Anda di halaman 1dari 72

Kisah

CHIEN PAO

-----------------------------------------------

Maria Bo Niok

1
Daftar Isi
Pengantar Penerbit
Pengantar Penulis
1. Jiwa Kembarku ..........................................
2. Manusia Baru ...................................
3. Sekretaris ....................................................................
4. Bibir-bibir Ibu-ibu ...........................................................
5. Surat Dari Alam Mimpi ...................................................
6. Chien Pao ..............................................................
7. Kopi Pahit Kehidupan (paste dari multiply) .....................................................
8. Kacung Mintuno .......................................
9. Tugu Monas Jadi Saksi ....................................................
10. Embun Pagi di Hong Kong .............................
11. Rembulan di Pucuk Menara ............................................
12. Jendela Kehidupan .........................................................
13. Bintang Sunyi di Pelataran .............................................
14. Perempuan Pengin Adzan (diterusin)................................................
15. Dakocan (diterusin) ...........................................................................
Biodata Penulis

2
Jiwa Kembarku

Lagi-lagi perempuan itu. Apa tidak bosan ya setiap hari duduk di situ? Kalau
tidak salah, sejak akhir bulan lalu sudah mulai duduk di sana. Ya. Aku ingat.
Tepatnya sejak tanggal dua puluh lima. Karena saat itu aku sempat bertanya
padanya. Anehnya duduknya ya selalu di tanggul tersebut. Memandang ke satu arah.
Ah! Entahlah. Sedang menunggu apa dia kiranya. Tapi aku penasaran juga, apa
tidak merasakan hawa dingin ini? Angin bertiup begini kencang. Kok malah, kulihat
dia tersenyum behagia seolah sedang bercanda dengan angin. Tapi kali lain, aku
melihatnya sedang bersedih sampai matanya berkaca-kaca. Jangan-jangan dia orang
gila. Kasihan juga kalau masih muda begitu sudah gila. Tapi pakaiannya bersih,
dandanannya juga rapi pakai topi segala. Atau, dia seorang penyair yang sedang
mencari inspirasi? Bisa dipastikan, bila jam begini dia duduk dengan santai di
tanggul itu. Keberadaannya sangat menarik perhatian orang yang lewat. Namun
seolah tak ada apa pun yang menganggu keasikannya. Saat kutanya, ia pun
menjawab, tapi jawabannya ku anggap aneh.
“Hai perempuan. Sedang apakah kiranya dikau selalu duduk di situ?”
“Aku sedang dipukuli oleh kesombonganku. Sedang digilas-gilas oleh
nasibku. Sedang dicemooh oleh keangkuhanku sampai hancur jiwaku.”
“Apa aku tak salah lihat? Karena yang kulihat dikau sedang tersenyum.”
“Tangis dan tawa adalah gambaran dari pikiranku. Kalau aku kini tersenyum
apa urusanmu? Karena senyumku bisa jadi hanya topeng. Namun bisa pula saat ini
aku sedang senang karena bisa mengalahkan Aku.”
“Apa kau sedang bercanda dengan daun-daun kering yang berguguran itu?”
“Ya.”
“Kau tuanglah ke cangkir karib yang datang agar kering sebagian deritamu.
Karena seseorang pada akhirnya akan mengadu bila tak kuat menanggung apa yang
menghimpit batin. Kenapa malah berhari-hari duduk di situ. Pada siapa kau akan
mengadukan deritamu?”
“Aku sedang menunggu bangkitnya angin yang akan mengajak daun-daun itu
menari. Setelah gugur dari rantingnya. Karena saat itulah aku bisa menikmati
keindahannya. Seolah aku sedang melepas kerinduanku akan kedamaian.”

3
Gilakah perempuan ini? pikirku. Belum lagi aku bertanya dia meneruskan
kata-katanya.
“Karena ribuan daun yang gugur dan berserak di udara menari bersama angin.
Mengingatkan aku pada sebuah negri yang penuh asa, cinta, dan cita. Betapa aku
ingin menari besama mereka walau akhirnya akan luruh ke tanah.”
“Sampai kapankah, kau perempuan, akan duduk di situ?”
“Sampai alam memeluk jiwaku hingga hilang deritaku. Karena deritaku adalah
derita anak-anakku.”
“Ya. Aku tahu. Sebanyak apa anakmu adalah karunia yang tak ternilai
harganya. Jadi yang utama jagalah kesehatanmu. Jangan sampai kau jatuh sakit, kalau
kau sakit siapa lagi yang akan menjaga dan membesarkan mereka semua.”
“Jangan kau bertanya lagi. Aku tak ingin bicara karena takut membangunkan
ombak. Tapi aku harus bicara karena tak mau digulung ombak.”
Aku masih bingung mencerna kata-kata perempuan itu hingga aku terdiam tak
tahu mau ngomong apalagi. Bagaimana tidak bingung sedang membicarakan angin
larinya ke ombak. Padahal di sini mana ada laut yang berombak. Karena di sini adalah
daerah pegunungan. Di saat aku masih terdiam, dia meneruskan kata-katanya yang
kuanggap makin aneh dan makin yakin kalau perempuan itu miring otaknya.
“Aku tak ingin bergerak karena takut menggerakkan angin. Tapi aku harus
bergerak karena tak mau dikejar prahara.”
Sinting!! Benar-benar sinting!
Tadi bilang sedang menunggu bangkitnya angin. Kini bilang takut
menggerakkan angin. Berarti memang cocok kalau mengadu pada alam. Otakku tak
bisa mengikuti kemana pikirannya. Dia sedang frustasi barangkali. Mungkin tak ada
manusia yang bisa meladeni kata-katanya. Tapi aku mau bertanya lagi. Aku masih
penasaran. Masa orang gila bicaranya seperti raja angin begitu.
“Hai perempuan! Sebenarnya siapakah dikau adanya? Kata-katamu sangat
membingungkan hatiku.”
“Sudahlah ...!? Aku adalah kamu. Karena kamu juga perempuan. Kalau ingin
tahu siapa diriku maka selamilah jiwamu.”
“Jiwaku?”
Geletar jiwaku mendengar jawaban perempuan itu. Karena yang aku tahu
selama ini perempuan itu sangat kuat, keras kepala, baik hati, ramah, dan segudang
julukan lainnya.

4
Kenapa kini begitu judas bicara padaku. Dan aku tahu kerontang jiwanya
setelah ia menjadi orang tua tunggal bagi keenam anaknya.
Pernah aku melihat ia menangis sambil tersenyum. Bola matanya berseliweran
memandangi daun-daun yang sedang berguguran. Bibirnya berbisik, “Kering dan
luruh.” Dia hanya tersenyum tipis saat aku dekati dan kubelai pundaknya. Dia tahu
aku datang untuk menghiburnya. Tapi dia malah balik bertanya padaku.
“Siapakah kamu wahai perempuan?” Hanya kujawab dengan senyuman tanpa
kata.
Kuteliti wajah putihnya dan kutemukan kecemasan di sana yang tampak
begitu nyata. Ukiran-ukiran pengap terlukis di garis wajahnya. Kejenuhan dan
kebosanan tampak di binar hampa matanya.
Sekarang. Perempuan itu memandang lurus ke mataku tanpa bicara. Tapi aku
bisa mengerti apa makna tatapannya.
Dalam kesunyian ku dengar suara melayang-layang di sekitar jiwa yang
menjerit dalam keputusasaan mendendangkan lagu harapan.
Itu yang ku tahu dari tatapannya yang bicara.
“Perempuan. Pulanglah! Hari telah sore. Nanti anak-anakmu mencari di mana
ibunya,” saranku.
Tiba-tiba dia bicara dan bicaranya mengagetkanku,
“Anak-anakku ibarat batu karang kecil yang kokoh. Sungguh menyenangkan
mempunyai anak seperti mereka. Aku bahagia melihat perilaku mereka.”
Ya. Rupanya dia mulai membuka diri untuk mencurahkan isi hatinya padaku.
Aku masih diam saja menunggu lebih lanjut apa yang mau ia sampaikan. Tapi nada
bicaranya begitu pilu seperti suara saluran air yang kudengar meratap bagai seorang
ibu kehilangan anaknya. Ku gelengkan kepalaku keras-keras untuk mengusir perasaan
yang tadi hinggap. Aku siap mendengarkannya.
“Tapi hanya segelintir manusia yang mau tahu warna hatiku, biru, hitam,
ataukan merah jingga. Dan yang hanya segelintir inilah yang mampu membuatku
bahagia. Namun alangkah susah meraih hatinya dan hati keluarganya.”
Aku tak tega melihat matanya mengembang berkaca-kaca tapi aku diam saja
karena sepertinya ia mau meneruskan bicaranya.
“Asal kau tau hai perempuan. Derai air mata yang menyedihkanku ini lebih
manis ketimbang darai tawa seseorang yang mencari namun untuk
mencampakkannya.”

5
Aku tahu sekarang.
Seuntai rantai yang menggabungkan pesona masa lalu dengan kemegahan
masa depan menyatukan keheningan perasaan dengan nyanyiannya. Sedemikian
kerinduan mencabik-cabik kerudung rahasia cinta.
Aku tak mau langsung mengatakannya. Hanya menebak-nebak ke arah mana
jalan pikiran perempuan itu. Aku juga tidak mengganggu lagi dengan pertanyaan-
pertanyaan. Aku hanya menunggu dan melihat sikapnya yang begitu hening. Seolah
sedang menyatu dengan alam.
Kulihat ia mendongak memandang ufuk cakrawala nan elok. Sekejap
kemudian ia bangkit dan melangkah pelan sambil menunduk. Seolah berjalan sambil
menghitung jejak mentari yang merambat begitu pelan di depan kakinya.
Tak bosan ku ikuti kemana langkah kakinya. Ternyata perempuan itu
mendekati telaga kecil dan duduk di rerumputan senja. Ditemani sinar jingga yang
memantul dari air telaga. Ia meraih selembar daun kering yang sedang berenang
dengan hatinya. Tafakur di tepi telaga bagai orang hilang yang tak punya pekerjaan.
Hingga tirai malam menyelubungi di mana ia sedang menyendiri. Jingga di telaga
berubah warna menjadi keemasan. Terdengar ia mendesah perlahan saat dipeluk sinar
rembulan. Senyum tersungging di bibir yang kering. Menerima ciuman rembulan
yang bergetar di cermin luas menghampar di hadapan. Namun kala ia ingin menyapa
rembulan dan menyentuh airnya, rembulan hilang bentuk dalam kabut. Perempuan itu
bergetar dan membeku.
Aku kenal betul siapa perempuan itu dengan segudang watak dan tabiatnya.
Karena aku adalah jiwa kembarnya. Yang tak bisa melepaskan kemana ia menaruh
harapan. Namun selama ini yang aku tahu, harapan hanyalah harapan. Karena di bumi
ini tiada lagi yang bisa diharapkan. Dibanggakan. Selain kasih sayang dan kesetiaan.
Walau hampa belakangan. Tak akan berhenti. Terus berjalan. Perempuan itu berbisik
pantun,
berkeriut suara dipan lapuk/temaram pelita membias bayang/langkah suci di
dua pertiga malam//
menghitung waktu disisa usia/terangkai tasbih derita.berdentam suara
jendela gerbang/angin bertiup mengajak kawan//
daun keladi di luar sana/engajaknya zikir bersama.// (Puisi ini berjudul
”sahabat si miskin”.)

6
@ Temanggung, 20 Januari 2007

Manusia Baru
 

Sebenarnya aku ingin menuliskan sebait puisi di awal tulisan ini tetapi itu
tidak aku lakukan karena aku takut isi pikiranku terbaca oleh pembaca.

Aku juga ingin menuliskan sebuah syair lagu yang indah di belakang bait puisi
tadi tetapi juga tidak bisa aku lakukan. Kenapa? Aku khawatir kalian nanti tahu apa
yang sedang aku senandungkan dalam hatiku. Sesosok perempuan yang sangat tegar
bisa menangis di haribaan dan di sela tawa yang sedang terburai lepas. Itulah aku saat
ini.

Orang bilang kalau aku adalah jiwa yang riang dan jauh dari syak wasangka,
kenyataannya, ada orang sedikit berbisik ditelinga saja, langsung gatal dan merah
telingaku. Aku merasa sedang digunjing orang. Padahal rasanya tak ada yang
menggunjingkan aku namun aku adalah manusia biasa yang tak pernah luput dari
salah dan dosa. Yang selalu ingin mendapat perlindungan dari pasangan.

Apa benar mereka menggunjingkan aku? Padahal aku sedang berbahagia saat
ini. Dunia sedang tersenyum menyambut manusia baru yang lahir dari jiwa
pasanganku. Salahkah kalau aku ucap syukur dengan caraku sebagai penyambutan
yang pantas dia terima? Rasanya semua baik-baik saja. Atau aku yang terlalu banyak
berpikir tentang orang lain yang seolah tidak mau tahu apa yang sedang aku pikirkan.
Atau aku memang tidak mau tahu kalau orang lain ingin mengetahui apa sebenarnya
yang sedang aku pikirkan saat ini?

Mungkin anda ingin sedikit saja mengetahui kalau saat ini ada denting-denting
indah dan mendayu dalam jiwaku. Lorong jiwa yang tadinya gersang dan tandus kini
berseri. Tumbuh dedaunan yang menghijau indah. Mekar semarak bunga flamboyan
di sisi hatiku. Di kisi-kisi jiwaku yang rapuh. Di relung asmaraku yang dulu poranda.

Masih perlukah senandung duka di jiwa bila mentari menampakkan diri di


ufuk timur dan siap menerangi kisi hati yang tadinya gelap bertabur sunyi?
Jawabannya tentu tidak. Andai tiada bisik-bisik di sekitarku yang mempersempit
saluran nafasku. Andai ada niat baik orang dari orang pilihan di sekitarku yang bisa
menyatukan dua jiwa menyatu jadi satu lewat acara sakral yang lumrah.Yang terjadi.

7
Senyum yang mekar di bibirku berubah menjadi tangis yang pilu. Canda ceria yang
terburai dari dua hati, lenyap tak berbekas ditelan kemunafikan yang terjadi di
sekelilingku. Aku hanya bisa pasrah.

Aku tak kuasa untuk memaksakan kehendak jiwa yang seolah ingin
memberontak keluar dari raga. Aku ingin saat itu lenyap ditelan bumi di depan mana
kaki berpijak saat itu. Karena orang dari orang pilihan menolak menyatukan dua jiwa
menjadi satu.

Ya. Menolak untuk menyatukan dua jiwa agar menyatu menjadi satu lewat
ucap,"Syahadattain dan Qobbiltu nikahaha watajwijaha."

Jiwaku menggelepar nyaris sekarat karena acara telah tergelar. Namun batin
kecilku bicara,"Allah maha besar. Aku harus bersabar dan tawaqal." Tiada yang
sempurna di bumi ini termasuk rencanaku.

Pasti. Ya pasti. Nanti Tuhan akan memberikan jalan yang terbaik buatku dan
manusia baru, pasanganku.

Aku patut bersyukur pada-NYA karena aku telah mendengar dan menyaksikan
bibir manis kekasihku mengucap,"Asyhadu Allaa illahaillalloh. Wa Asyhadu Anna
Muhammadarrosullulloh," sebanyak tiga kali dengan dituntun Pak Kiai di hadapanku.
Jiwaku bergetar mendengarnya.

Aku turut mengucapkannya mengikuti tuntunan Pak Kiai Ali. Derai air mata
tak terbendung. Aku bahagia. Sangat bahagia. Kekasihku telah mengikuti agama
Allah. Aku tak bisa menghentikan deraian air mataku sampai ditutup dengan doa. Aku
biarkan air mata bahagia menghiasi hariku saat ini. Menghiasi hatiku detik ini. Ini hari
bersejarah dalam sisa hidupku. Tiada yang lebih bahagia hari ini kecuali aku.

Di sela-sela jemari tangan yang menutupi wajahku. Airmata terus mengalir.


Asin, manis, pahit dan beraneka rasa kurasakan saat ini.

Di depan mereka, kedua kakakku dan Pak Kiai Ali, kuraih tangan kekasihku.
Kucium tangan lembut itu sambil kuucap, "terima kasih sayang," di antara derai air
mata yang masih terus mengalir dan di antara sedu sedan yang tak bisa berhenti. Dia
telah menyematkan setangkai bunga cinta yang paling indah di dadaku. Aku
tersenyum di antara sedu sedan dan kebahagiaan.

***

8
Kupandangi dengan takjub menyingkirnya matahari yang menutupi rembulan
dengan perlahan-lahan. Aku berdiri di beranda pendopo. Kupandangi rembulan yang
sipit dan pelan-pelan membesar dari celah daun-daun cemara di taman pendopo
Dewan Kesenian Jawa Tengah Surakarta.

Aku bersapa sejenak dengan rembulan itu. Sebenarnya rembulan itupun


enggan diganggu sinarnya. Namun alam menghendaki lain maka rembulan pun pasrah
tertutup matahari hingga terjadi gerhana bulan penuh. Seolah aku mendengar
rembulan menasihati aku agar aku pun bersabar sejenak.

Kau heningkan cipta. Sapalah apa dan siapa yang berada di dekatmu.
Carilah arti dengan bahasa alam yang kau kuasai. Aku yakin kamu akan bisa
memetik hikmah di balik semua kejadian. Tak akan lama awan menutupi matahari.
Tak akan lama matahari menutupi jalannya rembulan. Bersabarlah, tawaqallah,
nikmatilah cobaan demi cobaan yang DIA berikan kepadamu."

Aku mengangguk. Kuhela napas panjang untuk menjawab sapaannya. Lenguh


kusut dan benak yang carut marut penuh beban batin yang tadi sangat menghimpit
kulepaskan perlahan.

***

Kulihat sepasang anak manusia berdiri di keremangan. Dari kejauhan tampak


gumpalan awan resah yang keluar dari bibir-bibir mereka. Napas-napas mereka
tampak bagai gumpalan kapas putih yang keluar dari hidung dan bibir-bibir mereka.
Gerak-gerik mereka yang resah berdiri sambil menggosok-gosokan kedua tangan
untuk melawan hawa dingin.

Mirip. Seolah jiwa-jiwa nan resah itu mirip dengan keadaanku. Tapi itu tiga
hari yang lalu. Kini tidak lagi.

Kini kunikmati irama kehidupanku yang kuanggap sangat berarti dan kini
telah kutahu inti kehidupanku. Kekasihku telah memberikan mutiara hatinya buat
mahar pernikahanku nanti. Dan aku menerimanya dengan suka cita.

Aku menoleh sejenak ke samping tempat dudukku. Kulihat kekasihku tertidur


dalam damai di sandaran kursi bus kota yang membawaku dari Surakarta. Aku
tersenyum. Kutengok jam yang melingkar di lengannya. Sudah jam sebelas malam.
Sebentar lagi bus sampai di kota tujuan yaitu Wonosobo.

9
Menuruni bukit Kledung Pas tatapanku kupertajam. Tiada tampak apapun di
depan bus yang aku tumpangi. Semua tampak putih mengejar, menabrak kaca bus
kota. Hanya tampak lorong putih kabut yang panjang, dihiasi lampu kabut dari
masing-masing kendaraan yang lewat. Aku bagai memasuki dunia baru. Dunia yang
tampak samar dan kuterjang bersama bus kota. Putih itu meninggalkan titik-titik
embun di kaca bus yang melaju tak peduli. Kupejamkan mata berusaha menggali
mimpi. Mimpi yang indah kuharap datang menghampiri.

Empat hari setelah lahirnya manusia baru. Pikiranku sudah tenang. Asa telah
tergenggam di tangan bersama dia yang kucinta. Meski kini sendirian di istanaku.
Kukerjakan semua kerjaaan seorang diri. Menyapu halaman, mencuci pakaian dan
menjemur baju. Hatiku terasa syahdu. Ternyata Tuhan mempunyai rencana yang lebih
baik buatku daripada yang aku rencanakan. Meskipun jalannya terjal dan berputar.

Yang pasti. Aku tetap bahagia karena dipersunting oleh manusia yang baru
lahir lewat Kalimah Syahaddat.

@ Istana Rumbia, 01 September 2007

10
Sekretaris

“Selamat pagi…?!
“Pagi juga Vi.”
“Sepi banget, yang lain belum pada datang ya?”
“Biasa…kalau bos belum masuk pintu, mereka masih nunggu di luar sana.”
“Ya udah. Aku masuk dulu ya Fer.”
“Ok. Oh ya Vi, kamu entar sore ada acara gak?”
“Ada. Emang ada apa?”
“Oh gak apa-apa. Lain kali aja.”
“Yuuk..”
Novi memasuki ruang kerjanya. Perasaannya agak sedikit lega menghirup
aroma pengharum ruangan. Dia menghirup udara dalam-dalam. Betapa dari kemarin
ia merasa sumpeg dengan sindiran dan bisikan di kanan dan kiri meja kerjanya.
Meskipun ia pegawai baru, namun bos nya yang selalu mengajaknya menemui para
pemegang saham membuat kecemburuan sosial di kantor itu. Perusahaan di mana ia
kerja adalah perusahaan besar yang banyak kedatangan tamu luar negri maupun lokal
untuk menanamkan sahamnya. Tak heran tamu asing sering datang dan pergi dari
kantor tersebut.
Di antara teman-temannya bukan tak ada yang fasih berbahasa inggris maupun
bahasa asing lainnya. Namun bos menunjuknya untuk mendampingi saat datang tamu
dari luar negri. Bos merasa puas dengan bekal bahasa yang Novi kuasai. Hal itu
membuat rekan kerja yang lebih senior merasa tersaingi dan kurang suka setiap
melihat Novi jalan bareng dengan bos mereka.
Awalnya ia tidak mau menunjukan kepandaian berbahasanya. Tapi saat itu
suasana benar-benar bikin dia mau tidak mau harus menampilkan diri. Kantornya
bergerak di bidang otomotif yang buka cabang di daerah gunung putri bogor. Hari itu
kedatangan tamu dari luar negri. Namun tamunya ini termasuk agak rewel dan milih-
milih penerjemah dari kantor tersebut. Sudah dua orang yang diajaknya ngobrol
tentang perusahaan, namun dia belum puas. Katanya penjelasan dari mereka
mengambang dan kurang jelas. Pak Dody berjalan ke luar masuk ruangan sambil
menggerutu dan bertanya
“siapa lagi yang fasih berbahasa inggris?”

11
T ernyata semuanya diam. Nyalinya menciut dan tak ada yang
berani unjuk diri. Tiba-tiba Ferdy menjawab.
“Bos. Itu sekretaris baru sangat fasih bahasa inggrisnya.”
“Huuuuuhh…?!” serentak terdengar nada mencemooh dari rekan rekan
seniornya. Sedang Novi yang di tunjuk oleh Ferdy mukanya merah dan telinganya
panas mendengar cemoohan itu. Ia jadi pingin membuktikan kemampuan
berbahasanya.
“Namamu siapa.” Tanya pak Dody
“Saya Novita Pak.” Jawab novi menunduk
“Benar kamu bisa bahasa inggris?"
"Akan saya coba Pak."
Ayo ke ruang direktur. Di sana ada tamu asing. Kamu ajak dia ngobrol tentang
perusahaan, ini brosurnya bawa buat pegangan.” Kata Pak Dody sambil menyerahkan
beberapa lembar brosur untuk promosi.
Novi mengikuti langkah bos nya, diikuti pandangan melecehkan dari rekan
kerjanya. Novi melirik sebentar pada Ferdy yang tadi mempromosikannya pada pak
Dody. Sedang pemuda itu masih memandanginya. Seolah matanya bicara kalau Novi
akan bisa meladeni tamu asing itu.
Novi masuk ruangan direktur. Rekannya yang tadi sedang ngobrol dengan
tamunya, di suruh keluar oleh pak Dody. Novi menempatkan diri di kursi yang
berhadapan dengan Mr William. Bos nya duduk di kursi sebelah kiri Mr William
menghadapnya. Novi mengucap salam pada tamunya, lalu mulai mengajak ngobrol
tentang perusahaan. Pak Dody mengangguk-angguk puas, melihat raut wajah cerah
Mr William. Pak Dody tak menyangka kalau sekretaris barunya itu begitu fasih
bahasa inggrisnya. Akhirnya jadilah Mr William menanam saham pada perusahaan
tersebut. Otomatis pak Dody berterima kasih pada Novi.
Baru saja Mr William pamit pergi, datang lagi tamu asing lainnya. Rupanya
tamu dari china. Pak Dody melarang Novi kembali ke meja kerjanya dulu.
Disuruhnya dia mencoba bahasa yang ia kuasai siapa tahu bisa nyambung.
"Novi, kamu jangan ke mejamu dulu. Yuk, kita sambut lagi tamu asing itu."
Novi diam saja. Ia menurut. Baginya bahasanya orang china juga tidak asing
lagi. Namun ia tidak mau menonjolkan diri sebelum dia buktikan di hadapan mereka.
Dia dan pak Dody menyalami tamu yang ternyata berasal dari Beijing itu. Mendengar
logat bicaranya, tahulah Novi kalau tamunya pasti susah ngomong pakai bahasa

12
inggris. Tamunya membawa penerjemah, tapi saat menyalaminya tadi, Novi berbicara
pakai bahasa yang sama dengan bahasa yang tamunya pakai.
Mr Ho. Senang karena bisa ngomong pakai bahasa ibu yaitu bahasa mandarin.
Pak Dody yang tadi sempat kuatir tentang bahasa tamunya. Kini duduk tenang,
bahkan terkesan bangga saat mendengar tanya jawab antara Mr Ho dengan Novita
sang sekretaris. Sekali lagi pak Dody tidak menyangka kalau Novi bisa berbagai
bahasa. Dia kagum juga. Sejak saat itulah. Novi selalu diajak menemui tamu-
tamunya.
Di luar ruang direktur. Berkumpul wanita-wanita pada mengintip di depan
pintu sambil mendengarkan pembicaraan di dalam. Mereka terlihat sengit mendengar
suara tawa tamunya juga tawa renyah Novita.
“Huh! Belagu. Kita aja yang udah karatan di sini kagak pernah ketawa-ketawa
begitu.” Sungut Nita
“Tapi nyatanya dia bisa bahasa mereka.” Kata Yanti
“Udah loe, jangan ngebelain anak baru deh!”
“Husssttt..jangan keras-keras. Nanti kedengaran dari dalam.” Kata Yanti
sambil menutup bibirnya dengan satu jari.
“Brengsek! Cari muka aja tuh anak.” Masih sungut Nita
"Loe masuk aja dan ganti posisi Novita, Nit, kalau memang loe jago berbahasa
asing.” celetuk Ferdy sambil tersenyum puas dari meja kerjanya.
“Kutu busuk loe, penjilat.”
“Ha, ha, ha, ha, begitu ya…?” ledek Ferdy
“Huh! Sebel”
“Seneng betul yee?!”
Rebut-ribut itu sepi seketika, melihat tamunya keluar dari ruang direktur. Di
ikuti oleh pak Dody dan Novi yang mukanya terlihat berseri-seri.
“Novita, terima kasih banyak yah!?” kata pak Dody sambil menjabat tangan
Novi
“Sudah kewajiban saya pak, saya bisanya Cuma begitu. Saya ucapkan selamat
ya Pak Dody atas keberhasilan kita hari ini.” Jawab Novi sambil menyambut jabat
tangan Bos nya di depan mata rekan kerjanya. Mata Nita melotot dan mulutnya
menjebi makin tebal melihat pemandangan di hadapannya itu.
“Selamat pak Dody.” Ferdy maju menyalami bos nya sambil mengedipkan
sebelah matanya pada Novi. Novi tahu itu artinya "tuh kan kamu bisa”

13
Sindiran maupun bisik-bisik di kantornya sering ia terima. Namun Novi tahu
diri dan berusaha menerima dengan lapang dada. Ia selalu menjaga sikap maupun
kata-katanya. Karena kalau di ladeni, sgosip akan makin kencang menerpanya. Ia
ingin kerja dengan damai demi keluarga yang ia tinggalkan di Jawa. Ia maklum
dengan sikap rekan kerjanya, karena baru empat bulan ini ia bekerja tapi sudah
mendapat kepercayaan dari bos untuk jadi penerjemah bahasa setiap tamu asing
datang ke kantornya.
Ferdy. Adalah satu-satunya rekan kerja yang bersahabat dan mengakui kalau
bahasa asing yang Novi kuasai memang hebat. Meski Novi selalu merendah dan
menyembunyikan keberadaannya siapa dia sebenarnya.
Setiap ditanya belajar di mana bahasa mandarin yang ia kuasai? Novi hanya
tersenyum sambil menunjukan buku mandarin di tangannya. Juga saat ditanya di
mana belajar bahasa kantonis, dan inggrisnya? Ia hanya senyum saja menjawab semua
pertanyaan rekan kerjanya. Sikapnya itu di anggap sombong oleh mereka. Tapi Novi
tidak peduli selama dirinya tidak menyinggung orang lain maupun mengganggu yang
lain.
Novi adalah perempuan berusia dua puluh lima tahun, sosoknya tinggi
semampai. Dengan rambut panjang sepinggang dan bentuk wajah oval yang tergolong
cantik. Dandanannya selalu rapi, body nya sexy. Setiap penampilannya selalu di
jadikan gossip murahan di kantornya. Katanya ia berselingkuh dengan bos nya. Tak
heran istrinya bos yang bernama Dora kini sering datang ke kantor guna mengecek
kebenaran desas-desus yang tercium olehnya.
Betapa Dora merah padam mukanya melihat Dody suaminya turun dari mobil
pribadinya di ikuti Novi. Matanya hampir loncat keluar saat memelototi sosok Novi.
“Pi, siapa dia?” tanyanya pada suaminya sambil menunjuk Novi
“Ini Novi. Kenalin Mah, dia sekretaris baru di kantor kita.” Kata Dody bangga
memperkenalkan Novi pada istrinya yang saat itu justru makin cemburu dengan
keramahan suminya atas Novi. Begitu bangganya suamiku atas sundal itu. Pikirnya
dengan kemarahan sampai di ubun-ubun.
“Halo Bu, apa kabar?!”
“Hemhh.” Jawabnya singkat dan angkuh.
“Mah. Kok tidak bilang atau nelpon dulu kalau mau ke kantor, kan bisa ku
jemput.” Kata Dody

14
“Gak perlu Pi. Aku Cuma mau bilang. Nanti pulang secepatnya.” Katanya
ketus sambil melirik ke arah Novi yang masih berdiri dengan tenang di depan pintu.
Sementara rekan kerjanya pada berkumpul sambil kasak-kusuk dan mata mereka
tertuju ke arah Novi dan bos suami istri.
Melihat istri bos pergi, bos serta Novi masuk kantor. Serentak mereka yang
berkumpul tadi bubar dan menempati mejanya masing-masing. Novi bukan tidak tahu
gerakan mereka itu. Tapi dia berusaha biasa saja karena memang tidak ada apa-apa.
"Ikuti perempuan itu Din."
"Iya Bu."
Novita turun dari ojek. Setelah membayar ia masuk pekarangan sebuah rumah
yang ia kontrak. Tanpa menoleh kanan maupun kirinya. Ia membuka pintu dengan
kemerincing suara anak kunci. Perempuan setengah baya yang duduk di dekat sopir,
masih mengikuti semua gerakan Novita dari balik kaca mata hitamnya. begitu Novita
masuk rumahnya, wanita ini mengajak sopirnya meninggalkan halaman itu.
"Ayo Din kita pulang."
"Emang siapa dia Bu?"
"Udah! bawel loe. bukan urusanmu tau!"
"Iya, iya Bu."
Tampak wajah perempuan ini kurang senang, namun ada kepuasan setelah
melihat dengan mata kepala sendiri di mana gadis itu tinggal "Awas kau sundal, kalau
masih merecoki suamiku, tau rasa kau nanti" gumamnya.
"Apa Bu?"
"Apa yang apa? gua kagak ngomong ama eloe tau! sopir bawel."
"Iya Bu maaf."
Perempuan setengah baya ini adalah Dora. Istrinya pak Dody. Begitu
cemburunya pada Novita, tapi ia ingin membuktikan bisik-bisik di luaran kalau
suaminya ada main sama sekretaris barunya itu. Kini ia sengaja mengikuti Novita dari
kejauhan. Ingin tahu di mana gadis itu tinggal dan bersama siapa?
Tadi yang dilihatnya, gadis itu tinggal sendirian karena pintunya ia buka
sendiri dari luar. makin kuat kecurigaannya kalau gadis itu suka membawa suaminya
datang ke kontrakannya.
"Pi. Pulangnya sore amat, dari mana saja?" tanya Dora melihat suaminya baru
turun dari mobil.

15
"Mah. kamu ngomong apa sih?! ya dari kantor lah. Emang dari mana lagi?"
sahut suaminya sabar.
"Kantor apa kantor?! habis jalan sama sundal busuk itu kan? ngaku aja deh
Pi." tuduhnya
"Mah. kamu ini kenapa? kok suami pulang langsung di sambut tuduhan
begitu?"
"Tak usah mungkir deh Pi. Mama dengar di luaran kalau Papi ada main sama
sekretaris baru itu."
"Novita maksudmu? Mah, mah. Papi sudah bilang, Novita itu sangat berjasa di
perusahaan kita. Dia bahasa asingnya sangat bagus. Maka Papi selalu ajak dia untuk
menemui relasi kerja Papi. Kok main tuduh sembarangan to Mah."
"Papi suka kan sama sundal itu?"
"Mah. Mamah bisa gak ngomongnya halus sedikit." bentaknya
"Tuh kan. tuh kan. Papi belain dia." sengit dora bicara sambil meninggalkan
ruang tamu. Suaminya geleng kepala melihat istrinya uring-uringan "Selalu begitu
bila melihat aku dekat dengan sekretaris, tapi baru kali ini aku cocok dengan
sekretarisku. Dia bahasa asingnya hebat. Aku tak boleh melepaskan dia dan tak
boleh istriku melecehkannya. Biar saja Dora marah. besok juga sudah sembuh"
bisiknya.
Jam lima pagi Pak Dody sudah berdandan rapi. Tas kantor sudah siap di sofa
tinggal angkat. Sementara istrinya masih tidur di kasurnya. Pak Dody menoleh sesaat
pada istrinya, tadinya mau pamit tapi dia ingat kalau istrinya masih marah gara-gara
kemarin pulang kesorean. di urungkannya niat pamit sama istrinya. dia melangkah
keluar dan berpamit sama mbok Iyem agar bukakan pintu garasi.
Hari ini Novita minta ijin cuti. Pagi-pagi sekali dia sudah berada di terminal
kampung rambutan. Sepertinya sedang menunggu seseorang. Ia tampak agak gelisah
menengok kanan dan kirinya seperti mencari-cari sesuatu. Saat itu ada sepasang mata
yang memandanginya dengan penuh kebencian. Si empunya mata ini bergumam
"dasar sundal. Pagi-pagi sudah parkir di sini. Pantas suamiku berangkat pagi buta
tanpa pamit dulu. Malah pamitnya sama mbok Iyem aku harus cek ke kantor
sekarang"
mobilnya pun meluncur pergi. Sementara Novita berteriak kegirangan melihat
siapa yang muncul di hadapannya.

16
"Sayaaang...akhirnya kamu datang. mama kangeeeen sekali. muah, muah."
Novi menciumi pipi kecil milik Mawar anaknya.
"Mama. Mawal kangen." kata anak itu
"Mas. Apa kabar? Mawar rewel gak di jalan?" tanya Novi pada Anton
suaminya yang sedang memandanginya penuh rindu.
"Baik, kamu sendiri sehat kan Vi? Mawar gak rewel, cuma sering minta
pipis." jawabnya sambil tersenyum.
"Aduuuh sayang.. di bus sering pingin pipis ya?"
"He eh."
Sudah enam bulan Novi meninggalkan kampung halaman di Jawa Tengah.
Rasa kangen pada anaknya tidak bisa di bendung, maka ia minta suaminya datang
membawa serta anaknya yang masih berusia empat tahun. Ia sengaja minta cuti hari
ini karena mau menjemput suami dan anaknya.
Novita adalah ibu rumah tangga yang berasal dari Jawa Tengah. Dia mantan
tenaga kerja wanita yang pernah merantau di negeri Malaysia dan Singapore. Cukup
empat tahun merantau, lalu menikah dengan Anton dan di karuniai satu anak
perempuan mungil yang diberi nama Mawar.
Dia menelpon suaminya agar bersatu tinggal di Jakarta. Tepatnya di daerah
Gunung Putri Bogor. Dimana dia mengontrak sepetak rumah yang selama ini
ditinggali se orang diri. Dia merasa sepi, apalagi dengan berbagai cobaan yang datang
menerpanya ia merasa berat menghadapi seorang diri. Ia berharap. Setelah berkumpul
dengan suaminya teror dari rekan kantornya akan reda.
Sementara di kantor. Bu Dora datang langsung menggeledah ruangan. Setelah
yang di carinya tak ada, dia bertanya pada salah satu karyawan di situ.
"Hey. Bos mu kemana?" Tanyanya dengan angkuh
"Belum datang Bu."
"Terus si sekretaris ke mana pula?"
"Enggak tau pula, dia juga belum datang."
"Binatang! siang-siang begini pasti sedang selingkuh ini Papi dengan sundal
busuk" rutuknya dengan marah.
"Dino. Ayo ketempat yang tempo hari kita kesana."
"Iya Bu."
"Cepat!!
"Iy ..iyya."

17
Selama dalam perjalanan Bu Dora mengomel panjang pendek. Dino si sopir
hanya berdiam diri saja karena takut di bentak nanti kalau banyak tanya. tak berapa
lama sampailah mereka di rumah kontrakannya Novita. Rumah itu kelihatan sepi dan
terkunci.
"Teng, tong. Teng, tong. Teng, tong," tak sabar Dora memencet bel pintu
berkali-kali.
"Ya. Tunggu sebentar," Terdengar seruan Novita dari dalam.
"Eh! ibu. Silahkan masuk Bu." Kaget hatinya melihat istri bos ada di
rumahnya.
"Jangan basa-basi loe ya sundal."
"Ini, ini ada apa ya Bu?"
"Suruh keluar suamiku. Siang-siang begini main selingkuh ngumpetin suami
orang." tuduhnya
"Bu. Maaf siapa yang ibu maksud suami orang?" tanya Novi dengan muka
pucat
"Sudah jangan banyak bacot! suruh suamiku keluar."
"Pak Dody tidak ada di sini Bu."
"Lihat tampangmu, siang-sing begini acak-acakan begitu lagi ngapain kamu
haa!? kalau tidak lagi selingkuh dengan suamiku"
"Mamaaaaaaaaa.......engh, engh...!"
"Iya sayang. Tak apa-apa kamu terbangun ya? cup muah, muah.!" sambut
Novi melihat Mawar terbangun dan menangis menubruknya. Novi membopong
anaknya sambil menghadapi istri Bosnya yang kini terlihat bengong seperti orang
bego!
"Itu, itu anakmu?" tanyanya gagap dengan raut wajah berubah-ubah. Kadang
merah kadang pucat dan bingung.
"Iya bu, ini anak saya namanya Mawar usianya empat tahun." jelasnya
"Ada apa ribut-ribut Vi?" tiba-tiba Anton muncul. Dia tidurnya terganggu
mendengar ribut-ribut di luar kamarnya. Dilihatnya ada tamu seperti orang
kebingungan.
"Oh, ada tamu? sudah lama bu?" sapanya dan menyalami bu Dora.
"Iya. Ini siapa?" tanya bu Dora makin bingung tidak tahu mesti ngomong apa
atas tuduhannya tadi.

18
"Dia Anton suami saya yang baru pagi tadi datang dari Jawa Tengah, makanya
hari ini saya ambil cuti karena menjemput anak dan suami saya di terminal kampung
rambutan pagi tadi." Novi menerangkan. Sedang Dora kebingungan serta malu besar
dengan tuduhannya. Tak ada jalan lain selain pamit pulang.
"Ya sudah saya pamit dulu."
"Duduk dulu lah bu." seru Anton yang sepertinya tidak tahu urusan tuduh
menuduh yang menimpa istrinya tadi.
"Sudah lain kali saja." jawab Dora sambil memandang iri atas kerukunan anak
ibu dan istri yang terlihat saling berpelukan di depan matanya. Terus terang kini dia
merasa cemburu melihat Novi memeluk anaknya. Dora menikah dengan Dody sudah
sepuluh tahun. Namun tidak punya anak satu pun. Makanya dia sering uring-uringan
melihat suaminya akrab dengan karyawan putri. Dia takut tersingkir dari hati
suaminya.
Sepeninggal Dora dari hadapannya. Novi memandang suaminya dengan
mesra. Ia berjalan sambil membopong Mawar dan tangan sang suami memeluk
pundaknya. Novita menghela nafas lega. Kini dia makin kuat dengan adanya seorang
suami dan anak di dekatnya. Apapun tak akan membuatnya cengeng. Dia pun segera
melupakan makian dan tuduhan dari istri atasannya barusan. Ferdy pernah bercerita
tentang sifat jelek istri bos nya itu bila sedang cemburu. Novita maklum.

