Anda di halaman 1dari 21

qwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwerty

uiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasd
fghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzx
JELAJAH SERIBU SITUS DI
MALANG
cvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmq
Oleh : Salsabila/ 24 / X MIPA 1
wertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyui
opasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfg
hjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxc
vbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmq
wertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyui
opasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfg
hjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxc
vbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmq
wertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyui
opasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfg
hjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbn
mqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwert
yuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopas
1, Situs Jenggolo, Tempat Pelarian Rakyat Majapahit
 25 September 2014 by Redaksi in Kanjuruhan

Hari pertama ekspedisi Jelajah Seribu Situs  yang


dilakukan Jawa Pos Radar Malang,  langsung menuju dua
situs sekaligus. Yakni di Dusun Sumedang Desa Jenggolo,
Kecamatan Kepanjen,Kabupaten Malang. Dengan dikawal
sekitar 30 penunggang trail, beramai-ramai mengunjungi
dua situs yang ada di Jenggolo. Di situs pertama, tim
disambut oleh juru kunci Mbah Samin.
Dengan ramah, lelaki 65 tahun itu mempersilakan
rombongan masuk ke bangunan tempat situs yang berupa
satu batu umpak (tempat dasaran/bantalan tiang) berada.
Sebenarnya ada 4 batu umpak, tapi kini yang tersisa hanya
tiga, itu pun tempatnya terpisah. ”Tidak tahu yang satu ke
mana. Sejak dulu, warga tahunya ya hanya tiga ini,” kata Mbah Samin.
Situs yang pertama dikunjungi tim posisinya berada di sebelah selatan. Di situ terdapat pohon beringin tua
yang diperkirakan berumur ratusan tahun. Di bawahnya terdapat bangunan sederhana seluas sekitar 6×3 meter.
Ada dua ruangan di bangunan tersebut. Satu ruangan untuk ruang tamu lesehan, satunya lagi yaitu kamar ukuran
sekitar 2×3 meter untuk menyimpan satu batu umpak. Tim masuk ke kamar dan melihat umpak itu dikelilingi
kemenyan dan bunga setaman. ”Biasanya kalau Jumat Legi ada yang datang ke sini,” kata Samin.
Bahkan, lanjut dia, tak jarang sejumlah orang berpakaian rapi yang dia duga memiliki jabatan, datang
kepadanya agar dibukakan pintu untuk bersemedi di kamar kecil itu. ”Katanya biar cepet naik pangkat,” ujar dia
sembari tersenyum.
Dari pengamatan tim Jelajah  Seribu Situs, umpak batu tersebut diukir dengan motif bunga teratai yang
bagian dasarnya berbentuk persegi empat dan bagian atasnya bulat. Tinggi situs itu sekitar 0,5 meter dengan
diameter bagian atas sekitar 0,5 meter dan luas dasaran sekitar 70×70 sentimeter. Pahatan ukiran terlihat halus
dan rapi.
Sekitar setengah jam di situs pertama, tim diajak bergeser di situs kedua yang berjarak sekitar setengah
kilometer di sebelah utara. Di situs kedua ini terdapat bangunan dengan panjang 15 meter dan lebar 7 meter yang
berada di tengah sawah di pinggir hutan dekat sungai. Di dalam bangunan tersebut terdapat dua ruangan, untuk
ruang pertama difungsikan sebagai ruang tamu, di situ terdapat dua umpak batu yang bentuknya sama persis
dengan umpak di situs sebelumnya. Lalu masuk ke ruang dalam, terdapat duamakam kuno yang di dalam ruangan
itu juga terdapat lukisan bergambar pohon dengan tiga kepala ular yang dilukis oleh Sjam Subekti tahun 1935
silam.  Posisi lukisan itu berada pada dinding di antara duamakam.
Menurut Samin, makam itu adalah makam Eyang Jawil Kasut dan istrinya Juwar Manik, yang pernah menjadi
Raja Jenggolo atau dikenal dengan Kerajaan Medang Kamulyan. Karena dia menilai situs tersebut berkaitan
dengan pemisahan dua Kerajaan Jenggala dan  Panjalu pada masa Raja Erlangga dari Kerajaan Kahuripan.
Sehingga, kata Samin, situs Jenggolo ini lebih tua dari masa Singhasari dan Majapahit. Anggapan tersebut saat ini
dipercaya oleh masyarakat setempat. Bahkan, lanjut dia, sesepuh desa tidak mau jika situs ini dianggap lebih
muda dari masa Majapahit.
Namun, dari data-data sejarah, anggapan masyarakat tersebut perlu dipertanyakan. Menurut sejarawan asli
Malang Suwardono, situs tersebut tidak ada kaitannya dengan Kerajaan Jenggala dan Panjalu di masa Erlangga
(Kahuripan). Soal nama Jenggolo yang mirip Kerajaan Jenggala itu adalah hal yang wajar dan lumrah. ”Jenggolo
itu artinya kan  hutan, situs Jenggolo itu memang dulu berada di pinggir hutan,” terang dia.
Yang mana sisa-sisa hutan juga masih ada, meskipun di sekitar situs kini jadi persawahan.
Dijelaskan Suwardono, situs Jenggolo itu berkaitan dengan masa Majapahit akhir. Yang mana setelah
kekuasaan Majapahit meredup, sejumlah orang Majapahit melarikan diri ke selatan dan timur. Selatan yang

2 Jelajah seribu Situs Sejarah di Malang


dimaksud adalah Malang, sedangkan yang ke timur adalah ke Bali. Di Malang Selatan kala itu muncul Kadipaten
Sengguruh, yang mana salah satu peninggalannya adalah situs Jenggolo itu. Kadipaten secara kekuasaan lebih
kecil dari kerajaan. Berdasarkan data sejarah, lanjut Suwardono, pada masa Majapahit akhir, muncul beberapa
kerajaan kecil (kadipaten) di sejumlah daerah. Para adipatinya adalah para keturunan Majapahit.
Lalu soal anggapan masyarakat sekitar bahwa situs Jenggolo  adalah peninggalan Kerajaan Jenggala masa
Kahuripan, Suwardono tak mau menyalahkan. Karena itu hak masyarakat setempat untuk mengklaimnya. Yang
jelas sepengetahuan dia dari berbagai sumber, baik prasasti maupun Kitab Pararaton dan Negara Kertagama,
munculnya kerajaan/kadipaten di Malang bagian selatan itu baru pada masa akhir Majapahit.

2. Arca Ganesha Jadi Inspirasi Film Mahadewa


Posted on 26 September 2014 by Redaksi in Kanjuruhan

Perjalanan tim Jelajah Seribu Situs  menuju Arca Ganesha di Dusun Karangkates, DesaKarangkates,


Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten Malang.
Arca Ganesha terletak di belakang Kompleks Wisma Perum Jasa Tirta. Lokasi situs itu tidak bisa dilihat dari jalan
utama jurusan Malang–Blitar. Sebab, di sana juga tidak ada papan nama yang menujukkan jalan menuju ke situs
tersebut.   Namun, jika bertanya kepada warga sekitar, maka akan langsung ditunjukkan arahnya.

Begitu di situs tersebut, rombongan disambut oleh juru kunci, Supiati.  Wanita yang sudah 15 tahun jadi juru kunci
ini menjelaskan, pengunjung situs Arca Ganesha setiap hari selalu ada. Namun, jumlahnya tak sampai puluhan.
Paling banyak ketika malam Jumat Legi. Kadang juga ada yang datang untuk selamatan dengan memberikan
semacam sesajen. ”Ya pokoknya ada saja,” kata dia.

doli siregar/radar malang


PENUH MISTIS: Tim Jelajah Seribu Situs mengamati
Arca Ganesha di Desa Karangkates, Sumberpucung.

Ditanya soal sejarah situs Ganesha tersebut, Supiati tidak


banyak memberikan informasi. Hanya, dari kisah yang dia
ketahui dari cerita turun-temurun, Arca Ganesha pernah
dibawa ke Singosari dengan diangkut kereta yang ditarik
44 sapi. Ketika itu, situs tersebut diambil siang hari. ”Tapi
anehnya, malamnya situs ini sudah kembali ke sini
(Karangkates),” ungkap dia.
Lalu siapa yang membawa kembali ke Karangkates?
Supiati hanya menggeleng. Dia mengatakan, kata orang-
orang dulu, yang punya situs patung manusia setengah gajah itu tidak mau dipindah. Setelah kejadian tersebut,
tidak ada lagi yang berani memindah. Cerita  itu oleh sebagian masyarakat Karangkates juga dipercaya adanya.
Cerita semacam itu bukan hal aneh di masyarakat sekitar situs tersebut.
Sementara,  dari pengamatan tim Jelajah Seribu Situs, kondisi Arca Ganesha masih sangat bagus. Ukiran yang
dipahat juga menunjukkan bahwa pemahatnya sangat berpengalaman. Lekuk-lekuk dan ukirannya halus dan rapi.
Sehingga, bentuk arca sangat indah.
Sekitar setengah jam tim Jelajah Seribu Situs berada di situs Arca Ganesha, tim kedatangan tamu sejarawan dari
Universitas Negeri Malang (UM) Dwi Cahyono. Rombongan tim jelajah pun langsung duduk melingkar sambil
lesehan untuk mendengarkan kuliah singkat tentang situs Arca Ganesha Karangkates. Termasuk Supiati.
Menurut Dwi, Arca Ganesha yang berada di Desa Karangkates, Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten Malang itu
terbilang langka dan istimewa. Jika biasanya Arca Ganesha dalam posisi duduk, arca di desa itu dalam posisi
berdiri. ”Jumlah Arca Ganesha yang berdiri tersebut sangat sedikit, kebanyakan duduk seperti duduknya bayi,

