uiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasd
fghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzx
JELAJAH SERIBU SITUS DI
MALANG
cvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmq
Oleh : Salsabila/ 24 / X MIPA 1
wertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyui
opasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfg
hjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxc
vbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmq
wertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyui
opasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfg
hjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxc
vbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmq
wertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyui
opasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfg
hjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbn
mqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwert
yuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopas
1, Situs Jenggolo, Tempat Pelarian Rakyat Majapahit
25 September 2014 by Redaksi in Kanjuruhan
Begitu di situs tersebut, rombongan disambut oleh juru kunci, Supiati. Wanita yang sudah 15 tahun jadi juru kunci
ini menjelaskan, pengunjung situs Arca Ganesha setiap hari selalu ada. Namun, jumlahnya tak sampai puluhan.
Paling banyak ketika malam Jumat Legi. Kadang juga ada yang datang untuk selamatan dengan memberikan
semacam sesajen. ”Ya pokoknya ada saja,” kata dia.
Tapi wilayah para dewa ketika itu sedang terancam oleh Asura atau Takasura. Maka, para dewa mengharapkan
kelahiran bayi laki-laki yang lain dari Dewa Siwa. Nah, Dewa Indra tahu bagaimana caranya agar Dewa Siwa mau
punya anak lagi. Kemudian Dewa Indra meminta agar Dewa Kama memanah Dewa Siwa dengan panah bunga
tepat di dadanya, lalu dia tidak kuat bertapa karena rindu dengan istrinya Dewi Parwati. Maka, Dewa Siwa
mengumpuli istrinya hingga kemudian lahirlah Ganesha dalam bentuk setengah manusia setengah hewan (gajah).
Ganesha sendiri memiliki arti penghalau bahaya. Nah belakangan, panah Dewa Kama itu dikenal dengan panah
asmara yang mampu meluluhkan hati Dewa Siwa untuk makin mencintai istrinya.
Kemudian, Ganesha ketika menjadi pimpinan pasukan Gana untuk melawan Asura, maka dia juga disebut sebagai
Ganapati. Saat melawan Asura, dia mengendarai hewan perusak yaitu tikus. ”Tikus itu kan bisa merusak apa saja,
merusak tembok merusak kayu dan apa saja,” kata Dwi. Melihat dari cerita itu, tidak mengherankan jika para
koruptor disimbolkan dengan hewan tikus. Dengan perlawanan yang dilakukan Ganesha ini, maka jagad para
dewa kembali aman. Soal cerita ini, menurut Dwi, sekarang juga sedang diputar filmnya di sebuah televisi swasta
dengan judul Mahadewa.
Selain sebagai penghalang marabahaya dan pemimpin pasukan perang Ganesha, juga disebut dewa ilmu
pengetahuan (Vidya Dewa). Hal itu bisa dilihat dari simbol gambar yang ada di patung. Yang mana di tangan
Tim yang dikawal petugas dari Perhutani langsung bertolak ke Pesarean (makam) Gunung Kawi di Desa
Wonosari, Kecamatan Wonosari. Menyusuri jalanan desa khas pegunungan naik turun dan kadang bergelombang
yang jaraknya sekitar 18 kilometer dari Kepanjen, ibu kota Kabupaten Malang atau sekitar 25 kilometer dari Kota
Malang. Bahkan tak jarang melewati jalanan berdebu. Begitu mobil melintas, jalanan di belakang tertutup debu
yang beterbangan.
Sampai di kompleks pesarean, tim jelajah segera menuju lokasi dan melakukan langsung liputan karena waktu
yang semakin sore. Hari itu suasana agak sepi. Para peziarah yang datang tidak sebanyak di malam Jumat Legi.
Namun, ada saja peziarah dari berbagai daerah dan beragam etnis yang datang silih berganti.
Tim jelajah lalu menemui Panut Aryo bin Hanan, salah satu orang yang bertugas sebagai penyampai segala
informasi tentang Pesarean Gunung Kawi. ”Tolong ya Mas, Pesarean Gunung Kawi bukan tempat mencari
pesugihan. Sebab selama ini, banyak orang yang menganggap di sini tempat mencari pesugihan. Itu tidak benar
dan sama sekali tidak benar,” pinta Panut sebelum memberikan banyak keterangan tentang keberadaan Pesarean
Gunung Kawi.