@ Istana Rumbia, February2007

19
Bibir-bibir Ibu-ibu
 
            Nyinyir bibir-bibir tua ibu-ibu yang setiap hari kerjaannya ngerumpiin
tetangga. Malam ini tidak lagi sama. Terdengar suara merdu ditelinga kala bibir
nyinyir itu menyenandungkan lagu.
            “Nasabun tahsibul’ullabihulahu.” Bersamaan dan senada lagunya meluncur
merdu dari bibir ibu-ibu. Aku kagum malam ini karena biasanya mereka mempunyai
hoby berat ngerumpi di rumah tetangga. Baik saat sedang arisan maupun saat sekedar
berkumpul di beranda depan rumahku.
            Aku melirik Yu Siti. Dia baru saja menyandang gelar ibu Hajah beberapa
bulan yang lalu. Malam ini tanpa disengaja dia memimpin setiap bacaan Kitab
Albarzanji yang selalu ada disetiap malam sejak bulan maulud ini. Bergiliran dari satu
rumah ke rumah yang lain dengan sukacita menyambut giliran pengajian sholawat
Nabi tersebut.
            “Fikhubissayyidina Muhammad, Ya habibi…nurullibadrilhuda mutammam,
Ya Alloh.”
          Merdu sekali terdengar karena mereka semua kompak mengucapkannya
bersahut-sahutan dari pojok sana dan pojok sini. Aku hitung setiap malam yang
datang adalah satu Rt 03 termasuk aku dan berjumlah dua puluh tiga ibu-ibu. Aku
tersenyum sekaligus terharu melihat bibir mbah Somo tidak bisa mengikuti lagu yang
dibawakan oleh yang dianggap pemimpin malam itu. Namun mbah Somo tetap
semangat dan tak kentara kalau suaranya tenggelam oleh kekompakan suara ibu-ibu
yang lebih keras membaca Sholawat. Tertatih-tatih Mbok Karso berdiri dari duduknya
saat terdengar.
            “Asyroqol Badru‘Alaina, Fahthafat minhulbudur. Mislakhusnikmaro’aina
khotuyawajhassurrurr.” Semua semangat. Karena semuanya hafal lagu dan bacaan itu.
Aku mengedipkan sebelah mataku pada anakku yang ikut serta tetapi tidak ikut ber
Asroqol. Dengan ogah-ogahan anakku yang berusia tujuh tahun itu berdiri bersedekap
menirukan sikapku dan bibirnya ikut mengucap sholawat seperti bibir ibu-ibu. Bisa.
Anakku bisa mengucapkannya karena setiap malam kuajak dia membaca kitab
Albanzanji. Berpindah dari satu rumah ke rumah lainnya di sekitar Rt ku selama bulan

20
maulid ini. Kitab ini berisi syair yang indah. Mengagungkan Nabi Muhammad s.a.w.
Serta memperingati hari kelahiran Nabi.
            Saat sedang Asroqol. Mataku selalu usil. Kadang memandangi tikar lusuh
milik si empunya hajat yang sedang menggilir. Kadang, memandangi sosok anak
kecil yang dibawa oleh salah satu ibu atau salah satu cucu mereka yang tidur
bergelintingan di tengah kalangan dengan lucu. Anak itu gembira mendengar nada
lagu yang riang yang ibu-ibu itu bawakan. Mereka meniru nada lagunya kasidah
nasidaria atau meniru lagu dangdut. Tak pelak mbah Somo dan mbah karso pun ikut
gembira berdendang lagu sholawat Nabi dengan riang.
            “Allohummafirlanna dhunubana, waj’alilljannah mi’adana ya allah.
Robbifarhamna jami’a bijami’issholikhati ya allah.” Anakku dan mbok Ijah yang tadi
berdirinya sudah hampir menyandar di tembok. Kini ceria kembali dan bersemangat
lagi. Mbah Somo yang berdirinya sudah membungkuk, kini di tegakkan lagi
mendengar kawan-kawannya begitu ceria membaca shalawat itu, karena kalau sudah
sampai dibaca di bait itu, artinya sebentar lagi akan duduk kembali.
            Yu Sutar kebagian membaca beberapa lembar Alkitab tersebut. Kulihat mbok
Karso sudah duduk terkantuk-kantuk, dan anakku nyaris memejamkan matanya di
pangkuanku. Lagi-lagi mereka semua terbangun dengan gembira tanpa ada yang
membangunkannya. Setelah mereka mendengar  sang pemimpin si Ibu Hajah itu
mulai membaca “Allahumma ya Basittol yadaini bil’adiah.” Dan seterusnya. Semua
ibu-ibu yang tadi duduknya berselonjor kaki, kini menekuk kakinya. Anakku bangun
sendiri dan menengadahkan kedua tangannya sambil mengucap Amiiiiinn. Setiap Ibu
Hajah selesai satu ayat, mereka semua menyambutnya dengan ucapan Amin.
            Kantuk lenyap seketika. Mereka semua membaca dengan kompak menimpali
bacaan doa yang ibu Hajah bacakan. “Ya Arhamma Rohimin, ya arhamma rohimin.
Ya arhamma rohimin warij’alal muslimin.”
            Tanganku dicubit oleh tangan kecil anakku, kala anakku melihat berbagai
hidangan muncul dari ambang pintu dapur si empunya hajat. Tak sabar rupanya
anakku untuk segera mengambil makanan dan minuman yang sedang dikeluarkan.
Aku tersenyum. Karena memang setiap anak yang ikut ibunya atau neneknya akan
berbuat yang sama yaitu minta jajan dulu selagi jajanan belum keluar semua. Tak ada
satupun ibu-ibu yang mencegah karena semua maklum adanya.
Namun saat makanan sudah keluar semua. Disitulah diskusi mulai
dibuka tanpa ada yang memimpin dan tanpa ada yang membuka. Dengan sendirinya

21
bibir nyinyir ibu-ibu tak bisa dicegah untuk tidak nyinyir. Ya. Perbincangan seru baru
akan dimulai dan baru akan berakhir bila makanan dihadapannya sudah amblas.
Akupun salah satu dari mereka yang berbibir nyinyir. Apapun jadi perbincangan di
arena perkumpulan di manapun berada. Bersyukurnya. Bukan gunjingan. Namun
sekedar berbagi rasa karena mahalnya bahan pokok makanan di daerahnya, hingga,
tontonan televisi yang menyesatkan bahkan ngomongin hantu yang bergentayangan di
layar kaca.
Konon betapa hebatnya anak kecil sekarang. Karena tidak lagi takut dengan
hantu pocong. Karena setiap kali ditakuti hantu pocong, si anak akan meleletkan
lidahnya pada Emaknya sambil bilang. “Wek. Hantunya sudah jadi Artis Mak. Malah
kalau aku ketemu hantu aku akan minta duit padanya buat Emak.” si Emakpun hanya
angkat bahu mendengar komentar anaknya.
Tentu aku tidak ketinggalan untuk tidak ngoceh di kalangan. Aku bilang
dengan bangga pada mereka kalau di rumahku tak ada televisi. Bukan aku tidak bisa
membeli, namun aku lebih suka anakku baca buku atau main game di komputer.
Mereka tidak percaya bahkan setengan mencemooh. Katanya aku tidak sayang anak.
Masa televisi saja tidak mau belikan buat hiburan mereka. Aku tak perlu menjawab
komentar mereka. Toh aku sendiri yang tahu anakku akan pinter atau keblinger
setelah menonton sajian televisi yang begitu menghipnotis. sampai lupa waktu sholat
bahkan mengkorupsi waktu belajarnya.
Dan topik terhangat. Kalau baru saja terjadi pembunuhan dan pemerkosaan di
daerah Jawa Tengah. Iih serem. Aku lihat si Nunuk gadis anak tetanggaku yang masih
duduk dibangku SMP, meriding, meringkuk, mendengar berita dari bibir ibu-ibu yang
sedang bercerita dan cerita tersebut baru di dapatkannya dari layar kaca. ada cerita
dari ibu-ibu yang berada di pojok sana. Katanya baru saja ada berita tentang mayat
yang terpotong dan jasadnya di buang terpencar. Aku tidak merinding mendengar
hantu pocong. Karena di rumahku tak ada televisi dan aku tidak melihatnya. Aku
kasihan mendengar nyawa manusia tak ada harganya dan di buang begitu saja.
Kerupuk singkong dan pisang goreng yang ditaruh di hadapanku sudah habis.
Rasanya tak ada alasan lagi untuk duduk lebih lama di sini. Akupun berpamit pada si
empunya hajat sambil bilang kalau besok malam tiba giliran di rumahku. Mereka
mengikuti langkahku untuk berpamit pada yang punya rumah. Tak bosan, tak jenuh.
Kami warga desaku rutin mengadakan shalawatan setiap tahunnya sebulan penuh di
bulan maulud. “Marhaban ya nurul’aini marhaban jadalkhusaini... Marhaban Ya

22
marhaban.”
 @ Lipursari, 05 April 2007
SURAT DARI ALAM MIMPI

Mbak Lan Fang.


Aku kangen. Kenapa sms ku tidak pernah kamu balas?? Bosankah bersahabat
denganku? Aku rindu kecerewetanmu. Aku rindu menatap mata bintangmu yang
selalu berbinar dikala sexi bibirmu sedang bertutur. Aku tak pernah melewatkan
mataku untuk tidak memandang tahi lalat di dagumu dan aku gemas dengan
hidungmu yang bertengger manis di tempatnya.
Mbak. Aku manusia normal seperti yang pernah aku tanyakan padamu. Aku
mengagumimu bukan karena aku jatuh cinta padamu. Tapi dirimu sungguh
membuatku kagum. Kamu seniorku, guruku, wajarlah kalau aku mengagumi
kecantikanmu. Mengagumi karyamu, novelmu, cerpenmu. Seperti kamu juga pernah
bilang melalui milis Café de kosta, kalau puisiku bagus. Aku senang mendengarnya.
Sanjunganmu membuatku makin bersemangat untuk terus mengembangkan bakatku,
Meski aku jarang lagi bersapa denganmu.
Hidup dua hari bersamamu di istana rumbia ku, cukup banyak cerita
mengalir dan menyatu. Di tambah enam belas jam aku tinggal di rumahmu, makin
komplit kita saling tahu perasaan dan kemauan ke arah mana kita mau mengambil
jalan ke depan.
Betapa aku ingat dan tak bisa melupakanmu, saat mana kamu merebut sutil,
alat penggorengan, yang sedang aku pakai untuk membalik ikan yang sedang aku
goreng di dapur rumahku. Lalu kamu yang meneruskan menggoreng ikan-ikan itu.
Kemesraan kecil yang sangat mustahil dapat kulupakan, dan jauh dari bayanganku
sebelumnya, kalau wanita secantik kamu mau turun masak ke dapur rumahku.
Nyatanya kulihat tak ada beban tergambar di raut wajah cantikmu. Kamu tetap ceria.
Mbak Lan Fang. Aku kangen. Anakku juga menanyakan kabarmu. Tetanggaku
juga bertanya, kemana temanmu yang bule dan rambutnya bagus itu? Kok tidak
pernah ke sini lagi? Mbak, ternyata yang kangen bukan hanya aku, tapi semua yang
pernah melihatmu di istanaku.
Mbak. Ingat enggak? Kala di dapur rumahku, waktu itu aku bertanya sesuatu
tentang cinta?? Kini. Cinta yang kutanyakan padamu, telah menyatu denganku lewat

23
pelaminan. Ya. Dia kini telah menjadi suamiku. Dan menjadi ayah dari anak-anakku.
Sayang sekali kamu tidak hadir saat pernikahanku. Tapi sebaliknya. Aku akan hadir
ke pondok maspion di mana kamu tinggal di sebuah rumah asri bersama tiga jagoan
kecilmu yang lucu-lucu.
Aku ingin bercerita seperti dulu di teras rumahmu, bersama calon suamiku
dan diintai siput-siput yang merambat mendekati di mana kita duduk lesehan di
beranda. Di temani secangkir kopi, ubi goreng, dan pisang goreng yang kamu beli di
pepe legi.
Malam…
Kita tak puas bercerita sepanjang malam di ranjang indahmu. Sampai kantuk
menyerang dan mata terpejam tak terasa.
Pagi…
Jam tujuh aku dan calon suamiku terpaksa pamit, untuk kembali ke istana
rumbiaku yang jauh berada di Wonosobo. Meneruskan langkah mengemban misi dan
mencari visi kedepan nanti.
Mbak Lan Fang sahabatku. Kesibukan kita makin meningkat. Aku sadar itu.
Tapi tahukah kamu? Setiap aku masuk toko buku, selalu ku cari judul bukumu di
komputer. Masih sisa berapa? Masih ada judul apa saja? aku sangat gembira
melihat hasil karyamu memasuki kotaku. Mungkin bagimu aku bukanlah apa-apa.
Atau hanya sekedar pengagummu. Tak apa. Itu harus aku akui, kalau aku memang
mengagumimu. Tapi terus terang. Aku ingin kebersamaan seperti dulu tetap kita
jaga. Sejauh apa Wonosobo-Surabaya. Rasanya tak bisa menghalangi kemesraan
kita bersama untuk saling bertukar berita dan berbagi karya.
Rasanya sekian dulu coretanku untuk sahabatku. Maafkan semua kesalahanku
kalau memang ada salah. Dan ampunkan kekhilafanku kalau aku ada khilaf.

Tertanda

Aku yang lagi kangen

Aku termangu membaca selembar surat yang aku temukan di tumpukan


pakaianku. Aku berusaha mengingatnya. Akukah penulis surat tersebut?? Kapan kira-
kira aku menulisnya. Kok aku tidak ingat. Tidak ditulis tanggal kapan menulisnya
pula. Jangan-jangan aku menulisnya sambil bermimpi. Berbahaya sekali kalau itu

24
terjadi. Apa jadinya kalau surat yang aku tulis adalah surat cinta alias surat buat
selingkuhanku?? Gawatt!!?Semoga aku tidak berselingkuh. Amin. Pikirku sambil
menerawang dan masih terheran-heran.
Harus aku apakan surat ini? Kubaca dan kubaca lagi. Aku paham. Mungkin
malam itu, dimana aku menulis surat ini, aku sedang merasa kangen berat dengan
sahabat-sahabatku yang berada di Surabaya, maka aku sampai bermimpi menulis
surat macam begini. Tapi kenapa yang disebut di surat hanya satu nama. Mbak Lan
Fang saja. Padahal temanku cukup banyak di sana. Ada pak Bonarin Nabonenar, ada
mbak Ida, ada pak Kus Winarto, Winna, Mas Asa, ada pak Shoim, ada pak Syaiful,
ada pak Ali dan Juliet Veninnya, ada pak Budi Dharma.
Wah mengada-ada kalau mengaku pak Budi Dharma sebagai teman. Wong
bertemu muka juga belum. Bisik bathinku.
Meski masih banyak lagi yang lain. Kok aneh yang tertulis di selembar surat
ini Cuma satu nama saja. Apa adil ini? Tapi aku harus bertanya pada siapa?
Ya. Mungkin saat itu aku sedang teringat, sewaktu aku duduk di teras
rumahnya di pondok maspion ditemani beberapa ekor siput besar alias bekicot. He,
he, he, he, he. Seru juga.
Mungkin juga saat teringat betapa Mbak Lan Fang yang waktu itu duduknya
melorot dari jok motor ojekan di kampungku karena jalanannya menanjak? He, he,
he, he, he. Ini juga seru. Sudah tentu aku tahu karena aku mengikuti di belakang
motor yang ia tumpangi.
Atau barangkali, aku waktu itu sedang mengingat sebuah perjalanan di
Wonosobo di bawah guyuran hujan lebat. Bersama Winna, Asa, Pak Bonari, dan Stevi
Sundah. Duduk-duduk di alun-alun kota sebentar menunggu jam siaran, setelah tadi di
traktir makan nasi gudeg oleh mbak Lan Fang di Sruni Kota. Kali ini perjalanan
sedang menuju ke studio radio untuk talk show sebelum acara bedah buku di gelar
besok. Ah! Sebuah kenangan yang indah yang tak mungkin kulupakan.
Enaknya diapain ya surat ini? Perlukan dikirim via pos? Jadi aku bisa
mewakili aku yang ada di mimpi untuk menyampaikan surat ini hingga sampai ke
tangan mbak Lan Fang. Wah! Opo mbak Lan Fang punya waktu untuk membacanya
ya? Dia orang super sibuk. Tapi begitu sabar menghadapi ketiga jagoan kecilnya.
“Ibu yang baik” bisikku.
Anehnya lagi surat ini terlipat begitu rapi. Dimasukkan amplop tanpa dilem.
Ah! Entahlah. Apa yang terjadi saat itu tak ada seorang pun tahu. Aku pun tidak tahu.

25
Biarlah…akan kutitipkan pada angin lalu agar membawakan berita ini untuknya.
Sekalian titip berita buat Winna. Kalau bukit yang menurun dan diberi nama "Lima
menit lagi" sama Dani, kini sebagian telah menjadi milikku. Aku membelinya untuk
mengenang semuanya.
Kita coba bertanya pada rumput yang bergoyang…. Siapa?? Mengapa??
Kenapa?? Kapan?? dan dimana?? Aku menulisnya. Atau barangkali ada yang tahu
jawabannya?