3 Jelajah seribu Situs Sejarah di Malang


bukan duduk bersila,” terang dia.
Dwi juga menyampaikan, dulu Arca Ganesha itu lokasinya di dekat pertemuan Sungai Sengguruh
danSungai Brantas yang berada di bawah dari lokasi yang sekarang. Arca itu dipindah lebih ke atas di dekat
permukiman penduduk. Selain berdekatan dengan perkampungan, juga dekat makam China kuno yang sudah
tidak pernah dikunjungi oleh keluarganya. Makam tersebut menurut juru kunci adalah pindahan dari lokasi yang
saat ini jadi Pasar Sumberpucung. Namun kapan perpindahan itu, juru kunci Arca Ganesha juga tidak mengetahui
secara pasti.
Soal alasan dipindah dari pinggir sungai ke atas itu, Dwi menduga agar lebih aman. Namun alasan pastinya belum
ditemukan data-data sejarahnya secara pasti. Menurut dia, kemungkinan perpindahan itu terjadi pada masa
kolonial.
Kemudian terkait cerita bahwa konon arca tersebut pernah dipindah dan kembali lagi dalam semalam, Dwi
menganalisa bahwa itu mungkin saja terjadi. Namun, dia melogikannya, pada zaman kolonial Belanda,
kemungkinan arca memang dipindah. Sebab, arca itu dipercaya memiliki kekuatan gaib, maka oleh Belanda
diambil secara diam-diam. Dia menduga arca diambil pada malam hari. Namun karena khawatir warga marah,
maka kemudian dikembalikan secara diam-diam pula. Nah, oleh warga dikira arca kembali dengan sendirinya.
Menurut dia, anggapan mistis oleh masyarakat semacam itu bukan hal yang aneh dalam dunia situs purbakala.
Banyak situs lain yang juga dianggap masyarakat memiliki kekuatan gaib. Namun bila dianalisis secara ilmiah, hal
yang dikira gaib bisa juga dirasionalkan. ”Anggapan adanya kekuatan gaib oleh masyarakat itu kadang perlu juga,
agar masyarakat tidak merusak dan justru menjaganya,” terang dia.
Dwi Cahyono kemudian membahas lebih detail soal cerita Arca Ganesha di Karangkates, posisinya dulu berada di
pertemuan dua sungai, yaitu Sungai Sengguruh dan Sungai Brantas. Menurut dia, dalam kepercayaan Hindu,
pertemuan dua sungai (tempuran) itu adalah salah satu tempat berbahaya. Sehingga perlu didirikan Arca Ganesha
yang dipercaya mampu menghadang marabahaya atau peredam murka.
Bahkan, posisi Arca Ganesha di tempat lain tidak hanya di pertemuan dua sungai, tapi juga di perempatan jalan
dan di lereng gunung. Seperti di wilayah Torongrejo, Kota Batu yang posisinya berada di pinggir sungai dan dekat
pegunungan. Selain itu, di Candi Penataran Blitar, arca ada di dalam candi, karena punya tujuan untuk
menghadang kemarahan Gunung Kelud.
Soal kenapa dalam sejarah Hindu, Ganesha dipercaya mampu menghadang marabahaya? Dwi menjelaskan, dulu
di dunia para dewa sedang ada ancaman serius dari Asura atau Takasura. Bahkan, para dewa tidak ada yang bisa
melawan amukan Asura itu. Nah, menurut Dewa Indra, yang mampu melawan hanya anak laki-laki dari pasangan
Dewa Siwa dan Dewi Parwati. Ketika itu, Dewa Siwa mempunyai satu anak laki-laki, namanya Kartikea. Namun,
yang bisa melawan Asura atau Takasura adalah anak laki-laki yang lain yang bernama Ganesha. Namun, ketika
itu, Dewa Siwa tidak mau lagi punya anak dan memilih untuk bertapa.

Tapi wilayah para dewa ketika itu sedang terancam oleh Asura atau Takasura. Maka, para dewa mengharapkan
kelahiran bayi laki-laki yang lain dari Dewa Siwa. Nah, Dewa Indra tahu bagaimana caranya agar Dewa Siwa mau
punya anak lagi.  Kemudian Dewa Indra meminta agar Dewa Kama memanah Dewa Siwa dengan panah bunga
tepat di dadanya, lalu dia tidak kuat bertapa karena rindu dengan istrinya Dewi Parwati. Maka, Dewa Siwa
mengumpuli istrinya hingga kemudian lahirlah Ganesha dalam bentuk setengah manusia setengah hewan (gajah).
Ganesha sendiri memiliki arti penghalau bahaya. Nah belakangan, panah Dewa Kama itu dikenal dengan panah
asmara yang mampu meluluhkan hati Dewa Siwa untuk makin mencintai istrinya.
Kemudian, Ganesha ketika menjadi pimpinan pasukan Gana untuk melawan Asura, maka dia juga disebut sebagai
Ganapati. Saat melawan Asura, dia mengendarai hewan perusak yaitu tikus. ”Tikus itu kan bisa merusak apa saja, 
merusak tembok merusak kayu dan apa saja,” kata Dwi. Melihat dari cerita itu, tidak mengherankan jika para
koruptor disimbolkan dengan hewan tikus. Dengan perlawanan yang dilakukan Ganesha ini, maka jagad para
dewa kembali aman. Soal cerita ini, menurut Dwi, sekarang juga sedang diputar filmnya di sebuah televisi swasta
dengan judul Mahadewa.
Selain sebagai penghalang marabahaya dan  pemimpin pasukan perang Ganesha, juga disebut dewa ilmu
pengetahuan (Vidya Dewa). Hal itu bisa dilihat dari simbol gambar yang ada di patung. Yang mana di tangan

4 Jelajah seribu Situs Sejarah di Malang


kanan dan kiri depan memegang mangkuk dari tempurung kepala manusia yang dibelah. Lalu belalainya
mengarah ke mangkuk di tangan kiri. Belalai yang mengarah ke tengkorak ini bisa disimbolkan bahwa Ganesha
haus dengan pengetahuan. Ganesha juga dikenal sebagai sosok yang pandai. Tak mengherankan jika Institut
Teknologi Bandung (ITB) menggunakan lambang Ganesha, sebagai simbol ilmu pengetahuan. Ditanya soal bentuk
Ganesha yang setengah manusia dan setengah gajah, Dwi menjelaskan, ketika Dewi Parwati hamil, para dewa
datang untuk jagong. Nah, salah satu dewa yang datang itu adalah Dewa Wisnu yang mengendarai gajah putih
yang besar (aira wata). Ketika Dewi Parwati membuka pintu, dia kaget sekali melihat gajah yang sangat besar,
sehingga dia berdebar-debar. Maka kemudian ketika lahir anaknya tidak biasa. Bentuknya setengah manusia dan
setengah gajah. ”Oleh karena itu kenapa orang Jawa kalau ada wanita sedang hamil tidak boleh berpikiran aneh-
aneh,” kata Dwi.

3. Pesarean Mbah Djoego, Jadi Wisata Religi Internasional


Posted on 28 September 2014 by Redaksi in Featured , Kanjuruhan

Tim yang dikawal petugas dari Perhutani langsung bertolak ke Pesarean (makam) Gunung Kawi di Desa
Wonosari, Kecamatan Wonosari. Menyusuri jalanan desa khas pegunungan naik turun dan kadang bergelombang
yang jaraknya sekitar 18 kilometer dari Kepanjen, ibu kota Kabupaten Malang atau sekitar 25 kilometer dari Kota
Malang. Bahkan tak jarang melewati jalanan berdebu. Begitu mobil melintas, jalanan di belakang tertutup debu
yang beterbangan.
Sampai di kompleks pesarean, tim jelajah segera menuju lokasi dan melakukan langsung liputan karena waktu
yang semakin sore. Hari itu suasana agak sepi. Para peziarah yang datang tidak sebanyak di malam Jumat Legi.
Namun, ada saja peziarah dari berbagai daerah dan beragam etnis yang datang silih berganti.
Tim jelajah lalu menemui Panut Aryo bin Hanan, salah satu orang yang bertugas sebagai penyampai segala
informasi tentang Pesarean Gunung Kawi. ”Tolong ya Mas, Pesarean Gunung Kawi bukan tempat mencari
pesugihan. Sebab selama ini, banyak orang yang menganggap di sini tempat mencari pesugihan. Itu tidak benar
dan sama sekali tidak benar,” pinta Panut sebelum memberikan banyak keterangan tentang keberadaan Pesarean
Gunung Kawi.
Dia kemudian menjelaskan asal usul adanya Pesarean Gunung Kawi. Menurutnya, di pesarean itu ada dua
jenazah tokoh yang dimakamkan dalam satu liang lahat. Yang pertama adalah Eyang Djoego atau Kanjeng Kyai
Zakaria II dan Raden Mas Iman Soedjono. Semasa hidupnya, dua orang tersebut dikenal dengan kharisma dan
sifat-sifatnya yang baik. Keduanya juga dikenal sebagai penyebar agama Islam (dai) dan pemimpin masyarakat.
Dua orang tersebut sebagai pengikut Pangeran Diponegoro dalam perang melawanBelanda tahun 1825–1830.
Lalu siapakah sebenarnya dua orang itu? Menurut Panut, Kanjeng Kyai Zakaria II atau Mbah Djoego adalah ulama
terkenal dari Mataram Martapura, sedangkan Mas Iman Soedjono adalah bangsawan yang menjadi
senopati/panglima perang dari Keraton Jogjakarta. Riwayat Kyai Zakaria II dapat ditelusuri berdasarkan surat
keterangan yang dikeluarkan oleh pengageng Kantor Tepas Darah Daken Keraton Jogjakarta Hadiningrat nomor:
55/TD/1964 yang ditandatangani oleh Kanjeng Tumenggung Danoehadiningrat pada 23 Juni 1964. Dalam surat itu
diterangkan silsilah Kyai Zakaria II sebagai berikut:
Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana I (Pangeran Puger) – memerintah Keraton
Mataram tahun 1705–1719 – berputra Bendoro Pangeran Haryo (BPH) Diponegoro. Pangeran Diponegoro
mempunyai putra Kanjeng Kyai Zakaria I yang menjadi ulama terkenal. Kemudian Kyai Zakaria I memiliki anak
Raden Mas Soeryokoesoemo atau Raden Mas Soeryodiatmodjo. Nama terakhir ini semenjak masa mudanya
memiliki minat besar mempelajari Islam. Lalu dia berganti nama dengan Kanjeng Kyai Zakaria II. Kemudian untuk
menghindari penangkapan Belanda, dia menggunakan nama Eyang Mbah Sadjoego atau disingkat Mbah Djoego.
Sedangkan Raden Mas Iman Soedjono adalah putra Raden Ayu Tumenggung Notodipo, cucu Pangeran Aryo
Balitar atau buyut Sri Sultan Hamengkubuwono I.

5 Jelajah seribu Situs Sejarah di Malang


doli siregar/radar malang
JADI TUJUAN WISATA: Kompleks Pesarean Mbah
Djoego di Gunung Kawi selalu ramai setiap hari.

Karena sifat-sifatnya yang baik dan punya jiwa patriot


yang tinggi itulah kemudian masyarakat sangat
menghormati keduanya. Termasuk ketika sudah
meninggal, masyarakat tetap menghormati dengan cara
berziarah di makamnya. Bahkan, saking banyaknya yang
mengagumi hingga para peziarah datang dari berbagai
penjuru, dan etnis, serta keyakinan. Mulai dari etnis Jawa,
Tionghoa bahkan tak jarang orang dari luar negeri datang
untuk berziarah. Tercatat ada peziarah dari Singapura,
Malaysia, China, Taiwan, India, Amerika Serikat,
Hongkong, Jepang, Australia, Canada, Suriname, Belanda, Jerman, Zanzibar, dan berbagai negara Timur Tengah.
”Apakah mereka datang sekadar berwisata atau ziarah, kami tidak tahu,” ucap Panut.
Di hari biasa, jumlah pengunjung pesarean berkisar ratusan orang, tetapi di setiap malam Jumat Legi, peziarah
bisa mencapai ribuan. Jumlah peziarah mencapai puncaknya pada tanggal 12 bulan Suro (Muharam), saat
diadakan tahlil akbar untuk memperingati wafatnya Raden Mas Iman Soedjono.
Soal motivasi kedatangan pengunjung juga bermacam-macam ada yang sekadar berwisata, melakukanpenelitian,
berziarah, atau kebutuhan yang lain. Namun, umumnya pengunjung  datang untuk berziarah dan memanjatkan
doa kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Jika dilihat lokasinya, pesarean Mbah Djoego di lereng Gunung Kawi
memiliki hawa sejuk dan lingkungan yang tenang sehingga nyaman untuk memanjatkan doa.

Konon berdasarkan kepercayaan tertentu, dengan berdoa di tempat yang tinggi akan lebih mudah terkabul. Karena
tempat yang tinggi relatif lebih nyaman dan tenang.

