Kegiatan yang bersifat tipu muslihat atau bentuk sejenis lainnya untuk
Penegakan Hukum Atas Hak Beragama Bagi Anak _267

maksud anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauan sendiri,
dapat dikategorikan membujuk anak untuk memilih agama bukan atas
kemauannya sendiri.

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak dalam


Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tertanggal 25 Agustus
1990, dengan demikian dituntut untuk memenuhi hak-hak anak
dan mengembangkannya yang berarti memenuhi hak asasi manusia
untuk anak. Dan dalam melakukan perlindungan anak, terhadap
kebebasan memeluk agama dan beribadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya, perlu peran aktif dari orang tua dan masyarakat pada
umumnya, baik melalui lembaga-lembaga perlindungan anak, lembaga
swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial,
dunia usaha, media massa, lembaga pendidikan formal/informal dan
lembaga-lembaga keagamaan.

Perlu dipahamkan, prinsip dan operasional di masyarakat bahwa


setiap orang bebas memeluk agama yang diyakini dan beribadat
menurut agama dan kepercayaannya masing-masing, dan kemerdekaan
beragama bagi setiap penduduk adalah merupakan perwujudan hak
asasi yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun.

Untuk menjamin perlindungan anak, agama yang dipeluk anak


sesuai dengan agama orang tuanya. Seseorang yang dengan sengaja
membujuk anak untuk memilih agama bukan atas kemauannya
sendiri, maka perbuatan tersebut diancam dengan pidana. Ketentuan
tersebut, hakekatnya memberikan perlindungan maksimal terhadap
anak yang belum dewasa dari tindakan-tindakan pihak lain yang
tidak bertanggung jawab. Perlu sosialisasi agar setiap warga
masyarakat memahami konsepsi hukum perlindungan anak, dan
memiliki kemampuan menilai operasional pelaksanaannya sehingga
mengetahui mana perbuatan yang patut diduga sengaja melakukan
tipu muslihat, dengan rangkaian kebohongan atau membujuk
anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauannya sendiri.
268_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

Penutup

a. Kesimpulan

1. Setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut


agamanya,  anak dapat menentukan agama pilihannya apabila telah
berakal, bertanggung jawab serta memenuhi syarat dan tata cara
sesuai dengan ketentuan agama yang dipilihnya, sebelum anak dapat
menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak mengikuti agama
orang tuanya.

2. Kegiatan yang bersifat tipu muslihat atau bentuk sejenis lainnya


untuk maksud anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauan
sendiri, dapat dikategorikan membujuk anak untuk memilih agama
bukan atas kemauannya sendiri.

b. Saran

1. Dalam rangka perlindungan anak terhadap kebebasan memeluk


agama dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya,
perlu membangun kesadaran peran dari orang tua, masyarakat
pada umumnya, baik melalui lembaga-lembaga perlindungan anak,
lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, lembaga
pendidikan formal/informal dan lembaga-lembaga keagamaan.

2. Perlu sosialisasi agar setiap warga masyarakat memahami konsepsi


hukum perlindungan anak, dan memiliki kemampuan menilai
operasional pelaksanaannya sehingga mengetahui mana perbuatan
yang patut diduga sengaja melakukan tipu muslihat untuk memilih
agama lain bukan atas kemauannya sendiri, demikian untuk
menjamin dan melindungi anak agar nantinya dapat hidup, tumbuh,
berkembang dan berpartisipasi secara optimal.
 
Penegakan Hukum Atas Hak Beragama Bagi Anak _269

Daftar Pustaka

Al Qur’anul Karim

Undang-undang dan Putusan


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1974 Tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Anak;
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1977 Tentang
Pengadilan Anak ;
Undang Undang Republk Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang
Kesejahteraan Anak;
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manusia;
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak
Universal Declaration of Human Rights; Deklarasi Hak-hak Anak, dan
Konvensi Hak-Hak Anak disetujui Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 November 1989.
Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil Dan Politik Ditetapkan oleh
Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) Tertanggal 16 Desember 1966.
Putusan Pengadilan: (1) Putusan Pengadilan Negeri Indramayu Nomor
: 181/PID.B/2005/PN.IM.; (2) Putusan Pengadilan Tinggi Bandung
Reg.No.241/PID/2005/PT.BDG; (3)Putusan Mahkamah Agung
Nomor : 2275 K/PID/2005, dan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 018/PUU-III/2005.
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Naskah
Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945, latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan
1999-2002, Buku VIII, Edisi Revisi, tahun 2010.
Pokja Pengkajian dan Pengembangan Komisi Perlindungan Anak
Indonesia, Penyusun, Buku Pedoman Pengkajian dan
Pengembangan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Desember
2005.
270_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

Buku
Dellyana, Shanty, ”Wanita dan Anak Di Mata Hukum” Yogyakarta:
Liberty, 1998 Cet-I.
Gosita, Arif, ”Masalah Perlindungan Anak”, Jakarta, Akademika
Pressindo, 1985, Edisi Pertama.
Kusumah, Mulyana. W. (Peny.) ”Hukum dan Hak-hak Anak”, Jakarta:
CV Rajawali, , 1986, Cet-I.
Soefyanto, ”Perlindungan Anak”, Jakarta: Universitas Islam Jakarta,
2008, Cet-I.
Suparmin, Mamin, Makna Psikologis Perkembangan Peserta Didik,
Sumber Jurnal Ilmiah SPIRIT. ISSN : 1411-8319 Vol. 10. No. 2. Tahun
2010, dari sumber online, ejournal.utp.ac.id, diunduh-5/1/2013.
Susilowati, Ima, dkk., Pengertian Konvensi Hak Anak, UNICEF, dicetak
ulang oleh Deputi Bidang Pelindungan Anak, Kementerian Negara
Pemberdayaan Perempuan, 2007

 
Penegakan Hukum Atas Hak Beragama Bagi Anak _271

Endnotes

1. Pengertian  pelindungan anak  tersebut sebagaimana didefinisikan dalam UU No-


mor 23 Tahun 2002, Pasal 1 angka 2.
2. Sumber online=<http://bersukacitalah.wordpress.com>= dari “Bogdan & Biklen,
1982” artikel Tahapan Analisis Data Penelitian Kualitatif, diunduh (8-9-2012)
3. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehen-
sif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, la-
tar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan 1999-2002, Buku VIII, Edisi Revisi,
tahun 2010. Kutipan Pidato Ir Soekarno, dikutip sebagaiannya terkait. h. 89
4. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehen-
sif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, la-
tar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan 1999-2002, Buku VIII, Edisi Revisi,
tahun 2010. h. 357
5. Ketentuan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.
6. Ketentuan Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2).
7. Pengertian Konvensi Hak Anak, Unicef, dicetak  ulang oleh Deputi Bidang
Pelindungan Anak, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, tahun
2007, H. 2.
8. Ima Susilowati, dkk., Penyusun, Pengertian Konvensi Hak Anak, Unicef, dicetak
ulang oleh Deputi Bidang Pelindungan Anak, Kementerian Negara Pember-
dayaan Perempuan, tahun 2007, H. 5
9. Dalam Penjelasan pasal dijelaskan, asas perlindungan anak di sini sesuai
dengan prinsip‑prinsip pokok yang terkandung dalam Konvensi Hak‑Hak
Anak. Yang dimaksud dengan asas kepentingan yang terbaik bagi anak ada-
lah bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan
oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka
kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.
10. Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil Dan Politik Ditetapkan oleh Resolusi
Majelis Umum 2200 A (XXI) Tertanggal 16 Desember 1966, Pasal 18 angka 4.
11. Hak dan Kewajiban Anak secara rinci disebutkan dalam  Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak , Bab III, Pasal 4 sampai
dengan Pasal  18.
12. Sejumlah hak-hak anak lainnya yang dirumuskan dalam undang-undang
dapat diloihat pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Per-
lindungan Anak
272_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

13. Demikian dijelaskan  dalam penjelasan umum  Undang-Undang Nomor 23


Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
14. Arif Gosita, ”Masalah Perlindungan Anak”, Jakarta, Penerbit Akademika Pres-
indo, th 1985, Edisi Pertama, h. 11
15. Aruf Gosita, ”Masalah Perlindungan Anak”, h. 11-18, demikian pula, Shanty
Dellyana, Wanita dan Anak Di mata Hukum, Libarty, Yogyakarta, 1988,
Hkm 14-17, juga Soefyanto, dalam “Perlindungan Anak”, Jakarta, Penerbit
Universitas Islam, 2008. Cet. I, h. 26 – 27.
16. Demikian Anik Fidiyanti mengutip pendapat Drs. Soetomo, dalam artikel,
Pengertian Interaksi, sumber, http://id.shvoong.com, diunduh-5/1/2013.
17. Haryanto, “Pengertian  Interaksi Sosial”, Sumber, http://belajarpsikologi.com,
diunduh- 5/1/2013.
18. Haryanto, “Pengertian  Interaksi Sosial”, Sumber, http://belajarpsikolo-
gi.com, diunduh- 5/1/2013.
19. Diolah dari Pengertian Interaksi Sosia,menurut Herbert Blumer, se-
bagaimana dikutip dari sumber blog.umy.ac.id, diunduh- 5/1/2013.
Interelasi  berasal dari bahasa Inggris “interrelation” yang berarti
”mutual relation” atau saling berhubungan satu sama lainnya Li-
hat. AS. Hornby, Oxford Edvanced Dictionary English (London: Oxford
University Press, 2000), h. 447.
20. fenomena dari bahasa Yunani  phainomenon, “apa yang
terlihat”,dalam bahasa indonesia bisa berarti gejala, misalkan geja-
la alam, hal-hal yang dirasakan dengan pancaindra.Sumber http://
id.wikipedia.org, diuduh 5/1/2013.
21. Mamin Suparmin, “Makna Psikologis Perkembangan Peserta Didik”, Ju-
rnal Ilmiah SPIRIT. Vol. 10. No. 2. Tahun 2010, dan online,  ejournal.
utp.ac.id, diunduh-5/1/2013.
22. Mamin Suparmin, “Makna Psikologis Perkembangan Peserta Didik”….
Terjemah bebas; Pembangunan adalah patterrn perubahan yang
dimulai pada saat pembuahan dan berlanjut melalui rentang hidup.
Pengembangan yang paling melibatkan pertumbuhan, walaupun
itu termasuk kerusakan (seperti dalam kematian dan clying). Pola
gerakan kompleks karena merupakan produk dari beberapa proses-
biologis, kognitif, dan sosioemosional. “
23. Kematangan dalam bahasa Inggris disebut dengan maturation,
sering dilawankan dengan immaturation yang artinya tidak matang.
Penegakan Hukum Atas Hak Beragama Bagi Anak _273

24. Pengertian  pelindungan khusus tersebut sebagaimana didefinisikan


dalam UU Nomor 23 Tahun 2002, Pasal 1 angka 15.
25. Gunawan Sumodiningrat, Ibnu Purna, (Penyunting), “Landasan Hu-
kum dan Rencana Aksi Nasional HAM”. Dari Deputi Sekretaris Wakil
Presiden, Bidang Kewilayahan, Kebangsaan dan  Kemanusiaan, ta-
hun 2008, h. 13
26. Di simpulkan dari data dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi  No-
mor Nomor 018/PUU-III/2005
27. Lihat Keputusan Mahkamah Konstitusi  Nomor Nomor 018/PUU-
III/2005Malik, “Telaah makna Hukum Putusan MK yang Final dan
Mengikat”, Jurnal Konstitusi, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepa-
niteraan Mahkamah Konstitusi, 2009, Volume 6 Nomor 1 h. 82.
28. Perkara pidana Nomor 181/Pid.B/2005/PN.Indramayu, dengan ter-
dakwa I EP., terdakwa II. RMB, dan terdakwa III. RLZ.,
29. Perkara pidana Nomor 181/Pid.B/2005/PN.Indramayu, dengan ter-
dakwa I EP., terdakwa II. RMB, dan terdakwa III. RLZ.,
30. Disarikan dari Bunyi putusan perkara pidana Nomor 181/Pid.B/2005/
PN.Indramayu.
31. Disarikan dari Putusan Pengadilan  Tingkat Banding, Pengadi-
lan Tinggi Bandung dalam register perkara Nomor 241/Pid/2005/
PT.Bandung
32. Lihat Putusan banding perkara Nomor 241/Pid/2005/PT.Bdg  pada
Pengadilan Tinggi Bandung.
33. Lihat Putusan banding perkara Nomor 241/Pid/2005/PT.Bdg  pada
Pengadilan Tinggi Bandung.
34. Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor  2275 K/Pid/2005
Keeping Family Integrity:
Understanding is the Key to Happiness

Mempertahankan Keutuhan Keluarga:


Saling Pengertian adalah Kunci Kebahagiaan

Abdul Azis
Majelis Taklim Raudlatul Ummah, Dukuh Seti, Kab. Pati.
email : aazis99@yahoo.com

Abstract : Marriage is a sacred bond that should be kept with mutual understanding among
couple and solve the problems in family life. Make sure that every problems must be
solved without sacrificing other. Trowaway individual egoism and solve the problems
for the happiness together.

Abstraksi : Pernikahan adalah ikatan suci yang harus dijaga dengan penuh saling pengertian
sesama pasangannya dan selesaikan permasalahan yang telah terjadi demi keutuhan
keluarga. Yakinlah semua masalah pasti ada petunjuk dan jalan keluarnya tanpa harus
mengorbankan orang lain. Lupakan egoisme masing-masing dan lakukan langkah
demi langkah menyelesaikan persoalan demi kebahagian bersama.
Keywords : Marriage, People, Happiness.
Mempertahankan Keutuhan Keluarga _275

A. Pendahuluan
Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbanyak di dunia
yang berbhineka tunggal ika dengan artian beragam kelompok dan
golongan islam dan tetap satu kata yaitu muslim. Pernikahan umat
muslim yang terjadi setiap tahunnya terus meningkat, semisal tahun
2012 kurang lebih 2.000.000 terjadi pernikahan yang tecatat di kantor
urusan agama seluruh Indonesia.

Demikian pula angka perceraian yang terus meningkat dengan


asumsi peningkatan 8-10% setiap tahunnya hampir sebanding kenaikan
jumlah pernikahan dan jumlah penduduk di Indonesia. Sedangkan
pada tahun 2009 perceraian mencapai 250.000. Tampak terjadi kenaikan
dibanding tahun 2008 yang berada dalam kisaran 180.000, tahun 2007
sekitar 157.771, tahun 2005 dan 2006 sekitar 145.000.

Menurut data Ditjen Badilag MA (direktorat jenderal badan peradilan


agama mahkamah agung) 2010, jumlah perkara peceraian secara nasional
pada 2010 mencapai 314.354 tingkat pertama. Dengan Bidang perkara
yang berakhir cerai mencapai 284.379 dengan jumlah tersebut cerai
gugat mendominasi mencapai 190.280 Angka tersebut lebih menonjol
dibanding cerai talak yang mencapai 94.009. Kasus tersebut dibagi
menjadi beberapa aspek yang menjadi pemicu munculnya perceraian.
Misalnya, ada 10.029 kasus perceraian yang dipicu masalah cemburu.
Kemudian, ada 67.891 kasus perceraian dipicu masalah ekonomi.
Sedangkan perceraian karena masalah ketidakharmonisan dalam rumah
tangga mencapai 91.841 perkara. Pemicu masalah politik tercatat ada 334
kasus perkara.

Berdasarkan temuan Mark Cammack, guru besar dari Southwestern


School of Law-Los Angeles, USA. pada tahun 1950-an angka perceraian
di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, tergolong yang paling tinggi di
dunia. Pada dekade itu, dari 100 perkawinan, 50 di antaranya berakhir
dengan perceraian. Tetapi pada tahun 1970-an hingga 1990-an, tingkat
perceraian di Indonesia dan negara-negara lain di Asia Tenggara
276_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

menurun drastis, padahal di belahan dunia lainnya justru meningkat.


Angka perceraian di Indonesia meningkat kembali sejak tahun 2001,
bahkan melonjak secara signifikan sejak tahun 2007. Sementara,
perbandingan cerai gugat dan cerai talak relative tetap. Jumlah cerai
gugat dalam beberapa tahun terakhir ini rata-rata 1,7 kali jumlah cerai
talak. Atau sekitar 65 % berbanding 35%.1

B. Pelestarian Ikatan Suci Pernikahan


Sejak tahun 1974 telah di undangkan suatu undang-undang tentang
perkawinan yang dikenal dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Materi undang-undang tersebut merupakan
kumpulan tentang hukum munakahat yang terkandung di dalam al-
Quran, Sunnah Rasulullah, dan kitab-kitab fiqih klasik kontemporer,
yang telah berhasil diangkat oleh sistem hukum nasional Indonesia
dari hukum normatif menjadi hukum tertulis dan hukum positif yang
mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa kepada seluruh rakyat
Indonesia, termasuk umat muslim Indonesia.2

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun Tahun 1974 Tentang


Perkawinan secara jelas menyebutkan bahwasanya perkawinan ialah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.3

Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia


berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa serta dapat melanjutkan generasi
dan memperoleh keturunan. Akan tetapi dalam kenyataannya tidak
sedikit perkawinan yang putus karena terjadinya perceraian. Pasangan
suami isteri kadang harus menghadapi masalah di dalam kehidupan
rumah tangga mereka, besar kecilnya persoalan yang dihadapi tergantung
dari pandangan dan cara mereka menyelesaikan persoalan tersebut,
tidak sedikit dari pasangan suami isteri merasa bahwa perkawinan
mereka sudah tidak dapat dipertahankan lagi dan kemudian mereka
Mempertahankan Keutuhan Keluarga _277

memutuskan untuk mengakhiri masalah rumah tangga mereka dengan


jalan perceraian, tanpa melalui sidang pengadilan, maka secara hukum
perceraian tersebut dianggap tidak sah. Maka oleh itu setiap perkawinan
yang sah dan telah tercatat hanya dapat diakhiri dengan perceraian yang
harus dilakukan di depan sidang pengadilan.

Menurut M. Yahya Harahap asas-asas yang dipandang cukup prinsip


dalam Undang-Undang Perkawinan adalah:

1. Menampung segala kenyataan-kenyataan yang hidup dalam


masyarakat bangsa Indonesia dewasa ini. Undang-undang
Perkawinan menampung di dalamnya segala unsur-unsur ketentuan
hukum agama dan kepercayaan masing-masing.

2. Sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Maksud dari


perkembangan zaman adalah terpenuhinya aspirasi wanita yang
menuntut adanya emansipasi, disamping perkembangan sosial
ekonomi, ilmu pengetahuan teknologi yang telah membawa implikasi
mobilitas sosial di segala lapangan hidup dan pemikiran.

3. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia yang kekal.


Tujuan tersebut dapat dielaborasi menjadi tiga. Pertama, suami-isteri
saling bantu membantu serta saling lengkap melengkapi. Kedua,
suami-isteri harus saling membantu mengembangkan kepribadiannya
masing-masing. Ketiga, tujuan terakhir yang ingin dikejar oleh
keluarga bangsa Indonesia ialah keluarga bahagia yang sejahtera
spiritual dan material.

4. Kesadaran akan hukum agama dan keyakinan masing-masing


warga negara bangsa Indonesia yaitu perkawinan harus dilakukan
berdasarkan hukum agama dan kepercayaan masing-masing
serta harus memenuhi administratif pemerintahan dalam bentuk
pencatatan (akta nikah).

5. Undang-undang perkawinan menganut azas monogami akan tetapi


tetap terbuka peluang untuk melakukan poligami selama hukum
278_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

agamanya mengizinkannya.

6. Hukum perkawinan dan pembentukan keluarga dilakukan oleh


pribadi-pribadi yang telah matang jiwa dan raganya.

7. Kedudukan suami isteri dalam kehidupan keluarga adalah seimbang,


baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan
masyarakat.4

Untuk meningkatkan kualitas perkawinan menurut ajaran Islam


diperlukan bimbingan dan penasihatan perkawinan secara terus-
menerus dan konsisten agar dapat mewujudkan rumah tangga/keluarga
yang sakinah mawaddah warahmah. Pemerintah pada tanggal 3 Januari 1960
membentuk Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan
(BP4) dan dikukuhkan oleh Keputusan Menteri Agama Nomor 85 tahun
1961 sebagai satu-satunya badan yang berusaha dibidang penasihatan
perkawinan dan pengurangan perceraian. Fungsi dan tugas BP4 tetap
konsisten melaksanakan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Peraturan Perundang lainnya tentang Perkawinan, oleh
karenanya fungsi dan peranan BP4 sangat diperlukan masyarakat dalam
mewujudkan kualitas perkawinan.5

BP4 mempunyai upaya dan usaha sebagai berikut:

1. Memberikan bimbingan, penasihatan dan penerangan mengenai


nikah, talak, cerai, rujuk kepada masyarakat baik perorangan maupun
kelompok

2. Memberikan bimbingan tentang peraturan perundang-undangan


yang berkaitan dengan keluarga

3. Memberikan bantuan mediasi kepada para pihak yang berperkara di


pengadilan agama

4. Memberikan bantuan advokasi dalam mengatasi masalah perkawinan,


keluarga dan perselisihan rumah tangga di peradilan agama
Mempertahankan Keutuhan Keluarga _279

5. Menurunkan terjadinya perselisihan serta perceraian, poligami yang


tidak bertanggung jawab, pernikahan di bawah umur dan pernikahan
tidak tercatat

6. Bekerjasama dengan instansi, lembaga dan organisasi yang memiliki


kesamaan tujuan baik di dalam maupun di luar negeri

7. Menerbitkan dan menyebarluaskan majalah perkawinan dan


keluarga, buku, brosur dan media elektronik yang dianggap perlu

8. Menyelenggarakan kursus calon/pengantin, penataran/pelatihan,


diskusi, seminar dan kegiatan-kegiatan sejenis, yang berkaitan dengan
perkawinan dan keluarga

9. Menyelenggarakan pendidikan keluarga untuk peningkatkan


penghayatan dan pengamalan nilai-nilai keimanan, ketaqwaan dan
akhlaqul karimah dalam rangka membina keluarga sakinah

10. Berperan aktif dalam kegiatan lintas sektoral yang bertujuan membina
keluarga sakinah

11. Meningkatkan upaya pemberdayaan ekonomi keluarga

12. Upaya dan usaha lain yang dipandang bermanfaat untuk kepentingan
organisasi serta bagi kebahagiaan dan kesejahteraan keluarga.6

C. Perceraian Bukan Solusi Masalah Rumah Tangga


Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 16 dikatakan bahwa
pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan
untuk menyaksikan perceraian apabila memang terdapat alasan-alasan
seperti yang dimaksud dalam Pasal 19 peraturan pemerintah tersebut dan
pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang bersangkutan
tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah
tangga.

Alasan-alasan cerai yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor


280_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang pertama adalah apabila salah


satu pihak berbuat yang tidak sesuai dengan syariat seperti berbuat zina,
mabuk, berjudi, kemudian salah satu pihak meninggalkann pihak yang
lain selama dua tahun berturut-turut. Apabila suami sudah meminta
izin untuk pergi, namun tetap tidak ada kabar dalam jangka waktu yang
lama, maka istri tetap dapat mengajukan permohonan cerai melalui
putusan verstek. Selain itu, alasan cerai lainnya adalah apabila salah satu
pihak tidak dapat menjalankan kewajibannya, misalnya karena frigid
atau impoten. Alasan lain adalah apabila salah satu pihak (biasanya
suami) melakukan kekejaman.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) menambahkan satu alasan lagi, yaitu


apabila salah satu pihak meninggalkan agama atau murtad. Dalam hal
salah satu pihak murtad, maka perkawinan tersebut tidak langsung
putus. Perceraian merupakan delik aduan, sehingga apabila salah
satu pasangan tidak keberatan apabila pasangannya murtad, maka
perkawinan tersebut dapat terus berlanjut. Pengadilan Agama hanya
dapat memproses perceraian apabila salah satu pihak mengajukan
permohonan ataupun gugatan cerai.

Perceraian dianggap telah terjadi, beserta segala akibat-akibat


hukumnya sejak saat pendaftaran pada kantor pencatat perceraian di
Pengadilan Negeri, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung
sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.7

Didasarkan Pasal 39 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun


1974 tentang Perkawinan, ditegaskan bahwa perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang pengadilan. Hal ini merupakan salah satu
cara untuk mempersulit terjadinya perceraian sesuai dengan prinsip
hukum Perkawinan Nasional. Hal ini dinyatakan pula oleh Hilman
Hadikusuma yang berpendapat bahwa : “Salah satu prinsip dalam
hukum Perkawinan Nasional ialah mempersulit terjadinya perceraian
(cerai hidup), karena perceraian berarti gagalnya tujuan perkawinan
Mempertahankan Keutuhan Keluarga _281

untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, akibat


perbuatan manusia. Lain halnya dengan terjadinya putus perkawinan
karena kematian yang merupakan takdir dari Tuhan Yang Maha Esa
yang tidak dapat dielakkan oleh manusia”.8

Berdasarkan pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang


Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dan dalam Penjelasan Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974, bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian
adalah sebagai berikut:

a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,


penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan

b) Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun


berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan-alasan
yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya

c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau


hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlansung

d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat


yang membahayakan terhadap pihak lain

e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang


mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
suami isteri

f) Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan/


pertengkaran dan tidak ada harapan akan rukun lagi dalam rumah
tangga.

Selain alasan-alasan tersebut, di dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum


Islam juga diatur dua alasan perceraian yang tidak diatur dalam UU
Perkawinan/PP Perkawinan yaitu:

a) Suami melanggar taklik talak

b) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya


282_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Yurisprudensi atau Putusan Hakim yang dapat menjadi dasar


hukum dalam pengambilan putusan perceraian adalah Putusan
No. 164/Pdt.G/2012/PA.Clg

c) Belum juga mempunyai anak yang berdampak pada tidak


harmonisnya rumah tangga dan terjadi pisah ranjang atau pisah
rumah.

Sebagaimana pada perkara perceraian dalam Putusan No. 164/


Pdt.G/2012/PA.Clg. Dalam putusannya, si suami (Pemohon) menjatuhkan
talak satu raj’i kepada isterinya (Termohon) di depan sidang Pengadilan
Agama Cilegon karena mereka tidak juga mempunyai anak sejak menikah
pada tanggal 29 Juli 2005. Dikatakan bahwa rumah tangga Pemohon dan
Termohon pada awalnya rukun dan harmonis, namun sejak setahun
terakhir tidak rukun lagi, sering terjadi perselisihan. Penyebabnya adalah
karena sudah sekian tahun mereka menikah dan upaya pengobatan
pun telah ditempuh berbagai cara, namun belum juga dikaruniai anak,
sedangkan Pemohon sangat menginginkan anak/keturunan. Dikatakan
juga bahwa rumah tangga Pemohon dan Termohon sudah sulit untuk
dirukunkan kembali.

Pertimbangan Majelis Hakim mengacu pada ketentuan penjelasan


Pasal 39 ayat (2) huruf f Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan Jo. Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun
1975 jo. Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam, disebutkan bahwa
suatu permohonan perceraian dipandang beralasan hukum dan tidak
melawan hak apabila didasarkan pada alasan antara lain bahwa suami
istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.9

D. Memperkecil Angka Perceraian


Pada dasarnya suami isteri harus bergaul dengan sebaik-baiknya,
saling mencintai dan menyayangi, harus bersabar apabila melihat sesuatu
Mempertahankan Keutuhan Keluarga _283

yang kurang berkenan atau disenangi pada pasangannya, sebagaimana


dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 19:

ِ ِ
ُ ‫وﻫ ﱠﻦ ﺑِﺎﻟْ َﻤ ْﻌُﺮوف ﻓَِﺈ ْن َﻛ ِﺮْﻫﺘُ ُﻤ‬
‫ﻮﻫ ﱠﻦ ﻓَـ َﻌ َﺴﻰ أَ ْن ﺗَ ْﻜَﺮُﻫﻮا‬ ُ ‫ َو َﻋﺎﺷُﺮ‬...
‫َﺷْﻴﺌًﺎ َوَْﳚ َﻌ َﻞ اﻟﻠﱠﻪُ ﻓِ ِﻴﻪ َﺧْﻴـًﺮا َﻛﺜِ ًﲑا‬
Artinya:

“... dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak
menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai
sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”
ِ ‫اﻟﻼِﰐ َﲣﺎﻓُﻮ َن ﻧُﺸﻮزﻫ ﱠﻦ ﻓَﻌِﻈُﻮﻫ ﱠﻦ واﻫﺠﺮوﻫ ﱠﻦ ِﰲ اﻟْﻤﻀ‬
‫ﻊ‬ِ ‫ﺎﺟ‬
Ayat di َatas َ mengandung ُ ُ ُ ْ َperintah ُ dan ُlarangan َُ َ ‫َو ﱠ‬
demi untuk
kebaikan‫َﻛﺎ َن‬suami
َ ِ‫ﺳﺒِ ًﻴﻼ إ‬yaitu‫ ِﻬ ﱠﻦ‬perintah
‫ﱠن اﻟﻠﱠﻪ‬isteri, ‫ ﺗَـْﺒـﻐُﻮا َﻋﻠَْﻴ‬untuk
‫ُﻜ ْﻢ ﻓَ َﻼ‬bergaul
َ ‫ﻮﻫ ﱠﻦ ﻓَِﺈ‬
‫ ْن أَﻃَ ْﻌﻨ‬dengan ُ ‫ِﺮﺑ‬isteri
‫اﺿ‬
ْ ‫َو‬
َ
secara baik menurut yang ditetapkan oleh kebiasaan yang tumbuh dari ُ
kemanusiaan yang terhormat. Kebalikannya ayat (٣٤ini:‫اﻟﻨﺴﺂء‬ ) ‫َﻋﻠِﻴًّﺎ َﻛﺒِ ًﲑا‬
juga mengandung
larangan menyusahkan isteri dan berlaku kasar kepadanya.

Al-Qur›an mengantisipasi kemungkinan terjadinya perceraian dan  


menempatkan perceraian itu sebagai alternatif terakhir yang tidak
mungkin dihindarkan. Ada beberapa upaya untuk antisipasi terhadap
 
ِ‫ﺖ ِﻣﻦ ﺑـ ْﻌﻠِ َﻬﺎ ﻧُ ُﺸ ًﻮزا أَو إ‬ ِِ
‫ﺎح‬
َ ُ‫ﻨ‬
َ ‫ﺟ‬ ‫ﻼ‬َ ‫ﻓ‬
َ ‫ﺎ‬ ‫اﺿ‬
ً ‫ﺮ‬‫ﻋ‬ْ
َ ْ
kemelut antara suami isteri yang bisa mengarah kepada perceraian:
َ ْ ْ َ‫َوإن ْاﻣَﺮأَةٌ َﺧﺎﻓ‬
ِ ‫ﻀﺮ‬ ِ ‫ُﺣ‬identifikasi ِ‫ﺼﻠ‬dini ِ
‫ت‬
1. Melakukan
ْ
َ َ ٌ ُ َ ‫أ‬‫و‬ ‫ﺮ‬ ‫ـ‬ ‫ﻴ‬
ْ ‫ﺧ‬
َ ‫ﺢ‬ ‫ﻠ‬
ْ ‫ﺼ‬
‫ﱡ‬ ‫اﻟ‬
‫و‬
kondisi ‫ﺎ‬‫ﺤ‬ ‫ﻠ‬
ْ
rumah
ً ‫ﺻ‬
ُ ‫ﺎ‬‫ﻤ‬َ َ ْ ُ‫َﻋﻠَْﻴﻬ َﻤﺎ أَ ْن ﻳ‬
‫ﻬ‬ ‫ـ‬
tangga
ُ َ‫ﻨ‬‫ـ‬ ‫ﻴ‬
ْ ‫ـ‬‫ﺑ‬ ‫ﺎ‬‫ﺤ‬
sejak
َ
‫ﺲ اﻟ ﱡﺸ ﱠﺢ َوإِ ْن ُْﲢ ِﺴﻨُﻮا َوﺗَـﺘﱠـ ُﻘﻮا ﻓَِﺈ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ َﻛﺎ َن‬
‫ ِﲟَﺎ ﺗَـ ْﻌ‬berikut:
Identifikasi rumah tangga perlu dilakukan secara serius sejak dini
‫َﻤﻠُﻮ َن‬sebagai
atas hal-hal ُ ‫ْاﻷَﻧْـ ُﻔ‬
a) Jarang terlihat mesra, baik dari bahasa lisan (ataupun ١٢٨:‫اﻟﻨﺴﺂء‬ ‫َﺧﺒِ ًﲑا‬
bahasa) tubuh.
Hubungan yang tak sehat akan terlihat dari komunikasi pasangan
yang tidak menimbulkan kenyamanan, sikap yang tidak
menghargai, ataupun sering terlihat pandangan mata yang tidak
‫ﺎق ﺑَـْﻴﻨِ ِﻬ َﻤﺎ ﻓَﺎﺑْـ َﻌﺜُﻮا َﺣ َﻜ ًﻤﺎ ِﻣ ْﻦ أ َْﻫﻠِ ِﻪ َو َﺣ َﻜ ًﻤﺎ ِﻣ ْﻦ‬
memancarkan sikap senang. َ ‫َوإِ ْن ِﺧ ْﻔﺘُ ْﻢ ِﺷ َﻘ‬
َ‫إِ ﱠن اﻟﻠﱠﻪ‬hubungan
‫َﻛﺎ َن‬membuat
akan ُ‫ﻓﱢ ِﻖ اﻟﻠﱠﻪ‬menjadi
b) Melakukan segala sesuatu sendiri-sendiri. Kebersamaan yang kurang
, ‫ﺑـَْﻴـﻨَـ ُﻬ َﻤﺎ‬pasangan ْ ِ‫ﻳﺪا إ‬
‫َﻼ ًﺣﺎ ﻳـُ َﻮ‬kering
‫ﺻ‬ َdan ‫أ َْﻫﻠِ َﻬﺎ إِ ْن‬
‫ ﻳُِﺮ‬kehilangan
(٣٥:‫ﻴﻤﺎ َﺧﺒِ ًﲑا )اﻟﻨﺴﺂء‬ ِ‫ﻋﻠ‬
ً َ
284_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

‘ruhnya’.

c) Selalu melibatkan orangtua dalam banyak masalah. Sikap seperti ini


bukan saja menunjukkan ketidaksiapan menjalani masalah rumah
tangga, tapi biasanya malah akan menimbulkan masalah baru bagi
pasutri.

d) Selalu menghitung untung-rugi. Suami yang sudah bekerja di luar


merasa rugi jika harus mengurusi urusan rumah tangga, begitu
pula sebaliknya. Atau merasa rugi minta maaf lebih dulu karena
merasa tidak bersalah.

e) Tidak konstruktif ketika berselisih. Tak mampu mengontrol


ketidaksetujuan dengan menetapkan aturan-aturan yang baku,
seperti dengan kepala dingin, sama-sama mencari alternatif solusi.
Sebaliknya, malah sering mengumbar ejekan ketika marah atau
menghina dan mengkritik dengan sinis.10

2. Memperhitungkan kerugian yang harus ditanggung

setiap anggota keluarga harus memperhitungkan kerugian yang harus


ditanggung ketika keputusannya adalah bercerai dapat digambarkan
seperti:

a) Anak menjadi korban

Anak merupakan korban yang paling terluka ketika orang


tuanya memutuskan untuk bercerai. Anak dapat merasa ketakutan
karena kehilangan sosok ayah atau ibu mereka, takut kehilangan
kasih sayang orang tua yang kini tidak tinggal serumah. Mungkin
juga mereka merasa bersalah dan menganggap diri mereka sebagai
penyebabnya. Prestasi anak di sekolah akan menurun atau mereka
jadi lebih sering untuk menyendiri.

Anak-anak yang sedikit lebih besar bisa pula merasa terjepit di


antara ayah dan ibu mereka. Salah satu atau kedua orang tua yang
telah berpisah mungkin menaruh curiga bahwa mantan pasangan
Mempertahankan Keutuhan Keluarga _285

hidupnya tersebut mempengaruhi sang anak agar membencinya,


yang membuat anak menjadi serba salah, sehingga mereka tidak
terbuka termasuk dalam masalah-masalah besar yang dihadapi
ketika mereka remaja. Sebagai pelarian, anak-anak bisa terlibat
dalam pergaulan yang buruk, narkoba, atau hal negatif lain yang
bisa merugikan.

b) Dampak untuk orang tua

Orang tua dari pasangan yang bercerai juga mungkin terkena


imbas dari keputusan untuk bercerai. Sebagai orang tua, mereka
dapat saja merasa takut anak mereka yang bercerai akan menderita
karena perceraian ini atau merasa risih dengan pergunjingan
orang-orang.

Beberapa orang tua dari pasangan yang bercerai akhirnya harus


membantu membesarkan cucu mereka karena ketidaksanggupan
dari pasangan yang bercerai untuk memenuhi kebutuhan anak-
anaknya.

c) Bencana keuangan

Jika sebelum bercerai, suami sebagai pencari nafkah maka


setelah bercerai Anda tidak akan memiliki pendapatan sama sekali
apalagi jika mantan pasangan Anda tidak memberikan tunjangan.
Atau jika pemasukan berasal dari Anda dan pasangan, sekarang
setelah bercerai, pemasukan uang Anda berkurang. Jika Anda
mendapat hak asuh atas anak, berarti Anda juga bertanggung
jawab untuk menanggung biaya hidup dari anak Anda. Yang perlu
diingat, setelah bercerai, umumnya banyak keluarga mengalami
penurunan standar kehidupan hingga lebih dari 50 persen.

d) Masalah pengasuhan anak

Setelah bercerai, berarti kini Anda harus menjalankan peranan


ganda sebagai ayah dan juga sebagai ibu. Ini bukanlah hal yang
mudah karena ada banyak hal lain yang harus Anda pikirkan
286_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

seorang diri. Terlebih, jika anak sudah memasuki masa remaja


yang penuh tantangan, Anda harus dengan masuk akal menjaga
atau memberikan disiplin kepada anak agar dapat tumbuh menjadi
anak yang baik.

Masalah lain dalam hal pengasuhan anak adalah ketika harus


berbagi hak asuh anak dengan pasangan karena bisa jadi Anda
masih merasa sakit hati dengan perlakuan mantan Anda sehingga
sulit untuk bersikap adil. Hal-hal yang harus dibicarakan seperti
pendidikan atau disiplin anak mungkin dapat menyebabkan
pertengkaran karena tidak sepaham dan rasa sakit hati dapat
membuat hal ini semakin buruk.

e) Gangguan emosi

Adalah hal yang wajar jika setelah bercerai Anda masih


menyimpan perasan cinta terhadap mantan pasangan Anda.
Harapan Anda untuk hidup sampai tua bersama pasangan
menjadi kandas, ini dapat menyebabkan perasaan kecewa yang
sangat besar yang menyakitkan. Mungkin juga Anda ketakutan
jika tidak ada orang yang akan mencintai Anda lagi atau perasaan
takut ditinggalkan lagi di kemudian hari.

Perasaan lain yang mungkin dialami adalah perasaan terhina


atau perasaan marah dan kesal akibat sikap buruk pasangan. Anda
juga mungkin merasa kesepian karena sudah tidak ada lagi tempat
Anda berbagi cerita, tempat Anda mencurahkan dan mendapatkan
bentuk kasih saying. Serangkaian problem kesehatan juga bisa
disebabkan akibat depresi karena bercerai.

f) Bahaya masa remaja kedua

Pasangan yang baru bercerai sering mengalami masa remaja


kedua. Mereka mencicipi kemerdekaan baru dengan memburu
serangkaian hubungan asmara dengan tujuan untuk menaikkan
harga diri yang jatuh atau untuk mengusir kesepian. Hal ini bisa
menimbulkan problem baru yang lebih buruk dan tragis karena
Mempertahankan Keutuhan Keluarga _287

tidak mempertimbangkan baik-baik langkah yang dilakukan.11

3. Penyelesaian Nusyuz dari pihak Isteri


ِ ِ
ُ ‫وﻫ ﱠﻦ ﺑِﺎﻟْ َﻤ ْﻌُﺮوف ﻓَِﺈ ْن َﻛ ِﺮْﻫﺘُ ُﻤ‬
‫ﻮﻫ ﱠﻦ ﻓَـ َﻌ َﺴﻰ أَ ْن ﺗَ ْﻜَﺮُﻫﻮا‬ ُ ‫ َو َﻋﺎﺷُﺮ‬...
Isteri yang disebut nusyuz adalah isteri yang berusaha keluar dari
kewajibannya sebagai isteri, berusaha meninggalkan suami sebagai
‫َﺷْﻴﺌًﺎ َوَْﳚ َﻌ َﻞ اﻟﻠﱠﻪُ ﻓِ ِﻴﻪ َﺧْﻴـًﺮا َﻛﺜِ ًﲑا‬
pucuk pimpinan rumah tangga, menuruti kemauannya sendiri, dan
menghendaki agar kehidupan rumah tangga menjadi berantakan.