@ Istana Rumbia, 14 Maret 2007


Spesial buat Mbak Lan Fang di Pondok Maspion

26
Chien Pao

Kutelusuri jalan ini sudah tiga kali bolak balik. Kepalaku menunduk begitu
dalam, mataku tak berkedip memandangi jalanan setapak pun tak terlewatkan. Aku
berjalan dari dekat rel kereta api pasar Pramuka hingga perempatan Salemba. Lelah
kakiku, masih ditambah lapar dan dahaga. Tapi yang kucari belum ketemu bagaimana
aku bisa berheti dan merenungi nasib sialku kehilangan chien pao.
Chien pao sebuah kata dari bahasa Cina yang artinya tempat uang atau
dompet. Kenapa aku pakai kata chien pao karena chien pao dan ang pao yang
mempunyai arti hampir sama itu punya kisah sendiri yang menarik bagiku. Hari ini
aku kehilangan Chien pao yang selalu ku pegang di tanganku terpisah dengan tas di
punggungku. Entah di mana aku menggeletakkan dompetku itu hingga sama sekali
aku tak terasa kalau barang itu telah raib dari tanganku. Aku sudah mencarinya bolak-
balik dari tadi hingga keringat membanjiri tubuhku. Lapar dahaga tak kupedulikan.
Uang di dalamnya aku tidak begitu memikirkannya namun beberapa surat penting
yang ada membuatku kelimpungan. Ada kartu ATM (anjungan tunai mandiri),
identitas Indonesia, identitas Hong Kong ku juga ada dua surat nikah yang mau
kupakai untuk mengurus perceraianku dengan suami gila itu.
Sungguh pusing bila harus mengurus semuanya dari awal. Saat ini aku masih
terikat kontrak kerja di Hongkong dan lagi ambil cuti karena mendengar kalau
suamiku yang kutinggal di rumah ada main gila dengan kawan karibku. Aku ingin
membuktikan sendiri berita itu dan ternyata benar bahkan kini kawanku itu sedang
mengandung anak dari suamiku. Aku tak mau di madu maka aku sedang urus
pereraian. Kalau kini kedua surat nikahku hilang, musnah sudah harapanku, suami
hilang, uang hilang, dompet hilang bahkan pekerjaan di Hong Kong terancam hilang.
Bagaimana aku bisa kembali ke Hong Kong kalau tak ada identitas Hongkong di
tangan. Aku tadi menemuinya untuk ajukan cerai padanya yang sekarang jualan
burung di pasar pramuka. Ternyata dia malah gembira dan menerima gugat ceraiku
dengan senang hati. Mungkin tadi aku berjalan sambil banyak melamun hingga
dompet hilang tak terasa.
Walau sudah tiga kali aku jalan bolak balik di jalan yang sama guna mencari
chien pao ku, aku masih berharap kalau barang itu akan ketemu. Mataku makin liar

27
kesana kemari, dari jalanan hingga tong sampah bahkan got atau saluran tak luput dari
pencarianku. Orang pada ngeliat aku bagai orang gila tapi aku lebih gila kalau chien
pao ku tidak ketemu maka kubiarkan saja orang memandangku penuh rasa heran.
Dandanan seksi tapi mengorek tong sampah bahkan tumpukan sampah di saluran air
tak luput dari gerak tanganku. Mulutku diam seribu bahasa tapi mataku liar penuh
sesal dan kecewa. Untung masih ada sebotol air mineral di tasku yang bisa
menghilangkan sekedar dahagaku. Di puncak keputusasaan kulihat sebuah benda
mengapung di saluran air yang kotor, setelah sampah di sekitarnya kusingkirkan.
Ternyata itulah chien pao yang sedang kucari dengan penuh harap. Aku bersyukur
chien pao kutemukan. Basah. Semua basah dan surat-surat masih utuh hanya uang
dan kartu ATM sebuah bank Indonesia saja yang raib.
Aku harus berterima kasih pada pencopet yang masih kuanggap baik meski
telah membuang dompetku kesaluran air. Tapi Tuhan masih menolongku hingga
kutemukan kembali dompetku ini. Orang-orang yang tadi memandangi aku penuh
heran, kini maklumlah kenapa aku seperti orang gila mengorek semua sampah yang
dilihatnya. Kukorbankan cincin di jari manisku untuk kujual buat biaya pulang ke
Jawa meninggalkan Jakarta yang penuh cerita.
Lebaran. Aku bagi ang pao atau amplop merah berisi uang untuk ponakan dan
anak-anak dari saudaraku. Memang ini bukan tradisi umat muslim, tapi itu sudah
kebiasaanku membagikan ang pao yang ku isi uang yang ku anggap uang saku buat
mereka. Setiap pulang cuti aku bawa banyak ang pao kosong dari Hong kong. Aku
bayangkan yang menerima ang pao itu aku saat di Hongkong, akupun senang dan
bahagia menerimanya tak peduli isinya berapa dolar tapi ada kebahagiaan tersendiri
karena menerima ang pao tersebut. Maka kemanapun langkahku di daerah aku bawa
juga beberapa lembar ang pao di saku bajuku. Suatu saat aku lewat di desa tetangga,
kulihat ada seorang anak usia sebelas tahun sedang menangis sambil mengamuk
emaknya. Sang emak konon sudah kuwalahan atas ulah anaknya yang sangat nakal
itu.
Dengan lembut kudekati anak itu. Aku ditendang dan diludahi. Aku tak kapok
dan maju lagi kubujuk dia dengan manis, lagi-lagi aku dimaki katanya aku siapa kok
ikut campur? Si emak memandangku dengan kuatir dari kejauhan. Aku dekati lagi
dan kubujuk anak itu. Setelah gagal dan gagal lagi baru aku ingat ang pao yang ada di
saku bajuku. Aku ambil satu lembar dan dengan halus aku bilang.
“Dik, ini buat kamu nanti kamu akan senang deh”

28
“???! ...,” masih dengan menangis anak itu menerima bahkan terkesan
setengah merebut ang pao dari tanganku. Dia bolak balik ang pao itu hingga terlupa
akan tangisnya. Dia pandangi warna merah bergambar di luar amplop itu sambil
terheran-heran.
“Dik, buka saja ada isinya kok itu,” kataku lembut setelah melihat dia tidak
menangis lagi. Dia memandangiku sekejap seolah minta ketegasan. Benarkah?! Lalu
dia buka amplop merah itu.
“Maaakkkk....!! Isine duwit sepoloh ewu (Isinya uang sepuluh ribu), Maak!!”
seru anak itu. Terlihat dia lari ke emaknya. Terlihat wajahnya sumringah gembira
sekali. Dia sudah lupa kalau baru saja menangis berjam-jam. Akupun pergi dari situ.
Tapi baru melangkah pergi si emak memanggilku.
“Mbak....terima kasih ya? Kamu bisa membuat anak saya diam, padahal sudah
dua jam dia menangis dan susah didiamkan malah ngamuk seperti yang mbak lihat
tadi.”
“Syukur dia sekarang diam, Mbakyu.. Jaga dia baik-baik. Dia sudah capek
menangis tadi,” jawabku sambil tersenyum dan pamit pergi dari situ.
Di Hong Kong, aku punya cerita sendiri tentang chien pao. Aku ikut majikan
yang tinggal di Siu Hong Tuen Muen. Saat holiday (liburan) aku suka membantu
agency mengantar berkas dari Indonesia ke agency di lain kota, kadang ke Tai Po,
kadang ke Causeway Bay. Hari itu aku dari Tai Po naik Siu pa (bus kecil) menuju
Yuen Long. Turun dari bus aku masuk pasar Yuen Long dan berniat membeli sekotak
strowbery. Pas mau bayar kucari chien pao ku kok tidak ada, wah payah jangan-
jangan di copet orang. Ah, itu suatu yang mustahil di Hong Kong terjadi. Pasti atas
keteledoranku hingga dompetku terjatuh. Aku yakin benar itu hasil keteledoranku
karena belum ada sejarah ada copet di Hong Kong.
Aku minta maaf pada penjual buah karena tak jadi membeli karena chien pao
ku hilang. Aku lari ke Pasi cam (terminal bus) di mana parkir beberapa siu pa (bus
kecil) seperti yang kunaiki dari Tai Po tadi. Aku minta ijin pada pak sopir akan
maksudku mencari, barangkali, dompetku terjatuh di dalam busnya. Setelah diijinkan
oleh beberapa sopir bahkan dibantu oleh mereka aku mencari keberadaan dompetku
namun hasilnya nihil.
Aku bingung harus bikin alasan apa pada majikanku nanti. Maka aku minta
tolong pada para sopir bus kecil disitu untuk memberitahu temannya yang
menemukan dompet yang ada samfenching (KTP) Hongkong atas namaku dan kuberi

29
salah satu sopir itu kopian kartu identitas yang ada dan nomor telpon rumah majikan.
Siapa tahu ada yang menemukan dompetku bisa menghubungi aku nanti. Setelah
mengucapkan terima kasih pada sopir itu aku mampir di agency untuk pinjam uang
buat pulang ke rumah majikan.
Sudah pasti aku kena marah atas hilangnya dompetku tersebut. Namun
majikan memujiku atas kecerdikanku tidak tinggal diam bahkan mencari dengan
caraku ngasih kopian KTP-ku itu pada mereka. Belum dua puluh empat jam dari
hilangnya chien pao ku. Ada orang menelpon dan mencari namaku. Ternyata dari
salah satu sopir siu pa yang menemukan chien pao ku dan aku disuruh mengambil di
kantor polisi terdekat.
Akupun bilang pada bos ku kalau chien pao ku diketemukan oleh pak sopir
dan harus ambil di kantor polisi. Aku di antar oleh bos ku datang ke kantor polisi
yang berada di Fung Ning Road. Sebuah kantor polisi besar di sekitar kota Yuen
Long. Setelah ditanyakan segala sesuatunya yang ada hubungannya dengan isi
dompet, aku disuruh mengambilnya di ruang dalam. Aku diantar masuk oleh petugas.
Serem.
Itu kesan pertamaku memasuki ruang pemeriksaan. Melewati beberapa pintu
terali yang kokoh dan tak bisa dibuka dari luar. Aku bayangkan bagaimana kalau
pesakitan yang masuk sini pasti susah keluarnya. Aku disapa oleh polisi wanita yang
ramah sekali. Setelah dicocokkan isi dompet dengan kata-kataku, dompet diserahkan
padaku. Wajahku merah padam menahan malu karena semua uang receh dan kartu
yang menghuni dompet dilem di selembar kertas dan dijelaskan satu persatu padaku
barangkali ada yang hilang. Aku malu karena uangku paling hanya beberapa puluh
dolar Hongkong saja isinya dan dijabarkan didepanku seolah polisi takut dicurigai
mencuri duitku.
Tanpa pikir panjang aku iyakan saja apa kata polisi tersebut. Entah kenapa aku
percaya penuh pada mereka. Aku di antar keluar dari ruangan tersebut dan terlihat bos
ku menantiku dengan cemas. Setelah melihat kemunculanku baru nada lega terpancar
dari raut wajahnya. Di jalan dia penasaran atas jalan cerita pengambilan dompetku
lalu kuceritakan sekilas. Dia memujiku katanya aku cerdik hingga dompet yang hilang
bisa ketemu. Lagi-lagi wajahku merah padam kala aku bertanya pada bos ku.
“Bos. Mungkin tidak sopir itu ambil sedikit uangku buat ongkos jalan ke
kantor polisi?”

30
“Wah. Mareng a, ini Hongkong. Tak mungkin itu terjadi. Kamu jangan
berpikir begitu lah.”
“Ah. Maaf kan aku, Bos,” kataku penuh sesal dan malu.
“Mareng a, apa di Indonesia bisa terjadi begitu ya!?”
“??@???@@@??” aku yang dipanggil Mareng a oleh bos ku tak bisa
menjawab pertanyaannya. Tapi wajahku makin merah karena malu. Bos ku pun tidak
bertanya lagi.

:: Kilas balik Siu Hong, Hongkong::


@ Istana Rumbia, 23 November 2006

31
Kacung Mintuno

“Met siang …?!”


“Siang juga.”
“A.s.l. pls ….?!”
“F.33. And u?”
“M. 30. Ker / kul?”
“Ker.”
“Kamu kerja di mana?”
“Apa penting …?”
“Kayaknya seeh.”
“Aku cuma seorang babu kok!”
“Babu juga manusia. Tapi, apa iya ya? Babu kok bisa main internet. Chatingan
dan pakai web cam lagi. Keren banget.”
“Itu gak penting. Eh you-nya kerja di mana?”
“Aku arsitek. Tukeran foto yuuuk ..?!”
“Ok. Eh real name (nama asli) please ….!?”
“Namaku Kacung Mintuno. Namamu siapa?”
“Aku Tumi. Tapi biasa dipanggil Mimi. Ini buka deh! Nanti you bisa lihat
tampangku ok? Http://www. mimi boldrive.com. Atau ini http://mimi.multiply.com.”
“Ok. Thanks ya? Loh. Ini kan website??? Ah masak sih kamu kerja jadi
babu?”
“Ada yang aneh? Atau gak pantas kenalan dengan seorang babu?”
“Oh, no!! Sorry. Bukan begitu maksudku. Ini loh. Setelah kubuka isinya
ternyata web-mu luar biasa. Di luar negeri lagi. Ada fotomu yang pake toga segala.
Itu foto saat kamu sedang wisuda ya?”
“Ya begitulah adanya. Seperti yang you lihat. Aku memang babu. Sekarang
kerja di Hong Kong. Dulu pernah kerja di Taiwan.”
“Luar biasa. Hong Kong memang indah. Aku pernah dua kali main ke Hong
Kong tapi cuma mampir dan nginap di Hotel Peninsula saja. Trus mainnya di Star
Ferry deket Victoria Harbour. Ini kamu tak kirimi pic.-ku ya?”

32
“Makasih ya..? Jadi you tidak memandang rendah dirikukah?”
“Ya enggak lah. Apapun profesi kita pada dasarnya sama saja. Yang
membedakan, bagaimana orang menyebut dan memandangnya. Bagiku tak masalah
kenal dengan siapapun. Toh di mata Tuhan kita berkedudukan sama.”
“Duuhh… Terima kasih ya Mas Kacung, sang arsitek, atas luasnya
pandanganmu. Tapi maaf ya? Aku online sudah lama maka sudah saatnya off (cabut)
nih!”
“Sayang sekali ya? Tapi tak apa deh. Kita bisa sua lain kali. Eh makasih juga
ngobrolnya. Jangan lupa kalau mau online sms aku ya? Ini nomor hp-ku.
0815xxxxxxx.”
“Iya deh. Thanks (terima kasih) aja.”
Sepanjang perjalanan pulang dari holiday (liburan kerja) kali ini pikiranku
dipenuhi oleh sikap dan gaya bicara teman baruku, si Kacung Mintuno. Aku juga
agak heran mendengar nama orang tersebut, “Kacung”. Sebuah nama yang udik
banget. Tapi siapa sangka kalau benar seperti pengakuannya. Dia seorang arsitek.
Tadinya, percaya atau tidak, aku tidak peduli. Tapi begitu membuka kiriman foto-
fotonya yang sedang beraksi di Star Ferry dekat Victoria Harbour aku jadi percaya.
Tempat itu memang di Star Ferry. Itulah tempat yang biasanya aku nongkrong
bersama teman-teman setanah air. Tempat buat bersandar perahu pesiar dan dari
dalam perahu tersebut biasanya akan muncul tampang-tampang Jawa alias asli
Indonesia.
Menurut pendapatku Kacung Mintuno orangnya baik dan rendah hati.
Kapan-kapan aku sms dia deh kalau mau online. Eh tadi dia bilang aku aneh. Babu
kok bisa main internet malah punya website pribadi. Terus sebenarnya yang aneh
siapa ya?
Tak terasa kereta Teng-teng Che yang aku naiki telah berhenti di Cheswood.
Tempat tinggal bosku. Aku turun dengan tenang sambil benakku masih dipenuhi
bayangan Kacung Mintuno dengan segala obrolan tadi. Baru kali ini aku menemukan
seseorang yang asik diajak ngobrol dan rendah hati. Tidak sok seperti yang selama ini
aku alami. Pernah aku sekali ketemu dengan orang yang mengaku pemain figuran
film. Omongannya selangit dan sangat merendahkan profesiku. Aku memang tak
pernah menutupi profesiku pada siapapun teman yang ketemu di dunia maya. Namun
jarang yang awet.

33
Kutengok jam yang melingkar di pergelangan tanganku. “Baru jam delapan,”
kataku pada diriku. Aku belum ingin pulang ke flat. Paling bosku makan malam di
luar. Tadi mereka telpon dan katanya kalau aku pulang ya pulang aja. Konon mereka
mau makan Shushi di restorant Jepang dekat kompleks perumahan ini.
Telpon genggam yang kupegang bergetar sambil mengalunkan lagu 'without
you'-nya Mariah C. Tertera nama Iyem di layar handphone-ku.
“Wai (halo)…?!”
“Mi. Kamu di mana? Masih di Causeway Bay?”
“Tidak. Aku sudah pulang nih.”
“Ngapain kepagian pulang? Tadi gak online ya?”
“Online kok. Sorean. Cuma dua jam aja.”
“Dapat gacoan berapa? Dapat korea lagi ya? Ha, ha, ha.”
“Sampah! Gak lah. Aku ngobrol ama cowok dari Indon aja. Asik orangnya.”
“Namanya siapa? Kerja di mana dia?” tanya Iyem penasaran.
“Namanya Kacung Mintuno. Ngakunya sih seorang arsitek gitu.”
“Ha, ha, ha, ha, ha. Kamu kok mau sih dibohongi gitu. Mana ada kacung jadi
arsitek. Cari yang keren. Kebarat-baratan gitu loh! Kayak Kacung gitu sih, not my
level (bukan standarku).”
“Ya wes (udah). Itu hak asasi kok. Terserah yang menilai aja.” Aku agak
tersinggung. Entah kenapa aku tidak terima kalau teman baruku itu diejek oleh Iyem
sahabat karibku.
“Oh ya. Kapan kamu jadi ambil cuti pulang Indo?”
“Minggu depan. Ada apa?”
“Mau nitip barang sedikit.”
“Ogah ah! Berat. Kalau mau nitip tuh duit. Sebanyak apa aku bawain deh.”
“Cuma handphone (telpon genggam) buat adikku kok. Biar aku bisa
menghubungi orang rumah.”
“Iya wes. Aku mau naik lift nih. Bye (sampai jumpa) ….?!”
“Bye ….!?”
Uh ! Iyem nyebelin. Selalu saja menilai seseorang dari nama dan ujud luarnya
doang. Aku sih berharap bisa bertemu Kacung Mintuno lagi. Bukan title (gelar
kesarjaan)-nya yang aku suka. Namun sikap dan pembawaan yang rendah hatilah
yang mampu membuatku punya penilaian lain terhadapnya.
***

34
Tak terasa persahabatanku dengan Kacung Mintuno makin dekat. Apalagi
setelah jumpa darat. Kedekatan makin terasa bahkan nadanya ada sinyal-sinyal cinta
antara aku dan dia. Juga sebaliknya. Tiga tahun berlalu bersamaan habisnya kontrak
kerja yang aku ambil. Aku tak ingin lagi merantau. Aku mau berdagang lagi seperti
dulu. Selain itu akan aku kembangkan bakat sastra yang aku punya.
***
Sejak aku bergelut di bidang sastra istilah sastra profetik yang pernah ditulis
oleh Prof. Kuntowijoyo (alm.) selalu kupakai. Alhamdulilah istilah itu menggelinding
dengan menggembirakan. Awalnya berat juga menggelar wacana sastra tersebut. Tapi
dorongan yang Kacung Mintuno berikan tidak kusia-siakan. Berbagai kegiatan sastra
kami kunjungi baik di kota sendiri maupun di luar kota. Bahkan Jakarta, Yogyakarta
dan Surabaya sering kami datangi. Tak aneh bila mendengar teman-teman ada yang
memanggil kami dengan cara menyatukan nama menjadi Mimi Mintuno. Dimana ada
aku di situ pula ada Kacung Mintuno yang telah menjadi belahan hati.
Aku dan Kacung tak pernah meladeni ledekan maupun sindiran teman yang
membanding-bandingkan antara aku dan Kacung. Ada yang iri padaku. Orang-orang
itu pernah berkata tentang posisi Kacung. Bagi mereka Kacung rugi mendapat
pasangan mantan babu. Tapi bagi kami tak ada istilah untung rugi untuk bercinta.
Komitmen telah mengikat kami. Cinta Mimi Mintuno adalah cinta yang tak
membedakan status tapi punya wawasan ke depan secara bersama.
Satu titik pandang yang bernama kebahagiaan akan kita tempuh bersama
meski harus melewati jalan yang berliku. Jurang dan ngarai sekalipun. Sang waktulah
yang selalu menguji perjalanan cinta Mimi Mintuno. Cinta aku dan Kacung.
***
Lima tahun telah berlalu sejak aku kenal dengan Mas Kacung Mintuno. Kini
aku bahagia hidup bersama Mas Kacung yang telah resmi menjadi suamiku dan Mas
Kacung yang dulu beda agama kini telah menjadi seorang mu’alaf. Dengan sabar dia
turut mengaji, ikut tahlilan di rumah tetangga dan kemana-mana selalu ada buku
suratan atau Juz Amma. Aku bahagia melihatnya.
Aku senang dan tidak pernah tersinggung dengan sebutan mantan babu.
Terkadang dengan mantan tkw. Itulah kenyataan. Untuk apa aku harus malu. Justru
dengan aku menjadi tkw alias babu, aku menjadi aku yang sekarang. Yang pasti Aku
telah bisa mengalahkan aku. Tidak seperti dulu. Aku begitu egois. Setiap ada yang
bertanya padaku, ”Mbak, sampeyan kerja menjadi babu ya? Sampeyan jadi tkw?”

35
Telingaku akan merah dan mukaku bagai udang direbus saking (akibat) malu dan
tersinggung. Tapi itu dulu sebelum Aku terkalahkan oleh aku.
Kini aku nikmati hari-hari dengan bahagia. Berkumpul dengan anak-anak dan
Mas Kacung. Suamiku selalu setia memotivasi aku dalam segala hal. Tak bosan dia
mengingatkan akan egoku di sela waktu kerjanya, baik lewat telpon maupun
berdiskusi langsung saat sedang makan bersama anak-anakku.
***
Enam tahun hampir berlalu. Namun kata-kata Mas Kacung di awal perkenalan
masih terngiang di telingaku.
“Babu juga manusia. Tapi, apa iya ya? Babu kok bisa main internet. Chatingan
dan pakai web cam lagi.”
Masih ada lagi,
“Ya enggak lah. Apapun profesi kita pada dasarnya sama saja. Yang
membedakan, bagaimana orang menyebut dan memandangnya. Bagiku tak masalah
kenal dengan siapapun. Toh di mata Tuhan kita berkedudukan sama.”
Itulah kata-kata Mas Kacung yang membuat aku merasa bahwa aku adalah
manusia.

@ Istana Rumbia, 01 Maret 2007

36
Tugu Monas Jadi Saksi

Tuhaaan…!!!
Ok. Aku segera menuju kesana. Sabar ya mbak? Aku baru pulang dari urusan
pemesanan perlengkapan. Tunggu ya…??

Aku tersenyum membaca sms dari panitia yang akan menjemputku tersebut.
Dari kemarin aku sudah bilang kalau aku akan tiba di Jakarta lebih pagi. Karena aku
akan naik pesawat yang paling pagi dari bandara Adisutjipto Yogyakarta.
Sesuai dengan TOR yang dikirimkan lewat e-mail lima hari yang lalu.
Memang hari ini banyak sekali acara maka sengaja aku datang lebih pagi meski
kurang tidur. Semalam acara di kabupaten baru selesai jam delapan malam, aku
langsung berangkat ke Yogyakarta dan paginya terbang ke Jakarta.
Tiba di Arion Plaza aku langsung sms panitia. Ternyata mereka belum siap di
situ. Setengah jam kemudian penjemput datang. Tak pelak puluhan kali maaf ia
ucapkan atas keterlambatannya menjemputku meski aku sedikitpun tidak pernah
menyalahkannya.
Baru tiba lima menit di kantornya. Langsung dua orang anggota teatre
menyodorkan naskah padaku. Maksudnya untuk minta pertimbangan apakah sudah
pas cerita yang akan di bawakan nanti.
Setelah kuteliti sejenak aku punya pendapat.
Alangkah akan lebih baik kalau beberapa baris kata-kata protes itu di
utarakan melalui gambar yang di bawa oleh salah satu pemain nanti.
“Mbak Moni, tolong kasih masukan, ini baiknya bagaimana?” kata Dewi salah
satu pemain teatre yang maju ke arahku membawa naskah dialog yang akan di
bawakan nanti malam.
“Emhh…Bagaimana kalau bentuk tulisan itu diganti dengan bentuk gambar
yang warna warni.” Usulku. Kulihat rona cerah di wajah Dewi.

37
“Ya begitu Mbak kami juga maunya begitu, tapi kami bingung bagaimana
cara mengungkapkannya.” Aku tahu dia jujur karena terlihat nada bingung pada
suaranya.
“Bagaimana kalau yang baris pertama itu kamu jadikan lukisan. Kamu bisa
kan? Bikin lukisan yang berbentuk kantong celana yang penuh berisi uang lalu
disebelahnya ada hantu yang matanya melotot kearah kantong celana tersebut? Aku
rasa dengan begitu kita bisa menohok langsung pada pelaku bila si pelaku nanti tahu
aksi kita malam nanti.”
“Sip! Itu yang saya mau mbak. Tapi kenapa dari tadi kita tidak punya ide
kesitu ya?.” Kata Dewi cerah lalu cekatan dia mengambar seperti yang aku tunjukan.
Selesai satu sketsa. Aku sodorkan lagi satu ide untuk baris ke dua.
“Nah! Yang ke dua. Kamu gambar sesosok hantu yang seram tetapi hantu itu
berdasi.”
“Yap. Tepat mbak.” Seru Dewi. Dan kulihat wajah panitia yang menjemputku
tadi sangat tidak enak saat Dewi banyak tanya padaku. Dia mendekati Dewi dan
membisikan sesuatu lalu mbak Mus bilanng padaku.
“Mbak. Maafkan Dewi ya mbak, dia terlalu agresif dan kurang inisiatif. Mbak
baru datang sudah direpotkan. Sekali lagi maaf ya mbak?” kata Mbak Mus dengan
sungkan.
“Tak apa kok. Sudah sewajarnya aku menunjukan.” Jawabku santai. Lalu aku
kembali menunjukan pada Dewi bagaimana cara melukis untuk baris yang ketiga, ke
empat dan sampai enam macam gambar ku kasih instruksi pembuatannya.
“Terima kasih Mbak . Akhirnya selesai dan bagus sekali semua gambar yang
Mbak buat.”
“Bukan aku kok yang bikin gambar.” Jawabku.
“Iya. Tapi kan atas petunjuk Mbak Moni juga.”
“Kebetulan saja aku bisa.”
“Ya sudah. Terima kasih banyak. Sekarang mbak Moni istirahat saja dulu,
nanti saya kasih tahu kalau penjemput dari Hotel Bidakara sudah datang.” Kata
direkturnya. Yang dari tadi hanya mendengarkan dan melihat semua yang aku dan
teman-teman pemain teatre lakukan.
Sebuah taksi Celebrity berhenti dan menunggu di depan kantor. Setelah aku
mandi dan berganti pakaian aku dan managerku diantar oleh panitia, pergi ke Hotel
dengan taksi tersebut. Tiba di Hotel Bidakara, seorang pria ganteng berbaju koko

38
bercelana hitam dipadu dengan lilitan kain batik warna merah sebatas lututnya.
Menyambutku dengan ramah saat aku turun dari taksi Celebrity di depan pintu Hotel.
Aku mendekat ke ruang recepsionis disambut gadis cantik yang murah
senyum. Aku terkesan melihat dandanan gadis itu. Ia memakai kemeja putih di padu
safari merah dengan kombinasi rok warna hitam dan berdasi batik menyambutku.
Setelah ku katakana siapa adanya aku lalu dia bicara sebentar dengan pria elegan yang
sedang berdiri dengan penuh wibawa. Pria itu pakai stelan jas biru berkemeja putih
dengan dasi batik membicarakan sesuatu dengan gadis tadi sebentar lalu
menyodorkan amplop tebal. Gadis recepsionis itu lalu menyerahkan amplop tebal tadi
padaku. Setelah mengucap terima kasih. Aku buka amplop tersebut yang ternyata
isinya kunci kamar dan beberapa lembar voucher panduan selama aku tinggal di Hotel
tersebut.
Kuhempaskan tubuh di kasur tanpa terlebih dulu membuka sepatu serta ganti
baju. Mataku nyalang menjelajahi seluruh sudut ruangan kamar Hotel di mana aku
telentang di atas kasur yang empuk. Baru dua menit kemudian aku bangkit berjalan
menuju bar kecil yang berada di sudut kamar. Aku memilih minuman karena di situ
tersedia beberapa macam minuman.
Saat aku sedang mengaduk cappuccino, telingaku menangkap suara senda
gurau yang renyah diselingi suara kecipak air. Kusingkap tirai gorden jendela sedikit.
Aku tersenyum melihat sepasang anak manusia sedang berkejaran sambil berenang.
Kutaruh cangkir yang berisi cappuccino hangat di meja dekat bar kecil tadi
dan kain gorden kusingkap semua. Aku duduk menikmati cappuccino sambil
mempelajari makalah yang aku bawa. Aku bersyukur karena tulisanku menembus
kesasaran. Hal itu sangat membuatku bahagia. Bagaimapun awalnya tulisanku yang
bernada keras agak membuatku kuatir. Namun setelah mengudara di sebuah Radio di
daerah Kendari. Ada sebuah lembaga di Jakarta yang mendengar lalu mencariku dan
mengundangku untuk menjadi pembicara pada seminar yang dia adakan. Dan malam
nanti seminar itu akan dilaksanakan di Hotel Bidakara. Hemmmhhh.. aku sudah siap.
Bisikku.
Suara dering telpon genggam ku berbunyi nyaring. Ternyata teman wartawan
yang akan meliput untuk di muat di media luar negeri yaitu Hongkong mencariku.
Tadi aku sudah pesan pada recepsionis kalau ada yang nyari aku bernama Eko harap
dikasih petunjuk ruang seminar. Karena dia seorang wartawan yang aku bawa. Maka
dengan senang hati gadis yang menjadi recepsionis mengiyakan. Bagaimanapun dia

39
senang karena nama Hotelnya juga kebawa ke Hongkong masuk berita liputan. Maka
kini aku suruh saja mas Eko menuju ruang Rama. Di mana seminar nanti malam jam
tujuh akan di selenggarakan.
Aku menengok jam yang melingkar di pergelangan tangan, baru jam lima tiga
puluh, berarti aku masih bisa tiduran di kasurku. Dering telpon membangunkanku.
Saat kuangkat ternyata yang menelpon adalah recepsionis.
“Mbak Moni, makan malam telah tersedia di dekat ruang rama. Mbak di
tunggu teman-teman anda.” Kata recepsionis sopan dan merdu.
“Iya baik. Saya segera turun ke sana.” Jawabku sambil bangun dari tiduran
dan bergerak ke kamar mandi untuk mengguyur tubuhku yang ternyata cukup penat.
Maka kubuka air dengan menyetel agak panas hingga perasaan segar kembali.
Kusamperin kamar managerku lalu turun bareng ke lantai dasar. Baru masuk
lift ada sms masuk. Ternyata dari panitia.
“Mbak Moni, makan malam sudah tersedia di lantai dasar dekat ruang rama.
Di tunggu ya…?! Terima kasih.”
Lagi-lagi aku bikin cemas orang. Gumamku. Terlihat managerku tersenyum
tanpa komentar. Apa aku bergerak lambat? Atau itu kewajiban panitia untuk selalu
mengingatkan? Pikirku.
Tiba di ruang makan, aku disambut teman-teman. Ternyata semua tamu
undangan sudah berkumpul di situ dan semua panitia sudah pula selesai makan.
Pantas mereka kuatir aku tidak turun . Pikirku.
Jam tujuh tepat. Acara seminar di buka. Di awali dengan penampilan Agus
PM Toh. Seorang ahli cerita dari Aceh. Berikutnya tampilnya group teatre yang akan
membawakan cerita (performance). Aku berdebar karena hasil pemikiranku akan
dibawakan oleh mereka sekarang. Aku berdoa semoga penampilan mereka
memuaskan. Terlihat banyak pengunjung terpana dan meng angguk-anggukan
kepalanya. Akupun puas. Aku jadi grogi saat namaku di panggil untuk tampil dan
duduk di kursi pembicara yang sudah di sediakan.
Setelah menyalami sang moderator yang ternyata seorang artis terkenal itu,
aku duduk di sebelahnya. Tidak tahu kenapa, serta merta hilang sikap grogi yang tadi
sempat hinggap di hatiku. Syukurnya seminar berjalan lancar dan seru. Si oneng sang
moderator cantik tampil membacakan puisinya yang memukau. Tiba giliranku untuk
tampil membacakan puisi karyaku pula. Aku serukan semua suara hati melalui

40
puisiku yang telah di sebar ke semua pengunjung. Aku puas melihat mereka puas
mendengar aku baca puisi.
Setelah menanda tangani deklarasi kain putih, aku kembali ke kamar hotel. Di
luar pintu banyak wartawan mencegatku untuk sekedar wawancara. Ada juga dari
radio. Aku puas melihat semua puas pula mendapat jawaban apa yang mereka
pertanyakan padaku. Ku hempaskan tubuhku dan kubiarkan dingin Air Conditioner
ruangan menggigiti tubuhku hingga perasaan capek hilang, baru aku bergerak ke
kamar mandi.
Semalaman aku bincang-bincang dengan managerku tentang acara sore tadi.
Aku dan dia sangat bahagia bias menyelesaikan satu tugas hari ini. Besok pagi masih
ada satu tugas lagi menanti. Aku berangkat tidur jam sebelas malam dan langsung
pulas tidur tanpa mimpi.
Jam tujuh pagi aku beranjak ganti baju lalu menelpon teman-teman Komunitas
untuk menanyakan apakah mereka semua telah berkumpul di bundaran HI. Setelah
mendapat kepastian katanya jam delapan baru kumpul aku sempatkan sarapan pagi
dulu.
Aku mengunci pintu kamar bernomor T.407. lalu mengahampiri managerku
untuk kuajak makan pagi bersama di restoran kenanga. Sambil mengobrol dengan
managerku aku perhatikan kerapian pakaian pelayan restoran yang semua berseragam
kemeja putih ber rompi warna hijau dan bercelana biru. Meja depanku penuh
hidangan yang managerku ambilkan. Terlalu banyak batinku. Sarapan pagi dengan
salad dan roti panggang. Segelas kopi tak bisa aku tinggalkan. Itu menu utamaku
setiap hari. Rupanya managerku sudah paham hal itu. Akupun mengucap terima kasih
padanya.
Setelah semalam aku dan si Oneng serta si Perahu Retak. Ber interaktip. Kini
bersama pula merayap menyusuri jalan dari bundaran HI menuju Istana Merdeka
untuk menyerukan satu suara. Bersama ratusan bahkan ribuan orang yang berkumpul
di pelataran Tugu Monas. Aku tampil membaca satu puisi karyaku. Di situ aku
merasa terharu atas kekompakan masyarakat DKI Jakarta yang datang berkumpul di
bawah Tugu Monas. Mereka sengaja datang untuk ikut serta berpartisipasi berdoa
bersama. Dalam rangka Istighotsah Qubro bersama ratusan bahkan ribuan orang guna
mendoakan para pekerja rumah tangga (Buruh Migrant) di luar negeri. Agar selamat
dari gangguan orang luar maupun gangguan orang Indonesia sendiri di Bandara
terminal tiga Soekarno Hatta. Saat itu aku sangat terharu sampai menitikkan air mata

41
atas kekompakan mereka semua mendoakan teman-teman seperjuanganku di luar
negeri.
Peserta istighotsah kubro saat itu yang kebanyakan ibu-ibu, ingin tahu
bagaimana prosesnya sampai aku bisa seperti saat ini berdiri di panggung kehormatan.
Bahkan dengan begitu percaya diri mampu memukau pendengar dengan puisinya
yang menghentak.
Bagiku hari itu adalah prasasti kebangkitan buruh migrant dari sikap sinis dan
pelecehan. Aku berani bertaruh di saksikan Tugu Monas yang berdiri dengan
gagahnya di belakang panggung yang ku pakai untuk menyuarakan suara hati melalui
sebuah puisi. Dan ribuan merpati yang terbang lalu lalang memandangku begitu riang,
seolah mengucap salam merdeka buruh migrant. Juga ratusan polisi yang menjadi
pagar betis di depan Istana merdeka yang memandangku dengan sejuta tanya. Aku
adalah aku yang tidak peduli semua pertanyaan mereka siapa aku.
Yang pasti aku ingin mewakili teman seperjuangan agar nasibnya di
perjuangkan di tanah air sendiri. Aku ingin mereka sejahtera bekerja di negara
tetangga tanpa kuatir dan harus mendapatkan perlindungan dari pemerintah yang
sedang berkuasa. Hingga jangan sampai pemerintah hanya menghitung nominal yang
masuk Negara dari para pejuang devisa. Semoga karya dan prakaryaku akan selalu
mendapatkan ridho-NYA.

@ Istana Rumbia, 01 Maret 2007

42
Embun Pagi di Hong Kong
 

        Priiiiit…..priiiiiiiittt……priiiiiiiiiitttt.!!!

      Wanita itu tidak menghiraukan seruan peluit yang ditiup oleh petugas untuk
menghentikan langkahnya. Dia berlari dan berlari terus. Sambil satu tangannya
memegang ujung gaun yang dipakainya, disingkapkan ke atas sebatas lututnya. Dia
berlari terus dari pagi, siang dan malam, Tak henti berlari melewati jurang, ngarai ,
jalan raya maupun hiruk pikuk pasar di dalam maupun di luar negeri. Terus saja
berlari tak sudi sedikitpun menengok ke belakang tubuhnya.

       Wanita usia tiga puluh lima tahunan itu terus berlari menatap mantap ke depan
tak peduli orang mencibir, mencemooh dan berbisik-bisik keheranan melihat dirinya
berlari tanpa menengok kanan dan kiri. Seluruh jalan di jagat raya ini dianggap
miliknya. Tak heran banyak manusia sekelilingnya yang memaki dan mengumpat
kelakuannya yang berlari-lari di keramaian kota, kecamatan, kabupaten, ibukota,
menyeberang lautan hingga ke luar negeri. Wanita itu terus berlari.

      Orang bertanya, “Kenapa kamu terus berlari ? Apa yang kamu cari ?” Wanita itu
tak berhenti untuk menjawab sambil tetap berlari dia menjawab, “ Aku mencari
setetes embun pagi.” “Gila.” Rutuk seseorang di sebelahnya mendengar wanita itu
berlarian mencari setetes embun pagi. Mana ada embun pagi di siang hari bolong
begini. Pasti wanita itu telah gila, pikirnya.

      Ratusan orang bengong melompong melihat dan mendengar ada wanita yang
berlari sambil menyingsingkan gaun bawahnya hingga tersingkap sebatas lututnya.
Seorang ibu penjaja warung di pinggir jalan bertanya pada pembantunya.

      “Nem, wanita gila itu berlari mengejar apa? Kok dari kemaren aku melihatnya
berlari terus tak pernah sekalipun berhenti? Apa dia robot yang tak punya rasa
capek?"
      Inem menjawab, “saya tadi bertanya padanya tapi dia tak mau menjawab. Dia
hanya melirik dan telunjuknya teracung ke langit, entah apa maksudnya. Udahlah bu,
jangan dipikirin nanti kita ikut jadi gila karenanya.”

43
      Pagi, siang, hingga sore wanita itu terus saja berlari bahkan perempatan lampu
merah diterjangnya hingga berkali-kali pak polisi meniup peluit untuk
menghentikannya. Namun wanita itu tak gentar dan terus berlari membuat pak polisi
mengejar dengan motornya dan sekali lagi meniup peluitnya.

    Priiiiit….priiiiit…..!!

    "Berhenti kau wanita. Ini di Hongkong. Kamu tak boleh sembarangan berlari. Nanti
menabrak orang lain,” seru pak polisi itu.

     Wanita itu tak menggubrisnya terus berlari sambil sesekali satu tangannya
melepaskan gaun dan kedua tangannya menengadah ke langit sambil tetap berlari.
Tak ampun dia keserimpet gaunnya sendiri hingga jatuh tersungkur di depan
Hongkong Bank. Wanita itu nanar sebentar lalu lari lagi, matanya nyalang, bibirnya
pecah tergigit. Hidungnya bengkak karena keseringan membuang ingus sambil
berlari. Telinganya memanjang dan menebal bagai telinga gajah yang begitu kebal
terhadap suara-suara di sekitarnya. Tak ada kerjaan lain selain berlari dan berlari.

      Sore hari terlihat wanita itu berdiri sebentar di bawah pohon ek. Dia mengoyang-
goyang pohon ek tersebut sambil membuka kancing blouse-nya yang paling atas. Tapi
tiada apapun terjatuh dari pohon ek itu yang masuk ke dalam blouse-nya. Wanita itu
kecewa serta menendang pohon itu lalu berlari lagi.

      Wanita itu menyesal telah berhenti tadi. Kini dia mendaki bukit di sekitar Aviary
Pagoda Yuen long, Hongkong. Orang-orang heran dan berbisik. “Tumben wanita itu
bisa berhenti”. Terlihat wanita itu berjongkok di sekitar rumpun keladi. Dia mencari-
cari sesuatu di atas daun keladi. Dengan selembar tisyu diusapnya setiap permukaan
daun keladi. Wanita itu sering menggeleng dan menekan dadanya yang terlihat begitu
nyeri. Wanita itu marah pada daun keladi yang selalu menggeleng bila ditanyai.
     Dengan pisau dapur yang berkilat tergenggam di tangannya wanita itu membabat
habis rumpun keladi di sekitar dia berdiri.

     Wanita itu berlari lagi setengah putus asa. Kini terlukis senyuman berbisa di
bibirnya dan melempar lirikan genit pada pendatang laki-laki lain negeri. Satu, dua
tiga laki-laki terhipnotis lirikan wanita yang sedang dan terus berlari itu. Para laki-laki
lain negeri terus mengikuti kemana wanita itu berlari.

     Salah satunya adalah seorang Babah yang sok bisa berbahasa Indonesia
menegurnya. ”Hayy yaaaaaaa…………, Kowe kenapa telus belalii. Kowe Ayu… .

44
Belenti di sini menjadi isteliiii…. Hayyaaaaa…….”

     Wanita yang sedang berlari mengerem langkahnya secara mendadak hingga
gaunnya terlepas dari pegangan tangannya. Dia begitu kaget mendengar seruan dari
Babah tadi yang menawarkan dirinya untuk jadi istri.