Dia kemudian menjelaskan asal usul adanya Pesarean Gunung Kawi. Menurutnya, di pesarean itu ada dua
jenazah tokoh yang dimakamkan dalam satu liang lahat. Yang pertama adalah Eyang Djoego atau Kanjeng Kyai
Zakaria II dan Raden Mas Iman Soedjono. Semasa hidupnya, dua orang tersebut dikenal dengan kharisma dan
sifat-sifatnya yang baik. Keduanya juga dikenal sebagai penyebar agama Islam (dai) dan pemimpin masyarakat.
Dua orang tersebut sebagai pengikut Pangeran Diponegoro dalam perang melawanBelanda tahun 1825–1830.
Lalu siapakah sebenarnya dua orang itu? Menurut Panut, Kanjeng Kyai Zakaria II atau Mbah Djoego adalah ulama
terkenal dari Mataram Martapura, sedangkan Mas Iman Soedjono adalah bangsawan yang menjadi
senopati/panglima perang dari Keraton Jogjakarta. Riwayat Kyai Zakaria II dapat ditelusuri berdasarkan surat
keterangan yang dikeluarkan oleh pengageng Kantor Tepas Darah Daken Keraton Jogjakarta Hadiningrat nomor:
55/TD/1964 yang ditandatangani oleh Kanjeng Tumenggung Danoehadiningrat pada 23 Juni 1964. Dalam surat itu
diterangkan silsilah Kyai Zakaria II sebagai berikut:
Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana I (Pangeran Puger) – memerintah Keraton
Mataram tahun 1705–1719 – berputra Bendoro Pangeran Haryo (BPH) Diponegoro. Pangeran Diponegoro
mempunyai putra Kanjeng Kyai Zakaria I yang menjadi ulama terkenal. Kemudian Kyai Zakaria I memiliki anak
Raden Mas Soeryokoesoemo atau Raden Mas Soeryodiatmodjo. Nama terakhir ini semenjak masa mudanya
memiliki minat besar mempelajari Islam. Lalu dia berganti nama dengan Kanjeng Kyai Zakaria II. Kemudian untuk
menghindari penangkapan Belanda, dia menggunakan nama Eyang Mbah Sadjoego atau disingkat Mbah Djoego.
Sedangkan Raden Mas Iman Soedjono adalah putra Raden Ayu Tumenggung Notodipo, cucu Pangeran Aryo
Balitar atau buyut Sri Sultan Hamengkubuwono I.
Konon berdasarkan kepercayaan tertentu, dengan berdoa di tempat yang tinggi akan lebih mudah terkabul. Karena
tempat yang tinggi relatif lebih nyaman dan tenang.
Setelah mengeskplorasi sejarah Pesarean Mbah Djoego, tim Jelajah Seribu Situs Jawa Pos Radar Malang-Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Malang bergeser ke KeratonGunung Kawi, Dusun Gendogo, Desa
Balesari, Kecamatan Ngajum, Kabupaten Malang, Rabu (23/9).
Keraton Gunung Kawi berada di kaki Gunung Kawi sebelah tenggara. Jarak Keraton Gunung Kawi dari Pesarean
Gunung Kawi di Kecamatan Wonosari sekitar 7 km ke arah timur naik ke atas. Butuh waktu sekitar 20 menit
perjalanan dengan kendaraan bermotor. Sebab selain tidak terlalu jauh, jalannya juga cukup nyaman dilalui.
Bahkan mendekati kompleks keraton, jalannya sudah ada yang berpaving mulus. Situs keraton berada di tengah
hutan pinus yang jauh dari permukiman penduduk. Jaraknya sekitar 2 kilometer.
Keraton Gunung Kawi terletak di petak 175 E di hutan yang dikelola Perhutani. Kompleks situs keraton tersebut di
ketinggian 1.190 meter di atas permukaan laut. Hawanya dingin dan suasananya sangat tenang. Hembusan angin
yang menerpa pohon cemara mengirimkan nada yang menenteramkan jiwa.