4. Keraton Gunung Kawi, Pertapaan Raja-Raja Sakti


Posted on 29 September 2014 by Redaksi in Kanjuruhan
Diduga Sarang PKI, Tahun 1965 Ditutup

Setelah mengeskplorasi sejarah Pesarean Mbah Djoego, tim  Jelajah Seribu Situs  Jawa Pos Radar Malang-Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Malang bergeser ke KeratonGunung Kawi, Dusun Gendogo, Desa
Balesari, Kecamatan Ngajum, Kabupaten  Malang, Rabu (23/9).
Keraton Gunung Kawi berada di kaki Gunung Kawi sebelah tenggara. Jarak Keraton Gunung Kawi dari Pesarean
Gunung Kawi di Kecamatan Wonosari sekitar 7 km ke arah timur naik ke atas. Butuh waktu sekitar 20 menit
perjalanan dengan kendaraan bermotor. Sebab selain tidak terlalu jauh, jalannya juga cukup nyaman dilalui.
Bahkan mendekati kompleks keraton, jalannya sudah ada yang berpaving mulus. Situs keraton berada di tengah
hutan pinus yang jauh dari permukiman penduduk. Jaraknya sekitar 2 kilometer.
Keraton Gunung Kawi terletak  di petak 175 E di hutan yang dikelola Perhutani. Kompleks situs keraton tersebut di
ketinggian 1.190 meter di atas permukaan laut. Hawanya dingin dan suasananya sangat tenang. Hembusan angin
yang menerpa pohon cemara mengirimkan nada yang menenteramkan jiwa.
Menurut penjaga situs Agus Arifin, Keraton Gunung Kawi dibangun oleh Mpu Sindok yang merupakan Raja
Mataram yang pindah ke Jawa Timur. Dia bernama asli Kusuma Wardani.
Menurut Agus, Mpu Sindok hijrah ke Jawa Timur tahun 861 Masehi atau pada waktu pembangunan Candi
Borobudur selesai. Kemudian, dia pindah ke daerah Gunung Kawi. Kenapa Mpu Sindok pindah ke Gunung Kawi?
Agus mengatakan, itu dikarenakan terjadi perselisihan di antara Dinasti Sailendra.

6 Jelajah seribu Situs Sejarah di Malang


Dia menjelaskan, ada tiga alasan kenapa Mpu Sindok pindah ke Kawi. Pertama,  untuk menghindari gempuran
musuh dari luar yang tidak bisa ditangani oleh negara. Kedua, menghindari perang saudara yang menggerogoti
negara. ”Ketiga, demi mencari penghidupan yang lebih baik setelah rakyatnya sengsara karena meletusnya
Gunung Merapi,” terang dia.
Agus mengatakan, asal muasal terjadinya perselisihan di keluarga Sailendra adalah adanya perebutan kekuasaan
di dalam keluarga. Akhirnya, Mpu Sindok mengalah dan mendapatkan ilham untuk pindah ke Gunung Kawi.
Dengan adanya Mpu Sindok di Gunung Kawi, maka raja-raja di tanah Jawa (Mataram Lama) banyak yang
mendatangi tempat ini untuk meminta ilham atau nasihat.
Keturunan Mpu Sindok yang terkenal kata Agus adalah Dharmawangsa yang menurunkan Airlangga atau Prabu
Kameswara 1 (dari Kediri). Dia adalah generasi kedua setelah Mpu Sindok yang hingga saat ini dikenal sebagai
penguasa Keraton Gunung Kawi. Prabu Kameswara mengalami lengser keprabon mandek pandita (turun tahta
dan menjadi pertapa). Dia termasuk murid Mpu Sindok yang memiliki kepandaian dan kasta yang tinggi.
Selain Prabu Kameswara, kata Agus, yang bertapa di Keraton Gunung Kawi adalah Ken Arok dan Gadjah Mada.
Mereka adalah raja-raja yang sangat sakti di zamannya. Lalu pada zaman perjuangan Keraton Gunung Kawi,
lanjut Agus, juga sering digunakan untuk menyucikan diri dan menenangkan hati. Konon Bung Karno dan
pahlawan Supriadi pernah datang ke Keraton Gunung Kawi. Keduanya sering menyepi di tempat yang sekarang
disebut bangunan keraton. Yaitu berupa bangunan berukuran panjang sekitar 15 meter dengan lebar sekitar 7
meter. Tempat itu yang konon juga menjadi tempat Mpu Sindok dan Prabu Kameswara moksa.  ”Nah, seiring
perkembangan zaman, masyarakat sering mendatangi tempat ini untuk memanjatkan doa kepada Tuhan,”
katanya.
Setelah kemerdekaan, Keraton Gunung Kawi makin ramai dan yang paling banyak berkunjung adalah warga dari
etnis Tionghoa. Namun pada tahun 1965, tempat itu sempat ditutup total dan bangunan rusak parah karena
disinyalir menjadi persembunyian PKI. Selama 10 tahun lebih tempat ini ditutup dan pada tahun 1974 silam dibuka
secara resmi oleh pemerintah.
Hingga tahun 1978, bangunan Keraton Gunung Kawi masih sangat sederhana, lalu antara tahun 1979–1980
dipugar dan pada tahun 1993 mulai dibangun total. Namun, tahun 2002 lalu, terjadi kebakaran dan salah satu
bagian Keraton Gunung Kawi rata dengan tanah.
Sementara itu, sejarawan Suwardono mengaku, belum pernah mendapatkan bukti sejarah terkait Keraton Gunung
Kawi. Namun, lanjut dia, jika melihat posisi Keraton Gunung Kawi yang berada di lereng gunung, dia menduga itu
peninggalan zaman Majapahit. Menurut dia, pada zaman kekuasaan Majapahit, tempat peribadatan
umat Hindu dibangun dalam bentuk candi. Candi itu sebagai gambaran sebuah gunung yang dalam
ajaran Hindu adalah tempat yang dekat dengan para dewa. Untuk membangun candi butuh biaya besar dan
dukungan dari penguasa.
Namun,  setelah Majapahit jatuh, umat Hindu tidak lagi punya dukungan yang kuat dari Majapahit. Sebagai
gantinya, mereka sebagian melarikan diri ke gunung-gunung dan membuat tempat ritual. Karena sudah berada di
lereng gunung, mereka tidak perlu lagi membangun candi yang besar. Kadang malah hanya berupa tumpukan
batu. ”Tempat pemujaan di gunung, hampir semua itu baru ada pada masa Majapahit,” terang dia.
Namun, dalam buku berjudul Tafsir Baru Kesejarahan Ken Angrok, Pendiri Wangsa Rajasa, penerbit Ombak tahun
2013, yang dia tulis juga mengutip kitab Pararaton yang menyebutkan, sebelum menjadi raja Singhasari, Ken Arok
pernah diajak gurunya Mpu Lohgawe pergi ke Gunung Kawi untuk menemui para dewa. Namun, apakah tempat
yang dituju itu adalah Keraton Gunung Kawi atau bukan, Suwardono tidak bisa memastikan. Sebab, memang dia
tidak menemukan bukti tertulis tentang nama yang dituju. Sehingga, menurut dia, mungkin saja tempat yang dituju
itu adalah nama yang sekarang disebut keraton itu. Yang mana memang sudah ada sejak zaman sebelum
Majapahit.
Oleh karena itu, dia juga tidak mempersoalkan jika kepercayaan warga setempat menduga Keraton Gunung Kawi
sudah ada sejak zaman Mpu Sindok. Menurut dia, memang seperti itulah sejarah. Banyak kesimpangsiuran
apalagi jika tidak ditemukan data tertulis atau prasastinya. Karena memang kejadiannya sudah ratusan tahun yang
lalu. Sedangkan bukti tertulis dan bukti fisik sangat sedikit, bahkan tidak ada. Dengan begitu, setiap pendapat
harus tetap dihargai.

7 Jelajah seribu Situs Sejarah di Malang


5. Tiga Gunung Bentengi Gunung Katu
Posted on 30 September 2014 by Redaksi in Kanjuruhan

Gunung Katu, Tempat Suci Penyimpanan Benda Bersejarah


Perjalanan penuh tantangan dihadapi tim Jelajah Seribu SitusJawa Pos Radar Malang  ketika melanjutkan
perjalanan menuju situs Gunung Katu. Setelah meninggalkan Keraton Gunung Kawi pada Kamis (25/9),
tim ekspedisi yang didukung Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Malang serta PerumPerhutani itu
bergerak ke Dusun Sumberpang, DesaSumbersuko, Kecamatan Wagir. Di dusun itu, ada puncak Gunung Katu
yang menyimpan banyak benda bersejarah.
Puncak ini berada di petak 175 I RPH Wagir  dengan ketinggian sekitar 750 di atas permukaan laut.  Perjalanan
dari Keraton Gunung Kawi, Dusun Gendogo, Desa Balesari, Kecamatan Ngajum itu  membutuhkan waktu sekitar 1
jam untuk melewati jalan sempit di lereng Gunung Kawi. Letak Gunung Katu dari pusat Kecamatan Wagir sekitar 7
kilometer di sebelah barat daya. Dari Kota Kepanjen sekitar 18 kilometer mengarah ke barat daya.
Untuk menuju ke titik situs, kami harus berjalan kaki naik gunung yang menanjak dengan kemiringan sekitar 45
derajat sejauh sekitar 500 meter. Medan jalannya cukup sulit. Tim jelajah harus melewati  jalan berdebu yang licin
yang dikelilingi pohon pinus. Perjalanan menuju situs kali ini untuk sementara adalah yang tersulit dibanding situs-
situs sebelumnya yang bisa dituju dengan kendaraan roda empat. Beberapa kali anggota tim terpeleset debu dan
berkali-kali berhenti. Butuh waktu sekitar 20 menit dari titik pendakian hingga ke puncaknya.

Atim (kiri) juru kunci petilasan Gunung Katu


menjelaskan  sejarah pada Bentung Suryanto, petugas
Perhutani Wagi
Sekitar pukul 11.00, rombongan berhasil mencapai
puncak. Rasa capek seketika terbayar dengan kepuasan.
Sebab, ketika berada di puncak langsung disuguhi
pemandangan alam eksotis terhampar luas. Di kanan-
kirinya terdapat gunung-gunung. Di sebelah utara ada
Gunung Arjuno, sedang Gunung Kawi di sebelah barat,
dan Gunung Semeru di sebelah timur. Kami seperti berdiri
di gunung yang letaknya di tengah. Kami seperti berdiri di
atas benteng pertahanan perang yang bisa mengawasi
lawan dari arah mana saja dari ketinggian tersebut.
Di puncak Gunung Katu terdapat bangunan tembok keliling seluas sekitar 10×10 meter dan tiga pendapa.
Pendapa utama terbuat dari tembok dengan lantai keramik. Luas pendapa pertama sekitar 4×6 meter yang
digunakan untuk istirahat. Pendapa kedua juga terbuat dari tembok, berukuran 2×2 meter yang digunakan untuk
menempatkan situs. Sedangkan pendapa yang paling kecil berukuran 1×2 meter terbuat dari kayu mirip gubuk
tetapi tidak ada dinding dan lantainya.
Saat tim mengidentifikasi situs, terdapat fragmen batu candi yang bentuknya diduga pecahan dari pedestal
(bangunan bagian bawah) dari sebuah arca dengan panjang 110 cm, lebar 82 cm dengan tebal 24 cm. Oleh warga
setempat, batu itu disebut kaca benggala, karena memang bentuknya seperti kaca cermin untuk berhias. Di bagian
depan kaca benggala itu, saat tim mengamati sudah dicoret-coret. Salah satu coretan yang menarik perhatian tim
adalah tulisan Prabowo yang disilang. Entah kapan dan apa maksud tulisan itu.
Selain itu, juga ada batu pipih yang di tengahnya terdapat sembilan lubang  dengan lubang tengah ukurannya
paling besar. Lempengan batu ini berukuran 94×84 cm dan tebal 24 cm. Warga setempat menyebutnya sebagai
watu dakon, karena mirip alat permainan dakon zaman sekarang.
Selain itu, tim Jelajah Seribu Situs juga melihat ada tiga batu umpak yang diduga sebagai tempat dasaran tiang
bangunan dari kayu. Ukurannya, untuk lebar bawah 27×27 cm, tinggi 28 cm, serta lebar permukaan atas 21×21

8 Jelajah seribu Situs Sejarah di Malang


cm. Lalu, ada Patung Lembu Nandi tanpa kepala. Ukuran
tinggi 43 cm, panjang 80 cm, dan lebar  43 cm yang
terbuat dari batu andesit.
Menurut Atim, salah satu sesepuh desa, dulu di puncak
Gunung Katu juga ditemukan Arca Manten dan Arca
Kepala Naga. Namun sekarang, dua arca itu sudah tidak
ada. Diduga ada orang yang mencuri. Selain itu, beberapa
puluh meter dari puncak Gunung Katu pernah ditemukan
sejumlah batu yang diduga masih terkait situs tersebut.
Misalnya reruntuhan batu bata merah dan bangunan mirip
tugu pal. Namun, semua benda itu kini juga sudah hilang.
Tempat tersebut diduga sebagai salah satu tempat
pertapaan Ken Arok. Tapi, ada juga yang menduga itu
merupakan peninggalan sebelum Ken Arok.
Sejarawan asli Malang Suwardono dalam buku karyanya berjudul Tafsir Baru Kesejarahan Ken Angrok yang
diterbitkan penerbit Ombak Jogjakarta tahun 2013 menyebutkan bahwa puncak Gunung Katu hanya sebagai
tempat pengumpulan arca saja, bukan tempat aslinya (hal. 246). Dari penelusuran tim Jelajah Seribu
Situs memang menemukan peninggalan tersebut dalam buku itu. Namun, menurut Suwardono, untuk watu dakon,
identik dengan batu dakon dalam konteks budaya megalitik. Sedangkan tiga  umpak, menurut dia, berasal dari
zaman yang lebih modern dari zaman megalitik.
Dikatakan Suwardono, dengan melihat peninggalan yang diduga dari generasi yang berbeda itu, maka dugaan
bahwa Gunung Katu hanya sebagai tempat pengumpulan benda-benda tersebut juga masuk akal. Lalu kenapa
ditempatkan di Gunung Katu? Disampaikan Suwardono, mungkin dulu di tempat itu sudah menjadi tempat
pertapaan yang dianggap suci. Sehingga, benda-benda peninggalan sejarah tersebut untuk mendukung suasana
di tempat pemujaan.
Terkait asal benda-benda itu, Suwardono dalam bukunya menduga, salah satunya berasal dari Candi Kagenengan
Parangargo Kecamatan Wagir yang saat ini sudah tidak ada sisanya. Candi Kagenengan dalam kitab Pararaton
dan Negara Kertagama adalah tempat pendermaan/moksa Ken Arok

6. Candi Singhasari, Sasaran Perusakan saat Politik Memanas


Kondisi Situs Tidak Terawat dengan Baik
Andai saja situs yang ada di Singosari tak dirusak, mungkin akan banyak sejarah yang terungkap. Perusakan situs
di sekitar Candi Singhasari sudah dilakukan sejak dahulu dan berkali-kali. Diperkirakan, perusakan pertama
dilakukan oleh lawan bebuyutan Singosari, yakni Kediri.
Selanjutnya, perusakan juga dilakukan saat Hindu terdesak oleh kerajaan-kerajaan Islam. Terparah, perusakan
dilakukan oleh kolonial Belanda dan Inggris. Tak cukup sampai di situ, perusakan juga terjadi pada 1960-an.
Saat itu, situasi politik yang sedang memanas berimbas buruk pada Candi Singhasari yang berada di Jalan
Kertanegara, Singosari. Di tahun kelam sejarah Indonesia tersebut, candi dan sejumlah arca di Candi Singhasari
turut menjadi korban. Salah satu buktinya bisa dilihat ketika memasuki pelataran Candi Singhasari, ada banyak
patung yang berjajar di sisi barat, namun tak satu pun arca yang utuh.  Itu lah yang dilihat oleh tim JelajahSeribu
Situs Jawa Pos Radar Malang-Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Malang yang didukung Perum
Perhutani KPH Malang pada Sabtu (27/9) lalu.
Tak hanya arca yang tidak utuh, sejumlah bangunan pojok candi banyak yang bocel-bocel seperti bekas dipukul
benda keras. Patung Siwa Guru seukuran manusia yang kini tinggal satu-satunya arca yang melekat di Candi
Singhasari sudah rusak pada kepala dan tangannya. Kendati kondisinya rusak, arca yang terbuat dari batu pualam
itu masih terlihat indah.

DOLI SIREGAR/RADAR MALANG


KORBAN AMUK MASSA: Arca Ken Dedes tanpa kepala di kompleks Candi Singhasari

9 Jelajah seribu Situs Sejarah di Malang


Najib Jauhari, dosen sejarah Universitas Negeri Malang (UM) yang juga warga Singosari mengatakan, pada tahun
1960-an, situasi politik benar-benar kacau, sehingga sebagian warga ada yang terhasut dan melampiaskan
kemarahannya dengan merusak arca-arca yang mereka temui di Singosari. Di era tersebut, politik di Indonesia
dipanaskan dengan peristiwa PKI. ”Yang tidak dirusak Arca Dwarapala yang besar itu,” kata Najib.
Menurut salah satu putra sesepuh Singosari itu, perusakan tersebut sangat disayangkan. Akibat kejadian tersebut,
banyak arca yang rusak danhilang bagian-bagiannya. Rata-rata kepala arca itu tidak ada karena dipenggal.
Padahal, jika arca-arca itu utuh, maka akan sangat indah dan bisa dijadikan media untuk belajar sejarah dan
filsafat Hindu. Termasuk dua arca kereta yang ditarik beberapa kuda yang di Indonesia, menurut dia, hanya ada di
Candi Singhasari. Kini, arca kuda-kuda yang menarik kereta itu kondisinya sudah tidak berkepala semua. ”Ya
sangat disayangkan, namun apa boleh buat, semua telah terjadi,” tandasnya.
Ditanya lebih jauh soal peristiwa di tahun 1960-an itu, Najib enggan memberikan komentar banyak. Dia tidak ingin
menyampaikan lebih detail penyebab timbulnya peristiwa kelam tersebut. Putra asli Desa Candirenggo,
Kecamatan Singosari itu hanya berharap, peristiwa perusakan pada 1960-an tak terulang lagi.
Dalam kesempatan tersebut, Najib juga menyampaikan, hingga saat ini, banyak warga Singosari yang menemukan
arca dan batu-batu kuno yang diduga bekas bangunan percandian di kompleks istana Singosari. Batu-batu yang
ditemukan terpendam di dalam tanah itu oleh sebagian warga ada yang digunakan untuk fondasi rumah.
Sedangkan untuk arca yang ditemukan, warga biasanya menjualnya. ”Karena warga kan tidak mengerti. Namun,
ada juga yang kemudian menyerahkan kepada pihak yang berwenang,” lanjutnya.
Sementara itu, terkait kerusakan arca, tim Jelajah Seribu Situs tidak hanya menemukan di kompleks Candi
Singhasari saja. Di beberapa situs yang terdapat arcanya, kondisinya juga banyak yang rusak dan tak terawat.
Padahal, menurut arkeolog dari Universitas Negeri Malang yang lain, Dwi Cahyono, arca-arca di Candi Singhasari
adalah yang terbaik di Indonesia. Sebab, arca itu dibuat oleh para ahli patung yang sangat mumpuni. ”Jadi zaman
Singhasari itu adalah periode keemasan seni patung di Indonesia. Makanya, tak heran arca-arca dari Candi
Singhasari adalah yang terbaik di Indonesia. Pahatannya halus dan detail-detailnya begitu tampak,” terang Dwi.
Model-model arca pada zaman Singhasari, menurut Dwi, merupakan karya-karya masterpiece yang perfectdi
zaman sejarah seni patung di Indonesia. Bahkan bisa dikatakan belum ada tandingannya hingga zaman Indonesia
modern seperti sekarang. Sehingga tidak heran jika banyak sekali pemburu arca-arca, khususnya untuk
peninggalan zaman Singhasari

7. Menelusuri Makam Kebo Ijo, Lawan-Kawan Politik Ken Arok


Tak salah kiranya jika penulis Pramoedya Ananta Toer  dalam bukunya Arok Dedes menganggap, apa yang
terjadi di era pergantian dari Tumapel ke Singhasari adalah sebuah sandiwara konspirasi politik kekuasaan
pertama di Tanah Jawa.  Nah, untuk menelusuri berbagai konspirasi yang terjadi saat era pergantian kekuasaan
tersebut, tim Jelajah Seribu Situs Jawa Pos Radar Malang-Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Malang-
Perum Perhutani KPH Malang menelusuri makam Kebo Ijo.
Bila menilik ceritanya, Kebo Ijo adalah penggawa Kerajaan Singhasari yang saat masa Tumapel dipimpin Tunggul
Ametung mempunyai posisi strategis. Dia memimpin satuan pasukan kavaleri di masanya. Selain itu, Kebo Ijo juga
memiliki kesaktian yang cukup mumpuni.
Hanya saja, kesaktiannya sering disalahgunakan. Kebo Ijo juga dikenal sebagai sosok yang suka pamer kekuatan.
Dia lah yang dituduh Ken Arok sebagai pembunuh Tunggul Ametung.
Nah, sifat Kebo Ijo yang suka menyombongkan diri itu lah yang konon dimanfaatkan Ken Arok untuk membunuh
Tunggul Ametung. Ceritanya, ketika masih jadi bagian dari pasukan Tumapel, Kebo Ijo sangat dekat dengan Ken
Arok yang saat itu baru diterima menjadi penggawa.
Maka ketika Kebo Ijo meminjam keris Mpu Gandring yang terkenal sakti itu, Ken Arok dengan senang hati
meminjamkannya. Konon, oleh Kebo Ijo, keris itu sering dipamer-pamerkan ke sejumlah prajurit dan masyarakat.
Sehingga, orang mengenal bahwa keris Mpu Gandring itu adalah milik Kebo Ijo.
Suatu hari di tengah malam, saat Kebo Ijo sedang terlelap tidur, keris itu diambil oleh Ken Arok. Lalu Ken Arok
menuju ke peraduan Tunggul Ametung yang sedang tidur dengan Ken Dedes. Selanjutnya, Ken Arok membunuh

10 Jelajah seribu Situs Sejarah di Malang


Tunggul Ametung dengan menusukkan keris tersebut ke dadanya.
Saat kejadian itu hanya Ken Dedes yang tahu. Namun, Ken Dedes tidak berani membuka mulut. Itu karena Ken
Dedes menjadi bagian dari sebuah konspirasi untuk membunuh Tunggul Ametung. Hingga akhirnya Ken Dedes
menceritakan kejadian sebenarnya kepada Anusapati, anaknya dari suami Tunggul Ametung. Yang mana kelak
Anusapati membalas dendam dengan membunuh Ken Arok.
Nah, ketika pagi hari setelah Ken Arok membunuh Tunggul Ametung, warga Tumapel geger. Saat itu, tidak ada
satu pun orang yang tahu siapa yang menancapkan keris ke dada Tunggul Ametung. Lalu, Ken Arok menanyakan
siapa pemilik keris tersebut, semua menjawab keris itu milik Kebo Ijo.
Maka selanjutnya, Ken Arok mencari Kebo Ijo lalu membunuhnya. Konon, Kebo Ijo ini juga sakti dan susah
dibunuh, sehingga antara tubuh dan kepalanya harus dipisah. Ada yang mengatakan, kepala Kebo Ijo ada
di Lumajang. Ada juga yang menyebut kepala Kebo Ijo tidak terpisah dan berada di makam yang ada di
Randuagung sekarang ini.
Makam Kebo Ijo ini berada di tengah kebun tebu milik warga. Lokasinya berada di sebelah tenggara kompleks
Yonkav 3 Singosari. Untuk memasuki area makam tersebut, tim jelajah masuk melalui pintu utama Yonkav 3.
Tim diantar langsung oleh staf Intel Yonkav 3 Serka Didi Mulyono.
Didi sama sekali  tidak canggung blusukan di sela-sela tebu yang siap ditebang saat siang yang terik pada Senin
(29/9) lalu. Tak jarang daun tebu yang keras menggesek tangan tim jelajah hingga menimbulkan garis-garis merah
di tangan dan sebagian wajah.
Setelah memasuki perkebunan tebu sekitar 100 meter, tim jelajah sampai juga di makam yang berada di tengah-
tengah kebun tebu. Di kompleks makam itu terdapat dua makam, yang sebelah barat diduga makam Kebo Ijo.
Panjangnya sekitar 3 meter dengan lebar 50 sentimeter.
Kemudian di sebelah timurnya, konon merupakan makam pengawal setia Kebo Ijo. Ukuran makamnya juga tidak
jauh berbeda. Di kompleks makam itu terdapat bekas bangunan bata merah ukuran 6 meter x 5 meter yang
mengitari kompleks makam.
Selain itu, juga ada empat batu umpak kuno yang biasanya digunakan untuk bantalan tiang kayu. Kemungkinan
besar di tempat tersebut dulu terdapat bangunan dari kayu yang sudah runtuh.
Untuk memasuki kawasan itu, ada dua jalan yang bisa ditempuh. Pertama lewat pintu gerbang utama Yonkav 3
dan bisa juga masuk dari kampung sebelah utara Yonkav 3. Warga di sekitar sana sudah banyak yang mengetahui
tentang makam Kebo Ijo tersebut.
Bahkan, saat tim Jelajah Seribu Situs menuju ke lokasi yang berada sekitar 200 meter di belakang SDN
Randuagung 5 itu, para siswa di sana langsung menduga jika tim akan pergi ke makam Kebo Ijo. ”Mau ke makam
Kebo Ijo ya Pak,” tanya salah satu siswa ditimpali siswa yang lain.
Mereka lalu menunjukkan arah letak makam yang berada di tengah kebun tebu tersebut. ”Hayo mau cari
nomor ya,” sahut bocah yang lain.
Menurut Didi, rencananya makam itu akan diperbaiki oleh Yonkav 3. Sebab, bagaimana pun itu adalah
peninggalan sejarah nenek moyang, sehingga perlu dilestarikan. Bahkan komandan yang sekarang, lanjut dia,
yaitu Letkol Kav Rizeki Indra Wijaya SSos sudah berkoordinasi dengan milik tanah dan warga kampung untuk
memperbaiki kompleks makam Kebo Ijo.

8. Polaman-Gunung Wedon, Tempat Nyekar Hayam Wuruk


Posted on 12 Oktober 2014 by Redaksi in Kanjuruhan

Kerajaan Singhasari mempunyai tempat yang istimewa dalamsejarah Nusantara. Dari para raja Singhasari
ini lah akhirnya menurunkan raja-raja Majapahit yang akhirnya menyatukan Nusantara, cikal bakal Indonesia saat
ini.
Melihat silsilah para raja itu lah, tak heran rasanya jika para petinggi Majapahit kerap mengunjungi wilayah
Singhasari. Biasanya, raja-raja Majapahit itu datang ke sekitar Singhasari untuk kunjungan kenegaraan atau hanya
sekadar nyekar ke leluhurnya.

11 Jelajah seribu Situs Sejarah di Malang


Dan salah satu tempat yang kerap dikunjungi para petinggi Majapahit di antaranya adalah Pemandian Polaman
dan Gunung Wedon. Prabu Hayam Wuruk merupakan salah satu Raja Majapahit yang pernah megunjungi kedua
tempat tersebut.
Sekitar 1359 M, berdasarkan Kakawin Negarakertagama, Hayam Wuruk bersama beberapa petinggi Majapahit
mengadakan kunjungan ke daerah kekuasaannya, termasuk berkunjung ke Singhasari. Kunjungan tersebut dicatat
oleh wartawan kuno bernama Prapanca.
Dalam kitabnya, pada Pupuh 55; 2 disebutkan, Hayam Wuruk bersiap akan pulang, rindu kepada keindahan pura.
Tatkala rombongan berangkat menuju Banu Hanget, Banir, dan Talijungan. Bermalam di Wedhwa-Wedan,
siangnya menuju Kuwaraha, Celong dan Dadamar. Garantang, Pager Talaga, Pahanjangan, sampai di situ
perjalanan beliau.
Siangnya perjalanan melalui Tambak, Rabut Wayuha, terus ke Balanak. Menuju Pandhakan, Bhanaragi, tiba di
Padamayan beliau (Hayam Wuruk) lalu bermalam. Selanjutnya, kembali ke barat daya menuju Jajawa di kaki
Gunung Kumukus. Disambut warga yang bersorak gembira dan kemudian menyekar sebentar di candimakam.
Sehabis ekspedisi, perburuan sang raja memutuskan untuk pulang. Jalan yang ditempuh pada hari pertama
menuju ke arah utara melalui Banu Hanget, Banir, dan Talijungan, hingga di Wedhwa-Wedan, tempat rombongan
bermalam.
Nah, berdasarkan studi literatur tersebut, di antara nama-nama tempat yang dilewati itu, menurut sejarawan
Suwardono, hanya Wedhwa-Wedan yang dapat diidentifikasikan pada masa sekarang. Posisi Wedhwa-Wedan ini
berada di Bukit Wedon, yang tampak di sebelah barat jalan raya di Desa Turirejo, Kecamatan Lawang. Lokasinya
sekitar sembilan kilometer di sebelah utara Singosari.

DOLI SIREGAR/RADAR MALANG


BERSEJARAH: Arca-arca yag berada di sekitar Pemandian
Polaman ini dibiarkan begitu saja
Suwardono menyatakan, pada Desawarnana 73: 3 nama
Wedhwa-Wedan tercatat di antara 27 sudharma haji yang
didirikan untuk para raja dari wangsa Rajasa serta leluhurnya.
”Tidak jelas tokoh yang didharmakan di tempat tersebut, tetapi
dapat diduga bahwa dharma di Wedhwa-Wedan mewakili
salah seorang penguasa di Tumapel,” kata Suwardono.
Kemudian, ada kemungkinan Banu Hanget yang menunjukkan
sebuah sumber air panas dapat diidentifikasikan dengan
pemandian kuno di Dusun Polaman yang masuk Desa Bedali.
Kini sumber di Polaman hanya mengeluarkan air dingin. Di
Polaman masih dapat ditemukan peninggalan purbakala
berupa batu-batu candi, baik di sekitar pemandian maupun di
sebuah gua yang terletak pada jarak 350 meter di sebelah barat laut.
Seandainya Banu Hanget terletak di Dusun Polaman sekarang, Desa Banir dan Talijungan perlu dicari di sekitar
pusat Kecamatan Lawang. Kemungkinan lain Hayam Wuruk melewati situs yang kini dikenal dengan Candi
Sumberawan, termasuk Desa Toyomarto. Karena dulunya di Sumberawan terdapat sumber air panas yang dapat
disamakan dengan Banu Hanget.
Nama Dadamar, lanjut Suwardono, ditemukan kembali di Dusun Damar yang masuk Desa Sekarmojo, Kecamatan
Purwosari, Kabupaten Pasuruan. Posisinya adalah 5,5 kilometer di sebelah utara Bukit Wedon. Karena itu, kiranya
Kuwaraha dan Celong terletak di jalan antara Desa Turirejo di Kecamatan Lawang dan Desa Sekarmojo di
Kecamatan Purwosari.
Saat Polaman dan Bukit Wedon dikunjungi tim Jelajah Seribu Situs  Jawa Pos Radar Malang-Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Kabupaten Malang-Perum Perhutani KPH Malang, sisa-sisa benda purbakala masih ada. Di
Pemandian Polaman misalnya, kolam dibiarkan alami. Di sana terdapat banyak arca hewan mulai dari gajah, kera,
ular ikan, dan lainnya. Selain itu, ada dua tempat pemujaan di bawah pohon besar di kompleks pemandian. Dan di
dua kolam besar itu terdapat banyak ikan.
Menurut cerita warga, konon tempat ini sudah ada sejak zaman Kerajaan Kadiri. Setiap Raja Kadiri pergi ke
wilayah di sebelah timur Gunung Kawi dan Arjuno. Mereka selalu menyempatkan untuk mengunjungi mata air ini
sambil beristirahat di pasanggrahan. Tradisi tersebut juga dilakukan Raja Hayam Wuruk. ”Ya memang, yang jelas
sumber air itu sudah ada sejak lama, bahkan sebelum zaman Kadiri dan Majapahit,” kata Suwardono.
Namun, Suwardono belum bisa memastikan benda-benda purbakala itu peninggalan kerajaan apa. Karena di sana
memang tidak ada bukti yang bisa menguatkan. Sehingga bisa saja sebelum Majapahit atau juga pada masa

12 Jelajah seribu Situs Sejarah di Malang


Majapahit.
Sementara itu, untuk penyebutan Gunung Wedon di Lawang dalam Kitab Negarakertagama sangat jelas.
Dituliskan bahwa Hayam Wuruk bermalam di Gunung Wedon saat berziarah kepada para leluhurnya. Hanya saja
tidak disebutkan siapa para leluhur yang didharmakan di Gunung Wedon tersebut. Namun, ketika tim Jelajah
Seribu Situs ke Gunung Wedon, di sana tidak ditemukan benda-benda purbakala.
Menurut masyarakat setempat, dulu memang ada banyak batu kuno dan arca, tetapi sekarang sudahhilang sama
sekali. Namun, masyarakat sekitar percaya bahwa Gunung Wedon memang memiliki sejarah yang kuat. (lid/c2/fir)

9. Cinta Ken Arok pada Ken Dedes Bermotif Politis


Posted on 15 Oktober 2014 by Redaksi in Kanjuruhan

Gunung Telih, Tempat Perselingkuhan Ken Arok-Ken Umang


Selain dikenal karena kesaktiannya, Ken Arok juga populer sebagai raja yang memiliki kisah percintaan yang
romantis. TimJelajah  Situs Jawa Pos Radar Malang berhasil menelusuri jejak lokasi yang diprediksi kuat sebagai
tempat perselingkuhan Ken Arok dan Ken Umang. Yakni di Gunung Telih yang berada di kompleks Candi Telih di
Dusun Sumbul, Desa Klampok, Kecamatan Singosari.
Disebut selingkuh, karena kala itu Ken Arok sudah memiliki istri yang supercantik di eranya: Ken Dedes. Namun,
cinta Ken Arok kepada Ken Dedes dan Ken Umang berbeda. Raja Singhasari tersebut mencintai Ken Dedes
karena ada motif ingin menjadi raja. Sebaliknya, panah asmara Ken Arok tertambat di hati Ken Umang karena
cinta yang tulus.  Ibaratnya, kadar cintanya itu 24 karat terhadap Ken Umang yang akhirnya melahirkan Tohjoyo.
Kawasan di sekitar Gunung Telih memang tergolong terpencil dan jauh dari aktivitas manusia. Saat ini saja hanya
sedikit orang yang berlalu-lalang, apalagi di zaman Kerajaan Singhasari dahulu. Sehingga, ada logisnya juga jika
Ken Arok sering menjadikan tempat tersebut untuk janjian ketemu dengan Ken Umang. Kalau zaman sekarang
istilahnya tempat kencan.
Menurut Suryadi, budayawan asal Tumpang,  keberadaan Candi Telih diperkirakan sudah sejak zaman Tumapel di
masa pemerintahan Tunggul Ametung. Namun, ada juga yang menyebut candi itu peninggalan Ken Arok atau
masa Kerajaan Singhasari (1222–1227 M). Termasuk ada yang menyebut Candi Telih dibangun di akhir masa
Singhasari. Candi Telih digunakan sebagai tempat pemujaan terhadap dewa gunung. Tradisi pemujaan itu tetap
berlangsung hingga zaman Kerajaan Singhasari. ”Ken Arok juga sering ke sana untuk melakukan pemujaan.
Selain itu, juga sebagai tempat bertemu dengan Ken Umang. Ken Arok berangkat dari Tumapel (Singosari), Ken
Umang berangkat dari Desa Ngenep, KecamatanKarangploso sekarang,” terang dia.
Di sekitar lokasi itu lah, tepatnya di pertigaan di bukit yang sekarang dikenal dengan Pusung Lading, keduanya
sering bertemu dan saling melepas rindu. Hingga akhirnya, Ken Umang dijadikan sebagai selir. Dikatakan Ki
Suryo, sapaan akrab Suryadi, cinta Ken Arok kepada Ken Umang adalah sebenar-benarnya cinta dari pandangan
pertama. Sehingga meski Ken Arok telah mendapatkan Ken Dedes yang sangat jelita, dia tetap tidak bisa
melupakan Ken Umang. Sedangkan cinta Ken Arok kepada Ken Dedes adalah cinta untuk menggapai cita-cita
(tahta). ”Jadi lokasi menuju Candi Telih itu menjadi tempat ’perselingkuhan’ Ken Arok dan Ken Umang,” kata Ki
Suryo, yang kini menjadi juru kunci Candi Jago Tumpang tersebut.

KENANGAN KEN AROK: Candi Telih berada di atas Gunung


Telih, Dusun Sumbul, Desa Klampok, Kecamatan Singosari

Kenapa Gunung Telih disebut sebagai lokasi ’perselingkuhan’?


Sebab, lanjut Ki Suryo, kawasan di sekitar candi (Gunung Telih)
relatif terpencil, sehingga cocok untuk tempat ketemuan. Lebih-
lebih lokasi Candi Telih tersebut sangat sulit dijangkau manusia.
Berada di balik bukit dengan jalan yang sempit menanjak dan
berkelok-kelok.
Tim Jelajah Seribu Situs yang didukung Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Kabupaten Malangserta Perum Perhutani KPH

13 Jelajah seribu Situs Sejarah di Malang


Malang tak hanya membutuhkan peta dan data, tetapi juga butuhnyali besar. Sebab, untuk bisa sampai ke candi
yang berada di ketinggian 1.600 meter di atas permukaan laut itu butuh perjuangan tersendiri. Maklum jalan
setapak sepanjang sekitar 4 km menuju ke sana hanya bisa dilalui dengan jalan kaki atau motor trail. Tim Jelajah
Seribu Situs memilih naik trail dari wilayah Dusun Donogragal, Desa Donowarih, Karangploso, menuju candi yang
masuk wilayah Kecamatan Singosari itu.
Sekitar pukul 09.00, tim menuju Candi Telih dengan mengendarai trail. ”Fotografrer Doli Siregar mengendarai
motor trail sendiri, sedangkan saya, Kholid Amrullah dibonceng warga yang sehari-hari bekerja di hutan. Di
sini lah adrenalin benar-benar diuji. Karena menyusuri jalanan setapak di lereng gunung dengan naik trail adalah
baru pertama kali bagi saya. Sambil menggendong tas, saya naik di belakang motor,” ujar Kholid. Sekitar satu kilo
pertama jalanan masih nyaman dilalui. Baru setelah sekitar dua kilometer dari titik pemberangkatan, jalanan makin
sulit, bergelombang, berdebu dan menanjak. Tidak hanya itu, semakin ke atas, jalan makin menanjak dan sempit.
Kemudian di kanan-kirinya banyak tumbuhan menjalar yang siap menampar wajah sewaktu-waktu.
Bahkan karena motor yang kami naiki tidak kuat menanjak sampai-sampai kami terjatuh. Lalu dengan susah payah
motor dikembalikan seperti semula, kemudian saya mendorong agar motor bisa berjalan sampai ke tempat yang
lebih nyaman. Begitu juga yang dialami fotografer Doli Siregar, motor trail yang dia tunggangi putus koplingnya.
Dengan demikian motor harus ditinggal di tengah hutan. Doli lalu dibonceng naik motor lain  untuk bisa sampai ke
lokasi.
Setelah sekitar setengah jam kami berjibaku dengan jalanan menanjak yang sempit dan berdebu, akhirnya sampai
juga di candi yang menurut Ki Suryo menjadi salah satu saksi ’perselingkuhan’ Ken Arok dan Ken Umang. Karena
keduanya juga sering berkunjung ke candi itu.
Dari ukuran, Candi Telih itu termasuk kecil. Tingginya sekitar 2 meter dan lebar bangunan dasarnya sekitar 2,5
meter. Candi memiliki dua bagian, bagian utama adalah bangunan candi yang letaknya di hamparan tanah yang
posisinya lebih tinggi, sedangkan bagian kedua berupa tumpukan batu yang berada di lahan bagian bawah yang
berjarak sekitar 4 meter. Candi di bagian bawah itu memiliki tinggi sekitar 1,5 meter dan lebar 1,25 meter.
Ki Suryo menyampaikan, di situlah Ken Arok menepati janjinya kepada Ken Umang. Sebab, ketika Ken Arok
meninggalkan Ken Umang bersama orang tuanya, Bango Samparan, Ken Arok berjanji akan menjemputnya
kembali dan janji itu dia tunaikan. ”Umang, suatu saat nanti saya pasti akan kembali menjemputmu,” begitu pesan
Ken Arok muda ketika keluar dari rumah orang tua angkatnya Bango Samparan, karena diusir setelah dituduh
mencuri sapi (Arok Dedes, karya Pramoedya Ananta Toer).
Dalam cerita, memang ketika Ken Arok dikejar penduduk karena membuat keributan, dia dilindungi oleh Bango
Samparan lalu diangkat menjadi anak. Saat itulah dia mengenal anak Bango Samparan, Ken Umang yang jelita
dan penuh perhatian yang membikin hati Ken Arok bergetar.
Sikap Ken Arok ini, lanjut Ki Suryo, menunjukkan bahwa dia memiliki cinta sejati kepada Ken Umang. Namun, dia
juga tergiur dengan Ken Dedes demi merengkuh cita-citanya untuk menjadi raja. Sehingga meski saat itu Ken
Dedes sudah menjadi permaisuri Tunggul Ametung alias sudah tidak perawan, Ken Arok tak peduli. Karena dia
ingin mempunyai keturunan yang juga akan menjadi raja. ”Mengingat siapapun yang menikah dengan Ken Dedes,
anak-anaknya akan jadi raja. Ken Arok yang ingin jadi raja maka harus menikahi Ken Dedes,” terang dia.
Nah, setelah menikahi Ken Dedes, Ken Arok kemudian juga menikahi Ken Umang. Candi Telih sebagai salah satu
tempat yang sering mereka kunjungi sambil melakukan pemujaan kepada dewa dan juga bertemu dengan belahan
jiwa.
Sementara itu, sejarawan yang menjadi salah satu rujukan tim Jelajah Seribu Situs, Suwardono menduga, Candi
Telih dibangun pada masa Majapahit akhir. Menurut dia, bangunan candi atau tempat pemujaan di lereng-lereng
gunung menjadi salah satu ciri bangunan di zaman Majapahit akhir. (lid/c2/abm)

14 Jelajah seribu Situs Sejarah di Malang


10. Jawar
Posted on 25 Oktober 2014 by Redaksi in Mendol Ngalam

Di Kabupaten Malang, ada tempat menarik yang hanya berjarak sekitar tiga kilometer dari puncak Gunung
Semeru. Lokasi menarik itu ada di Desa Jawar, Kecamatan Ampelgading. Saya sudah ke sana,
saat nyambangi tim ekspedisi Jelajah Seribu Situs awal bulan lalu.

Jawar dalam kurun tiga tahun terakhir semakin banyak didatangi para peziarah dari Bali. Terutama dari
Karangasem. Melihat tren tersebut, Bupati Karangasem I Wayan Geredeg berniat akan membangun pura di sana.
Dan pada Selasa (9/9) lalu, Bupati Karangasem didampingi Bupati Malang Rendra Kresna melakukan peletakan
batu pertama untuk rencana pembangunan pura tersebut.
Ketika saya ke sana, harus melewati jalan yang rusak parah, sekitar tiga kilometer. Jalan itu tak beraspal, dan
bukan pula jalan makadam. Melainkan jalan berpasir, berbatuan, dan teksturnya bergelombang sangat ekstrim.
Innova yang saya kendarai pun harus menyerah tidak bisa tiba di lokasi, setelah tiga kali roda belakang terjebak
kubangan pasir.
Mengapa warga dari Bali mulai banyak yang berdatangan ke Jawar? Karena saat ini, warga di Pulau Dewata itu
sudah mulai banyak yang meyakini, bahwa nenek moyang mereka sebelum membangun Pura di Besakih, terlebih
dulu bertirakat di Jawar. Sehingga, kedatangan para warga dari Bali itu ke Jawar, salah satu tujuannya adalah
menapaktilasi jejak leluhur mereka.
Dan di Jawar itu, memang ada jejak sejarah yang bukti materialnya masih ada hingga sekarang. Di sana, terdapat
batu-batu alam dengan relief di dalamnya, yang ditata sedemikian rupa sebagai lantai dasaran, luasnya sekitar 6×6
meter persegi. Batu-batuan berelief itu diduga merupakan peninggalan sejak sekitar abad ke-14 (atau masa
keemasan Majapahit). Dan diduga pula, batu-batu itu merupakan lantai dasaran dari sebuah tempat semacam
pendapa. ”Tempat ini bisa jadi merupakan tempat bertapanya para raja. Termasuk Patih Gajahmada pernah juga
bertapa di sini,” kata Ida Pandita Mpu Nabe Iti Parama Dharma atau yang dikenal dengan Romo Putri, perempuan
asal Karangasem, Bali berumur  50 tahun, yang sejak tahun 2003 lalu menjadi penunggu lokasi ”yang
dikeramatkan” di Jawar itu. (Sebagian warga di sekitar Jawar memercayai, Romo Putri punya kelebihan spiritual.)
Kepada saya, Romo Putri menceritakan, sekarang ini, sudah mulai banyak para peziarah yang datang ke Jawar.
Karena warga dari Bali semakin banyak yang datang ke sana, maka di tempat itu juga sudah berdiri bangunan-
bangunan tempat sembahyangan dan sesaji umat Hindu, seperti yang banyak terdapat di Bali. Mereka yang
datang ke Jawar tidak hanya sebatas umat Hindu saja. Umat dari agama lain pun juga semakin banyak yang
datang. ”Bahkan, ada ustad dan kiai yang datang ke sini, khusus ingin tirakat mencari ketenangan,” ceritanya.
Lokasi situs bersejarah di Jawar itu memang jauh dari keramaian. Tidak ada rumah penduduk di sana, kecuali
tempat tinggal Romo Putri. Dia tinggal di sana sejak tahun 2003 bersama anak laki-lakinya Jero Mangku Gede
Wayan Suarsana. Sebelumnya, suami Romo Putri (Romo Kakung) juga tinggal di sana. Namun, dia sudah
meninggal sejak dua tahun lalu (2012).
Ketika saya berada di sana mulai sore hingga malam hari, suasana magis begitu terasa. Beberapa kali saya
mendengar suara gemuruh dari gunung Semeru itu, mirip suara ombak di laut. Sepertinya, itu suara dari dalam
gunung yang bisa jadi bersumber dari adukan kawah.
Bagi para peziarah yang datang ke Jawar, sebenarnya sudah ada beberapa fasilitas pendukung. Yakni, ada satu 
pendapa dan dua buah tempat peristirahatan mirip pendapa, satu ruangan tertutup, dan musala yang full terbuat
dari kayu ulin, yang dibangun oleh seorang pengusaha asal Turen, Kabupaten Malang. (Kabarnya, pengusaha itu
bisa meraih kesuksesan, salah satunya karena bertirakat dan berdoa di tempat itu.) Pengusaha (muslim) inilah
yang juga membangun musala panggung dari kayu. Cukup untuk salat berjamaah belasan orang.
Menurut saya, Jawar bisa menjadi destinasi wisata religi yang menarik dan kuat sekali nuansa magisnya.

