Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH

FARMASI KOMUNITAS

HOME CARE DAN KASUS PENGARUH HOME CARE


APOTEKER TERHADAP KEPATUHAN PASIEN
HIPERTENSI

DOSEN :
Dr. Dra. Lili Musnelina, M.Si., Apt
Jenny

KELOMPOK XIII
1. Vera Thesya (19340186)
2. E
3. A

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan
Rahmat, Inayah, Taufik dan Hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana.
Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk
maupun pedoman bagi pembaca.
Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk
maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang
kami miliki sangat kurang. Oleh kerena itu kami harapkan kepada para pembaca
untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.

Jakarta , Maret 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR ISI................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
I.1 Latar Belakang........................................................................................ 1
I.2 Rumusan Masalah................................................................................... 2
I.3 Tujuan..................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 3
II.1 Pengertian Home Pharmacy Care.......................................................... 3
II.2 Tujuan dan Manfaat Home Pharmacy Care.......................................... 4
II.3 Peran Apoteker Dalam Pelayanan Kefarmasian Di Rumah.................. 5
II.4 Kriteria Pasien Yang Perlu Pelayanan Kefarmasian Di Rumah............ 12
II.5 Berdasarkan PMK RI No. 73 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek................................................................................ 12
II.6 Berdasarkan PMK RI No. 74 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Puskesmas........................................................................... 17
II.7 Berdasarkan PMK RI No. 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit....................................................................... 24
BAB III PEMBAHASAN............................................................................ 29
BAB IV PENUTUP..................................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 35

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Salah satu pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat
tersebut adalah melalui pelayanan kefarmasian di rumah yaitu pelayanan kepada
pasien yang dilakukan di rumah khususnya untuk kelompok pasien lanjut usia,
pasien yang menggunakan obat dalam jangka waktu lama seperti penggunaan
obat-obat kardiovaskuler, diabetes, TB, asma dan obat-obat untuk penyakit kronis
lainnya. Pelayanan kefarmasian di rumah oleh apoteker diharapkan dapat
memberikan pendidikan dan pemahaman tentang pengobatan dan memastikan
bahwa pasien yang telah berada di rumah dapat menggunakan obat dengan benar.
Kepatuhan meminum obat pasien dengan penyakit kronis di negara maju
hanya 50%, kemungkinan tingkat kepatuhan di negara berkembang akan lebih
rendah. Pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah (home care) oleh
apoteker dapat memberikan pendidikan dan pemahaman lebih dalam mengenai
pengobatan, dan dapat memastikan bahwa pasien yang telah berada di rumah
menggunakan obat dengan benar, sehingga akan meningkatkan kepatuhan pada
pasien. Jenis pelayanan kefarmasian di rumah yang dapat dilakukan oleh apoteker
yaitu meliputi assessment permasalahan terapi, identifikasi kepatuhan dari pasien,
pendampingan dalam pengelolaan obat, konsultasi masalah obat, memonitor
pelaksanaan, efektivitas dan keamanan penggunaan obat serta dokumentasi
pelayanan kefarmasian di rumah (PERMENKES RI No 35 Tahun 2014 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek). Pemberian home care dengan
konseling dilaporkan dapat memberikan pemahaman yang lebih kepada pasien
tentang penyakit yang diderita dan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien
(Suryani NM. 2013).
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan di atas, makalah ini
dibuat dengan tujuan
untuk mengetahui pengaruh home care yang dilakukan oleh apoteker
terhadap kepatuhan pasien hipertensi dalam meminum obat.

1
I.2 Rumusan Masalah
1. Pengertian Home Pharmacy care
2. Pelayanan home care berdasarkan PMK RI No. 73 Tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.
3. Pelayanan home care berdasarkan PMK RI No. 74 Tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas.
4. Pelayanan home care berdasarkan PMK RI No. 72 Tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.
I.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksudkan denganHome Pharmacy care
2. Untuk mengetahui Pelayanan home care berdasarkan PMK RI No. 73
Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.
3. Untuk mengetahui Pelayanan home care berdasarkan PMK RI No. 74
Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas.
4. Untuk mengetahui Pelayanan home care berdasarkan PMK RI No. 72
Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Pengertian Home Pharmacy Care
Home Pharmacy Care adalah pendampingan pasien oleh apoteker
dalam pelayanan kefarmasian di rumah dengan persetujuan pasien atau
keluarganya. Pelayanan kefarmasian di rumah terutama untuk pasien yang
tidak atau belum dapat menggunakan obat dan atau alat kesehatan secara
mandiri, yaitu pasien yang memiliki kemungkinan mendapatkan risiko
masalah terkait obat misalnya komorbiditas, lanjut usia, lingkungan sosial,
karateristik obat, kompleksitas pengobatan, kompleksitas penggunaan obat,
kebingungan atau kurangnya pengetahuan dan keterampilan tentang
bagaimana menggunakan obat dan atau alat kesehatan agar tercapai efek yang
terbaik (Depkes RI, 2008).
Saat ini paradigma pelayanan kefarmasian telah bergeser dari
pelayanan yang berorientasi pada obat (drug oriented) menjadi pelayanan
yang berorientasi pada pasien (patient oriented) yang mengacu pada azas
Pharmaceutical Care. Kegiatan pelayanan yang semula hanya berfokus pada
pengelolaan obat sebagai komoditi bertambah menjadi pelayanan yang
komprehensif berbasis pasien dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup
pasien (Depkes RI, 2008).
Konsekuensi dari perubahan paradigma tersebut maka apoteker
dituntut untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan agar mampu
berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lain secara aktif, berinteraksi
langsung dengan pasien di samping menerapkan keilmuannya di bidang
farmasi. Apoteker di sarana pelayanan kesehatan mempunyai tanggung jawab
dalam memberikan informasi yang tepat tentang terapi obat kepada pasien.
Apoteker berkewajiban menjamin bahwa pasien mengerti dan memahami
serta patuh dalam penggunaan obat sehingga diharapkan dapat meningkatkan
keberhasilan terapi khususnya kelompok pasien lanjut usia dan pasien dengan
penyakit kronis (Depkes RI, 2008).

3
Home Pharmacy Care diharapkan dapat memberikan pemahaman
tentang pengobatan dan memastikan bahwa pasien yang telah berada di
rumah dapat menggunakan obat dengan benar (Depkes, 2008).
Home Pharmacy Care yang diterapkan pada penderita hipertensi yaitu
melalui pendidikan dan konseling yang difokuskan pada pengetahuan
penggunaan obat antihipertensi yang tepat. Obat-obat antihipertensi oral
terutama untuk membantu penanganan pasien hipertensi. Pemilihan obat
antihipertensi oral yang tepat sangat menentukan keberhasilan terapi
hipertensi (Depkes RI, 2008).

II.2 Tujuan dan Manfaat Home Pharmacy Care


Tujuan home pharmacy care antara lain :
 Tercapainya keberhasilan terapi obat
 Terlaksananya pendampingan pasien oleh apoteker untuk mendukung
efektivitas, keamanan, dan kesinambungan pengobatan.
 Terwujudnya kerjasama profesi kesehatan, pasien dan keluarga pasien.
Manfaaat home pharmacy care :
 Bagi Pasien
 Terjaminnya keamanan, efektifitas dan keterjangkauan biaya
pengobatan
 Meningkatkan pemahaman dalam pengelolaan dan penggunaan
obat dan atau alat kesehatan.
 Terhindarnya reaksi obat yang tidak diinginkan
 Terselesaikannya masalah penggunaan obat dan atau alat
kesehatan dalam situasi tertentu.
 Bagi Apoteker
 Pengembangan kompetensi apoteker dalam pelayanan
kefarmasian di rumah
 Pengakuan profesi farmasi oleh masyarakat kesehatan,
masyarakat umum dan pemerintah.
 Terwujudnya kerja sama antara profesi kesehatan.

4
II.3 Peran Apoteker Dalam Pelayanan Kefarmasian Di Rumah
Peran apoteker dalam pelayanan kefarmasian di rumah antara lain :
1. Penilaian sebelum dilakukan pelayanan kefarmasian di rumah (Pre-
admission Assessment )
Apoteker harus memastikan bahwa untuk setiap pasien yang dirujuk
mendapatkan pelayanan kefarmasian di rumah, telah dilakukan penilaian
kelayakan untuk pelayanan tersebut, yang meliputi:
 Pasien, keluarga atau pendamping pasien setuju dan mendukung
keputusan pemberian pelayanan kefarmasian di rumah oleh
apoteker.
 Pasien, keluarga atau pendamping pasien adalah orang yang akan
diberikan pendidikan tentang cara pemberian pengobatan yang
benar.
 Apoteker pemberi layanan memiliki akses ke rumah pasien.
 Adanya keterlibatan dokter dalam penilaian dan pengobatan pasien
secara terus menerus.
 Obat yang diberikan tepat indikasi, dosis, rute dan cara pemberian
obat.
 Adanya uji laboratorium yang sesuai untuk dilakukan monitoring
selama pelayanan kefarmasian di rumah.
 Adanya dukungan finansial dari keluarga untuk pelaksanaan
pelayanan kefarmasian di rumah.
Informasi di atas dikumpulkan pada saat melakukan penilaian
sebelum pelayanan kefarmasian di rumah dimulai. Informasi ini akan
menentukan ketepatan dalam memberikan pelayanan kefarmasian di
rumah. Kesimpulan dari penilaian sebaiknya disampaikan kepada semua
tenaga kesehatan yang terlibat dalam pelayanan kefarmasian di rumah dan
di dokumentasikan dengan benar. Sebelum pelayanan dimulai, Apoteker
harus menjelaskan manfaat dan tanggung jawab pasien termasuk
kewajiban yang berhubungan dengan pembayaran. Biaya pelayanan
kefarmasian di rumah meliputi:

5
 Jasa pelayanan kefarmasian mencakup pemberian bantuan,
tindakan intervensi langsung maupun konsultasi.
 Penggantian biaya pemakaian obat dan alat kesehatan yang
digunakan langsung oleh pasien.
Besarnya nominal biaya untuk jasa di atas, ditetapkan oleh daerah
masing-masing disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan masyarakat
setempat serta pihak asuransi untuk pasien yang ditanggung oleh asuransi.
Penjelasan diberikan secara rinci kepada pasien, keluarga pasien, pemberi
pelayanan dan dicatat dalam catatan penggunaan obat pasien.
2. Penilaian dan pencatatan data awal pasien
Data awal pasien harus dicatat secara lengkap dalam catatan
penggunaan obat pasien yang meliputi:
 Nama pasien, alamat, nomor telepon dan tanggal lahir pasien.
 Nama, alamat, nomor telepon yang bisa dihubungi dalam keadaan
emergensi.
 Tinggi, berat badan dan jenis kelamin pasien.
 Pendidikan terakhir pasien.
 Hasil diagnosa.
 Hasil uji laboratorium.
 Riwayat penyakit pasien.
 Riwayat alergi.
 Profil pengobatan pasien yang lengkap (obat keras dan otc),
imunisasi, obat tradisional.
 Nama dokter, alamat, nomor telepon dll
 Institusi atau tenaga kesehatan lain yang terlibat dalam pelayanan
kesehatan di rumah dan nomor telepon.
 Rencana pelayanan dan daftar masalah yang terkait obat, jika ada.
 Tujuan pengobatan dan perkiraan lama pengobatan.
 Indikator keberhasilan pelayanan kefarmasian di rumah
Untuk memperoleh informasi di atas, apoteker dapat menggunakan
catatan penggunaan obat pasien, hasil uji laboratorium dan melakukan

6
komunikasi langsung dengan pasien/perawat atau dokter. Jika apoteker
tidak dapat melakukan observasi langsung, maka informasi dapat
diperoleh dari penilaian fisik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
lain yang terlibat dalam pelayanan kesehatan di rumah. Jika pemberian
pelayanan kefarmasian di rumah bersama-sama dengan tenaga
kesehatan lain, maka apoteker harus menjamin adanya tanggung jawab
dan komitmen bersama dari setiap tenaga kesehatan untuk berbagi
informasi yang berhubungan dengan pasien.
3. Penyeleksian produk, alat-alat kesehatan dan alat-alat tambahan yang
diperlukan
Apoteker yang berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain dalam
memberikan pelayanan kefarmasian di rumah, bertanggung jawab dalam
menyeleksi alat-alat infus, obat tambahan dan alat-alat tambahan (dressing
kit, syringes dan administration set) Faktor-faktor yang terlibat dalam
memilih alat infus dan alat tambahan adalah sebagai berikut:
 Stabilitas dan kompabilitas peralatan infus yang digunakan
 Kemampuan alat infus menerima sejumlah volume obat yang tepat
dan pelarut lain serta dapat menyampaikan dosis dengan kecepatan
yang tepat.
 Kemampuan pasien atau pemberi layanan dalam mengoperasikan
infus.
 Adanya potensi komplikasi dan ketidakpatuhan pasien.
 Waktu yang memungkinkan bagi pasien untuk menerima infus.
 Fitur pengamanan dari peralatan infus
4. Menyusun rencana pelayanan kefarmasian di rumah
Dalam membuat rencana pelayanan kefarmasian untuk
menyelenggarakan pelayanan kefarmasian di rumah, apoteker bekerjasama
dengan pasien, keluarga dan berkoordinasi dengan tenaga kesehatan lain.
Rencana pelayanan kefarmasian ini sebaiknya mencakup hal-hal sebagai
berikut:

7
 Gambaran masalah aktual dan masalah terkait obat dan cara
mengatasinya.
 Gambaran dari hasil terapi yang dilakukan.
 Usulan pendidikan dan konseling untuk pasien.
 Rencana khusus pelaksanaan monitoring dan frekuensi monitoring
yang akan dilakukan.
Rencana pelayanan kefarmasian sebaiknya dibuat saat dimulainya
terapi dan secara teratur dikaji dan diperbaharui. Apoteker bertanggung
jawab mengkomunikasikan rencana pelayanan kefarmasian kepada pasien
dan tenaga kesehatan lain yang terlibat dalam perawatan pasien. Rencana
pelayanan kefarmasian ini diperbaharui oleh tim kesehatan dan harus
dikomunikasikan ke semua tenaga kesehatan yang terlibat. Rencana
pelayanan kefarmasian dan perubahannya harus didokumentasikan dalam
catatan penggunaan obat pasien.
5. Melakukan koordinasi penyediaan pelayanan
Apoteker melakukan koordinasi penyediaan pelayanan dengan tenaga
kesehatan lain. Kegiatan yang dilakukan meliputi:
 Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga tentang
berbagai pelayanan kesehatan yang tersedia di masyarakat yang
dapat digunakan pasien sesuai dengan kebutuhan mereka.
 Membuat perjanjian (kesepakatan) dengan pasien dan keluarga
tentang pelayanan kesehatan yang diberikan.
 Mengkoordinasikan rencana pelayanan kefarmasian kepada tenaga
kesehatan yang terlibat dalam pelayanan kefarmasian di rumah
kepada pasien berdasarkan jadwal kunjungan yang telah dibuat.
 Bekerjasama dengan tenaga kesehatan lain dalam memberikan
pelayanan kesehatan kepada pasien sepanjang rentang perawatan
yang dibutuhkan pasien.
 Melaksanakan pelayanan kefarmasian berfokus dengan tujuan
akhir meningkatkan kemandirian dan kualitas hidup pasien.

8
 Melakukan rujukan dan keputusan penghentian pelayanan
kefarmasian di rumah.
6. Melakukan pendidikan pasien dan konseling
Apoteker bertanggung jawab memastikan bahwa pasien menerima
pendidikan dan konseling tentang terapi pasien. Apoteker harus mudah
dihubungi jika ada pertanyaan atau munculnya permasalahan yang terkait
obat. Apoteker juga menyediakan informasi tambahan dalam bentuk
tulisan untuk memperkuat informasi yang diberikan secara lisan. Dalam
menentukan informasi yang diberikan dalam pendidikan dan konseling
pasien, apoteker membutuhkan pendapat dari para professional kesehatan,
yang meliputi:
 Gambaran pengobatan, mencakup obat, dosis, cara pemberian,
interval dosis, dan lama pengobatan.
 Tujuan pengobatan dan indikator tujuan pengobatan.
 Teknik penilaian untuk monitoring efektivitas terapi.
 Pentingnya mengikuti rencana perawatan.
 Teknik aseptis.
 Perawatan peralatan untuk pembuluh darah, jika ada.
 Petunjuk cara pemberian obat.
 Pemeriksaan obat dan peralatan yang digunakan.
 Peralatan yang digunakan dan cara perawatannya.
 Manajemen inventarisasi di rumah dan prosedur penyelamatan
peralatan.
 Potensi munculnya efek samping obat, interaksi obat, interaksi
obat-makanan, kontra indikasi, reaksi yang tidak diharapkan dan
cara mengatasinya.
 Petunjuk penyiapan, penanganan dan pembuangan obat, peralatan
dan pembuangan biomedis.
 Informasi cara menghubungi tenaga kesehatan yang terlibat dalam
pengobatan pasien.
 Prosedur emergensi

9
Konseling dan pendidikan pasien didokumentasikan dalam catatan
penggunaan obat pasien.
7. Pemantauan Terapi Obat
Apoteker secara terus menerus bertanggung jawab melakukan
pemantauan terapi obat dan evaluasi penggunaan obat pasien sesuai
rencana pelayanan kefarmasian dan disampaikan semua hasilnya kepada
tenaga kesehatan yang terlibat dalam pengobatan pasien. Hasil
pemantauan ini didokumentasikan dalam catatan penggunaan obat pasien.
Apoteker dalam berkolaborasi dengan dokter dan tenaga kesehatan lain
sebaiknya membuat protokol pemantauan terapi obat untuk berbagai
pengobatan yang bersifat individual dan khusus didalam rencana
pelayanan kefarmasian. Apoteker diperkenankan mengetahui hasil
laboratorium. Apoteker kemudian menyiapkan suatu analisis interpretasi
dari informasi ini dan membuat rekomendasi untuk penyesuaian dosis dan
keputusan apakah terapi dilanjutkan atau dihentikan. Apoteker menjamin
bahwa hasil uji laboratorium sesuai dan dapat digunakan untuk
pemantauan. Semua hasil pemantauan ini didokumentasikan dalam catatan
penggunaan obat pasien.

8. Melakukan pengaturan dalam penyiapan pengiriman, penyimpanan dan


cara pemberian obat
Apoteker harus memiliki keterampilan yang memadai dalam
pencampuran, pemberian, penyimpanan, pengiriman dan cara pemberian
obat dan panggunaan peralatan kesehatan yang dibutuhkan. Pencampuran
produk steril harus sesuai dengan standar yang ada. Apoteker menjamin
bahwa pengobatan dan peralatan yang dibutuhkan pasien diberikan secara
benar, tepat waktu untuk mencegah terhentinya terapi obat. Selanjutnya
apoteker menjamin kondisi penyimpanan obat dan peralatan harus
konsisten sesuai dengan petunjuk pemakaian baik selama pengiriman obat
dan saat disimpan di rumah pasien. Suhu lemari es tempat penyimpanan

10
obat diatur sesuai dengan suhu penyimpanan dan dimonitor oleh pasien
atau pemberi layanan. Juga dipastikan adanya tempat penyimpanan
tambahan obat dan peralatan di rumah pasien untuk mengantisipasi
kondisi yang tidak terduga seperti kebutuhan obat dalam dosis besar, dll.
9. Pelaporan Efek Samping Obat dan cara mengatasinya
Apoteker melakukan pemantauan dan melaporkan hasil monitoring
efek samping obat dan kesalahan pengobatan. Apoteker memastikan
bahwa dokter telah menginformasikan setiap kemungkinan munculnya
efek samping obat. Efek samping yang muncul dapat dijadikan indikator
mutu pelayanan dan monitoring efek samping obat harus menjadi bagian
dari program pelayanan secara terus menerus. Reaksi efek samping yang
serius dan masalah terkait obat harus dilaporkan ke Badan POM RI (form
Pelaporan Efek Samping Obat terlampir).
10. Berpartisipasi dalam penelitian klinis obat di rumah
Apoteker sebaiknya berpartisipasi dalam penelitian klinis
penggunaan obat di rumah yang diawali dengan penelitian di pelayanan
kesehatan dan dilanjutkan selama dilakukan pelayanan kefarmasian di
rumah. Dalam melakukan penelitian klinis obat di rumah, apoteker
sebaiknya telah memperoleh dan memiliki informasi yang cukup tentang
protokol penelitian obat.
11. Proses penghentian pelayanan kefarmasian di rumah Kriteria penghentian
pelayanan kefarmasian di rumah :
 Hasil pelayanan tercapai sesuai tujuan.
 Kondisi pasien stabil.
 Keluarga sudah mampu melakukan pelayanan di rumah.
 Pasien dirawat kembali di rumah sakit
 Pasien menolak pelayanan lebih lanjut
 Pasien pindah tempat ke lokasi lain
 Pasien meninggal dunia
Melihat peran di atas maka diperlukan kompetensi khusus dan
komitmen bagi apoteker yang akan berperan di pelayanan kefarmasian di

11
rumah. Sebagai tim kesehatan, apoteker juga mempunyai tanggung jawab
dalam memberikan pelayanan yang berkualitas. Dengan menjamin kualitas
aktivitas drug regimen review (telaah rejimen obat), apoteker dapat
mempengaruhi kesehatan dan kualitas hidup pasien secara bermakna.

II.4 Kriteria Pasien yang Perlu Pelayanan Kefarmasian di Rumah (Home


Pharmacy Care)
Kegiatan pelayana kefarmasian di rumah tidak dapat diberikan pada semua
pasien mengingat waktu pelayanan yang cukup lama dan berkesinambungan.
Oleh karena itu diperlukan seleksi pasien dengan menentukan prioritas pasien
yang dianggap perlu mendapatkan pelayanan kefarmasian di rumah. Pasien
yang perlu mendapat pelayanan kefarmasian di rumah antara lain :
 Pasien yang menderita penyakit kronis dan memerlukan perhatian
khusus tentang penggunaan obat, interaksi obat dan efek samping obat.
 Pasien dengan terapi jangka panjang misal pasien TB, HIV/AIDS, DM
dll.
 Pasien dengan risiko adalah pasien dengan usia 65 tahun atau lebih
dengan salah satu kriteria atau lebih regimen obat sebagai berikut:
o Pasien minum obat 6 macam atau lebih setiap hari.
o Pasien minum obat 12 dosis atau lebih setiap hari.
o Pasien minum salah satu dari 20 macam obat dalam tabel 1 yang
telah diidentifikasi tidak sesuai untuk pasien geriatri.
o Pasien dengan 6 macam diagnosa atau lebih

II.5 Berdasarkan PMK RI No. 73 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan


Kefarmasian di Apotek.

Konseling
Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan
pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran
dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan

12
Obat dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Untuk mengawali
konseling, Apoteker menggunakan three prime questions. Apabila tingkat
kepatuhan pasien dinilai rendah, perlu dilanjutkan dengan metode Health
Belief Model. Apoteker harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau
keluarga pasien sudah memahami Obat yang digunakan.
Kriteria pasien/keluarga pasien yang perlu diberi konseling:
1. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati
dan/atau ginjal, ibu hamil dan menyusui).
2. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (misalnya: TB,
DM, AIDS, epilepsi).
3. Pasien yang menggunakan Obat dengan instruksi khusus (penggunaan
kortikosteroid dengan tappering down/off).
4. Pasien yang menggunakan Obat dengan indeks terapi sempit
(digoksin, fenitoin, teofilin).
5. Pasien dengan polifarmasi; pasien menerima beberapa Obat untuk
indikasi penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk
pemberian lebih dari satu Obat untuk penyakit yang diketahui dapat
disembuhkan dengan satu jenis Obat.
6. Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah.
Tahap kegiatan konseling:
 Membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien
 Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan Obat melalui
Three Prime Questions, yaitu:
 Apa yang disampaikan dokter tentang Obat Anda?
 Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang cara pemakaian
Obat Anda?
 Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang hasil yang
diharapkan setelah Anda menerima terapi Obat tersebut?
 Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan
kepada pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan Obat

13
 Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan
masalah penggunaan Obat.
 Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien
Apoteker mendokumentasikan konseling dengan meminta tanda
tangan pasien sebagai bukti bahwa pasien memahami informasi yang
diberikan dalam konseling dengan menggunakan Formulir 7 sebagaimana
terlampir.

Pelayanan kefarmasian di Rumah (Home Pharmacy Care)


Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat
melakukan Pelayanan Kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah,
khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit
kronis lainnya.
Jenis Pelayanan Kefarmasian di rumah yang dapat dilakukan oleh
Apoteker, meliputi :
1. Penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan
dengan pengobatan.
2. Identifikasi kepatuhan pasien.

14
3. Pendampingan pengelolaan Obat dan/atau alat kesehatan di rumah,
misalnya cara pemakaian Obat asma, penyimpanan insulin.
4. Konsultasi masalah Obat atau kesehatan secara umum.
5. Monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan penggunaan
obat berdasarkan catatan pengobatan pasien.
6. Dokumentasi pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian di rumah
dengan menggunakan Formulir 8 sebagaimana terlampir.

Pemantauan Terapi Obat (PTO)


Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien
mendapatkan terapi Obat yang efektif dan terjangkau dengan
memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping.
Kriteria pasien:

15
1. Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui.
2. Menerima Obat lebih dari 5 (lima) jenis.
3. Adanya multidiagnosis.
4. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati.
5. Menerima Obat dengan indeks terapi sempit.
6. Menerima Obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi Obat
yang merugikan.
Kegiatan:
1. Memilih pasien yang memenuhi kriteria.
2. Mengambil data yang dibutuhkan yaitu riwayat pengobatan pasien
yang terdiri dari riwayat penyakit, riwayat penggunaan Obat dan
riwayat alergi; melalui wawancara dengan pasien atau keluarga
pasien atau tenaga kesehatan lain.
3. Melakukan identifikasi masalah terkait Obat.
Masalah terkait Obat antara lain adalah adanya indikasi tetapi tidak
diterapi, pemberian Obat tanpa indikasi, pemilihan Obat yang tidak
tepat, dosis terlalu tinggi, dosis terlalu rendah, terjadinya reaksi Obat
yang tidak diinginkan atau terjadinya interaksi Obat.
4. Apoteker menentukan prioritas masalah sesuai kondisi pasien dan
menentukan apakah masalah tersebut sudah atau berpotensi akan
terjadi.
5. Memberikan rekomendasi atau rencana tindak lanjut yang berisi
rencana pemantauan dengan tujuan memastikan pencapaian efek
terapi dan meminimalkan efek yang tidak dikehendaki.
6. Hasil identifikasi masalah terkait Obat dan rekomendasi yang telah
dibuat oleh Apoteker harus dikomunikasikan dengan tenaga
kesehatan terkait untuk mengoptimalkan tujuan terapi.
7. Melakukan dokumentasi pelaksanaan pemantauan terapi Obat
dengan menggunakan Formulir 9 sebagaimana terlampir.

16
II.6 Berdasarkan PMK RI No. 74 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Puskesmas.

Konseling
Merupakan suatu proses untuk mengidentifikasi dan penyelesaian
masalah pasien yang berkaitan dengan penggunaan Obat pasien rawat
jalan dan rawat inap, serta keluarga pasien.
Tujuan dilakukannya konseling adalah memberikan pemahaman
yang benar mengenai Obat kepada pasien/keluarga pasien antara lain
tujuan pengobatan, jadwal pengobatan, cara dan lama penggunaan Obat,
efek samping, tanda-tanda toksisitas, cara penyimpanan dan penggunaan
Obat.
Kegiatan:

17
 Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien.
 Menanyakan hal-hal yang menyangkut Obat yang dikatakan oleh
dokter kepada pasien dengan metode pertanyaan terbuka (open-
ended question), misalnya apa yang dikatakan dokter mengenai
Obat, bagaimana cara pemakaian, apa efek yang diharapkan dari
Obat tersebut, dan lain-lain.
 Memperagakan dan menjelaskan mengenai cara penggunaan Obat.
 Verifikasi akhir, yaitu mengecek pemahaman pasien,
mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah yang berhubungan
dengan cara penggunaan Obat untuk mengoptimalkan tujuan
terapi.
Faktor yang perlu diperhatikan:
1. Kriteria pasien:
 Pasien rujukan dokter.
 Pasien dengan penyakit kronis.
 Pasien dengan Obat yang berindeks terapetik sempit dan
poli farmasi.
 Pasien geriatrik.
 Pasien pediatrik.
 Pasien pulang sesuai dengan kriteria di atas.
2. Sarana dan prasarana:
 Ruangan khusus.
 Kartu pasien/catatan konseling.
Setelah dilakukan konseling, pasien yang memiliki kemungkinan
mendapat risiko masalah terkait Obat misalnya komorbiditas, lanjut usia,
lingkungan sosial, karateristik Obat, kompleksitas pengobatan,
kompleksitas penggunaan Obat, kebingungan atau kurangnya pengetahuan
dan keterampilan tentang bagaimana menggunakan Obat dan/atau alat
kesehatan perlu dilakukan pelayanan kefarmasian di rumah (Home
Pharmacy Care) yang bertujuan tercapainya keberhasilan terapi Obat.

18
Contoh Form SPO konseling

19
20
Ronde/Visite Pasien
Merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang
dilakukan secara mandiri atau bersama tim profesi kesehatan lainnya
terdiri dari dokter, perawat, ahli gizi, dan lain-lain.
Tujuan:
1. Memeriksa Obat pasien.
2. Memberikan rekomendasi kepada dokter dalam pemilihan Obat
dengan mempertimbangkan diagnosis dan kondisi klinis pasien.
3. Memantau perkembangan klinis pasien yang terkait dengan
penggunaan Obat.
4. Berperan aktif dalam pengambilan keputusan tim profesi kesehatan
dalam terapi pasien.
Kegiatan yang dilakukan meliputi persiapan, pelaksanaan,
pembuatan dokumentasi dan rekomendasi.
Kegiatan visite mandiri:
a. Untuk Pasien Baru
 Apoteker memperkenalkan diri dan menerangkan tujuan
dari kunjungan.
 Memberikan informasi mengenai sistem pelayanan farmasi
dan jadwal pemberian Obat.
 Menanyakan Obat yang sedang digunakan atau dibawa dari
rumah, mencatat jenisnya dan melihat instruksi dokter pada
catatan pengobatan pasien.
 Mengkaji terapi Obat lama dan baru untuk memperkirakan
masalah terkait Obat yang mungkin terjadi.
b. Untuk pasien lama dengan instruksi baru
 Menjelaskan indikasi dan cara penggunaan Obat baru.
 Mengajukan pertanyaan apakah ada keluhan setelah
pemberian Obat.
c. Untuk semua pasien
 Memberikan keterangan pada catatan pengobatan pasien.

21
 Membuat catatan mengenai permasalahan dan penyelesaian
masalah dalam satu buku yang akan digunakan dalam
setiap kunjungan.
Kegiatan visite bersama tim:
1. Melakukan persiapan yang dibutuhkan seperti memeriksa catatan
pegobatan pasien dan menyiapkan pustaka penunjang.
2. Mengamati dan mencatat komunikasi dokter dengan pasien
dan/atau keluarga pasien terutama tentang Obat.
3. Menjawab pertanyaan dokter tentang Obat.
4. Mencatat semua instruksi atau perubahan instruksi pengobatan,
seperti Obat yang dihentikan, Obat baru, perubahan dosis dan lain-
lain.
Hal-hal yang perlu diperhatikan:
1. Memahami cara berkomunikasi yang efektif.
2. Memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan pasien dan tim.
3. Memahami teknik edukasi.
4. Mencatat perkembangan pasien.
Pasien rawat inap yang telah pulang ke rumah ada kemungkinan
terputusnya kelanjutan terapi dan kurangnya kepatuhan penggunaan Obat.
Untuk itu, perlu juga dilakukan pelayanan kefarmasian di rumah (Home
Pharmacy Care) agar terwujud komitmen, keterlibatan, dan kemandirian
pasien dalam penggunaan Obat sehingga tercapai keberhasilan terapi Obat.
Contoh Form SPO Pelayanan Home Care

22
Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien
mendapatkan terapi Obat yang efektif, terjangkau dengan memaksimalkan
efikasi dan meminimalkan efek samping.
Tujuan:
 Mendeteksi masalah yang terkait dengan Obat.
 Memberikan rekomendasi penyelesaian masalah yang terkait
dengan Obat.