Menurut penjaga situs Agus Arifin, Keraton Gunung Kawi dibangun oleh Mpu Sindok yang merupakan Raja
Mataram yang pindah ke Jawa Timur. Dia bernama asli Kusuma Wardani.
Menurut Agus, Mpu Sindok hijrah ke Jawa Timur tahun 861 Masehi atau pada waktu pembangunan Candi
Borobudur selesai. Kemudian, dia pindah ke daerah Gunung Kawi. Kenapa Mpu Sindok pindah ke Gunung Kawi?
Agus mengatakan, itu dikarenakan terjadi perselisihan di antara Dinasti Sailendra.
Kerajaan Singhasari mempunyai tempat yang istimewa dalamsejarah Nusantara. Dari para raja Singhasari
ini lah akhirnya menurunkan raja-raja Majapahit yang akhirnya menyatukan Nusantara, cikal bakal Indonesia saat
ini.
Melihat silsilah para raja itu lah, tak heran rasanya jika para petinggi Majapahit kerap mengunjungi wilayah
Singhasari. Biasanya, raja-raja Majapahit itu datang ke sekitar Singhasari untuk kunjungan kenegaraan atau hanya
sekadar nyekar ke leluhurnya.
Di Kabupaten Malang, ada tempat menarik yang hanya berjarak sekitar tiga kilometer dari puncak Gunung
Semeru. Lokasi menarik itu ada di Desa Jawar, Kecamatan Ampelgading. Saya sudah ke sana,
saat nyambangi tim ekspedisi Jelajah Seribu Situs awal bulan lalu.
Jawar dalam kurun tiga tahun terakhir semakin banyak didatangi para peziarah dari Bali. Terutama dari
Karangasem. Melihat tren tersebut, Bupati Karangasem I Wayan Geredeg berniat akan membangun pura di sana.
Dan pada Selasa (9/9) lalu, Bupati Karangasem didampingi Bupati Malang Rendra Kresna melakukan peletakan
batu pertama untuk rencana pembangunan pura tersebut.
Ketika saya ke sana, harus melewati jalan yang rusak parah, sekitar tiga kilometer. Jalan itu tak beraspal, dan
bukan pula jalan makadam. Melainkan jalan berpasir, berbatuan, dan teksturnya bergelombang sangat ekstrim.
Innova yang saya kendarai pun harus menyerah tidak bisa tiba di lokasi, setelah tiga kali roda belakang terjebak
kubangan pasir.
Mengapa warga dari Bali mulai banyak yang berdatangan ke Jawar? Karena saat ini, warga di Pulau Dewata itu
sudah mulai banyak yang meyakini, bahwa nenek moyang mereka sebelum membangun Pura di Besakih, terlebih
dulu bertirakat di Jawar. Sehingga, kedatangan para warga dari Bali itu ke Jawar, salah satu tujuannya adalah
menapaktilasi jejak leluhur mereka.
Dan di Jawar itu, memang ada jejak sejarah yang bukti materialnya masih ada hingga sekarang. Di sana, terdapat
batu-batu alam dengan relief di dalamnya, yang ditata sedemikian rupa sebagai lantai dasaran, luasnya sekitar 6×6
meter persegi. Batu-batuan berelief itu diduga merupakan peninggalan sejak sekitar abad ke-14 (atau masa
keemasan Majapahit). Dan diduga pula, batu-batu itu merupakan lantai dasaran dari sebuah tempat semacam
pendapa. ”Tempat ini bisa jadi merupakan tempat bertapanya para raja. Termasuk Patih Gajahmada pernah juga
bertapa di sini,” kata Ida Pandita Mpu Nabe Iti Parama Dharma atau yang dikenal dengan Romo Putri, perempuan
asal Karangasem, Bali berumur 50 tahun, yang sejak tahun 2003 lalu menjadi penunggu lokasi ”yang
dikeramatkan” di Jawar itu. (Sebagian warga di sekitar Jawar memercayai, Romo Putri punya kelebihan spiritual.)
Kepada saya, Romo Putri menceritakan, sekarang ini, sudah mulai banyak para peziarah yang datang ke Jawar.
