1. Jujur
Tidak bisa dipungkiri,bahwa sikap anggota tim di dalam sebuah perusahaan atau
organisasi,mencerminkan perilaku pimpinannya. Jika sang leader bisa bersikap jujur dalam
setiap aspek kehidupannya,maka ia akan meraih simpati dari banyak pihak. Pemimpin adalah
“jendela” sebuah perusahaan atau organisasi. Kejujuran seorang pemimpin akan menciptakan
iklim kerja yang sehat,saling menghargai dan memacu produktifitas seluruh tim yang terlibat
di dalamnya. Kejujuran pemimpin pada masa kini lebih dihargai dari pada era – era
sebelumnya. Pada masa yang lalu,orang berasumsis bahwa seorang pemimpin dengan
sendirinya memiliki kejujuran. Asumsi tersebut bergeser setelah munculnya berbagai krisis
yang disebabkan oleh perilaku pemimpin yang tidak mendemonstrasikan kejujuran. Krisis
sosial,ekonomi dan politik yang sekarang ini terjadi di beberapa negara,termasuk yang
pernah terjadi di negara kita sebetulnya disebabkan oleh perilaku politisi yang tidak jujur.
Kejujuran bukan hanya diperlukan dalam bidang politik namun dalam segala aspek
kehidupan sangat diperlukan orang – orang yang jujur. Pemimpin yang berkarekter memiliki
empat sifat utama: memiliki sifat jujur, memandang jauh ke depan, memberi inspirasi, dan
cakap.
Karakter kepemimpinan berkarakter yang nomor satu adalah jujur. Temuan
penelitian Kouzes & Posner (2007:48) tersebut mendukung dan sama dengan urutan prioritas
kepemimpinan Islam, yaitu STAF sebagai singkatan dari sidiq (jujur), tabliq, amanah, dan
pathonah (cerdas). Bawahan sulit atau tidak mungkin mempercayai pemimpinnya yang tidak
jujur (Kouzes & Posner, 2007:48). Esensi kepemimpinan adalah kepercayaan karena
mustahil memimpin orang yang tidak percaya dengan kepemimpinan Anda. Kejujuran tidak
saja menjadikan proses komunikasi menjadi efektif, tetapi juga mampu menciptakan
pemahaman yang baik antara komunikan dan komunikator. Pesan yang dilandasi kejujuran
mengarahkan komunikasi terhindar dari distorsi.
Terlebih jka momentum komunikasi itu terjadi dalam dunia pendidikan. Nilai
kejujuran mutlak harus dipenuhi. Pendidikan tidak hanya menciptakan tamatan yang pintar,
tetapi juga harus jujur. Orang pintar belum tentu jujur, begitu pula sebaliknya orang jujur
belum tentu pintar. Kejujuran menyaratkan ketidakbohongan. Orang jujur berarti tidak
pernah dusta. Tetapi, orang yang paling jujur sekalipun pasti pernah melakukan kebohongan,
namun dilakukan dalam keadaan darurat dan untuk kebaikan. Filsuf perempuan, SisselaBok,
dalam bukunya berjudul, Lying, menegaskan bahwa berbohong boleh dilakukan untuk
menyelamatkan kehidupan manusia yang tidak berdosa. Namun, jika kebohongan itu untuk
mendapatkan kekuasaan dan keuntungan finansial, perbuatan itu tidak dapat dibenarkan
bahkan diharamkan hukumnya.
Setiap orang secara normatif diajarkan oleh orang tua dan budayanya tentang
kejujuran dan moralitas. Rinakit (2008:8) menyatakan bahwa pada tingkat pribadi, kejujuran
sudah sulit ditemukan. Orang jujur saat ini sering dianggap teman sejawatnya yang tidak
jujur sebagai orang yang sok jujur, dimusuhi, dan disingkirkan. Orang lurus bagaikan bambu
yang lurus. Bambu yang lurus ditebak lebih dahulu sehingga tersisa yang bengkok.
Akibatnya, bambu lurus cepat menghilang sehingga sulit didapatkan. Demikian pula dengan
orang lurus (jujur). Ketidakjujuran menyebabkan korupsi. (Manara, 2014)
Hilmy (2013:7) menyatakan, “Korupsi menyapu siapa saja pun yang berdiri
mengadang di depannya. Ia juga menyapu sekumpulan orang-orang “saleh” dari partai “suci”
yang selama ini menjadi benteng terakhir pemberantasan korupsi. Kita pun akhirnya tersadar:
ternyata argumentasi moral belum mampu memutus mata rantai korupsi.” Oleh sebab itu,
terjadinya korupsi tidak hanya berputar-putar pada argumentasi moral (tidak jujur) saja.
Dengan kata lain, korupsi bukan soal tidak jujur tetapi juga soal kultur dan struktur. Kultur
lebih menghargai seseorang karena kekayaannya bukan keilmuwan atau keulamaan
seseorang. Kultur seperti ini kembali ke zaman jahiliah dan setiap orang berlomba-lomba
menumpuk kekayaan dengan menghalalkan segala cara.
Cara melakukan jujur menurut Kouzes & Posner (2007:48) adalah “Konsistensi
antara kata-kata dengan perbuatan merupakan sarana untuk menilai apakah seseorang jujur.
Jujur sangat erat hubungannya dengan nilai dan etika.” Kita menghargai pemimpin yang
memunyai pendirian tentang prinsip yang penting, dan menolak pemimpin yang tidak yakin
pada diri mereka sendiri. Bawahan atau pengikut tidak dapat percaya pada pemimpin yang
tidak mampu menunjukkan nilai-nilai, etika, dan standar yang pemimpin miliki. Cara lain
untuk bertindak jujur adalahmelakukanketerbukaan karena keterbukaan merupakan awal dari
kejujuran. Kejujuran terletak dalam hati nurani. Orang jujur tidak munafik. Orang munafik
adalah orang yang jika berbicara, ia berbohong; jika dipercaya, ia berhianat, dan jika berjanji,
ia ingkar. Jujur tidak cukup hanya diucapkan, dilatihkan tetapi langsung dipraktikan dengan
membiasakan bersikap tidak munafik.(Kunci, 2013)
2. Kreatif
Setiap individu memiliki sifat dan karakter yang berbeda begitu juga, seorang
pemimpin memiliki gaya yang berbeda satu dengan yang lainnya. Pemimpin dalam
menjalankan prinsip manajemen harus memiliki kreativitas yang tinggi. Sebuah kreativitas
selalu dihubungkan dengan adanya suatu inovasi atau dengan kata lain membuat ide baru
serta gagagsan-gagasan yang dapat merubah system perusahaan menjadi lebih baik dapat
juga meningkatkan kualitas SDM/produk yang dihasilkan oleh perusahaan. Maka pemimpin
yang tidak kreatif adalah pemimpin yang gagal, karena seharusnya pemimpin harus
memunculkan inovasi-inovasi dalam setiap gagasannya, memunculkan hal- hal baru dengan
gagasan-gagasan yang spektakuler, beda dengan yang lainnya. Banyak cara yang dilakukan
perusahaan agar karyawan-karyawan yang ada ikut andil dan ikut berpikir kreatif dalam
menentukan sebuah gagasan-gagasan baru. Seperti yang kita ketahui, membuat suatu gagasan
baru tidak harus berpacu pada seorang pemimpin sebuah perusahaan yang ada, dengan
mengambil dan menggabungkan beberapa pendapat dari karyawan juga bisa menimbulkan
gagasan yang mungkin jauh lebih inovatif.
Ciri-ciri orang yang secara konsisten kreatif, meliputi:(1) ketertarikan pada kegiatan
yang bernilai intelektual dan artistik;(2) ketertarikan untuk memahami masalah yang
kompleks untuk menemukan solusi; (3) memiliki kepedulian pada proses dan pencapaian
hasil kerja yang sebaik-baiknya; (4) menunjukkan ketekunan dalam pencapaian tujuan;(5)
memiliki pemikiran yang mandiri; (6) menunjukkan toleransi terhadap situasi/masalah yang
ambigu; (7) memiliki kebutuhan otonom/kebebasan;(8) memiliki kepercayaan diri; (8)
memiliki kesiapan mengambil resiko.
(Rahayuningsih, 2013) memaparkan sepuluh cara yang dapat dilakukan pemimpin
dalam membangun kultur kreatif di tempat kerja yang meliputi:
Pertama, pemimpin inovatif adalah pemimpin yang memiliki keingintahuan tak
terbatas, sehingga tak pernah berhenti bertanya. Mereka juga berupaya untuk menanamkan
hal yang sama kepada segenap stafnya. Para pemimpin pada setiap jenjang kepemimpinan
harus mendorong setiap stafnya bertanya, termasuk di dalamnya menanggapi pertanyaan-
pertanyaan yang muncul.
Kedua, memberikan pujian kepada bawahan/karyawan yang telah mencoba hal-hal
baru meskipun belum berhasil. Pujian yang diberikan pada saat belum berhasil lebih
bermakna bagi individu daripada pujian pada saat kesuksesan. Hal tersebut dapat mendorong
bawahan/karyawan untuk terus berinovasi
Ketiga, memfokuskan perhatian pada hal-hal yang sudah berjalan baik. Hal tersebut
dilakukan agar dapat melihat dan mengembangkan keunggulan yang dimiliki serta lebih
cermat dalam melihat berbagai peluang.
Keempat, menciptakan suasana yang menyenangkan untuk bekerja. Suasana yang
menyenangkan merupakan hal penting untuk menumbuhkan kreativitas karena kreativitas
berhubungan erat dengan hal-hal yang menyenangkan seperti humor, permainan dan kegiatan
yang merangsang ide-ide secara spontan dan mencairkan suasana.
Kelima, menerima kegagalan. Pada umumnya cara terbaik menguji ide adalah dengan
mencoba ide tersebut. Banyak contoh perusahaan yang pada awalnya mengalami beberapa
kali kegagalan sehingga mereka menemukan sesuatu yang baru sebagai sumber kesuksesan.
Jenis kegagalan yang patut mendapat pujian adalah kegagalan yang didasarkan pada upaya
yang tulus untuk menciptakan sesuatu yang baru/berbeda.
Keenam, menanamkan pikiran dan sikap untuk lebih berhati-hati pada kesuksesan.
Hal tersebut perlu dilakukan pemimpin karena keberhasilan cenderung membuat seseorang
maupun organisasi menjadi terlena dan berpuas diri, bahkan menghambat munculnya ide-ide
baru.
Ketujuh, merangsang sudut pandang yang beragam dari masalah dengan membuat
teka-teki. Setiap masalah bisnis adalah teka-teki sehingga salah satu cara yang dapat
digunakan untuk merangsang ide-ide kreatif adalah membuat teka-teki pemikiran
lateral/teka-teki situasi. Cara tersebut adalah metode untuk mengembangkan kemampuan
bertanya, mendengarkan, kerjasama tim dan imajinasi dalam organisasi.
Kedelapan, menggunakan bahasa yang tepat. Kata-kata adalah hal yang penting,
karena akan membentuk sikap dan perilaku orang yang mendengarnya. Kata-kata yang dapat
dipersepsi sebagai desakan, perintah dan seolah menyiratkan ancaman sebaiknya dihindari,
misalnya “Kita harus memenangkan tender,lakukan apapun untuk memenangkannya.