Al-Qur’an memberi petunjuk cara menormalisir keadaannya,


sebagaimana diajarkan dalam surat an-Nisa’ ayat 34:

ِ ‫اﻟﻼِﰐ َﲣﺎﻓُﻮ َن ﻧُﺸﻮزﻫ ﱠﻦ ﻓَﻌِﻈُﻮﻫ ﱠﻦ واﻫﺠﺮوﻫ ﱠﻦ ِﰲ اﻟْﻤﻀ‬


‫ﺎﺟ ِﻊ‬ َ َ ُ ُُ ْ َ ُ َُ ُ َ ‫َو ﱠ‬
‫ﻮﻫ ﱠﻦ ﻓَِﺈ ْن أَﻃَ ْﻌﻨَ ُﻜ ْﻢ ﻓَ َﻼ ﺗَـْﺒـﻐُﻮا َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ﱠﻦ َﺳﺒِ ًﻴﻼ إِ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ َﻛﺎ َن‬
ُ ُ‫اﺿ ِﺮﺑ‬
ْ ‫َو‬
(٣٤:‫َﻋﻠِﻴًّﺎ َﻛﺒِ ًﲑا )اﻟﻨﺴﺂء‬
Artinya:
 
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain  
(wanita), dan karena merekaِ(laki-laki) telah menafkahkan
‫ﺎح‬ ‫ﻨ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﻼ‬َ ‫ﻓ‬
َ ‫ﺎ‬ ‫اﺿ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻋ‬ ‫إ‬ ‫َو‬ ‫أ‬ ‫ا‬
‫ﻮز‬ ‫ﺸ‬ ‫ﻧ‬
ُ ‫ﺎ‬ ‫ﻬ‬ ِ‫ﺖ ِﻣﻦ ﺑـﻌﻠ‬sebagian ‫ﻓ‬
َ ‫ﺎ‬ ‫ﺧ‬ ‫ة‬
ٌَ‫أ‬
‫ﺮ‬ ‫اﻣ‬ ‫ن‬
dari harta ِ ِ‫وإ‬
َ َ ُ
mereka. sebab itu Maka wanita ً ْ ْ ً ُ َ ْ َ
َ yang saleh, ialah yang taat kepada Allah ْ ْ َ ْ
َ lagiَ
‫ت‬
memeliharaِ ‫ﺮ‬diri
َ ‫ﻀ‬ِ ‫ُﺣ‬ketika
ْ ‫ْﻴـٌﺮ َوأ‬suaminya
‫ﺼ ْﻠ ُﺢ َﺧ‬‫ﱡ‬ ‫ﺎ َواﻟ‬ada,
tidak ‫ﺻ ْﻠ ًﺤ‬ُ
oleh‫ﻤﺎ‬
َ
karena ‫ﺼﻠِ َﺤﺎ‬
‫ ﺑـَْﻴـﻨَـ ُﻬ‬Allah ْ َ‫َﻋﻠَْﻴ ِﻬ َﻤﺎ أ‬
‫ْن ﻳ‬memelihara
telah
ُ
(mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah
mereka dan ‫ﺎ َن ِﲟَﺎ ﺗَـ ْﻌ َﻤ‬mereka
‫ﻠُﻮ َن‬pisahkanlah ‫ﺘﱠـ ُﻘﻮا ﻓَِﺈ‬tidur
‫ اﻟﻠﱠﻪَ َﻛ‬di‫ ﱠن‬tempat ‫ْن ُْﲢ ِﺴﻨ‬dan
‫ﻮا َوﺗَـ‬mereka,
ُ ِ‫ وإ‬pukullah
َ ‫ﺲ اﻟ ﱡﺸ ﱠﺢ‬ ُ ‫ْاﻷَﻧْـ ُﻔ‬
mereka.
kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi (١٢٨lagi:‫اﻟﻨﺴﺂء‬ ‫َﺧﺒِ ًﲑا‬
Maha )besar”

Dari ayat di atas, tindakan yang dapat dilakukan suami terhadap


isterinya yang nusyuz, ialah:
‫ﺎق ﺑَـْﻴﻨِ ِﻬ َﻤﺎ ﻓَﺎﺑْـ َﻌﺜُﻮا َﺣ َﻜ ًﻤﺎ ِﻣ ْﻦ أ َْﻫﻠِ ِﻪ َو َﺣ َﻜ ًﻤﺎ ِﻣ ْﻦ‬
Pertama, bila terlihat tanda-tanda bahwa isteri akan nusyuz, suami َ ‫َوإِ ْن ِﺧ ْﻔﺘُ ْﻢ ِﺷ َﻘ‬
‫ إِ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ َﻛﺎ َن‬, ‫ﺻ َﻼ ًﺣﺎ ﻳـُ َﻮﻓﱢ ِﻖ اﻟﻠﱠﻪُ ﺑـَْﻴـﻨَـ ُﻬ َﻤﺎ‬ َ ‫أ َْﻫﻠِ َﻬﺎ إِ ْن ﻳُِﺮ‬
ْ ِ‫ﻳﺪا إ‬
harus memberikan peringatan dan pengajaran, nasihat dan petunjuk yang

(٣٥:‫ﻴﻤﺎ َﺧﺒِ ًﲑا )اﻟﻨﺴﺂء‬ ِ


ً ‫َﻋﻠ‬
288_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

baik. Menjelaskan kepada isterinya bahwa tindakannya itu perbuatan


dosa di sisi Allah, salah menurut agama dan menimbulkan risiko ia
dapat kehilangan haknya. Apabila dengan pengajaran seperti itu si isteri
kembali kepada keadaan semula sebagai isteri yang baik, masalah sudah
terselesaikan dan tidak boleh diteruskan kepada tindakan lain.

Kedua, apabila dengan cara pertama isteri tidak memperlihatkan


perbaikan sikap dan secara nyata nusyuz itu telah terjadi, langkah kedua
yang ditempuh suami ialah pisah tempat tidur, isteri dikucilkan dari
tempat tidur dalam arti menghentikan hubungan seksual. Hijrah dalam
ayat di atas, bisa juga diartikan meninggalkan komunikasi dengan
isteri. Apabila dengan cara ini isteri telah kembali taat, persoalan sudah
terselesaikan dan tidak boleh diteruskan kepada tindakan lain.

Ketiga, jika dengan cara pisah ranjang, isteri belum memperlihatkan


adanya perbaikan, ditempuh langkah ketiga, yaitu suami boleh
mengambil tindakan pisik/jasmani, suami boleh memukul isterinya
dengan pukulan yang tidak menyakiti. Pukulan dalam dalam hal ini
dalam bentuk ta›dib atau edukatif, bukan atas dasar kebencian. Perlu
diperhatikan, kebolehan suami memukul isteri yang nusyuz bukanlah
berarti memberi hak kepada suami untuk memukul isteri yang nusyuz
dalam keadaan apapun dan pada tempat manapun, melainkan semat-
mata bersifat pengajaran dan bertujuan kemaslahatan serta tidak ada
jalan selainnya, kesemuanya dilakukan terjauh dari rasa dendam. Dalam
hal ini hendaklah dicontoh sikap Rasulullah saw sebagai orang pertama
yang melaksanakan al-Qur’an, beliau tidak pernah selama hayatnya
memukul isterinya. Dibolehkan suami memukul isterinya yang nusyuz
adalah jika memang cara itu satu-satunya jalan mendidik isterinya dan
mengembalikannya kepada ketaatan, karena pada sebagian wanita ada
yang hanya dapat diperbaiki nusyuznya dengan cara ini.

4. Penyelesaian Nusyuz dari pihak Suami

Suami nusyuz mengandung arti pendurhakaan suami kepada Allah


َُ َ ْ َ َ َ ‫َ َ ُ ُ ﱠ َ ْ ُ َ ْ َ ُْ ُ ُ ﱠ‬
‫َﺷْﻴﺌًﺎ َوَْﳚ َﻌ َﻞ اﻟﻠﱠﻪُ ﻓِ ِﻴﻪ َﺧْﻴـًﺮا َﻛﺜِ ًﲑا‬
Mempertahankan Keutuhan Keluarga _289

karena meninggalkan kewajibannya kepada isteri. Nusyuz suami


terjadi bila ia tidak melaksanakan kewajiban kepada isterinya, baik
meninggalkan kewajiban yang bersifat materi, seperti memberi nafkah
ِ ‫اﻟﻼِﰐ َﲣﺎﻓُﻮ َن ﻧُﺸﻮزﻫ ﱠﻦ ﻓَﻌِﻈُﻮﻫ ﱠﻦ واﻫﺠﺮوﻫ ﱠﻦ ِﰲ اﻟْﻤﻀ‬
‫ﺎﺟ ِﻊ‬ َ َ ُ ُُ ْ َ ُ
atau meninggalkan kewajibannya yang bersifat non materi yaitu tidak
menggauli isterinya secara mu’asyarah bil ma’ruf. Yaitu segala sesuatu
َُ ُ َ ‫َو ﱠ‬
‫ﻮﻫ ﱠﻦ ﻓَِﺈ ْن أَﻃَ ْﻌﻨَ ُﻜ ْﻢ ﻓَ َﻼ ﺗَـْﺒـﻐُﻮا َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ﱠﻦ َﺳﺒِ ًﻴﻼ إِ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ َﻛﺎ َن‬
yang dapat dikategorikan menggauli isteri dengan cara buruk, seperti
ُ ُ‫اﺿ ِﺮﺑ‬
ْ ‫َو‬
(٣٤:‫َﻋﻠِﻴًّﺎ َﻛﺒِ ًﲑا )اﻟﻨﺴﺂء‬
suami bersikap keras dan kasar kepada isteri, tidak mau menggauli
(badaniyah) isterinya dalam waktu tertentu, dan tindakan lain yang
bertentangan dengan asas pergaulan baik.

Al-Qur’an memberi petunjuk kepada isteri ketika suaminya nusyuz,


 
dijelaskan dalam surat an-Nisa’ ayat 128:  
‫ﺎح‬ ‫ﻨ‬
َ ‫ﺟ‬ ‫ﻼ‬َ ‫ﻓ‬
َ ‫ﺎ‬‫اﺿ‬
ً ‫ﺮ‬ ‫ﻋ‬
ْ ِ‫ﺖ ِﻣﻦ ﺑـ ْﻌﻠِ َﻬﺎ ﻧُ ُﺸ ًﻮزا أَو إ‬ ْ ‫ﻓ‬
َ ‫ﺎ‬ ‫ﺧ‬
َ ‫ة‬
ٌَ‫أ‬
‫ﺮ‬ ‫اﻣ‬
ْ ‫ن‬ ِ ِ‫وإ‬
َ ُ َ ْ َ ْ َ َ
‫ت‬ ِ ‫ﻀﺮ‬ ِ ‫ﺼ ْﻠﺢ ﺧﻴـﺮ وأُﺣ‬ ‫ﱡ‬ ‫اﻟ‬
‫و‬ ‫ﺎ‬‫ﺤ‬ ‫ﻠ‬
ْ ‫ﺻ‬ ‫ﺎ‬‫ﻤ‬ ‫ﻬ‬ ‫ـ‬ ‫ﻨ‬‫ـ‬ ‫ﻴ‬ ‫ـ‬‫ﺑ‬ ‫ﺎ‬‫ﺤ‬ ِ‫ﻋﻠَﻴ ِﻬﻤﺎ أَ ْن ﻳﺼﻠ‬
َ ْ َ ٌ ْ َ ُ َ ً ُ َ ُ َ ْ َ َ ُْ َ َْ
‫ﺲ اﻟ ﱡﺸ ﱠﺢ َوإِ ْن ُْﲢ ِﺴﻨُﻮا َوﺗَـﺘﱠـ ُﻘﻮا ﻓَِﺈ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ َﻛﺎ َن ِﲟَﺎ ﺗَـ ْﻌ َﻤﻠُﻮ َن‬ ُ ‫ْاﻷَﻧْـ ُﻔ‬
(١٢٨:‫َﺧﺒِ ًﲑا )اﻟﻨﺴﺂء‬
Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap
tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan
‫ﺎق ﺑَـْﻴﻨِ ِﻬ َﻤﺎ ﻓَﺎﺑْـ َﻌﺜُﻮا َﺣ َﻜ ًﻤﺎ ِﻣ ْﻦ أ َْﻫﻠِ ِﻪ َو َﺣ َﻜ ًﻤﺎ ِﻣ ْﻦ‬
perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)
َ ‫َوإِ ْن ِﺧ ْﻔﺘُ ْﻢ ِﺷ َﻘ‬
walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan
‫ إِ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ َﻛﺎ َن‬, ‫ﺻ َﻼ ًﺣﺎ ﻳـُ َﻮﻓﱢ ِﻖ اﻟﻠﱠﻪُ ﺑـَْﻴـﻨَـ ُﻬ َﻤﺎ‬
isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh),
Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan“.
َ ‫أ َْﻫﻠِ َﻬﺎ إِ ْن ﻳُِﺮ‬
ْ ِ‫ﻳﺪا إ‬
(٣٥:‫ﻴﻤﺎ َﺧﺒِ ًﲑا )اﻟﻨﺴﺂء‬ ِ
Banyak cara yang dapat ditempuh isteri, seperti bersikap manis dan
ً ‫َﻋﻠ‬
simpatik, berhias dan berdandan, bermuka jernih, senyum simpatik,
diharapkan mempunyai pengaruh posistif dalam menghilangkan amarah

(٢٢٨:‫ﺎن )اﻟﺒﻘﺮة‬ ٍ ‫ﺎك ِﲟﻌﺮ‬


ٍ ‫وف أَو ﺗَﺴ ِﺮﻳﺢ ﺑِِﺈﺣﺴ‬ ِ
َ ٌ ْ ْ ُ َْ ٌ ‫ﻓَﺈ ْﻣ َﺴ‬
suami, sebagai air conditioning bagi panasnya hati suami. Apabila masih
ْ
belum berhasil, hendaknya isteri melakukan sulh, yaitu perundingan
yang membawa kepada perdamaian, sehingga suami tidak menceraikan
 
‫ﻮﻫ ﱠﻦ ﻓَـ َﻌ َﺴﻰ أَ ْن ﺗَ ْﻜَﺮُﻫﻮا‬ ‫وف ﻓَِﺈ ْن َﻛ ِﺮْﻫﺘُ ُﻤ‬ ِ ‫ﺎﺷﺮوﻫ ﱠﻦ ﺑِﺎﻟْﻤﻌﺮ‬ ِ ‫وﻋ‬...
ُ
290_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013 ُ ْ َ ُ ُ ََ
‫َﺷْﻴﺌًﺎ َوَْﳚ َﻌ َﻞ اﻟﻠﱠﻪُ ﻓِ ِﻴﻪ َﺧْﻴـًﺮا َﻛﺜِ ًﲑا‬
isterinya. Seperti kesediaan isteri untuk dikurangi hak materi dalam
bentuk nafkah, atau dikurangi hak nonmateri, seperti isteri bersedia
dikurangi giliran malam dan diberikan kepada isteri yang lain (dalam
perkawinan poligami).12

ِ ‫اﻟﻼِﰐ َﲣﺎﻓُﻮ َن ﻧُﺸﻮزﻫ ﱠﻦ ﻓَﻌِﻈُﻮﻫ ﱠﻦ واﻫﺠﺮوﻫ ﱠﻦ ِﰲ اﻟْﻤﻀ‬


‫ﺎﺟ ِﻊ‬
5. Penyelesaian Syiqaq
‫َو ﱠ‬
َ َ ُ ُ ُ ْ َ ُ
Syiqaq adalah Situasi konflik suami isteri yang sudah parah. Apabila
ُ َ ُ َ
persengketaan ‫ًﻴﻼ إِ ﱠن‬isteri
‫اﻟﻠﱠﻪَ َﻛﺎ َن‬suami ِ‫ ﺳﺒ‬itu
َ ‫ْﻴ ِﻬ ﱠﻦ‬sudah
َ‫ﻐُﻮا َﻋﻠ‬sedemikian
‫ﻨَ ُﻜ ْﻢ ﻓَ َﻼ ﺗَـْﺒـ‬rupa ْ ‫ﻮﻫ ﱠﻦ ﻓَِﺈ‬
‫ن أَﻃَ ْﻌ‬memuncaknya,
ُ ُ‫اﺿ ِﺮﺑ‬
ْ ‫َو‬
suami isteri tidak menemukan jalan memperbaikinya atau menemui jalan
buntu, hendaknya keduanya berjauhan lebih dahulu, (٣٤:‫اﻟﻨﺴﺂء‬ tidak boleh ‫َﻋﻠِﻴًّﺎ‬
) ‫َﻛﺒِ ًﲑا‬saling
menyakiti, tidak boleh saling memperkosa hak-hak yang lain. Suami isteri
supaya menenangkan diri, mengenang jasa-jasa dan kebaikan lawannya,  
memikirkan nasib anak-anaknya dan mengintrospeksi dirinya masing-
masing. Apabila keduanya tidak bisa lagi mendinginkan amarah hati
 
ِ ِ َ‫وإِ ِن اﻣﺮأَةٌ ﺧﺎﻓ‬
‫ﺎح‬ َ‫اﺿﺎ ﻓَ َﻼ ُﺟﻨ‬ ً ‫ﺖ ﻣ ْﻦ ﺑـَ ْﻌﻠ َﻬﺎ ﻧُ ُﺸ ًﻮزا أ َْو إِ ْﻋَﺮ‬
yang mendidih, barulah diperkenankan meminta bantuan pihak luar.
َ ْ َ َْ َ
ِ ‫ﻀﺮ‬ ِ ‫ُﺣ‬kewajiban
Syiqaq timbul apabila suami atau isteri atau keduanya tidak
ِ‫ ﻳﺼﻠ‬suami ‫َﻋﻠَْﻴ ِﻬ‬
‫ت‬
melaksanakan
َ َ ٌ ُ َ ً ُ َ ُ َ َ ْ ُ ‫ َﻤﺎ أَ ْن‬isteri
ْ ‫أ‬‫و‬ ‫ﺮ‬ ‫ـ‬ ‫ﻴ‬
ْ ‫ﺧ‬
َ ‫ﺢ‬ ‫ﻠ‬
ْ ‫ﺼ‬
‫ﱡ‬
yang ‫اﻟ‬
‫و‬ ‫ﺎ‬‫ﺤ‬
mesti ‫ﻠ‬
ْ ‫ﺻ‬ ‫ﺎ‬‫ﻤ‬
dipikulnya. ‫ﻬ‬ ‫ـ‬َ‫ﻨ‬‫ـ‬ ‫ﻴ‬
ْ ‫ـ‬‫ﺑ‬ ‫ﺎ‬‫ﺤ‬
Apabila

‫ِﲟَﺎ ﺗَـ ْﻌ َﻤ‬kaum َ‫ا ﻓَِﺈ ﱠن اﻟﻠﱠﻪ‬dengan ُ‫اﻟ ﱡﺸ ﱠﺢ َوإِ ْن ُْﲢ ِﺴﻨ‬kewajiban
sudah tidak mampu menyelesaikan konflik tersebut, maka menjadi
‫ﻠُﻮ َن‬jama’ah
kewajiban ‫ َﻛﺎ َن‬muslimin ‫ﻮا َوﺗَـﺘﱠـ ُﻘﻮ‬memprioritaskan ‫ﺲ‬
ُ ‫ْاﻷَﻧْـ ُﻔ‬
(١٢٨:‫َﺧﺒِ ًﲑا )اﻟﻨﺴﺂء‬
keluarga kedua belah untuk mendamaikannya. Apabila terjadi syiqaq
antara suami isteri, al-Qur’an memberi petunjuk untuk menyelesaikannya
sebagaimana dikemukakan dalam surat an-Nisa’ ayat 35:

‫ﺎق ﺑَـْﻴﻨِ ِﻬ َﻤﺎ ﻓَﺎﺑْـ َﻌﺜُﻮا َﺣ َﻜ ًﻤﺎ ِﻣ ْﻦ أ َْﻫﻠِ ِﻪ َو َﺣ َﻜ ًﻤﺎ ِﻣ ْﻦ‬


َ ‫َوإِ ْن ِﺧ ْﻔﺘُ ْﻢ ِﺷ َﻘ‬
‫ إِ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ َﻛﺎ َن‬, ‫ﺻ َﻼ ًﺣﺎ ﻳـُ َﻮﻓﱢ ِﻖ اﻟﻠﱠﻪُ ﺑـَْﻴـﻨَـ ُﻬ َﻤﺎ‬ َ ‫أ َْﻫﻠِ َﻬﺎ إِ ْن ﻳُِﺮ‬
ْ ِ‫ﻳﺪا إ‬
(٣٥:‫ﻴﻤﺎ َﺧﺒِ ًﲑا )اﻟﻨﺴﺂء‬ ِ‫ﻋﻠ‬
ً َ
Artinya:

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka


ٍ ِ ٌ ‫ﻓَِﺈﻣﺴ‬
ٍ ‫وف أَو ﺗَﺴ ِﺮﻳﺢ ﺑِِﺈﺣﺴ‬
(٢٢٨:‫ﺎن )اﻟﺒﻘﺮة‬ َ ْ ٌ ْ ْ ‫ﺎك ﲟَْﻌُﺮ‬ َْ
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga

 
Mempertahankan Keutuhan Keluarga _291

perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan,

niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah


Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Pengertian surat an-Nisa’ ayat 35 di atas, ialah apabila hakim


menyelesaikan konflik suami isteri yang syiqaq, hendaklah dipanggil
seorang hakam (juru damai) dari pihak suami dan seorang hakam dari
pihak isteri. Dimaksud dengan hakam ialah orang yang mengetahui
hukum dengan baik dan hakam itu diambilkan dari keluarga suami
dan keluarga isteri karena mereka lebih besar pengaruhnya terhadap
suami isteri dibandingkan dengan orang lain. Para hakam itu dipandang
mengenal hakikat perkara suami isteri sampai ke lubuk batinnya.
Mereka mengetahui cara-cara memperbaiki jiwa suami isteri, karena
kadang-kadang yang menjadi sebab persengketaan itu bersifat batiniyah,
tersembunyi, suami isteri tidak mau membukanya di hadapan orang
lain, sehingga hikmah dipilihnya hakam dari keluarga kedua belah
pihak adalah jelas sekali.

Tujuan bertahkim dalam masalah syiqaq ini adalah semata-mata


untuk mendamaikan suami isteri, mencari persesuaian sebagai ganti
perpecahan. Tahkim dimaksudkan sebagai jalan untuk memadamkan
api peperangan suami isteri, melenyapkan sebab-sebab kemarahan hati,
setelah kedua suami isteri sendiri tidak mampu mengatasi persoalannya.

Kedua hakam itu dipilih yang adil, bagus pandangannya dan tahu
hukum. Tugas hakam adalah mendamaikan persengketaan suami isteri.
Hakam dari suami hendaklah menemui suami dan hakam dari isteri
menemui isteri. Masing-masing hakam menanyakan kehendak dari
keduanya, apakah masih senang hidup bersatu atau tidak. Apabila suami
menjawab masih senang dan menginginkan kembali kepada isterinya,
berarti suami tidak nusyuz, tetapi jika sebaliknya, ia tidak memerlukan
lagi isterinya dan meminta supaya diceraikan saja, maka diketahui
suamilah yang nusyuz. Demikian juga yang dilakukan hakam dari pihak
‫ﻀﺮت‬ َ ‫أﺣ‬ ْ ‫ﺼ ْﻠ ُﺢ َﺧْﻴـٌﺮ َو‬ ‫ﺻ ْﻠ ًﺤﺎ َواﻟ ﱡ‬ ُ ‫ﻠﺤﺎ ﺑـَْﻴـﻨَـ ُﻬ َﻤﺎ‬
َ ‫ﺼ‬ ْ ُ‫ﻬﻤﺎ أ ْن ﻳ‬
َ ‫َﻋﻠَْﻴ‬
‫ﺲ اﻟ ﱡﺸ ﱠﺢ َوإِ ْن ُْﲢ ِﺴﻨُﻮا َوﺗَـﺘﱠـ ُﻘﻮا ﻓَِﺈ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ َﻛﺎ َن ِﲟَﺎ ﺗَـ ْﻌ َﻤﻠُﻮ َن‬
ُ ‫ْاﻷَﻧْـ ُﻔ‬
292_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
(١٢٨:‫َﺧﺒِ ًﲑا )اﻟﻨﺴﺂء‬
isteri, sehingga kedua hakam dapat mengambil kebijakan yang tepat
untuk mengusahakan islah antara suami isteri. Hakam sekuat tenaga

‫ﺎق ﺑَـْﻴﻨِ ِﻬ َﻤﺎ ﻓَﺎﺑْـ َﻌﺜُﻮا َﺣ َﻜ ًﻤﺎ ِﻣ ْﻦ أ َْﻫﻠِ ِﻪ َو َﺣ َﻜ ًﻤﺎ ِﻣ ْﻦ‬


َ ‫َوإِ ْن ِﺧ ْﻔﺘُ ْﻢ ِﺷ َﻘ‬
hendaknya berusaha menyelamatkan rumah tangga dari perpecahan
(syiqaq), jangan berputus asa, segala sesuatu harus diarahkan untuk

‫ إِ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ َﻛﺎ َن‬, ‫ﺻ َﻼ ًﺣﺎ ﻳـُ َﻮﻓﱢ ِﻖ اﻟﻠﱠﻪُ ﺑـَْﻴـﻨَـ ُﻬ َﻤﺎ‬ َ ‫أ َْﻫﻠِ َﻬﺎ إِ ْن ﻳُِﺮ‬
ْ ِ‫ﻳﺪا إ‬
mencari jalan damai, mencari penyelesaian sebaik mungkin. Apabila
segala usaha sudah ditempuh, kedua hakam tidak sanggup memperbaiki

(٣٥:‫ﻴﻤﺎ َﺧﺒِ ًﲑا )اﻟﻨﺴﺂء‬


suami isteri yang konflik dan perceraian satu-satunya jalan yang paling ِ
baik untuk mengakhiri perkawinan, maka ditempuhlah jalan perceraian ً ‫َﻋﻠ‬
itu dengan cara yang baik, terjauh dari dendam kesumat, melainkan
perpisahan dengan saling pengertian, sesuai dengan petunjuk al-Qur’an:

(٢٢٨:‫ﺎن )اﻟﺒﻘﺮة‬ ٍ ‫ﺎك ِﲟﻌﺮ‬


ٍ ‫وف أَو ﺗَﺴ ِﺮﻳﺢ ﺑِِﺈﺣﺴ‬ ِ
Artinya:
َ ٌ ْ ْ ُ َْ ٌ ‫ﻓَﺈ ْﻣ َﺴ‬
ْ
“Dan jika mereka ber›azam (bertetap hati untuk) talak, Maka sesungguhnya  
Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”.

Dari upaya-upaya antisipasi perceraian di atas semakin jelas bahwa


Islam menghendaki adanya upaya untuk mencegah terjadinya perceraian
antara suami isteri. Perceraian adalah jalan terakhir, yaitu setelah berbagai
upaya yang ditempuh tidak membuahkan hasil.13

6. Pembinaan Remaja

Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar prihatin dengan tingginya


angka perceraian. Karenanya, agar program pembekalan remaja usia
nikah terus ditingkatkan secara arif dan bijak.

Salah satu akar penyebab perceraian terbesar adalah rendahnya


pengetahuan dan kemampuan suami isteri mengelola dan mengatasi
perlbagai permasalahan rumah tangga. Hampir 80 persen dari jumlah
kasus perceraian, terjadi pada perkawinan di bawah usia 5 tahun.
Ketidakmampuan pasangan suami isteri menghadapi kenyataan hidup
yang sesungguhnya, mengakibatkan mereka kerap menemui kesulitan
dalam melakukan penyesuaian atas perlbagai permasalahan di usia
Mempertahankan Keutuhan Keluarga _293

perkawinan yang masih “balita”.

Fenomena yang tak sehat ini lambat laun akan menggeser norma dan
cara pandang masyarakat terhadap institusi perkawinan ke arah negatif.
Akibatnya, masyarakat tidak lagi memandang perkawinan sebagai suatu
lembaga yang seharusnya dipertahankan keutuhannya. “Pertengkaran
kecil suami-isteri bukan lagi bagai “bumbu” dan “bunga” perkawinan
yang dapat menambah instensitas kemesraan, manakala berbaikan
kembali.

Pertengkaran karena masalah “kecil” pun dapat menjelma menjadi


percekcokan hebat. Di beberapa kasus, hal ini bahkan menjadi “entry
point” untuk menjustifikasi perselingkuhan, dan tindakan kekerasan
dalam rumah tangga. Yang mengkhawatirkan lagi adalah ketika
perceraian kemudian tidak lagi dinilai sebagai aib keluarga, tapi dianggap
kewajaran, sebagai solusi sah pemecahan masalah rumah tangga.

Melonjaknya angka perceraian ini tidak bisa diantisipasi oleh salah


satu pihak atau lembaga. “Semua pihak yang memiliki keterkaitan
dengan masalah perkawinan harus duduk bersama untuk merumuskan
solusi alternatif.”14

7. Menumbuhkan kembali rasa Saling Percaya

Dalam perkawinan kita perlu membina rasa saling percaya agar


memiliki jaminan hubungan jangka panjang. Dengan dicapainya rasa
saling percaya, kita dapat melewati hidup bersama pasangan secara
lebih tenang, tanpa banyak konflik. untuk dapat benar-benar mencapai
rasa saling percaya yang mendalam, terdapat beberapa elemen yang
tidak terlalu sederhana.

Pertama, kepercayaan yang mencakup memahami karakter pasangan,


yaitu kemampuan untuk meramalkan apa yang akan dilakukan
pasangannya. Hal ini dapat dicapai dengan berjalannya waktu, melalui
pengalaman sepanjang hubungan yang telah dilewati untuk memberikan
rasa nyaman.
294_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

Kedua, menerima pasangan apa adanya, dengan terus mengusahakan


keterbukaan.

yang diperlukan adalah kesediaan kita untuk menciptakan rasa


nyaman bagi pasangan sepanjang interaksi dengannya. Kenyamanan
dapat tercipta bila kita memberikan rasa penerimaan terhadap pasangan
sebagaimana dia adanya.

pasangan kita bukan orang sempurna (seperti kita sendiri tidak


pernah sempurna), kita dapat menerima dia sebagaimana adanya bila
komitmen perkawinan kita cukup murni, tidak dicampuri oleh motif
tertentu yang bersifat egoistis.

Ketiga, komitmen, berpasangan dengan motivasi komitmen internal


(bukan karena menghasilkan reward, menghindari punishment, atau
menghindari rasa bersalah), dengan merasakan apa yang mereka lakukan
sebagai pasangan yang bahagia.15

E. Kesimpulan
Mempertahankan pernikahan dapat dilakukan dengan beberapa
cara seperti Melakukan identifikasi kondisi rumah tangga sejak dini,
memperhitungkan kerugian yang harus ditanggung, penyelesaian
nusyuz dari pihak isteri, penyelesaian nusyuz dari pihak suami,
penyelesaian syiqaq, pembinaan remaja, intensifkan peran kelembagaan,
menumbuhkan kembali rasa saling percaya.

Keyakinan harus ditumbuhkan pada diri kita bahwa semua persoalan


yang terjadi dalam keluarga pasti ada petunjuk dan jalan keluarnya
dengan tanpa harus mengorbankan kepentingan pihak istri atau suami.
Semua cobaan dan ujian hidup yang diberikan Allah pasti tidak akan
melebihi batas kemampuan umat-Nya melainkan hanya yang mampu
dilalui umat-Nya.

Kita harus memulai lupakan egoisme masing-masing terlebih dahulu


kemudian baru melakukan langkah demi langkah dalam menyelesaikan
Mempertahankan Keutuhan Keluarga _295

satu persatu persoalan dan jangan sampai masalah tersebut dibiarkan


menumpuk seperti gunungan es yang suatu saat bisa mencair dan
menimbulkan badai dalam keluarga. Saling pengertian yang dibentuk
dan di jaga antara suami istri adalah kunci utama dalam menggapai
rumah tangga yang bahagia, harmonis, sakinah dan dirahmati Allah
Subhanahu wa Taala, Amin ya rabbal alamin.
296_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

Daftar Pustaka

Anggaran Dasar BP4 Hasil Munas BP4 ke XIV Tahun 2009


Cammack, Mark, Publikasi hasil penelitian: Guru Besar dari Southwestern
School of Law-Los Angeles USA, pada website http//:www.
bimasislam.kemenag.go.id. diakses pada 8 Januari 2013
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan
Pengadilan Agama Cilegon Banten No. 164/Pdt.G/2012/PA.Clg.
Faridl, Miftah, 150 Masalah Nikah Keluarga, Jakarta: Gema Insani Press,
1999, Cet.1
Gazhali, Moch, Wan Abdul Fatah, Wan Ismail, Nusyuz Syiqaq dan Hakam
menurut al-Quran, Sunnah dan Undang-Undang Keluarga Islam,
KUIM, 2007, Cet.I
Kusuma, Hilman, Hukum Adat Dalam Yurisprudensi, Hukum Kekeluargaan
Perkawinan, Perwarisan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993
MK, M. Anshary MK, Hukum Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010
Muqaddimah Anggaran Dasar BP4 Hasil Munas BP4 ke XIV Tahun 2009
Nuruddin, Amir dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006
Prodjohamidjojo, Martiman, Tinjauan Mengenai Undang-Undang
Perkawinan, Jakarta: Indonesia Legal Publishing, 2003
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Web.
http://kumpulan.info, Apa Saja Dampak Perceraian, diakses pada 20 April
2013
http://ummi-online.com, Kategori Psikologi Keluarga: Antisipasi Cerai Sejak
Dini, diakses pada 19 Agustus 2013
http://www.kemenag.go.id, Wamenag: Tingkatkan Program Pembekalan
Remaja Usia Nikah, diakses pada 17 Agustus 2013
http://www.kesehatan.kompas.com, Membangun Saling Percaya, diakses
pada 4 Februari 2013
Mempertahankan Keutuhan Keluarga _297

Endnotes

1. Mark Cammack, Publikasi hasil penelitian: Guru Besar dari Southwestern School
of Law-Los Angeles USA, pada website http//:www.bimasislam.kemenag.
go.id. diakses pada 8 Januari 2013

2. M. Anshary MK, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 2010), h. 10.

3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan


4. Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 52

5. Muqaddimah Anggaran Dasar BP4 Hasil Munas BP4 ke XIV Tahun


2009

6. Anggaran Dasar BP4 Hasil Munas BP4 ke XIV Tahun 2009


7. Martiman Prodjohamidjojo, Tinjauan Mengenai Undang-Undang
Perkawinan, (Jakarta: Indonesia Legal Publishing, 2003), h. 54

8. Hilman Kusuma, Hukum Adat Dalam Yurisprudensi, Hukum Kekeluar-


gaan Perkawinan, Perwarisan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), h.
160

9. Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan


Pengadilan Agama Cilegon Banten No. 164/Pdt.G/2012/PA.Clg.

10. http://ummi-online.com, Kategori Psikologi Keluarga: Antisipasi Cerai


Sejak Dini, diakses pada 19 Agustus 2013

11. http://kumpulan.info, Apa Saja Dampak Perceraian, diakses pada 20


April 2013

12. Moch Gazhali, Wan Abdul Fatah, Wan Ismail, Nusyuz Syiqaq dan
Hakam menurut al-Quran, Sunnah dan Undang-Undang Keluarga Islam,
(KUIM, 2007), Cet.I, h.5

13. K.H. Miftah Faridl, 150 Masalah Nikah Keluarha, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1999) Cet.1, h.158
298_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

14. http://www.kemenag.go.id, Wamenag: Tingkatkan Program Pembekalan


Remaja Usia Nikah, diakses pada 17 Agustus 2013

15. http://www.kesehatan.kompas.com, Membangun Saling Percaya, diak-


ses pada 4 Februari 2013
Terrorism Prevention Through Religion and
Education Review

Pencegahan Terorisme
Melalui Tinjauan Agama dan Pendidikan

H. Muhammad Ilyasin
STAIN Samarinda Kalimantan Timur
email : muhammad_ilyasin@yahoo.com

Abstract : Religion as a giver of group identity and narratives that sustain can develop further
into what the main characteristics of religious violence all this time. That is, granting
legitimacy to use the violence in major jihad against other groups. This was due by
ambiguity of religion that intrinsically potential to result in conflict and violence.
Therefore, ambiguity should and should serve as an opportunity for new opportunities
to demonstrate and realize a potential r intrinsic of religion as a resource of peace. It
is require a commitment of religionist in concrete actions to that aim. If violence in
the name of religion requires militancy, so the peace efforts by religion also require
a militancy. Similarly in Islam, attitude of equality and mutual respect are the
medium to create a society respectfully of human rights, persuasive, free of coercion
and discrimination. While, terrorism prevention through education is making
the prevention of terrorism as basis of moral philosophy in religious education. So,
philosophically, terrorism is only understood as destructive actions the articulation of
values that was established in the social and cultural construction even religion.
300_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

Abstraksi : Agama sebagai pemberi identitas kelompok dan narasi yang menopangnya dapat
berkembang lebih jauh ke dalam apa yang menjadi ciri utama kekerasan keagamaan
selama ini, yaitu pemberian legitimasi kepada penggunaan kekerasan dalam jihad
besar melawan kelompok lain. Hal tersebut disebabkan sisi ambigiusitas agama yang
secara intrinsik potensial untuk melahirkan konflik dan kekerasan. Oleh karena
itu, ambiguitas selayaknya harus dijadikan sebagai kesempatan dan peluang baru
untuk menunjukkan dan mewujudkan potenti intrinsic agama sebagai sumberdaya
perdamaian. Hal tersebut memerlukan komitmen agamawan dalam aksi-aksi konkret
ke arah itu. Jika kekerasan atas nama agama  memerlukan militansi, maka upaya
perdamain oleh agama juga mensyaratkan sebuah militansi. Demikian pula dalam
ajaran Islam, sikap persamaan dan prinsip saling menghargai merupakan sarana
untuk menciptakan tatanan masyarakat yang saling menghargai hak-hak manusia,
persuasive bebas dari paksaan dan sikap diskriminatif. Sedangkan upaya pencegahan
terorisme melalui pendidikan dengan menjadikan pencegahan terorisme sebagai basis
falsafah dalam pendidikan moral agama. Sehingga secara filosofis, terorisme hanya
dipahami sebagai tindakan merusak artikulasi nilai-nilai yang sudah mapan dalam
konstruksi sosial budaya masyarakat bahkan agama.
Keyword : Terrorism, Religion Opinion, Education

A. Pengantar
Para Agamawan yang humanis untuk mudahnya sebutlah begitu
sementara ini, seringkali dongkol dengan kebiasaan komunikasi massa
(umumnya media massa populer, tetapi kadang juga buku-buku instan,
yang ditulis terburu-buru untuk momentum tertentu dan biasanya
dangkal isinya) mengungkap hal-hal yang melulu buruk mengenai
ekspresi sosial-politik agama.1  Yang biasanya diungkap adalah konflik
dan aksi-aksi kekerasan, seringkali dengan akibat amat memilukan, yang
Pencegahan Terorisme Melalui Tinjauan Agama dan Pendidikan _301

dilakukan atas nama agama.2  Ingatlah bagaimana media memberitakan


orang-orang Yahudi di Israel yang membunuhi kaum Muslim yang
tengah salat di Masjid Hebron, orang-orang Hindu di India yang
membakar Masjid Babri, orang-orang Islam di Mesir yang meneror
dan membunuh para turis atau di Bangladesh dan Iran yang menuntut
hukuman mati terhadap novelis Taslima Nasreen atau Salman Rushdie,
akar-akar (etnis-)agama konflik berkepanjangan di Irlandia Utara dan
bekas Yugoslavia, dan seterusnya.3

Dalam model pemberitaan seperti ini, orang-orang dengan motivasi


keagamaan itu disebut dengan kata-kata seram: zealots, extremists,
militants, dan yang sejenisnya.  Kadang liputan itu dilengkapi dengan
ilustrasi foto yang mengerikan, membangunkan bulu kuduk.  Model
pemberitaan yang sebaliknya, berisi kisah yang enak didengar, misalnya
tentang upaya-upaya perdamaian oleh kalangan agamawan, amat jarang
ditemukan.

Para agamawan di atas itu punya sejumlah alasan untuk merasa


dikecewakan.  Pertama-tama, konflik dan kekerasan hanyalah salah
satu wajah sosial-politik agama – dan tidak selamanya merupakan
wajahnya yang terpenting.  Maka model pemberitaan di atas, sekalipun
jika benar didasarkan atas peristiwa yang benar terjadi, dipandang tidak
adil terhadap agama.  Apalagi jika diingat bahwa tradisi agama-agama,
selain memiliki ajaran (yang memang bisa, dan sering, diselewengkan
dan disalahgunakan) yang menyerukan perdamaian (perlu diingat:
sebagian pemuka agama bahkan mengklaim bahwa inilah inti ajaran
agama), juga memiliki sederet tokoh yang telah terbukti mau dan
berani berkorban, bahkan dengan jiwa mereka, untuk memperjuangkan
ajaran itu.  Dalam sejarah agama-agama abad ke-20 saja, misalnya, kita
bisa menyebut nama Mahatma Gandhi (Hindu), Martin Luther King
Jr. (Kristen), Malcolm X (Islam), Ibu Theresa (Katolik), dan Dalai Lama
(Budha).  Agar adil, pemberitaan mengenai kekerasan berjubah agama,
yang sebenarnya bertentangan dengan semangat ajaran agama itu
sendiri, seharusnya mengungkap pula akar-akar kultural dan struktural
302_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

terjadinya kekerasan itu, oleh para aktor agama di sebuah lingkungan


sosial, ekonomi dan politik tertentu.  Tetapi persis alasan inilah yang
seringkali absen dari model pemberitaan di atas.

Banyak sekali contoh yang memperlihatkan bagaimana seorang atau


sekelompok agamawan yang semula berwawasan pluralis, sedikitnya
inklusivis, beralih menjadi sebaliknya, berwawasan eksklusif dan
bersikap ekstrem, karena deraan informasi yang dangkal dan tidak
lengkap mengenai kekerasan yang dilakukan terhadap rekan-rekannya
seiman oleh kelompok agama lain.  Dalam kasus seperti ini, berlakulah
rumus: “fundamentalisms breed another fundamentalisms,” fundamentalisme
hanya akan melahirkan fundamentalisme lainnya.4

Yang pasti, Terorisme tegas dinyatakan tidak bisa dikaitkan dengan


agama tertentu, karena semua agama mengutuk terorisme. Namun
untuk melawan terorisme perlu menggunakan metode lain yaitu
menggunakan soft power persuasif antara lain mengikutsertakan tokoh-
tokoh agama dalam upaya menetralisir pembibitan dan penyebaran
ajaran radikalisme. Disinilah, agama sebagai pembawa rahmat, terutama
para pemuka agama dan tokoh agamanya bertanggungjawab untuk
menciptakan pemahaman dan kesadaran agama yang lembut, tentram
dan damai di tengah-tengah umat. Agama perlu dikembalikan kepada
ajaran yang otentik sebagai sumber moralitas luhur. Agama perlu
dilepaskan dari tarikan kepentingan sempit kelompok, apalagi sebagai
justifikasi melakukan kekerasan. Agama perlu dilabuhkan ke dalam misi
kesejehteraan hidup, ke dalam realitas konkret melalui substansi ajaran
yang hakiki dan tidak sepotong-sepotong.

Penguatan dan pembumian ajaran agama akan mempersempit


perkembangan terorisme. Dan dalam hal Pendidikan, seharusnya
pendidikan tidak bisa lagi sebagai proses pembelajaran, tetapi menjadi
proses yang mengantarkan manusia untuk to have dan to be, membentuk
jati diri manusia yang bersumber dari moralitas luhur agama, nilai
kemanusiaan universal dan kearifan lokal.
Pencegahan Terorisme Melalui Tinjauan Agama dan Pendidikan _303

B. Agamawan dan Fundamentalis


Ketika menyebut “agamawan humanis” di atas, teringat kepada
orang-orang seperti Abdullahi Ahmed An-Na’im asal Sudan, yang harus
mengasingkan diri ke luar negeri karena komitmennya kepada penegakan
Hak-hak Asasi Manusia (HAM)  yang dilecehkan regim di negerinya. 
Atau orang seperti Sulak Sivaraksa, seorang tokoh Budha di Thailand,
yang terus melawan arus dan tetap mengabarkan bahwa kekerasan, apa
pun alasannya, hanya akan mengkhianati dan mencederai ajaran Budha. 
Atau trio pendeta Budha (Maha Ghosanada), aktivis HAM Yahudi (Liz
Bernstein), dan pendeta Jesuit (Bob Maat), yang tanpa kenal lelah dan
menempuh segala risiko memimpin sejumlah kelompok umat Budha
di Kamboja dalam aksi-aksi tanpa-kekerasan dalam menyelesaikan
konflik.  Orang-orang seperti mereka itu, seraya tetap teguh percaya
akan kebenaran yang termuat dalam agama mereka, tetap tidak
menutup peluang bagi berlangsungnya dialog dan pertukaran budaya
dengan orang atau orang-orang dengan latar belakang mana pun – baik
yang religius maupun yang sekular.  Mereka bukan saja menyepakati
pluralisme (yang lebih “berisiko” dari sekadar inklusivisme, apalagi
eksklusivisme), tetapi juga menyatakan komitmen mereka untuk
menegakkannya.

Kita menyebut mereka “humanis,” karena mereka percaya bahwa


agama ada energi moral untuk kemaslahatan manusia di bumi, sekalipun
didesain oleh dan bersumber dari Yang Mahasuci di atas manusia dan
di atas makhluk lain mana pun di alam semesta ini, diturunkan untuk
– dan hanya untuk – manusia, semua manusia, bukan untuk Tuhan
itu sendiri atau sekelompok kecil umat manusia yang terpilih sebagai
nabi atau utusan-Nya.  Didorong oleh religiusitas yang menggempal
dalam jiwa mereka, mereka melihat citra dan bayangan Yang Mahasuci
dalam diri manusia, juga dalam tindak penciptaan manusia, kehidupan,
dan alam semesta.  Dan untuk semua itu, mereka tidak bisa berbuat
lain kecuali mengusahakan tetap terpeliharanya kesucian semua itu,
kesucian penciptaan dan martabat kehidupan, dengan manusia sebagai
304_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

porosnya.  Bagi mereka, menjadi religius adalah menjadi saksi mengenai


kesucian dan ketinggian harkat penciptaan ini.  Dalam posisi ini, konflik
dan kekerasan atas nama agama, yang mengharuskan jatuhnya korban
manusia di atas altar perjuangan demi Yang Mahasuci, bukan saja absurd,
melainkan juga scandalous!

Nah, oleh pemberitaan media mengesankan kepada kita bahwa para


agamawan yang humanis itu kini seakan sedang berperang melawan
dua front yang sama kelas beratnya, militansinya, ekstremnya–yang satu
sama lain saling menyalahkan, bahkan saling menyetankan.  Yang pertama
adalah kaum “fundamentalis agama,” yang merasa bahwa sesuatu yang
bernama kebenaran sudah ada di tangan mereka (dan hanya di tangan
mereka), yang bulat tanpa benjol sedikit pun karena sumbernya Tuhan
yang sepenuhnya benar, dan tugas mereka adalah memperjuangkannya,
termasuk dengan kekerasan kalau perlu.  Orang-orang yang tergabung
dalam front ini (mereka ada di semua agama tanpa pandang bulu)
dengan sendirinya militan dan ekstremis, karena mereka memandang
bahwa mereka adalah kelompok pilihan yang diberi keistimewaan untuk
membawa misi suci, dan yang mati di jalannya sama artinya dengan mati
syahid.5

Sedang front yang kedua adalah kaum “fundamentalis sekular,”


yang merasa bahwa agama sudah tidak punya hak hidup sekarang ini,
dengan berbagai alasan: karena semua persoalan harus diputuskan
hanya oleh akal manusia; bahwa intervensi agama dalam urusan dunia
hanya mendatangkan pertumpahan darah, seperti banyak dicatat dalam
sejarah kemanusiaan; dan bahwa perpaduan agama dan politik itu tidak
normal dan berbahaya.  Kaum ini mengingatkan kita kepada pemimpin
tertentu Revolusi Perancis yang menjadikan sekularisasi total sebagai
salah satu program utamanya, yang merasa bahwa gereja adalah lawan
yang sedikit pun tidak punya kebajikan dan harus diluluhlantakkan
sehabis-habisnya, di abad ke-18.6
Pencegahan Terorisme Melalui Tinjauan Agama dan Pendidikan _305

C. Akar Terorisme dan Radikalisme Agama


Jika benar demikian duduk perkaranya, maka pertanyaan yang
perlu kita jawab adalah: bagaimana perilaku saling menyetankan dan
menebar ketakutan ditengah masyarakat itu bisa diakhiri? sedikitnya
diminimalisasi terus-menerus, dan segala upaya ke arah perdamaian
ditopang dan digalakkan, Bagaimana maksud baik para tokoh Agama
untuk membangun jembatan dialog dan pertukaran budaya di antara
umat manusia, memajukan pendidikan, dan mengajarkan agama yang
baik dan benar yang mana dapat disistematisasikan dan diagendakan,
dibangun strategi, dan teknik-tekniknya?

Dan perlu ditegaskan sekali lagi di sini bahwa Terorisme jangan


diartikan sebagai dorongan spirit agama Islam, itu anggapan yang sangat
fatal dan sangat menciderai kontruksi suci agama itu sendiri, mengingat
bahwa istilah terorisme sendiri booming pasca penyerangan WTC 11
September tahun 2001 yang lalu, A War Against Terrorism demikian slogan
Amerika ketika berkomitment menabuh genderang perang terhadap
terorisme, tapi apa lacur “terorisme” sendiri bak mahluk halus sulit yang
sulit didefinisikan apalagi ditangkap, hingga kini istilah itu belum ada
satupun kesepakatan dari berbagai pihak tentang definisinya, karena
semua pihak merasa berkepentingan untuk menerjemahkannya sesuai
dengan kepentingan dan sudut pandangnya masing masing,7 dan media
Barat lah yang kemudian cenderung bahkan massive memberikan stempel
dan Cap bahwa terorisme disokong sepenuhnya oleh semnagat jihad
Islam dan celakanya itu berhasil mempengaruhi pandangan masyarakat
dunia bahkan sebagian besar muslim tanah air, Padahal, di Eropa juga
ada gerakan terorisme yang dipolopori oleh Brigade Merah, teroris ETA
di Spanyol, IRA di Irlandia dan masih banyak lainnya.8

Mati satu tumbuh seribu. Mungkin pribahasa inilah yang sangat


tepat untuk menggambarkan semakin merajalelanya aksi-aksi terorisme
di Tanah Air. Tertangkapnya tujuh terduga teroris beberapa waktu lalu
menjadi bukti bahwa terorisme terus mengancam kehidupan berbangsa
306_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

dan bernegara. Mereka ditangkap terkait kasus perampokan toko mas


di Tambora Jakarta Barat, 10 Maret lalu. Berdasarkan informasi, ketujuh
teroris tersebut diduga terkait jaringan teroris Abu Umar. Paham
radikal yang dibawa para teroris tampaknya masih sangat mengancam
kesatuan NKRI dan keutuhan bangsa Indonesia. Jaringan terorisme telah
membumi di tengah-tengah masyarakat kita, sehingga keberadaannya
perlu direspons secara serius agar generasi-generasi berikutnya tidak
bermunculan lagi.

Seacara teoretis, ‘radikal’ adalah sikap. Sama seperti sikap ‘disiplin’


militer atau sikap ‘rajin’ belajar. Sikap radikal adalah perasaan (afeksi)
yang positif terhadap segala yang serba ekstrem, sampai ke akar-akarnya.9
Paham radikal ini sepertinya sangat susah dibasmi, mengingat regenerasi
sangat gencar dilakukan dengan merekrut generasi muda sebagai
penerus untuk melancarkan pelbagai aksi teror. Kekeliruan memaknai
jihad telah membawa mereka ke dalam ideologi radikal. Di sini yang
keliru bukanlah ajaran agamanya, namun manusia yang salah dalam
memahami ajaran agama yang penuh kedamaian dan toleran. Zuhairi
Misrawi dalam bukunya10 mengatakan terorisme dan radikalisme tidak
bisa dikaitkan dengan agama, karena yang bermasalah bukan agama,
tetapi umat yang kerap kurang tepat memahami doktrin agama, tidak
kontekstual, dan bernuansa kekerasan. Para pelaku teror sangat keliru
dalam memaknai ajaran agama, seperti jihad. Mereka mengidentikkan
jihad dengan kekerasan, perang dan pembunuhan. Jika jihad dimaknai
secara sempit, maka pemahaman seperti itu sangat keliru dan fatal yang
pada akhirnya akan berpengaruh terhadap perkembangan dan pemikiran
para generasi muda. Tampaknya terorisme telah berhasil membajak
agama untuk kepentingan penghancuran kemanusiaan. Ketika agama
dibajak untuk melegalkan radikalisme atas nama agama, maka agama
menjadi instrumen pembenaran diri (self-justification,truth claim) dalam
melakukan kekerasan. Sempitnya makna jihad di kalangan teroris terjadi
karena pemahaman keagamaan yang minim dan adanya kesalahpahaman
dalam memaknai kata jihad. Islam memang membolehkan perang fisik,
Pencegahan Terorisme Melalui Tinjauan Agama dan Pendidikan _307

tapi dengan aturan yang benar, seperti tidak boleh membunuh anak-
anak dan perempuan, tidak boleh merusak rumah ibadah milik ummat
manapun dan fasilitas umum. Pertanyaan kita selanjutnya apa dan
bagaimana fundamentalisme - radikalisme agama itu kita cegah pada
masyarakat?11

Jika kita identifikasi secara jernih, distingsi antara “kita” dan “mereka,”
membutuhkan legitimasi terus-menerus agar tidak usang, dikembangkan
lewat narasi besar berupa dasar-dasar keimanan, kisah-kisah dan ritual
keagamaan, keterlibatan dalam upacara-upacara keagamaan tertentu,
dan seterusnya.  Narasi ini seringkali diperkokoh oleh bentuk-bentuk
ekspresi keagamaan yang amat kasat mata seperti kekhasan pakaian,
arsitektur, musik dan lainnya.  Semua ini hanya menambah kekokohan
identitas diri dan kelompok di atas, dan memperteguh pembedaan
di antara banyak orang dan kelompok.  Dalam situasi yang amat
genting, narasi seperti ini akan berkembang makin tajam, mengarah
kepada eskalasi konflik: kelompok sendiri, “kita,” disucikan dan makin
disucikan; sedang kelompok lain, “mereka,” dilecehken dan disetankan.

Fungsi agama sebagai pemberi identitas dan kelompok, dan narasi


yang menopangnya – dapat berkembang lebih jauh ke dalam apa
yang mencirikan pola utama kekerasan keagamaan selama ini, yaitu
pemberian legitimasi kepada penggunaan kekerasan (bersenjata)
dalam jihad besar, “perjuangan suci,” melawan kelompok-kelompok
lain, kelompok “mereka.”  Pemberian legitimasi ini dapat berlangsung
dalam berbagai cara, misalnya: seruan formal kepada tradisi kegamaan
tertentu, yang menunjukkan situasi-situasi khusus di mana penggunaan
kekerasan (bersenjata) dapat dibenarkan; penguatan narasi-narasi yang
menunjukkan kejahatan dan kebengisan kelompok lain, kelompok
“mereka,” yang mengancam keselamatan kelompok “kita”; dan rujukan
kepada sebuah misi suci keagamaan tertentu di mana tindakan militeristik,
setidaknya dalam situasi tententu, dapat dibenarkan. Kemudian,
bagaimanakah sebuah aksi kekerasan (bersenjata) pada akhirnya dapat
dibenarkan oleh agama?  Inilah sebab keempat mengapa Agama secara
308_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

intrinsik potensial untuk melahirkan konflik dan kekerasan: karena


komunitas agama tertentu, kelompok “kita,” pada akhirnya memerlukan
sebuah ruang dan wilayah dimana “kita” bisa unggul dan mendominasi.

Kalau kita lihat sejarah sekilas saja, maka akan tampak jelas bahw
ambiguitas di atas adalah fakta-fakta keras, sebuah hard fact, yang sulit
ditolak.  Karenanya, hal itu mestinya tidak telalu mengagetkan siapa
pun atau mengecewakan siapa pun.  Kenyataan itu juga tidak perlu
membuat galau dan malu para agamawan yang mendambakan dunia
yang damai, karena selalu ada jarak antara apa yang diajarkan agam
dan apa yang dilakukan oleh para pemeluknya, antara keinginan dan
kenyataan, antara cita-cita luhur dan fakta yang sebaliknya.  Sementara
benar bahwa agama, bahkan inti ajarannya, menyerukan perdamaian,
juga benar dikatakan bahwa, semua agama, baik dalam sejarah maupun
dalam konteks kontemporernya, merupakan salah satu dari beberapa
sumber konflik kekerasan yang paling pokok.12

D. Agama: Sumber Daya Perdamaian


Pengakuan mengenai fakta keras itu sendiri sebenarnya tidak terlalu
penting.  Yang lebih penting adalah apa yang harus dilakukan setelah
kita menyadari dan mengakuinya.  Dalam hal ini, ambiguitas di atas
harus dijadikan sebagai kesempatan, sebagai peluang baru, justru
untuk menunjukkan dan mewujudkan potenti intrinsic agama sebagai
sumberdaya perdamaian.  Para agamawan yang punya komitmen kepada
perdamaian tidak hanya boleh berkeluh kesah.  Tidak cukup bagi mereka
hanya dengan mengatakan agama dapat berperan seperti itu, melainkan
juga menyatakan komitmen mereka dalam aksi-aksi konkret ke arah
itu.  Jika kekerasan atas nama agama  memerlukan militansi, maka upaya
perdamain oleh agama juga mensyaratkan sebuah militansi.13

Untuk sampai ke sana, sisi kedua dari agama di atas, yaitu sisinya
sebagai salah satu sumber konflik, pertama-tama harus diurai dan
diperhatikan sungguh-sungguh.  Ekspresi kekerasan atas nama
Pencegahan Terorisme Melalui Tinjauan Agama dan Pendidikan _309

agama harus ditinjau secara teliti, dilihat kasus demi kasus, dalam
konteksnya yang luas.  Bukan untuk menekankan terutama sisi buruk
agama.  Melainkan untuk memperoleh potretnya yang benar, selengkap-
lengkapnya, sebagai dasar bagi perumusan agenda dan strategi kerja
ke arah upaya-upaya perdamaian di masa depan.  Dalam hal ini, kabar
buruk yang benar harus dipandang sebagai lebih baik ketimbang kabar
baik yang palsu, yang bohong.

Jika ancang-ancangnya benar demikian, maka kita memiliki tiga gugus


pertanyaan besar yang harus dijawab di sini. Pertama, dalam kondisi apa
saja para aktor agama yang militan melakukan aksi-aksi kekerasan atas
nama agama?  Kedua, sebaliknya, dalam kondisi apa pula para aktor agama
menolak aksi-aksi kekerasan dan menentang komitmen aktor agama
yang ekstremis atau militan untuk menggunakan kekerasan sebagai
sebuah tugas suci atau sebuah privelese keagamaan?14  Dan ketiga, dalam
kondisi apa pula para aktor agama yang memiliki komitmen kepada
perdamaian dan aksi-aksi tanpa kekerasan dapat mengembangkan diri
menjadi para agen pembangun perdamaian (peace builder)?

Dalam studinya baru-baru ini, Scott Appleby mencoba menjawab


pertanyaan-pertanyaan di atas itu.  Menurutnya, kekerasan keagamaan
tejadi ketika para pemimpin ekstremis agama tertentu, dalam reaksi
mereka terhadap apa yang mereka pandang sebagai ketidakadilan dalam
sebuah lingkungan struktural suatu masyarakat, berhasil memanfaatkan
argumen-argumen keagamaan (atau etnis-keagamaan) untuk melakukan
tindakan kekerasan terhadap kelompok lain.  Penolakan keagamaan
terhadap berbagai kekuatan ektremisme dimungkinkan jika para
pemimpin agama berhasil menumbuhkan militansi anti-kekerasan
(non-violent militancy), baik sebagai norma agama maupun sebagai
strategi untuk menentang dan mengatasi ketidakadilan dalam sebuah
lingkungan strukural suatu masyarakat.  Upaya-upaya perdamaian
oleh agama tejadi ketika para pemeluk agama yang militan dan mau
mendedikasikan diri mereka kepada sikap dan aksi-aksi tanpa kekerasan,
memiliki kemampuan teknis dan profesional untuk mencegah, memberi
310_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

sinyal awal, memerantarai dan melakukan unsur-unsur lain le arah


transformasi konflik dan kekerasan.15

E. Agama Perdamaian sebagai Militansi Tandingan


Saya mencatat dua unsur kunci dalam paparan Appleby yang
cermat di atas.  Yang pertama adalah militansi, dan yang kedua adalah
persepsi mengenai ketidakadilan yang menjadi dasar pijak para aktor
agama untuk melakukan kekerasan atas nama agama. Mengenai yang
pertama, sudah ditegaskannya di atas.  Jika kekerasan atas nama agama
memerlukan militansi, maka upaya-upaya perdamaian oleh agama
juga mensyaratkan sebuah militansi.  Dengan kata lain, upaya-upaya
ini harus ditegaskan dan gencar dilakukan, dengan organisasi seperti
Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) atau LSM lain yang
disusun rapi, serius dan agenda yang jelas, dengan ketrampilan dan
teknik-teknik yang memungkinkan pencapaiannya.  Hal ini penting dan
harus dilakukan untuk menunjukkan bahwa sentimen dan komitmen
kagamaan bukanlah hak prerogratif mereka yang esklusif dalam
wawasan keagamaannya, yang biasanya mudah menggunakan aksi-aksi
kekerasan untuk menyelesaikan masalah.  Mereka yang berwawasan
eksklusif itu punya hak untuk menafsirkan dan megekspresikan agama
menurut cara pandang mereka, tetapi hal itu bukanlah satu-satunya
penafsiran dan ekspresi agama yang sah.

Di atas sudah disebutkan bahwa aksi-aksi kekerasan atas nama agama


turut dibangun oleh nasari-narasi yang memperkokoh identitas “kita,”
seraya menyetankan “mereka.”  Agar kampanye perdamaian atas nama
agama dapat berjalan baik, maka para agamawan yang anti-kekerasan
harus membangun narasi-narasi tandingannya, yang dapat menopang
perdamaian. Narasi-narasi beraura konflik dan permusuhan harus
ditandingi dengan naras-narasi yang mendorong tumbuhnya rasa saling
menghormati di antara sesama manusia dan cita-cita pluralisme.
Pencegahan Terorisme Melalui Tinjauan Agama dan Pendidikan _311

Dasar argumentasi yang sama juga harus disampaikan secara


terang-benderang kepada kaum “fundamentalis sekular” yang sering
mencibir dan melecehkan kemampuan agama sebagai sumberdaya
perdamaian.  Cita-cita luhur pencerahan, pada praktiknya juga sama
tidak mulusnya dengan cita-cita yang diinspirasikan oleh sumber
lain.  Abad ke-20 yang baru lalu mencatat bahwa, sekalipun membawa
kemakmuran ekonomi dan banyak kemudahan hidup lain pada segmen
tertentu umat manusia, proyek modernisme juga tetap memakan banyak
korban, langsung atau tidak: nuklirisme, kerusakan lingkungan, alienasi,
kemiskinan massa di belahan dunia yang tertinggal, dan seterusnya.

Semua ini hanya menunjukkan pentingnya mereka untuk bersikap


lebih rendah diri, bersiap diri mendengar suara lain, termasuk
suara agamawan.  Mereka harus menyadari bahwa keinginan untuk
memperoleh semacam ketenangan batin, rasa aman, dan identitas
kelompok, di tengah dunia yang bagi sebagian orang sering tak
termaknakan ini, adalah sesuatu yang tidak bisa disepelekan.  Kalau
mereka menyatakan bahwa adalah manusia itu sendiri yang berdaulat
atas dirinya, bukankah agamawan juga adalah manusia yang patut
dihargai kedaulatannya, dengan mendengarkan suara dan asiprasinya.16

Selain itu, peralatan agama secara fungsional juga dapat dimanfaatkan


untuk tujuan-tujuan perdamaian.  Jika kaum “fundamentalis sekular”
tidak percaya pada “jalan agama,” toh dialog dengan kalangan
agamawan – sebagai sesama manusia – tetap saja diperlukan dalam
rangka koeksistensi damai.  Yang lebih fungsional dari itu juga bisa:
karena daya rengkuh agama tetap besar, Anda dapat memanfaatkan
sumberdayanya yang menopang perdamaian, sekalipun Anda
sebenarnya skeptis kepadanya.  Akhirnya, di era yang disebut
pascamodern ini, siapa pun tidak bisa mengabaikan peran yang disebut
kepemimpinan karismatik.  Jika seorang pemimpin agama yang
karismatik dapat memompa aksi-aksi kekerasan, mengapa Anda tidak
berusaha untuk mendekatinya dan mengajaknya untuk berperan sebagai
peace builder?  Singkatnya, jika kerja sama dengan agama yang sepenuh,
312_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

setengah atau bahkan seperempat hati tidak mungkin dilakukan, maka


berusahalah untuk tidak menyerang dan melecehkannya.17

Sebagai bangsa yang multikultur, khsusunya provinsi Kalimantan


Timur salah satu wilayah paling kondusif mengingat komposisi agama
dan suku sangat heterogen, ini modal awal sebagai sumber daya yang
cukup potensial meredam aksi aksi radikalisme, maka semua pihak
kita harus libatkan dan membuang sikap fanatisme, intoleransi, dan
radikalisme dan hingga kini provinsi ini belum pernah terdeteksi ada
gerakan gerakan sempalan yang berhaluan terorisme. Dan inilah tugas
utama kita di FKPT di kaltim secara serius menjaga kondusifitas itu.
Dengan demikian, reproduksi teroris bisa diminimalisir semaksimal
mungkin dan wilayah ini mampu keluar dari bayang-bayang terorisme.
Untuk membebaskan para teroris dari paham radikal, para tokoh agama
harus melakukan tindakan nyata dengan cara memberikan pemahaman
yang benar kepada masyarakat terutama generasi muda mengenai ajaran
agama, sosial serta bidang keilmuan lainnya.

F. Agama “Rahmatal lil Alamin”: Kontekstualisasi Peran Sosok


Muslim
Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin artinya Islam merupakan
agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi semua seluruh
alam semesta, termasuk hewan, tumbuhan dan jin, apalagi sesama
manusia.   Pernyataan  bahwa Islam adalah agamanya yang rahmatan lil
‘alamin sebenarnya adalah kesimpulan dari firman Allah swt:

∩⊇⊃∠∪ š⎥⎫Ïϑn=≈yèù=Ïj9 ZπtΗôqy‘ ωÎ) š≈oΨù=y™ö‘r& !$tΒuρ


Terjemahannya : Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi semesta alam.

Ĩ # “ω÷ƒr& manusia
$¨Ζ9$melarang
Islam ôMt6|¡x. berlaku
$yϑÎ/ Ìós t7ø9$#uρ Îhy9ø9$# ’Îterhadap
semena-mena û ߊ$|¡xø9makhluk
$# tyγsß
Allah, lihat saja sabda Rasulullah sebagaimana yang terdapat dalam

∩⊆⊇∪ tβθãèÅ_ötƒ öΝßγ¯=yè9s (#θè=ÏΗxå “Ï%©!$# uÙ÷èt/ Νßγs)ƒÉ‹ã‹Ï9


Pencegahan Terorisme Melalui Tinjauan Agama dan Pendidikan _313

Hadis riwayat al-Imam al-Hakim:    

“Siapa yang dengan sewenang-wenang membunuh burung, atau hewan


lain yang lebih kecil darinya, maka Allah akan meminta pertanggungjawaban
kepadanya”.  

Sungguh begitu indahnya Islam itu bukan !. Dengan hewan saja


tidak boleh sewenang-wenang, apalagi dengan manusia. Bayangkan jika
manusia memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran islam, maka akan
sungguh indah dan damainya dunia ini. Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi Wa sallam diutus dengan membawa ajaran Islam, maka Islam
adalah rahmatan lil’alamin, Islam adalah rahmat bagi seluruh manusia.
rahmat artinya kelembutan yang berpadu dengan rasa iba. Atau dengan
kata lain rahmat dapat diartikan dengan kasih sayang.

Kalau ditelusuri, kata Islam berasal dari kata asalama-yuslimu, islaman.


Kata Asalama bukanlah hanya selamat tapi akan tetapi“menyelamatkan”.
Siapa yang diselamatkan, disebutkan dalam al-qur’an wama arsalnaka
illa rahmatan lil alamin, bukan hanya dibatasi orang-orang muslim saja.
Akan tetapi seluruh alam, jadi bukan hanya rahmatan li nash, akan
tetapi seluruh  (ekosistem), Dari sini kita bisa memahami Islam adalah
agama penyelamat bukan hanya bagi ummatnya sendiri tapi Islam
adalah agama penyelamat ummat yang lain. Seorang muslim yang baik
adalah apabila orang lain yang ada disekitarnya, orang muslim sendiri
maupun non muslim akan merasa selamat, nyaman, tentram dan damai.
Mengapa terjadi gunung longsor, karena kita tidak mau menyelamatkan. 

∩⊇⊃∠∪ š⎥⎫Ïϑn=≈yèù=Ïj9 ZπtΗôqy‘ ωÎ) š≈oΨù=y™ö‘r& !$tΒuρ


Karena alam tidak dirahmati, maka terjadilah bencana dimana-mana.
Maka sesungguhnya terjadinya bencana adalah merupakan timbal-balik
dari perbuatan manusia itu sendiri . sebagaiman firman Allah dalan Al-
Quran surat Ar-Rum:41:

Ĩ$¨Ζ9$# “ω÷ƒr& ôMt6|¡x. $yϑÎ/ Ìóst7ø9$#uρ Îhy9ø9$# ’Îû ߊ$|¡xø9$# tyγsß

∩⊆⊇∪ tβθãèÅ_ötƒ öΝßγ¯=yès9 (#θè=ÏΗxå “Ï%©!$# uÙ÷èt/ Νßγs)ƒÉ‹ã‹Ï9


314_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

Terjemahannya: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan


karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka
sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang
benar).

Untuk itu, berangkat dari pengertian terminologis ini  orang Islam


yang baik adalah sosok yang kapanpun dan dimanapun, memiliki misi
menyelamatkan, membuat kedamaian. Dalam konteks ini, Islam sebagai
agama yang dapat memberi keselamatan, kesejahteraan dan kedamaian
bagi pemeluk dan bagi masyarakat sekitarnya. Egaliterianisme adalah
dua kata yang terdiri dari yang terdiri dari egaliter dan isme. Egaliter

sederajat, sementara∩⊇ ⊃∠∪ berarti ϑn=≈yèù=Ïj9dengan


š⎥⎫Ïfaham, ZπtΗôqy‘demikian
ωÎ) šegaliteranisme
≈oΨù=y™ö‘r& !$tΒuρ
merupakan sikap tentang memandang sesuatu atau seseorang itu
isme
adalah faham yang memandang seseorang atau sesuatu itu sederajat,
tidak menganggap rendah dan diskriminatif. Dari faham inilah
kemudian menjadi sikap positif terhadap orang lain. Dari sikap tersebut
Ĩ$¨Ζmuncul
maka ÷ƒr& ôM
9$# “ωsikap x. $yϑÎ/ Ìós
t6|¡perlakuan
atau t7ø9$#uρmembedakan
tidak Îh9y ø9$# ’Îû ߊ$|umat
¡xø9$#manusia
tyγsß
atau jenis kelamin, asal-usul etnis, warna kulit, latar belakang, historis,

èÅ_dimanifestasikan
∩⊆⊇∪ tβθãyang ötƒ öΝßγ¯=yè9s (#θè=ÏΗxådalam“Ï%©!ukhuwah$# uÙ÷èt/ yaitu ƒÉ‹ã‹Ï9
Νßγs)prinsip
social, ekonomi, dan sebagainya. Sikap persamaan ini merupakan refleksi
dari sikap tauhid
yang menekankan nilai kebersamaan yang dibingkai rasa tanggung
jawabdalam menjalani hidup dan kehidupan masyarakat. Sebagaimana
firman Allah dalam al-Quran surat al-Hujurat: 13

öΝä3≈oΨù=yè_
y uρ 4©\s Ρé&uρ 9x.sŒ ⎯ÏiΒ /ä3≈oΨø)n=yz $¯ΡÎ) â¨$¨Ζ9$# $pκš‰r'¯≈tƒ

öΝä39s)ø?r& «!$# y‰ΨÏã ö/ä3tΒtò2r& ¨βÎ) 4 (#þθèùu‘$yètGÏ9 Ÿ≅Í←!$t7s%uρ $\/θãèä©

∩⊇⊂∪ ×Î7yz îΛ⎧Î=tã ©!$# ¨βÎ) 4


Terjemahannya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari

ΝÍκön=tã $uΖóstGxs9 (#öθs)¨?$#uρ (#θãΖtΒ#u™ #“tà)ø9$# Ÿ≅÷δr& ¨βr& öθs9uρ


Pencegahan Terorisme Melalui Tinjauan Agama dan Pendidikan _315

seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa -


bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal.

Ayat ini memuat pesan bahwa Islam tidak membeda-bedakan baik


laki-laki maupun perempuan dalam hal apapun. Perbedaannya hanya
terletak pada ketaqwaan dan kualitas keimanannya kepada allah. Ayat
ini mengajarkan tentang sikap penghargaan terhadap seseorang tanpa
melihat warna kulit, suku, ras bahkan agama dan sebagainya. Karena
sikap penghargaan terhadap seseorang diniati berdasarkan prestasi
bukan prestise seperti fanatisme keturunan, maupun kesukuan. Dalam
ke-Islaman sikap persamaan dan prinsip saling menghargai merupakan
sarana untuk menciptakan tatanan masyarakat yang saling menghargai
hak-hak manusia, persuasive bebas dari paksaan dan sikap diskriminatif.
Selain itu, refleksi dari sikap egaliter dapat membentuk karakter muslim
yang toleran yakni sikap saling pengertian kepada orang lain yang
berbeda baik secara akidah maupun keyakinan beragama. Toleransi
merupakan konsep ajaran Islam, hadir sebagai bukti adanya pengakuan
Islam Islam terhadap hak-hak asasi masing-masing individu manusia.

Being a good Moslem, harus tercermin dalam daily life-nya mencerminkan


pribadi Muslim yang menyelamatkan, itu jauh lebih esensial. Kalau
ada orang yang mengaku Islam akan tetapi membuat orang lain tidak
merasa nyaman, merasa takut, pasti ada “something wrong” dibalik yang
diyakininya tersebut. Dengan demikian, apapun yang tidak membuat
proses damai atau mendamaikan bukanlah mencerminkan nilai-nilai
agama Islam, meskipun dihadirkan dengan simbol-simbol keislaman.

Jika menghendaki agar Islam benar-benar menjadi agama yang


membawa rahmat bagi seluruh alam, maka kaum muslim dituntut
untuk mengevaluasi pemahaman keagamaannya dan praktek
keberagamaannya. Instrospeksi dan mawas diri atas segala sikap dan
316_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

perilaku yang berkaitan dengan praktik agama islam. Jangan sampai kita
mengklaim bahwa kelompok kita paling benar, sedangkan orang lain
salah. Dalam pergaulan dengan siapapun maka kita harus melakukan
pendekatan yang arif, toleransi dan ramah. Sikap-sikap seperti itu hanya
bisa dilakukan dengan sikap dewasa dan hati yang tenang serta kepala
dingin. Melalui pengembangan dan penerapan konsep-konsep toleransi
yang baik dan sesuai dengan ajaran agama , maka Islam sebagai agama
“Rahmatal lil ‘Alamin” bisa diharapkan dan dirasakan oleh semua pihak.
Tanpa adanya toleransi dan dan mawas diri, maka penerapan ajaran
agama akan sangat keras dan kaku, yang akhirnya bisa menimbulkan
fanatisme golongan atau kelompok.

G. Pendidikan Sebagai Proteksi Ideal


Sekalipun pendidikan bukanlah faktor langsung yang dapat
menyebabkan munculnya gerakan terorisme, akan tetapi dampak yang
dihasilkan dari suatu pendidikan yang keliru juga sangat berbahaya. Maka
peran aktif dunia pendidikan dianggap vital sebagai proteksi dini secara
menyeluruh untuk pencegahan gejala dan faham kekerasan atas nama
agama, khususnya Pendidikan agama yang harus lebih diperhatikan.
Ajaran agama yang mengajarkan toleransi, kesantunan, keramahan,
membenci pengerusakan, dan menganjurkan persatuan tidak sering
didengungkan. Retorika pendidikan yang disuguhkan kepada ummat
lebih sering bernada mengejek daripada mengajak, lebih sering memukul
daripada merangkul, lebih sering menghardik daripada mendidik. Maka
lahirnya generasi umat yang merasa dirinya dan kelompoknyalah yang
paling benar sementara yang lain salah maka harus diperangi, adalah
akibat dari sistem pendidikan kita yang salah. Sekolah-sekolah agama
dipaksa untuk memasukkan kurikulum-kurikulum umum, sementara
sekolah umum alergi memasukan kurikulum agama.

Dan tidak sedikit orang-orang yang terlibat dalam aksi terorisme


justru dari kalangan yang berlatar pendidikan umum, seperti dokter,
Pencegahan Terorisme Melalui Tinjauan Agama dan Pendidikan _317

insinyur, ahli teknik, ahli sains, namun hanya mempelajari agama sedikit
dari luar sekolah, yang kebenaran pemahamananya belum tentu dapat
dipertanggungjawabkan. Atau dididik oleh kelompok Islam yang keras
dan memiliki pemahaman agama yang serabutan. Maka dibutuhkan
pengembangan pendidikan agama yang integrative atau menyeluruh
untuk menghindari pemahaman agama secara parsial, Pendidikan dan
Agama satu paket yang tidak bias dipisah pisahkan.

Pendidikan agama memiliki kedudukan yang sangat penting dalam


system pendidikan nasional. Secara eksplisit Undang- undang nomor
20/2003 menyebutkan bahwa pendidikan agama merupakan mata
pelajaran yang wajib diajarkan di setiap jenjang dan jenis pendidikan.
Pendidikan Agama diberikan sesuai dengan agama peserta didik dan
diajarkan oleh guru yang seagama dan bertujuan untuk menumbuhkan
dan membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa (Undang-undang Nomor 20/2003).

Karena kedudukannya yang sangat penting, pendidikan agama


seringkali menjadi indikator utama keberhasilan pendidikan, khususnya
pembentukan moralitas peserta didik. Pendidikan agama seringkali
menjadi tertuduh utama dan paling besar menanggung dosa atas
merosotnya moralitas peserta didik. Pendidikan agama juga tidak jarang
dijadikan kambing hitam atas masalah kenegaraan seperti separatisme
Islam, terorisme, dan kekerasan bernuansa agama. Penilaian ini jelas tidak
adil. Pendidikan agama bukanlah segala-galanya karena banyak variabel
lain terkait dengan pendidikan. Namun pada sisi yang lain penilaian
tersebut sungguh tidak berlebihan, karena faktanya membuktikan
bahwasanya aksi kekerasan sebagaimana terorisme sebagian besar
dilakukan oleh orang yang berpendidikan.

Bertolak dari hal di atas, upaya pencegahan terorisme melalui


pendidikan merupakan basis falsafah dalam pendidikan nilai, moral
agama. Secara filosofis terorisme hanya dipahami sebagai tindakan
merusak (fasilitas public, harmuni antar sesama dan stabilitas nasional)
318_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
Ĩ$¨Ζ9$# “ω÷ƒr& ôMt6|¡x. $yϑÎ/ Ìóst7ø9$#uρ Îh9y ø9$# ’Îû ߊ$|¡xø9$# tyγsß
artikulasi nilai-nilai yang sudah mapan (established) dalam konstruksi

∩⊆⊇∪ tβθãèÅ_ötƒ öΝßγ¯=yè9s (#θè=ÏΗxå “Ï%©!$# uÙ÷èt/ Νßγs)ƒÉ‹ã‹Ï9


sosial budaya masyarakat bahkan agama.

Demikianlah penjabaran singkat untuk penangkalan terorisme,


semoga dapat bermanfaat. Tugas kita ke depan tentu sangat berat, maka
diperlukan kerjasama yang sinergeis antara semua elemen bangsa, baik
ulama, pemerintah, dan mengikis tindakan terorisme sampai ke akar-
akarnya. Paling tidak langkah itu dapat dimulai dengan cara meluruskan
öΝä3≈oΨù=yèy_uρ keagamaan
paham-paham 4©\s Ρé&uρ 9x.yang iΒ /ä3≈oΨø)n=yzoleh$¯ΡÎ)ulama,
sŒ ⎯Ïmenyimpang â¨$¨menciptakan
Ζ9$# $pκš‰r'¯≈tƒ
keadilan dan stabilitas ekonomi dan politik oleh pemerintah. Serta

öΝä39sdamai,
)ø?r& «!toleran,
$# y‰ΨÏãaman,ö/ä3tΒtmerdeka,
ò2r& ¨βÎ)religius,
4 (#þθèùu‘$yèbertaqwa
tGÏ9 Ÿ≅Í←!$t7dan /θãèä©
s%uρ $\memiliki
menciptakan suasana kondusif bagi tumbuhnya tatanan masyarakat
yang
semangat kecintaan tanah air yang kuat.

Dengan langkah ini kita memohon kepada ∪ ×Î7Swt,


∩⊇⊂Allah yz îΛ⎧Îsemoga ¨βÎ) 4
=tã ©!$#bangsa
dan negara kita terlindung dari bahaya terorisme, sesuai dengan janji
dan spirit al-Qur’an:

ΝÍκön=tã $uΖóstGxs9 (#öθs)¨?$#uρ (#θãΖtΒ#u™ #“tà)ø9$# Ÿ≅÷δr& ¨βr& öθs9uρ

(#θç/¤‹x. ⎯Å3≈s9uρ ÇÚö‘F{$#uρ Ï™!$yϑ¡¡9$# z⎯ÏiΒ ;M≈x.tt/

∩®∉∪ tβθç7Å¡õ3tƒ (#θçΡ$Ÿ2 $yϑÎ/ Μßγ≈tΡõ‹s{r'sù


“Seandainya penduduk suatu kaum itu beriman dan bertakwa, maka niscaya
akan kami bukakan pintu berkah kepada mereka dari arah langit dan bumi, akan
tetapi mereka mendustkan (agama), maka akan kami binasakan mereka akibat
dari perbuatanya itu sendiri” (Q.S. al-A’raf: 96). Demikian, Wallahu ‘alam.
Pencegahan Terorisme Melalui Tinjauan Agama dan Pendidikan _319

Daftar Pustaka

Abimanyu, Bambang. 2005. Teror Bom di Indonesia, Jakarta : Grafindo.

Arifin, Sifaul, Juli Antony, Raja, Nugroho, Irfan dan Amali, Irfan (eds.).
2002. Melawan Kekerasan tanpa Kekerasan. Jakarta: Pengurus Pusat
Ikatan Remaja Muhammadiyah, The Asia Foundation, Pustaka
Pelajar.

H Purwanto, Wawan. 2004. Terorisme Ancaman Tiada Akhir, Jakarta


:Grafindo.

Hanif Hassan, Muhammad. 2007. Terorist Membajak Islam, Jakarta :


Grafindo.

Hendropriyono, A.M. 2009. Terorisme:Fundamentalis Kristen,Yahudi,Islam,


Jakarta : Kompas.

http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/03/25/mk6tle-
aksi-teroris-bisa-dicegah-via-tokoh-agamadengan memperketat
pengamanannya.

Juergensmeyer, Mark. Terorisme para pembela agama,terj.Amin Rozany


Pane,Yogyakarta : Tarawang Press, 2003.

Misrawi, Zuhairi. Pandangan Muslim Moderat; Toleransi,Terorisme dan Oase


Perdamaian, Jakarta : Kompas, 2010.

Nugroho, AS. 2009. Misteri Noordin M Top dan Jaringan Terorisme di


Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Timur.

Qodir, Zuly. 2004. Syariah Demokratik, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Ridwan, Nurkhalik. 2009. Doktrin Wahabi dan Benih Benih Radikalisme


Islam, Yogyakarta : Tanah Air.

Turner Johnson, James. 2002. Perang Suci Atas Nama Tuhan, Terj. Bandung
:Pustaka Hidayah.
320_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

Endnotes

1. Mengenai kecenderungan media untuk meliput melulu kekerasan atas


nama agama, dengan model penyajian yang dangkal dan lengkap, terang
memerlukan pembahasan sendiri – yang bukan di sini tempatnya.  Tetapi
secara sederhana dapat dikatakan bahwa hal ini terkait dengan semacam
rumus yang amat dipegang di dunia industri komunikasi, bahwa berita
yang layak dijual adalah berita-berita mengenai korban dan kenestapaan. 
Rumus itu dikenal dengan “bad news adalah good news (untuk dijual).”  Seba-
gian orang mengatakan, ini ada kaitannya dengan bawaan intrinsik manu-
sia kepada kekerasan.  Akan halnya soal kedangkalan berita, hal ini terkait
dengan keinginan media, didorong oleh tingkat kompetisi yang makin ting-
gi, untuk menyajikan berita secepat – jadi jelas bukan sedalam atau selengkap
– mungkin.  Istilahnya: hard news atau breaking news, pokoknya berita saja. 
Sebagian orang mengatakan hal ini terkait dengan hasrat manusia modern
yang makin meningkat akan informasi yang instan.

2. James Turner Johnson,Perang Suci Atas Nama Tuhan, Terj. Bandung


:Pustaka Hidayah,2002 h.61

3. Mark Juergensmeyer,Terorisme para pembela agama,terj.Amin Rozany


Pane,Yogyakarta : Tarawang Press, 2003, h.175

4. AS Nugroho, Misteri Noordin M Top dan Jaringan Terorisme di Indone-


sia, Yogyakarta : Pustaka Timur, 2009, h. 121

5. Muhammad Hanif Hassan, Terorist Membajak Islam, Jakarta : Grafin-


do, 2007, h.159-162

6. Muhammad Hanif Hassan, Terorist Membajak Islam, h.159-162


7. Bambang Abimanyu, Teror Bom di Indonesia, Jakarta : Grafindo, 2005,
h.129

8. Wawan H Purwanto, Terorisme Ancaman Tiada Akhir, Jakarta :Grafin-


do, 2004, h.48

9. http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/03/25/mk6tle-
aksi-teroris-bisa-dicegah-via-tokoh-agamadengan memperketat
pengamanannya.
Pencegahan Terorisme Melalui Tinjauan Agama dan Pendidikan _321

10. Zuhairi Misrawi, Pandangan Muslim Moderat; Toleransi,Terorisme dan


Oase Perdamaian, Jakarta : Kompas, 2010

11. Zuly Qodir, Syariah Demokratik, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004,


h.40-47

12. Pernah diterbitkan dalam Sifaul Arifin, Raja Juli Antony, Irfan Nu-
groho, dan Irfan Amali (eds.), Melawan Kekerasan tanpa Kekerasan
(Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah, The Asia
Foundation, Pustaka Pelajar, 2002), h. 67-84.

13. Klaim ini biasanya diikuti dengan upaya para agamawan untuk
membedakan antara agama yang “benar” (atau autentik), yang di-
pandang hanya menyerukan perdamaian, dan agama yang “palsu,”
yang dianggap lebih “militan,” “ekstremis” dan “fundamentalistik.” 
Pandangan ini mengecam para pemimpin politik yang membawa-
bawa agama untuk mencapai kepentingan politik dan ekonomi
sendiri.  Agama, menurut sudut pandang ini, harus dibebaskan dari
konsekuensi-konsekuensi tragis yang muncul dari “niat buruk” para
pemimpin politik.

14. berjumpa dengan banyak orang, dari kalangan Islam di Indonesia,


yang mengalami perubahan sikap seperti ini menyusul tidak tuntas-
tuntasnya kasus pertikaian antara kalangan Islam dan Kristen di
Ambon dan Maluku Utara.  Mereka sebenarnya menyadari akar-akar
non-agama pertikaian itu.  Tetapi ketika kasus itu tidak juga tuntas,
dan tidak ada tanda-tanda penuntasannya, sementara mereka didera
dengan informasi mengenai korban yang terus berjatuhan, maka
yang kemudian tumbuh dalam dada mereka adalah in-group feeling
terhadap saudara-saudara seiman.  Dalam penilaian mereka, lepas
dari asal-usul sejatinya yang non-agama, yang mereka lihat belakan-
gan ini pada akhirnya adalah sebuah aksi saling tumpas dan saling
bunuh oleh orang-orang yang berbeda karena baju agamanya.

15. Dikutip dari Theodore M. Hesburgh, dalam “Foreword,” untuk R.


Scott Appleby, The Ambivalence of the Sacred: Religion, Violence, and
322_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

Reconcilliation (Lanham, Maryland: Rowman & Littlefield Publishers,


Inc., 2000), h. ix.

16. A.M.Hendropriyono, Terorisme:Fundamentalis Kristen,Yahudi,Islam,


Jakarta : Kompas, 2009. h. 7

17. Lihat lebih lengkap dalam pemaparan Nurkhalik Ridwan, Doktrin


Wahabi dan Benih Benih Radikalisme Islam, Yogyakarta : Tanah Air, 2009
Role of Religious Affairs Office in Disseminating
Prohibition of Interfaith Married as Efforts to
Realize Harmonious (Sakinah)Family:
Weighing The Principle of Faith and Welfare

Peran KUA Dalam Sosialisasi Tentang Larangan


Pernikahan Beda Agama Sebagai Upaya
Mewujudkan Keluarga Sakinah:
Menimbang Prinsip Keyakinan dan Kemaslahatan

Abdul Jalil
(KUA Pasar Minggu Jakarta Selatan)
email : Rubi_jalil@yahoo.com

Abstract : Ideals of marriage is to realize that sakinah family, mawaddah and rahmah. Surely
these ideals coupled with the efforts of the perpetrators of marriage (husband-wife) as
well as related parties, both of each families of the couple nor the parties involved in this
case is the KUA (Religious Affairs Office). When a marriage without any similarity
in terms of principle (belief / religious) marriage between the two actors, will certainly
lead to conflicts in married life. Many marriages cases happened in interfaith married
and eventually lead to divorce. These cases occurred in many large cities, and most
of the perpetrator is public figure, especially the artists. It is certainly noble ideals of
marriage are not achieved. In this case, KUA (Religious Affairs Office) role will be
crucial in minimizing and preventing such cases in the region.
324_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

Abstraksi : Cita-cita pernikahan adalah mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah dan
rahmah. Tentunya cita-cita tersebut dibarengi dengan usaha dari pelaku perkawinan
(suami-istri) serta pihak-pihak yang terkait, baik masing-masing keluarga dari
pasangan suami istri maupun pihak yang terkait dalam hal ini adalah KUA. Bila suatu
perkawinan tanpa ada kesamaan dalam hal yang prinsipil (keyakinan/agama) antara
kedua pelaku perkawinan, tentunya akan menimbulkan konflik dalam kehidupan
berumah tangga. Banyak terjadi beberapa kasus perkawinan beda keyakinan yang pada
akhirnya berujung pada perceraian. Kasus-kasus tersebut banyak terjadi di kota besar,
dan pelakunya kebanyakn publik figur, terutama para artis. Yang tentunya cita-cita
luhur perkawinan tidak akn tercapai. Di sini peran KUA akan sangat penting dalam
meminimalisir dan mencegah kasus-kasus tersebut di wilayahnya.
Keyword: Interfaith, KUA (Religious Affairs Office), Public Figures, divorce

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pernikahan merupakan ikatan suci yang sangat agung, al-Qur’an
menyebutnya dengan mîtsâqan ghalîzhan1 (perjanjian yang amat kokoh).
Indikator kokohnya perjanjian tersebut adalah dua kalimat suci yang
dikenal dengan ijâb-qabûl, yakni ikrar bersama antara calon isteri melalui
walinya dan calon suami untuk hidup bersama dalam mewujudkan
kebahagiaan. Karena itu, ijab-qabul hanya menjadi retorika semata, jika
kebahagiaan tidak dapat dirasakan secara bersama oleh suami dan isteri.2
Sebagaimana ditegaskan al-Qur’an:

‫وﻣﻦ اﻳﺘﻪ ان ﺧﻠﻖ ﻟﻜﻢ ﻣﻦ اﻧﻔﺴﻜﻢ ازواﺟﺎ ﻟﺘﺴﻜﻨﻮا اﻟﻴﻬﺎ وﺟﻌﻞ ﺑﻴﻨﻜﻢ‬
. ‫ﻣﻮدة ورﲪﺔ ان ﰲ ذﻟﻚ ﻻﻳﺖ ﻟﻘﻮم ﻳﺘﻔﻜﺮون‬
“Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia telah menciptakan
pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan

‫ وﻫﻲ ﻧﻮر ﰱ اﻟﻘﻠﺐ‬،‫ﻣﺎ ﳚﺪﻩ اﻟﻘﻠﺐ ﻣﻦ اﻟﻄﻤﺄﻧﻴﻨﺔ ﻋﻨﺪ ﺗﻨﺰل اﻟﻐﻴﺐ‬


‫ وﻫﻮ ﻣﺒﺎدى ﻋﲔ اﻟﻴﻘﲔ‬،‫ﻳﺴﻜﻦ إﱃ ﺷﺎﻫﺪﻩ وﻳﻄﻤﺌﻦ‬
Peran KUA Dalam Sosialisasi Tentang Larangan Pernikahan Beda Agama _325

sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda


(kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir”. (QS al-Rum/30:21).3

Pernyataan ayat di atas menunjukkan bahwa untuk mewujudkan


kebahagian dalam rumah tangga, dibutuhkan persamaan prinsip antara
suami-isteri. Ini berarti, pernikahan tidak hanya mengikat perihal fisik
dan materi, melainkan mencakup tataran ideal spiritual, yaitu unsur-
unsur ruhaniyah.4 Kata “azwâjan” pada surat ar-Rum ayat 21 mengandung
isyarat, bahwasanya suami-isteri harus seiring sejalan dalam upaya
merealisasikan tujuan mereka melangsungkan pernikahan,5 betapa pun
secara fisik memiliki perbedaan.

Dalam pandangan Islam, kehidupan keluarga akan terwujud


secara sempurna jika suami-isteri berpegang teguh pada ajaran yang
sama. Perbedaan keyakinan di antara kedua belah pihak, seringkali
menimbulkan berbagai kesulitan di lingkungan keluarga dalam
pelaksanaan ibadah, pendidikan anak, pengaturan makanan serta
pengamalan yang menyangkut tradisi keagamaan, seperti: perayaan
‘Idul Fitri, Natal dan lain-lain. Apabila suami-isteri diilustrasikan dengan
nahkoda kapal, maka keduanya harus seiring sejalan mempunyai prinsip
dan tujuan yang sama. Kapal tidak akan sampai ke tujuan, bahkan
mungkin tenggelam di tengah lautan, karena kedua nahkoda bertengkar
mempertahankan prinsipnya masing-masing.

Berdasarkan itu, Islam menganjurkan agar melangsungkan


pernikahan antara dua orang yang seagama. Namun realitasnya, di
tengah-tengah masyarakat kita telah terjadi pernikahan beda agama
yang banyak ditemui di kalangan para artis. Beberapa deretan artis yang
melakukan nikah beda agama antara lain: Jamal Mirdad (Muslim) dan
Lydia Kandau (Kristen), Katon Bagaskara (Kristen) dan Ira Wibowo
(Muslimah), Adi Subono (Muslim) dan Chrisye (Kristen), Henry Siahaan
(Kristen) dan Yuni Sara (Muslimah), Ari Sihasale (Kristen) dan Nia
Zulkarnaen (Muslimah), Dedi Kobusher (Kristen) dan Kalina (Muslimah),
Frans (Kristen) dan Amara (Muslimah), Sony Lauwany (Muslim) dan
326_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

Cornelia Aghata (Kristen) serta masih banyak lagi. Di antara mereka


ternyata tidak bisa mempertahankan kelangsungan rumah tangganya,
yang berakhir dalam perceraian. Seperti: Jamal Mirdad-Lydia Kandau,
Katon Bagaskara-Ira Wibowo, Henry Siahaan-Yuni Sara dan Dedi
Kobusher-Kalina. Sesungguhnya kasus perceraian pasangan suami
isteri dari pernikahan beda agama banyak terjadi di tengah-tengah
masyarakat, namun karena tidak tercatat pada institusi resmi, baik KUA
maupun Catatan Sipil, maka data tersebut sulit diungkap.

Fakta empiris di atas menunjukkan bahwa praktik pernikahan beda


agama tetap berjalan, meskipun kalangan ulama dan tokoh Islam telah
menyampaikan larangan melakukannya. Dikatakan Ahmad Nurcholis,
salah satu pelaku pernikahan beda agama dan penulis buku “Menjawab
101 Masalah Nikah Beda Agama”, sejak tahun 2004 hingga 2012 tercatat
ada 1.109 pasangan yang melakukan pernikahan beda agama, dengan
jumlah terbesar adalah pasangan antara Islam dan Kristen, lalu Islam
dan Katolik, kemudian Islam dan Hindu, selanjutnya Islam dan Budha.
Adapun yang paling sedikit yaitu pasangan Kristen dan Budha.6

Pembicaraan al-Qur’an tentang pernikahan, meliputi: anjuran nikah,


wanita-wanita yang boleh dan tidak boleh dinikahi, serta batasan jumlah
yang diperbolehkan.7 Al-Qur’an menganjurkan kepada hamba Allah
agar menikah, dan melarangnya berbuat zina.8 Mengenai wanita-wanita
yang tidak boleh dinikahi, al-Qur’an menyebutkan: ibu kandung, ibu tiri
dan nenek seterusnya ke atas, anak kandung dan seterusnya ke bawah,
saudari kandung seayah seibu maupun seayah atau seibu saja, saudari
sesusuan, ibu isteri (mertua), anak perempuan isteri yang sudah digauli,
isteri anak kandung (menantu), dan diharamkan pula menikahi dua
perempuan yang bersaudara.9

Al-Qur’an juga melarang menikahi wanita musyrik (QS al-


Baqarah/2:221). Berkaitan dengan ayat ini, para mufassir berbeda
pendapat tentang hukum menikahi wanita ahl al-kitâb (Yahudi dan
Nasrani/Kristen). Sebagian mufassir berpendapat, kata musyrikah dan
Peran KUA Dalam Sosialisasi Tentang Larangan Pernikahan Beda Agama _327

musyrikin di dalam ayat ini umum, untuk semua orang kafir, termasuk
ahl al-kitab. Yang lain berpendapat bahwa larangan yang dipahami dari
ayat itu telah dihapus oleh QS al-Maidah/5:4. Pendapat pertama, yang
melarang menikahi wanita-wanita ahl al-kitab, mengacu kepada sumber
Ibn Umar dan dijadikan pegangan oleh madzhab Zaidiyah. Ibn Umar
dikenal sangat hati-hati, sehingga pendapatnya yang melarang itu
agaknya dilatarbelakangi oleh sikap kehati-hatian serta kekhawatiran
akan keselamatan akidah/agama suami-isteri dan anak-anak. Pendapat
kedua dan ketiga, yang membolehkan menikahi wanita-wanita ahl al-
kitab, dipegang oleh mayoritas ulama.10

Untuk memahami kontroversi di kalangan ulama mengenai keabsahan


pernikahan beda agama, tidaklah mudah bagi kalangan masyarakat
muslim. Dalam hal ini, diperlukan pemahaman komprehensif tentang
ayat-ayat dan hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum munâkahât,
serta tinjauan sosiologis bahkan politis didasarkan pada komparasi
peraturan dan perundang-undangan yang berlaku sebagai pertimbangan
kemaslahatan. Peran KUA jelas sangat urgen dalam memberikan
penerangan kepada masyarakat muslim mengenai maksud positif dari
larangan pernikahan beda agama di Indonesia yang dituangkan di
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
diperkuat oleh Kompilasi Hukum Islam serta Fatwa MUI, agar bisa
ditemukan kejelasan status hukumnya.

Berdasarkan uraian di atas, penulis memilih judul penelitian: “Peran


KUA Dalam Sosialisasi Tentang Larangan Pernikahan Beda Agama Sebagai
Upaya Mewujudkan Keluarga Sakinah: Menimbang Prinsip Keyakinan Dan
Kemaslahatan”. Penelitian ini akan mengungkap urgensi kesamaan akidah
(keyakinan) bagi pasangan suami isteri dalam membangun rumah tangga
yang harmonis dalam bingkai keluarga sakinah. Betapa pun pernikahan
beda agama merupakan fakta yang telah terjadi sejak zaman Rasulullah
saw dan para sahabat hingga sekarang, namun patut dikaji maslahat
serta mudharatnya. KUA sebagai lembaga pernikahan, memiliki
peran strategis untuk menyosialisasikan kepada masyarakat muslim
328_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

di Indonesia agar tidak melakukan pernikahan beda agama, karena


dipandang sisi kemudharatan lebih besar dibanding kemaslahatan.

B. Perumusan Masalah
Sebelum menguraikan perumusan masalah, terlebih dahulu penulis
akan memaparkan pengertian beberapa istilah yang terdapat dalam
susunan judul penelitian tersebut. Ini dimaksudkan untuk memudahkan
sistematika berpikir di dalam merumuskan pokok masalah yang
diangkat.

Peran ialah “pemain atau tindakan yang dilakukan dalam suatu


peristiwa”.11 Bila dikaitkan dengan KUA pada judul penelitian, berarti
“bagian penting yang dimainkan untuk mempengaruhi masyarakat mengikuti
opini”.

Sosialisasi ialah “proses belajar seorang anggota masyarakat


untuk mengenal dan menghayati kebudayaan masyarakat dalam
lingkungannya”.12 Jadi, sosialisasi mengandung arti “proses pembelajaran
untuk mengenalkan sesuatu yang belum diketahui, sehingga menjadi bagian
yang inheren di masyarakat”.

Menurut Prof. Masjfuk Zuhdi, yang dimaksud dengan pernikahan


beda agama yaitu: “perkawinan orang Islam (pria/wanita) dengan orang
bukan Islam (pria/wanita)”.13 Mengenai masalah ini, Islam membedakan
hukumnya pada tiga katagori: pernikahan antara seorang pria muslim
dengan wanita musyrik; pernikahan antara seorang pria muslim dengan
wanita ahl al-kitab; dan pernikahan antara seorang wanita muslimah
dengan pria non muslim.

Istilah keluarga sakinah berasal dari dua kata, yakni “keluarga dan
sakinah”. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, keluarga
ialah “pasangan yang terdiri dari suami isteri dengan anak-anaknya”. Ini
dinamakan keluarga inti. Sedangkan yang tidak hanya terdiri atas suami,
isteri dan anak, tetapi juga mencakup adik, kakak ipar, keponakan dan
sebagainya dikenal dengan sebutan keluarga besar.14
‫ وﻫﻮ ﻣﺒﺎدى ﻋﲔ اﻟﻴﻘﲔ‬،‫ﻳﺴﻜﻦ إﱃ ﺷﺎﻫﺪﻩ وﻳﻄﻤﺌﻦ‬
‫اﻟﻴﻬﺎ وﺟﻌﻞ ﺑﻴﻨﻜﻢ‬Peran‫ﻟﺘﺴﻜﻨﻮا‬ ‫وﻣﻦ اﻳﺘﻪ ان ﺧﻠﻖ ﻟﻜﻢ ﻣﻦ اﻧﻔﺴﻜﻢ ازواﺟﺎ‬
KUA Dalam Sosialisasi Tentang Larangan Pernikahan Beda Agama _329

. ‫ﻣﻮدة ورﲪﺔ ان ﰲ ذﻟﻚ ﻻﻳﺖ ﻟﻘﻮم ﻳﺘﻔﻜﺮون‬


Kata Sakinah, secara harfiah artinya “ketenangan”. Al-Raghib al-
Ashfahaniy mengartikan al-sakinah dengan ungkapan: ‫زوال اﻟﺮﻋﺐ‬
(hilangnya kecemasan dan rasa takut).15 Sementara al-Syarif ‘Ali bin
Muhammad al-Jurjaniy mendefinisikan al-sakinah sebagai berikut:

‫ وﻫﻲ ﻧﻮر ﰱ اﻟﻘﻠﺐ‬،‫ﻣﺎ ﳚﺪﻩ اﻟﻘﻠﺐ ﻣﻦ اﻟﻄﻤﺄﻧﻴﻨﺔ ﻋﻨﺪ ﺗﻨﺰل اﻟﻐﻴﺐ‬


‫ وﻫﻮ ﻣﺒﺎدى ﻋﲔ اﻟﻴﻘﲔ‬،‫ﻳﺴﻜﻦ إﱃ ﺷﺎﻫﺪﻩ وﻳﻄﻤﺌﻦ‬
“Ketenangan yang ditemukan oleh hati ketika datang keraguan. Ketenangan
tersebut merupakan cahaya yang ada dalam hati yang memberi ketenteraman
kepada orang yang menyaksikannya, berdasarkan penglihatan yang meyakinkan
(ainul yakin)”.16

Dari penjelasan itu dapat disimpulkan, bahwa keluarga sakinah


‫زوال اﻟﺮﻋﺐ‬
adalah keluarga yang tenang, tenteram, bahagia dan sejahtera lahir batin.
Sejalan dengan penegasan sabda Rasulullah saw: “Baiti Jannati” (rumah
tanggaku laksana surgaku). Dalam sebuah do’a, surga diungkapkan
dengan “Dar al-Salam”, yang artinya: “tempat yang tenang dan tenteram”.

Beranjak dari sinilah, penulis merumuskan pokok masalah sebagai


obyek kajian, antara lain:

1. Bagaimana peran KUA dalam sosialisasi Undang-Undang Nomor 1


Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dan Fatwa
MUI yang melarang pernikahan beda agama?

2. Adakah Korelasi antara nikah seagama dengan terbentuknya


keluarga sakinah?

3. Sejauh mana pengaruh nikah beda agama terhadap problem rumah


tangga?

4. Di mana letak strategis KUA sebagai lembaga pernikahan dalam


upaya mewujudkan keluarga sakinah?
330_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


Melalui kajian ini, diharapkan masyarakat muslim dapat mengetahui
kedudukan dan hukum pernikahan beda agama secara komprehensif,
yakni tidak hanya dilihat dari aspek teologis, melainkan perspektif sosial-
ekonomi bahkan politik. Indonesia adalah Negara yang hingga sekarang
melarang pernikahan beda agama, sementara praktik nikah beda agama
cenderung bertambah dan meningkat. Keberadaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam
dan Fatwa MUI yang melarang pernikahan beda agama seharusnya bisa
dijadikan rujukan dan payung hukum.

Dengan penelitian inilah, akan terungkap bahwa peran KUA sebagai


lembaga pernikahan sangat penting dalam memberikan pelayanan
publik, tidak hanya menyangkut pelaksanaan pencatatan peristiwa
nikah, namun juga berkait dengan perihal penyelamatan pendangkalan
akidah akibat nikah beda agama.

Hasil studi ini diharapkan bisa menjadi salah satu kontribusi


pemikiran untuk memperkaya kepustakaan, khususnya di lingkungan
Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah. Sejalan dengan
sabda Rasulullah saw: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat
untuk sesamanya”.

D. Metode Penelitian
Penelitian ini bercorak library murni, dalam arti semua sumber data-
datanya berasal dari bahan-bahan tertulis yang berkaitan dengan topik
yang dibahas. Adapun metode yang digunakan adalah pendekatan
komparatif (perbandingan), yaitu “usaha membandingkan dua pokok
bahasan, yakni bahasan materi tentang larangan pernikahan beda agama
dan bahasan materi keluarga sakinah untuk ditelaah secara kritis yang
didasarkan atas argumen-argumen naqly (Qur’an dan Hadits), aqly
(logika), sejarah atau argumen lain yang dianggap relevan”.
Peran KUA Dalam Sosialisasi Tentang Larangan Pernikahan Beda Agama _331

Sedangkan analisis data terhadap dua pokok bahasan tersebut,


penulis menggunakan metode deduktif, yakni mengambil kesimpulan
(pengertian) khusus dari kesimpulan umum.17 Selama kajian berlangsung,
seluruh argumentasi yang mendukung penyusunan tulisan ini adalah
bersumber dari buku-buku, jurnal, surat kabar dan tulisan-tulisan ilmiah
yang memiliki keterkaitan dengan obyek yang dikaji. Sementara teknis
penulisannya menggunakan Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi,
Tesis, dan Disertasi) yang disusun Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.18

Hubungan Fungsional KUA dan Keluarga Sakinah

Kantor Urusan Agama (KUA) adalah instansi di lingkungan


Kementerian Agama yang melaksanakan sebagian tugas pemerintah di
bidang agama Islam, yang berada di wilayah kecamatan.19 Keberadaan
KUA yang berhadapan langsung dengan masyarakat, seringkali
disebutnya sebagai ujung tombak Kementerian Agama. Jika melihat
sejarah, lahirnya KUA hanya berselang sepuluh bulan dari kelahiran
Departemen Agama, yaitu tanggal 21 Nopember 1946. Ini menunjukkan
bahwa KUA memiliki peran yang sangat strategis dalam mewarnai
kehidupan keagamaan di masyarakat.

Di masa penjajahan Belanda, tugas dan fungsi KUA telah diatur


dan diurus oleh lembaga Kantor Voor Inslanche Zaken (Kantor Urusan
Pribumi) yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Unit kerja
tersebut dibuat untuk mengordinir tuntutan pelayanan di bidang
keperdataan umat Islam yang merupakan produk pribumi. Kemudian,
kelembagaan ini dilanjutkan oleh penjajah Jepang melalui lembaga
sejenis dengan sebutan Shumbu.

Pada masa kemerdekaan, KUA dikukuhkan melalui Undang-Undang


Nomor 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk
(NTCR). Berdasarkan Undang-Undang ini, pada mulanya kewenangan
KUA sangat luas, tidak hanya menyangkut nikah dan rujuk (NR),
332_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

melainkan juga masalah talak dan cerai. Tetapi dengan berlakunya


Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, maka
kewenangan talak dan cerai diurus oleh Pengadilan Agama.

Kebanyakan masyarakat masih memandang KUA hanya sebagai


lembaga yang memproduk legalitas formal dalam bentuk pelayanan
administrasi pencatatan pernikahan. Realitas ini tertanam dalam opini
publik yang tumbuh subur akibat minimnya informasi dan sosialisasi
dari pihak KUA tentang fungsi dan keberadaan instansi tersebut. Peran
yang menonjol dari pelayanan pencatatan nikah oleh para penghulu,
melahirkan stigma bahwa KUA merupakan “tempat menikah” saja,
padahal tugas dan fungsinya bukan hanya itu.

Sesungguhnya KUA mengurusi banyak hal yang urgen, bukan saja


masalah pencatatan nikah, namun masalah lainnya yang menyangkut
hajat keagamaan masyarakat, antara lain: pembinaan kemasjidan
dan ibadah sosial, pengurusan zakat, wakaf dan baitul mal, sertifikasi
dan labelisasi produk halal, pengembangan keluarga sakinah serta
administrasi ibadah haji.20 Ini semua merupakan aspek penting yang
dapat mengisi kehidupan masyarakat muslim di Indonesia.

Adapun peran KUA selama ini sebagai berikut:

1. Pelayanan bidang administrasi. Sebagai unit pelaksana operasional


Kemenag, mekanisme kegiatan perkantoran ditandai aktivitas
pelayanan administrasi dalam bentuk pelayanan dan bimbingan
agama pada masyarakat sebagai wujud koordinasi baik vertikal
maupun khorisontal, yang meliputi: administrasi NR, kemasjidan,
perwakafan, bimbingan keluarga sakinah, zakat dan ibadah sosial,
serta administrasi keuangan.

2. Pelayanan bidang kepenghuluan. KUA adalah satu-satunya lembaga


pemerintah yang berwenang melakukan pencatatan pernikahan di
kalangan umat Islam. Artinya, eksistensi KUA tidak semata-mata
karena pemenuhan tuntutan birokrasi, tetapi secara substansial
Peran KUA Dalam Sosialisasi Tentang Larangan Pernikahan Beda Agama _333

bertanggungjawab penuh terhadap pelaksanaan keabsahan sebuah


pernikahan.

3. Pelayanan bidang perkawinan dan keluarga sakinah. Keluarga merupakan


unit terkecil dalam masyarakat yang akan berkembang menjadi tatanan
masyarakat yang lebih luas. Karena itu, pembinaan keluarga sakinah
sangat penting, sebab akan mewujudkan masyarakat yang rukun,
damai dan bahagia baik secara fisik maupun psikologi. Pembinaan
ini tidak hanya diberikan kepada mereka yang akan menikah, tetapi
juga kepada masyarakat secara umum untuk mewujudkan tujuan
perkawinan yang dicita-citakan. Untuk mencapai tujuan itu, peran
KUA sangat dibutuhkan.

4. Pelayanan bidang perwakafan. Tanah wakaf bukan semata-mata aset


umat, tetapi juga aset bangsa. Untuk itu perlu pengelolaan secara
optimal dan professional yang dilegitimasi dengan kekuatan hukum,
sehingga tidak menimbulkan permasalahan, seperti: pembatalan,
pengalihan status, diperjualbelikan dan lainnya. Berdasarkan ini,
KUA perlu secara intensif memberikan bimbingan dan pelayanan
agar tanah wakaf yang ada dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin,
sehingga tepat guna dan tepat sasaran.

5. Pelayanan bidang zakat dan ibadah sosial. Zakat dan ibadah sosial adalah
modal dasar pembangunan kesejahteraan umat, dan merupakan
salah satu sumber dana untuk mengentaskan kemiskinan. Guna lebih
menyadarkan dan menggairahkan masyarakat dalam mengeluarkan
zakat dan infaknya, diperlukan bimbingan terutama dalam upaya
menggali potensi dana umat melalui zakat mal, tijarah, profesi dan
lainnya. Di sini peran KUA sangat diperlukan guna menggerakkan
tokoh agama dan masyarakat, sehingga semakin sinergis dalam
menyosialisasikan fungsi dan peran zakat serta infak di tengah umat.
Pada gilirannya, kesadaran masyarakat semakin meningkat dalam
menyalurkan zakatnya, terutama kepada lembaga zakat yang diakui
pemerintah, seperti Badan Amil Zakat (BAZ), Lembaga Amil Zakat
334_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

(LAZ), dan Unit Pengumpul Zakat (UPZ).

6. Pelayanan bidang kemasjidan dan kehidupan beragama. Sebagai aparat


Kemenag di tingkat kecamatan, KUA berkewajiban memberikan
bimbingan dalam mewujudkan idarah, imarah dan ri’ayah masjid.
Selain itu, juga mengordinir segala kegiatan keagamaan (Islam) di
wilayahnya, meliputi penerangan/penyuluhan agama, bimbingan
dan penyelenggaraan ibadah haji, serta memberikan dorongan dan
pembinaan kepada masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sarana
dan pra sarana kehidupan beragama.

7. Pelayanan bidang pangan halal dan kemitraan umat Islam. Karena petunjuk
teknisnya masih belum jelas, maka KUA bersama Kankemenag
Kabupaten/Kota hanya melaksanakan sebatas sosialisasi.

8. Penyuluhan dan Sosialisasi Undang-Undang Perkawinan. Di masyarakat


masih sering dijumpai perkawinan yang belum sesuai ketentuan
agama dan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Berkenaan dengan hal ini,
penghulu dan kepala KUA harus berperan aktif memberi penyuluhan
kepada masyarakat tentang peraturan dan perundang-undangan
tersebut.

Sungguh ideal peran KUA yang disebutkan di atas, dan jika


terealisasikan, tentu konstruksi masyarakat muslim yang diidam-
idamkan akan terwujud seperti masyarakat madani yang dibangun
Rasulullah saw di Madinah. Institusi yang berada di tingkat kecamatan
ini, ternyata begitu penting kedudukan dan perannya. Anak-anak
bangsa yang akan berumah tangga, terlebih dahulu melewati legalitas
KUA. Kualitas masyarakat muslim sangat ditentukan dengan kualitas
keluarga, yang akhirnya akan mewarnai kualitas bangsa. Gerakan
mewujudkan keluarga sakinah harus dipelopori oleh KUA sebagai
lembaga pernikahan yang ditunjuk resmi pemerintah.

Sosialisasi mengenai urgensi kesamaan akidah (keyakinan) dalam


Peran KUA Dalam Sosialisasi Tentang Larangan Pernikahan Beda Agama _335

pernikahan perlu ditekankan kepada masyarakat muslim, agar mereka


menghindari nikah beda agama. Mewujudkan keluarga sakinah akan
mendapat halangan serta hambatan dari pasangan suami isteri yang
berbeda keyakinan. Rasulullah saw mengajarkan agar suami, isteri dan
anak-anak seiring sejalan dalam tuntunan al-Qur’an dan Sunnah.

Gerakan Keluarga Sakinah Dengan Meneladani Rumah Tangga


Rasulullah SAW

Islam adalah ajaran agung yang mengusung cita-cita mulia,


yaitu membentuk tatanan masyarakat yang terukir dalam kerangka
kebersamaan hidup. Dalam skala luas, kerangka tersebut termaktub di
dalam hidup bertetangga atau hidup bernegara. Sedangkan dalam skala
mini, bisa disaksikan pada kehidupan berumah tangga.

Dalam tataran praktis, pembentukan masyarakat itu harus mengacu


pada contoh absolut yang menjadi barometer tunggal dalam kehidupan
Islam, yaitu prilaku Rasulullah saw. Beliau adalah suri teladan yang
ideal dan begitu agung. Al-Qur’an menegaskan:

“Sungguh telah ada pada diri Rasulullah saw itu suri teladan yang baik bagi
kamu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kehidupan) hari
akhirat serta banyak menyebut (berdzikir) kepada Allah”. (QS al-Ahzab/33:21).

Menurut Ibn Katsir, “Allah menyebutkan kalimat bagi siapa yang


mengharap (rahmat) Allah dan hari akhirat, adalah untuk menggugah
hati orang-orang yang beriman agar meneladani Rasulullah saw”.21
Dengan demikian, umat Islam harus sepakat bahwa tidak ada seorang
pun manusia yang paling pantas menjadi figur untuk dicontoh dan
diteladani, kecuali Rasulullah saw. Berkenaan dengan ini, Syeikh Khalid
Abd al-Rahman al-‘ak menafsirkan “uswah al-hasanah” (suri teladan yang
baik) dengan ungkapan: qudwah shalihah fi kull al-umur (contoh yang baik
dalam segala hal),22 termasuk perihal rumah tangga.

Setiap muslim pasti mengidamkan rumah tangga yang harmonis.


Siapa pun yang ingin mewujudkannya, mau tidak mau harus mengikuti
336_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

pola hidup yang benar dan lurus, yakni perikehidupan Rasulullah saw,
termasuk di dalamnya aplikasi adab pergaulan beliau dalam berumah
tangga.

Rasulullah saw adalah teladan yang baik. Sisi kemanusiaannya


terungkap indah. Keteladanan tersebut dibuktikan melalui perilakunya
di dalam keluarga maupun masyarakat. Dalam mengayuh bahtera
rumah tangga, beliau tidak mendudukan dirinya laksana penguasa, dan
para anggota keluarganya sebagai hamba. Beliau menjadikan semua
bagian yang sama penting dari satu tubuh. Contoh kongkret yang bisa
kita perhatikan, beliau mengerjakan pekerjaan rumah tangga, seperti
menjahit baju yang sobek, mengasuh anak, dan bahkan cucu-cucunya.

Sebagaimana lazimnya manusia biasa, Rasulullah saw menjalani


hidup berkeluarga. Padanya terdapat pula perasaan yang bersifat
manusiawi seperti halnya yang dimiliki seluruh umat manusia, antara
lain: sehat, sakit, susah, senang, suka, duka, cemas, takut, khawatir,
harapan, kecewa, cinta dan rindu.23

Dalam menyelesaikan setiap persoalan, Rasulullah saw menyontohkan


cara penyelesaian yang manusiawi. Sebuah praktik hidup, yang
dimaksudkan agar mampu dilakukan oleh orang kebanyakan. Cara
beliau menyelesaikan perkara rumah tangganya merupakan acuan yang
terbaik bagi kita yang mengaku sebagai umatnya.

Di bawah naungan ajaran Islam yang teduh, dan di dalam lingkaran


perikehidupan yang berasaskan ajaran Rasulullah saw, sebuah kehidupan
rumah tangga akan menjadi taman surgawi yang bertabur kenikmatan.
Namun realitas menunjukkan, di tengah-tengah masyarakat muslim
telah muncul kebiasaan yang kontradiktif dengan perilaku Rasulullah
saw menyangkut perihal berumah tangga. Pasangan suami isteri begitu
mudah menempuh jalur perceraian ketika ada masalah keluarga yang
sebenarnya dapat diselesaikan dengan musyawarah.

Agar keluarga sakinah tidak hanya berhenti dalam cerita, atau


pertunjukan tahunan melalui program pemilihan keluarga sakinah mulai
Peran KUA Dalam Sosialisasi Tentang Larangan Pernikahan Beda Agama _337

dari tingkat kota, provinsi dan nasional, maka gerakan mewujudkan


keluarga sakinah dengan upaya maksimal meneladani rumah tangga
Rasulullah saw, harus menjadi program prioritas KUA yang notabenenya
sebagai lembaga pernikahan. Pembekalan pra nikah melalui kursus
calon pengantin perlu ditingkatkan kualitasnya, baik yang berkaitan
dengan materi, nara sumber maupun fasilitas penunjang. Bahkan KUA
diharuskan mewajibkan dengan sangat kepada para calon pengantin
yang akan menikah agar mengikuti pembekalan tersebut. Penyuluhan
kepada masyarakat mengenai keluarga sakinah sangat penting, peran
para penghulu dan penyuluh agama Islam diharapkan bisa maksimal
dalam sosialisasi gerakan mewujudkan keluarga sakinah.

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada prinsipnya, Islam melalui penegasan al-Qur’an surat al-Baqarah


ayat 221 telah melarang pernikahan antara seorang yang beragama
Islam dengan seorang yang tidak beragama Islam. Adapun izin menikah
seorang pria Muslim dengan seorang wanita Ahl al-Kitab (Yahudi dan
Kristen) berdasarkan QS al-Maidah ayat 5, hanyalah dispensasi bersyarat,
yakni kualitas iman dan Islam pria Muslim tersebut harus baik, sebab
pernikahan semacam ini mengandung risiko yang tinggi: “pindah agama
atau bercerai”. Karena itu, pernikahan pria Muslim dengan wanita Ahl al-
Kitab hanyalah suatu perbuatan yang dihukumi “mubah” (boleh dilakukan),
tetapi bukan anjuran, apalagi perintah. Sahabat Umar bin Khattab juga
menunjukkan sikap tidak setuju kepada sahabat Hudzaifah bin al-Yaman
dan Thalhah yang menikahi wanita Yahudi dan Kristen, karena khawatir
diikuti kaum muslimin lainnya, sehingga mereka akan menjauhi wanita-
wanita Muslimah. (Al-Thabari, Jami’ al-Bayan, Jilid 2, h.. 377-378).

Beranjak dari pertimbangan kemaslahatan, yaitu tindakan preventif


untuk mencegah terjadinya kemurtadan dan kehancuran rumah
tangga akibat pernikahan beda agama, maka dapat ditegaskan bahwa
338_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

pernikahan yang paling ideal sesuai petunjuk QS ar-Rum ayat 21, dan
yang bisa membawa kepada keselamatan di dunia maupun akhirat
serta keluarga yang bahagia: sakinah, mawaddah dan rahmah adalah
pernikahan dengan orang yang seagama. Dalam kaidah Ushul fiqh
dikatakan:

Dar’ al-Mafâsid Muqaddam ‘alâ Jalb al-Masâlih.

“menghindari kerusakan harus didahulukan dari pada mengambil


kemaslahatan.”

Dengan demikian, ajaran Islam harus tetap dijadikan dasar untuk


menentukan sah tidaknya suatu pernikahan. Pertimbangan agama harus
diprioritaskan, jangan sampai dikalahkan oleh yang lain. Selaras dengan
pesan Nabi Muhammad saw:

“Wanita itu dinikahi karena empat hal: hartanya, kecantikannya,


keturunannya dan kualitas agamanya. Pilihlah wanita yang baik kualitas
agamanya, niscaya engkau beruntung”. (Riwayat Bukhari dan Muslim).

Teks hadits di atas mengisyaratkan, apabila calon isteri dituntut


memiliki kualitas iman dan Islam yang baik, konsekuensi logisnya,
apalagi calon suami yang notabenenya akan menjadi pemimpin utama
(imam) dalam keluarga. Seorang imam sudah pasti akan diikuti oleh
makmumnya sebagai barometer di dalam beraktivitas. Laksana tongkat
yang diikuti bayangannya, jika tongkat itu lurus, bayangan pun akan
lurus, dan seandainya tongkat itu bengkok, bayangan pun akan ikut
bengkok. Maka bagaimana mungkin isteri dan anak-anak akan berada
di jalan yang lurus, bila suami berada di jalan yang sesat. Pesan al-Qur’an
dalam surat al-Baqarah ayat 187: “Para isteri ibarat pakaian bagi para suami,
dan kalian wahai para suami adalah pakaian bagi para isteri”. Ini menandaskan
betapa pentingnya kesamaan akidah.

Di Indonesia, melalui penegasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun


1974 Tentang Perkawinan Bab I Pasal 2 ayat (1), Kompilasi Hukum
Islam Pasal 40 ayat (c) dan Pasal 44, serta Fatwa MUI, pernikahan
Peran KUA Dalam Sosialisasi Tentang Larangan Pernikahan Beda Agama _339

beda agama itu dilarang. Dengan demikian, secara administratif tidak


memiliki kekuatan hukum, sebab baik KUA maupun Catatan Sipil tidak
akan melakukan pencatatan peristiwa nikah beda agama. Melakukan
pernikahan beda agama berarti tidak mengindahkan Undang-Undang
dan peraturan yang berlaku di negeri ini. Konsekuensi logisnya, pasti
akan mengalami berbagai permasalahan dalam rumah tangganya.
Karena itu, tidak mungkin bisa mewujudkan keluarga yang sakinah.

Dari sinilah KUA hendaknya berperan aktif untuk melakukan


sosialisasi kepada masyarakat muslim, bahwa nikah beda agama
dampak negatifnya lebih besar, yang akan berpengaruh terhadap
kelangsungan rumah tangga. Multi keyakinan dalam sebuah keluarga
bisa menyebabkan banyak gesekan, apalagi jika sudah menyangkut
praktik ibadah yang tidak dapat dicampur aduk. Peran KUA mengenai
hal ini, bisa dituangkan dalam program kursus calon pengantin sebagai
pembekalan pra nikah atau bekerja sama dengan para penyuluh agama,
agar menyampaikan materi tentang larangan pernikahan beda agama di
berbagai masjid dan majelis-majelis taklim.

B. Saran-saran

Pertama, ditujukan kepada umat Islam, supaya memahami esensi


pernikahan yang termaktub di dalam al-Qur’an dan Sunnah, dan bekali
diri dengan pengetahuan seputar munakahat sebelum membangun
rumah tangga. Pilihlah pasangan hidup yang seiman dalam satu
keyakinan, serta prioritaskan kualitas agamanya.

Kedua, bagi para akademisi yang senantiasa berkecimpung dengan


kajian keislaman, agar bijak dalam memandang persoalan nikah beda
agama, tidak melihat hanya dari sudut teologis, namun perspektif sosiologis
dan yang lainnya. Sehingga keberadaan Undang-Undang Perkawinan,
Kompilasi Hukum Islam dan Fatwa MUI tidak dipandang secara parsial.

Ketiga, ditujukan kepada KUA, hendaknya berperan di tengah-tengah


masyarakat, tidak hanya berkaitan dengan pelaksanaan pencatatan
340_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

administrasi pernikahan, tetapi menyangkut peningkatan kualitas


pemahaman keislaman di kalangan masyarakat muslim. Seperti:
mengadakan kajian-kajian keislaman, bahsul masail, penataran dan
sebagainya.

Keempat, diharapkan kepada pemerintah selaku pemegang kebijakan,


agar bisa memperhatikan KUA sebagai ujung tombak bidang keagamaan
di tingkat kecamatan dengan memberikan anggaran operasional yang
pantas dan memadai. Sehingga program-program yang diamanatkan
Kementerian Agama mengenai: pelayanan prima, keluarga sakinah dan
kerukunan antar umat beragama dapat direalisasikan.
Peran KUA Dalam Sosialisasi Tentang Larangan Pernikahan Beda Agama _341

Daftar Pustaka

Abd al-Rahman al-‘Ak, Khalid, Shafwah al-Bayan Li Ma’aniy al-Qur’an al-


Karim, Beirut: Dar al-Basyair, Cet. ke-1.

Anshari, Ibn Manzhur al, Lisan al-Arab, Mesir: al-Dar al-Misriyyat li al-
Ta’lif wa al-Nashr, tth., Vol. 12.

Ashfahaniy, al-Raghib al, Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, Beirut: Dar


al-Fikr, 1432 H/2010 M.

Bakry, Hasbullah, Sistematik Filsafat, Jakarta: Widjaya, 1981, Cet. ke-7


Cawidu, Harifuddin, Dr., Konsep Kufr Dalam al-Qur’an, Jakarta:
Bulan Bintang, 1991, Cet. ke- 1.

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,


Jakarta: Balai Pustaka, 1999, Cet. ke-10.

Dimasyqiy, ‘Imad al-Din Abi al-Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir al-
Qurasyiy al, Al- Mishbah al-Munir fi Tahdzib Tafsir Ibn Katsir, Riyadh:
Dar al-Salam li al-Nasyr wa al-Tauzi, 1421 H/2000 M, Cet. ke-2.

Jurjaniy, al-Syarif ‘Ali bin Muhammad al, Al-Ta’rifat, Dar al-Kutub al-
Islamiyah, 1433 H/2012 M, Cet. ke-1.

Mudzhar, Mohammad Atho, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah


Studi Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, Jakarta:
INIS, 1993, Seri INIS XVII.

Nasuhi, Hamid, et. al., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, Dan
Disertasi), Jakarta: CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007,
Cet. ke-2.

Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir al-Manar, Kairo: Dar al-Manar, 1367 H,


Jilid 6.

Sahabuddin, et.al., (ed), Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata, Jakarta:


Lentera Hati, 2007, Cet. ke-1, Jilid 2.
342_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

Shabuni, Muhammad ‘Ali al, Rawa’i al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-
Qur’an, Kairo: Dar al-Shabuniy, 2007 M/1428 H, Juz 1, Cet. ke-1

Shihab, M. Quraish, Dr., Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996,


Cet. ke-3.

Syahrastani, Abu al-Fath Muhammad Abd al-Karim ibn Bakr Ahmad al,
Al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Fikr, tth.

Thabathaba’i, Muhammad Husayn al, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an,


Teheran, Mu’assasat Dar al-Kutub al-Islamiyyat, 1396 H, vol. 1.

Zuhdi, Masjfuk, Prof. Drs., Masail Fiqhiyah, Jakarta: Toko Gunung Agung,
1997, Cet. ke-10.
Peran KUA Dalam Sosialisasi Tentang Larangan Pernikahan Beda Agama _343

Endnotes

1. QS al-Nisa/4:21.
2. Selaras dengan Bab I Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin an-
tara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.

3. Kementerian Agama RI, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat


Islam, Direktorat Urusan Agama Islam, Al-Qur’an Dan Terjemahnya,
Jakarta: PT. Tehazed, 2010, 572.

4. Dalam Kompilasi Hukum Islam, Bab II Pasal 2 dinyatakan: “Perkawi-


nan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat
atau mitsaqan ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakan-
nya merupakan ibadah”.

5. Bab II Pasal 3: “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan


rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.

6. http://www.hidayatullah.com/read/21989/31/03/2012
7. Sahabuddin, et. al., (ed), Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata, Ja-
karta: Lentera Hati, 2007, Cet. ke-1, Jilid 2, h. 727.

8. QS al-Nur/24:32-33.
9. QS al-Nisa’/4:23.
10. Sahabuddin, et al., (ed), Ensiklopedia Al-Qur’an…..h.727
11. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indo-
nesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999, Cet. ke-10, h. 751.

12. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indo-


nesia, h. 958.
344_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

13. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta: Toko Gunung Agung, 1997,
Cet. ke-10, h. 4

14. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indo-


nesia, h. 471.

15. Al-Raghib al-Ashfahaniy, Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, Beirut:


Dar al-Fikr, 1432 H/2010 M, h.178.

16. Al-Syarif ‘Ali bin Muhammad al-Jurjaniy, Al-Ta’rifat, Beirut, Dar al-
Kutub al-Islamiyah, 1433 H/2012 M, Cet. ke-1, h. 135.

17. Hasbullah Bakry, Sistematik Filsafat, Jakarta: Widjaya, 1981, Cet. ke-7,
h. 35.

18. Hamid Nasuhi, et. al., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Te-
sis, Dan Disertasi), Jakarta: CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2007, Cet. ke-2.

19. KMA Nomor 517 Tahun 2001 dan PMA Nomor 11 Tahun 2007.
20. Hasil Rakernas Penyelenggaraan haji tahun 2006 di Jakarta, me-
nyepakati bahwa KUA diikutsertakan sebagai pelayan haji kepada
masyarakat dan calon jemaah haji.

21. Abi al-Fida’ al-Hafizh Ibn Katsir al-Dimasyqiy, Tafsir al-Qur’an al-
Azhim, Beirut: Dar al-Fikr, 1992, vol. 3, h. 574.

22. Khalid Abd al-Rahman al-‘ak, Shafwah al-Bayan Li Ma’aniy al-Qur’an


al-Karim, Beirut: Dar al-Basyair, 1994, Cet. ke-1, h. 420.

23. Ditegaskan dalam QS al-Kahfi/18:110: “Sesungguhnya aku adalah ma-


nusia biasa seperti kalian”.
NU’s Mosque and the Empowerment
of Nahdliyin Society:
Between Idea and Fact

Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Masjid


Masjid NU dan Pemberdayaan Masyarakat
Nahdliyin:
Antara Cita dan Fakta

A. Musthofa Asrori
Ciganjur Centre - Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
email : gusmus007@yahoo.co.id

Abstract : The mosque is the main vehicle to set our relationship with God (hablun minallah) and
a runway to bridge our relation with the fellow human beings (hablun min al-nas).
Unfortunately, during this time the mosque as a place of worship for Muslims is only
meant as a sacred place literally. It means that the society put the mosque only as a
place of prayer, chanting, and worship. No wonder if it emerges the phenomenon of
siltation on the meaning of the mosque. Instead, if examining more deeply, there are
many useful things that can be moved from the mosque. Many things which profane
in nature, are discussed in the mosque. Therefore, revitalizing the role of the mosque
is needed. Historically record, since the prophetic era the mosque was not only to be
a place of praying (bowing), but also a reference to found the solutions of various
346_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

problems in the society. Beside as a place of worship, the mosque was also functioned
as a place of many society’s activitites such as deliberation, discussing the economic
issues, spot of treatment, education, litigation, managing strategic war, etc. All
Muslims have to participate in prospering the mosque. If the mosque prospered, it can
prosper the community around it. This study aims to capture the fact that the mosque
is only a place of worship and then formulate an idea of empowering people through the
mosque. The study uses the methode of content analysis based on the result of research
and textbook which related to the focus of study. The conclusion of the study is the
dialectical relationship between the fact of development of the mosque that could not
progress the society yet, and the idea of the empowering society based on the mosque.
The study is expected to be a reference to develop the mosque and the empowerment of
society for present and the next future.

Abstraksi : Masjid merupakan sarana utama mengatur relasi kita dengan Allah (hablun minallah)
dan landasan pacu menjembatani relasi kita dengan sesama manusia (hablun min
al-nas). Sayangnya, selama ini masjid sebagai tempat ibadah kaum muslimin hanya
dimaknai sebagai tempat suci secara literal. Artinya, masyarakat hanya memposisikan
masjid sebagai tempat shalat, mengaji, dan beribadah saja. Tak heran jika muncul
fenomena pendangkalan atas pemaknaan masjid. Padahal, jika ditelisik lebih mendalam,
terdapat banyak hal bermanfaat yang bisa digerakkan dari masjid. Hal-hal yang
bersifat profan banyak dibahas di masjid. Oleh karena itu, revitalisasi peran masjid
sangat dibutuhkan. Sejarah mencatat, sejak zaman Nabi masjid tak sekadar tempat
shalat (bersujud), melainkan juga rujukan mencari solusi bagi aneka permasalahan
di masyarakat. Selain sebagai tempat beribadah, masjid juga berfungsi sebagai
tempat berbagai kegiatan kehidupan masyarakat seperti melakukan perundingan,
membicarakan masalah ekonomi, tempat pengobatan, pendidikan, pengadilan,
mengatur strategi perang, dan lain-lain. Seluruh kaum muslimin wajib turut serta
memakmurkan masjid. Jika masjid makmur, maka masjid akan mampu memakmurkan
masyarakat sekitar. Studi ini bertujuan untuk memotret fakta bahwa masjid hanya
sebagai tempat ibadah lalu merumuskan sebuah cita-cita memberdayakan masyarakat
melalui masjid. Penelitian ini menggunakan metode content analysis berdasarkan
hasil riset dan buku teks yang berkaitan dengan fokus studi. Kesimpulan dari studi
ini adalah hubungan dialektis antara fakta pengembangan masjid yang belum bisa
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Masjid Masjid NU dan Pemberdayaan Masyarakat Nahdliyin _347

memajukan masyarakat dan cita-cita pemberdayaan masyarakat berbasis masjid.


Diharapkan studi ini menjadi referensi bagi pengembangan masjid dan pemberdayaan
masyarakat pada masa sekarang dan yang akan datang.
Keywords : DMI, LTM NU, Masdar Farid Mas’udi, Empowerment.

A. Pendahuluan
Masjid merupakan satu institusi sentral dalam peradaban Islam dan
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sejarah kaum muslimin.1 Dari
institusi ini, tumbuh dan berkembang pesat khazanah pemikiran dan
keilmuan serta strategi pemberdayaan dan penguatan kapasitas kaum
muslimin. Seiring perkembangan zaman yang kian mengglobal dan
beranak-pinaknya manusia, masyarakat membutuhkan pengelolaan
masjid2 yang profesional, transparan, dan berkualitas. Hal ini wajar
mengingat peran sentral masjid dalam membentuk suatu masyarakat
berperadaban tinggi sebagaimana terjadi pada era keemasan Islam. Di
masjid, ibadah didirikan dan jamaah disusun dengan shaf yang rapi
dan dalam barisan yang rapat. Ajaran ini hendak memberi pengertian
bahwa dengan jamaah maka umat akan kuat. Sebagai tempat suci kaum
muslimin, masjid memiliki peran amat krusial dan penting dalam
membangun serta memberdayakan kaum muslimin khususnya dan
masyarakat pada umumnya. Salah satu bagian dari upaya mencerdaskan
umat dan menanamkan budi pekerti (akhlâq) islami adalah menggerakkan
potensi masyarakat secara maksimal dan terpadu dengan memakmurkan
masjid atau surau (mushallâ). Dus, mendorong derap pembangunan fisik
dan semangat pembangunan non-fisik dari masjid itu sendiri melalui
kemandirian yang menjadi tumpuan harapan bagi pembinaan anak
negeri merupakan keniscayaan.

Dalam pengamatan penulis, di banyak tempat terjadi pembangunan


dan renovasi fisik masjid yang menghabiskan dana ratusan bahkan
milyaran rupiah. Para pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM)
348_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

seolah berlomba satu sama lain agar masjid di wilayahnya tampak gagah
dan indah. Pengelolaan dana pun dimaksimalkan dengan berbagai cara,
misalnya, menggelar sorban amal dan memutar “roda kotak jariyah”
pada even-even tertentu seraya mendorong para jamaah untuk turut serta
membantu pembangunan masjid. Gayung pun bersambut. Para jamaah
dengan sukarela menyisihkan harta bendanya demi pembangunan dan
renovasi masjid tersebut. Sudah tentu, sikap tersebut sangat dibanggakan
lantaran kaum muslimin makin menyadari bahwa perintah membangun
masjid selain merupakan kewajiban sekaligus menjadi kebutuhan.

Sayangnya, pemahaman mereka terkait perintah membangun masjid


hanya dipahami secara literal saja. Artinya, pembangunan fisik masjid
lebih mereka pentingkan dari pada pembangunan non-fisik. Misalnya,
bagaimana cara memakmurkan masjid dengan kegiatan-kegiatan yang
berdampak langsung dengan kebutuhan masyarakat belum sepenuhnya
dipikirkan secara mendalam. Begitu pembangunan atau renovasi selesai,
maka selesai pula tugas panitia pembangunan. Demikian pula para
jamaah. Mereka cukup melaksanakan shalat berjamaah di masjid yang
baru lalu kembali ke rumah masing-masing. Tidak ada aktivitas yang
mencolok di masjid tersebut selain kegiatan peribadatan sehari-hari.
Padahal, banyak hal yang bisa dilakukan di serambi masjid, misalnya,
belajar membaca al-Qur’an bagi anak-anak dan remaja masjid.

Dalam ajaran Islam, umat memang diperintahkan membangun


masjid, khususnya di mana kaum muslimin bertempat tinggal. Bahkan
di tempat tinggal seperti rumah yang cukup besar, juga diperintahkan
agar menyediakan ruangan khusus untuk sembahyang. Banyak hadis
Rasulullah yang memerintahkan kepada kaum muslimin untuk
membangun masjid, yang dapat disimpulkan bahwa rumah yang paling
dicintai Allah adalah rumah yang di dalamnya terdapat ruangan khusus
untuk sembahyang. Sementara daerah yang paling dicintai Allah adalah
daerah yang memiliki masjid. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah r.a, Nabi SAW,:
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Masjid Masjid NU dan Pemberdayaan Masyarakat Nahdliyin _349

“Bagian negeri yang paling Allah cintai adalah masjid-masjidnya, dan


bagian negeri yang paling Allah benci adalah pasar-pasarnya.” (HR. Muslim).

Salah satu ciri dari masyarakat Islam atau suatu daerah Islam adalah
adanya bangunan masjid. Sebaliknya, menjadi amat ironis nan tragis
apabila di sebuah kawasan yang dihuni mayoritas kaum muslimin tidak
terdapat satu pun bangunan masjid. Tegasnya, merupakan kewajiban
bagi kaum muslimin dalam suatu tempat yang belum terdapat masjid
atau jika mengetahui bahwa di suatu daerah yang dihuni umat Islam
belum dibangun masjid, untuk saling gotong-royong membangun
sebuah masjid.

Dalam catatan Dewan Masjid Indonesia (DMI), negara kita dewasa


ini memiliki setidaknya 250 ribu masjid dan 550 ribu mushalla di
seluruh penjuru Nusantara. Sementara itu, dari data Departemen
Agama (kini Kementerian Agama) pada tahun 2004, jumlah masjid
di Indonesia sebanyak 643.834 buah, meningkat dari data tahun 1977
yang baru berjumlah 392.044 buah. Diperkirakan, jumlah masjid dan
mushalla di negeri ini pada kisaran antara 700 hingga 800 ribu buah.3
Bahkan, dalam catatan Wapres Boediono diperkirakan jumlah masjid
dan mushalla di seantero Republik Indonesia saat ini hampir menembus
angka 1 juta.4 Sayangnya, keberadaan masjid-masjid tersebut tak banyak
memberi manfaat bagi kaum muslimin dalam arti yang sesungguhnya.
Dalam artinya, bangunan gagah yang tinggi menjulang dengan
beberapa menara indah tersebut belum memiliki program nyata untuk
pemberdayaan masyarakat. Agaknya ada kecenderungan masjid masa
kini justru jauh dari fungsi sejatinya. Oleh karena itu, untuk mendukung
kemajuan pendidikan Islam, misalnya, DMI akan membuka 10.000
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di masjid dan mushalla dalam
waktu lima tahun. Muhammad Jusuf Kalla (JK) selaku ketua umum DMI
sangat bersemangat merubah kesan masjid menjadi lebih membumi. JK
menyebut zaman dahulu anak-anak yang shalat di masjid sering disuruh
keluar lantaran sering ribut, bermain-main, sehingga menyebabkan
350_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

sampah di mana-mana, kotor, dan lain-lain. Namun, sekarang ini justru


harus dirubah pola-pola lama itu. Sekarang justru anak-anak harus
didorong untuk berangkat ke masjid, mengikuti pendidikan di masjid
dan menjadi bagian penting kehidupan masjid.

Sejatinya masjid dan surau (mushalla) memiliki hubungan kuat


dengan pesantren. KH Masdar Farid Mas’udi sering menyebut bahwa
hubungan masjid dan pesantren begitu harmonis. Dia pernah berfilosofi,
jika pesantren adalah mata air, maka masjid merupakan petak-petak
sawah yang akan diairi oleh mata air tersebut. Jika pesantren menjadi
basis kulturalnya, maka masjid merupakan basis pergerakannya. Ya,
masjid dan pesantren merupakan dua sisi mata uang yang saling terkait,
karenanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Sayangnya, fungsi dan
peran masjid belakangan ini banyak mengalami pergeseran. Padahal
pada zaman Rasulullah SAW, selain untuk rumah ibadah, masjid juga
bisa berfungsi sebagai pusat pemerintahan termasuk pengadilan, termpat
bermusyawarah, sampai tempat mengatur strategi perang, termasuk
simulasi ketangkasan prajurit sebelum maju ke medan pertempuran.
Selain itu, isu soal perekonomian dan kemaslahan umat juga dibicarakan.
Pada era kenabian, masjid memang multi-fungsi. Dengan kata lain,
masjid merupakan pusat aktivitas umat.

Sayangnya, fungsi dan peran sentral itu kini tidak lagi tampak dan
dapat dinikmati kaum muslimin, khususnya warga Nahdliyin. Mengapa
penulis membatasi hanya pada warga NU? Pasalnya, persoalan
kemasjidan hemat penulis memang sedang menggejala di lingkungan
Nahdliyin. Berbeda misalnya dengan warga Muhammadiyah. Kebijakan
organisasi persyarikatan ini sedari awal telah melakukan labelisasi masjid
dengan gelar “taqwa”. Di manapun Anda melihat ada “masjid taqwa”,
hampir bisa dipastikan, itu masjid milik warga Muhammadiyah. Meski
demikian, mereka juga memiliki problem kemasjidan yang kurang lebih
sama dengan NU. Ya, banyak masjid Muhammadiyah yang “dicuri” oleh
para aktivis transnasional yang berideologi radikal.
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Masjid Masjid NU dan Pemberdayaan Masyarakat Nahdliyin _351

Tegasnya, baik NU maupun Muhammadiyah sama-sama sedang


prihatin menghadapi gerakan “golongan lain” yang tidak ikut
“berkeringat” membangun masjid, namun mereka kini yang menguasai
masjid. Pada titik ini, muncul anekdot, suatu ketika dalam acara
silaturrahim antar ormas Islam di Jakarta, seorang pengurus NU
mengeluh kepada pengurus Muhammadiyah. Bahwa masjid-masjid
milik orang NU dulu masih ada pembacaan qunut saat shalat Subuh.
Kemudian malam Jum’at dilaksanakan yasinan, tahlilan, dan manakiban,
juga tradisi lain semisal pembacaan Barzanji atau Maulid Rasulullah,
namun kini tak ada lagi. Tak ayal, warga NU pun prihatin. Curahan
hati (curhat) pengurus NU ini agaknya hendak menyindir pengurus
Muhammadiyah yang biasa shalat Subuh tidak membaca qunut dan
anti-yamatasho5 (yasinan, manakiban, tahlilan, dan shalawatan). Alih-alih
pengurus Muhammadiyah merasa kasihan, ia malah berang dan marah-
marah. Ia lalu menimpali, jika NU cuma qunut dan yamatasho-nya yang
dicuri, lebih tragis lagi Muhammadiyah lantaran masjid-masjidnya
sekalian dibawa kabur orang.6

Humor di atas menunjukkan betapa pengurus NU dan Muhammadiyah


kali ini satu hati mencermati gerakan sistematik dari kelompok politik
dan faham keagamaan tertentu yang merebut masjid-masjid NU dan
Muhammadiyah demi kepentingan mereka.

B. Peran Umara dan Ulama


Pada titik ini, kehadiran pemerintah (umarâ’) membentengi masjid
dari program purifikasi tentu sangat diperlukan. Pasalnya, jika masjid-
masjid yang didirikan para ulama dan tokoh masyarakat setempat
yang mayoritas memiliki ideologi moderat dikuasai oleh sekelompok
orang berpaham radikal-transnasional tentu akan membahayakan
bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Betapa tidak, dengan
dikuasainya masjid-masjid tersebut kian membuat mereka leluasa untuk
menyebarkan doktrin-doktrin keagamaan yang mereka impor dari luar
352_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

negeri. Kita lihat saja fenomena di kota-kota besar. Banyaknya aliran


yang mengedepankan pemikiran radikal, pelan namun pasti dapat
mempengaruhi cara pandang masyarakat awam.

Negara harus hadir di tengah-tengah masyarakat yang berpotensi


terjadi konflik horizontal di kalangan akar rumput (grass root). Peran
pemerintah dalam mengendalikan aliran-aliran menyimpang ini tentu
dalam ranah proporsional. Karena masjid-masjid tersebut berada di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jika terjadi hal-
hal yang dapat merongrong kewibawaan negara, maka hal tersebut
patut dikendalikan sedini mungkin agar tak merembet ke wilayah yang
membahayakan. Tegasnya, kontrol dari pemerintah amat diperlukan
di samping kontrol dari masyarakat sendiri. Pemerintah, dalam hal ini
Kementerian Agama, dengan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam (Ditjen Bimas Islam) sebagai ujung tombaknya harus dapat
mengambil peran maksimal.

Penulis sepakat dengan Edi Junaedi, staf ahli Wakil Menteri Agama
RI, yang menyatakan bahwa Bimas Islam harus berada di garda paling
depan agar masjid (dan mushalla) dikembalikan pada “fitrah”-nya, yaitu
bukan hanya sebagai tempat shalat dan ibadah murni, tetapi juga sebagai
media pemberdayaan umat dan pembangunan peradaban Islam secara
umum.7

Persoalan kemasjidan tentu bukan melulu kepada faktor eksternal


semata, semisal fenomena purifikasi, namun juga persoalan internal,
yakni kualitas keberagamaan kaum muslimin yang kian terkikis habis
oleh arus globalisasi, akses informasi yang luas, dan dunia digital yang
pada titik tertentu kian binal. Ya, peran masjid tidak berbanding lurus
dengan kualitas keberagamaan umat Islam.

Meningkatnya perilaku korupsi, tindak kekerasan, dan aneka macam


tindak kriminalitas yang kian memprihatinkan menjadi bukti bahwa
fungsi masjid dan perilaku umat belum memiliki ketersambungan satu
sama lain. Tragisnya, kita justru sering terjebak dengan rasa bangga
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Masjid Masjid NU dan Pemberdayaan Masyarakat Nahdliyin _353

lantaran meningkatnya jumlah masjid dan mushalla, namun tidak sensitif


terhadap realitas dekadensi moral, bahkan terkesan permisif terhadap
perilaku umat, khususnya remaja yang sedang dalam pencarian jati diri
yang kian menjauh dari nilai-nilai agama.

Melihat fenomena tersebut, kaum Nahdliyin juga harus mewaspadainya.


Adanya gerakan “penjarahan” masjid NU oleh kelompok-kelompok
tertentu pada gilirannya nanti akan menjadi bumerang bagi ormas Islam
yang selama ini telah membentengi Republik ini dengan faham Islam
Indonesia yang moderat dan mengedepankan toleransi tinggi. Tragisnya
lagi, mereka mengambilalih tanah wakaf dan sekaligus si wakif (umat
yang mewakafkan tanahnya), serta mengganti ajarannya. Ada beberapa
langkah yang harus dilakukan warga Nahdliyin untuk menyelamatkan
masjid-masjid Jâmi’ ala NU:

Pertama, tentu harus memperbanyak lambang NU. Labelisasi


sebagaimana telah dilakukan Muhammadiyah tentu harus dimulai sejak
dini. Dengan demikian, akan dengan mudah terdeteksi mana masjid
NU, mana pula yang non NU. Hal ini penting karena pada intinya NU
merupakan organisasi berbasis masjid.

Sebagai Wakil Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia, KH Masdar


Farid Mas’udi sering mewanti-wanti kepada warga Nahdliyin agar tidak
mengambil hak orang lain. Sebaliknya, warga Nahdliyin juga dilarang
berdiam diri ketika haknya diambil orang. Mengambil hak orang
(kelompok) itu jahat. Tapi membiarkan haknya diambil orang itu bodoh.
Oleh karena itu, jika masjid NU ada tandanya NU, tentu pelanggaran
hak bisa diminimalisasi. Selain itu, yang terpenting adalah supaya
orang-orang NU tergugah untuk memakmurkan masjidnya. “Jadi
lambang itu bukan sekedar mengaku miliknya, tapi juga menggugah
tanggungjawab,” tegas Kiai Masdar suatu ketika.

Kini, sangat dibutuhkan upaya gerakan sosial-keagamaan yang


menjadikan masyarakat sebagai sasaran utama. Kemakmuran masjid
adalah titik tolak bagi usaha memakmurkan masyarakat. NU mempunyai
354_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

dua basis penting penopang perjuangannya, yaitu pesantren dan masjid.


Dalam sebuah seminar tentang kemasjidan, Kiai Masdar menjelaskan,
bagi kebanyakan orang, masjid hanya berfungsi sebagai sarana ritual
ibadah. Pemahaman ini dinilai menyimpang dari fungsi sesungguhnya
yang dipesankan filosofi tata ruang masjid yang terbagi antara ruang
dalam dan ruang serambi. Bagian dalam dan bagian serambi masjid,
adalah cermin tentang orientasi hidup manusia yang memiliki hubungan
dengan Tuhan (hablum minallâh) dan hubungan antar-manusia (hablum
min an-nâs). Konsekuensinya, hal ini menuntut peran masjid, selain
sebagai rumah ibadah, juga sebagai rumah menangani persoalan-
persoalan umat.

Masdar mendorong masjid-masjid berbasis Nahdliyin untuk kembali


kepada filosofi ini. Sebab diakui telah terjadi pergeseran luar biasa
mengenai fungsi masjid akhir-akhir ini. Terlebih, masjid menjadi pusat
vital yang mempunyai daya jangkau hingga di tingkat paling bawah.
Baginya, pengurus NU sebenarnya itu ada di masjid, bukan di pusat.
Karena para pengurus ta’mir masjid itulah yang selama ini bersentuhan
langsung dengan masyarakat akar rumput (grass root). Filosofi tersebut
telah dipraktikkan Nabi sejak pendirian masjid pertama di Madinah,
yakni masjid Nabawi. Rasulullah dan para sahabat menggunakan
masjid untuk banyak hal, tidak melulu soal ibadah, namun juga
termasuk menyangkut urusan-urusan pendidikan, ekonomi, dan sosial
kemasyarakatan. Teladan Nabi ini patut dikembangkan di Indonesia
sebagai upaya menuju kemakmuran masjid.

C. Peran LTM NU
Sebagai sebuah lembaga8 resmi di lingkungan Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU), Lembaga Ta’mir Masjid (LTM) memiliki
tugas utama, yakni melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang
pengembangan dan pemberdayaan Masjid. Lahan LTM yang sangat jelas
dan konkrit inilah yang menjadikan lembaga ini dekat dengan warga
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Masjid Masjid NU dan Pemberdayaan Masyarakat Nahdliyin _355

Nahdliyin, mengingat garapannya adalah basis pergerakan NU, yakni


masjid yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara. Garapan yang besar
inilah yang menjadikan para pengurus LTM nampak seperti pasukan
khusus yang diterjunkan untuk menggawangi masjid-masjid yang
didirikan warga Nahdliyin. Aneka kegiatan dan program pun dihelat
untuk menemukan format ideal memakmurkan masjid. Di antaranya
adalah pendidikan dan pelatihan (diklat) untuk para penggerak
(muharrik) masjid di beberapa daerah.

Sebagaimana diberitakan di NU Online, Pengurus Pusat LTM NU


menggelar diklat perdana bagi muharrik (penggerak) masjid se-Jawa
Barat bertempat di eks asrama haji, Cirebon, Jawa Barat, pada Sabtu,
(18/5). Kegiatan tersebut merupakan tindak lanjut program Rapimnas
LTM NU se Indonesia, dan bentuk revitalisasi masjid sebagai pusat
gerakan kepedulian sosial dan pusat pemberdayaan ekonomi umat.
Sang penggerak (muharrik), menurut ketua LTM NU, KH A Manan A
Gani, adalah orang yang kerjanya mengatur dan menggerakan para
takmir masjid dengan memanfaatkan segala sumber daya dan dana yang
dimiliki masjid. Dengan demikian, muharrik bukan termasuk pengurus
masjid, melainkan seorang yang ditunjuk atau diangkat PP LTM NU
untuk menjalankan tugas dengan cara mendampingi para takmir masjid
dalam rangka implementasi memakmurkan masjid yang dituangkan
dalam tujuh agenda revitalisasi masjid.9

Setidaknya ada lima program penguatan masjid yang ditawarkan


LTMNU. Kelima aksi masjid tersebut berdasarkan tujuh harapan
jamaah. Harapan tersebut tertuang dalam doa mereka selepas shalat.
Allâhuma innî as’aluka 1) salâmatan fi al-dîn, 2) wa ‘âfiyatan fi al-jasad, 3) wa
ziyâdatan fi al-‘ilm’, 4) wa barakatan fi al-rizq’, 5) wa taubatan qabla al-maut,
6) wa rahmatan ‘inda al-maut, 7) wa maghfiratan ba’da al-maut. Doa orang di
masjid itu kemudian dijabarkan PP LTMNU periode 2010-2015 sebagai
program dasar. Rinciannya sebagai berikut. Pertama, peningkatan ajaran
Ahlussunah wal-Jamaah ‘alâ tharîqah Nahdliyah, wa Syarî’ah ‘ala madzhab
al-arba’ah, wa tharîqah ’alâ tharîqah al-Imâm Junaid al-Baghdâdî wa Imâm al-
356_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

Ghazâlî. Kedua, pelayanan kesehatan berbasis masjid, yaitu menjadikan


masjid sebagai Balai Kesehatan Masyarakat (Balkesmas). Paling tidak,
kata ketua LTM, setiap masjid kecamatan diharapkan punya satu
poliklinik. Ketiga, peningkatan kualitas pendidikan berbasis masjid, baik
pendidikan formal maupun non formal. Keempat, pemberdayaan ekonomi
jamaah; mulai dari informasi peluang usaha, pengkaderan enterpreneur,
kerja sama kemitraan, sampai pembentukan wadah perekonomian
seperti baitul mal masjid, Koperasi Masjid NU (Kopmasnu), dan
lembaga keuangan syariah. Kelima, pusat pertaubatan, yakni menjadikan
masjid sebagai wadah dan usaha membangun masyarakat “husnul
khotimah”. Untuk menjalankan program itu, menurut Kiai Manan, harus
menciptakan aktivis masjid yang hatinya selalu terpaut kepada masjid.
Orang seperti tersebut adalah salah satu dari tujuh golongan yang akan
dinaungi perlindungan Allah pada hari kiamat.10

Kreativitas para pengurus LTM ini layak diapresiasi. Meski demikian,


warga Nahdliyin tetap perlu memberikan kritik yang membangun
demi kemajuan LTM itu sendiri dan terutama demi kemajuan institusi
kemasjidan. Hemat penulis, LTM sedapat mungkin bekerja sama dengan
lembaga lain demi efektivitas program yang telah ditetapkan. Dengan
menjalin kerja sama tentu ada banyak hal yang bisa didapatkan oleh
kedua pihak. Sudah pasti keuntungan dapat diraih dari pelaksanaan
kerja sama kelembagaan ini.

D. Peran DMI
Ada satu lembaga lagi yang mengurusi persoalan kemasjidan, yakni
Dewan Masjid Indonesia (DMI). Dalam website resmi DMI dijelaskan
bahwa awal mula berdirinya organisasi ini bermula dari pertemuan para
tokoh Islam yang dihadiri oleh H. Rus›an (Dirjen Bimas Islam) dan Wakil
Walikota Jakarta Pusat, H. Edi Djajang Djaatmadja. Keduanya kemudian
membentuk panitia untuk mendirikan Dewan Kemakmuran Masjid
Seluruh Indonesia (DKMSI). Lalu, pada 16 Juni 1970 disusunlah formatur
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Masjid Masjid NU dan Pemberdayaan Masyarakat Nahdliyin _357

yang diketuai oleh KH. MS. Rahardjo Dikromo yang beranggotakan H.


Sudirman, KH. MS. Rahardjo Dikromo, KH. Hasan Basri, KH. Muchtar
Sanusi, KH. Hasyim Adnan, BA dan KH. Ichsan. Tepatnya pada tanggal
22 Juni 1972 rapat tim formatur memutuskan untuk mendirikan Dewan
Masjid Indonesia (DMI).11

Organisasi DMI didirikan oleh delapan organisasi kemasjidan, yakni:


1) Persatuan Masjid Indonesia (PERMI), 2) Ikatan Masjid dan Mushalla
Indonesia (IMAMI), 3) Ikatan Masjid Indonesia (IKMI), 4) Majelis Ta’miril
Masjid Muhammadiyah, 5) Hai’ah Ta’miril Masjid Indonesia (HTMI), 6)
Ikatan Masjid dan Mushalla Indonesia Muttahidah (IMMIM), 7) Majelis
Kemasjidan Al-Washliyah, 8) Majelis Kemasjidan Majelis Dakwah
Islamiyah (MDI). Para ulama dan tokoh masyarakat (zuama’) turut serta
membidani lahirnya ormas ini. Antara lain: 1) KH Taufiqurrahman, 2)
Mayjen H Sudirman, 3) Jend. Polisi (purn) H Sutjipto Judodihardjo, 4) Kol.
H Karim Rasyid, 5) Brigjen Raharjo dikromo, 6) Kolonel H Soekarsono, 7)
H Syarbaini Karim dan lain-lain.12

Pada deklarator DMI ini memiliki semangat juang yang tinggi sehingga
organisasi ini memiliki peran signifikan di masyarakat. Belakangan,
pengurus DMI di bawah kepemimpinan mantan Wakil Presiden
Muhammad Jusuf Kalla kian aktif menggerakkan roda organisasi.
Wakil Presiden Boediono saat membuka Muktamar ke-6 Dewan Masjid
Indonesia, pada 27 April 2012, menyampaikan setidaknya tiga hal yang
berkaitan dengan pengelolaan masjid.

Pertama, masjid merupakan usaha bersama yang harus dikelola


secara profesional. Imam masjid tentu adalah orang benar-benar fasih
dan memahami seluk beluk aturan agama, dan pengurus masjid adalah
pengelola yang berkomitmen dan mampu menjaga dan memelihara
bangunan dan seluruh aspek kegiatan masjid.

Kedua, masjid sebagai tempat suci untuk melaksanakan ibadah yang


diperintahkan Tuhan harus menjadi contoh sebagai tempat paling bersih
di antara tempat-tempat lain. Kebersihan, terutama di tempat berwudhu
358_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

(baca: toilet), serta aroma yang sedap di lingkungan masjid akan


menambah kekhusyukan dalam beribadah. Kebersihan yang dimulai
dari masjid akan menularkan kebiasaan bersih di lingkungan lain seperti
rumah, sekolah, dan tempat bekerja. Dua hal yang disampaikan di awal
tentu tidak ada masalah lantaran cenderung normatif.

Ketiga, dalam rangka mensyiarkan Islam dan memberikan citra


positif bagi umat Islam, Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim
terbesar di dunia dapat memberikan contoh-contoh yang baik bagi dunia
Islam. Dewan Masjid Indonesia kiranya juga dapat mulai membahas,
umpamanya, tentang pengaturan penggunaan pengeras suara di masjid-
masjid. “Kita semua sangat memahami bahwa adzan adalah panggilan
suci bagi umat Islam untuk melaksanakan kewajiban shalatnya. Namun
demikian, apa yang saya rasakan barangkali juga dirasakan oleh orang
lain, yaitu bahwa suara adzan yang terdengar sayup-sayup dari jauh
terasa lebih merasuk ke sanubari kita dibanding suara yang terlalu keras,
menyentak, dan terlalu dekat ke telinga kita.”

Mungkin bagi sebagian kalangan, pidato Boediono ini sedikit


menyinggung perasaan kaum muslimin. Padahal, jika direnungkan
lebih lanjut apa yang dikatakannya cenderung tak ada yang perlu
dipersoalkan. Hemat penulis, pengurus DKM justru bisa berkreasi
sedemikian rupa untuk merekayasa agar suara “toa” (speaker) menjadi
lebih ramah dan nyaman bagi pendengarnya. Pengalaman seputar
mikrofon juga pernah dialami oleh Ketua Umum DMI Muhammad Jusuf
Kalla (JK). JK sedari muda telah akrab dengan dunia permasjidan. Ia
menjadi pengurus masjid yang ahli mengurus mikrofon dan loudspeaker
bersama Almi Hamu sahabatnya yang selama 20 tahun selalu membantu
persiapan malam takbiran. Alwi menceritakan pengalamannya di awal
dia dengan JK mengurus pengeras suara di lapangan Karebosi. Waktu
itu keduanya berpikir, kenapa kalau Lebaran khatib menyampaikan
khutbah, para jamaah pada pergi dan lapangan sudah kosong. Padahal
pengurus masjid memasang 100 loudspeaker. Usut punya usut, ternyata
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Masjid Masjid NU dan Pemberdayaan Masyarakat Nahdliyin _359

posisi keseratus loudspeaker itu tidak tepat sehingga tidak kedengaran


suara sang khatibnya.

Akhirnya muncul ide untuk bekerjasama dengan mobil pedagang


keliling yang ada pengeras suaranya. Lalu mereka membenahi letaknya
supaya suaranya jernih. Sampai akhirnya masuk radio. Memang terlambat
sekian detik dari imam dan khatib, jelas Alwi, tapi suaranya jelas dan
jamaah tidak pergi. Sejak saat itu, JK dan Alwi sering membetulkan
loudspeaker masjid-masjid dimana mereka bepergian. Teorinya adalah
posisi loudspeaker sebaiknya tidak saling berhadapan karena audionya
saling berpantulan sehingga mendengung dan memekakkan telinga.
Pengalaman sejati itu tentu memiliki korelasi positif dengan apa yang
disampaikan Wapres Boediono.

Dalam kesempatan ini Muktamar ke-6 DMI, Boediono juga


menyampaikan empat harapannya kepada para muktamirin. Pertama,
DMI agar senantiasa memberdayakan masjid untuk melakukan upaya
edukasi kepada umat muslim melalui dakwah dalam rangka peningkatan
karakter dan moral umat muslim dalam berbangsa, bernegara
dan bermasyarakat, utamanya kepada generasi muda. Kedua, DMI
diharapkan mampu mendorong masjid agar dimanfaatkan tidak hanya
sebagai sarana ibadah, namun juga dapat dijadikan sarana pendidikan,
baik pendidikan Tahfidz al-Qur’an (hapalan Qur’an) dan Tahsin al-Qur’an
(memperbaiki kualitas bacaan Quran) maupun pendidikan dasar formal
seperti TK, SD, dan SMP.

Ketiga, DMI mampu memberdayakan masjid sebagai sarana untuk


menumbuhkembangkan minat, bakat, dan keterampilan generasi muda
melalui pelatihan kepemimpinan, manajemen, dan ketrampilan bagi
Pemuda Remaja Masjid. Keempat, DMI diharapkan mampu mendorong
masjid dalam penciptaan kemakmuran umat muslim melalui optimalisasi
zakat, infaq, dan shadaqah bekerjasama dengan BAZNAS, serta melalui
pengembangan usaha yang berbasis syariah, seperti Baitul Mal Wat
Tamwil/BMT di kalangan Majelis Taklim, sehingga dapat lebih optimal
360_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

membantu maupun memberdayakan kaum dhuafa utamanya anak-anak


terlantar.

Terkait wacana Wapres Boediono tentang pengeras suara di masjid-


masjid, Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia Jusuf Kalla mencoba
menanggapi wacana pengaturan pengeras suara. Mantan Wapres RI
2004-2009 itu mendukung adanya pengaturan tersebut. JK mempunyai
pandangan lain mengapa aturan itu diperlukan. Menurut dia, alangkah
syahdunya jika mendengar alunan ayat suci al-Qur’an dan seruan
azan hanya dari satu masjid. Sampai di sini dapat dipahami bahwa
bertabrakannya suara-suara yang menggema dari pengeras suara masjid
sudah barang tentu membingungkan. Menrut JK, ketika berbicara di
Masjid Asyshuhada, Pekalongan, Jawa Tengah. “Kalau sekarang tidak,
semua masjid mengaji, tabrak-tabrakan yang mana mau kita dengar.” JK
tidak bermaksud “mengharamkan” pengeras suara ada di masjid. Akan
tetapi, kata dia perlu ada batasan. JK mencontohkan akan lebih baik jika
radius suara satu masjid diukur sampai sejauh masjid selanjutnya berada.
Itu dikatakan dia, agar menciptakan harmoni yang baik. “Masyarakat
di masjid satu hanya mendengar pengajian di masjid itu. Masyarakat
lainnya juga seperti itu (mendengarkan pengajian dari masjid masing-
masing).”13

Keempat harapan pemerintah yang disampaikan Wakil Presiden


tersebut patut dijadikan bahan renungan dan evaluasi bagi kemajuan
DMI di masa yang akan datang. Memang, berbicara tentang masjid selalu
menyisakan aneka macam persoalan yang kompleks. Mulai persoalan
yang remeh-temeh hingga yang aneh-aneh. Misalnya saja tentang gaya
arsitektur bangunan, masjid-masjid di Indonesia agaknya menyesuaikan
diri dengan bangunan semacam rumah besar masing-masing wilayah.

E. Filosofi Bangunan Masjid


Jika ditelusuri lebih mendalam, banyak hal menarik seputar masjid.
Termasuk dari sisi model bangunannya. Bangunan masjid dengan
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Masjid Masjid NU dan Pemberdayaan Masyarakat Nahdliyin _361

kubah dan menaranya konon menyimbolkan monotheisme Islam dalam


bentuk Tauhid serta kesatuan dan persatuan kaum muslimin. Rata-rata,
arsitektur masjid di Indonesia, khususnya di Tanah Jawa mencerminkan
Islam yang berkultur budaya. Ya, bangunan masjid di Jawa memiliki
keunikan yang berbeda, misalnya, dengan masjid di Banjar Kalimantan
Selatan. Masjid di Tanah Jawa terdiri atas dua bangunan utama, yakni
bangunan yang beratap tumpang tiga yang merupakan “ndalem” dan
bangunan beratap limas di depannya yang merupakan “pendopo.”
Sedangkan, masjid di negeri Banjar hanya terdiri atas satu bangunan
utama yang beratap tumpang tiga. Atap tumpang (tajug) paling atas
lebih runcing (curam) daripada masjid di Jawa.

Dalam konteks ini, penulis teringat konsep perwujudan kultural


Islam yang oleh Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (1974) disebutkan
bahwa Islam telah menjelma sistem simbolik, yang membuat umat
muslim mampu memaknai realitas berdasarkan jaringan makna yang
ada dalam struktur simbolik itu. Islam budaya adalah Islam yang
berbasis dan berstruktur budaya. Basis utamanya terletak pada tradisi,
bukan hanya tradisi Islam tetapi tradisi Nusantara secara umum. Hal ini
misalnya terlihat pada arsitektur Masjid Jawa yang menggunakan atap
Meru Hindu-Budha. Oleh Sunan Kalijaga, atap Meru dipotong menjadi
tiga yang melambangkan tahapan iman, Islam, dan ihsan. Adopsi
Meru Hindu-Budha ini menggambarkan kesadaran da’i Islam untuk
mengakomodir “pangkalan kultural” masyarakat, tempat Islam hendak
didakwahkan. Hal serupa terjadi pada Menara Kudus yang berbentuk
candi. Sunan Kudus sadar, bahwa Islam bisa diterima, hanya ketika ia
berpijak pada kearifan lokal masyarakat.14

Berdirinya Masjid Menara Kudus tidak lepas dari peran Sunan Kudus
sebagai pendiri dan pemrakarsa. Sebagaimana para Walisongo lainnya,
Sunan Kudus memiliki cara yang amat bijaksana dalam dakwahnya. Di
antaranya, beliau mampu melakukan adaptasi dan pribumisasi ajaran
Islam di tengah masyarakat yang telah memiliki budaya mapan dengan
mayoritas beragama Hindu dan Budha. Pencampuran budaya Hindu dan
362_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

Budha dalam dakwah yang dilakukan Sunan Kudus, salah satunya dapat
kita lihat pada masjid Menara Kudus ini.15 Dalam sebuah kesempatan,
Arif menyebut Menara Kudus telah menjadi patokan toleransi antar
agama di Indonesia. Kalau Aceh menjadi serambi Islam Mekah, maka
masjid menara kudus sebagai serambi Islam Nusantara.

Dengan demikian, masjid di republik ini ternyata dapat didekati dari


sisi multikultural. Sikap saling menghormati dan menghargai bisa lahir
dari masjid, seperti layaknya sikap Sunan Kudus, pendiri masjid Menara
Kudus, yang melarang warga setempat melakukan qurban sapi lantaran
masyarakat adat Hindu setempat sangat menghormati dan menganggap
suci binatang ini. Sikap toleran juga dapat kita saksikan pada masjid
Istiqlal Jakarta yang berdampingan dengan Gereja Katedral. Sudah tentu,
pemilihan tempat yang berdekatan ini dapat dimaknai sebagai upaya
para pendiri Republik agar rakyat Indonesia bisa hidup berdampingan
dengan umat agama lain secara bermartabat. Yang menarik, arsitek
masjid Istiqlal adalah Frederich Silaban, seorang beragama Kristen.
Ia adalah salah satu lulusan terbaik dari Academie van Bouwkunst
Amsterdam tahun 1950. Selain membuat desain masjid Istiqlal Silaban
juga merancang kompleks Gelanggang Olahraga Senayan.

Sebelum memprakarsai masjid Istiqlal, yang notabene merupakan


masjid terbesar di Asia Tenggara, pada awal kemerdekaan, atas prakarsa
Presiden Soekarno, di ibukota perjuangan Yogyakarta dibangun masjid
Syuhada untuk mengenang arwah para pahlawan yang menjadi syuhada
yang gugur dalam medan perang kemerdekaan. Pasca-pengakuan
kedaulatan RI oleh Belanda, Bung Karno juga memprakarsai berdirinya
masjid Baitul Rahim di komplek Istana Merdeka Jakarta. Tradisi
Bung Karno dilanjutkan oleh penerusnya, yakni Presiden Soeharto.
Pak Harto, sapaan akrab presiden ke-2 RI ini, berinisiatif membentuk
Yayasan Amalbakti Muslim Pancasila dengan program utama
membangun masjid di seluruh pelosok Tanah Air serta mengirimkan
para pendakwah ke daerah-daerah terpencil di seantero Republik.
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Masjid Masjid NU dan Pemberdayaan Masyarakat Nahdliyin _363

Di negeri ini, banyak terdapat masjid megah yang berdiri kokoh


dan menjulang tinggi. Menariknya, masjid-masjid kuno peninggalan
masa kerajaan Islam di beberapa tempat juga masih dipertahankan seni
arsitekturnya. Di ujung paling Indonesia, misalnya, masjid Darussalam
Ulee-lheue. Masjid ini meski diterjang ombak tsunami pada tahun
2004 silam, selamat dan tidak mengalami kerusakan sedikit pun. Ya,
gelombang tsunami yang melanda hampir seluruh kawasan Provinsi
Nangroe Aceh Darussalam sembilan silam telah meluluhlantakkan
sebagian besar infrastruktur di sana. Mulai jalan raya, jembatan, rumah
penduduk, hingga gedung sekolah hancur berantakan dan rata dengan
tanah, bahkan ratusan ribu penduduk meregang nyawa. Begitu juga
bangunan di sekitar masjid Darussalam Ulee-lheue. Secara logika, jika di
sekeliling masjid itu porak-poranda, maka masjid harusnya ikut hancur-
lebur diterjang gelombang tsunami. Faktanya, tidak! Masjid tetap utuh
berdiri, hingga kini. Secara fisik, tak ada yang istimewa dari bangunan
masjid tersebut. Sebagaimana masjid pada umumnya yang dibangun di
dekat pantai dan pelabuhan ikan. Masjid Darussalam Ulee-lheue yang
terletak sekitar 100 meter dari bibir pantai ini berada di antara deretan
rumah penduduk yang tak begitu terawat. Sebelum tsunami datang
menerjang, mungkin para peziarah akan mengatakan bahwa bangunan
masjid ini tidak lebih baik dari masjid-masjid lainnya yang berada di
gang-gang perkotaan atau sedikit lebih baik dari masjid desa. Namun,
masjid ini menjelma “pesan” ilahi agar umat manusia menyadari bahwa
bagaimana pun masjid adalah tempat suci. Ya, masjid merupakan rumah
Tuhan.

Sementara itu, kisah tak jauh berbeda dialami masjid raya


Baiturrahman. Ia masih tetap berdiri tegak meski diterjang gelombang
tsunami. Masjid ini merupakan salah satu masjid yang paling
dihormati oleh kaum muslimin di ibukota provinsi Nangroe Aceh
Darussalam ini. Pasalnya, masjid ini memiliki nilai sejarah yang tinggi
dilihat dari beberapa aspeknya. Masjid cantik nan anggun ini berdiri
megah di jantung kota Banda Aceh, tepatnya berada di Kampung Po,
364_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

Teumeureuhon Meukuta. Masjid ini sekaligus menjadi simbol atau ikon


kota Banda Aceh yang terkenal dengan sebutan Serambi Mekah. Selain
itu, masjid raya Baiturrahman tak hanya mencerminkan pandangan dan
sikap hidup masyarakat Aceh yang religius dan islami tapi lebih dari itu
masjid ini menjadi pusat pendidikan dan kebudayaan Islam di Tanah
Rencong. Ia merupakan simbol kemenangan dan pemersatu rakyat
Aceh. Bahkan, ia merupaka simbol sosial politik lantaran telah menjadi
bagian tak terpisahkan dari sejarah Aceh, dahulu hingga sekarang dan
akan datang.

Di beberapa wilayah di seluruh penjuru Republik masih banyak


masjid indah warisan masa lalu yang dirawat oleh masyarat sekitar.
Warisan berharga ini pada gilirannya akan menjadi kurang berharga
jika tak dilestarikan dan dimakmurkan dengan aneka kegiatan yang
mencerahkan dan menginpirasi banyak kalangan. Dengan kata lain,
membangun dan memakmurkan peradaban masjid-masjid tersebut
menjadi pilihan yang sangat rasional dan mendesak.

F. Membangun Peradaban Masjid


Merujuk kepada wahyu ilahi tentang memakmurkan masjid patut
disimak bersama.

“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang


beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat,
menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka
merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang
mendapat petunjuk” (QS. At-Taubah: 8).

Menurut Hamim Thohari (2007), ciri-ciri orang yang memakmurkan


masjid sesuai dengan ayat di atas adalah: 1) beriman kepada Allah dan hari
kemudian (visioner); 2) mendirikan shalat (berkarakter); 3) menunaikan
zakat (pengembangan berkelanjutan); dan (4) tidak takut kepada siapapun
kepada Allah (konsisten). Sayangnya, semangat (ghirah) kaum muslimin
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Masjid Masjid NU dan Pemberdayaan Masyarakat Nahdliyin _365

pada umumnya belum betul-betul semangat memakmurkan masjid


seperti termaktub dalam ayat tersebut. Kaum muslimin pada saat ini
justru sering terjebak pada kemegahan bangunan masjid, namun kurang
memperhatikan fungsi dan peran masjid. Dari berbagai pemaparan
di atas, dapat kita ambil benang merah bahwa untuk mengembalikan
kejayaan Islam, maka masjid adalah pusatnya. Pada zaman Rasulullah
SAW seperti yang dikutip Ahkam Sumadiana dari Kauzar Niazi (Role
of the Mosque 1976), masjid telah difungsikan sebagai berikut: 1) tempat
ibadah, seperti shalat, dzikir, i’tikaf, dan sebagainya; 2) pusat dakwah; 3)
pusat keilmuan dengan berbagai kegiatan pengajaran dan pendidikan
lainnya, termasuk di dalamnya perpustakaan; 4) tempat mengumpulkan
dana; 5) tempat latihan militer dan mempersiapkan alat-alat lainnya;
6) tempat pengobatan para korban perang; 7) tempat perdamaian dan
pengadilan sengketa serta musyawarah dan dialog; 8) aula dan tempat
menerima tamu; 9) tempat menawan tahanan; 10) sebagai tempat
membina keutuhan jamaah kaum muslimin dan kegotongroyongan di
dalam mewujudkan kesejahteraan sekitar.

Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan warga Nadliyin, perlu


kiranya dilakukan gerakan massif terkait dengan labelisasi NU di berbagai
daerah, baik di institusi pendidikan, atau kemasyarakatan. Dalam hal ini,
bagi Kiai Masdar, sebelum mewujudkan kesejahteraan warga Nahdliyin,
langkah pertama yang harus dilakukan adalah bagaimana agar NU
terlihat secara fisik. Selama ini NU baru terdengar keberadaannya tetapi
warga belum melihat sosoknya. Setelah itu baru terasa manfaatnya.
Oleh karena itu, ketika diwawancarai menjelang gelaran Muktamar
NU di Makassar, Kiai Masdar menekankan pentingya menunjukkan
eksistensi NU melalui simbol. Misalnya, dengan memasang lambang
NU di rumah, di pesantren, madrasah, sekolah, atau di masjid yang
didirikan dan dikelola warga NU. Ia menekankan pentingnya penguatan
basis keorganisasian di dalam, agar dihargai oleh dunia luar. Program
utama yang perlu dijalankan oleh NU adalah program di bidang sosial,
pemberdayaan ekonomi, pendidikan dan juga kesehatan lingkungan.
NU perlu mengarahkan pandangannya ke bawah, kepada umat.16
366_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

Apa yang digagas salah satu Rais Syuriyah PBNU itu patut
dielaborasi secara mendalam. Dalam artinya bahwa gagasan brilian itu
musti dikawal dan didukung oleh pengurus di semua tingkatan, mulai
pengurus besar di Jakarta, pengurus wilayah di masing-masing provinsi,
kemudian pengurus cabang di kabupaten/kota, hingga pengurus majlis
wakil cabang yang berkedudukan di tiap kecamatan, bahkan sampai
ke tiap kepengurusan ranting yang berada di tiap kelurahan/desa. Jika
gerakan labelisasi aset NU atau yang berafiliasi dengan jam’iyah NU ini
berhasil secara masif maka NU akan benar-benar terlihat di Republik
ini. Dengan demikian, gerakan pencurian masjid oleh aneka kelompok
ekstrim yang berafiliasi dengan ideologi transnasional atau dalam istilah
KH Hasyim Muzadi “disatroni” dapat ditekan secara silmutan. Setidak-
tidaknya dapat dikendalikan dan diawasi oleh warga Nahdliyin.

Dalam sebuah kolom di harian umum nasional, KH Muhyiddin


Abdusshomad, Rais Syuriyah PCNU Kabupaten Jember, pernah mengutip
ungkapan Ketua Umum PBNU (waktu itu) KH Hasyim Muzadi pada
Kata Pengantar buku KH Masdar Farid Mas’udi, Membangun NU berbasis
Masjid dan Umat (2007), yang menyebut bahwa: “Sejak tahun 90-an masjid-
masjid di negeri kita semakin banyak yang disatroni oleh kelompok-
kelompok dakwah yang dipengaruhi bahkan menjadi perangkat dari
poros-poros ideologi transnasional yang asing bagi bangsa Indonesia
yang majemuk., seperti Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir. Masjid
yang menjadi basis utama kelompok-kelompok ini pada awalnya adalah
masjid-masjid kampus milik publik yang diakuisisi. Namun, belakangan
mereka juga masuk ke masjid di kampung-kampung yang sebagian
besar merupakan masjid dan basis nahdliyin. Maka dari itu, beberapa
tahun terakhir, NU kian mematangkan pemikiran dan gerakan untuk
menghadapi ancaman ideologis dan massal dari kelompok-kelompok
Islam transnasional tersebut. Usaha ke arah itu sudah dirintis oleh
keluarga besar kaum nahdliyyin setidak-tidaknya sejak 2006 sampai
sekarang melalui penyadaran dan pengangkatan isu Islam Transnasional
dalam berbagai forum organisasi. Salah satunya yang terakhir adalah
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Masjid Masjid NU dan Pemberdayaan Masyarakat Nahdliyin _367

Konferensi Wilayah PWNU Jawa Timur, 2-4 November 2007, yang


mengangkat bahasan Khilafah Islamiyah dalam Bahtsul Masail NU.”17

Jika demikian, program pemberdayaan dan pembangunan peradaban


berbasis masjid bisa dilaksanakan dengan baik dan terarah. Memang,
gerakan transnasional sebagaimana penulis kutip di atas secara tidak
langsung telah menyadarkan warga Nahdliyin dari tidur panjangnya.
Hemat penulis, selama ini warga NU cenderung tidak waspada, untuk
tidak mengatakan abai, terhadap isu-isu yang terjadi di sekitar kita.
Meskipun melihat atau kadang pernah bertemu dengan “pihak-pihak
asing” yang berusaha menginfiltrasi masjid NU, warga Nahdliyin
bersikap biasa-biasa saja. Baru kemudian setelah menyadari ada
perubahan tradisi ritual di masjid NU secara signifikan, warga Nahdliyin
terkaget-kaget. Inilah yang mungkin barangkali harus kita persiapkan
sedini mungkin.

Pada titik ini, gagasan cerdas Kiai Masdar patut diapresiasi. Mari
kita perhatiakn secara seksama jawabannya saat wawancara. Berikut
ini kutipan utuh wawancara Masdar Farid Mas’udi dengan NU Online
menjelang Muktamar NU ke-32 di Makassar:

“Saya ingin membuat NU ini terlihat. Selama ini, NU baru terdengar


katanya saja ada. Nah sekarang harus terlihat. Caranya, semua pusat kehidupan
Nahdliyin harus menampakkan diri. Misalnya mulai dari rumah tangga,
seluruh rumah warga Nahdliyin harus memasang tanda gambar NU, apa di
pintunya apa di ruang tamunya. Yang kedua, semua usaha perkhidmatan warga
nahdliyin apakah itu pesantren madrasah, sekolahan itu akan kita mohon untuk
menegaskan diri bahwa pesantren itu menjadi anggota RMI, sebagai bagian dari
NU. Tentu saja ini ada pertanyaan apakah dengan memasang tanda gambar
NU untuk pesantren dan madrasah itu lalu diklaim menjadi milik NU, tidak.
Madrasah, pesantren dan sekolahan yang memang milik keluarga atau yayasan
tetap saja menjadi miliknya. Semua aset, managemen dan seterusnya tetap milik
mereka. Kita hanya ingin mengajak mereka untuk mendekatkan kepada mereka
bahwa kita ini bagian dari jamaah besar organisasi yang namanya NU. Begitu
368_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

juga masjid-masjid harus menegaskan diri. Ini bukan untuk menunjukkan


sektarianisme, tidak, tapi untuk menghindarkan fitnah. Karena masjid-masjid
yang tidak mendekatkan diri sebagai bagian dari NU itu selama ini telah menjadi
sasaran jahil dari organisasi atau kelompok-kelompok yang tidak punya basis
dan ingin membangun basis. Kalau masjid itu memasang tanda gambar NU,
kalendernya atau jadwal falaknya maka kelompok pendatang yang mengincar
masjid kita akan berfikir untuk mengambil itu, dan fitnah itu bisa dihindari
kalau kita menjelaskan afiliasi kita. Jadi tahap pertama membikin NU terlihat.”18

Jawaban taktis Kiai Masdar pada titik tertentu membuat warga


Nahdliyin sedikit lega meski masih diliputi beberapa tanda-tanya.
Pasalnya, kita sering mendapati bahwa yayasan atau lembaga
perseorangan acapkali khawatir jika aset yang dimiliki lantas menjadi
milik NU bersamaan pemasangan label atau lambang NU. Memang, di
kalangan Nahdliyin sering terpancang kepada egoisme sektoral lantaran
kepemilikan yayasan atau lembaga tidak di bawah naungan organisasi
NU. Hal ini memang tidak semuanya, karena ada beberapa yayasan
yang berada di bawah bendera LP Maarif NU seperti di Kabupaten
Kudus, Jepara, dan Pekalongan yang selama ini dikenal sebagai basis
NU struktural. Berbeda misalnya dengan Muhammadiyah. Semua aset
yang dimilikinya pasti diberi label dan bendera Muhammadiyah.

G. Kesimpulan
Pemberdayaan masyarakat Nahdliyin melalui masjid merupakan
wacana yang patut diapresiasi dan ditindaklanjuti secara masif dan
simultan. Pasalnya, masjid sebagai pusat peradaban kini tak lagi
menawan. Hal ini disebabkan banyaknya pengelola masjid yang hanya
memikirkan bagaimana bangunan masjid makin cantik dan indah di
pandang mata. Belum lagi persoalan pendataan aset yang dimiliki NU
masih belum sepenuhnya selesai. Hal ini jika tidak segera dituntaskan,
bukan tidak mungkin aset-aset NU semisal masjid, pesantren, dan
lembaga pendidikan formal maupun non formal tidak akan terdata
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Masjid Masjid NU dan Pemberdayaan Masyarakat Nahdliyin _369

dengan baik. Belum lagi instansi kesehatan dan lain sebagainya. Pada
titik ini, NU patut belajar kepada ormas semacam Muhammadiyah yang
telah memiliki basis kepemilikan yang resmi terhadap aset-asetnya.
Hampir di tiap daerah, Muhammadiyah telah mendata aset di berbagai
bidang, khususnya pendidikan, mulai dari jenjang Taman Kanak-kanak
hingga perguruan tinggi. Dalam bidang kesehatan juga telah rapi.
Banyak rumah sakit dan poliklinik yang dimiliki ormas yang didirikan
KH Ahmad Dahlan ini. Nah, kapan lagi NU melakukan pendataan atas
aset-asetnya jika tidak dimulai sekarang? Sebuah pertanyaan yang tak
perlu dijawab tetapi segera dilakukan secepatnya. Tegasnya, pendataan
dan legalisasi aset-aset NU sangat mendesak. Jika tidak, bukan tidak
mungkin akan dicuri oleh pihak lain.

Diharapkan, warga Nahdliyin di mana berada untuk mendukung apa


yang telah digagas oleh para pengurus NU di daerah masing-masing.
Hal ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan genting seputar jam’iyah
NU yang selama ini hanya terdengar namun belum terlihat, sebagaimana
dinyatakan KH Masdar Farid Mas’udi di atas. Ide pemasangan papan
nama, kalender, dan label-label NU pada gilirannya nanti menjadi
semacam program permanen di setiap kepengurusan. LTM NU sebagai
pelaksana teknis di lapangan patut kiranya menggandeng kader-kader
muda untuk turut serta mensukseskan agenda ini secara menyeluruh.
Sudah tentu, pelaksanaan diklat muharrik yang sudah pernah dihelat
perlu ditindaklanjuti kembali. Hal ini dilakukan demi sustainabilitas
sekaligus pemantauan secara langsung perkembangan di lapangan.
Pemantauan ini penting mengingat banyaknya kader muda potensial
yang bisa diajak bekerja sama. Penyadaran untuk kalangan muda ini
rasanya lebih mudah dengan sentuhan dan pendekatan secara kultural
daripada golongan tua. Meski demikian, golongan tua pun perlu juga
diajak bicara dan dimintai pendapat dan dukungannya.

Jika pendataan dan legalisasi aset telah tuntas, program berikutnya


adalah pemberdayaan sebagaimana penulis nyatakan di atas. Bagaimana
langkah NU memberi manfaat sebesar-besarnya bagi komunitas
370_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

Nahdliyin yang mayoritas tinggal di pedesaan dan wilayah tertinggal.


Kita patut bersyukur geliat Nahdliyin muda di beberapa daerah kian
menunjukkan semangat Ke-NU-annya. Hal ini penting, selain untuk
kalangan NU program pemberdayaan masyarakat juga ditujukan bagi
semua masyarakat bawah, tanpa memandang dari ormas mana, suku
apa, dan agama apa. Semangat kebangsaan warga Nahdliyin yang tinggi
dalam melaksanakan program pemberdayaan ini tak perlu dipertanyakan
lagi. Sudah sepatutnya, warga NU tidak lagi mendikotomikan sasaran
perjuangan untuk mencapai kemakmuran bersama. Kita bisa saksikan
dan teladani para tokoh panutan NU, semisal, KH Abdurrahman Wahid
(Gus Dur), yang hingga tahun keempat pusaranya masih diziarahi
oleh ribuan warga dari berbagai latar belakang suku dan agama. Ini
membuktikan betapa almarhum ketika masih hidup mendarmabaktikan
raganya untuk masyarakat tanpa pandang bulu. Itulah mengapa dulu
Gus Dur mencetuskan ide “Tuhan Tidak Perlu Dibela”, karena baginya
membela manusia, khususnya kaum mustadh’afin (marginal dan
lemah) lebih berharga di hadapan Tuhan. Sikap inilah yang akhirnya
menahbiskan Gus Dur sebagai tokoh humanis sejati. Wallahu a’lam.
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Masjid Masjid NU dan Pemberdayaan Masyarakat Nahdliyin _371

Daftar Pustaka

Masjid YAMP, 22 Tahun Yayasan Amalbakti Muslim Pancasila, Jakarta,


Yayasan Amalbakti Muslim Pancasila, 2004.

Tim penulis Visit Indonesia, Masjid dan makam bersejarah di Sumatera,


Kementerian Kebuyaan dan pariwisata, 2008.

http://bimasislam.kemenag.go.id/informasi/artikel/1004-
mengembalikan-peran-dan-fungsi-masjid-kepada-fitrahnya-.html

http://www.pcnubalikpapan.or.id/2013/02/lembaga-takmir-masjid-nu-
ltm-nu.html

www.dmi.or.id website resmi Dewan Masjid Indonesia

www.nu.or.id website resmi NU Online


372_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

Endnotes

1. penulis menggunakan istilah “kaum muslimin” untuk menyebut “umat


Islam”. Sebagaimana Gus Dur memakai istilah yang pertama daripada istilah
yang kedua. Gus Dur hanya sekali menyebut dengan istilah yang kedua,
namun agak sedikit berbeda: “umat pemeluk agama Islam.” Misalnya, pada
kolom di Koran Tempo berjudul: “Fatwa Natal, Ujung dan Pangkal.” (Tempo,
30 Mei 1981).

2. Secara etimologi, masjid berasal dari kata “sajada-yasjudu”, bermakna


sujud, taat, patuh, bersimpuh, dan merendahkan diri hanya kepada Allah.
Sedangkan secara terminologi, masjid diartikan sebagai tempat sujud
atau tempat shalat yang suci, untuk menyembah Allah SWT sekalgus
mendekatkan diri kepada-Nya yang bebas dari kepentingan apapun kecuali
mengharapkan kebaikan dari-Nya dan membentuk hamba yang saleh
dan bermanfaat bagi sesama. Sejatinya, bumi adalah masjid bagi kaum
Muslimin, setiap Muslim boleh melakukan shalat di manapun di bumi
ini. Selain istilah masjid, di dalam Al-Qur’an juga terdapat istilah mushalla
(QS. 2: 5) yang searti dengan masjid. Tetapi, mushalla merupakan tempat
mengerjakan shalat di lapangan terbuka. Sementara itu, di Indonesia
terdapat beberapa istilah tempat untuk mengerjakan shalat, misalnya: Tajug,
Langgar, Surau dan sebagainya. Biasanya ketiga istilah tersebut merupakan
masjid dengan bangunan berukuran kecil dan tidak digunakan untuk shalat
Jum’at. Sedangkan Mushalla biasanya merupakan ruangan atau bagian
kecil dari suatu bangunan yang lebih besar semisal pasar, terminal, kantor,
rumah dan sebagainya.

3. Dalam artikel: Kreativitas Takmir Masjid Perlu Ditingkatkan. Diakses dari


website resmi DMI pada 11/10/13, pukul 01:24 WIB.

4. Pidato Wakil Presiden Boediono pada Muktamar ke-6 Dewan Masjid


Indonesia 2012.

5. Istilah ini dipopulerkan oleh Sa’dullah Assaidi, dosen Metodologi Studi


Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Masjid Masjid NU dan Pemberdayaan Masyarakat Nahdliyin _373

Islam INISNU Jepara, Jawa Tengah, ketika mengisi materi Aswaja maupun
saat seminar di kampus.

6. Guyonan atau humor ini memang sudah lama muncul di lingkungan


warga NU. Salah satunya tulisan A Khoirul Anam, wartawan NU Online.
Selebihnya bisa dibaca di website resmi Nahdlatul Ulama (www.nu.or.id)

7. Edi Junaedi, Mengembalikan Peran dan Fungsi Masjid kepada “Fitrahnya”, 2013.
Selengkapnya bisa dibaca di website resmi Kementerian Agama.

8. Secara organisatoris, lembaga adalah perangkat departementasi organisasi


Nahdlatul Ulama yang berfungsi sebagai pelaksana kebijakan Nahdlatul
Ulama, khususnya yang berkaitan dengan bidang tertentu.

9. NU Online, 21/5/13
10. Diakses dari situs resmi Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota
Balikpapan, pada 11 Oktober 2013.

11. Diakses dari situs resmi Dewan Masjid Indonesia (DMI). Organisasi
independen ini sekarang dipimpin oleh mantan Wakil Presiden HM Jusuf
Kalla.

12. Sejumlah tokoh tersebut kemudian bersepakat bahwa ormas yang lahir
pada 22 Juni 1972 yang bertepatan dengan 10 Jumadil Ula 1392 H. diberi
nama Dewan Masjid Indonesia. Organisasi ini berasaskan Islam dan bersifat
sebagai organisasi independen yang mandiri dan tidak terkait secara
struktural dengan organisasi sosial kemasyarakatan dan organisasi sosial
politik manapun. Lebih jelasnya lihat situs resmi DMI.

13. Berita tentang JK di Republika Online: Dewan Masjid Setuju Aturan Pengeras
Suara. Diakses pada Jum’at, 11/10/13, pukul 18:45 WIB.

14. Syaiful Arif, Deradikalisasi Islam, Paradigma dan Strategi Islam Kultural,
(Depok: Koekoesan, 2010), h. 132.

15. Masjid ini didirikan pada tahun 956 H atau 1549 M. Hal ini dapat diketahui
dari inskripsi (prasasti) pada batu yang lebarnya 30 cm dan panjang 46
cm yang terletak pada mihrab masjid yang ditulis dalam bahasa Arab.
374_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Masjid_Menara_Kudus. Diakses pada


11/10/2013 pukul 03.00 WIB.

16. Wawancara NU Online dengan KH Masdar Farid Mas’udi. “Masdar: NU


Harus Dilihat, Bukan Hanya Didengar.” (Selasa, 16/03/2010, 15:20). Diakses
pada Jum’at, 11/10/13 pukul 17:00.

17. KH Muhyiddin Abdusshomad, NU “Vis a Vis” Transnasionalisme, Harian


Suara Pembaruan, Senin, 4 Februari 2008. Rais Syuriah PCNU Jember ini
termasuk tokoh NU yang produktif menulis buku, salah satunya berjudul:
“Fikih Tradisionalis”.

18. Wawancara NU Online dengan KH Masdar Farid Mas’udi. “Masdar: NU


Harus Dilihat, Bukan Hanya Didengar.” (Selasa, 16/03/2010, 15:20). Diakses
pada Jum’at, 11/10/13 pukul 17:00.
Dakwah Lewat Syair :
Telaah Nazam Akhlak Karya KH. Muhammad

Sugeng Sugiarto
IMMAN Jakarta
email : sugengxx8@gmail.com

Abstract : Pendakwah jenius adalah orang yang melakukan transmisi pengetahuan dengan
menggunakan bahasa dan melihat kultur sosial audiensnya. Karena dengannya,
muatan dakwah yang dibawakannya akan mudah dan cepat, serta efektif diserap oleh
khalayak. Hal ini dilakukan oleh (akang) KH. Muhammad, pelaku dakwah di kawasan
Pesantren Babakakn Ciwaringin Cirebon. KH. Muhammad menyampaikan misi
dakwah penataan hati (akhlak) dengan menggunakan syair atau Nazham berbahasa
Jawa-Cirebon yang sederhana.

Abstraksi : Pendakwah jenius adalah orang yang melakukan transmisi pengetahuan dengan
menggunakan bahasa dan melihat kultur sosial audiensnya. Karena dengannya,
muatan dakwah yang dibawakannya akan mudah dan cepat, serta efektif diserap oleh
khalayak. Hal ini dilakukan oleh (akang) KH. Muhammad, pelaku dakwah di kawasan
Pesantren Babakakn Ciwaringin Cirebon. KH. Muhammad menyampaikan misi
dakwah penataan hati (akhlak) dengan menggunakan syair atau Nazham berbahasa
Jawa-Cirebon yang sederhana.
Keywords: Keywords: Dakwah, preacher, KH. Muhammad, Poem, al-Washiyah fi al-Akhlaq,
Babakan Ciwaringin Cirebon
376_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

A. Pendahuluan
Ada dua corak yang dikenal dalam karya tulis Arab, yaitu Kalâm Natsar
dan kalâm Nadzâm (Syair). Nadhâm atau Syi’ir adalah ungkapan yang
diatur dengan ketentuan Qasidah orang Arab. pada ilmu ‘Arud dikenal
istilah Bahar, yaitu ketukan irama Shi’ir Arab. Salah satunya adalah
Bahar Rajaz. 1 Sejak jaman sebelum Islam, masyarakat Arab khususnya
di wilayah sekitar makkah, pada hari-hari tertentu dilombakan
pembacaan syair-syair dari para penyair kondang Arab di Ka’bah. Syair
dan penyair yang unggul bagi mereka merupakan hal yang prestisius
dan menempati posisi yang terhormat. Karena tidak semua orang
bisa meramu dan meracik kata-kata menjadi sebuah syair yang indah,
sesuai dengan kaidah-kaidah nazham atau syair Arab—walaupun masa
sebelum kaidah-kaidah tersebut belum disusun secara sistematis yang
sekarang disebut dengan ‘Ilm al-’Arudh—yang telah menjadi konsesnsus
masyarakat Arab.

Dalam dunia dakwah, pendakwah cerdas pasti akan menggunakan


bahasa dan kultur sosial audiens. Hal ini dilakukan oleh (akang) KH.
Muhammad, pelaku dakwah di kawasan pesantren Babakakn Ciwaringin
Cirebon. Ia menyampaikan misi penataan hati (akhlak) dengan
menggunakan syair atau Nazham berbahasa Jawa-Cirebon. Dengan
syair-syairnya sederhananya misi yang disampaikan KH. Muhammad
cepat diserap, karena ia secara tidak langsung melibatkan audiens yang
didakwahinya danm merasa bagian dari dakwah serta mereka akan
merasa senang menghafal nazham-nazham akhlak yang disampaikan.
Sehingga misi dakwah akan mudah dicerna dan dipahami, sebagaimana
diungkap dalam metode Question Learning.2

Al-Washyiah fî al-Akhlâq merupakan judul yang diberikan KH.


Muhammad untuk syair-syair Jawa-Cirebon yang disusunnya. Hal
itu dimungkinkan KH. Muhammad mengambil nilai dari al-Qur’an
yang mengatakan bahwa orang yang selamat adalah yang “berwasiat
dalam kebaikan” dan beramal saleh, serta mengambil nilai hadis Nabi
Al-Washiyah Fî Al-Akhlaq Syair Jawa-Cirebon _377

yang mengungkapkan bahwa Nabi Muhammad diutus hanya untuk


“menyempurnakan Akhlak”. KH. Muhammad sebagai The Massanger
(pendakwah), sebagai pewaris Nabi sebagai “penyempurna akhlak”,
sekaligus sang penyair.

KH. Muhammad tergolong orang yang konsisten dengan tradisi


lama intelektual Islam Nusantara (Indonesia) dalam hal penulisan karya
ilmiah. Terbukti dari dua karya yang dihasilkannya bercorak sebagai
mana karya tulis ilmiah masa awal transmisi pengetahuan fase adopsi
aktif kalangan Islam Indonesia.

Abad XVII-XVIII M. (fase awal) adopsi aktif berupa gerakan


pembuatan karya ilmiah keislaman mulai terlihat. Gerakan tersebut
berupa penerjemahan atau penyaduran kitab-kitab klasik berbahasa
Arab ke dalam bahasa lokal, baik ke bahasa Melayu, Jawa, Sunda,
maupun bahasa daerah yang lainnya,3 ataupun karya asli dari kalangan
intelektual Indonesia. Corak yang menonjol, yang menandai karya
terjemahan atau penyaduran masa-masa awal yang dilakukan oleh
sarjana Nusantara/Indonesia adalah: Pertama judul terjemahan atau
saduran yang digunakan kebanyakan masih menggunakan bahasa
Arab. Kedua, huruf yang digunakan dalam karya terjemahan atau
saduran menggunakan huruf Arab pegon.4 Ketiga, model terjemahan atu
penyadurannya menggunakan model harfiah yang lebih mengutamakan
keserupaan bentuk gramatikal bahasa Arab.5

Berangkat dari penjelasan di atas, penulis akan mengangkat judul:


“Al-Washiyah fî al-Akhlâq; Syi’ar Syair Dakwah KH. Muhammad Kebon Jambu”

B. Selayang Pandang Tentang Syair Arab


a. Ilmu ‘Arudh

Arudh adalah ilmu yang memuat kaidah-kaidah untuk mengetahui


pola-pola (mawâzin) syi’ir dan nadzâm, perubahan-perubahan yang terjadi
pada pola-pola tersebut, mengenali tuturan yang berpola dan tidak, juga
untuk membedakan suatu pola dari pola yang lainnya, bahkan untuk
378_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

mengetahui pola syi’ir yang benar dan yang salah.6. Yang menemukan
Ilmu Arudh adalah Al-Khalil bin Ahmad bin Amr bin Tamim al-Farahidi.
Dilahirkan pada 100 H, wafat pada usia 74 tahun.7 Ia merupakan guru
dari Sibawaih, salah seorang tokoh terbesar bahasa aliran Basrah, di
samping juga adalah guru dari banyak penulis lainnya. Dia membaca
dan mempelajari kumpulan puisi Arab yang dihimpunnya, membuat
notasinya, mengumpulkan pola-pola yang serupa, hingga pada akhirnya
ia menemukan pola-pola puisi-puisi Arab tersebut, dan mengidentifikasi
bentuk-bentuk qâfiyah-nya.8 Penemuannya ini dinamakan dengan ‘Arûdh,
karena pada suatu waktu ia bermukim di ‘Arudh atau Makkah, hal ini
dimaksudkan sebagai Tabarruk dengan kota tersebut.9

b. Wazan dan Bahar Syi’ir

Dalam ilmu ‘Arudh dikenal istilah Wazan dan Bahr. Wazan adalah
timbangan berupa ketukan-ketukan lagu yang memecah kata-kata
dalam tiap bait sebuah syi’ir atau nazham ke dalam maqathi (potongan-
potongan). Kumpulan potongan-potongan lagu kata ini dirangkum oleh
taf’ilat, rumus-rumus berpola sebagai realisasi dari ketukan-ketukan
nada dalam syi’ir. Kumpulan taf’ilat itu selanjutnya disebut bahar, yang
sekaligus menjadi identitas resmi sebuah syi’ir atau nazham.

Berdasarkan ketukan-ketukan lagu itu, dapat dibedakan antara wazan


yang satu dari yang lain, hingga akhirnya dapat dibedakan antara bahar
yang satu dengan yang lain. Bahkan dengan ketukan itu pula dapat
dibedakan antara wazan yang benar dan yang salah, antara tuturan yang
tertata (mauzûn) dengan yang tercerai berai (maksûr).10

Adapun bahar dalam syair Arab adalah sebagai berikut:

- Basith, dengan wazan: Mustaf’ilun Fâ’ilun Mustaf’ilun Fâ’ilun


- Rajaz, dengan wazan: Mustaf’ilun Mustaf’ilun Mustaf’ilun
- Sari’, dengan wazan: Mustaf’ilun Mustaf’ilun Fâ’ilun
- Raml, dengan wazan: Fâ’ilâtun Fâ’ilâtun Fâ’ilâtun
- Khafîf, dengan wazan: Fâ’ilâtun Mustaf’ilun Fâ’ilâtun
Al-Washiyah Fî Al-Akhlaq Syair Jawa-Cirebon _379

- Madîd, dengan wazan: Fâ’ilâtun fâ’ilun Fâ’ilâtun


- Mutadârik, dengan wazan: Fâ’ilun Fâ’ilun Fâ’ilun Fâ’ilun
- Thawîl, dengan wazan: Fa’ûlun Mafâ’îlun Fa’ûlun Mafâ’îlun
- Mutaqârib, dengan wazan: Fa’ûlun Fa’ûlun Fa’ûlun Fa’ûlun
- Wâfir, dengan wazan: Mufâ’latun Mufâ’latun Fa’ûlun
- Hijaz, dengan wazan: Mafâ’îlun Mafâ’îlun
- Kâmil, dengan wazan: Mutafâ’ilun Mutafâ’ilun Mutafâ’ilun
- Munsarih, dengan wazan: Mustaf’ilun Maf’ûlâtun Mustaf’ilun
- Al-Mujtats, dengan wazan: Mustaf’i-lun Fâ’ilâtun
- Al-Mudhâri’, dengan wazan: Mafâ’îlun Fâ-’i-lâ-tun
- Muqtadhib, dengan wazan: Maf’ûlât Mustaf’ilun.11

c. Qâfiyah

Dalam syair Arab, (bunyi) huruf yang mengakhiri syair atau nadzâm
disebut sebagai Qâfiyah. Yang berfungsi menyempurnakan musikalitas
sebuah syi’ir atau nazham yang disusun sebagai kidung. qâfiyah terbentuk
dari huruf atau kata dalam akhir sebuah bait, tetapi juga huruf hidup
(musyakkal) sebelum huruf mati yang diapit keduanya. Adapun qâfiyah
mempunyai beberapa bentuk, antara lain (1) qâfiyah sebagian dari kata,
(2) qâfiyah terdiri dari satu kata, dan (3) qâfiyah terdiri dari dua kata.12

Ada enam kategori huruf yang ada dalam Qâfiyah, yang masing-
masing disebut rawi, washl, khuruj, ridf, ta sis dan dakhil. Di antara enam
kategori huruf qâfiyah tersebut rawi adalah yang terpenting karena
sekaligus menjadi identitas dari sebuah qashîdah (kumpulan tematis
syair).13 Dalam sebuah kumpulan syair, kadang disebut sebagai qashîdah
mîmiyah, qashîdah lâmiyah, qashîdah nûniyah, dan sebagainya, itu berarti
kumpulan tematis puisi itu ber-rawi mim, lam dan nun.14

Huruf rawi memberikan identitas formal kepada sebuah kumpulan


tematis atau ontology puisi atau syi’ir. Jika dalam sebuah qashîdah
tidak dijumpai kehadiran huruf rawi yang sama secara konsisten, maka
kumpulan puisi itu tidak bisa dikatakan ber-qâfiyah.
380_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

C. Sketsa Hidup Penulis Al-Washiyah Fî Al-Akhlâq


Penulis kitab al-Wasiyah fi al-Akhlâq syair (Nadzâm) Jawa-Cirebon
adalah KH. Muhammad biasa dipanggil “akang”, lahir pada 15 Juni 1947,
di kampung Karang Anyar desa Winduhaji kec./kab. Kuningan, putra
dari pasangan H. Aminta dan Hj. Tsani.15 Guru-guru KH. Muhammad:
K. Samud, KH. Amin Sepuh, KH. Muhammad Sanusi,16 Ki Syamsuri
(Guru Fara’id), KH. Husein Kenanga (Guru ilmu Falak), KH. Muzaki
Syah (Mu’jiz Manaqib), KH. Sholihin (Guru Spiritual), dan lain-lain.17

Dari sekian banyak gurunya, yang paling berpengaruh dalam


perjalanan hidup dan kehidupan ilmiahnya adalah KH. M. Sanusi.
Ketaatan Muhammad pada gurunya tidak diragukan lagi, terlebih lagi
masa itu, masyarakat sangat menghormati kiai sebagai simbol ketaatan
terhadap agama, karena ulama dipandang sebagai panutan.18 Hampir
semua perintah dan ajaran yang diberikan, semuanya dilakukan oleh
Muhammad, gaya kepemimpinan pesantren, tingkah laku, pola hidup,
sampai gaya penulisan karya pun Muhammad terinspirasi oleh gurunya.