Karena warga dari Bali semakin banyak yang datang ke sana, maka di tempat itu juga sudah berdiri bangunan-
bangunan tempat sembahyangan dan sesaji umat Hindu, seperti yang banyak terdapat di Bali. Mereka yang
datang ke Jawar tidak hanya sebatas umat Hindu saja. Umat dari agama lain pun juga semakin banyak yang
datang. ”Bahkan, ada ustad dan kiai yang datang ke sini, khusus ingin tirakat mencari ketenangan,” ceritanya.
Lokasi situs bersejarah di Jawar itu memang jauh dari keramaian. Tidak ada rumah penduduk di sana, kecuali
tempat tinggal Romo Putri. Dia tinggal di sana sejak tahun 2003 bersama anak laki-lakinya Jero Mangku Gede
Wayan Suarsana. Sebelumnya, suami Romo Putri (Romo Kakung) juga tinggal di sana. Namun, dia sudah
meninggal sejak dua tahun lalu (2012).
Ketika saya berada di sana mulai sore hingga malam hari, suasana magis begitu terasa. Beberapa kali saya
mendengar suara gemuruh dari gunung Semeru itu, mirip suara ombak di laut. Sepertinya, itu suara dari dalam
gunung yang bisa jadi bersumber dari adukan kawah.
Bagi para peziarah yang datang ke Jawar, sebenarnya sudah ada beberapa fasilitas pendukung. Yakni, ada satu
pendapa dan dua buah tempat peristirahatan mirip pendapa, satu ruangan tertutup, dan musala yang full terbuat
dari kayu ulin, yang dibangun oleh seorang pengusaha asal Turen, Kabupaten Malang. (Kabarnya, pengusaha itu
bisa meraih kesuksesan, salah satunya karena bertirakat dan berdoa di tempat itu.) Pengusaha (muslim) inilah
yang juga membangun musala panggung dari kayu. Cukup untuk salat berjamaah belasan orang.
Menurut saya, Jawar bisa menjadi destinasi wisata religi yang menarik dan kuat sekali nuansa magisnya.
Dari daftar buku pengunjung yang ada nampak bahwa Candi Kidal tidak sepopuler “teman”-nya
candi Singosari, Jago, atau Jawi. Ini diduga karena Candi Kidal terletak jauh di pedesaan, tidak banyak diulas
oleh pakar sejarah, dan jarang ditulis pada buku-buku panduan pariwisata.
8°0′20,81″LU 112°45′50,82″BT.
Candi ini cukup unik, karena bagian atasnya hanya tersisa
sebagian dan menurut cerita setempat karena tersambar
petir. Relief-reliefKunjarakarna dan Pancatantra dapat ditemui
di candi ini. Sengan keseluruhan bangunan candi ini tersusun
atas bahan batu andesit.
Pada candi inilah Adityawarman kemudian menempatkan Arca Manjusri seperti yang disebut pada Prasasti
Manjusri. Sekarang Arca ini tersimpan di Museum Nasional dengan nomor inventaris D. 214.
Candi ini mula-mula didirikan atas perintah raja Kertanagara untuk menghormati ayahandanya, raja
Wisnuwardhana, yang mangkat pada tahun 1268. Dan kemudian Adityawarman mendirikan candi tambahan dan
menempatkan Arca Manjusri.
Arsitektur Candi Jago disusun seperti teras punden berundak. Keseluruhannya memiliki panjang 23,71 m, lebar 14
m, dan tinggi 9,97 m. Bangunan Candi Jago nampak sudah tidak utuh lagi; yang tertinggal pada Candi Jago
hanyalah bagian kaki dan sebagian kecil badan candi. Badan candi disangga oleh tiga buah teras. Bagian depan
teras menjorok dan badan candi terletak di bagian teras ke tiga. Atap dan sebagian badan candi telah terbuka.
Secara pasti bentuk atap belum diketahui, namun ada dugaan bahwa bentuk atap Candi Jago menyerupai Meru
atau Pagoda.
Pada dinding luar kaki candi dipahatkan relief-relief cerita Kresnayana, Parthayana, Arjunawiwaha, Kunjarakharna,
Anglingdharma, serta cerita fabel. Untuk mengikuti urutan cerita relief Candi Jago kita berjalan mengelilingi candi
searah putaran jarum jam (pradaksiana).