15 Jelajah seribu Situs Sejarah di Malang


Setidaknya, tempat itu bisa menarik kunjungan wisatawan domestik dari Bali.
Pemerintah Kabupaten Malang, menurut saya, untuk tahap awal hanya perlu memperbaiki jalan sekitar 3 kilometer
yang tak berbentuk tadi, dan juga mengusahakan lampu penerangannya. Selain itu, ini sebenarnya peluang bagi
para investor untuk membangun hotel atau homestay di sana. Sebab, sejauh ini, belum ada satu
pun homestay ataupun penginapan yang layak di tempat itu. Jika saja punya duit, saya berani berinvestasi
membangun (minimal) penginapan di sana. Bagaimana dengan Anda? (*)

11. Candi Kidal


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Candi Kidal adalah salah satu candi warisan dari kerajaan
Singasari. Candi ini dibangun sebagai bentuk penghormatan atas
jasa besar Anusapati, Raja kedua dari Singhasari, yang
memerintah selama 20 tahun (1227 - 1248). Kematian Anusapati
dibunuh oleh Panji Tohjaya sebagai bagian dari perebutan
kekuasaan Singhasari, juga diyakini sebagai bagian dari
kutukan Mpu Gandring.
Candi Kidal secara arsitektur, kental dengan budaya Jawa
Timuran, telah mengalami pemugaran pada tahun 1990. Candi
kidal juga memuat ceritaGarudeya, cerita mitologi Hindu, yang
berisi pesan moral pembebasan
dari perbudakan. Sampai sekarang candi masih terjaga dan
terawat.
Terletak di desa Rejokidal, kecamatan Tumpang, sekitar 20 km sebelah timur kota Malang - Jawa Timur,
candi Kidal dibangun pada 1248 M, bertepatan dengan berakhirnya rangkaian upacara pemakaman yang
disebut Cradha (tahun ke-12) untuk menghormat raja Anusapati yang telah meninggal. Setelah selesai
pemugaran kembali pada dekade 1990-an, candi ini sekarang berdiri dengan tegak dan kokoh serta
menampakkan keindahannya. Jalan menuju ke Candi Kidal sudah bagus setelah beberapa tahun rusak
berat. Di sekitar candi banyak terdapat pohon-pohon besar dan rindang, taman candi juga tertata dengan
baik, ditambah lingkungan yang bernuansa pedesaan menambah suasana asri bila berkunjung kesana.

Dari daftar buku pengunjung yang ada nampak bahwa Candi Kidal tidak sepopuler “teman”-nya
candi Singosari, Jago, atau Jawi. Ini diduga karena Candi Kidal terletak jauh di pedesaan, tidak banyak diulas
oleh pakar sejarah, dan jarang ditulis pada buku-buku panduan pariwisata.

Penggalan pupuh dalam kitab Negarakretagama, sebuah kakawin kaya raya informasi tentang


kerajaan Majapahit dan Singosari, menceritakan hal yang berkaitan dengan raja Singosari ke-2, Anusapati,
beserta tempat pendharmaannya di candi Kidal.

Bathara Anusapati menjadi raja

Selama pemerintahannya tanah Jawa kokoh sentosa

Tahun caka Persian Gunung Sambu (1170 C - 1248 M) beliau


berpulang ke Siwabudaloka
Cahaya beliau diujudkan arca Siwa gemilang di candi Kidal
16 Jelajah seribu Situs Sejarah di Malang
12.Candi Jago
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Candi Jago berasal dari kata "Jajaghu", didirikan pada


masa Kerajaan Singhasari pada abad ke-13. Berlokasi
di Kecamatan Tumpang,Kabupaten Malang, atau sekitar 22
km dari Kota Malang, pada koordinat 

8°0′20,81″LU 112°45′50,82″BT.
Candi ini cukup unik, karena bagian atasnya hanya tersisa
sebagian dan menurut cerita setempat karena tersambar
petir. Relief-reliefKunjarakarna dan Pancatantra dapat ditemui
di candi ini. Sengan keseluruhan bangunan candi ini tersusun
atas bahan batu andesit.
Pada candi inilah Adityawarman kemudian menempatkan Arca Manjusri seperti yang disebut pada Prasasti
Manjusri. Sekarang Arca ini tersimpan di Museum Nasional dengan nomor inventaris D. 214.
Candi ini mula-mula didirikan atas perintah raja Kertanagara untuk menghormati ayahandanya, raja
Wisnuwardhana, yang mangkat pada tahun 1268. Dan kemudian Adityawarman mendirikan candi tambahan dan
menempatkan Arca Manjusri.
Arsitektur Candi Jago disusun seperti teras punden berundak. Keseluruhannya memiliki panjang 23,71 m, lebar 14
m, dan tinggi 9,97 m. Bangunan Candi Jago nampak sudah tidak utuh lagi; yang tertinggal pada Candi Jago
hanyalah bagian kaki dan sebagian kecil badan candi. Badan candi disangga oleh tiga buah teras. Bagian depan
teras menjorok dan badan candi terletak di bagian teras ke tiga. Atap dan sebagian badan candi telah terbuka.
Secara pasti bentuk atap belum diketahui, namun ada dugaan bahwa bentuk atap Candi Jago menyerupai Meru
atau Pagoda.
Pada dinding luar kaki candi dipahatkan relief-relief cerita Kresnayana, Parthayana, Arjunawiwaha, Kunjarakharna,
Anglingdharma, serta cerita fabel. Untuk mengikuti urutan cerita relief Candi Jago kita berjalan mengelilingi candi
searah putaran jarum jam (pradaksiana).
Pada sudut kiri candi (barat laut) terlukis awal cerita binatang seperti halnya cerita Tantri. Cerita ini terdiri dari
beberapa panel. Sedangkan pada dinding depan candi terdapat fabel, yaitu kura-kura. Ada dua kura-kura yang
diterbangkan oleh seekor angsa dengan cara kura-kura tadi menggigit setangkai kayu. Di tengah perjalanan kura-
kura ditertawakan oleh segerombolan serigala. Mereka mendengar dan kura-kura membalas dengan kata-kata
(berucap), sehingga terbukalah mulutnya. Ia terjatuh karena terlepas dari gigitan kayunya. Kura-kura menjadi
makanan serigala. Maknanya kurang lebih memberikan nasihat, janganlah mundur dalam usaha atau pekerjaan
hanya karena hinaan orang.
Pada sudut timur laut terdapat rangkaian cerita Buddha yang meriwayatkan Yaksa Kunjarakarna. Ia pergi kepada
dewa tertinggi, yaitu Sang Wairocana untuk mempelajari ajaran Buddha.
Salah satu patung yang awalnya terdapat pada Candi Jago, yang merupakan perlambangan Dewi Bhrkuti
Beberapa hiasan dan relief pada kaki candi berupa cerita Kunjarakarna. Cerita ini bersifat dedaktif dalam
kepercayaan Buddha, antara lain dikisahkan tentang raksasa Kunjarakarna ingin menjelma menjadi manusia. Ia
menghadap Wairocana dan menyampaikan maksudnya. Setelah diberi nasihat dan patuh pada ajaran Buddha,
akhirnya keinginan raksasa terkabul.
Pada teras ketiga terdapat cerita Arjunawiwaha yang meriwayatkan perkawinan Arjuna dengan Dewi Suprabha

17 Jelajah seribu Situs Sejarah di Malang


sebagai hadiah dari Bhatara Guru setelah Arjuna mengalahkan raksasa Niwatakawaca.
Hiasan pada badan Candi Jago tidak sebanyak pada kakinya. Yang terlihat pada badan adalah relief adegan
Kalayawana, yang ada hubungannya dengan cerita Kresnayana. Relief ini berkisah tentang peperangan antara
raja Kalayawana dengan Kresna. Sedangkan pada bagian atap candi yang dikirakan dulu dibuat dari atap
kayu/ijuk, sekarang sudah tidak ada bekasnya.

13. Candi Sumberawan


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Candi Sumberawan hanya berupa sebuah stupa, berlokasi di Desa Toyomarto, Kecamatan Singosari, Kabupaten


Malang, Jawa Timur. Dengan jarak sekitar 6 km dari Candi Singosari. Candi ini merupakan peninggalan Kerajaan
Singhasari dan digunakan oleh umat Buddha pada masa itu.

Candi ini dibuat dari batu andesit dengan ukuran panjang 6,25 m, lebar 6,25 m, dan tinggi 5,23 m, dibangun pada
ketinggian 650 m di atas permukaan laut, di kaki bukit Gunung Arjuna. Pemandangan di sekitar candi ini sangat
indah karena terletak di dekat sebuah telaga yang sangat bening airnya. Keadaan inilah yang memberi nama
Candi Rawan.