Adapun hasil karyanya yaitu: a) al-Washiyah fî al-Akhlâq, kitab—yang


dimungkinkan saduran dari Ta’lîm al-Muta’alim al-Jarnûzî—berisi ajaran/
nasihat akhlak untuk para pencari ilmu. b) Ahwal al-Insân, didalamnya
berisi ajaran-ajaran teologi.19 Dari gaya dan muatan dua buah kitabnya,
tergambar jelas bahwa KH. Sanusi merupakan “sang inspirator”
bagi KH. Muhammad dalam menulis karya. Hal ini terlihat jelas dari
beberapa karya KH. Sanusi kebanyakan berbentuk Syair berbahasa Jawa
maupun bahasa Indonesia, serta kebanyakan berisi ajaran-ajaran akhlak-
tasawuf.20

KH. Muhammad wafat pada 9 Syawal bertepatan dengan 1 Nopember


2006 di Rumah Sakit Pertamina Cirebon.21

D. Tinjauan Kitab al-Washiyah fî al-Akhlâq


a. Sistematika Penulisan al-Washiyah fî al-Akhlâq
‫ﻛﺘﺎب‬ ‫ﻛﺘﺎب‬
‫اﻟﻮﺻﻴﺔ‬
‫ﻛﺘﺎب‬ Al-Washiyah Fî Hakekat
Al-AkhlaqSabar
Syairdalam
Jawa-Cirebon
Al-Quran _381
‫اﻟﻮﺻﻴﺔ‬ ‫اﻟﻮﺻﻴﺔ‬
‫ﰲ اﻷﺧﻼق‬ ‫ﻛﺘﺎب‬
Al-Wasiyah fi al-Akhlâq berisi ajaran-ajaran akhlak-tasawuf, yang
‫اﻟﻮﺻﻴﺔ‬
disajikan dalam bentuk Kalam Nazham (Syi’ir) berbahasa Jawa Cirebon.
‫اﻷﺧﻼق ﰲ اﻷﺧﻼق‬
Kitab ini Ditulis dikertas HVS, dalam covernya tertulis kata “ ‫ﻛﺘﺎب‬ ”
‫ﻛﻴﺎﻫﻲ ﺣﺎج ﳏﻤﺪ‬
dengan kaligrafi Arab Riqah, judul kitab “ ‫اﻟﻮﺻﻴﺔ‬ ‫ﰲ‬
“ ditulis dengan Khat
Qufi, “ ‫ﰲ اﻷﺧﻼق‬ ” ditulis dengan tulisan Kaligrafi Arab corak Diwani
Jali, nama penukil (pengarang) “ ‫ﻛﻴﺎﻫﻲ ﺣﺎج ﳏﻤﺪ‬ ‫اﻟﻮﺻﻴﺔ‬
”, dan kata “
‫ﰲ اﻷﺧﻼق رﲪﻪ اﷲ ﺗﻌﺎﱃ وﻧﻔﻌﻨﺎ ﺑﻌﻠﻮﻣﻪ‬ ‫ﳏﻤﺪ‬ ‫ﺣﺎج‬ ‫ﻛﻴﺎﻫﻲ‬
“ditulis dengan tulisan Nashkh. Sebelum
‫ﻛﻴﺎﻫﻲ ﺣﺎج ﳏﻤﺪ‬
memasuki pembahasan, penulis membuka dengan bacaan Basmalah,
‫ﺑﻌﻠﻮﻣﻪ وﻧﻔﻌﻨﺎ ﺑﻌﻠﻮﻣﻪ‬
‫وﻧﻔﻌﻨﺎاﷲ ﺗﻌﺎﱃ‬ ‫ﰲ اﻷﺧﻼق‬
‫ﺗﻌﺎﱃرﲪﻪ‬
kemudian bacaan Hamdalah dan Shalawah-Salam atas Nabi Muhammad
‫اﳊﻤﺪ ﷲ رب اﻟﻌﺎﳌﲔ اﻟﺬي ﺟﻌﻞ ﻣﻦ‬ ‫ﻛﻴﺎﻫﻲ ﺣﺎج ﳏﻤﺪ‬ ‫رﲪﻪ اﷲ‬
Saw., sahabat dan keluarganya, yang berbentuk redaksi Natsar, adapun
‫رﲪﻪ اﷲ ﺗﻌﺎﱃ وﻧﻔﻌﻨﺎ ﺑﻌﻠﻮﻣ‬
Kalam lengkapnya sebagai berikut;
‫اﻟﺴ‬
‫ﺻﻠﻰواﷲ‬‫اﻟﺼﻼة‬ ‫ﺑﺸﺮا و‬
‫ﳏﻤﺪ‬ ‫اﳍﺪىاﳌﺎء‬
‫ﺳﻴﺪﻧﺎ‬ ‫ﺟﻌﻞا وﻣﻦ‬ ‫اﻟﻌﺎﳌﲔﻣﻦاﻟﺬي‬
‫اﳌﺎء ﻧﻮر‬
‫ﻋﻠﻰ‬ ‫ﳏﻤﺪ‬
‫ﺣﺎجاﳊﻤﺪ‬
‫اﻟﻌﺎﳌﲔﷲ رب‬ ‫ﻛﻴﺎﻫﻲ‬
‫اﻟﺴﻼم‬ ‫اﻟﺼﻼة و‬ ‫ﺮ‬‫ﺑﺸ‬ ‫ﺟﻌﻞ‬
‫رﲪﻪ اﷲ ﺗﻌﺎﱃ وﻧﻔﻌﻨﺎ ﺑﻌﻠﻮﻣﻪ‬‫اﻟﺬي‬ ‫رب‬ ‫ﷲ‬ ‫اﳊﻤﺪ‬
‫وﻋﻠﻰ أﻟﻪ‬
‫اﻟﺬي‬ ‫وﺳﻠﻢ‬
‫اﻟﻌﺎﳌﲔ‬ ‫ﻋﻠﻴﻪأﻟﻪ‬
‫رب‬
"‫ﺑﻌﺪ‬ ‫اﷲ‬
‫اﳊﻤﺪ ﷲ‬
‫أﻣﺎ‬
‫وﻋﻠﻰ‬ ,‫وﺳﻠﻢ‬‫وﺻﺤﺒﻪﺻﻠﻰ‬
‫وﺳﻠﻢ‬ ‫ﺳﻴﺪﻧﺎاﷲﳏﻤﺪ‬
‫ﻋﻠﻴﻪ‬ ‫اﳍﺪى‬
‫ﻧﻮر ﳏﻤﺪ‬
‫ﺑﻌﻠﻮﻣﻪﺻﻠﻰ‬ ‫ﺳﻴﺪﻧﺎ‬‫ﻋﻠﻰ ﻧﻮر اﳍﺪىﻋﻠﻰ‬
‫رﲪﻪ اﷲ ﺗﻌﺎﱃ وﻧﻔﻌﻨﺎ‬
‫ﺳﻴﺪﻧﺎواﻟﺼﻼ‬
‫ﳏﻤﺪ‬ ‫اﳍﺪى ﺑﺸﺮا‬
‫ﺟﻌﻞﻧﻮرﻣﻦ اﳌﺎء‬‫اﻟﻌﺎﳌﲔ اﻟﺬيﻋﻠﻰ‬ "‫رب ﺑﻌﺪ‬
‫ أﻣﺎ‬,‫وﺳﻠﻢﷲ‬
‫وﺻﺤﺒﻪاﳊﻤﺪ‬
"‫ أﻣﺎ ﺑﻌﺪ‬,‫وﺻﺤﺒﻪ وﺳﻠﻢ‬
‫اﻟﺴﻼموﺳﻠﻢ‬
‫ﺑﻌﺪ"وﻋﻠ‬ ‫ﻋﻠﻴﻪأﻣﺎ‬ ‫اﻟﺼﻼةاﷲو‬
,‫وﺳﻠﻢ‬
Nazhâm ‫ﺻﻠﻰ‬ ‫ و‬tertulis
‫وﺻﺤﺒﻪ‬
yang ‫ﳏﻤﺪا‬
‫اﳌﺎء ﺑﺸﺮ‬
‫ﺳﻴﺪﻧﺎ‬ ‫اﳍﺪىﻣﻦ‬
di kitab‫ﺟﻌﻞ‬ ‫ﻋﻠﻰاﻟﺬي‬
‫ﻧﻮر‬ ‫اﻟﻌﺎﳌﲔ‬
ini seluruhnya ‫ﷲ رب‬318‫اﳊﻤﺪ‬
berjumlah buah,
tertulis dalam 24 halaman yang terbagi dalam Muqaddimah dan sepuluh
Bab.‫ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ وﻋﻠﻰ أﻟﻪ‬ "‫اﷲ ﺑﻌﺪ‬‫ﺻﻠﻰ أﻣﺎ‬
,‫ﳏﻤﺪوﺳﻠﻢ‬ ‫ﻋﻠﻰ ﻧﻮر اﳍﺪى ﺳﻴﺪﻧﺎ‬
‫وﺻﺤﺒﻪ‬
"‫ أﻣﺎ ﺑﻌﺪ‬,‫وﺻﺤﺒﻪ وﺳﻠﻢ‬
Adapun pembahasan yang diulas antara lain: (1) Muqaddimah,
secara tertulis kata al-Muqaddimah disini tidak termaktub, artinya
setelah pengarang menuliskan Basmalah, Sholawah-Salam, pengarang
langsung masuk pada redaksi syairnya (pembahasan), (2) Nasihat Saking
Guru (Nasehat dari Guru), (3) Tata Kramane Ngaji (Akhlak Mengaji/
Belajar), (4) Ngawiti Ngaji (Memulai Belajar), (5) Ta’zhîm al-‘Ilmi Wa
Ahlihi (Menghormati Ilmu dan Ahlinya), (6) Al-Jadd Wa al-Muwadhdhabah
(Sungguh-sunguh dan Giat), (7) Al-Wara’, (8) Al-Tawakkal (Pasrah
Kepada Allah), (9) Al-Istifadah (Mengambil Faedah), (10) Ma Yûrits al-
Hifzh wa al-Nisyân (hal yang menyebabkan hafal dan lupa), (11) Kang
Narik Rizki Kang Nyegah Rizki, Kang Nambah Umur (Hal yang Menarik
Rizki, Mencegah Rizki, dan Hal yang Menambah Umur).
382_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

Dalam pungkasan kitabnya, KH. Muhammad menuliskan syair-syair


‫"اﳊﻤﺪ ﷲ رب اﻟﻌﺎﳌﲔ اﻟﺬي ﺟﻌﻞ ﻣﻦ اﳌﺎء ﺑﺸﺮا واﻟﺼﻼة‬
pujian kepada Allah yang Maha Pengasih, dengan ungkapan Hamdalah,
bacaan Shalawat-Salam atas Nabi. Dan KH. Muhammad mengatakan
‫واﻟﺴﻼم ﻋﻠﻰ ﻧﻮر اﳍﺪى ﺳﻴﺪﻧﺎ ﳏﻤﺪ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ وﻋﻠﻰ‬
bahwa Syair yang ia tulis (dianggap) cukup untuk mendasari orang yang
mencari ilmu (santri), serta KH. Muhammad berharap syair (karya)-
‫ أﻣﺎ ﺑﻌﺪ‬,‫أﻟﻪ وﺻﺤﺒﻪ وﺳﻠﻢ‬
nya dapat bermanfaat dan termasuk amal yang ikhlas .Daftar Isi kitab
ditulis dalam lembaran akhir, dan setelah itu tertulis tahun penyelesaian
penulisan kitab yakni Rabî’ al-Awal 1414 H. dan juga terdapat tulisan:

‫"إﻧﺘﻬﻰ ﻫﺬﻩ اﻟﺮﺳﺎﻟﺔ ﺑﻌﻮن اﷲ ﺗﻌﺎﱃ ﲞﻂ أﻓﻘﺮ اﻟﻮرع اﻟﺮاﺟﻲ ﻟﺮﲪﺔ‬


‫ أﻣﲔ‬.‫رﺑﻪ اﻹﺧﻮان ﻏﻔﺮ اﷲ ﻟﻪ وﻟﻮاﻟﺪﻳﻪ وﳌﺸﺎﳜﻪ‬

b. Muatan al-Washiyah fî al-Akhlâq

Kitab berbahasa Jawa-Cirebon ini berisi tentang ajaran akhlak-tasawuf


yang ungkapan penyampaiannya menggunakan Kalâm Syair. Dari syair
yang termaktub dalam Al-Washiyah fi al-Akhlâq, pengarang membaginya
ke dalam sebelas bagian. Adapun muatan/konten yang terkandung di
dalamnya lebih kurang sebagai berikut.

Pertama, Muqaddimah berjumlah 50 Nazhâm, didalamnya memaparkan


cerita proses hubungan bapak dan ibu (suami istri), terbentuknya
manusia dari bentuk asal sel telur, proses pembentukan dalam
kandungan sampai pada lahirnya manusia ke dunia.22 Cerita ini (proses
pembentukan manusia) merupakan saduran hadis Nabi. Penjelasan ini
termaktub dalam syair pertama sampai syair yang ke-19.

Juga dalam muqaddimah diterangkan kondisi pasca kelahiran,


bagaimana seorang bapak mesti lakukan ketika sang bayi baru lahir
(mengumandangkan Kalimah Tayyibah, bayi dibisikan Adzan dan
Iqamah), penjelasan ini mengambil dan menyadur hadis Nabi. Pengarang
dalam hal ini beralasan supaya bayi suci laksana Syuhada’ tersebut terjaga
dari godaan setan; KH. Muhammad menggambarkan kebahagiaan kedua
Al-Washiyah Fî Al-Akhlaq Syair Jawa-Cirebon _383

orang tua tatkala anaknya baru lahir walaupun sebelumnya berbagai


kesusahan menimpanya. Penjelasan ini ditulis dalam syair ke-20 sampai
syair ke-23.23

Pengarang memaparkan pula bagaimana kesusahan kedua orang tua


dalam merawat dan mendidik anak. Dalam hal ini penulis menggunakan
redaksi kata ganti orang kedua (seolah ada dialog antara pengarang
dan penyimak/santri). Pada syair yang ke-27 penulis menganjurkan
melakukan ‘Aqiqah, mencukur rambut jabang bayi, memberi nama bayi
dengan nama yang baik, dan melantunkan doa.24

Dalam Muqaddimah KH Muhammad berpesan kepada santri (calon


orang tua), tentang pendidikan anak pra dan usia sekolah dasar sebelum
anak tersebut menuntut ilmu di pesantren. Ajaran ini termaktub dalam
Al-Washiyah fi al-Akhlâq syair ke-29 sampai 41; tata karma Sang Ayah
ketika memasukan anaknya ke Pesantren.25

Kedua, (bab) Nasehat Saking Guru, didalamnya menerangkan


corak—keimanan—manusia di dunia, yakni muslimin, kafirin, dan
zhalimin yang disertai dengan definisinya; balasan bagi manusia pasca
kematian disertai dengan deskripsi nikmat surga dan siksa neraka,
dalam menjelaskan situasi neraka dan penghuninya (dialog Allah
dengan penghuni Neraka). KH. Muhammad mengutip sebuah ayat
al-Qur’an surat al-Mu’minun (23:108);26 perintah dan larangan—
syar’iat Islam—Allah, yakni wajib, sunnah, makruh, dan Harâm.

Dalam bab ini terdapat beberapa wasiat KH. Muhammad yaitu: -


santri harus giat belajar, - giat sholat berjama’ah serta giat beribadah,
dalam landasan giat beribadah KH. Muhammad mengutip al-Qur’an
surat al-Dzariyat (51:65); - membaca niat ketika akan melaksanakan
pekerjaan, walaupun pekerjaan sekecil apapun, semisal mandi; - taat
pada perintah dan larangan guru, disini disebutkan sembilan kiat
menjadi anak sholeh (santri taat)27 yang tertulis dalam syair ke-78 sampai
dengan 120; - minimal lama mondok tujuh tahun; Dianjurkan pula para
santri supaya punya target dalam belajar di pesantren, yakni tiga tahun
mesti bisa mengajar sorogan, lima tahun bisa mengajar bandungan, dan
384_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

tujuh tahun sudah menjadi orang ‘Âlim (syair ke-115 dan 116)28. Dalam
bab ini termaktub 72 Nazhâm.

Ketiga, Tata Kramane Ngaji, yang seluruhnya syair dalam bab


ini berjumlah 27 Nazhâm. Didalamnya menjelaskan bagaimana
akhlak murid ketika mencari ilmu, adapun pesan KH. Muhammad
yang terkandung dalam bab ini adalah sebagai berikut: - Seorang
murid harus berniat ta’at kepada Allah dan rasul-Nya ketika akan
memulai belajar (mencari ilmu), supaya mendapatkan pahala setiap
tindakannya, KH. Muhammad memberikan sebuah cerita bahwa
malaikat akan menggelar sayapnya untuk diinjak calon murid dari
rumahnya sampai pesantren sebagai bentuk penghormatan, karena
orang yang menuntut ilmu derajatnya mengungguli orang mati syahid;
- jika bertemu teman dijalan maupun tempat pengajian dianjurkan
mengucapkan salam dan bersalaman; duduk dengan rapih (ketika di
majlis ilmu) serta menghafal pelajaran, ketika guru datang berdiri dan
menjawab salam; - ketika di majlis ilmu (saat akan memulai pelajaran)
murid membaca niat “aku berniat mencari ilmu, menghilangkan
kebodohan, mendatangkan kepandaian, dan menghidupkan agama
Islam”;29 - mesti ikhlas ketika telah mampu mengamalkan ilmu. Dalam
penjelasan ikhlas KH. Muhammad memaparkan bahwa setan tidak
akan mundur selangkah pun untuk menggoda santri serta langkah-
langkah setan menggoda santri, misal membisikan supaya ‘Ujub
hingga berupaya supaya santri tidak berlaku ikhlas dalam beramal.

Keempat, Ngawiti Ngaji, disini KH. Muhammad berpesan; hendaknya


santri memulai—memilih hari tepat—untuk belajar (ngaji) maupun
bekerja bagi santri maupun orang muslim, menurutnya hari yang tepat
untuk memulai semuanya adalah hari Rabu; - memilih kitab Mu’tamad,
dan melakukan sharing dengan guru; - memperioritaskan ilmu yang
berlaku dan bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari (‘Ilm al-Hâl),
mendahulukan (belajar) ilmu Tauhid, fiqih dan tasawuf belakangan
(setelah Tauhid). Dalam bab ini jumlah syair yang dituliskan berjumlah
dua belas Nazhâm.
Al-Washiyah Fî Al-Akhlaq Syair Jawa-Cirebon _385

Kelima, Ta’zhîm al-’Ilmi wa Ahlih, Dalam bab ini dijelaskan kiat (akhlak)
supaya cepat menghasilkan ilmu, menghormati ilmu dan ahlinya
(guru) serta keluarganya. KH. Muhammad mengulas juga keunggulan
seorang yang mempunyai ilmu lagi mengamalkannya, ia mengutip
statement sahabat Ali Ra. yang menyatakan dirinya siap jadi hamba
(menuruti segala kehendak dan kemauannya) pada seorang yang telah
mengajarkannya satu huruf ilmu, menurutnya (Ali Ra.) satu lebih mahal
dibanding seribu Dirham. Bab ini berjumlah 26 Nazhâm.

Keenam, Jadd wa al-Muwazhzhabah, Bab ini berjumlah 29 Nazhâm,


didalamnya menerangkan beberapa anjuran (wasiat) bagi para santri
dalam keseharian mencari ilmu. KH. Muhammad mengatakan bahwa
tidak akan cepat medapatka ilmu kecuali rajin menghafal dan mengulang
(pelajaran) dengan sungguh-sungguh. Diantara pesan yang terkandung
dalam bab ini antara lain: - Tiap waktu jangan sampai (menganggur) lepas
dari ilmu apapun; - jangan lupa meminta petunjuk; - merasa tidak puas
dalam mencari ilmu; - setiap setelah melaksanakan shalat lima waktu
jangan sampai kosong mengaji dan Ijtima’; - giat (sungguh-sungguh)
dalam belajar; - memanfaatkan waktu muda dengan belajar: - senantiasa
berdiskusi; - tidak terburu-buru dalam beramal; - memanfaatkan waktu
baik siang maupun malam dengan hal yang bermanfaat; - mengambil
berkah, meminta doa dari guru, dan mengamalkan ilmunya.

Ketujuh, Al-Wara’, pada bab ini jumlah syairnya sebanyak 41 Nazhâm,


didalamnya menjelaskan cobaan bagi orang yang tidak Wara’, efek
bagi orang Wara’, menerangkan pula salah satu bagian tingkah wara’
yang disertai dengan sebuah riwayat sebagai contohnya, dijelaskan
pula tata krama ketika belajar, anjuran menjaga sopan santun, Amar
Ma’rûf Nahî Munkar, menjalankan rukun Islam, giat belajar dan bekerja,
menghilangkan rasa gengsi, memerangi hawa nafsu, perbandingan
antara harta dan ilmu, mengambil faidah-faidah dari siapa saja, serta
dijelaskan pula kiat-kiat menghafal pelajaran supaya kuat dalam ingatan
disertai dengan contoh berupa riwayat.
386_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

Kedelapan, Tawakkal, berjumlah 27 Nazhâm, Dalam bab ini KH.


Muhammad mengulas tentang tawakkal, banyaknya godaan bagi santri
(penuntut ilmu), menjelaskan orang yang sedikit memikirkan ilmu,
menerangkan keutamaan orang yang sabar dan tawakkal. Dalam hal ini
dikutip sebuah hadis yang artinya sebagai berikut “barangsiapa yang
menuntut ilmu, Allah berjanji pasti akan mencukupi dan menambah
rizki”, dalam bab ini juga KH. Muhammad menuliskan pesan dalam hal
keduniaan, pesannya sebagai berikut:

“wahai saudaraku sedikitkanlah kesenangan duniawi yang membujuk pada


gemerlapan, ambillah secukupnya dari dunia, jangan suka menuruti nafsu yang
suka berlebihan. Ketahuilah bahwa dunia itu sangatlah sedikit dari suatu yang
sedikit menurut orang-orang yang Siddîq. Orang yang Hubb al-Dunya itu lebih
hina dibandingkan dengan dengan orang gila”.

Kesembilan, Al-Istifâdah, KH. Muhammad dalam bab ini menuliskan


syair sebanyak sembilan Nazhâm. Di sini dijelaskanan keutamaan ulama,
menjelaskan bagaimana sikap santri dalam belajar. Adapun wasiat yang
dapat diambil dari bab ini, yaitu: - bahwa seorang santri jangan pernah
merasa cukup dalam mencari ilmu; - kemana pun dianjurkan membawa
pena dan buku catatan; - mengambil faidah ilmu dari ulama, karena itu
lebih utama; - setiap hari mesti hafal/mendapatkan ilmu baru walaupun
sedikit; - dan setiap hari supaya memohon pertolongan Allah Swt. dalam
segala hal.

Kesepuluh, Ma Yuritsu al-Hifzhi wa al-Nisyân, berjumlah 15 Nazhâm. Bab


ini mengulas suatu yang menyebabkan (cepat) hafalan dan lupa. Diantara
pesan yang terkandung dalam bab ini antara lain: - lakukan shalat dengan
khusu’, - konsentrasi menuntut ilmu, - sungguh-sungguh shalat malam, -
menyedikitkan makan, - istiqamah membaca al-Qur’an, - memperbanyak
membaca Shalawat Nabi, - memakai siwak, meminum madu, - membaca
ulang pelajaran dan memikirkan makna dan maksudnya; - jangan banyak
bermaksiat; - jangan pusing memikirkan keduniawian, - jangan melihat
salib, - jangan sering membaca nisan, membuang kutu hidup-hidup, -
Al-Washiyah Fî Al-Akhlaq Syair Jawa-Cirebon _387

jangan sering lewat kandang onta. Karena hal itu hal yang menyebabkan
lupa.

Kesebelas, Narik Rizki, Kang Nyegah Rizki, Kang Nambah Umur,


berjumlah sepuluh Nazhâm. Dalam bab ini diulas mengenai hal-hal yang
menarik (mempermudah mendapat) dan yang mencegah (menyulitkan
mendapat) rizki, serta hal yang menambah umur, dijelaskan pula maslah
Qudrat (ketetapan). Bahwa ketetapan Allah tidak bisa ditolak kecuali
dengan doa yang ikhlas lagi mutlak. Umur kita tidak bisa ditambahi
kecuali amal saleh yang bisa menambahi”. Dalam bab ini KH. Muhammad
berwasiat, antara lain: - menjaga kondisi badan; - jauhi maksiat; - jangan
suka berbohong,; - jangan tidur setelah subuh.

Dalam akhir kitab (pembahasan) nya KH. Muhammad memuji kepada


Allah yang Maha Pengasih, dengan membaca Hamdalah, membaca
Shalawat-Salam atas Nabi. Dan KH. Muhammad mengatakan bahwa
Syair yang ia tulis cukup untuk mendasari orang yang mencari ilmu,
serta KH. Muhammad berharap syair (karya)-nya bermanfaat dan ikhlas
(amal ikhlas).

c. Referensi al-Washiyah Fî Al-Akhlâq

Karya-karya ulama klasik Islam (Fiqh, Tasawuf, Akhlak, Sastra, Kalam,


dan lainnya) dan Ulama Islam Nusantara fase awal (abad XVI-XVII)
ayat al-Qur’an maupun hadis nabi tidak (jarang) diperlakukan sebagai
bagian yang tidak berdiri sendiri tapi digunakan sebagai argumentasi
dalam tulisannya. Begitu juga dalam kitab al-Washiyah fî al-Akhlâq, KH.
Muhammad mengutip beberapa ayat al-Qur’an, beberapa hadis nabi,
serta riwayat-riwayat dan fatwa-fatwa sahabat nabi dan ulama klasik
sebagai bagian dari sumber rujukannya. Referensi tersebut sebagai
penguat argument dari pembahasan yang diulas dalam karyanya.

Dalam penulisan rujukan ayat al-Qur’an KH. Muhammad tidak


melakukan penyaduran maupun penterjemahan, artinya pengarang
menuliskan dan menyisipkan ayat-ayat dalam syair dengan redaksi
388_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

asalnya. Tetapi dalam melakukan rujukan hadis-hadis nabi maupun


riwayat atau fatwa ulama sering kali pengarang memuatnya dalam
bentuk saduran atau terjemahan, walaupun ada sebagian yang ditulis
dengan bentuk matan aslinya. Hadis-hadis dan riwayat atau fatwa
lebih banyak dicirikan dengan bentuk redaksi “kanjeng Nabi dawuh”
atau “dawuh nabi” dan “dawuh sahabat atau ulama (ditulis namanya) ”.
Berikut ini referensi ayat-ayat al-Qur’an yang terdapat dalam al-Washiyah
fî al-Akhlâq:

1. Ayat-ayat al-Qur’an

a) (QS. al-Mu’minûn : 108)

Ayat ke-108 al-Mu’minûn diatas dikutip dalam al-Washiyah fî al-


Akhlâq ketika pengarang mengulas cerita alam akherat, Dimana Allah
menjawab permintaan penghuni neraka yang memohon kepada-Nya
untuk dikembalikan (dihidupkan) lagi ke alam dunia serta mereka
berjanji akan taat beribadah kepada-Nya. Ayat ini terdapat dalam
syair ke-57 al-Washiyah fî al-Akhlâq dalam bab Nashihat Saking Guru.
Adapun syairnya sebagai berikut:

Sewu tahun Allah jawab, hei wong kang tuna #

Ikhsa’û fîhâ walâ Tukallimûna30

“seribu tahun Allah menjawab, hai orang yang merugi % (Ikhsa’û fîhâ walâ
Tukallimûn) Tinggallah dengan hina di dalamnya, dan janganlah kamu
berbicara dengan aku.”

b) Al-Qur’ân Surat al-Dâriyât : 56

Ayat ini terdapat dalam syair yang ke-75. Dengan redaksi:

“dalil wa mâ Khalaqtu al-Jinna wa al-Insa # illâ liya’budûna ing saben


mangsa.” 31

“dalil wa mâ Khalaqtu al-Jinna wa al-Insa # illâ liya’budûna pada setiap


waktu”
Al-Washiyah Fî Al-Akhlaq Syair Jawa-Cirebon _389

c) (QS al-‘Ankâbut : 69)

Ayat (al-‘Ankâbut : 69) ini terdapat dalam syair ke-196, Adapun syair
yang ditulis sebagai berikut:

Ora gelis hasil ilmu anging wekel #

Ngapalaken enderes kang tikel-tikel

Saban waktu aja nganggur saking ilmu #

apa bae supaya gelis ketemu

dadi jelas hasil ilmu ora khusus #

ngapalaken balik kasab kursus

Qur’an Isyarat wa al-ladzîna Jâhadû #

Fînâ lanahdiyannahum Subulanâ. 32

“tidaklah cepat mendapat ilmu kecuali dengan sungguh-sungguh menghafal


– mengulang dengan bertingkat-tingkat (benar-benar), setiap waktu jangan
sampai menganggur (kosong) dari ilmu apa saja, supaya cepat ketemu (ilmu).
Jadi jelas mendapatkan ilmu itu tidak khusus (hanya) menghafalkan, tapi
dibarengi dengan usaha.

Qur’an telah isyarat wa al-ladzîna Jâhadû Fînâ lanahdiyannahum Subulanâ”

d) (Âli ‘Imrân : 159)

Ayat ini tertulis dalam syair ke-208, yaitu:

Wong kang ngaji aja tinggal musyawarah #

Karo batur sebab Qur’an wis isyarah

Maring Nabine “wa syâwirhum fi al-Amri” #

Iku dalil kita aja berdikari. 33

“orang yang mengaji jangan meninggalkan musyawarah dengan teman sebab


al-Qur’an telah isyarat kepada nabi-Nya “wa syâwirhum fi al-Amri”, itu
merupakan dalil kita supaya jangan berdikari”
390_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

2. Hadis-hadis

Hadis-Hadis yang dikutip dalam al-Washiyah fi al-Akhlâq tertulis secara


eksplisit maupun implisit, dan untuk menandai hadis tersirat penulis
menandai dengan garis bawah. Adapun hadis-hadis al-Washiyah fi al-
Akhlâq adalah sebagai berikut:

a) Hadis tentang proses penciptaan manusia

Hadis ini secara tersirat termuat dalam muqaddimah yang disadur


dalam syair keempat sampai syair ketujuh, hadis proses penciptaan
manusia ini diriwayatkan oleh al-Bukhâri,34 Muslim,35 Abû Dâwud,36
al-Tirmidzî,37 Ibn Mâjah,38 al-Baihaqî,39 Ahmad bin Hanbal.40 Adapun
redaksi syairnya sebagai berikut:

(yen (sperma) wis manjing ditampa ning malaikat #

rahim, patang puluh dina wis mufakat.

Patang puluh dina maning ngalih getih kempel,#

patang puluh dina maning ngalih daging kempel.

waktu iki bayi umur limang wulan #

dipanjingi arwah kaping neme wulan.)

“Jika (sperma) telah masuk (ke dalam rahim), maka ia diterima malaikat
rahim shelama empat puluh hari (sebagaimana yang telah disepakati). Empat
puluh hari berikutnya berubah menjadi segumpal darah ketika berusia lima
bulan. Umur enam bulan dimasukan (ditiupkan) arwah.

b) Hadis ‘Aqîqah, Mencukur Rambut, Dan Memberi Nama Bayi

Dalam Nazham ke-27 dan ke-28 dalam bagian Muqaddimah, hadis


dibawah ini, yaitu:

“bahwa Nabi Saw. memerintahkan agar memberikan nama kepada bayi


yang lahir pada hari ketujuh, membersihkan kotoran darinya dan di’aqiqah-
kan.”(al-Tirmidzî)41
Al-Washiyah Fî Al-Akhlaq Syair Jawa-Cirebon _391

Dan hadis:

“Setiap anak tergadaikan dengan ‘aqîqah-nya, dishembelih untuknya pada


hari ketujuh dan rambutnya dicukur, dan dilumuri dengan darah aqiqah.”
(HR. Abû Dâwud, 42 Ahmad,43 al-Baihaqî,44 al-Nasâ’î,45 Ibn Mâjah,46
dan al-Dârimî47)

Syair yang secara tersirat memuat hadis ‘Aqîqah adalah sebagai berikut:

wis saminggu bapak nyembeleh ‘Aqîqah #

nganggo wedus gede kanggo sadaqah.

Dicukur rambute lan diarani #

nganggo aran bagus lan didongani) 48

“setelah sheminggu (pashca kelahiran) bapak (menyembelih) Aqiqah dengan


kambing besar buat sadaqah, mencukur rambut (bayi) dan diberikan nama
yang bagus serta didoakan”

c) Hadis Anak Saleh Yang Mendoakan

Kalau dicermati secara seksama redaksi syair ke-37, 38, dan 39 pada

Muqaddimah, tersirat sebuah hadis tentang anak saleh yang mendoakan


orang tua.

“Jika seseorang meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali


tiga hal; Sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, dan anak saleh yang
mendoakannya” (HR. al-Tirmidzî,49 al-Nasâ’î,50 al-Baihaqî,51 Ibn
Hibbân,52 dan Ibn Huzaimah)53

Adapun syair dan hadisnya sebagai berikut:

(lamun bapak ngatur mesantren, #

duwe anak saleh untung ora leren.

Sebab anak saleh dongakaken terus #


392_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

maring embok bapa supya lurus

ning dunya uga ning kubure, #

malah melu ning akherate ora perih.) 54

“Mempunyai anak saleh beruntung tak henti, sebab anak shhalih mendoakan
terush pada ibu bapak (orang tua) supaya lurus di dunia dan di alam kubur,
bahkan di akhirat tidak perih (sengsara)”

d) Hadis Tentang Panas Api Neraka

Syair ke-59 Bâb Nashîhât Saking Guru secara tersirat menerangkan


hadis tentang bandingan panas api neraka dengan api dunia. Adapun
redaksi syairnya sebagai berikut:

(Panas geni neraka pitung puluh #

tikel, panas geni dunya malah wuwuh)

“Panas api neraka itu tujuh puluh kali lebih panas bahkan lebih dibandingkan
api dunia”

Syair tersebut sesuai dengan hadis:

“Api kalian (di dunia ini) merupakan bagian dari tujuh puluh bagian api
neraka jahannam”. Ditanyakan kepada Beliau; “Wahai Rasulullah, satu
bagian itu saja sudah cukup (untuk menyiksa pelaku maksiat)?” Beliau
bersabda: “Ditambahkan atasnya dengan enam puluh sembilan kali lipat
yang sama panasnya”. (HR. al-Bukhârî,55 Muslim,56 al-Tirmidzî,57 dan
Ahmad.)58

e) Hadis Tentang Surga Bagi Mu’min

Hadis tentang surga bagi orang muslimin ini secara tersirat dalam
syair ke- 65 pada Bâb Nashîhât Saking Guru.
Al-Washiyah Fî Al-Akhlaq Syair Jawa-Cirebon _393

59
‫إڠݤون ﺑﺎﻟﻚ ﻣﺴﻠﻤﻴﻦ ﺟﻨﺔ اﻟﻤﺄوى ۞ ﺳﺒﺐ إڠ دﻧﻴﺎﻧﻲ ﻧﻮروت ﻓﺘﻮى‬
(enggon balik mushlimin Jannah al-Ma’wâ, sebab ning dunyane nurut
pituwa.)

“tempat berpulang muslimin adalah surga Ma’wa, sebab di dunia taat akan
fatwa”

Adapun sabda Nabi yang dikutip (yang tersirat) dalam syair diatas
adalah sebagai berikut:

“Tidak akan mashuk surga kecuali orang-orang beriman.” (HR. Muslim,60


al-Tirmidzî,61 Ahmad,62 al-Baihaqî,63 dan al-Dârimî.64)

f) Hadis Niat

“Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang


(tergantung) apa yang diniatkan; Barangsiapa niat hijrahnya karena
dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin
dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan” (HR. al-
Bukhâri,65 Abû Dâwud,66 al-’abrânî,67 al-Baihaqî,68 dan Ibn Mâjah69)

Hadis diatas secara tersirat dalam syair ke-76 tentang anjuran berniat
dalam melakukan semua pekerjaan yang baik.70 Dengan bentuk syair
sebagai berikut:

(Dadi nyata, penggawe bagus kudu niat ibadah senajan adus) 71

“Jelaslah bahwa setiap amal baik mesti berniat ibadah walaupun hanya
berupa mandi”

g) Mencari Ilmu Bukan Karena Allah

“Siapa yang mencari ilmu karena empat perkara akan masuk neraka (atau
yang seperti kalimat tersebut), untuk mendebat ulama, untuk berbantah-
bantahan dengan orang-orang bodoh, untuk memalingkan wajah manusia
kepadanya (menjadi idola dan pusat perhatian) atau untuk mengambil
perhatian para penguasa”. (HR. al-Dârimî72)
394_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

Hadis ini secara maknawi tersadur dan tersirat dalam syair ke 167 dan
168 pada bab Ta’zhîm al-‘Ilm wa Ahlih.

(Aja niat luruh ilmu kanggo madep #

sekabeh menusa, hormat serta madep,

uga agul-agulan maring ulama, #

amung kalah najan salah jatuh nama. 73

“janganlah berniat mencari ilmu karena mengharap untuk dihormati


manusia, unggul-ungulan dengan ulama, (tetap kukuh) walaupun salah
karena takut jatuh nama”

h) Hadis Memperbanyak Salawat atas Nabi

“Sesungguhnya di antara hari-harimu yang paling utama adalah hari Jum’at,


pada hari itu Adam di ciptakan, pada hari itu beliau wafat, pada hari itu juga
ditiup (sangkakala) dan pada hari itu juga mereka pingsan. Maka perbanyaklah
shhalawat kepadaku -karena- shalawat kalian akan disampaikan kepadaku.”
(HR. Abû Dâwud,74 al-Nasâ’î,75 Ibn Mâjah,76 dan Ibn Huzaimah77)

i) Hadis Anjuran Bersiwak

“Hendaklah kalian menggunakan shiwak, sebab mendatangkan bau harum di


mulut dan mendatangkan keridlaan dari Rabb (Allah).” (HR. Ahmad bin
Hanbal.78)

Dan hadis lain yang menjelaskan siwak dengan redaksi:

“Kalaulah tidak memberatkan umatku, niscaya kuperintahkan mereka


bersiwak setiap kali salat” (HR. al-Bukhâri,79 Abû Dâwud,80 al-’abarânî,
81
al-Tirmidzî,82 al-Nasâ’î,83 Ahmad,84 al-Baihaqî,85 Ibn Mâjah,86 dan al-
Dârimî.87)
Al-Washiyah Fî Al-Akhlaq Syair Jawa-Cirebon _395

j) Hadis Tentang Meminum Madu

“Rasulullah Saw. senang manis-manisan dan madu.”

Dua hadis tentang madu di atas diriwayatkan oleh al-Bukhârî,88


Muslim,89 Abû Dâwud,90 al-Tirmidzî,91 Ibn Mâjah,92 dan al-Dârimî.93

Ketiga hadis tentang memperbanyak salawat atas Nabi, bersiwak, dan


meminum madu itu dikutip dalam pembahasan Mâ Yûrith al-Hifzwa
al-Nisyân, yang tersirat dalam syair:

“ngakehaken (baca) salawat lan nganggo susur, #

nginum madu uga waktune diatur”

memperbanyak menbaca shalawat dan memeakai susur (siwak) #

minum masdu serta waktunya diatur

Sebagaimana disinggung di atas, selain hadis tersirat, al-Washiyah fî al-


Akhlâq juga menuliskan hadis secara tersurat, hadis tersebut ditulis dalam
bentuk saduran atau pun redaksi asli, dan hadis tersurat teridentifikasi
sebagai berikut:

a) Hadis anjuran membisikkan Kalimah Tayyibah (Adhân dan Iqâmah)


pada bayi yang baru dilahirkan.

KH. Muhammad menyadur atau menterjemah hadis tersebut ke


dalam bahasa Jawa-Cirebon (penyampaian hadis bi al-Ma’nâ),
kemudian meramunya kedalam bentuk syair yang berbunyi:

(ing dawuhe Nabi lamun lahir bocah #

sunahe ngerungu kalimah Tayyibah) 94

“Dalam shabda Nabi Jika lahir sheorang bocah shunahnya (dishunahkan)


mendengarkan (didengarkan Kalimah Toyyibah)”

“barang shiapa yang dikaruniai anak lalu mengadhaninya ditelinga


kanannya dan mengiqamatinya di telinga kirinya, maka jin perempuan
tidak akan mengganggunya” (HR. Abû Ya’lâ95)
396_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

b) Hadis Larangan Jambul.

Hadis yang kedua ini tidak ditampilkan matan aslinya oleh


penyair (KH. Muhammad). Sabda Rasulullah ini dikutipnya dalam
penjelasan mengenai larangan bagi santri berambut gondrong
maupun berjambul. Saduran hadis tersebut dituangkan dalam
syair ke-94 sampai dengan 97, yang berbunyi:

Kanjeng Nabi ningali bocah jambulan,#

nuli takon anak sapa kang kang jambulan (?)

dijawab, anak fulan. Nuli dawuh #

coba undang bapane supaya weruh.

Barang teka, Kanjeng Nabi endawuhi,#

anak ira aja duwuruk Yahudi,

lamun cukur, cukur kabeh, lamun dawa,

dawa kabeh, mung aja rerewa.) 96

“baginda Nabi melihat anak yang berjambul, kemudian Nabi


bertanya:”anak siapa ini yang berjambul? Dijawab, anaknya Fulan,
kemudian (Nabi) berkata “coba panggil bapaknya” supaya tahu, ketika
datang (bapaknya anak), Nabi berkata: “anakmu jangan diajarkan
(seperti) Yahudi, jika Cukur (potong rabut) maka cukur shemuanya,
jika dipanjangkan, maka panjangkan semua (panjangnya sama), Cuma
jangan banyak tingkah”

Syair di atas sesuai dengan hadis:

“sesungguhnya Nabi Saw. melihat seorang anak yang dicukur sebagian


rambut dan meninggalkan (menyisakan) sebagiannya, maka Nabi
melarang demikian kepada mereka, nabi bersabda cukurlah semuanya
atau tinggalkan (tidak mencukur) semuanya.” (Ahmad bin Hanbal,97)

c) Hadis Tentang Hari Rabu

Dalam syair ke-153 dikutip hadis tentang anjuran memulai aktifitas


Al-Washiyah Fî Al-Akhlaq Syair Jawa-Cirebon _397

pada hari Rabu. Referensi hadis ini sebagai penguat pendapat


tentang pencarian (memilih) hari dalam memulai aktivitas baik
(amal), begitu juga belajar (sebelum memilih ilmu/pelajaran, guru,
dan kitab). Menurutnya sebaiknya belajar maupun pekerjaan
lainnya sebaiknya dimulai pada hari Rabu. Adapun hadis tersebut
teramu dalam syair:

(Dawuh Nabi Mâ min Syay’in yuf’alu fîh illâ wa qad Tamma mâ Yuf’alu) 98

“tidak ada suatu pekerjaan yang dimulai pada hari Rabu kecuali (akan
mendapat) kesempurnaan dari pekerjaan itu.”

hadis tentang (anjuran) memulai aktifitas pada hari Rabu dengan


bentuk redaksi sebagai berikut:

”Rasulullah Saw. bersabda: tidak ada sesuatu yang dimulai pada hari
Rabu, kecuali akan sempurna” 99

d) Hadis Kewajiban Mencari Ilmu

Redaksi hadis perintah mencari ilmu tertulis dalam syair ke-


157, dalam pembahasan kewajiban mencari ilmu syari’at untuk
kehidupan sehari-hari. Dengan redaksi syair.

(Ingkang telu aran ilmu syare’at, #

kang kepanjing hadis nabi wis mufakat.

Faqâl ‘alab al-’Ilm Farî’ah #

‘alâ kulli muslim wa muslimah.) 100

“ilmu yang tiga (Tauhîd, fiqh, dan Tasawuf) itu disebut ilmu shari’at yang
termasuk dalam hadis nabi yang telah disepakati. Nabi bersabda “mencari
ilmu itu hukumnya wajib bagi setiap mushlim laki-laki dan perempuan”

Hadis ini diriwayatkan oleh Ibn Mâjah,101 al-Tabarânî dari jalur


Anas bin Mâlik,102 Husain bin ‘Alî,103 Ibn ‘Abbâs,104 dan Abî Sa’îd
al-Khudrî.105
398_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

e) Hadis Tentang Wara’ Dalam Mencari Ilmu

Hadis ini disebutkan pertama dalam bab al-Wara’, tepatnya dalam


syair ke-217 sampai ke-219, bentuk redaksi syair sebagai berikut:

(Dawuh Kanjeng Nabi; sapa wongkang ora #

apik jalanaken ilmune lalawora,

Allah bakal nyoba salah sewijine #

telung perkara, mati msih enome,

atawa manggon ing kaum ingkang bodo,#

atawa embujang ratu kang embobodo.) 106

“Sabda Nabi:“Barangsiapa yang tidak Wara’ menjalankan ilmunya,


bertingkah polah, Maka Allah akan mencobanya dengan salahsatu dari
tiga perkara. Mati ketika masih muda, atau menempati dalam kaum yang
bodoh, atau menjadi pelayan raja (pemerintah) yang suka berbohong
(Zhalim)

Hadis ini ditemukan dalam kitab Jâmi’ al-Akhbâr dengan nomor


hadis 12984, dan Ta’lîm al-Mutaâlim, yang artiya kurang lebih:

“barangsiapa yang tidak Wara’ dalam belajarnya, maka Allah akan


menimpakan cobaan kepadanya salah satu dari tiga perkara: ada kalanya
ia dimatikan dalam usia muda,ditempatkan bersama orang-orang bodoh,
atau dicoba menjadi hamba pemerintah” 107

“barangsiapa yang tidak Wara’ dalam agama Allah, maka Allah akan
menimpakan cobaan kepadanya dengan tiga perkara: ada kalanya ia
dimatikan dalam usia muda, dicoba menjadi hamba pemerintah, atau
ditempatkan bersama orang-orang bodoh.” 108

f) Hadis Tentang Janji Allah (Mencukupkan Rizki Kepada Pelajar)

Hadis tersebut tertulis dalam redaksi syair ke-259 dan 260, dengan
redaksi sebagai berikut:
Al-Washiyah Fî Al-Akhlaq Syair Jawa-Cirebon _399

(Rasulullah dawuh ; sapa wongkang ngaji #

pasti Allah bakal nyukupi lan janji,

ditambahi rizki lan kesuguhane, #

ora disangka, uga jembar atine) 109

“Rasulullah bersabda: “barang siapa yang ngaji (mencari ilmu, Allah


pasti akan mencukupi rizkinya, ditambahi rizki dan kekayaanya tanpa
terduga dan akan dilapangkan hatinya.

Adapun hadis tersebut sebagai berikut :

“Barangsiapa yang mencari ilmu Allah akan mencukupka.rizhkinya”

g) Hadis Tentang Amalan Yang Paling Utama (membaca al-Qur’an)

Dalam syair dibawah ini termuat hadis yang berkaitan dengan


keutamaan amal, yaitu membaca al-Qur’an dan mengamalkannya.

(Dawuh Nabi; paling utamane amal # umat isun maca Qur’an kang
diamal) 110

“Sabda Nabi: “paling utamnya amal umatku adalah membaca al-Qur’an


yang (kemudian) diamalkan.”

“paling utama amal umatku adalah membaca al-Qur’an” (HR. al-Baihaqî


dalam al-Jâmi’ Li Syu’ab al-Îmân-nya,111)

a. Fatwa dan Riwayat

Sedangkan Fatwa Atau Sahabat/Ulama yang dikutip al-Washiyah fî al-


Akhlâq sebagai berikut:

a) Pernyataan Abû Hanîfah

Statmen Abû Hanîfah dikutip KH. Muhammad dalam ulasan


400_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

Ta’zhîm al-‘Ilm wa Ahlih, fatwa ini termaktub dalam syair ke-165


yang berbunyi:

(Dawuh Abû Hanîfah; Hei wongkang belajar #

kudu ngerasa awake kurang ajar,

uga ngerasa butuh maring didikan. #

Poma aja dirasa keundakan,

uga ugal-ugalan maring ulama,#

emong kalah najan salah jatuh nama.) 112

”Abû Hanîfah berkata: wahai orang yang belajar, (kamu) harus merasa
dirimu itu kurang ajar, merasa butuh pada didikan, tolong jangan merasa
punya keunggulan, juga unggul-ugulan (merasa unggul) dengan ulama,
tidak mau kalah (jatuh nama) walaupun (sudah ketahuan) salah.

b) Perkataan sahabat ‘Alî bin Abî Tâlib

pernyataan ‘Alî bin Abî Tâlib mengenai keutamaan ilmu dan orang
yang mengajarkan ilmu ini termuat dalam syair ke-171 sampai
dengan 176, yang berbunyi sebagai berikut:

(Dawuh Sahabat ’Alî; isun ‘Âbid-e #

wongkang mulang sahuruf ngerti maksude,

sebab sahuruf ilmu ingkang kepaham #

luwih larang saribu Dirham.

Wongkang muruk ilmu sahuruf diamal #

dadi bapa agamane ingkang Kamâl.

“Fadl al-Mu’allim Qadr laysa Yablughuh,#

Hunuwa Umm wa lâ Yahwîh Fadl Abbin,

Fadzâ Yurabbîh fî al-Dunyâ Ma’îshatah wa #


Al-Washiyah Fî Al-Akhlaq Syair Jawa-Cirebon _401

dhâka Yumkinuh fî Arfa’ al-Rutab) 113

”sahabat Ali Ra. berkata: saya adalah hamba orang yang mengajarkanku
satu huruf yang (aku) mengerti maksudnya, sebab sehuruf yang difaham
lebih mahal ketimbang seribu dirham. Orang yang mengajarkan sehuruf
dan diamalkan itu menjadi bapak agamanya yang sempurna. Kalaupun
aku dijual maupun jadi hambanya, saya menurut apa maunya (orang
yang mengajarkan ilmu). Keutamaan seorang guru tiada kadar yang
dapat mengalahkannya, keutamaan soreng bapak tidak akan menutupi
(mengalahkan) kasih sayang seorang ibu.”

c) Perkataan Ibnu Abbâs

Perkataan Ibnu Abbâs mengenai (salah satu) sebab mendapatkan


ilmu, ungkapan tersebut dikutip dan dituangkan KH. Muhammad
dalam \Nazhâm 186, yang berbunyi:

(Ibn ‘Abbâs den takoni apa sebab hasil ilmu(?) jawab, ta’dhîm maring
ustadz) 114

“Ibnu ‘Abbas ditanya, apa yang menyebabkan hasil ilmu(?) jawabnya


adalah menghormati ustadz (guru)”

d) Jawaban Shaykh al-Islâm

Perkataan (jawaban) Shaykh al-Islâm ini dikutip KH. Muhammad


dalam bab Ta’zhîm al-‘Ilm wa Ahlih syair ke-187, sebagai landasan
mengenai kewajiban menghormati guru. Adapun syair yang
disampaikan KH. Muhammad dalam bentuk redaksi sebagai
berikut:

(Shaikh al-Islâm ditakoni apa sebab hasil ilmu(?) jawab, ta’zhîm maring
kitab) 115

“Shaikh al-Islâm ditanya, apa yang menyebabkan hasil ilmu(?), Jawabnya


menghormati kitab”
402_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

e) Fatwa salah satu (sebagian) Ulama

Adapun fatwa ulama yang dikutip


‫ﺑﻘﺪر ﻣﺎ ﺗﺘﻤﻨﻰ ﺗﻨﺎل ﻣﺎ ﺗﺘﻤﻨﻰ‬
KH. Muhammad dalam syairnya dalam pembahasan bâb al-Jadd
wa al-Muwazhzhabah, yang termaktub dalam syair 167. Adapun
redaksinya sebagai berikut:
116
‫ﺳﺘڠﺎﻩ ﻋﻠﻤﺎء داووﻩ ﺑﻘﺪر ﻣﺎ ۞ ﺗﺘﻤﻨﻰ ﺗﻨﺎل ﻣﺎ ﺗﺘﻤﻨﻰ‬
(Setengah ulama dawuh; bi Qadr mâ Tatamnnâ Tanâl mâ Tatamannâ)

‫ﻣﺎﺳﻮك‬
“sebagian ‫أوﺗﺎآﻲ‬
ulama ‫ وﻳﻜﻴﻞ‬apa
berkata: ‫آﻴﺒﻞ ﻳﻴﻦ‬
yang‫ﺳﻴﺮا‬ ۞ inginkan,
kamu ‫إڠ أﺑﻮ ﻳﻮﺳﻒ‬maka
‫داووﻩ‬kau
‫ﺣﻨﻴﻔﺔ‬akan
‫أﺑﻮ‬
(menjadi) apa yang kamu harapkan.”

f) Perkataan Abû Hanîfah

Perkataan Abû Hanîfah kepada Abû Yûsuf ini diambil KH.


Muhammad sebagai dalil dalam ulasan mengenai keharusan giat
dan sungguh-sunguh‫ﺗﺘﻤﻨﻰ‬ ‫ﺗﻨﺎل ﻣﺎ‬
dalam ‫ﺗﺘﻤﻨﻰ‬Ungkapan
belajar. ۞ ‫ﺑﻘﺪر ﻣﺎ‬tersebut
‫ﻋﻠﻤﺎء داووﻩ‬ ‫ﺳﺘڠﺎﻩ‬
tertuang
dalam syair ke-212, yang berbunyi:
117
‫أﺑﻮ ﺣﻨﻴﻔﺔ داووﻩ إڠ أﺑﻮ ﻳﻮﺳﻒ ۞ ﺳﻴﺮا آﻴﺒﻞ ﻳﻴﻦ وﻳﻜﻴﻞ أوﺗﺎآﻲ ﻣﺎﺳﻮك‬
(Abû Hanîfah dawuh ing Abû Yûsuf; sira kebel, yen wekel otake masuk)

“Kata Abû Hanîfah kepada Abû Yûsuf, kamu itu dungu (susah masuk
ilmu), kalau kau rajin niscaya otakmu bakal masuk (menerima ilmu)”

g) Perkataan Yahyâ bin Mu’âdh

Ungkapan Yahyâ bin Mu’âdh ini dinukil KH. Muhammad


sebagai dalil dalam bab al-Jadd wa al-Muwazhzhabah, dalam ulasan
memanfaatkan waktu dan usia muda untuk belajar dan taat kepada
Allah Swt. Ungkapan tersebut tertuang dalam Syair ke-213 sampai
215, yang berbunyi:

(dawuh Yahyâ bin Mu’âdh; ing setuhune wengi iku dawa lan adem hawane,
aja dicendekaken nganggo turu. Awan iku padang, katon langit biru, aja
dipetengaken nganggo ma’siyat lan dosa, tapi kudu dianggo tâ’at) 118

“kata Yahyâ bin Mu’âdh: “Sesungguhnya malam itu panjang dan sejuk
Al-Washiyah Fî Al-Akhlaq Syair Jawa-Cirebon _403

(hawa) udaranya, jangan kau pendekan untuk tidur. Pagi itu terang
kelihatan langit biru, jangan kau buat gelap buat (melakukan) maksiat
dan dosa tapi harus dipakai untuk (berbuat) taat”.

h) Cerita Tentang Muhammad bin Fadl

(Muhammad bin Fadl nalika belajar durung ngalami panganan pasar.


Dina Jum’at ditamuni ning ramane, disuguhi panganan pasar lan liyane.
Ramane ora gelem ngomong lan bendu. Jawab; rama nuhun ma’af, sampun
bendu, roti nika sanes saking pasar, tapi saking rencang di sekolah dasar.
Jawab; lamun nyata sira gawe apik batur sira ora wani bokat nampik)

“Muhammad bin Fadl ketika kala menuntut ilmu tidak pernah memakan
makanan pasar. Suatu ketika, pada hari Jum’at ia di datangi bapaknya, ia
menyuguhkan roti (dari) pasar dan lainnya kepada ayahnya. Bapaknya
marah dan tidak mau memakannya. Muhammad bin Fadl berkata: ayah
mohon maaf, roti ini bukan dibeli dari pasar, tapi ini dari teman sekolahku.
Ayahnya menjawab: jika kamu benar berbuat wara’, maka temanmu tak
akan berani memberimu takut kamu menolak”

Cerita di atas tertulis dalam syair ke-227 sampai 231 dalam bab al-
Wara’.

i) Cerita Tetang Dua Orang Pelajar

Pelajar yang menuntut ilmu pada waktu dan tempat yang


sama namun hasilnya brbeda. Karena yang satu belajar dengan
menggunakan tata karma serta telaten, sedang yang lainnya tidak.
Adapun syairnya sebagai berikut:

(Ana wong lanang loro bareng mesantren bareng balik, kang siji pinter
telaten kang siji pinter namung semono. wong akeh takon apa sebab
mengkono(?) Dijawab ari kang siji lakune sakiyenge, ora gelem madep
qiblat saubenge) 119

“ada dua orang yang sama-sama “mesantren”, ketika pulang (ke kampong
404_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

halaman) yang satu pintar serta telaten dan yang lain pintar namun
segitu (tak berkembang). Orang-orang banyak menanyakan tentangnya,
apa yang menyebabkan demikian? Dijawab: kalau yang satu tingkahnya
semaunya, tidak mau menghadap kiblat .

j) Perkataan Muhammad bin Hasan

Muhammad bin Hasan berkata : “kalau malam hari, banyak masalah


akan terputus (terselesaikan) dalam semalam”. Kutipan itu di ambil
KH. Muhammad dan dituangkan dalam bab al-Tawakkal syair ke-
274, dengan redaksi:

(Muhammad bin Hasan lamun melek bengi, pirang-pirang putus


sawengi) 120

”Muhammad bin Hasan, kalau malam hari, banyak masalah akan terputus
(terselesaikan) dalam semalam”

k) Riwayat Ibrâhîm bin Jarrâh dan Abû Yûsuf

Cerita ini dikutip KH. Muhammad sebagai gambaran bahwa


menuntut ilmu itu jangan putus sampai mati. Cerita ini tertuang
dalam syair ke-275 sampai syair ke-280:

(Ibrâhîm bin Jarâh takon maring Abû Yûsuf nalika gering wafat; hai Abî,
kados pundi kang den rasa panjenengan(?). jawab; isun diparingi dangan,
sebab isun ketungkul mikiri masalah balang Jumrah bari nunggang, bokat
salah, apa bari melaku kang luwih bagus. Nuli jawab piyambek kang luwih
bagus bari melaku, sebab kang luwih den demeni ulama zaman dingin
kang ngopeni)

“Ibrâhîm bin Jarâh bertanya kepada Abû Yûsuf ketika sakit: wahai Abî
Yûsuf apa yang anda dirasakan engkau?, Abû Yûsuf menjawab: saya
sedang diberi masalah, sebab saya fokus memikirkan masalah lempar
Jumrah sambil menunggang (kendaraan) itu baik atau dengan berjalan
yang lebih baik, kemudian (saya) menjawab sendiri: yang lebih bagus /
Al-Washiyah Fî Al-Akhlaq Syair Jawa-Cirebon _405

baik (lempar Jumrah) itu sambil berjalan (tidak naik kendaraan), sebab hal
itu yang disukai ulama zaman dulu.

l) Cerita tentang Ibrâhîm bin Adham

Cerita tersebut diambil KH. Muhammad sebagai contoh orang


yang tawakkal. Cerita ini tertuang dalam syair ke-281 dan 282.
Dengan redaksi sebagai berikut:

(Ibrâhîm bin Adham ngumbara maring alas hingga tahunan tanpa duit
lan beras sampe teka maring Makkah masih urip. Iku contoh Tawakkale
wongkang urip)

“Ibrâhîm bin Adham mengembara ke hutan hingga bertahun-tahun tanpa


uang dan beras (bekal dan makanan), sampai ia ke Makkah dalam keadaan
hidup. Itulah contoh tawakkal-nya orang hidup”

m) Wasiat Shadr al-Syahid Hishâm al-Dîn kepada Syams al-Dîn

Riwayat ini terapat dalam syair ke-289 dan 290 dalam bab al-
Istifâdah. Adapun syairnya sebagai berikut:

(Shadr al-Syahid Hisâm al-Dîn wis wasiat ing putrane, Syams al-Dîn;
isun riwayat maring sira, saben dina kudu apal ilmu, sedikit yen suwe
dadi sakapal) 121

“Syams al-Dîn diberi wasiat oleh ayahnya Shadr al-Syahid Hishâm al-
Dîn:”setiap hari mesti hafal ilmu walaupun sedikit, sebab sedikit lama-
lama akan sekapal (banyak).”

n) Cerita tentang ‘Ishâm bin Yûsuf

Nukilan cerita ini oleh KH. Muhammad dituliskan dalam syair ke-
290 bab al-Istifâdah. Dengan cerita dan redaksi syair sebagai berikut:

(‘Ishâm bin Yûsuf tuku Qalam sapikul kanggo nulis ilmu supaya tungkul)

“Bahwa ‘Ishâm bin Yûsuf membeli pena satu pikul untuk menuliskan
ilmu, supaya fokus pada ilmu.”
406_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

o) Cerita Shaykh Najm al-Dîn

(Syaikh Najm al-Dîn ing kitabe dawuhaken; salam isun pemugi


disampeaken ing wong ayu kang merayu goda isun, namung isun
ketngkul ilmu tersusun) 122

“Najm al-Dîn berkata dalam kitabnya: ”salamku semoga disampaikan


pada wanita cantik yang merayuku, namun aku selalu sibuk dengan ilmu
yang tersusun”.

Cerita di atas terdapat dalam bab Mâ Yûrith al-Hifzh wa al-Nisyân,


ketika KH. Muhammad mengatakan bahwa banyak dosa, terlalu
memikirkan keduniawian, dan Hubb al-Dunyâ merupakan hal yang
menyebabkan lupa. Adapun cerita tersebut tertulis dalam syair ke-
304 dan 305.

Jadi jelas, al-Washiyah fî al-Akhlâq walaupun terbilang kitab kecil,


namun referensi yang dikutipnya termasuk kaya dan heterogen.
Terbukti dari 318 syair yang termuat, di dalamnya tersisip nukilan
referensi, ayat al-Qur’an sebanyak empat ayat, hadis yang secara
eksplisit maupun implisit berjumlah 14 buah, dan riwayat, cerita,
maupun fatwa sahabat atau ulama berjumlah 15 buah.

Kesimpulan

1. Dakwah dengan menggunakan syair lebih efektif dan disenangi,


sehingga orang yang mendengarkannya akan cepat menyerap ilmu
yang disampaikan.

2. al-Washiyah fi al-Akhlâq alat dakwah yang ditulis secara sederhana,


namun tergolong karya yang kaya, karena referensi yang
digunakannya diambil dari berbagai sumber, al-Qur’an, Hadis,
fatwa, cerita sahabat atau ulama.

3. al-Washiyah fi al-Akhlâq kitab kecil yang terinspirasi oleh kitab Ta’lîm


al-Muta’âlim-nya al-Jarnûzî
Al-Washiyah Fî Al-Akhlaq Syair Jawa-Cirebon _407

Saran

1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai karya ulama Indoinesia


yang berupa syair-syair berbahasa local, terutama al-Washiyah fi al-
Akhlâq.

2. Perlu adanya studi komparasi antara al-Washiyah fi al-Akhlâq dengan


Ta’lîm al-Muta’âlim
408_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

Daftar Pustaka

Khatîb al-Umam, al-Muyasar fî ‘Ulûm al-’Arûdh, Jakarta, Hikmah Syahid


Indah, 1992 cet. II
Porter, Bobbi De, dan Hernacki,Mike, Quantum Learning, Bandung,
Mizan, 2003
Bruinessen, Martin Van, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, Bandung,
Mizan, 1999, Cet. III
Mohamed, Noriah, Aksara Jawi Makna dan Fungsi, Felo Kanan, Institut
Alam dan Tamadun Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia, 2001
Munip, Abdul, Transmisi Pengetahuan Timur Tengah Ke Indonesia, Jakarta,
Badan Litbang Dan Pusdiklat Puslitbang Lektur Keagamaan Kementrian
Agama Republik Indonesia, 2010
Tohe, Ahmad, Kerancuan Pemahaman antara Syi’ir dan Nadzam dalam
Kesusastraan Arab, Jurnal Bahasa dan Seni, Tahun 31, No. I, 2003
Kholid, Idham, KH. M. Sanusi Al-Babakani Filsafat, Nilai, Paham Keagamaan,
dan Perjuangannya, Bekasi, Pustaka Isfahan, 2011, Cet. I
Mudzakir, Kakek dan Guruku KM. Sanusi, (ttp, ULUMI pustaka pribadi,
tth)
Muhammad, Al-Washiyah fî al-Akhlâq, (ttp, tpt, 1414 H.)
Mansyur dkk., Panduan Matasabar Pondok Kebon Jambu Al-Islamy, Cirebon,
Kebon Jambu, 2011.
Baihaqî, Al-, al-Sunan al-Kubrâ li al-Baihaqî, Bairût, Dâr al-Kutub al-
‘Ilmiyah, tth.
______, al-Jâmi’ li Shu’ab al-Îmân,
Bukhârî, Al-,Shahîh al-Bukhârî, tp. al-Thab’ah al-Shulthaniyah. Tth.
______, Al-, Shahîh al- Bukhârî, Bairût, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, tth.
Dârimî, Al-,Sunan Al-Dârimî, Riyâdh, Dâr al-Mughnî, 2000, cet. I
Dâwud, Abû, Sunan Abî Dâwud, Bairût , Dâr Ibn Hazm, 1997
Al-Washiyah Fî Al-Akhlaq Syair Jawa-Cirebon _409

Hanbal, Ahmad bin, al-Musnad Ahmad bin Hanbal, Kairo, Dâr al-Hadîts,
1995, cet. I
Hibbân, Ibn, Shahîh Ibn Hibbân bi Tartîb Balbân, Bairût, Muassasah al-
Risâlah, 1993, cet. II
Huzaymah, Ibn, Shahîh Ibn Huzaimah, Bairût, al-Maktab al-Islâmî,1980
Mâjah, Ibn, Sunan Ibn Mâjah, Riyâdh, Maktabah al-Ma’ârif, tth. cet. I
Muslim, Shahîh Muslim, Riyâdh, Dâr al-Thayyibah, 2006, cet.I.
Nasâ’î, Al-, Sunan Al-Nasâ’î, Riyâdh, Maktabah al-Ma’ârif, tth., cet. I
______, al-Sunan al-Kubrâ al-Nasâ’î, Bairût, Muassasah al-Risâlah, 2001
Qâsim, Hamzah Muhammad, Manâr al-Qârî Mukhtashar Shahîh al-Bukhârî,
Bairût, Dâr al-Bayân, 1990.
Tamîmî, Ahmad bin ‘Alî bin al-Mutsannâ al-, Musnad Abî Ya’lâ al-Mawshulî,
Bairût, Dâr al-Ma’mûn li al-Turats, tth.
Thabrânî, Abû al-Qâsim Sulaimân bin Ahmad al-, Mu’jam al-Ausath li al-
Thabrânî, Kairo, Dâr al-Haramain, 1995
Tirmidzi, Al-, Sunan al-Tirmidzi, Riyâdh, Maktabah al-Ma’ârif, tth., cet. I
Zarnûjî, Ibrâhîm bin Ismâ’îl al-, Ta’lîm al-Muta’alîm, Indonesia, Maktabah
al-Syarqiyah, tth.

Web
Anonim, shiaonlinelibrary.com, diakses pada 5 Desember 2012
Anonim, Profil Pengashuh, www.kebonjambu.org, Diakses pada 25 Juli
2011

Wawancara
wawancara dengan K. Asror Muhammad, K. Syafi’I Atsmari, dan K.
Muhyiddin. Pada 13 Januari 2012, di Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy,
Babakan Ciwaringin Cirebon
Wawancara dengan Ayip Tayana (alumni Pesantren Kebon Jambu Al-
Islamy) 6 Maret 2012 di Ciputat.
410_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

Endnotes

1. Lihat Khatîb al-Umam, al-Muyasar fî ‘Ulūm al-’Arūdh, Jakarta, Hikmah


Syahid Indah, 1992 cet. II, 8 dan 24.

2. lihat Bobbi De Porter dan Mike Hernacki, Quantum Learning (Bandung,


Mizan, 2003), 72.

3. Lihat Martin Van Bruinessen, Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren
dan Tarekat, Bandung, Mizan, 1999, Cet. III, 20

4. Aksara Jawi atau huruf Pegon adalah huruf Arab yang disesuaikan dengan
pronounciation Jawa atau Melayu dengan tambahan diakritik. Tulisan Pegon
hanya lahir setelah kedatangan Islam. Tulisan ini tidak hanya digunakan
dalam sarana keilmuan, tetapi juga sebagai wadah kelestarian hidup, seperti
mencari jodoh untuk pasangan baru yang akan mendirikan rumah tangga,
sarana pengobatan berbagai penyakit, penglaris dagangan, dan sebagainya.
lihat Noriah Mohamed, Aksara Jawi Makna dan Fungsi, Felo Kanan, Institut
Alam dan Tamadun Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia, 2001, 121

5. Abdul Munip, Transmisi Pengetahuan Timur Tengah Ke Indonesia, Jakarta,


Badan Litbang Dan Pusdiklat Puslitbang Lektur Keagamaan Kementrian
Agama Republik Indonesia, 2010, h.2

6. Lihat juga Khathîb al-Umam, al-Muyassar fî ‘Ulûm al-’Arûdh,....h. 4


7. Lihat Khathîb al-Umam, al-Muyassar fî ‘Ulûm al-’Arûdh,...h. 5
8. Ahmad Tohe, Kerancuan Pemahaman antara Syi’ir dan Nadzam dalam
Kesusastraan Arab, Jurnal Bahasa dan Seni, Tahun 31, No. I, 2003. h. 42

9. Khathîb al-Umam, al-Muyassar fî ‘Ulûm al-’Arûdh,...h. 6


10. Ahmad Tohe, Kerancuan Pemahaman antara Syi’ir dan Nadzam dalam
Kesusastraan Arab, h. 43

11. Khathîb al-Umam, al-Muyassar fî ‘Ulûm al-’Arûdh,...h. 18, dan 42-46


Al-Washiyah Fî Al-Akhlaq Syair Jawa-Cirebon _411

12. Ahmad Tohe, Kerancuan Pemahaman antara Syi’ir dan Nadzam dalam
Kesusastraan Arab, h. 43

13. Ahmad Tohe, Kerancuan Pemahaman antara Syi’ir dan Nadzam dalam
Kesusastraan Arab, h. 44

14. Ahmad Tohe, Kerancuan Pemahaman antara Syi’ir dan Nadzam dalam
Kesusastraan Arab, h. 44.

15. Anonim, Profil Pengashuh, www.kebonjambu.org, Diakses pada 25 Juli 2011


16. KH. M. Sanusi merupakan salah satu pengasuh pondok Pesantren Raudlatut
Tholobin generasi ketujuh (1922-1974), ia bersama K. Amin Sepuh yang
berjuang mengabdi pada pesantren, pada masa keduanya pesantren
Raudlatut Thalibin mencapai puncak keemasan, jumlah santri pondok
pesantren mencapai ribuan dari berbagai pelosok daerah di Nusantara,
serta telah banyak melahirkan tokoh-tokoh ulama dan tokoh masyarakat
lainnya. KH. M. Sanusi merupakan tokoh yang sangat teliti dan produktif
dalam berkarya ada sekitar 20-an lebih tulisan K.Sanusi berbagai bidang,
serta catatan harian. lihat Idham Kholid, KH. M. Sanusi Al-Babakani Filsafat,
Nilai, Paham Keagamaan, dan Perjuannya, Bekasi, Pustaka Isfahan, 2011, Cet.
I, h. 48

17. Hasil wawancara dengan K. Asror Muhammad, K. Syafi’I Atsmari, dan K.


Muhyiddin. Pada 13 Januari 2012, di Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy,
Babakan Ciwaringin Cirebon

18. Idham Kholid, KH. M. Sanusi Al-Babakani, h. 51


19. Hasil wawancara dengan KAsror Muhammad, K. Syafi’I Atsmari, dan K.
Muhyiddin. Pada 13 Januari 2012, di Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy,
Babakan Ciwaringin Cirebon

20. Diantara karya-karya KSanusi yang terkenal adalah: a) Jadwal shalat abadi,
hampir di seluruh masjid wil III Cirebon menggunakannya. b) Kitâb al-Adad
fî al-Durus al-Awwaliyah fi al-Akhlâq al-Mardiyyah, kitab akhlak berbahasa
Jawa yang ditulis dalam kalam Natsar. c) Tanwîr al-Qulûb, berisi syair
berbahasa Jawa tentang ajaran akidah ahli sunnah wal Jama’ah dan dalam
412_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

akhir karya ini tertulis juga syair berbahasa Indonesia tentang tuntunan
mencari Ilmu. d) Kitâb al-Taisyîr wa al-Tahdzîr, syair bahasa Jawa yang
menjelaskan tentang eskatologi (nikmat dan azab kubur, Ba’ts, Syafa’ah al-
‘Uzhmâ, Khaudh, dan lain-lain. e) Busyra al-Anâm bi Fadâ’il Ahkâm al-SHiyâm
‘alâ Madzâhib al-A’immah al-Arba’ah al-A’lâm, ditulis dalam bahasa Arab
yang menjelaskan tentang puasa dan keutamaan-keutamaanya. f) Aran
Kalâm fi Syi’r ‘Ilm al-Nahw bi Lughah al-Jâwiyah, syair kitab Ajurûmiyyah (ilmu
Nahwu). g) Tadzkirah al-Ikhwan, ajaran akidah-akhlak dalam bentuk syair
berbahasa Arab. h) Bâb al-Jum’ah wa al-Zuhr, mengulas tentang Shalat Jum’at
dan Dhuhur. Lihat Mudzakir, Kakek dan Guruku KM. Sanusi, (ttp, ULUMI
pustaka pribadi, tth), 57-59

21. Anonim, Profil_Pengasuh, Www.Kebonjambu.Org , Diakses pada 25 Juli


2011

22. Muhammad, Al-Washiyah fi al-Akhlaq, (ttp, tpt, 1414 H.), 1-2


23. Muhammad, Al-Washiyah fi al-Akhlaq,h. 2
24. Muhammad, Al-Washiyah fi al-Akhlaq, h. 2-3
25. Muhammad, Al-Washiyah fi al-Akhlaq,h. 3-4.
26. Muhammad, Al-Washiyah fi al-Akhlaq, h. 5
27. Dalam pesantren kebon Jambu Al-Islamy lebih dikenal dengan dua perintah,
sembilan larangan guru. Lihat Muhammad, Al-Washiyah fi al-Akhlaq, 6-8,
lihat juga Mansyur dkk., Panduan Matasabar Pondok Kebon Jambu Al-Islamy,
Cirebon, Kebon Jambu, 2011, h. 18-19.

28. Sebab syarat telung tahun bisa muruk (*) sorogan limang tahun bisa muruk
Bandungan, pitung tahun dadi wong ‘alim (*) sanggup Amar Ma’ruf nyegah wong
kang zolim.

Target belajar ini merupakan ajaran KH. M. Sanusi yang diajarkan pada
para santri pondok Raudlatut Tholibin terutama KH. Muhammad. Lihat
Mansyur dkk., panduan Matasabar Pondok Kebon Jambu Al-Islamy, h. 13
29. “Niat kaula ngilari ilmu anut dating perintahe Allah, perentahe utusane Allah
Al-Washiyah Fî Al-Akhlaq Syair Jawa-Cirebon _413

ngicalaken kebodohan, nekaaken kepinteran, ngurip-ngurip agama Islam.


Allahumma Nawwir Qulûbanâ bi Nûr Hidâyatik Kamâ Nawwarta al-Ardh bi Nûr
Syamsik Abadan2 bi Rahmatik yâ Arham al-Râhimîn, Rabbî Yassir Lanâ wa Lâ
Tu’assir Alaynâ fi al-‘Ilm wa al-Dîn wa al-Dunya wa al-Akhîrah“, Bacaan
niat ini sering dibacakan ketika akan memulai pelajaran di Pondok Kebon
Jambu Al-Islamy. Wawancara dengan Ayip Tayana (alumni Pesantren
Kebon Jambu Al-Islamy) 6 Maret 2012 di Ciputat.

30. Muhammad., Al-Washiyah fi al-Akhlâq, h. 5.


31. Muhammad., Al-Washiyah fi al-Akhlâq, h. 6
32. Muhammad, al-Washiyah fi al-Akhlâq, h. h. 16.
33. Muhammad, al-Washiyah fi al-Akhlâq, h. h. 16
34. Al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, tp. al-Thab’ah al-Shulthaniyah. Tth. vol. IV,
111, h. 133, 135. lihat juga Hamzah Muhammad Qâsim, Manâr al-Qârî
Mukhtashar Shahîh al-Bukhârî, Bairût, Dâr al-Bayân, 1990, vol.IV, h. 152

35. Muslim, SHahîh Muslim, Riyâdh, Dâr al-Thayyibah, 2006, cet.I, vol.I, h. 1220-
1222

36. Abū Dâwud, Sunan Abî Dâwud, Bairût , Dâr Ibn Hazm, 1997, vol.V, h. 56
37. Al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzi, h. 851
38. Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, h. 28-29
39. Al-Baihaqî, al-Sunan al-Kubrâ li al-Baihaqî, Bairût, Dâr al-Kutub, tth. vol. VII,
h. 691-693

40. Ahmad bin Hanbal, al- Musnad Ahmad bin Hanbal, Kairo, Dâr al-Hadîts, 1995,
cet. I, vol. III, h. 482-483,517

41. Al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, h. 358-359, dan 360, 634-635,


42. Abū Dâwud, Sunan Abî Dâwud, vol.III, h. 175-187
43. Ahmad bin Hanbal, al-Musnad Ahmad bin Hanbal, vol. XV, 134-135. 147,
44. Al-Baihaqî, al-Sunan al-Kubrâ li al-Baihaqî, vol. IX, h. 511
414_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

45. Al-Nasâ’î, Sunan Al-Nasâ’î, Riyâdh, Maktabah al-Ma’ârif, tth., cet. I,h. 651
46. Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, h. 535-536
47. Al-Dârimî, Sunan Al-Dârimî, Riyâdh, Dâr al-Mughnî, 2000, cet. I, vol. II, h.
1250-1254

48. Muhammad, al-Washiyah fî al-Akhlâq, h. 3


49. Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, h. 325
50. Al-Nasâ’î, Sunan Al-Nasâ’î, h. 568-569
51. Al-Baihaqî, al-Sunan al-Kubrâ li al-Baihaqî, vol.VI, h. 455-456
52. Ibn Hibbân, SHaHîH Ibn Hibbân bi Tartîb Balbân, Bairût, Muassasah al-
Risâlah, 1993, cet. II, vol VII, h. 286

53. Ibn Huzaymah, ShaHîH Ibn Huzaimah, Bairût, al-Maktab al-Islâmî,1980, vol.
IV, h. 122-123

54. Muhammad, al-Washiyah fi al-Akhlâq, h. h. 3


55. Hamzah Muhammad Qâsim, Manâr al-Qârî Syarah Shahîh al-Bukhârî, Bairût,
Maktabah Dâr al-Bayân, 1990, vol.IV, h.169

56. Muslim, Shahîh Muslim, vol.II, h. 1304


57. Al-Tirmidzi, Sunan Al-Tirmidzi, h. 583
58. Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Vol.VII, h. 143
59. Muhammad, al-Washiyah fî al-Akhlâq, h. 6
60. Muslim, Shahîh Muslim, Vol. I, h. 63-64
61. Al-Tirmidzi, Sunan Al-Tirmidzi, h. 372-373,
62. Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Vol.I, h. 251
63. Al-Baihaqî, al-Sunan al-Kubrâ li al-Baihaqî, Bairût, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah,
tt., vol. IX, h. 171

64. Al-Dârimî, Sunan Al-Dârimî, Vol.III, h.1616-1617


Al-Washiyah Fî Al-Akhlaq Syair Jawa-Cirebon _415

65. Al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, vol.I, h, 6


66. Abū Dâwud, Sunan Abî Dâwud, vol II, h. 452
67. Al-Thabrânî, Mu’jam Ausath li al-Thabrânî, Kairo, Dâr al-Haramain, 1995, vol.
I, h. 17

68. Al-Baihaqî, al-Sunan al-Kubrâ li al-Baihaqî, vol. I, h. 68.


69. Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, h. 701
70. Muhammad, al-Washiyah fî al-Akhlâq, h. 6
71. Muhammad, al-Washiyah fî al-Akhlâq, h. 6
72. Al-Dârimî, Sunan Al-Dârimî, Vol.I, h. 378
73. Muhammad, al-Washiyah fi al-Akhlâq, h. h. 13
74. Abū Dâwud, Sunan Abî Dâwud, vol I, h. 443
75. Al-Nasâ’î, al-Sunan al-Kubrâ al-Nasâ’î, Bairût, Muassasah al-Risâlah, 2001,
cet. I, vol. II, h. 262

76. Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Riyâdh, Maktabah al-Ma’ârif, tt. cet. I, h. 195
77. Ibn Huzaimah, Shahîh Ibn Huzaimah, Bairût, Maktab al-Islâmî, 1980, vol. III,
h. 118

78. Ahmad biin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Kairo, Dâr al-Hadîts, 1995,
cet.I . vol. V, h. 272

79. Al-Bukhârî, Shahîh al- Bukhârî, Bairût, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, tt., vol. II,
h. 33

80. Abū Dâwud, Sunan Abî Dâwud, Bairût, Dâr Ibn Hazm, 1997, vol. I, h. 35-41.
81. Al-Thabrânî, Mu’jam Ausath al-Thabarânî, Kairo, Dâr al-Haramain, 1995, vol.
II, 57, vol.IV, h. 344, vol. VII, h. 13 dan h. 253, dan vol. VIII, h. 217-218,

82. Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Riyâdh, Maktabah al-Maʻârif, tth., cet. I, h.


17

83. Al-Nasâ’î, Sunan Al-Nasâ’î, Riyâdh, Maktabah al-Ma’ârif, tth. cet. I, h. 10-11
416_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013

84. Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Kairo, Dâr al-Hadîts, 1995,
cet.I vol.I, h. 426-427, , vol. II, h. 25-26, 452, vol. VII, h. 154, 214-215, 302, 506,
vol. IX, h. 129, 132-133, 243, 252, 352, 518-519, 542, 587, vol. XII, h. 263, XIII,
h. 250, XVI, h. 61, XVII, h. 11, dan XVIII, h. 540

85. Al-Baihaqî, al-Sunan al-Kubrâ li al-Baihaqî, Bairût, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah,


tth., h. 57-60

86. Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Riyâdh, Maktabah al-Ma’ârif, tth., cet. I, h. 68-69
87. Al-Dârimî, Sunan al-Dârimî, Riyâdh, Dâr al-Mughnî, 2000, cet. I, vol. I, h. 537,
88. Al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî,vol. IX, h. 108 dan 110
89. Muslim, Shahîh Muslim, vol. II, h. 678
90. Abū Dâwud, Sunan Abî Dâwud, vol. IV, h. 70
91. Al-Tirmidhî, Sunan al-Tirmidhî, h. 422
92. Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, h. 559
93. Al-Dârimî, Sunan al-Dârimî, vol. II, h. 1317-1318
94. Muhammad, al-Washiyah fî al-Akhlâq, h. 2
95. Ahmad bin ‘Alî bin al-Mutsannâ al-Tamîmî, Musnad Abî Ya’lâ al-Mawshulî,
Bairût, Dâr al-Ma’mūn li al-Turats, tth., vol. XII, h. 150.

96. Muhammad, al-Washiyah fî al-Akhlâq, h. 8


97. Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, vol. IX, h. 437
98. Muhammad, al-Washiyah fî al-Akhlâq, h. 8
99. Ibrâhîm bin Ismâ’îl al-Zarnūjî, Ta’lîm al-Muta’alîm, Indonesia, Maktabah al-
Syarqiyah, tt., h. 28

100. Muhammad, al-Washiyah fi al-Akhlâq, h. h. 12


101. Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, h. 65
102. Abū al-Qâsim Sulaimân bin Ahmad al-Thabrânî, Mu’jam al-Ausath li al-
Thabrânî, Kairo, Dâr al-Haramain, 1995, vol. II, h. 7-8, vol. II, h.289, vol. III,
Al-Washiyah Fî Al-Akhlaq Syair Jawa-Cirebon _417

57, vol. VIII, 195, vol. VIII, h. 272, dan vol. VIII, h. 347-348,

103. al-Thabrânî, Mu’jam al-Ausath li al-Thabrânî,, vol. II, 297


104. al-Thabrânî, Mu’jam al-Ausath li al-Thabrânî,, vol. IV, 245 dan vol. VI, 96
105. al-Thabrânî, Mu’jam al-Ausath li al-Thabrânî,, vol. VIII, 258
106. Muhammad, al-Washiyah fî al-Akhlâq, h. 17
107. Ibrâhîm bin Ismâ’îl al-Zarnūjî, Ta’lîm al-Muta’âlîm, Indonesia, Maktabah al-
Syarqiyyah, tt. h. 39

108. Anonim, shiaonlinelibrary.com, diakses pada 5 Desember 2012


109. Muhammad, al-Washiyah fi al-Akhlâq, h. h20
110. Muhammad, al-Washiyah fi al-Akhlâq, h. h. 23
111. Al-Baihaqî, al-Jâmi’ li Shu’ab al-Îmân, vol. III, h. 395-396
112. Muhammad, al-Washiyah fi al-Akhlâq, h. 12
113. Muhammad, al-Washiyah fî al-Akhlâq, h. 13
114. Muhammad, al-Washiyah fi al-Akhlâq, h. 14
115. Muhammad, al-Washiyah fi al-Akhlâq, h. 14
116. Muhammad, al-Washiyah fi al-Akhlâq, h. 15
117. Muhammad, al-Washiyah fi al-Akhlâq, h. 16
118. Muhammad, al-Washiyah fi al-Akhlâq, h. 16
119. Muhammad, al-Washiyah fi al-Akhlâq, h. 18
120. Muhammad, al-Washiyah fi al-Akhlâq, h. 21
121. Muhammad, al-Washiyah fi al-Akhlâq, h. 22
122. Muhammad, al-Washiyah fi al-Akhlâq, h. 23
418_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013 Revitalisasi Peran dan Fungsi Keluarga _413

Pedoman Transliterasi
414_Jurnal Bimas Islam Vol.5. No.2 2012 Ketentuan Tulisan _419

A. Ketentuan Tulisan

1. Tulisan merupakan hasil penelitian di bidnag zakat, wakaf,


dakwah Islam, pemberdayaan KUA dan hal-hal terkait
pengembangan masyarakat Islam lainnya.
2. Karangan ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris
dengan perangkat lunak pengolah kata Microsoft Word , font
Palatino Linotype, maksimum 25 halaman kuarto minimum 17
halaman dengan spasi satu setengah.
3. Karangan hasil penelitian disusun dengan sistematika
sebagai berikut: Judul. Nama Pengarang. Abstract . Keywords .
Pendahuluan. Metode Penelitian. Hasil Penelitian. Pembahasan.
Kesimpulan dan Saran. Daftar Kepustakaan. Sistematika tersebut
dapat disesuaikan untuk penyusunan karangan ilmiah.
4. JUDUL
a. Karangan dicetak dengan huruf besar, tebal, dan tidak
melebihi 18 kata.
b. Nama Pengarang (tanpa gelar), instansi asal, alamat, dan
alamat e-mail dicetak di bawah judul.
c. Abstract (tidak lebih dari 150 kata) dalam dua bahasa
(Indonesia dan Inggris), dan Keywords (3 sampai 5 kata)
ditulis dalam bahasa lnggris, satu spasi, dengan huruf
miring.
d. Tulisan menggunakan endnote
e. Daftar Kepustakaan dicantumkan secara urut abjad nama
pengarang dengan ketentuan sebagai berikut:
• Untuk buku acuan (monograf): Nama belakang
pengarang diikuti nama lain. Tahun. Judul Buku. Kota
Penerbit: Penerbit.
• Untuk karangan dalam buku dengan banyak
kontributor: Nama Pengarang. Tahun. “Judul
Karangan.” Dalam: Nama Editor. Judul Buku. Kota
420_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013 Revitalisasi Peran dan Fungsi Keluarga _415

Penerbit: Penerbit. Halaman.


• Untuk karangan dalam jurnal/majalah: Nama
Pengarang. Tahun. “Judul Karangan.” Nama Majalah,
Volume (Nomor): Halaman.
• Untuk karangan dari internet: Nama Pengarang.
Tahun. “Judul Karangan.” Alamat di internet ( URL ).
Tanggal mengakses karangan tersebut.
5. Gambar diberi nomor dan keterangan di bawahnya, sedangkan
Tabel diberi nomor dan keterangan di atasnya. Keduanya
sedapat mungkin disatukan dengan file naskah. Bila gambar/tabel
dikirimkan secara terpisah, harap dicantumkan dalam lembar
tersendiri dengan kualitas yang baik.
6. Naskah karangan dilengkapi dengan biodata singkat pengarang
dikirimkan ke alamat kantor Jurnal Bimas Islam berupa naskah
tercetak (print out) dengan menyertakan soft copy dalam disket/
flash disk atau dapat dikirim melalui e-mail Jurnal Bimas Islam
(jurnalbimas@yahoo.co.id).

Anda mungkin juga menyukai