     Sementara beberapa laki-laki lain negeri yang mengikutinya tadi tidak tahu bahasa
yang mereka gunakan hingga terus saja mengejar wanita itu. Hal ini membuat wanita
tersebut menabrak Babah lalu oleng dan jatuh tersungkur di hadapan Babah itu.
Mungkin karena wanita itu sudah capek berlarian sepanjang masa maka kakinya
setengah lumpuh kala mendengar kata-kata Babah tadi. Dengan limbung wanita itu
terjatuh tepat di pelukan si Babah yang sok bisa berbahasa Indonesia.

     “Hayyaaa……..Ini jodoh. Kowe sekalang jatuh dalam pelukanku…….Itu peltanda


kowe calon isteli….Hayyaaaa……”

     Wanita tersebut pingsan di hadapan beberapa laki-laki yang berusaha menggapai


tubuhnya tapi dengan sigap si Babah membopong tubuhnya untuk dibawa masuk ke
dalam rumah dan berusaha menyadarkan dia dari pingsannya.

     Wanita itu sadar dari pingsannya dan merasa nyaman terutama kakinya tidak capek
lagi tapi dia kaget melihat senyum si Babah yang saat itu sedang duduk di hadapannya
sambil melempar semua jerat rayunya.

     Wanita itu bangun dan tak peduli lagi pada si Babah lalu keluar rumahnya dan lari
lagi. Dia berlari ke arah pegunungan yang tampak di kejauhan dan diikuti oleh suara
alam yang berbisik di telinganya. Sebuah bisikan senandung kedamaian yang mampu
menghilangkan kekuatiran. Katanya, sebentar lagi akan ketemu apa yang dicari oleh
wanita itu selama ini.

     Sesampainya di atas gunung wanita itu bisa menghentikan langkah larinya bahkan
bisa menghentikan gerakan kakinya untuk tidak melangkah lagi. Kini dia melepas
penat menghela nafas berat bercurah kesah dengan alam sekitarnya sambil duduk
bersemedi dan tak bergerak bagaikan telah mati.

     Kala fajar menyingsing di ufuk timur pagi hari. Wanita itu terjaga karena kini dia
bisa membedakan suara, membedakan warna, bau dan rasa. Matanya bisa melihat,
telinganya bisa mendengar desau angin yang berbisik merdu padanya. Tanpa dicari
dan disadari, kini di depan matanya, dia melihat sekumpulan tetes embun di pagi hari.

45
     Saat itulah terdengar saluran air meratap bagai seorang ibu kehilangan anaknya.
Wanita itu bergerak melangkah perlahan. Alam mengulurkan tangan persahabatan
dengan keindahannya. Namun sering wanita itu takut akan kesunyiannya dan memilih
tempat perlindungan di dalam kota. Berlarian berdesakan satu sama lain bagai
kawanan domba di hadapan serigala yang berkeliling mencari mangsa. Suatu tragedi
yang bermain di panggung waktu.

    Dalam kesunyian, wanita itu mendengar suara melayang-layang di sekitar jiwa
yang menjerit dalam keputusasaan dan mendendangkan lagu harapan.

    Wanita itu berhenti lagi untuk bersemedi di atas panggung waktu. Melepas penat
dan resah yang menghimpit sambil berusaha melepas serta mengurai benang-benang
kusut kehidupan dalam keheningan. Hingga terurai seuntai rantai yang
menggabungkan pesona masa lalu dengan kemegahan masa depan, menyatukan
keheningan perasaan dan kerinduannya mencabik kerudung rahasia cinta.

     Wanita itu bisa menangis. Baginya derai air mata yang menyedihkan terasa lebih
manis, ketimbang derai tawa seseorang yang mencarinya namun untuk
melupakannya. Rupanya kini telah ditemukan jati diri lewat hikmah
ketidakberdayaan-nya dan telah tergenggam asa di tangannya. Wanita itu tidak akan
pernah melepaskannya lagi walau apa yang terjadi.

@ Srimpi baru, 26 juli 2006

46
Rembulan di Pucuk Menara

Aku tidak tahu, kenapa malam ini perasaanku tidak enak dan begitu aneh saat
mendengar seruan azan dari masjid di desaku. Dadaku terasa begitu sakit, bagai
dipukul dengan palu godam. Berdegub begitu cepat, seolah aku sedang diburu
sesuatu. Biasanya tidak begini. Biasanya kalau mendengar seruan azan, perasaan
begitu damai dan tenang. Kini perasaanku bagai ditarik begitu kuatnya, entah
kekuatan apa? Untuk datang kearah seruan azan itu berkumandang. Setiap hari aku
juga sholat berjamaah di masjid tersebut. Namun tidak pernah ada perasaan seperti ini
sebelumnya.
Segera aku mengambil air wudhu lalu mengenakan mukena bagian atas,
seperti biasa kalau aku mau ke masjid. Aku merasa sepertinya sedang ada yang
sedang menungguku tapi entah siapa. Atau itu hanya perasaanku saja.
Meski terburu-buru tapi langkahku mantap. Aku masih senyum-senyum
sambil geleng kepala mengingat saat berbuka puasa tadi. Ada seekor cicak meloncat
masuk ke dalam panci panas yang sedang kupakai membuat takjil kolak. Kasihan
sekali melihat cicak itu terebus matang hingga aku tidak jadi makan kolak tersebut
malam ini.
Aku kaget. Karena makin lama langkahku makin ringan. Bahkan melayang
beberapa centi di atas jalan beraspal. Mukena berenda biru yang kupakai tersebut,
mengembang bagai layar perahu. Takjub aku melihatnya karena kakiku tidak
menginjak tanah lagi.
Kutengok kanan dan kiriku. Sepi, lengang. Tidak ada orang lain yang
melewati jalan ini. Jarak dari rumahku ke masjid memang cukup jauh. Keluar, masuk
gang jalannya berkelok-kelok. Tapi anehnya dorongan angin yang mengembangkan
layar mukena yang kupakai tidak berubah dan terus mendorongku ke depan. Mukena
berenda biru yang kupakai melambai-lambai indah sekali.
Aku tersenyum lebar kala mendongak. Aku mendapat sapa dari rembulan di
pucuk menara. Ia begitu elok. Bangunan masjid sudah tampak di kejauhan.

47
Pandanganku yang tadi bersapa dengan rembulan, kini menurun ka arah atap
bangunan dan menurun lagi ke pelataran masjid.
Aku terkejut. Saat ada seseorang menyapaku. Padahal dari tadi tidak ada siapa
pun di sekitarku. Aneh. Mukena yang ku pakai yang sedari tadi berkibar-kibar,
mendadak berhenti. Langkahku pun jadi seperti biasa dan menapak jalan beraspal
lagi.
Kakek itu memandangiku sambil tersenyum. Dia dengan santai duduk di atas
sedel sepeda tuanya yang disandarkan pada tiang menara bagian bawah. Kakek itu
memakai sarung putih kotak-kotak, sorban putih, dan baju koko juga berwarna putih.
Kakek itu usianya sudah sangat tua, tapi begitu cakap dan bersinar wibawa. Aku
tergagap menjawab salam darinya. Aku mendongak lagi memandang rembulan
mencari jawab di antara tanya tapi tak ada jawab di sana.
Kuteruskan langkah untuk menaiki tangga masjid yang menghubungkan
dengan pintu masjid. Selesai sholat tahiyatal masjid, dudukku menggeser mendekati
mereka para jamaah yang lain. Meski masih kepikiran sosok kakek tadi, namun aku
berusaha melupakan. Mungkin orang lewat dari lain daerah pikirku.
Usai sholat tarawih, aku pakai kembali sandalku yang berada di pelataran
masjid dengan tenang. Mukena berenda biru bagian atas masih kupakai. Karena itu
kebiasaanku setiap dating ke masjid. Sedang mukena bagian bawah, kulipat rapi
bersama sajadah berwarna kuning yang ku sampirkan di lengan kiriku.
Begitu keluar dari tangga masjid. Angin bertiup begitu kencang dan mukena
yang kupakai kembali berkibar-kibar bagai layer terkembang. Dorongan angin yang
mengembangkan mukena kembali mengangkat tubuhku beberapa centi dari tanah.
Kakiku tidak lagi menginjak tanah, sama seperti saat berangkat. Kedua kakiku tetap
melangkah namun aku tidak merasa jejakan kakiku pada tanah.
Kudengar celoteh anak-anak yang tadi ikut sholat tarawih berjamaah. Ternyata
mereka tertinggal begitu jauh dariku. Mungkin jalanku yang begitu cepat pikirku.
Padahal tidak ada yang perlu di buru-buru, toh aku hidup seorang diri di rumah
kontrakan ini. Juga tidak ada pekerjaan kantor yang harus aku selesaikan malam ini.
Namun kaki ini tidak bisa dihentikan.
Mukena yang terkembang melambai-lambai dengan indahnya. Membawa
kebahagiaan di hatiku yang susah di gambarkan dengan kata-kata. Seolah ia sedang
bercerita tentang surga. Mukena berenda biru itu seolah tahu, apa yang sedang aku
pikirkan dan apa yang ku inginkan. Ia melambai, menari-nari di depan mataku. Aku

48
menikmati tariannya yang menyentuh-nyentuh tubuhku dengan gemulai bagai tarian
selendang yang di pegang oleh seorang puteri dari kahyangan. Aku tersenyum takjub
dan bahagia sambil terus malangkah untuk pulang.
Tiba-tiba tarian mukenaku berhenti mendadak. Setelah kulihat seseorang di
depan rumahku sana. Ternyata dia adalah kakek yang ketemu saat berangkat tadi
sedang bersandar di menara masjid. Kini dia sedang memandangiku sambil
tersenyum. Dia juga masih duduk di atas sedel sepeda tuanya yang dia sandarkan pada
pintu gerbang rumah yang ku tinggali. Dia hanya mengangguk saja tanpa menyapa.
Dalam hati aku bertanya siapakan gerangan kakek ini? Kok tahu kalau ini
rumah yang kutinggali? Atau dia sengaja menungguku?terus mau apa dia?
Setelah gagap sebentar. Aku membalas anggukannya dan meneruskan langkah
memasuki pintu gerbang bercat hijau rumahku. Mukena berenda biru tidak lagi
berkibar. Ia diam menempel di tubuhku seolah selesai sudah tugasnya hari ini.
Kulepas mukena berenda biru itu dan ku pandangi berlama-lama. Lalu kulipat
rapi. Aku merasa sepertinya baru saja mendapat spirit ajaib. Hingga langkahku dan
semua gerakku terasa ringan tanpa beban. Malah aku bisa bersenandung untuk
menemani diri sendiri malam ini.
Sholallohu alla yasiin
Ahmadal hadhil amiin
Waallihill muqorrobiin
Washohbihi wattabi’in.

@ Istana Rumbia, 7 Oktober 2006

49
Jendela Kehidupan

Rumah itu. Sebenarnya bila dipandang sekilas sama sekali tidak ada sesuatu
pun yang menarik. Rumah kecil milik Lek Hadi tersebut bagian bawahnya dibeton
tanggung, tanggung di sini karena batu batanya masih mentah dan terlihat menonjol di
sana-sini tanpa diplester pakai semen. Pagarnya terbuat dari papan kusam karena usia
rumah itu memang sudah tua. Jendelanya bergerigi di sana sini dimakan rayap.
Bahkan kaca tipis yang ada di tengah-tengah jendela itu nyaris copot dari tempatnya
karena bingkainya sangat rapuh. Atapnya, usuk penyangga genting sudah pada reyot
di sana sini pula. Sering aku memandangi genting yang nyaris pada jatuh dari tempat
penyangganya dengan prihatin namun aku tidak keluar kata pada Lek Hadi.
Diantara bagian-bagian rumah Lek Hadi tersebut. Ada satu bagian yang sangat
menarik hatiku. Yaitu jendela kayu. Ya. Jendela berdaun kayu itu bisa kusebut jendela
kehidupan. Betapa indahnya sebutan itu. Namun menurutku itu pas dengan kenyataan
yang ada. Rumah yang reyot begitu bisa mempunyai jendela kehidupan. Namun
hanya aku yang bisa melihat dengan mata hatiku.
Tujuh tahun yang lalu, Lek Hadi adalah musuhku. Aku benar-benar
menganggapnya musuh. Karena dia telah menipu Ibu dan Bapakku. Saat itu orang
tuaku masih segar bugar. Bapak bilang padaku kalau tahun depan mau menunaikan
ibadah haji. Aku tentu senang. Apalagi aku saat itu masih menjadi perantau di luar
negeri. Maka dengan senang hati aku berjanji pada diri sendiri kalau tiba waktunya
nanti. Aku akan ikut membantu orang tua memberinya uang untuk menambah ongkos
naik haji.
Tunggu punya tunggu, tak ada berita lebih lanjut tentang keberangkatan Bapak
dan Ibuku ke Makkah. Hingga dua tahun berlalu tak ada berita tentang itu. Aku
mencari berita melalui surat, dijawab oleh kakakku kalau tak ada berita apa-apa. Aku
tidak puas karena beberapa waktu lalu Ibuku begitu gembira memberi tahu kalau

50
tahun depan mau menunaikan ibadah haji berarti dua bulan lagi waktunya akan tiba.
Maka aku menyempatkan menelpon ke rumah iparku dan mencari kabar.
Terkejut aku mendengar kalau tanah yang di gadang-gadang mau di jual oleh
orang tuaku untuk biaya naik haji tersebut, ternyata di pinjam oleh Lek Hadi. Dengan
janji, orang tuaku mau di ganti ongkos naik haji tahun berikutnya untuk dua orang
penuh.
Bapakku yang pada dasarnya orangnya baik hati dan jauh dari suudhon. Di
kasihkan saja tanah itu untuk dipinjam Lek Hadi yang konon akan dipakai biaya
keberangkatan menantu dan anaknya merantau ke Taiwan.
Namun apa yang terjadi? Setahun, dua tahun, tiga tahu, Lek Hadi belum ada
niat mengembalikan uang tanah, bahkan janji yang dulu kalau ditanyakan selalu
berkelit.
Ibuku jatuh sakit terserang stroke, karena terlalu banyak mikir dan selalu
bersedih. Bapakku tidak berdaya untuk menagih kembali uang yang dipinjam Lek
Hadi.
Betapa geram aku mendengar dari kejauhan tentang hal itu. Tapi aku juga tak
berdaya untuk membantu kedua orang tuaku karena bebanku juga sangat berat dengan
menghidupi enam orang anak seorang diri.
Ternyata semua saudaraku mulai beraksi. Rupanya mereka tidak terima kedua
orang tuanya diperlakukan begitu. Betapa mengenaskan niat baik orang tuanya di sia-
siakan oleh Lek Hadi. Maka mereka sepakat mengambil alih rumah milik menantunya
Lek Hadi yang berada di sebelah rumah Lek Hadi untuk pengganti tanah yang dulu di
jual oleh Lek Hadi.
Baru satu hari aku di rumah setelah kepulanganku dari luar negeri. Aku di
keroyok keluargaku dengan maksud, agar aku mau membayar rumah yang mereka
sita dari Lek Hadi. Aku tidak mau. Aku tak bisa hidup di desaku alasanku dengan
penuh kesombongan yang tertular dari luar negeri. Namun tetangga kanan dan kiriku
pada ikut mendorongku agar mau membayarnya. Mereka bilang, “rumah itu kalau
kamu tidak suka ya buat anakmu kelak”. Maka aku mau mengganti dengan uangku.
Resmilah rumah milik menantu Lek Hadi menjadi milikku. Meskipun rumah itu
bentuknya masih sangat memprihatinkan.
Bata merah yang di pakai bukanlah berwarna merah. Tapi putih dan masih
mentah. Jendela masih belum satupun berdaun jendela. Genting penuh sarang laba-
laba. Tapi aku berusaha mencintainya karena inilah milikku sekarang. Dengan uang

51
yang masih tersisa. Aku berusaha membangun rumah itu hingga berbentuk rumah
walau belum cukup uang buat menutup atap dengan plafon. Aku terbang lagi ke luar
negeri cari modal.
Di situlah kebencianku pada Lek Hadi makin menumpuk. Karena setiap hari,
Lek Hadi putri selalu menakut-nakuti anak-anakku, katanya di rumah itu ada
hantunya. Ada demitnya dan sebagainya. Akhirnya anakkku minta pindah dan bersatu
lagi dengan nenek yang tinggalnya tidak begitu jauh dari rumah tersebut.
Keluargaku tahu itu akal Lek hadi untuk mengusir anak-anakku dari rumah itu
karena cemburu sosial. Maka tidak patah semangat mereka menasihati empat anakku
untuk tetap memakai rumah itu. Katanya “kalau tidak mau menmpatinya, nanti Lek
Hadi akan tertawa kegirangan dan bertepuk tangan penuh kemenangan”. Akupun
sering menelpon mereka memberi semangat agar jangan patah arang dan jangan takut
apa-apa. Takutlah pada Tuhan saja nasihatku. Seyukurlah anakku mendengar
nasehatku. Lama kelamaan mereka betah di rumah.
Dua tahun berlalu. Akupun pulang kembali dan menetap di rumah. Setahun
pertama. Aku bagai hidup di kancah perang. Dinding rumahku sering dicoret dengan
makian. Aku hapus tapi esoknya dicoret lagi. Begitu seterusnya. Aku punya tetangga
yaitu Lek Hadi. Namun tak pernah bertegur sapa apalagi main kerumahnya atau dia
kerumahku layaknya tetangga lain. Lek Hadi kakung, putri, bahkan anaknya yang
menetap di Jakarta, begitu benci melihat aku menetap di rumah.
Tiba saatnya aku tak tahan dengan semuanya. Aku melihat anak perempuan
Lek hadi pulang. Dia dulu punya hutang denganku satu juta rupiah. Maka kini
kesempatanku untuk menagih kembali uang yang dia pinjam enam tahun lalu. Tak
tahunya bukan uang yang kudapat. Tapi kericuhan, perang mulut tak terhindarkan.
bahkan nyaris gontok-gontokan. Terjadi tarik pendapat bagai terkena perangkap setan.
Karena tak bisa di damaikan dengan kata-kataku akhirnya aku mengundang
perangkat desa dan kakak-kakakku kupanggil semua untuk meluruskan semua
masalah yang sebagian aku tidak tahu menahu.
Sejah hari itu. Luruslah semua. Dan aku punya tetangga yaitu Lek hadi. Kini
aku bahkan menganggapnya sebagai pengganti orang tuaku yang telah tiada. Kalau
aku ada makanan, aku kirim sepiring buat mereka berdua. Begitupun kalau Lek hadi
punya makanan dia akan datang dengan tangan membawa piring berisi makanan buat
anakku.

52
Aku jadi sering duduk di dekat jendela kayu milik Lek Hadi. Aku merasa ada
sesuatu yang menarik di jendela itu. Bila aku menatap lurus keluar jendela, aku bisa
melihat anakku yang datang lari-larian menenteng kail dan ikan hasil kailannya di kali
sebelah desa di tas kresek, juga jamur rembulan besar yang ia dapat di kebun. Fani
memandangku dengan tersenyum dari jarak lima puluh meter. Dia tahu aku duduk di
depan jendela Lek Hadi. Fani akan mendekat dan menyerahkan hasil burunanya hari
itu dengan bangga.
“Bu aku dapat ini semua
“Besar amat jamurnya dapat dari mana?”
“Dari kebun tetangga”
“Lumayan gak usah belanja kita masak jamur dan goreng ikan ini nanti”
“Jamurnya di sayur aja ya Bu?”
“Iya.”
Dsitu juga aku tahu siapa yang naik ojek dari dan ke luar desaku. Kini rumah
reyot Lek Hadi tidak lagi sepi. Saat pilihan kepala daerah, rumah ini jadi basis orang-
orang tua yang mendukung jago nya.
Kalau melihat orang ramai bercerita dari dalam rumah Lek Hadi, aku
melongokkan kepalaku lewat jendela kayu itu. Sekedar ingin tahu siapa saja yang
berada di dalam. Di depan jendela kayu itu di taruh satu resband atau kursi kayu
panjang bobrok. Yang masih bisa buat duduk-duduk cari udara luar.
Dari situ aku bisa melihat puncak bukit atas desaku yang melambai seolah
mengajakku untuk tetap berkarya. Aku bisa melihat angin ribut di bukit sana dengan
melihat liukan-liukan pohon yang tak berirama. Maka aku tahu kalau sebentar lagi
hujan akan turun.
Aku bisa melihat kehidupanku masa kecil dari jendela kayu Lek Hadi. Karena
di usia tujuh tahun aku hidup di bukit sana membantu Ibuku berjualan gorengan. Saat
ini. Aku sedang menghitung buah pisang yang baru muncul dari jantungnya. Aku
senang duduk di sini. Setiap hari aku bisa meneliti apa saja dari sini.
Kemarin aku melihat bebek tetangga sekarat terserang flu burung. Dan tempo
hari aku melihat dari sini di resband bobrok ini, anakku si Alfin terjatuh dari
sepedanya dan kecebur kolam ikan milik tetangga. Aku bisa segera berlari
menolongnya dan membawa Alfin anakku pulang meski badan penuh lumpur.
Aku sendiri punya banyak sekali jendela di rumahku. Tapi tak satupun yang
bisa membangkitkan kenangan seperti jendela kayu milik Lek Hadi ini. Hanya satu

53
yang aku tidak suka bila duduk di depan jendela ini. Yaitu. Setiap sudah ada satu
orang duduk di sini, akan muncul orang lain dan lainnya yang kesemuanya
perempuan. Aku tak suka rumpiannya. Walau tadinya yang di bicarakan soal beras
yang mahal. Namun lama kelamaan ngomongin tetangga bahkan ngomongin pak
lurah yang suka korupsi dan si A yang suka mencuri. Juga si B yang membiarkan
anaknya tumbuh liar dan masih banyak lagi.
Aku lebih suka duduk sendirian di depan jendela ini sambil mengenang masa-
masa indah bersama kedua orang tua. Dan lebih suka melihat kehidupan kemana
mataku menandang di sana aku melihat kehidupan, karena kulihat gerak dedaunan
oleh tiupan angin perlahan. Kulihat kehidupan di pucuk-pucuk pohon karena selalu
ada daun hijau yang baru tumbuh di sana. Aku selalu menanti pulangnya anakku dari
sekoalahannya. Kadang dia pulang sekolah belepotan lumpur. Katanya tadi terpeleset
jatuh di jalan. Kadang pulang sambil menenteng sepatunya. Katanya tadi habis main
sepak bola maka sepatunya di copot karena lebih suka main pakai kaki telanjang.
Lek Hadi kakung orangnya kalau bicara keras sekali. Jadi kalau yang belum
tahu akan mengira mereka sedang berantem. Lek Hadi putri orangnya pendek,
tubuhnya bulat gemuk. Hoby beratnya ngerumpi dan bicaranya banyak. Apa saja bisa
jadi bahan pembicaraan.
Kadang Lek putri mencariku ke dalam rumahku kalau beberapa hari aku tidak
nongol dan duduk di depan jendelanya. Aku bilang sedang sibuk. Padahal aku
menghindari ngumpul dengan banyak ibu-ibu yang punya hoby ngerumpiin tetangga.
Tak hilang akal, Lek Hadi putri akan bercerita di mana dia ketemu aku di dalam
rumahku meskipun tahu aku sedang benar-benar sibuk. Akhirnya aku sempatkan
keluar rumah dan duduk di depan jendela kayu Lek Hadi untuk mendengarkan
celotehnya sambil mataku memandang kehidupan di kejauhan sana.

@ Istana Rumbia, 11 Maret 2007

54
Bintang Sunyi di Pelataran

Rumahku berada di tengah perkampungan yang penuh sesak dengan


perumahan. Jalan masuk ke rumahku hanyalah jalan setapak yang tidak bisa dilewati
kendaraan, walau beroda dua sekalipun. Pengap yang sering kurasakan. Maka aku
setiap malam menyalakan lampu neon yang sangat terang di samping kanan dan
bagian depan rumahku. Selain untuk menerangi jalan, sinar terang tersebut untuk
sekedar menghilangkan kesumpekan yang aku rasa. Meski tetangga selalu heran, kok
terang amat apa tidak sayang pasang lampu begitu besar watt nya? Aku tidak peduli
dengan keheranan mereka.
Dengan memasukkan kedua tanganku ke dalam saku jaket. Aku berjalan
santai keluar rumah malam hari. Sunyi. Padahal, waktu baru menunjukan pukul
delapan malam. Di luar rumah aku bersapa sejenak dengan bintang-bintang di langit.
Sunyi. Lalu aku teruskan langkah ke rumah tetangga karena tadi sudah janjian kalau
aku mau datang malam ini.
Dua puluh menit kemudian. Aku sudah kembali berdiri di pelataran dengan
wajah mendongak berusaha bersapa dengan bintang. Lagi-lagi kesunyian ku dapat.
Aku masuk rumah mengambil tikar, koran, dan karpet hijau. Lalu balik lagi
mengambil bantal dan selimut. Aku gelar karpet di dasari koran dan tikar. Aku tiduran
di pelataran sambil berusaha memahami kesunyian dan bahasa alam. Aku berusaha
ramah bertegur sapa dengan bintang gemintang. Aku berusaha memahami bahasa
angin yang bertiup menampar wajahku. Bunyi jangkrik sekejab mengerik akhirnya
diam tak berkutik. Memandangi sosokku yang membujur kaku di pelataran bagai
patung batu.
Aku cemas. Begitu cemas saat bintang itu, satu persatu merasa malu dan satu
persatu bersembunyi di balik awan.
Sendiri lagi, haruskah aku sendiri lagi? Aku tak sanggup wahai bintang sunyi.
Munculah. Tampakkan rona ceriamu. Kamu sudah berjanji padaku untuk selalu
menemaniku disaat aku sunyi dan sepi. Jangan kau sembunyi lagi. Aku tahu kamu

55
bisa menyingkirkan awan dengan auroramu. Dengan sinar indahmu. Dengan
kegagahanmu. Dengan kesaktianmu. Jangan bikin aku cemas begini wahai bintang
sunyi tunjukan kesetiaanmu padaku jangan sampai kau di pandang remeh oleh
mereka yang tidak mengenalmu. Muncul dan sembunyi, itulah alammu tapi mana
mereka mau tahu wahai bintang kesayanganku.Ya. kaulah bintang kejora ku. Aku
akan menunggumu sampai batas mana kau setia menemaniku dalam hidupku. Aku
bisa tertawa ya karenamu, bisa tersenyum juga karenamu. Ceriamu ceriaku juga.
Keberadaanmu menambah semangat hidupku.
Tidak tahu kenapa aku gemetar ketakutan di tinggalkan bintang-bintang yang
tadi sedang bercanda namun tiba-tiba menghilang di balik awan yang menggoda.
Bibirku menggerimit mengucap doa atau mantra agar sang bintang jangan sembunyi
di balik awan dan menampakkan dirinya. Terus terang aku takut terkapar di bawahnya
sendirian. Dalam lelah aku hampir ketiduran di atas tikar yang ku gelar di pelataran.
Mataku menyipit mengerjap, memuntahkan kubangan air di pelupuk mataku,
yang tadi menghalangi padanganku untuk tetap mencari bintangku. Hingga mataku
lelah jiwaku resah. Kudengar suara burung ketuhu berteriak dari samping rumahku
seolah memaki kelamahan dan kekuatiranku. Aku jadi malu, dan pelan-pelan
kupejamkan mataku hingga terlena di udara terbuka.
Denging suara kepak sayap nyamuk-nyamuk tidak membuatku bergeming.
Bisik jangkrik yang tiba-tiba menderik di daun telingaku. Membuat mataku nyalang
memandang kembali langit kelabu di atas kepalaku tanpa bintang. Aku tidak
bergerak, dan kubiarkan jangkrik itu menjajah dan melecehkanku dengan meloncat
seenaknya naik puncak hidungku yang saat itu terasa dingin berembun.
Aku terbangun karena kakiku terinjak oleh kakinya orang yang sedang lewat.
Dia tidak bersalah menginjakku sekalipun. Karena aku sendiri yang nekad tidur di
pelataran yang biasa buat jalan orang banyak.
Saat kubuka mata. Terlihat perempuan paroh baya itu sedang termangu dan
terheran-heran melihatku tidur di atas karpet di pelataran. Sinar baterei yang ia
pegang, sungguh mengangguku, aku merasa terusik saat ia menyoroti wajahku. Aku
tidak bicara tapi tanganku menggapainya agar ia matikan saja lampu baterei yang
berada di tangannya.
“Nak…?ngapain tidur di sini?” akupun tidak menjawab. Namun telunjukku
menunjuk sebuah bintang. Ya. Satu-satunya bintang kejora yang sedang
memancarkan sinar terangnya. Bintang yang lainnya masih sembunyi di balik awan.

56
“Nanda sedang menghitung bintang, atau sedang mengukur ketinggiannya?”
“Iya. Dua-duanya. Tolong jangan ganggu aku? aku sedang memanggil
bintang-bintang dengan doa agar sang bintang muncul dengan ceria.”
“Nanda seperti seorang penyair saja. Tahukah Nanda, kalau penyair itu adalah
Raja yang tumbang, yang duduk di antara puing-puing tahtanya dan mencoba untuk
menciptakan khayalan dari puing-puing tersebut.”
“Raja??? penyair??? mungkin benar, atau malah mungkin aku orang gila.
Karena aku sedang berharap pada kemurahan hati seseorang. Meski aku tahu. Bila
nasib malang menindihku. Pada tanganku sendiri aku bertumpu.”
“Banyak kabut, penuh kabut. Sadarkah kamu Nak? Bintang menghilang tak
tampak”
“Sudahlah kalau mau lewat. Tak usah urusi keberadaanku”
“Ya. Aku terkejut saja. Tadi aku mengira dirimu adalah setumpukan kayu
milik tetanggamu. Maka kakiku main injak saja. Maafkan aku.”
“Tak ada yang perlu dimaafkan maka tak perlu minta maaf. Mungkin
keberadaanku ini memang pantas untuk di injak-injak. Bahkan kalau kau mengira aku
kayu, itu lebih berharga dari pada aku yang sekarang. Seseorang yang menyandang
gelar tidak terang, seorang perempuan yang sok kuat, padahal sangat rapuh yang
butuh perlindungan, seorang pengemis cinta yang sedang menunggu kepastian tapi
entah kapan kepastian itu akan datang dengan menahan seribu satu gejolak di jiwa”
“Masihkah mau menunggu sang bintang?”
“Ya. Akan kutunggu bintang datang membawa sinarnya sampai kapanpun.
Karena tanpa sinarnya, hidupku bagai kerakap tumbuh di batu. Mati segan hidup pun
aku tak mau.”
“Masih banyak jalan bisa kau pilih. Kenapa tidak ambil jalan yang lain?
Jangan cari mati dengan mempertaruhkan cintamu pada bintang sunyi.”
“Lihat?! Dia bukan bintang sunyi lagi. Pandang baik-baik kerlip cahaya yang
memancar. Kau tahu? Pancarannya itu?”
“Iya. Dia memancarkan sinarnya ke seluruh penjuru. Bukan hanya kepadamu
Nanda sadarlah itu. Aku melihat dengan mata hatiku kalau dia belum siap
memancarkan sinarnya hanya satu tertuju, kepadamu. Belum Nanda belum. Kalau
kamu tidak percaya silahkan bertanyalah pada sang bayu. Aku jalan dulu silahkan
menikmati kesepianmu.”
“Bedebah!!”

57
Ingin kumaki dia, ingin ku damprat dia karena berani menghina bintang
kejoraku yang kini sedang bertapa di peraduannya. Kalau dia bukan sama-sama
perempuan pasti ku tantang duel pertaruhkan nyawa untuk membela bintang yang ku
puja.
Tapi apa salahnya kalau aku bertanya pada sang bayu seperti saran perempuan
paroh baya tadi. Akupun duduk mencakung berselimut sampai sebahu. Aku tak bisa
pejamkan mata lagi. Kusapa hangat salam lembut bayu yang datang mengelus pipiku
dan mempermainkan rambutku hingga berkibar-kibar.
Kutanyakan padanya. Apa benar kata perempuan tadi kalau bintangku belum
siap memancarkan sinarnya untuk melindungiku? Gemerisik daun tebu di samping
rumahku menjawab tanyaku, katanya tidak sepenuhnya benar tapi ada benarnya.
Akupun bertanya lagi. Mampukah bintangku mencari cara agar bisa tetap
menyorotkan sinarnya padaku, selamanya satu dan secepatnya bersatu?
Kali ini alam yang menjawabnya dengan mengutus seekor kunang-kunang
yang datang lewat depan mataku. Dengan sinar fosfor nya yang berpijar-pijar, dia bisa
menjadi penunjuk jalan bagi orang yang tersesat. Aku berusaha mengartikan apa kata
alam. Dan hatiku makin terbuka. Kalau aku susah meraih bintang kejora untuk
menyinari sepanjang hidupku. Kenapa aku tak berfikir. Anggap saja bintang kejora
telah berubah menjadi kunang-kunang yang sedang melintas di depan mata.
Ya. Betapa berharganya kunang-kunang bagi manusia yang tersesat digelap
malam gulita. Karena dialah satu-satunya sumber cahaya yang ada yang bisa
menunjukan ke arah mana jalan menuju haribaannya.
Dengan ringan aku lipat rapi tikar, karpet, bantal dan selimutku. Ku angkat
semua untuk di bawa kembali masuk ke rumahku.
“Badai pasti berlalu meski bintang berubah wujud menjadi kunang-kunang.
Ya. Kunang-kunang yang lemah tapi aku senang dan aku tenang. Aku akan menunggu
selalu kau datang membawa terang cahaya cinta untuk masa depan yang ceria.”
Bisikku.
Ayam jantan berkokok. Aku melirik telpon sellulerku yang tadi ku taruh di
meja kamar ku. Ada satu gambar amplop surat di layar monitorku. Aku buka sms itu
dan tertulis kata dari cinta.
Sayang…nikmati hidup indah dengan karyamu. Kabar terbaru, aku sudah
mendapatkan surat perlengkapan itu. Tunggu aku, jaga diri dan anak-anak. Aku akan
segera datang. Miss u tenan je…?!

58
Pagi sekali. Bisikku. Apa yang sedang dia lakukan sepagi ini? Apa seperti aku
yang sedang menanti pertemuan itu. Bersatunya kasih di kursi pelaminan. Dia calon
suamiku dan calon ayah bagi anak-anakku dari mantan suamiku yang dulu. Kini
mataku nyalang tak bisa tidur sama sekali. Hatiku sejuk, sesejuk suasana pagi ini.
Aku buka-buka sms yang ia kirimkan yang lalu yang masih ku simpan di
outbok handphon ku. Kutemukan satu sms darinya
Amare est gaudere felicitate olterius.
Itu kata bijak dari seorang filsuf yang bernama Leibniz. Yang kutahu artinya :
Mencintai adalah mengupayakan kebahagiaan orang yang di cintainya. Jadi, apalagi
yang harus ku ragukan? Kayaknya tak ada kecuali kecemasan, kegagalan untuk
bersatu di kursi pelaminan. Untuk itu aku tak sanggup membayangkan.
Aku balas sms nya dengan enteng ku ketik kata demi kata dengan hati yang
bertaburan bunga-bunga cinta.
Bintangku, kunang-kunangku. So many night. I sit by my window waitting for
someone to sing me his song. You light up my life.I’ll always love you. Kubaca ulang
lalu ku sent ke dia yang aku cinta sepenuh jiwa raga.

@ Istana Rumbia, 5 Maret 2007

59
Perempuan Pengin Adzan

Berkelebat pisau pemotong daging yang sangat tajam. Namun bukan daging
yang di potongnya. Potongan ranting-ranting cemara telah menumpuk di depan
kakinya tetapi tangan halus perempuan itu masih terus mengayunkan pisaunya untuk
memangkasi ranting cemara agar tumbuhnya tidak terlalu rimbun sehingga
mengganggu tumbuhan ubi kayu dan jagung di sekitarnya. Sedang pohon cemara itu
masih setinggi tubuhnya yang tinggi semampai.
Sesekali perempuan ini berhenti untuk mengelap keringatnya yang berleleran
di dahi dan lehernya dengan ujung baju lengan panjang yang kini nampak agak basah
oleh keringatnya. Caping petani dengan setia bertengger di kepalanya. Senyum terukir
sekilas pada ujung bibirnya saat matanya memandang tak sengaja pada sebuah pohon
jengkol yang sudah berumur puluhan tahun di ujung lahan. Berbagai nuansa
kehidupan lampau berkelebat mengganggu pandangannya. Perempuan ini
menggelengkan kepala agak keras, untuk mengusir bayangan itu namun bayangan
tersebut tak bisa hilang begitu saja.
***
“Nis, kamu kok selalu bengong setiap mendengar seruan Adzan?” sapa teman
sekolahnya.
“Oh. Tidak kok. Aku sedang mendengarkan seruan Adzan aja”
“Iya. Tapi ya sambil jalan. Masa berhenti begitu terus kapan sampai rumah?
Udah keroncongan nih perutku. Latihan pramuka tidak membawa bekal pula,
sekarang sudah Adzan ashar belum sampai rumah” kata Umi sambil berjalan lambat-
lambat. Umi, Nissa, Siti dan Sarah masih duduk di kelas satu Madrasah Tsanawiyah
Ma’arif di Kecamatan. Sedang jarak dari rumah ke sekolah sejauh empat kilometer
selalu ditempuh dengan jalan kaki yang naik turun bukit kecil. Mereka tak pernah
mengeluh meski sekolahannya jauh.
Nissa adalah anak perempuan satu-satunya dari Pak Wahyudi yang seorang
guru mengaji. Pak Wahyudi mempunyai tujuh orang anak dan Nissa anak kelima dari
tujuh bersaudara. Nissa anaknya lincah dan cerdas. Di kampungnya terkenal dengan

60
suaranya yang merdu dan pintar melantunkan tilawatil qur’an. Dia selalu mendapat
juara setiap kali diikutsertakan dalam lomba qori’ah baik oleh Bapaknya atau di kirim
oleh sekolahannya. Namun Nissa seperti menyembunyikan sesuatu di dasar hatinya.
Kawan-kawan selalu heran setiap kali ada seruan Adzan pasti apapun gerakannya
Nissa akan berhenti sampai Adzan selesai. Di wajahnya selalu tampak binar rindu
akan sesuatu, namun tak satu kawanpun yang tahu apa sebenarnya yang Nissa
inginkan. Gerakan bola matanya saat mendengar seruan Adzan, begitu ceria dan
sebentar kemudian akan redup tampak menyedihkan sekali. Tampak helaan napas
panjang mengahiri kebekuannya tadi saat mendengar seruan Adzan.
Setiba di rumah. Nissa langsung berlari ke kamarnya dan menutup pintu. Dia
membuka buku hariannya yang selalu setia mendengarkan keluh kesahnya selama ini.
Dia selalu menuliskan apa yang dia rasa, dia ingin, dan dia harap pada buku harian
dan itu sudah berlangsung sejak dia mulai bisa menulis. Kini Nissa membaca ulang
apa yang dia tulis saat dirinya masih kelas lima sekolah dasa.

Senin..
“Kenapa keinginanku untuk mengumandangkan Adzan selalu muncul setiap kali
waktu sholat. Aku begitu ingin menyerukan Adzan di masjid. Kenapa? Apa
perempuan tak di ijinkan untuk ber Adzan? Aku gelisah sekali. Aku ingin. Aku ingin.
Aku ingin Adzan.”

Kamis...
“Hari ini aku puas karena aku bisa mngumandangkan Adzan. Tadi Bapak
menyuruhku memetik buah jengkol, awalnya aku keberatan dan melamun saat aku
sudah di atas pohon jengkol. Tapi tahukan buku?? Saat kesepian di bukit itu aku
gunakan untuk melampiaskan apa yang aku inginkan selama ini. Aku
mengumandangkan suara Adzan sampai tuntas dan ternyata suaraku bagus. Aku
bisa! Aku bisa buku, tahukan? Aku tidak peduli komentar orang yang lewat di bawah
bukit itu dan memandangi aku dengan heran. Aku tetap Adzan. Maka kamu lihat kan
buku? Kalau saat ini hatiku begini riang...”