Candi Sumberawan pertama kali ditemukan pada tahun 1904. Pada tahun 1935 diadakan kunjungan oleh peneliti
dari Dinas Purbakala. Pada zamanHindia Belanda pada tahun 1937 diadakan pemugaran pada bagian kaki candi,
sedangkan sisanya direkonstruksi secara darurat. Candi Sumberawan merupakan satu-satunya stupa yang
ditemukan di Jawa Timur. Batur candi berdenah bujur sangkar, tidak memiliki tangga naik dan polos tidak berelief.
Candi ini terdiri dari kaki dan badan yang berbentuk stupa. Pada batur candi yang tinggi terdapat selasar, kaki
candi memiliki penampil pada keempat sisinya. Di atas kaki candi berdiri stupa yang terdiri atas lapik bujur
sangkar, dan lapik berbentuk segi delapan dengan bantalan Padma, sedang bagian atas berbentuk genta (stupa)
yang puncaknya telah hilang. Karena ada beberapa kesulitan dalam perencanaan kembali bagian teratas dari
tubuh candi, maka terpaksa bagian tersebut tidak dipasang kembali. Diduga dulu pada puncaknya tidak dipasang
atau dihias dengan payung atau chattra, karena sisa-sisanya tidak ditemukan sama sekali. Candi Sumberawan
tidak memiliki tangga naik ruangan di dalamnya yang biasanya digunakan untuk menyimpan benda suci. Jadi,
hanya bentuk luarnya saja yang berupa stupa, tetapi fungsinya tidak seperti lazimnya stupa yang sesungguhnya.
Diperkirakan candi ini dahulu memang didirikannya untuk pemujaan.

Para ahli purbakala memperkirakan Candi Sumberawan dulunya bernama Kasurangganan, sebuah nama yang
terkenal dalam kitab Negarakertagama. Tempat tersebut telah dikunjungi Hayam Wuruk pada tahun 1359 masehi,
sewaktu ia mengadakan perjalanan keliling. Dari bentuk-bentuk yang tertulis pada bagian batur dan dagoba
(stupanya) dapat diperkirakan bahwa bangunan Candi Sumberawan didirikan sekitar abad 14 sampai 15 masehi
yaitu pada periode Majapahit. Bentuk stupa pada Candi Sumberawan ini menunjukkan latar belakang keagamaan
yang bersifat Buddhisme.

18 Jelajah seribu Situs Sejarah di Malang


14. Candi Songgoriti

Candi Sanggariti (foto diambil tahun antara 1900 dan 1938)

Candi Sanggariti atau Songgoriti adalah sebuah candi yang


terletak di Kota Batu, Jawa Timur, Indonesia. Candi ini
berada di dekat satu sumber air panas. Candi ini dibangun
pada sekitar akhir abad ke-8 Masehi. Candi ini dipugar tahun
1936 oleh Belanda,tapi ada kesalahan letak di mana kepala
di kaki dan sebaliknya dan ahkirnya menjadi puing.

Candi Songgoriti yang juga disebut dengan Candi Supo ini


adalah satu-satunya candi peninggalan Mpu Sindok di kota
Batu. Beliau adalah raja pertama kerajaan Medang periode Jawa Timur yang memerintah sekitar tahun 929-947.
Masa pembangunan Candi Songgoriti belum dapat diketahui dengan pasti, tetapi diduga candi ini didirikan pada
masa perpindahan kekuasaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur sekitar abad 9-10 Masehi. Menurut sejarahnya,
kisah Candi Songgoriti ini berawal dari keinginan Mpu Sindok yang ingin membangun tempat peristirahatan bagi
keluarga kerajaan di pegunungan yang di dekatnya terdapat mata air. Seorang petinggi kerajaan bernama Mpu
Supo diperintah Mpu Sindok untuk membangun tempat tersebut.

Dengan upaya yang keras, akhirnya Mpu Supo menemukan suatu kawasan yang sekarang lebih dikenal sebagai
kawasan wisata Songgoriti. Atas persetujuan Raja, Mpu Supo mulai membangun kawasan Songgoriti sebagai
tempat peristirahatan keluarga kerajaan beserta sebuah candi yang diberi nama Candi Supo. Di tempat
peristirahatan tersebut terdapat sumber mata air yang mengalir dingin dan sejuk seperti semua mata air di wilayah
pegunungan. Mata air dingin tersebut sering digunakan untuk mencuci keris-keris bertuah sebagai benda pusaka
dari kerajaan Sindok. Mengingat benda-benda kerajaan yang dicuci tersebut bertuah serta mempunyai kekuatan
supranatural dan magis yang maha dahsyat, akhirnya sumber mata air yang semula terasa dingin dan sejuk
berubah menjadi sumber air panas. Sumber air panas itupun sampai saat ini menjadi sumber abadi di kawasan
Wisata Songgoriti.

15. Arsitektur Klenteng Tertua Di Kota Malang


Kamis, 30 Januari 2014 10:00 JELAJAH - NUSANTARA

Klenteng Eng An Kiong terletak di Jalan R.E. Martadinata 1 Malang, Provinsi Jawa Timur, atau tepatnya
berdampingan dengan Pasar Besar Malang, di kawasan Kota Lama Malang. Konon, klenteng ini dibangun pada
tahun 1825 atas prakarsa dari Liutenant Kwee Sam Hway.
Ia adalah keturunan ketujuh dari seorang Jenderal di masa Dinasti Ming berkuasa di Tiongkok. Ketika itu,
keturunan sang Jenderal ditekan oleh Dinasti Jing sehingga terpaksa melarikan diri ke Nusantara.  Kelenteng Eng
An Kiong Malang sendiri ternyata memiliki catatan sejarah yang begitu luar biasa karena selain menjadi salah satu
Klenteng tertua di Kota Malang juga merupakan peninggalan sejarah turunan ketujuh Jendral Dinasti Ming.
Menurut sejarah, kurang lebih sekitar 400 tahun lamanya setelah Laksamana Cheng Ho menapakkan kaki di tanah
Jawa, Kelenteng Eng Ang Kiong pun didirikan. Hal itu berdasarkan inisiatif dari Lt. Kwee Sam Hway. Ia adalah
keturunan ketujuh dari seorang Jendral di jaman Dinasti Ming yang berkuasa di Tiongkok. Saat itu, keturunan sang
Jendral ditekan oleh Dinasti Jing sehingga terpaksa melarikan diri ke Indonesia.
Sang Kapiten (keturunan kelima Jendral masa Dinasti Ming) mendarat di Jepara kemudian menikah dengan putri

19 Jelajah seribu Situs Sejarah di Malang


yang leluhurnya mendarat di Sumenep Madura. Lt. Kwee Sam Hway adalah cucu dari sang Kapiten yang
kemudian membangun Klenteng Eng An Kiong. Dia berangkat dari Sumenep dan akhirnya menemukan sebuah
daerah di Kota Malang. Menurut Bonsu Hanom Pramana, Eng An Kiong berarti “istana keselamatan dalam
keabadian Tuhan”.
Ornamen-ornamen indah yang tersebar di berbagai tempat serasa begitu memanjakan mata para pengunjung
yang memandangnya.  Bukan hanya memiliki unsur seni yang tinggi dan bermakna begitu mendalam, diantara
beberapa ruangan di kelenteng ini juga terdapat sebuah kolam indah yang dihuni oleh banyak ikan koi. Untuk
menghormati mereka yang sedang berdoa di Kelenteng Eng An Kiong Kota Malang, para pengunjung disarankan
tidak memotret maupun melakukan sesuatu yang dapat menggangu umat yang sedang beribadah.
Biasanya, banyak tradisi budaya yang sarat dengan nilai religius diadakan di Kelenteng Eng An Kiong terutama
ketika menjelang peringatan Tahun Baru Imlek atau Perayaan Ulang Tahun Kelenteng itu sendiri.

16. Masjid Agung Jami’


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Masjid Agung Malang pada tahun 1910

Masjid Agnung Malang merupakan sebuah masjid yang terletak di Malang, Indonesia. Masjid ini dibangun pada
tahun 1890 dan selesai pada tahun1903. Masjid ini berbentuk bujur sangkar berstruktur baja dengan atap tajug
tumpang dua. Sampai saat ini, bangunan aslinya masih dipertahankan.
Masjid Agung Jami’ Malang didirikan pada tahun 1890 M di atas tanah Goepernemen atau tanah negara sekitar
3.000 m2. Menurut prasasti yang ada, Masjid Agung Jami’ dibangun dalam dua tahap. Tahap pertama dibangun
tahun 1890 M, kemudian tahap kedua dimulai pada 15 Maret 1903, dan selesai pada 13 September 1903.
Bangunan masjid ini berbentuk bujursangkar berstruktur baja dengan atap tajug tumpang dua, dan sampai saat ini

20 Jelajah seribu Situs Sejarah di Malang


bangunan asli itu masih dipertahankan keberadaannya
Dari bentuknya, Masjid Agung Jami’ Malang mempunyai dua gaya arsitektur, yaitu arsitektur Jawa dan Arsitektur
Arab. Gaya arsitektur Jawa terlihat dari bentuk atap masjid bangunan lama yang berbentuk tajug. Sedangkan gaya
arsitektur Arab terlihat dari bentuk kubah pada menara masjid dan juga konstruksi lengkung pada bidang-bidang
bukaan pintu dan jendela.
Bangunan Masjid ini di topang oleh empat sokoguru utama yang terbuat dari kayu jati dan 20 tiang yang bentuknya
dibuat mirip dengan 4 kolom itu, dibangun dengan penuh tirakat dan keihlasan para pendirinya dalam
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Meski Takmir Masjid Agung Jami’ Malang melakukan renovasi terhadap
bangunan masjid bangunan asli masjid tetap dilestarikan.

17.Candi Badut
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Candi Badut adalah sebuah candi yang terletak di kawasan


Tidar, di bagian barat kota Malang. Secara administratif
candi badut terletak di dusun Karang Besuki,
Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Lokasi ini
dapat ditempuh dengan kendaraan umum jurusan Tidar arah
menuju Institut Teknologi Nasional. Lokasi tersebut dapat
dilihat di
Kata Badut diduga berasal dari bahasa Sanskerta Bha-
dyut yang berarti sorot Bintang Canopus atau Sorot Agastya.
Candi ini diperkirakan berusia lebih dari 1400 tahun dan
diyakini adalah peninggalan Prabu Gajayana, penguasa kerajaan Kanjuruhansebagaimana yang termaktub dalam
prasasti Dinoyo bertahun 760 Masehi. candi badut berusia ratusan tahun lalu dan meninggalkan jejak purbakala
sebagai peninggalan sejarah yang perlu di jaga dan dilestarikan keadaannya.
Para ahli menyatakan bahwa Candi Badut merupakan peralihan gaya bangunan Klasik dari Jawa Tengah ke Jawa
Timur. Pada ruangan induk candi yang berisi lingga dan yoni, simbol Siwadan Parwati. Sebagaimana umumnya
percandian Hindu di Jawa, pada bagian dinding luar terdapat relung-relung yang semestinya berisi arca. Dua
relung di kanan dan kiri pintu mestinya berisi arca Mahakala dan Nandiswara, relung utara untuk arca Durga
Mahisasuramardini, relung timur untuk arca Ganesha, dan di sisi selatan terdapat relung untuk arca Agastya yakni
Siwa sebagai Mahaguru. Namun di antara semua arca itu hanya arca Durga Mahisasuramardini yang tersisa di
Candi Badut.
Candi ini ditemukan pada tahun 1921 berupa gundukan bukit batu, reruntuhan dan tanah. Orang pertama yang
memberitakan keberadaan Candi Badut adalah Maureen Brecher, seorang kontrolir bangsa Belanda yang bekerja
di Malang. Candi Badut dibangun kembali pada tahun 1925-1927 di bawah pengawasan B. De Haan dari Jawatan
Purbakala Hindia-Belanda. Dari hasil penggalian yang dilakukan pada saat itu diketahui bahwa bangunan candi
telah runtuh sama sekali, kecuali bagian kaki yang masih dapat dilihat susunannya .

21 Jelajah seribu Situs Sejarah di Malang

Anda mungkin juga menyukai