Pada sudut kiri candi (barat laut) terlukis awal cerita binatang seperti halnya cerita Tantri. Cerita ini terdiri dari
beberapa panel. Sedangkan pada dinding depan candi terdapat fabel, yaitu kura-kura. Ada dua kura-kura yang
diterbangkan oleh seekor angsa dengan cara kura-kura tadi menggigit setangkai kayu. Di tengah perjalanan kura-
kura ditertawakan oleh segerombolan serigala. Mereka mendengar dan kura-kura membalas dengan kata-kata
(berucap), sehingga terbukalah mulutnya. Ia terjatuh karena terlepas dari gigitan kayunya. Kura-kura menjadi
makanan serigala. Maknanya kurang lebih memberikan nasihat, janganlah mundur dalam usaha atau pekerjaan
hanya karena hinaan orang.
Pada sudut timur laut terdapat rangkaian cerita Buddha yang meriwayatkan Yaksa Kunjarakarna. Ia pergi kepada
dewa tertinggi, yaitu Sang Wairocana untuk mempelajari ajaran Buddha.
Salah satu patung yang awalnya terdapat pada Candi Jago, yang merupakan perlambangan Dewi Bhrkuti
Beberapa hiasan dan relief pada kaki candi berupa cerita Kunjarakarna. Cerita ini bersifat dedaktif dalam
kepercayaan Buddha, antara lain dikisahkan tentang raksasa Kunjarakarna ingin menjelma menjadi manusia. Ia
menghadap Wairocana dan menyampaikan maksudnya. Setelah diberi nasihat dan patuh pada ajaran Buddha,
akhirnya keinginan raksasa terkabul.
Pada teras ketiga terdapat cerita Arjunawiwaha yang meriwayatkan perkawinan Arjuna dengan Dewi Suprabha
Candi ini dibuat dari batu andesit dengan ukuran panjang 6,25 m, lebar 6,25 m, dan tinggi 5,23 m, dibangun pada
ketinggian 650 m di atas permukaan laut, di kaki bukit Gunung Arjuna. Pemandangan di sekitar candi ini sangat
indah karena terletak di dekat sebuah telaga yang sangat bening airnya. Keadaan inilah yang memberi nama
Candi Rawan.
Candi Sumberawan pertama kali ditemukan pada tahun 1904. Pada tahun 1935 diadakan kunjungan oleh peneliti
dari Dinas Purbakala. Pada zamanHindia Belanda pada tahun 1937 diadakan pemugaran pada bagian kaki candi,
sedangkan sisanya direkonstruksi secara darurat. Candi Sumberawan merupakan satu-satunya stupa yang
ditemukan di Jawa Timur. Batur candi berdenah bujur sangkar, tidak memiliki tangga naik dan polos tidak berelief.
Candi ini terdiri dari kaki dan badan yang berbentuk stupa. Pada batur candi yang tinggi terdapat selasar, kaki
candi memiliki penampil pada keempat sisinya. Di atas kaki candi berdiri stupa yang terdiri atas lapik bujur
sangkar, dan lapik berbentuk segi delapan dengan bantalan Padma, sedang bagian atas berbentuk genta (stupa)
yang puncaknya telah hilang. Karena ada beberapa kesulitan dalam perencanaan kembali bagian teratas dari
tubuh candi, maka terpaksa bagian tersebut tidak dipasang kembali. Diduga dulu pada puncaknya tidak dipasang
atau dihias dengan payung atau chattra, karena sisa-sisanya tidak ditemukan sama sekali. Candi Sumberawan
tidak memiliki tangga naik ruangan di dalamnya yang biasanya digunakan untuk menyimpan benda suci. Jadi,
hanya bentuk luarnya saja yang berupa stupa, tetapi fungsinya tidak seperti lazimnya stupa yang sesungguhnya.
Diperkirakan candi ini dahulu memang didirikannya untuk pemujaan.