Sebaliknya disarankan untuk menggunakan kata-kata yang bersifat terbuka (inklusif),
mendorong pendekatan positif dan kreatif,misalnya “Mari kita bekerja sama dan
mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan”.
Kesembilan, mengasumsikan produk/layanan bisnis kuno. Hal tersebut bertujuan agar
terpacu menemukan sesuatu yang baru secara terus-menerus.
Kesepuluh, membangun kepercayaan dan memberdayakan segenap
staf/bawahan.Caranya mengajak diskusi karyawan mengenai sasaran yang ingin dicapai
dalam pekerjaaan; memberikan kebebasan menentukan tindakan/cara terbaik untuk
mencapainya; menunjukkan dukungan terhadap tindakannya meskipun belum meminta
persetujuan.
3. Intuitif
Intuitive leader adalah pemimpin yang mempergunakan intuisi dalam memimpin
dalam menjalankan aktivitas bisnisnya. Intuitive leader dilahirkan atas dasar bakat alami
(natural talent) yang dimiliki semenjak ia masih memulai bisnis dengan sangat sederhana,
dan itu semakin lama semakin berkembang hingga menjadi besar.
Para pemimpin harus bisa menilai dengan tepat atau menilai secara intuitif tingkat
kematangan pengikut mereka dan menggunakan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan
tingkat kematangan tersebut. Kemampuan intuitif perlu dikembangkan oleh karena
kemampuan intuitif merupakan kemampuan yang dapat membedakan antara pemimpin satu
dengan pemimpin lainnya. Semakin baik kemampuan intuitif yang dimiliki, semakin sukses
pemimpin tersebut. Menurut (Maryanto, 2014) untuk meningkatkan kemampuan intuitif,
perlu diperhatikan kiat-kiat berikut:
1) Menyiapkan kondisi fisik
Intuisi akan dapat bekerja manakala badan sehat / fit, dengan perasaan tenang, senang
dan situasi yang nyaman. Sebaliknya intuisi sulit timbul pada kondisi sakit, lelah sedih,
galau, takut dan perasaan negatif lainnya.
2) Mengembangkan pengalaman
Pengalaman daoat dikembangkan dengan cara mencatat dan mengevaluasi kejadian
penting yang telah kita alami, merenungkan, dan menginternalisasi makna kejadian
tersebut pada suasana yang tenang. Pengalaman juga dapat dikembangkan dari orang lain
yang telah melakukan. Pengalaman orang lain yang telah dikemas dalam bentuk
informasi kemudian dikelompokkan berdasarkan kategori tertentu, dan dianalisis untuk
mendapatkan suatu simpulan. Simpulan tersebut kita internalisasi, ingat-ingat dalam
memori, untuk membangkitkan intuisi dalam merespon kejadian-kejadian.
3) Belajar
Belajar dapat dilakukan dengan mengikuti pelatihan, seminar, dan membaca buku dsb.
Dengan belajar maka pengetahuan dan wawasan seseorang akan bertambah dan
selanjutnya dapat meningkatkan kemampuan intuisi untuk memberikan menilai atas
situasi yang terjadi.
4) Mengamati momen timbulnya intuisi
Momen timbulnya intuisi setiap orang tidak sama, misalnya ada yang momennya datang
pada waktu sedang di kamar kecil, pada waktu di pantai, pada waktu menikmati musik
dan sebagainya. Untuk itu setiap orang perlu mengobservasi momen-momen yang tepat
bagi dirinya yang dapat memunculkan intuisi. Intuisi timbul dari pikiran dibawah sadar
dimana pikiran dibawah sadar mengalir gelombang theta yang dibarengi dengan
munculnya kecerdasan diri.
5) Melatih diri
Melatih diri untuk berintuisi, dengan cara memprediksi kemungkinan apa yang akan
terjadi, misalnya secara sederhana dengan memprediksi situasi yang akan datang dari
kejadian kecil, misalnya memprediksi siapa yang sms / menelpon pada waktu nada
panggil handphone berdering?, apakah rapat akan dimulai tepat waktu?, dan sebagainya.
Dapat juga berlatih dengan memprediksi keadaan yang akan terjadi sesuai bidang profesi
masing-masing.
4. Pendelegasian Pekerjaan
Pendelegasian pekerjaan atau delegasi wewenang oleh atasan kepada bawahan adalah
perlu demi tercapainya efesiensi dari fungsi-fungsi dalam organisasi, karena tidak ada
seorang atasan manapun yang dapat secara pribadi merampungkan atau secara penuh
melaksanakan dan mengawasi semua tugas organisasi. (Hermawan, 2013). Pendelegasian
wewenang adalah suatu pelimpahan hak atau kekuasaan pimpinan terhadap bawahannya
untuk melaksanakan tugas-tugasnya dengan sekaligus meminta pertanggungjawaban atas
penyelesaian tugas-tugas tersebut.
Dengan demikian, menurut (James,A.F. Stoner, 1996) jika seorang manajer
mendelegasikan tugasnya kepada bawahan maka ia harus mendelegasikan kekuasaannya
yang artinya jika seorang diserahi tugas untuk melaksanakan suatu tugas tertentu, ia
bertanggungjawab dalam melaksanakan tugas tersebut. Setiap orang pasti mampu untuk
melakukan sejumlah pekerjaan dengan baik. Namun, terkadang harus cermat dalam
mengamati siapa yang pantas untuk mengerjakan suatu pekerjaan.
Menurut (attamimi, 2012) dalam mendelegasikan wewenang, agar proses delegasi itu
berjalan efektif, sedikitnya tiga hal harus diperhatikan yaitu:
1. Dalam proses delegasi harus didelegasi tugas dan kekuasaan dan bila keduaduanya telah
ada harus pula dibarengi dengan adanya pertanggungjawaban. Dengan kata lain, proses
delegasi harus mencakup tiga unsur yaitu delegasi tugas, delegasi wewenang dan adanya
pertanggungjawaban.
2. Wewenang yang didelegasikan harus memberikan kepada orang yang tepat, baik dilihat
dari sudut kualifikasi maupun dari sudut fisik.
3. Mendelegasikan wewenang kepada seseorang, harus dibarengi dengan pemberian
motivasi.
4. Pejabat yang mendelegasikan kekuasaan harus membimbing dan mengawasi orang yang
menerima delegasi wewenang. Mempercayakan sepenuhnya namun tetap harus diawasi.
Menurut (James A.F. Stoner ,1996) Banyak dijumpai para pimpinan yang tampaknya
enggan untuk melakukan pelimpahan wewenang dalam organisasi atau perusahaan yang
dipimpin, faktor dari hal tersebut antara lain:
1. Perusahaan yang tidak aman. Para manajer bertanggungjawab atas kegiatan bawahannya,
dan membuat mereka enggan untuk mengambil resiko dan melimpahkan wewenang.
2. Manajer takut kehilangan kekuasaan bila bawahan terlalu baik melaksanakan tugas.
3. Ketidakmampuan manajer. Sebagian manajer bisa sangat tak teratur atau tidak luwes
dalam membuat perencanaan kedepan dan menentukan tugas mana yang harus
dilimpahkan kepada siapa atau dalam menciptakan suatu sistem pengendalian atau selalu
bisa memantau kegiatan bawahan.
4. Ketidakpercayaan kepada bawahan.
Menurut (Abdul Syani, 1981) ada beberapa sikap pribadi yang harus dimiliki seorang
manajer atau pimpinan dalam pendelegasian wewenang adalah:
1. Sikap pribadi terhadap pendelagasian. Penerapan yang paling utama adalah sikap pribadi
tertentu terhadap bawahan yang memberikan wewenang melaksanakan tugasnya
sungguh-sungguh artinya mereka melakukan tugasnya dengan sepenuh kerelaan tanpa
adanya rasa terpaksa.
2. Kesediaan manajer untuk melepaskan wewenangnya kepada bawahan dengan begitu
manajer dapat mengurangi waktu, tenaga dan pikirannya untuk menangani berbagai
keputusan, yang erat kaitannya dengan kemajuan dan perkembangan suatu organisasi
atau perusahaan.
3. Kesediaan manajer untuk memanfaatkan bawahan. Memaafkan kesalahan para bawahan
bukanlah berarti bermaksud membiarkan kesalahan itu dilakukan terus menerus sehingga
akan membahayakan organisasi atau perusahaan, akan tetapi memaafkan dalam arti
memaklumi mengapa kesalahan itu sampai terjadi dan pada dasarnya setiap manusia
tidak pernah dapat menghindari dari kesalahan.
4. Kesadaran manajer untuk mempercayai bawahan Bahwa suatu pendelegasian dapat
dilakukan secara efektif, jika antara keduanya (atasan dan bawahan) telah tersirat sikap
saling dapat mempercayai. Oleh karena itu mau tidak mau para manajer tidak mempunyai
pilihan lain kecuali harus dapat mempercayai para bawahannya dalam mengadakan
wewenangnya.
5. Kesediaan manajer untuk mengadakan pengawasan secara luas. Pendelegasian wewenang
dan tanggung jawab tersebut bersamaan dengan pengawasan kepada seluruh struktur
organisasi. Pengawasan tersebut merupakan penyokong dalam upaya mencapai tujuan
suatu perusahaan. Dari uraian tersebut dapat kita ketahui bahwa pimpinan perusahaan
yang mendelegasikan pertanggungjawaban sepenuhnya melainkan tetap bertanggung
jawab akan pelaksanaan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Serta proses delegasi dan
sikap-sikap pribadi dari pimpinan sangat penting sekali dan merupakan upaya untuk
mengatasi kekeliruan serta kesalahpahaman.
Dengan adanya pendelegasian wewenang berarti semua keputusan tidak
tersentralisasi pada pimpinan puncak. Komponen yang mendasar dalam proses
pendelegasian wewenang adalah penetapan hasil-hasil yang diharapkan, penentuan tugas
dan tanggung jawab secara jelas untuk mencapai hasil yang telah diharapkan dan
pertanggungjawaban hasil-hasil yang telah dicapai. Pendelegasian wewenang tidak dapat
dengan pasti diukur keefektifannya, tetapi ada beberapa prinsip yang dapat
dikembangkan agar pelaksanaan pandelegasian wewenang itu efektif. Fungsi atasan
dalam hal ini adalah menyediakan bimbingan dan informasi sehingga loyalitas bawahan
akan semakin besar dalam pencapaian tujuan.
Serta dengan adanya pendelegasian wewenang atau pekerjaan ini akan
meningkatkan pula prestasi setiap pegawainya, karena dengan diberinya suatu
kepercayaan untuk mengerjakan sesuatu maka saat itu pula pegawai sedang belajar
sekaligus mengembangkan kemampuan dan pengetahuan yang dimilikinya.
5. Mampu Menginspirasi
Yang diungkapkan oleh Allen dalam Pasolong (2008:150) pemimpin harus dapat
menginspirasi. Dengan cara memberikan semangat kedalam diri seseorang agar bersedia
berbuat sesuatu dengan cara yang efektif. Penginspirasian itu dilakukan melalui kepribadian
seorang pemimpin, keteladannya, dan pekerjaan yang dilakukannya secara sadar atau tidak
sadar. Menjalankan sebuah perusahaan atau organisasi, membutuhkan kemampuan untuk bisa
menginspirasi banyak orang.
A. Inspiring by modeling (inspirasi melalui peran panutan) Cara paling efektif untuk
menjalankan kepemimpinan dan mempengaruhi anak buah adalah dengan menjadikan diri
pemimpin sebagai model. Caranya adalah dengan mempraktikkan apa-apa yang
diperintahkan tersebut kepada bawahan. Kekuatan mempengaruhi (power of influence) ini
ditentukan oleh kemampuan dalam menginspirasi bawahan melalui peran panutan (role
modeling). Role modeling ini diwujudkan dalam dua bentuk yaitu melalui passion dan
vision. Passion yaitu peran pemimpin dalam menghidupkan nilai-nilai dan perilaku yang
diyakini dan dikembangkan organisasi. Vision adalah peran pemimpin dalam
mengembangkan visi, strategi, model bisnis, ide-ide bisnis, dan kemudian
mewujudkannya untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi. Jadi prinsip inspiring by
modeling ini menuntut setiap pemimpin untuk pertama-tama menjadi peran panutan bagi
anak buah melalui nilai-nilai/perilaku dan visi cemerlang yang dia usulkan, lalu
menempatkan dirinya sebagai contoh yang dia jadikan senjata untuk menginspirasi anak
buah dalam melaksanakan tugas atau pekerjaannya.
B. Communication is the interpersonal process of sending and receiving symbols with
message attached to them Komunikasi merupakan keterampilan penting bagi seorang
Pemimpin dan merupakan dasar yang utama bagi kepemimpinan yang efektif. Melalui
komunikasi seorang Pemimpin berbagi dan bertukar informasi, mempengaruhi,
mengontrol dan menginspirasi orang lain Pemimpin berperan penting dalam membangun
komunikasi. Peran-peran tersebut adalah:
Monitor Role : Mendapatkan informasi yang tepat dari dalam dan luar organisasi
Disseminator Role : Mendistribusikan informasi dalam unit kerjanya
Spokeperson Role : Mendistribusikan informasi keluar unit kerjanya
Decision-Maker Role : Memanfaatkan informasi untuk menyelesaikan masalah atau
untuk mencari kesempatan
Komunikasi juga dilakukan untuk proses pemberian feedback dari Pemimpin kepada
bawahan. Feedback is the process of telling someone else how you feel about something
that person did or said Pemimpin harus memastikan bahwa feedback yang diberikan dapat
dipahami, dapat diterima, dan masuk akal.
6. Sikap Positif
Tenaga kerja manusia merupakan sumber daya penting dalam organisasi, karena
memiliki kemampuan fisik dan pikiran yang dapat disumbangkan untuk kemajuan organisasi.
Oleh karena itu organisasi perlu memberikan penghargaan sebaik mungkin kepada semua
tenaga kerja yang ada demi peningkatan kesejahteraan dan pengabdian mereka terhadap
organisasi. Salah satu wujud penghargaan tersebut adalah berupa pelayanan yang pantas
terhadap segala kebutuhan karyawan, meliputi kebutuhan fisik, kebutuhan rasa aman,
kebutuhan sosial, kebutuhan dihargai dan kebutuhan aktualisasi diri.
Upaya pemenuhan secara pantas akan kebutuhan karyawan tersebut hanya dapat
dilaksanakan dalam suatu organisasi yang memiliki orientasi positif. Penerapan organisasi
positif, lembaga bisnis tidak sekedar mengutamakan keuntungan dan nilai pemegang saham
semata dalam menjalankan usahanya, akan tetapi kesejahteraan karyawan juga turut
mendapatkan perhatian utama. Pada gilirannya pemimpin yang legitimatif akan mampu
menciptakan kondisi yang positif dan membina hubungan yang baik dengan dan antara
karyawan. Pemimpin yang efektif dapat menciptakan bisnis yang konstruktif, bertahan,
efisien dan menghasilkan laba karena mereka memperhatikan kesejahteraan dan kesehatan
mental karyawan mereka.
Dalam organisasi apapun, unsur yang berperan penting dalam memperhatikan
kebutuhan karyawan adalah pemimpin organisasi. Pemimpin organisasi dapat merencanakan
dan melaksanakan sistem pemenuhan kebutuhan karyawan secara baik sesuai sumbangan
masing-masing karyawan terhadap organisasi, dengan tujuan meningkatkan kompetensi
mereka dalam menjalankan pekerjaan organisasi. Untuk memberikan pelayanan yang baik
kepada karyawan, setiap pemimpin organisasi terutama organisasi bisnis perlu
mengembangkan organisasi yang berorientasi positif. Organisasi bisnis positif tidak hanya
ingin mencapai keuntungan semata-mata, tetapi berorientasi pada efisiensi melalui
peningkatan kesejahteraan karyawan.
Pengelolaan organisasi yang berorientasi positif membutuhkan seorang pemimpin
yang memiliki gaya kepemiminan yang bisa diterima oleh semua pihak yang terlibat dalam
suatu organisasi. Kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang selalu
memperhatikan kebutuhan para karyawannya. Pemimpin yang demikian akan mendapatkan
kepercayaan moral atau legitimasi dari para karyawan dan pada gilirannya dapat memotivasi
karyawan untuk bekerja produktif dalam membangun organisasi atau perusahaan ke arah
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Tan Sri Dato Seri Ahmad Sarji (1993)
mengemukakan bahwa sebuah organisasi yang senantiasa berupaya memenuhi kebutuhan
atau keinginan karyawannya akan mendapatkan sedikitnya dua manfaat penting, yaitu: (1).
Akan mewujudkan semangat kerja yang tinggi pada para karyawan, dedikasi, berdisiplin, rela
berkorban dan senantiasa mengembangkan pengetahuan dan meningkatkan ketrampilan diri
untuk kemajuan organisasi; (2). Organisasi atau perusahaan akan mampu menghasilkan
output yang berkualitas, produktivitas tinggi, melahirkan inovasi dan pembaharuan dan
secara umum akan menjadi pemimpin dalam bidang yang digeluti.
Spector (1997) dan Warr (1999) mengusulkan bahwa untuk meningkatkan
keberhasilannya, organisasi perlu mengembangkan orientasi positif dalam berbisnis.
Organisasi positif adalah organisasi yang efisien, sehingga produsen mendapatkan
keuntungan setiap waktu. Organisasi positif berdiri secara terpisah dengan dari bisnis yang
semata-mata berorientasi pada keuntungan dan meningkatkan nilai pemegang saham, karena
organisai positif dapat mempromosikan dan mempertahankan kesejahteraan karyawan
melalui legitimasi otoritas kepemimpinan. Konsep yang sama dari Corey Lee M. Keyes,
Stuart J. Hysom dan Kimberly L. Lupo (2000), yang mengatakan bahwa organisasi positif
adalah organisasi yang efisien, dengan demikian produsen memperoleh keuntungan, karena
dengan meningkatnya kesejahteraan karyawan, akan meningkatkan legitimasi otoritas
manajer. Selanjutnya bisnis yang memperhatikan kesejahteraan karyawan tidak hanya
memperoleh keuntungan yang tinggi, tetapi juga mendapatkan perhatian yang tinggi dari
karyawan, meningkatkan produktivitas karyawan serta memberikan kepuasan dan
mendapatkan loyalitas tinggi dari pelanggan.
Menurut Fred Luthans (2002), secara psikologis organisasi positif dapat
memengaruhi sikap optimisme, inteligensi emosional dan kemanjuran diri seseorang dalam
hal ini anggota organisasi. Psikologi memperlakukan optimisme sebagai karakteristik
kognitif dalam bentuk generalisasi pengharapan hasil positif. Emosi berkaitan dengan
bagaimana seseorang merasakan sesuatu. Sedangkan inteligensi digambarkan sebagai
kemampuan kognitif seseorang. Menurut Daniel Goleman (1995) dalam Luthan (2002),
inteligensi emosional adalah kemampuan untuk mengakui persasaan kita dan orang lain
untuk memotivasi diri sendiri dan mengelola emosi dengan baik dalam diri kita dan
hubungan kita. Kemanjuran diri, menurut Bandura (1995) dalam Luthan (2002) adalah
berkaitan dengan keputusan atau kepercayaan pribadi, yaitu seberapa baik seseorang dapat
melaksanakan tindakan yang dibutuhkan untuk menangani situasi tertentu. Berkaitan dengan
konsep kepemimpinan, pada umumnya para ahli mengemukakan pengertian atau konsep
yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Locke (1997) dalam Th. Agung M. Harsiwi
(2003) melukiskan kepemimpinan sebagai suatu proses membujuk orang orang lain menuju
sasaran bersama. Definisi tersebut mencakup tiga elemen berikut :
a. Kepemiminan merupakan suatu konsep relasi (relational concept). Artinya
bahwa kepemimpinan hanya ada dalam proses relasi dengan orang lain (para
pengikut). Apabila tidak ada pengikut, maka tidak akan ada pemimpin. Tersirat
dalam definisi ini adalah premis bahwa para pemimpin yang efektif harus
mengetahui bagaimana membangkitkan inspirasi dan berrelasi dengan pengikut
mereka.
b. Kepemimpinan merupakan suatu proses. Artinya, agar bisa memimpin, pemimpin
harus bisa melakukan sesuatu. Seperti telah diobservasi oleh Gardner (1986-
1988), kepemimpinan lebih dari sekedar menduduki suatu otoritas. Kendati posisi
otoritas yang diformalkan mungkin sangat mendorong proses kepemimpinan,
namun sekedar menduduki posisi itu tidak menandai seseorang untuk menjadi
pemimpin.
c. Kepemimpinan harus membujuk orang-orang lain untuk mengambil tindakan.
Pemimpin membujuk pengikutnya melalui berbagai cara, seperti menggunakan
otoritas yang terlegitimasi, menciptakan model (menjadi teladan), penetapan
sasaran, memberi imbalan dan hukum, restrukturisasi organisasi, dan
mengkomunikasikan visi.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka pengertian pemimpin yang efektif dalam
hubungannya dengan bawahan adalah pemimpin yang mampu menyakinkan mereka
bahwa kepentingan pribadi dari bawahan adalah visi pemimpin, serta mampu
menyakinkan bahwa mereka mempunyai andil dalam mengimplementasikannya.
Menurut John Suprihanto, dkk (2003), kepemimpinan adalah sebagai upaya untuk
mempengaruhi pengikut melalui proses komunikasi untuk mencapai tujuan tertentu.
Definisi tersebut mengandung minimal tiga makna penting, yaitu: (1). Bahwa
kepemimpinan melibatkan penggunaan pengaruh, oleh karena itu semua hubungan
personal dapat merupakan upaya kepemimpinan; (2). Menyangkut pentingnya proses
komunikasi, kejelasan dan ketepatan komunikasi mempengaruhi perilaku dan prestasi
bawahan; (3). Berkaitan dengan pencapaian tujuan, pemimpin yang efektif harus
berurusan dengan tujuan individu, kelompok dan organisasi. Keefektifan pemimpin
khususnya dipandang dengan ukuran tingkat pencapaian satu atau kombinasi tujuan
tersebut di atas.
Selanjutnya Miftah Toha (1992) mengemukakan bahwa kepemimpinan
adalah kegiatan mempengaruhi perilaku orang lain atau seni mempengaruhi perilaku
orang lain, atau seni mempengaruhi perilaku manusia, baik perorangan maupun
kelompok. Kepemimpinan dapat terjadi di mana saja, asalkan seseorang
menunjukkan kemampuannya mempengaruhi perilaku orang lain ke arah tercapainya
tujuan tertentu. Abraham Zeleznik (1986) menyatakan bahwa tidak semua pemimpin
adalah manajer, sehingga kalau dibalik apakah semua manajer adalah pemimpin.
Seorang manajer yang diberi hak hak tertentu dalam suatu organisasi, belum tentu
dapat menjadi seorang pemimpin yang efektif. Tetapi tidak disangsikan lagi bahwa
kemampuan untuk mempengaruhi orang lain yang didapatkan dari luar struktur yang
formal adalah sama atau bahkan lebih penting daripada pengaruh formal, sehingga
dapat kita simpulkan bahwa seorang pemimpin dapat muncul secara formal dari suatu
kelompok dan dapat juga ditunjukkan secara formal.
Kepemimpinan menurut John Suprihanto, dkk (2003) memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
a. Kecerdasan; kecenderungan umum menunjukkan bahwa pemimpin memiliki
kecerdasan yang lebih dibandingkan dengan para pengikutnya. Tetapi suatu
penelitian menghasilkan kesimpulan bahwa perbedaankecerdasan yang
mencolok justru akan mengakibatkan ketidakefektifan kepemimpinan, karena
adanya kesenjangan komunikasi, para pengikut sulit memahami gagasan dan
kebijakan pemimpinnya.
b. Kepribadian; pemimpin yang memiliki sifat kepribadian seperti keuletan,
kepercayaan diri, inisiatif dan kemampuan bertindak, integritas pribadi
umumnya bisa mengembangkan kepemimpinan yang efektif.
c. Karakteristik fisik; ciri ini menimbulkan banyak pertentangan, karena
pemimpin yang efektif tidak hanya didominasi oleh orang yang fisiknya besar,
tetapi juga orang yang fisik kecil, bahkan wanita sekalipun.
d. Kemampuan supervisi; seseorang yang menduduki peringkat lebih tinggi
dalam organisasi umumnya memiliki kemampuan supervisi lebih tinggi pula.
Kemampuan supervisi ini ditunjukkan antara lain pribadi, popularitas, prestise
dan sebagainya.
e. Keterbatasan pendekatan kesifatan; pendekatan kesifatan tidak selamanya
mendorong efektivitas kepemimpinan dari seorang pemimpin.
Pada dasarnya, memimpin itu adalah tokoh sentral yang segala perilakunya akan
menjadikan teladan bagi anak buahnya. Karena itu, hati-hatilah dalam bersikap karena
apabila Anda tidak memiliki sikap bersemangat ketika datang ke kantor misalnya, maka
aura tersebut pun akan menular pada anak buah Anda. Maka dari itu, pemimpin harus
memiliki sikap selalu bersemangat apapun kondisinya. Jadilah pemimpin yang mampu
membawa anak buah Anda pada kesuksesan karena semangat yang Anda miliki. Selain
memiliki sikap semangat.
7. Komitmen
Seorang pemimpin harus bisa melakukan perbuatan yang dapat menggerakan orang lain
dengan berkomitmen terhadap suatu sikap atau perbuatan. Ketidakkonsistenan sikap atau
perbuatan seorang pemimpin, tidak akan mempengaruhi dan menggerakan orang lain untuk
melakukan suatu perbuatan baik. Reputasi baik seorang pemimpin tidak hanya ditunjukkan
dengan kerja keras, melainkan juga dengan sikap, kata-kata, dan perbuatan yang selaras dan
komitmen. Dengan demikian ia akan meraih respek dari seluruh orang yang dipimpinnya.
Menjadi seorang pemimpin harus memiliki komitmen tentunya, seperti komitmen
terhadap organisasi, komitmen terhadap diri sendiri, komitmen terhadap konsumen, komitmen
terhadap orang lain, dan komitmen terhadap tugas sebagai berikut:
8. Percaya Diri
Setiap perusahaan atau organisasi, tentu pernah mengalami masa kritis pada perusahaan
atau organisasinya. Saat perusahaan dihadapi dengan krisis ekonomi, tekanan publik yang
meningkat, dan regulasi sistem yang mendadak berubah, ialah sebagian masalah yang mungkin
dihadapi. Pada saat masa krisis seperti ini, dapat menularkan ketenangan dan juga percaya diri ke
seluruh anggota perusahaannya. Dengan sikap tenang dan rasa percaya diri, setiap masalah akan
dapat diatasi dan tidak akan menimbulkan kepanikan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Jika
seorang pemimpin ingin membangun rasa percaya dirinya, maka ia harus memiliki citra diri yang
positif secara alamiah. Citra diri yang positif maka akan menimbulkan rasa percaya diri, hal
tersebut akan mendorong seorang pemimpin untuk melakukan sesuatu yang masih dapat ia
lakukan. Ia akan fokus pada hal-hal yang masih bisa dilakukan, bukan pada hal-hal yang sudah
tidak bisa ia lakukan lagi. Dari hal tersebut, akan mendorong rasa percaya diri orang tersebut.
Sifat ini dapat dinyatakan sebagai suatu kepercayaan dalam kepemimpinannya. Pemimpin yang
cukup matang dan tidak memiliki sifat anti sosial dipandang mampu menghadapi segala
tantangan karena sikap percaya diri yang dimilikinya.
Pemimpin yang memiliki rasa percaya diri akan tetap tenang dan santai dalam
menghadapi tekanan, pemimpin yang memiliki keyakinan yang tinggi menginteroretasikan
tingkat kecemesan akan lebih positif dibandingkan dengan yang kurang percaya diri. Hal ini
memberikan sebuah sistem kepercayaan lebih produktif di mana seseorang dapat membingkai
ulang emosi sebagai fasilitas terhadap kinerja. Ketika seseorang merasa percaya diri, pikirannya
akan bebas untuk fokus pada tugas yang diberikan.
Bila orang tersebut kurang memiliki rasa percaya diri, maka cenderung akan
khawatir tentang seberapa baik ia akan melakukan suatu hal. Bila ia memiliki rasa percaya diri
yang baik, maka orang tersebut cenderung memiliki atau menetapkan tujuan yang menantang
dan aktif menggapainya, ia akan meningkatkan upaya sekeras mungkin untuk melewati rintangan
sesusah apapun agar tujuannya tercapai. Percaya diri juga mempengaruhi kinerja pemimpin, ia
akan fokus pada hal yang sedang ia kerjakan, pada hal yang saat ini bisa ia kerjakan, daripada
mengkhawatirkan hal yang tidak bisa ia kerjakan. Sikap percaya diri juga dapat membangkitkan
energi positif yang ada dalam diri. Energi positif itu digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan
secara maksimal. Dengan manfaat rasa percaya diri tersebut diharapkan mampu meningkatkan
energi positif dalam tubuh sehingga skill yang dimiliki akan muncul secara optimal dan mampu
membantu menyelesaikannya dengan baik, hal tersebut tentu akan berpengaruh pada kualitas
hidup seseorang.
9. Komunikasi
Bila komunikasi dalam perusahaan sudah berhasil dilaksanakan dengan baik dan
seorang pemimpin juga dapat mengerti apa yang karyawan butuhkan, maka karyawan juga akan
berbuat dan berusaha sekuat tenaga untuk bekerja dan memaksimalkan tugasnya sebaik mungkin
dengan penuh tanggung jawab yang akhirnya akan membuat kinerja dari karyawan meningkat
dan dapat memberikan keuntungan terhadap perusahaannya. Fungsi komunikasi keatas adalah
memberikan informasi kepada tingkatan manajemen atas tentang apa yang terjadi pada tingkatan
bawah, bentuk komunikasi ini berupa laporan, penjelasan gagasan, dan permintaan pengambilan
keputusan. Komunikasi mencakup arus informasi kepada orang-orang yang berbeda pada tingkat
hierarki wewenang yang sama (horizontal) dan arus informasi diagonal antar karyawan pada
tingkatan yang berbeda dan tidak mempunyai wewenang langsung pada pihak lainnya.
Pertukaran informasi antara karyawan di dalam perusahaan sangat membantu dalam usaha
menjalin dan mempertahankan atau mengikat suatu organisasi menjadi satu kesatuan yang utuh
dan juga berfungsi sebagai alat utama untuk mengkoordinasikan dan mempersatukan semua
bagian yang ada dalam struktur perusahaan. Saluran komunikasi dalam organisasi merupakan
proses penyampaian pesan antar anggota-anggota organisasi yang terjadi untuk kepentingan
organisasi, seperti halnya komunikasi antara atasan dan bawahan maupun antara sesama
bawahan.
Adm168borneoid. (n.d.). 10 Soft Skill Yang Harus Dimiliki Oleh Seorang Leader. Retrieved
from Borneo Group: https://borneogroup.id/10-soft-skill-yang-harus-dimiliki-oleh-
seorang-leader/
Usman, H. (2013, Oktober). KEPEMIMPINAN BERKARAKTER SEBAGAI MODEL
PENDIDIKAN KARAKTER. Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun III, Nomor 3, 265-
273.
Mirhan, & Jusuf, J. B. (2016). HUBUNGAN ANTARA PERCAYA DIRI DAN KERJA
KERAS DALAM OLAHRAGA DAN KETERAMPILAN HIDUP. Jurnal Olahrga
Prestasi, Vol. 12, No. 1, 86-96.
https://www.kompasiana.com/toghr9896/5b73da63677ffb5b3e4310f2/10-soft-skill-ini-wajib-
dimiliki-oleh-seorang-leader?page=all
Dr. Asep Suryana., M. (n.d.). Kepemimpinan dan Manajemen Pendidikan Dasar. Modul.
Mardin, R. A., Susilo, H., & Ruhan, I. (2016). Analisis Peran Pemimpin dalam Memotivasi dan
Mengawasi Karyawan (Studi pada PT. CITRA PERDANA KENDEDES MALANG).
Jurnal Administrasi Bisnis (JAB) Vol. 31 No. 1 Februari 2016, 184-191.
Pramudyo, A. (2013). Implementasi Manajemen Kepemimpinan dalam Pencapaian Tujuan
Organisasi. JBMA-Vol 1, No.2, Februari 2013, 49-61.
Sulastiana, M. (2008). Kepemimpinan Melalui Motivasi. Kursus Arus Minyak Korporat Tahap
Ketiga Angkatan II.
Man, Stanis. Paridy, Anggraeny (2006). Sikap Positif untuk Menjamin Proses
Kepemimpinan, Legitimasi, Kesejahteraan Karyawan, dan Peningkatan Kinerja
Karyawan Organisasi Bisnis.
Attamimi, Rachma. M. Pentury, Gerrit. (2010). Pentingnya Sikap Positif Untuk Menjamin
Proses Kepemimpan, dan Peningkatan Kinerja. Soso-Q Vol. 2 No. 2 Tahun 2010
https://www.jadikaryawan.com/sikap-seorang-pemimpin-yang-baik