Tangan Nissa maraih pena dan menuliskan keresahan hatinya pada buku
harian kesayangannya itu. Sepertinya dia kelupaan akan rasa laparnya.
“Ah! Haruskan aku sekarang berlari ke pohon jengkol itu? Atau ke bukit alas

61
sana? Saat ini aku sangat ingin mengumandangkan seruan Adzan? Ya allah...apakah
salah saat aku lahir? Kenapa aku lahir sebagai perempuan? Aku ingin ganti kelamin
tapi caranya bagaimana? Pada siapa aku berbagi ceritaku selain sama kamu buku.
Bapakku? Ah aku malu mengatakannya. Pada kakak? adik?ah, hanya kamu yang
bisa mendengar semua keluhanku meski kamu tidak pernah bisa menjawab semua
pertanyaanku. Yang jelas sampai saat ini aku masih ingin ganti kelamin agar aku
bisa mengumandangkan Adzan. Tolong jangan bilang siapa-siapa ya buku?”
Nissa menutup buku dan menyimpannya lagi. Baru keluar kamar dan menuju
meja makan. Rumah dalam keadaan kosong. Meski keluarganya banyak tapi jam
begini mereka pada kemasjid. Dua kakaknya berada di pondok pesantren Di Kediri.
Kedua adiknya masih kecil dan sedang main di rumah tetangga.
Nissa agak heran melihat belanjaan yang menumpuk sangat banyk tidak
seperti biasanya. “Ah mungkin bapak mau nyunatin adik.” Pikirnya.

***

62
Dakocan

" Halo Non, mau naik ojek gak nih!" seru tukang ojek sambil meleletkan
lidahnya melihat body minul yang sexy plus modis
" Tidak bang, lagi nunggu Taxi kok!" jawab minul ramah
" Dari mana sih Non bawaannya banyak banget?"
" Dari Hong kong bang"
" Wah ! Hongkong? jadi babu ya?"
" Iya bang. babu keren"
" Iya juga ya? di sini susah cari duit Non, apalagi sejak BBM naik orang yang
naik ojek makin jarang. ????? eh mana ya nona cantik tadi?
Minul tidak mendengarkan lagi abang tukang ojek ngomong apa, dia lari
menyetop Taxi. minul adalah gadis desa berasal dari leksono, wonosobo sana. dari
tadi parkir di depan terminal Jombor setelah salah turun, harusnya dia turun di dalam
terminal tapi karena daerah Jombor masih asing baginya maka mendengar kondektur
teriak " jombor-jombor" minul langsung saja minta turun. sebenarnya dia mau
mampir kerumah temannya dulu di Yogyakarta baru mau pulang kerumahnya di
Wonosobo. kini dia kebingungan di depan terminal seorang diri dan dari tadi di
godain terus sama tukang ojek yang tampak dekil dan sok akrab.
Tidak sampai lima menit naik Taxi, minul telah sampai di depan rumah teman
satu desa yang sekarang telah kawin dengan orang Yogjakarta.
Minem sang teman saat itu sedang momong anaknya yang mirip dengan
tampang boneka mupet yang mulutnya lebar, terbengong melompong melihat siapa
yang datang dan turun dari Taxi. Dia memandangi sosok minul dari atas ke bawah
dan ke atas lagi hingga minul merasa risih lalu menyapa duluan.
" Mbak Minem.....ini aku Minul. Kita kan udah janjian mau ketemu hari ini"
" Minul ??? ya ampuuuun!!!! cantik bener kamu Nul"
" Mbak Minem bisa aja..." jawab Minul dengan muka semburat merah
" Maaaaakkk, maaaaakk!" seru anak kecil yang mirip mupet
" Itu siapa mbak? kok lucu sekali"
" Ini anaku namanya Dakocan, cakep kan?" jawab Minem bangga

63
" Iyya cakep, cakep sekali" jawab Minul gugup sambil membatin' tampang
anak kayak boneka rusak gitu bangga banget ye'
" Ayo diminum dulu tehnya"
" Makasih mbak Minem, Dik yang cakep, ini mainan buatmu, buatan
Hongkong loh!" kata Minul sambil menyerahkan boneka superman yang terbuat dari
melamine pada Dakocan
" Makacih" jawab anak itu sambil lari keluar pintu dengan gembira mendapat
hadiah dari teman ibunya.
" Jeduggg!!! gubrrrrraaakkk.!!" si Dakocan kesandung kaki kursi langsung
terjerembab dan kepalanya benjol kejedot pintu.
" Eh jatuh ya?, sakit tidak?"
" Enggak sakit ini" jawabnya santai sambil tangannya mengelus benjolan di
dahinya.
" bener gak sakit?” Tanya Minul heran karena suara jedug tadi begitu keras.
“Enggak sakit ini.” Jawab Daco sambil nyengir.
“Ya wes, hati-hati kalau main ya?” nasihat Minul

@ Istana Rumbia, Februari 2008

64
Hantu di Lorong Terminal Tiga

“Perhatian! Perhatian! Sebentar lagi pesawat Anda akan mendarat di bandara


Soekarno Hatta, Jakarta. Tetaplah berada di tempat duduk masing-masing. Pasang
sabuk pengaman sampai lampu tanda aman dinyalakan. Terima kasih!”
Suara merdu pramugari menyadarkan aku dari rangkaian lamunan dan
bayangan kota Hong Kong dengan segala cerita yang baru aku tinggalkan. Lenyap
sudah semua kisah yang tadi menari-nari di benakku. Aku tersenyum mengingat
sebentar lagi akan bertemu keluargaku yang telah delapan bulan kutinggalkan.
Kupandang sejenak wajah Tuti, teman senasib, yang kebetulan mendapat tempat
duduk di sebelahku. Tenang. Wajah itu begitu pasrah. Padahal dia baru tiga bulan ini
bekerja ikut majikan dan berakhir dipulangkan tanpa alasan yang jelas.
Aku tak bisa setenang dia padahal nasibku hampir sama. Aku pun dipulangkan
setelah selesai masa potongan gaji selama tujuh bulan. Kugamit lengannya. Kami
jalan berendeng karena bawaan kami hanya tas kecil berisi pakaian yang kami bawa
dari rumah. Jadi tidak perlu mengambil bagasi. Setelah melewati pemeriksaan paspor,
kami bermaksud keluar mengikuti langkah orang-orang di depanku. Tiba-tiba ada
petugas yang mencegat langkah kami.

“Mbak, TKW ya?”


“Iya, Pak,” jawabku.
“TKI harus lewat sini, Mbak,” kata petugas sambil menunjuk lorong kecil di
sebelah kirinya. Aku diam saja tapi ternyata Tuti punya keberanian yang tidak kuduga
sebelumnya.
“Maaf, Pak. Saya tidak mau lewat sana. Saya mau langsung pulang saja,” kata
Tuti mengagetkanku.
“Ya tidak bisa. Kamu harus ke sana dan menunggu dijemput PT yang
memberangkatkanmu,” jawab petugas itu.
“Saya sudah dijemput kakak saya, Pak,” jawab Tuti berani.
“Sudah sana! Jangan bawel.”
“Pak! Kakak saya sudah menunggu di luar situ, Pak,” kata Tuti.
“Masuk sana! Kalau tidak menurut aku jeburkan di kolam nanti.”

65
Petugas tersebut membentak dengan kasar pada Tuti yang masih tegar di
sisiku. Apa boleh buat kamipun mengikuti petunjuk petugas dan memasuki lorong
sempit yang bertuliskan -Jalur Khusus TKI- .
Setiba di dalam kami disambut beberapa petugas dengan sok ramah. Tas kami
yang kecil mereka raih. Mau dibawakan, katanya. Tentu kami menolak karena ringan
dan tak mau merepotkan orang lain.
“Sini tasnya tak bawakan, mau dibawakan kok tidak boleh,” kata petugas di
situ.
“Biar Pak!? Aku bawa sendiri saja. Ringan, kok,” jawab Tuti tenang.
“Udah sini! Ayo jalan. Kok malah bengang bengong!” kata salah satu petugas
sambil merebut tas milik Tuti hingga sobek. Memang kami masih heran dengan cara
para petugas di situ. Bagaimana mungkin mereka tega menaikan barang bawaan para
nakerwan (tenaga kerja wanita) dengan main lempar sembarangan hingga sering si
pemilik yang sudah berada di atas bus menjerit. Memperingatkan agar hati-hati
memperlakukan barang-barang mereka. Tidak hanya itu. Petugas itu tadi memaki Tuti
sambil menendang bokongnya. Tuti disuruh cepat-cepat naik ke dalam bus. Aku diam
saja melihat semuanya dan tetap bertahan kalau tasku dan tasnya Tuti tak mau
dibawakan walau telah robek karena terjadi tarik menarik tadi.

Ketika aku dan Tuti baru menempatkan pantat di kursi bus, masuklah dua
orang petugas dan salah satu berorasi. Buntut-buntutnya, kami dimintai uang yang
katanya ongkos angkat barang. Dengan cara memelas, juga agak mengancam, dia
bicara menarik simpati kami yang berjumlah lima belas orang untuk memberi uang
lelah pada mereka. Karena tas kubawa sendiri, aku dan Tuti tidak mau memberi uang
pada orang itu. Lagi-lagi Tuti yang kena bentak.

“Kamu lagi. Turun sana kalau tak mau kasih uang,” kata orang tersebut.
Sungguh dengan terpaksa aku kasihkan uang yang sangat minim di dompetku
dan Tuti memberikan uang 20 dollar Hong Kong pada mereka karena dia tak bawa
uang dalam bentuk Rupiah. Daripada tidak diantar ke terminal tiga, pikir kami yang
saat itu saling pandang dengan seisi bus yang mendadak merasa senasib.
Tiba di terminal tiga, beberapa petugas menurunkan barang bawaan kami.
Lagi-lagi terdengar beberapa teriakan perempuan meminta agar tasnya biar dibawa
sendiri. Namun banyak petugas memaksakan kehendaknya dengan menaikkan tas
penumpang ke troli yang ada di tangan mereka. Walau menggerutu mereka biarkan

66
saja tasnya diantar ke dalam. Namun saat pengantar bawaan minta uang jasa, ramai
lagi suara pertengkaran kecil antara menolak dan meminta.
“Nesa, kita bawa sendiri saja tasnya. Biarin deh mereka marah. Aku bener-
bener tak punya uang kalau diminta lagi nanti.” Tuti mengajakku memasuki ruangan
yang penuh dengan manusia. Mereka berjubel dan berkelompok.
“Iya Tik. Aku juga tak punya uang. Tuh di depan masih antri untuk bayar
apalagi?!?” kataku sambil mengantri juga.
Kubuka buku harianku dan aku mengadu. Begini amburadulnya suasana di
terminal tiga, bandara kebanggaan kita, Soekarno-Hatta. Senyuman palsu dan
tangan terulur memaksa yang menyimpan kegarangannya demi uang berseliweran di
terminal tiga. Seolah tak ada kata kompromi bagi para TKI. Memasuki lorong
terminal tiga sepertinya kita memasuki lorong waktu yang bisa menembus ke zaman
batu. Dimana di situ yang kuat akan menang dan yang lemah akan kalah. Sebentar-
sebentar terdengar bentakan demi bentakan. Aku mengadu padamu buku harianku
sambil menunggu antrian panjang yang membosankan ini. Harapanku yang tadi
begitu besar, entah kenapa, kini menguap begitu saja dan hilang senyum dari
wajahku. Aku tak suka sikap mereka yang palsu. Bukan kebaikan yang mereka
tawarkan tapi mata mereka selalu tertuju ke kantong kita, para TKI, yang sudah
masuk dalam perangkap yang bernama terminal tiga. Kamu jangan bosan ya, buku
sahabatku jika aku banyak mengeluh hari ini?!? Terus terang aku kaget melihat sikap
mereka. Apa mereka tidak melihat kalau kita ini belum tentu perantau yang sukses.
Kita orang gagal. Kau tahu itu kan buku? Kau tahu pula orang Hong Kong malah
lebih baik sikapnya pada kita walau telah memutuskan hubungan kerja tapi mereka
tak pernah main kasar seperti yang kulihat hari ini.
Buku, hantu-hantu di terminal tiga ini semuanya buta. Mereka tak melihat
kita ini seorang pejuang devisa. Mereka pikir kita uangnya berlebih. Aku sedih. Dan,
aku tahu hanya kamu yang sudah tahu berapa isi kantongku.
“Ayo maju Nesa, kamu menulis apa to?” tanya Tuti melihat aku menulis
sambil berdiri mengantri. Setelah beres semua urusan, aku dan Tuti duduk di sudut
yang masih kosong. Terlihat wajah-wajah kusut tanpa senyum. Masing-masing
kelompok bercerita dengan cara bisik-bisik. Aku menelpon bapakku dan PJTKI yang
dulu memberangkatkan aku. Satu jam kemudian utusan dari PJTKI sudah datang
menjemputku. Utusan itu bernama Ali. Ali menemui petugas untuk membawaku
pulang. Ternyata Ali, utusan dari PJTKI yang menjemputku, ditolak oleh petugas.

67
Alasannya, Ali disangka pacarku. Akupun tak berdaya dan Ali pulang kembali tanpa
aku.
Aku paksa bapakku untuk menjemput. Bapakku akan datang dari Jawa Tengah
dan baru esok pagi bisa datang. Terpaksa aku hanya bisa melihat saat Tuti dijemput
pihak PJTKI yang memberangkatkannya.
Dalam kesendirian, aku meneliti penampungan sementara yang sumpek dan
bau. Penampungan yang dihuni ratusan TKI tanpa toilet.
Kok bisa ya? Gudang ini berada di sekitar bandara yang megah. Sungguh
keberadaannya bagai bumi dan langit.
Lucunya, di situ terpampang spanduk yang intinya memperingatkan agar para
TKI jangan sampai kena pemerasan dan lain sebagainya. Tapi, apalah gunanya
spanduk-spanduk itu dipasang karena yang baca hanya para TKI. Para hantu yang
berseragam petugas itu sendiri mengabaikannya. Malah terkesan semua tindakannya
benar belaka.
...
Tanda jasa
Setangkai bunga ilalang
kupersembahkan padamu
bila kau bisa
menjaga bumi ini
agar tetap tersenyum
...
Entah kekuatan apa yang menggerakkan pena di tanganku yang saat itu sedang
kelelahan. Tanganku kok bisa mencoretkan sebuah puisi, ya?! Mungkin di terminal
tiga ini ada jaelangkungnya. Nyatanya, hantu yang berseragam juga berseliweran di
sana. Sungguh, terminal tiga Bandara Soekarno-Hatta adalah momok yang
mengerikan bagi para pejuang devisa.
Buku, aku tak menyangka wajah republik begini rupa. Padahal iklan yang
sering kita lihat di televisi Hong Kong sana, katanya, negeri ini ‘gemah ripah loh
jinawi’. Negeri yang subur makmur dan ramah tamah. Apa yang salah dengan iklan
itu? Atau iklan itu hanya untuk orang asing saja. Mungkin iya. Karena orang asing
pasti bawa dollar banyak di kantong mereka. Tapi apa iya begitu? Atau karena aku
hanya seorang babu yang gagal bekerja di luar negeri hingga mereka begitu kasar
pada kami.

68
Buku, aku tak pernah ingin jadi pembesar. Tapi, kalau hanya setangkai bunga
ilalang aku bisa persembahkan pada mereka. Mereka jangan hanya menghitung
angka nominal yang masuk untuk negara saja tapi berilah pelayanan yang baik.
Syukur-syukur yang VIP, ya buku ya!? Apa aku terlalu muluk dengan keinginanku itu,
ya? Puas mengadu kututup kembali buku harianku.
***
Jam sebelas siang keesokan harinya bapakku datang. Kulihat bapak
menggapai-gapai dari luar pagar menyuruh aku keluar. Lalu aku minta izin pada
petugas untuk menemui bapak. Tapi aku dibentak dan disuruhnya bapakku masuk.
Karena terburu-buru, bapak kelupaan tak membawa kartu identitas maka prosesnya
lama sekali. Bapak kena denda enam puluh lima ribu rupiah sebagai pengganti tak
membawa kartu tanda penduduk. Sekali lagi mereka menyuruh bapak untuk
mendaftar ulang sebanyak dua puluh lima ribu rupiah. Setelah itu kami dilepas keluar
dari sarang penyamun. Di luar pagar, bapak erat memelukku. Kulihat air mata
mengembang berkaca-kaca.
@ Istana Rumbia, Mei 2005

69
Maria Bo Niok.
Lahir 1 Januari 1966 di Wonosobo, Jawa Tengah. Penulis pernah bekerja
selama 6 tahun di Hong Kong dan 2 tahun di Taiwan.
Buku-buku karya Penulis: buku ”Geliat Sang Kung Yan” (Gama Media, 2007,
Yogyakarta), novel ”Ranting Sakura” (P_idea, 2007, Yogyakarta).
Karya-karya Penulis lainnya tersebar di surat kabar: Suara Merdeka, Berita
Indonesia, Majalah: Ekspresi, Peduli, Kombinasi, Imajio dan beberapa media cetak
serta cyber.
Profil Penulis pernah diulas di Kompas, Jawa Pos, Suara Merdeka, majalah
Liberty, tabloid Apa Kabar (disebarkan di Hong Kong) dan media lainnya.
Ia mengelola rumah baca ”Istana Rumbia” di dusunnya, mengembangkan
kegiatan sastra dan budaya di Wonosobo.
Info lainnya di http://boniok.multiply.com. Email: maria_gh69@yahoo.com.
Gee Sky! adalah motto kehidupannya. [ ]

Atau ini:

Curiculum Vitae

Name : Siti Mariam Ghozali


alias : Maria Bo Niok
D.O.B : Wonosobo, 1 Januari 1966
Address : Pasunten 03/02, Lipursari, Leksono, Wonosobo, Jawa Tengah 56362.
Mobile phone : 0813-1494-3509
Multiply: http://boniok.multiply.com
E-mail: maria_gh69@yahoo.com (Friendster)
Hobby : Catur dan olahraga
School Education:
- SD Lipursari, Wonosobo
- MTs Kalibeber, Wonosobo
Non-School Education:

70
- Kursus Menjahit (1982)
- Kursus Komputer (Computer Courses) at Kowloon, Hong Kong (2001 s.d. 2002)
- Chinnese Courses at Abraham College, Hong Kong (2004)
- Korean Taekwondo Cheung Do Kwan, Kowloon, Hong Kong (2000 s.d. 2003)
Work :
- Seller (1983 s.d. 1995)
- Take a care of Old Woman at Taiwan – 2 Years.
- Women Helpers at Hong Kong - 6 Years.
- Staff Operasional of Agencies (PJTKI) at Temanggung (2006)
- Novelist
- Founder of ”Istana Rumbia” Library at Wonosobo, Central of Java.
- Member of Terminal Tiga Community at Wonosobo, Central of Java.
Activity:
- after go back home (since 2005), act to promote about women worker caring at
Blitar, Surabaya, D.I.Y., Surakarta, Purwokerto, Cipayung, Jakarta and more city for
enlightened to many people about migrant worker life (especially women helper) with
articles, books, and speaking in workshop.
Publication:
-Articles at media:
Newsletter: Suara Merdeka, Berita Indonesia (distribute in Hong Kong),
Magazine: Ekspresi, Peduli, Combine Resources, Imajio
-Books:
- Novel ’Ranting Sakura’ (P_idea, April, 2007, Yogyakarta)
- ’Geliat Sang Kung Yan’ (memoir of Migrant Worker) (Gama Media, Juli 2007,
Yogyakarta)
- Novel "Sakura Mekar di Hati A Hong (in proces)
- Novel "Sumi Ryusho: Anak Bakul Areng"
- Novellete "Serpihan Cinta"
Featuring exposed:
-Kompas Newsletter (28/2/2006), features of The Jakarta Post News (28/4/2006),
Cempaka Weeks (edition 01/XVII/6, 12/4/2006), Peduli Magazine (May of 2006),
Kedaulatan Rakyat Newsletter (June of 2006), The Jawa Post (04/01/ 2007), Suara
Merdeka (May of 2007), Liberty Magazine (June of 2007), Tabloid Apa Kabar (July
15, 2007)

71
-Speaking of “Multi-Stakeholders Workshop on Indonesian Woman Migrant Workers
Hong Kong : September, 28-29, 2007 at Konsulat Jenderal Republic of Indonesian, in
Hong Kong.
-Fasilitator of Training of Traineer (T.O.T) : "Menguatkan kapasitas TKI" at Purnama
Hotel, Cipayung, West of Java, 7 and 8 December 2007.

72

Anda mungkin juga menyukai