Para ahli purbakala memperkirakan Candi Sumberawan dulunya bernama Kasurangganan, sebuah nama yang
terkenal dalam kitab Negarakertagama. Tempat tersebut telah dikunjungi Hayam Wuruk pada tahun 1359 masehi,
sewaktu ia mengadakan perjalanan keliling. Dari bentuk-bentuk yang tertulis pada bagian batur dan dagoba
(stupanya) dapat diperkirakan bahwa bangunan Candi Sumberawan didirikan sekitar abad 14 sampai 15 masehi
yaitu pada periode Majapahit. Bentuk stupa pada Candi Sumberawan ini menunjukkan latar belakang keagamaan
yang bersifat Buddhisme.
Dengan upaya yang keras, akhirnya Mpu Supo menemukan suatu kawasan yang sekarang lebih dikenal sebagai
kawasan wisata Songgoriti. Atas persetujuan Raja, Mpu Supo mulai membangun kawasan Songgoriti sebagai
tempat peristirahatan keluarga kerajaan beserta sebuah candi yang diberi nama Candi Supo. Di tempat
peristirahatan tersebut terdapat sumber mata air yang mengalir dingin dan sejuk seperti semua mata air di wilayah
pegunungan. Mata air dingin tersebut sering digunakan untuk mencuci keris-keris bertuah sebagai benda pusaka
dari kerajaan Sindok. Mengingat benda-benda kerajaan yang dicuci tersebut bertuah serta mempunyai kekuatan
supranatural dan magis yang maha dahsyat, akhirnya sumber mata air yang semula terasa dingin dan sejuk
berubah menjadi sumber air panas. Sumber air panas itupun sampai saat ini menjadi sumber abadi di kawasan
Wisata Songgoriti.
Klenteng Eng An Kiong terletak di Jalan R.E. Martadinata 1 Malang, Provinsi Jawa Timur, atau tepatnya
berdampingan dengan Pasar Besar Malang, di kawasan Kota Lama Malang. Konon, klenteng ini dibangun pada
tahun 1825 atas prakarsa dari Liutenant Kwee Sam Hway.
Ia adalah keturunan ketujuh dari seorang Jenderal di masa Dinasti Ming berkuasa di Tiongkok. Ketika itu,
keturunan sang Jenderal ditekan oleh Dinasti Jing sehingga terpaksa melarikan diri ke Nusantara. Kelenteng Eng
An Kiong Malang sendiri ternyata memiliki catatan sejarah yang begitu luar biasa karena selain menjadi salah satu
Klenteng tertua di Kota Malang juga merupakan peninggalan sejarah turunan ketujuh Jendral Dinasti Ming.
Menurut sejarah, kurang lebih sekitar 400 tahun lamanya setelah Laksamana Cheng Ho menapakkan kaki di tanah
Jawa, Kelenteng Eng Ang Kiong pun didirikan. Hal itu berdasarkan inisiatif dari Lt. Kwee Sam Hway. Ia adalah
keturunan ketujuh dari seorang Jendral di jaman Dinasti Ming yang berkuasa di Tiongkok. Saat itu, keturunan sang
Jendral ditekan oleh Dinasti Jing sehingga terpaksa melarikan diri ke Indonesia.
Sang Kapiten (keturunan kelima Jendral masa Dinasti Ming) mendarat di Jepara kemudian menikah dengan putri
Masjid Agnung Malang merupakan sebuah masjid yang terletak di Malang, Indonesia. Masjid ini dibangun pada
tahun 1890 dan selesai pada tahun1903. Masjid ini berbentuk bujur sangkar berstruktur baja dengan atap tajug
tumpang dua. Sampai saat ini, bangunan aslinya masih dipertahankan.
Masjid Agung Jami’ Malang didirikan pada tahun 1890 M di atas tanah Goepernemen atau tanah negara sekitar
3.000 m2. Menurut prasasti yang ada, Masjid Agung Jami’ dibangun dalam dua tahap. Tahap pertama dibangun
tahun 1890 M, kemudian tahap kedua dimulai pada 15 Maret 1903, dan selesai pada 13 September 1903.
Bangunan masjid ini berbentuk bujursangkar berstruktur baja dengan atap tajug tumpang dua, dan sampai saat ini
17.Candi Badut
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas