Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seperti yang telah diketahui setiap kapal pasti memiliki sistem propulsi atau
sistem penggerak kapal, mengingat sistem ini merupakan sistem yang sangat penting
pada kapal. Sistem propulsi kapal аdаlаh sebuah sistem yang berada pada kapal уаng
berfungsi untuk menggerakan kapal baik berolah gerak itu maju, mundur maupun
berdiam diri. Gerak kapal pada dasarnya dituntut untuk mampu mempertahankan
kecepatan dinas seperti уаng direncankan. Olеh karena itu, perancangan sistem
propulsi pada kapal harus dараt mengatasi seluruh gaya hambat уаng diterima kapal
agar dараt memenuhi standar kecepatan dinas. Cara kerja sistem propulsi kapal adalah
mesin utama sebagai penyedia tenaga utama memberikan daya ke sistem transmisi.
Besarnya daya yang diterima oleh sistem transmisi tergantung dari seberapa besar
efisiensi dari mesin utama. Daya yang masuk ke sistem transmisi akan diteruskan lagi
ke propulsor, sehingga propulsor dapat bergerak akibat adanya daya yang diterima
dari sistem transmisi. Sistem transmisi berfungsi sebagai penghubung antara mesin
utama dan propulsor. Sistem ini yang berfungsi untuk meneruskan daya yang
dihasilkan oleh mesin utama menuju alat gerak kapal. Alat gerak berfungsi sebagai
penggerak dan mendapatkan daya dari mesin utama yang ditransfer oleh sistem
transmisi. Adapun komponen – komponen dalam rangkaian sistem penggerak kapal
seperti poros propeller, pengedap as propeller, bantalan as propeller maupun
coupling as propeller.

Pada makalah ini penulis akan membahas permasalahan pada coupling yang
dialami oleh kapal KRI Silas Papare yang dimana kapal tersebut mengalami
pelepasan coupling pada saat melakukan patroli (beroperasi) dikarenakan adanya
keausan pada coupling. Terdapat tiga poros pada kapal ini yang bertugas sebagai
sistim transmisi kapal yaitu poros pendorong (trust shaft), poros antara (intermediate
shaft), poros ekor (tail shaft). Dalam hal ini peran coupling adalah sebagai
penghubung antara shaft satu dengan shaft yang lainnya dan diketahui dengan adanya
pelepasan pada coupling maka dapat mengakibatkan terlepasnya poros dan ketika
poros terlepas maka terjadi ketidaksempurnaan dalam sistem penggerak kapal.
Permasalahan pada sistem propulsi kapal merupakan permasalahan yang sangat vital,

1
oleh karena itu harus dilakukan perhatian lebih terutama pada sistem penggerak kapal
karena jika tidak maka akan berakibat buruk untuk performa kapal.

1.2 Maksud dan Tujuan

Dalam penulisan makalah, seseorang harus mengetahui tujuannya terlebih


dahulu. Hal – hal yang akan dibahas atau dikuak dalam makalah harus ditentukan agar
tidak “out of topic”. Tujuan dalam makalah ini juga berfungsi sebagai pedoman apa
saja sesuatu yang perlu diketahui oleh pembaca. Makalah ini ditulis dengan data –
data permasalahan yang dialami pada suatu kapal dan hal – hal yang berkaitan dengan
sistim penggerak kapal. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :

a. Pembaca dapat mengetahui studi kasus terjadinya pelepasan coupling as


propeller pada kapal KRI Silas Papare.

b. Pembaca dapat memahami sistem kerja coupling dan jenis - jenis sistem
coupling as propeller.

c. Pembaca dapat mengetahui bagaimana proses penanganan as propeller pada


kapal KRI Silas Papare.

d. Pembaca dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan masing – masing sistem


coupling as propeller.

1.3 Rumusan Masalah

a. Bagaimana kronologi terjadinya pelepasan couplig as propeller KRI Silas


Papare?

b. Apa yang dimaksud dengan coupling poros propeller?

c. Bagaimana proses penanganan as propeller KRI Silas Papare?

d. Bagaimana perbandingan antara coupling sistem keyway dengan sistem keyless?

1.4 Batasan Masalah

Penulis hanya fokus pada pembahasan coupling as propeller KRI Silas Papare.

2
1.5 Metode Penulisan

Kerja praktik industri dilaksanakan selama 1 bulan yang dimulai pada tanggal
01 Februari 2019 sampai dengan 05 Maret 2019. Dalam pengumpulan data – data
yang diperlukan untuk penyusunan makalah kerja praktik ini, penulis menggunakan
beberapa metode penulisan yaitu sebagai berikut :

a. Metode tinjauan langsung, metode ini dilakukan dengan cara mencari dan
mengumpulkan data yang dilaksanakan dengan mengamati proses yang dilakukan
secara langsung, serta ikut dalam kegiatan yang sedang dilaksanakan sehingga
dapat dengan mudah untuk memahaminya. Kemudian data pengamatan yang
didapat dicatat.
b. Metode interview, metode ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data
kemudian dilakukan dengan cara tanya jawab (dialog) kepada narasumber yang
dianggap mampu dan mengetahui pada bidangnya sehingga dapat memberikan
informasi tentang suatu pekerjaan yang sedang dilakukan.
c. Metode kepustakaan, yaitu mengumpulkan data yang tertulis paada lembar
instruksi kerja. Dan pengambilan data dilakukan berdasarkan dari bahan atau
literature ilmiah sebagai penunjang kelengkapan data sesuai dengan pelaksanaan
dilapangan.

1.6 Sistematika Makalah

Makalah kerja praktik disusun dengan sistematika tulisan sebagai berikut.

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini penulis membahas mengenai latar belakang, maksud dan
tujuan, rumusan maslah, batasan masalah, metode penulisan, sistematika
makalah.
BAB II LANDASAN TEORI
Dalam bab ini penulis mengulas mengenai sistem penggerak kapal pada
propeller dan poros propeller. Pengumpulan materi dilakukan dengan mencari
data – data yang bersumber dari buku maupun dari internet.
BAB III PEMBAHASAN
Dalam bab pembahasan, berisi tentang deskripsi dari masalah yang dibahas
dan batasan masalah yang telah diambil pada bab I yaitu kronologi terlepasnya

3
coupling, pengertian coupling, proses perbaikan coupling pada KRI Silas Papare,
dan perbandingan sistem coupling.
BAB IV PENUTUP
Dalam bab ini berisi ulasan kesimpulan dan saran yang diambil dari
pembahasan masalah bab III yang telah ditentukan pada rumusan masalah bab I.

4
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Propeller kapal


Propeller merupakan alat gerak mekanik kapal, alat gerak kapal diklasifikasikan
menjadi 2 jenis, yaitu alat gerak non-mekanik kapal dan alat gerak mekanik kapal. Alat gerak
kapal yang non-mekanik adalah dayung dan layar kapal, sedangkan alat gerak kapal yang
mekanik yaitu sebagai berikut :

1.  Fixed Pitch Propeller


2.   Ducted Propeller
3. Contra-rotating Propeller
4. Overlapping propeller
5. Controllable Pitch Propeller
6. Waterjet Propulsion System
7. Cyclodial Propeller
8. Paddle Wheels
9. Superconducting Electric Propulsion System
10. Azimuth Podded Propulsion System

Sejarah alat gerak kapal alias baling baling kapal atau propeller kapal

                                                    Gambar 2.1 Archimedean Screw Pump.

5
Awal sejarah perkembangan tentang alat gerak kapal mungkin dapat ditarik jauh
hingga kisaran 287 – 212 SM yang mana seorang Archimedes menemukan piranti untuk
memindahkan air dari danau ke saluran irigasi pertanian Syiracuse di Sicily. Alat ini
kemudian dikenal dengan sebutan “Archimedean Screw Pumps”. Adapun bentuk dari
Archimedean Screw Pump adalah seperti yang diilustrasikan seperti gambar diatas.
Kemudian di Abad ke XV-an, seorang bernama Leonardo da Vinci (1452-1519) telah
membuat sketsa teknis tentang prinsip-prinsip ulir (screw principle) seperti yang digunakan
sebagai helicopter rotor. Beberapa tahun kemudian di tahun 1661, Toogood dan Hayes dari
Britain telah mematenkan (claimed patent) temuannya yang mana prinsip screw
menggunakan helical surfaces (Archimedean screws) sebagai propeller.
Selanjutnya, seorang ahli fisika dari Inggris yang bernama Hooke di tahun 1680
menyarankan untuk menggunakan Archimedean screw pada sistem penggerak kapal (ship
propulsion). secara singkat baling baling kapal atau propeller kapal merupakan suatu alat
mekanik untuk menghasikan gaya dorong kapal, gaya dorong atau putaran pada baling baling
kapal di hasilkan ditransmisikan dari poros propeller yang berasal dari main engine yang ada
di kamar mesin kapal.

2.1.1 Jenis Propeller KRI Silas Papare


Jenis propeller yang digunakan pada KRI Silas Papare adalah propeller jenis Fixed
Pitch Propellers (FPP). Fixed Pitch Propeller (FPP), merupakan jenis baling-baling dengan
pitch tetap propeller dengan langkah tetap biasa digunakan untuk kapal besar dengan rpm
relatif rendah dan torsi yang dihasilkan tinggi, pemakaian bahan bakar lebih ekonomis, noise
atau getaran minimal, biasanya didesain secara individual sehingga mempunyai karakteristik
khusus untuk kapal tertentu akan memiliki nilai efisiensi optimum. Baling-baling kapal ini
secara umum telah memenuhi ‘proporsi’ yang tepat terutama jenis rancangan dan ukurannya,
baik itu untuk baling-baling perahu motor yang kecil hingga untuk kapal muatan curah
hingga kapal tangki yang berukuran besar.

6
Gambar 2.2 Propeller kapal FPP.

2.2 Pengertian Poros Propeller Kapal

Poros propeller merupakan salah satu bagian terpenting dari instalasi penggerak
kapal. Putaran mesin ditransmisikan ke propeller melalui poros, maka poros sangat
mempengaruhi kerja mesin bila terjadi kerusakan. Yang perlu diketahui adalah bahwa
kedudukan poros propeller dengan mesin induk adalah harus segaris atau dengan kata lain
harus dalam satu garis sumbu. Jika kelurusan garis atau sumbu poros dan mesin induk belum
tercapai maka perlu dibuat tambahan dudukan untuk mesin atau mengurangi tinggi dengan
jalan mengurangi tebal bantalan, asalkan tebal bantalan amsih dalam batas yang memenuhi
kriteria tebal minimum suatu bantalan. Bantalan juga digunakan untuk mengurangi terjadinya
getaran pada poros yang mengakibatakan berkurangnya efektifitas poros propeller juga untuk
menghindari terjadinya deformasi pada poros propeller.

Tenaga yang dihasilkan dari mesin induk di teruskan dalam bentuk putaran melalui
serangkaian poros ke baling-baling diberikan dorongan yang di bangkitkan oleh baling-baling
di teruskan kebadan kapaloleh poros baling-baling. Rangkaian poros itu disebut “Shafting”
dan pada umumnya terdiri dari bagian – bagian berikut :

1. Poros pendorong (Thrust Shaft).

2. Poros antara (Intermediate shaft).

3. Poros baling-baling (Propeller shaft).

Ketiga poros ini saling di hubungkan oleh flange couplings (Sambungan flens).

7
Gambar 2.3 shafting as propeller.

8
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Kronologi Terlepasnya Coupling As Propeller KRI Silas Papare

Gambar 3.1 kapal KRI Silas Papare.

Kapal KRI Silas Papare memiliki data ukuran utama yaitu sebagai berikut :

1. LOA (Length Over All) = 78,50 m


2. LPP (Length Perpendicular) = 75,20 m
3. B (Breadth) = 9,78 m
4. H (Height) = 4,55 m
5. T (Draft) = 2,65 m
6. VS (Service Velocity) = 24,7 knot

KRI Silas Papare  merupakan sebuah  korvet kelas Parchim yang dibuat


untuk Volksmarine / AL Jerman Timur pada akhir 70-an. Penamaan menurut fakta Warsawa
adalah  Project 133. Kapal ini didesain untuk  peperangan anti kapal selam diperairan
dangkal / pantai. Enam belas kapal dibuat untuk Volksmarine (1997-1981) dan dua belas
kapal (versi modifikasi) dibuat untuk AL Soviet pada 1985-1990 oleh Peenewerft, Wolgast.
Soviet memesan kapal ini dengan tujuan untuk menolong industri kapal Jerman Timur,
karena saat itu sebenarnya Soviet sudah mempunyai Korvet kelas Grisha yang lebih baik
dibanding Parchim dalam semua aspek. Begitu keluar dari perairan dangkal keampuhan dari

9
kapal kelas Parchim ini menurun drastis. Di Soviet korvet kelas Parchim dikembangkan lagi
menjadi Korvet kelas Parchim II. Setelah Penyatuan kembali Jerman, bekas negara  Jerman
timur  menjual kapal-kapal Parchimnya ke TNI AL Indonesia pada tahun 1993. Oleh TNI AL
kapal ini dimodifikasi dengan menambahkan kapasitas BBM untuk patroli lebih lama dilaut.
Setelah kapal KRI Silas Papare dimiliki oleh TNI AL kapal ini juga dilakukan pelayaran.

Saat kapal ini melakukan patroli untuk kesekian kalinya yaitu pada saat berada di
daerah kepulauan Natuna kapal ini mengalami insiden pada propulsinya (sistem penggerak
kapal) yang dimana terjadi pelepasan pada couple yang menghubungkan intermediate shaft
dengan tail shaft bagian kanan as propeller. Diketahui adanya modifikasi pada couple yang
dimana couple originalnya menggunakan couple tipe keyless dikarenakan adanya kerusakan
pada couple originalnya maka dimodifikasilah menjadi couple tipe spei (keyway). Akibat
adanya pelepasan pada couple, as propeller kapal pada bagian kanan menglami kemunduran
sepanjang 270 mm dan jika diabaikan maka as propeller dapat terlepas. Diketahui juga
intermediate shaft bagian kanan pada kapal ini mengalami porosity sehingga disarankan
untuk diganti dengan shaft yang lain karena sudah tidak layak lagi untuk digunakan.
Dilakukanlah pencarian shaft untuk menemukan / memilih salah satu intermediate shaft yang
layak dan optimal dipakai untuk menggantikan intermediate shaft kanan KRI Silas Papare
yang sudah tidak layak digunakan.

Pada akhirnya kapal ini berjalan menuju galangan PT PAL (Persero) dengan maksud
untuk docking dan bergerak dengan menggunakan satu propeller saja yaitu propeller pada
bagian kiri, sementara bagian kanan diikat dengan tujuan agar as propeller tidak terlepas
semuanya.

Gambar 3.2 as propeller kanan yang telah terikat.

10
3.2 Pengertian Couple (coupling)

Couple (coupling) merupakan salah satu komponen dari suatu rangkaian as propeller
yang berada pada shaft (poros) propeller yang berfungsi untuk mengkoneksikan antara shaft
satu dengan shaft lainnya yang dimana rangkaian as propeller terdapat 3 shaft pada kapal ini
yaitu thrust shaft, intermediate shaft dan tail shaft.

a. Thrust shaft merupakan poros pendorong yang menyatu pada gear box yang dimana
mendapatkan kekuatan putaran langsung dari gear box, terletak paling depan diantara
shaft – shaft yang lainnya.
b. Intermediate shaft atau poros antara merupakan poros yang terletak diantara thrust
shaft dan tail shaft. Poros ini berperan sebagai penerus dan penghubung antara thrust
shaft dengan tail shaft.
c. Tail shaft merupakan poros ekor yang terletak paling belakang diantara poros - poros
yang lainnya dan poros ini menerima beban paling berat diantara poros yang lainnya
karena diujung poros ini terdapat sebuah propeller.

Dengan adanya ketiga poros tersebut maka peran couple adalah sebagai pengunci
sekaligus benghubung antar shaft. Oleh karena itu couple memiliki peranan yang sangat
penting terutama pada kapal yang memiliki as propeller yang panjang seperti kapal KRI Silas
Papare.

Adapun sistem couple yaitu terdapat dua sistem couple yaitu sistem keyway dan
sistem keyless. Sistem keyway merupakan sistem pasak atau dikenal dengan istilah spie yang
dimana cara kerjanya adalah dengan menyelipkan material didalam shaft yang telah diberikan
jalan untuk materialnya sesuai bentuk material, kemudian dibaut untuk penguncinya dan
disatukan dengan shaft yang lainnya. Sedangkan keyless merupakan sistem couple
penghubung shaft yang memanfaatkan cengkraman terhadap shaft dan memanfaatkan sistem
hydraulic untuk memasang maupun melepas couple tersebut. Terdapat beberapa jenis – jenis
tipe couple ini seperti SKF, OKF, OKC, OKCK, dan lainnya namun pada dasarnya prinsip
kerjanya sama yaitu menggunakan cengkraman dan sistem hydraulic untuk menghubungkan
shaftnya.

11
Gambar 3.3 couple keyway (spie).

Gambar 3.4 couple OKF.

3.3 Proses Penanganan Poros Propeller KRI Silas Papare

Seperti yang telah diketahui bahwa terdapat poros intermediate bagian kanan pada
kapal ini mengalami porosity dan couple dengan sistem spie yang terlepas, oleh karenanya
dilakukanlah penanganan setelah kapal melakukan docking yaitu antara lain seperti
penggantian intermediate shaft, cek kelurusan kondisi shaft, penggantian couple, analisis
kekuatan couple sampai pada pengujian couple dan shaft setelah dilakukan pemasangan.
Berikut merupakan proses penanganan as propeller KRI Silas Papare setelah melakukan
docking pada galangan PT PAL (Persero).

3.3.1 Penggantian Intermediate Shaft

Diketahui setelah dilakukan pengecekan secara visual pada intermediate shaft bagian
kanan terdapat kondisi pada area bukan sleeve (di dalam lapisan fiber coating) terdapat
banyak porosity. Berikut merupakan identifikasi intermediate shaft yang mengalami porosity:

12
a. Diameter original intermediate shaft area dalam lapisan fiber coating = 160 mm.
b. Ukuran porosity paling parah = panjang 86 mm x lebar 60 mm x kedalaman 17,5 mm.
c. Diameter intermediate shaft yang terkena porosity setelah dimachining = 160 - (17,5
x 2) = 125 mm.
d. Persentase diameter poros setelah porosity dihilangkan (dimachining) dibandingkan
diameter poros original.
= Diameter intermediate shaft setelah porosity dimachining dibagi dengan diameter
original intermediate shaft x 100%
125
= x 100% = 78,1% (batas maksimum yang diizinkan 90%).
150

Dengan melihat catatan diatas maka kondisi poros intermediate sudah tidak optimal apabila
digunakan kembali sehingga disarankan untuk diganti dengan poros yang lain.

Gambar 3.5 intermediate shaft yang mengalami porosity.

Untuk mencari pengganti intermediate shaft yang sudah tidak layak untuk digunakan
dilakukanlah dengan cara pemeriksaan shaft. Pemeriksaan ini dibuat untuk memilih salah
satu intermediate shaft yang layak dan optimal dipakai untuk menggantikan intermediate
shaft kanan KRI Silas Papare yang sudah tidak layak digunakan. Adapun aspek – aspek yang
akan diperiksa adalah sebagai berikut :

1. Aspek dari jenis konis


Shaft & couple kanan :
Kondisi existing shaft dan couple telah dimodifikasi menjadi jenis spie / pasak,
kemungkinan dahulu pada saat injection oli hydroulic couple sudah bocor sehingga
dimodifikasi menjadi jenis spie / pasak.

13
Gambar 3.6 konis shaft kanan.

Shaft & couple kiri :


Kondisi konus masih original yaitu masih menggunakan couple jenis keyless.

Gambar 3.7 konis shaft kiri.

2. Aspek dimensi
Shaft & couple kanan :
Data dimensi panjang shaft, diameter shaft, panjang sleeve, diameter sleeve, dan
diameter konis shaft dan couple sama dengan data data dimensi intermediate shaft dan
couple KRI Silas Papare.
Shaft & couple kiri :
Data dimensi panjang shaft, diameter shaft, panjang sleeve, diameter sleeve, dan
diameter konis sama dengan data data dimensi intermediate shaft kanan KRI Silas
Papare.
3. Aspek visual
Shaft & couple kanan :

14
Setelah fiber coating dikupas kondisi shaft relatif bagus, sleeve mengalami
scratch / beralur sedalam ± 2mm, couple bagian belakang masih baik dan couple
bagian depan mengalami korosi.

Gambar 3.8 kondisi shaft kanan setelah fiber coating dikupas.

Shaft & couple kiri :

Setelah fiber coating dikupas kondisi shaft terdapat fitting korosi melingkar
sedalam ± 2 mm, sleeve mengalami scratch / beralur sedalam ± 2 mm, couple bagian
belakang masih baik dan couple bagian depan mengalami korosi.

Gambar 3.9 kondisi shaft kanan setelah fiber coating dikupas.

Dari hasil kajian pemeriksaan beberapa aspek yang telah disebutkan diatas,
didapatkan intermediate shaft dari kapal KRI Patiunus, dan dapat dikatakan bahwa
intermediate shaft ex KRI Patiunus yang paling layak digunakan untuk menggantikan
intermediate shaft dari kapal KRI Silas Papare. Namun, ada beberapa hal yang perlu
dilakukan agar intermediate shaft kanan ex KRI Patiunus dapat digunakan secara optimal dan
aman antara lain :

a. Melaksanakan penetrant test dan UT flow untuk mengetahui keretakan shaft yang
tidak kasat mata.

15
b. Memodifikasi arah alur drat, mengganti baru baut pengikat couple serta buat baru pen
pengikat baut agar baut tidak mudah lepas.
c. Pengecekan dan service surface contact pada konis couple untuk mengurangi risiko
couple bergeser.
d. Pelapisan ulang menggunakan rubber coating pada intermediate shaft.
e. Machining sleeve yang terdapat scratch / beralur hingga bersih.

3.3.2 Pemeriksaan Poros Propeller KRI Silas Papare.

Dilakukan pemeriksaan secara visual yang dimana pemeriksaan dilakukan dengan


cara melihat pada bagian shaft yang terlepas (intermediate shaft dan tail shaft bagian kanan
kapal) yaitu dengan tujuan untuk :

a. Mengidentifikasi keadaan bagian couple yang terlepas


b. Mengetahui keadaan bagian mur baut pengikat couple

Kemudian dilakukan pembongkaran pada bagian stern tube menggunakan blander


potong. Setelah adanya pembongkaran identifikasi dapat dilaksanakan yang dimana terdapat
beberapa catatan yaitu sebagai berikut :

a. Tail shaft bagian belakang terjadi kemunduran sepanjang 270 mm dari posisi
awalnya.
b. Terjadi pelepasan mur pengikat couple intermediate akibat adanya keausan pada
bahan material mur.
c. Pengunci mur pengikat (borg) masih terpasang dengan baik (baut tidak kendor).

Berikut adalah data lampiran pemeriksaan awal pada couple yang terlepas :

16
Gambar 3.10 kondisi couple spie yang telah dibongkar.

3.3.3 Pengecekan Kelurusan Poros Kanan Kapal

Setelah as propeller dibongkar dan diambil maka dilakukan pengecekan kelurusan


pada mesin bubut. Cek kelurusan dilakukan pada bagian tail shaft dan intermediate shaft
yang bertujuan agar tail shaft dan intermediate shaft sebelum dilakukan pemasangan couple
dalam kondisi lurus dan baik dengan cara didudukkan diatas bangku (mesin bubut). Pada
intermediate shaft dan tail shaft memiliki standard maksimum kelenturan yaitu 0,3 mm.
Berikut adalah proses pengecekan kelurusan pada tail shaft dan intermediate shaft :

1. Pemeriksaan kelurusan pada tail shaft


Pemeriksaan dilakukan dengan cara memasang dial gauge (alat pengukur
kelurusan poros) pada bagian shaft yang hendak diukur kelurusannya yang dimana
sebelumnya diberikan tanda pada shaft A,B,C,D dan shaft diputar oleh mesin bubut
dan berhenti pada titik yang telah ditandai sebelumnya. Maka dial gauge akan
mengeluarkan angka masing - masing pada titik yang ditandai. Tujuan adanya
pengukuran ini adalah mengetahui ovalitas dari as propeller itu sendiri. Berikut
adalah data pengukuran ovalitas pada tail shaft :

17
Gambar 3.11 dokumen pemeriksaan kelurusan tail shaft.

Gambar 3.12 foto asli tail shaft.

18
Menurut lampiran data diatas maka dapat disimpulkan bahwa keadaan tail
shaft masih dapat dikategorikan dalam keadaan baik karena masih dalam standard
toleransi kelenturan shaft yaitu kurang dari 0,3 mm. Oleh karena itu disarankan tail
shaft untuk dapat dipasang kembali.

2. Pemeriksaan intermediate shaft


Intermediate shaft yang akan diperiksa adalah intermediate shaft dari KRI
Patiunus yang dimana telah disepakati. Pemeriksaan ini juga menggunakan metode
yang sama seperti halnya pemeriksaan pada tail shaft yaitu dengan memberi tanda
A,B,C,D kemudian diukur dengan alat dial gauge. Dan berikut adalah data lampiran
pengukuran kelurusan pada intermediate shaft :

Gambar 3.13 intermediate shaft.

Menurut lampiran data ukur diatas kondisi intermediate shaft dapat


dikategorikan dalam keadaan baik dan memiliki kelenturan kurang dari 0,3 mm.
Namun kondisi stern tube belakang terjadi ketidak lurusan sebanyak 0,5 mm sehingga
harus dilakukan machining pada sleeve menjadi 210,9 (belakang) dan sleeve depan
menjadi 211,25 mm. Kemudian dari pihak galangan menyarankan untuk dilaksanakan
pengecekan keolengan (eksentrik) flange couple (< 0,5 mm). Dan melaksanakan
machining pada flange keolengan 0 mm.
Dari pemeriksaan kelurusan pada intermediate shaft dan tail shaft dapat
disimpulkan bahwa shaft masih dapat ditoleransi karena masih dalam keadaan
kelenturan kurang dari 0,3 mm dan masih bisa untuk dipasang kembali hanya saja
perlu dilakukan machining pada sleeve - sleeve intermediate shaft.

19
3.3.4 Pemeriksaan Dimensi Couple OKF dan sistim couple OKF

Dari pihak galangan akhirnya pada perbaikan ini memutskan untuk menggunakan
couple OKF kembali, namun sebelum penulis membahas tentang sistem kerja pada couple
tersebut, penulis akan membahas komponen – komponen yang berkaitan dengan pemasangan
couple OKF terlebih dahulu yaitu antara lain :

a. Jack merupakan material yang berfungsi untuk menahan couple.


b. Naple merupakan lubang udara yang terdapat pada couple yang mempunyai fungsi
sebagai keluar masuknya udara.
c. Hydraulic pump adalah alat yang berfungsi sebagai pressure maupun penyedot keluar
masuknya minyak melalui lubang nut.
d. Nut adalah lubang keluar masuknya minyak yang berada pada couple (ruang
hydraulic).
e. Tuper konis merupakan bagian yang berada diujung shaft yang memiliki bentuk
mengkerucut.

Berikut merupakan sistem kerja pemasangan couple OKF ;

1. Sebelum akan dipasang pada shaft maka shaft diukur dan ditandai terlebih dahulu
sampai mana couple untuk berhenti pada posisi yang diinginkan.
2. Kemudian setelah couple ditempatkan pada posisinya, injektor bertekanan tinggi
(high injector) terhubung ke A (naple) dan injector bertekanan rendah (low injector)
terhubung ke ruang hydraulic B (nut).
3. Minyak kemudian dipompa menuju ruang hydraulic B, sampai minyak lolos di lubang
¼ terbuka tanpa gelembung udara, dan lubang ditutup dengan steker.
4. Minyak disuntikkan ke dalam lubang A di bawah tekanan tinggi, yang membangun
lapisan minyak pelumas antara inner sleeve dan outter sleeve, minyak ini dimasukkan
dengan tujuan untuk menghilangkan kontak secara langsung dan mengurangi gaya
gesekan terhadap shaft.
5. Kemudian minyak tetap dipompa ke dalam lubang B dan outter sleeve mulai bergerak
ke atas sehingga couple akan bergerak ke kanan akibat dari dorongan pompa dan
minyak terus disuntikkan di lubang A untuk menghindari kontak logam.
6. Coupling akan mencapai posisi akhir ketika diameter luar couple telah tumbuh
dengan nilai yang telah ditentukan. Pompa minyak dihentikan, tetapi tekanan dalam B
harus tetap dan tekanan A dilepaskan.

20
7. Kemudian minyak dikuras / diambil dari permukaan kontak dari keuda sleeve hingga
habis dan tekanan rendah (low pressure) B dilepaskan, bagian couple yang terbuka
harus ditutup dengan pencegahan karat sehingga couple dapat bertahan selama
bertahun-tahun beroperasi.

Gambar 3.14 langkah pemasangan couple OKF.

21
Pada intermediate shaft pengganti sudah dilengkapi dengan kedua ujungnya
sehingga perlu dipastikan bahwa secara dimensi antara couple dengan taper konis
sesuai pada panjang konis dan diameter konis. Berikut adalah data lampiran
pengukuran dimensi pada tuper konis dan couplenya :

Gambar 3.15 pengukuran dimensi taper konis tail shaft.

22
Gambar 3.16 pengukuran dimensi couple OKF.

23
Gambar 3.17 foto asli couple OKF KRI Silas Papare.

Gambar 3.18 bagian dalam couple OKF.

Setelah dilakukan pengukuran dimensi pada couple maka dilakukan percobaan/


simulasi pemasangan couple dengan cara mendorong couple sebanyak 100 Bar pada shaft
propeller. Dan kondisi couple masih dalam keadaan baik (tidak ada kebocoran). Oleh karena
itu disarankan untuk dipasang kembali. Begitupun juga sama pengukuran dimensi pada tuper
konis dalam kondisi masih baik.

24
3.3.5 Percobaan couple OKF

Untuk memastikan bahwa couple dapat berfungsi dengan baik maka diperlukan
adanya percobaan di bengkel sesuai dengan posisinya pada intermediate shaft tersebut yaitu
dengan cara :

a. Percobaan 80 % dari maksimum travel.


b. Percobaan 100 % dari masimum travel.

Setelah couple tersebut terpasang pada intermediate shaft maka dilakukanlah pemeriksaan
kelurusan flange couple secara round dan face berdasarkan diameter flange. Berikut adalah
data ukur flange couple intermediate shaft :

Gambar 3.19 data kelurusan flange couple.

25
Kondisi flange belakang couple terjadi ketidakrataan sebanyak 0,5 mm (lebih dari 0,49 mm)
oleh karena itu direkomendasikan untuk machining flange bagian belakang.

3.3.7 Machining Sleeve Intermediate Shaft Dan Reamer

Machining merupakan proses penyamaan diameter sleeve dengan tujuan untuk


menyamakan antara diameter satu dengan yang lainnya sehingga diharapkan dengan samanya
diameter akan menjadikan as menjadi lurus. Reamer merupakan proses penyesuaian lubang
baut pada couple satu dengan yang lainnya dilakukan didalam kapal secara langsung dengan
tujuan agar dalam pemasangan couple didapatkan kelurusan atau sesuai kelurusan poros.
Karena intermediate shaft yang akan dipasang masih baru maka sleeve harus sesuai dengan
diameter bore hole bantalan (existing).

a. Material bantalan menggunakan ferro foam dengan clearance pemasangan 1,2 mm.
b. OD (outter diameter) sleeve = ID (inner diameter) – 1,2 mm.
c. ID adalah diameter bore hole terkecil.

Setelah sleeve intermediate shaft dimachining maka dilaksanakan reamer /


penyesuaian lubang baut yang nantinya baut akan disambungkan antara couple satu dengan
yang lainnya. Untuk couple tail shaft dan intermediate shaft bagian belakang direamer dalam
bengkel, sedangkan couple thrust shaft dengan intermediate shaft bagian depan diboarding
(dilaksanakan langsung dalam kapal).

Berikut adalah data ukur sleeve intermediate shaft yang harus dimachining :

26
Gambar 3.20 data shaft yang akan dimachining.

27
Gambar 3.21 data sleeve yang akan dimachining.

Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa pada sleeve bagian stern tube depan harus
dimachining sampai pada diameter 211,25 mm dan sleeve bagian belakang harus
dimachining sampai pada diameter 210,9 mm. Dan terdapat catatan bahwa kondisi kelenturan
intermediate shaft masih baik yaitu kelenturan masih kurang dari 0,3 mm yang dimana
disarankan untuk dapat dilaksanakan pemasangan dengan clearance pemasangan 1,2 mm.

28
3.3.8 Uji Kekuatan Cengkraman Couple OKF Pada Shaft Kanan Kapal

Adapun komponen shaft yang akan di uji coba yaitu :

a. Couple intermediate shaft bagian belakang as kanan kapal.


b. Couple tail shaft bagian depan as kanan kapal.

Uji coba ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kekuatan cengkraman couple
yang harapannya ketika couple sudah terpasang dan as propeller berputar dalam kecepatan
tertentu maka dapat diketahui kekuatan couple ini. Adapun aspek yang akan dicapai dari uji
coba ini yaitu :

1. Mengetahui kekuatan daya puntir / torsi couple ketika shaft berputar.


2. Pada saat as propeller digerakkan secara axial (bergerak kedepan) maka as cenderung
bergerak kedepan juga oleh karenannya couple akan di uji untuk mengetahui daya
lekatnya kira – kira ketika as bergerak kedepan maka couple akan bergeser atau tidak.
3. Begitu pula ketika digerakkan secara radial (ke belakang) maka couple akan bergeser
atau tidak (tetap pada kondisi semulanya).

Pengujian ini dilakukan dengan cara memberikan daya dorong terhadap couple yaitu
dorongan melalui pompa hydraulic yang telah terpasang melalui minyak sebagai bahan
pendorongnya. Dan diberikan daya tekan terhadap couple dengan cara memasukan minyak
melalui lubang naple dan akan dipressure oleh pompa. Uji coba ini diulang – ulang sampai
beberapa kali dengan kekuatan dorongan yang berbeda – beda dan pengujian ini dilakukan
selama kurang lebih 15 menit.

Berikut merupakan data pengujian kekuatan cengkraman couple :

29
Gambar 3.22 data couple intermediate shaft bagian belakang.

30
Gambar 3.23 data couple tail shaft bagian depan.

Dari data pengujian diatas maka dapat disimpulkan bahwa kekuatan cengkraman
couple pada intermediate shaft bagian belakang memenuhi standard karena pada saat uji
dorong maupun uji tekan itu juga terdapat standard yang mengaturnya seperti berapa banyak
kekuatan dorong dan berapa lama pengujian dilakukan dan didapatkan hasil yaitu couple
tidak bergeser adapun pergeseran yaitu sebanyak 0,1 mm namun masih dalam keadaan dapat
ditoleransi. Begitupun pada couple tail shaft depan yaitu dapat memenuhi standard yang
dimana dihasilkan pergeseran couple sebanyak 0,2 mm namun masih dalam keadaan
toleransi. Dan kesimpulannya adalah couple dalam keadaan baik dan siap untuk di gunakan.

31
3.4 Perbandingan Couple Sistem Keyway Dan Keyless

Keyless (OKF Couple) Keyway (Spie Couple)


Kelebihan : Kelebihan :
1. Couple tipe keyless memiliki kekuatan 1. Couple keyway menggunakan sistem pasak
kunci yang lebih baik dibanding tipe atau spie yang dimana memiliki sistem
keyway. kerjanya lebih simple dibanding sistem kerja
2. Couple tipe ini memiliki sistem yang lebih couple OKF.
modern dengan memanfaatkan cengkraman 2. Couple ini lebih mudah untuk diperbaiki jika
terhadap shaft. terjadi kerusakan.
3. Pada saat as propeller berputar, sedikit 3. Couple keyway lebih ekonomis dibanding
kemungkinan couple ini mengalami couple tipe keyless OKF.
penggeseran/terlepas karena couple ini Kekurangan :
mengelilingi seluruh diameter poros dan 1. Couple keyway jika terjadi kebocoran atau air
telah teruji sesuai standar. masuk kedalam couple maka mudah
Kekurangan : terjadinya aus dan ketika telah mengalami
1. Prinsip kerja pada tipe couple ini lebih keausan maka lebih mudah akan terlepas.
rumit dibanding couple tipe keyway. 2. Daya kunci atau daya lekat ketika as berputar
2. Dari segi harga couple ini cenderung lebih lebih buruk dibanding tipe couple keyless
mahal dibanding keyway. OKF.

BAB IV

32
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berikut merupakan kesimpulan yang didapatkan dari penulis dalam makalah analisis
pelepasan coupling as propeller dan pengantian sistem coupling pada kapal KRI Silas Papare
yang dilaksanakan pada galangan PT PAL (Persero) adalah sebagai berikut :
1. Kronologi terlepasnya couple diakibatkan karena adanya modifikasi sistem couple
yang awalnya menggunakan sistem keyless OKF menjadi keyway spie, dan ketika
telah termodifikasi menjadi keyway, couple mengalami kebocoran atau air masuk ke
dalam area couple sehingga mengakibatkan aus dan lama kelamaan terlepas.
2. Couple merupakan komponen yang terdapat pada rangkaian as propeller yang
berfungsi sebagai penghubung / penyambung antara shaft satu dengan shaft yang
lainnya. Terdapat 2 sistem couple yaitu keyway dan keyless, keyway merupakan
sistem couple spie (pasak) yang dimana terdapat material yang diselipkan didalam
couple sebagai penguncinya dan keyless merupakan sistem couple hydraulic yang
dapat mencengkram shaft sebagai penguncinya.
3. Modifikasi couple keyway spie tidak cocok pada kapal ini dikarenakan rentan akan
terlepas dan dilakukan penggantian couple dengan sistem semula yaitu sistem keyless
OKF yang didapatkan dari KRI Patiunus.
4. Couple menggunakan sistem keyless lebih cocok dibandingkan keyway dengan
pertimbaangan kekuatan pengunci shaft sistem keyless lebih baik dibanding keyway.

4.2 Saran

Disarankan untuk tetap memperhatikan keadaan sistem propulsi kapal apakah dalam
keadaan baik atau tidak melalui pemeriksaan (docking) yang rutin terutama pada bagian as
propeller dan komponen – komponen yang ada dalam rangkaiannya karena as propeller
merupakan sistem yang sangat penting didalam instalasi kapal jika terjadi permasalahan
maka akan berakibat fatal contoh seperti terlepasnya coupling as propeller yang dialami oleh
KRI Silas Papare.

DAFTAR PUSTAKA

33
Carlton, J.S et al. (1994) ‘Marine Propellers and Propulsion’, Butterworth-Heinemann Ltd,
Oxford.

Harvald, (1992) ‘Tahanan dan Propulsi Kapal’, Jakarta, Erlangga.

Jintian, X (2017) ‘Aplikasi Efek Kopling’, Pengertian Keyway Couplings, dilihat 27 Maret
2019, <http://m.id.jthydrauliccoupling.com/news/application-effect-of-coupling-
5532937.html>

Manik, P (2016) ‘Buku Ajar Propulsi Kapal’, Lembaga Pengembangan dan Penjaminan
Mutu Pendidikan Universitas Diponegoro, p. hal 19-23.

Wahyuddin, M (2011) ‘Poros Propeller Kapal’, Kapal Cargo, dilihat 25 Maret


2019,<http://kapal-cargo.blogspot.com/2011/01/poros-propeller-kapal.html>

Wikipedia, (2018) ‘KRI Silas Papare 386’, Korvet Kelas Parchim, dilihat 25 Maret
2019,<https://www.indomiliter.com/kri-silas-papare-386-jadi-korvet-parchim-kedua-
pengguna-kanon-ciws-type-730/>

LAMPIRAN

34
35

Anda mungkin juga menyukai