23
Kriteria pasien:
 Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui.
 Menerima Obat lebih dari 5 (lima) jenis.
 Adanya multidiagnosis.
 Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati.
 Menerima Obat dengan indeks terapi sempit.
 Menerima Obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi Obat
yang merugikan.
Kegiatan:
 Memilih pasien yang memenuhi kriteria.
 Membuat catatan awal.
 Memperkenalkan diri pada pasien.
 Memberikan penjelasan pada pasien.
 Mengambil data yang dibutuhkan.
 Melakukan evaluasi.
 Memberikan rekomendasi.

Evaluasi Penggunaan Obat


Merupakan kegiatan untuk mengevaluasi penggunaan Obat secara
terstruktur dan berkesinambungan untuk menjamin Obat yang digunakan
sesuai indikasi, efektif, aman dan terjangkau (rasional).
Tujuan:
 Mendapatkan gambaran pola penggunaan Obat pada kasus tertentu.
 Melakukan evaluasi secara berkala untuk penggunaan Obat
tertentu.
Setiap kegiatan pelayanan farmasi klinik, harus dilaksanakan
sesuai standar prosedur operasional. Standar Prosedur Operasional (SPO)
ditetapkan oleh Kepala Puskesmas. SPO tersebut diletakkan di tempat
yang mudah dilihat. Contoh standar prosedur operasional sebagaimana
terlampir.

24
Form catatan pengobatan pasien

II.7 Berdasarkan PMK RI No. 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan


Kefarmasian di Rumah Sakit.

Konseling
Konseling Obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran
terkait terapi Obat dari Apoteker (konselor) kepada pasien dan/atau
keluarganya. Konseling untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap di
semua fasilitas kesehatan dapat dilakukan atas inisitatif Apoteker, rujukan
dokter, keinginan pasien atau keluarganya. Pemberian konseling yang
efektif memerlukan kepercayaan pasien dan/atau keluarga terhadap
Apoteker.
Pemberian konseling Obat bertujuan untuk mengoptimalkan hasil
terapi, meminimalkan risiko reaksi Obat yang tidak dikehendaki (ROTD),
dan meningkatkan cost-effectiveness yang pada akhirnya meningkatkan
keamanan penggunaan Obat bagi pasien (patient safety).
Secara khusus konseling Obat ditujukan untuk:
 Meningkatkan hubungan kepercayaan antara Apoteker dan pasien.
 Menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien

25
 membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan Obat.
 membantu pasien untuk mengatur dan menyesuaikan penggunaan
Obat dengan penyakitnya.
 meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan.
 mencegah atau meminimalkan masalah terkait Obat.
 meningkatkan kemampuan pasien memecahkan masalahnya dalam
hal terapi.
 mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan.
 membimbing dan mendidik pasien dalam penggunaan Obat
sehingga dapat mencapai tujuan pengobatan dan meningkatkan
mutu pengobatan pasien.
Kegiatan dalam konseling Obat meliputi:
 membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien
 mengidentifikasi tingkat pemahaman pasien tentang penggunaan
Obat melalui Three Prime Questions.
 menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan
kepada pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan Obat.
 memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan
masalah pengunaan Obat.
 melakukan verifikasi akhir dalam rangka mengecek pemahaman
pasien.
 dokumentasi.
Faktor yang perlu diperhatikan dalam konseling Obat:
a. Kriteria Pasien:
 pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi
ginjal, ibu hamil dan menyusui).
 pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (TB, DM,
epilepsi, dan lain-lain).
 pasien yang menggunakan obat-obatan dengan instruksi
khusus (penggunaan kortiksteroid dengan tappering down/off).

26
 pasien yang menggunakan Obat dengan indeks terapi sempit
(digoksin, phenytoin).
 pasien yang menggunakan banyak Obat (polifarmasi).
 pasien yang mempunyai riwayat kepatuhan rendah.
b. Sarana dan Peralatan:
 ruangan atau tempat konseling.
 alat bantu konseling (kartu pasien/catatan konseling).
Contoh form konseling obat di Rumah Sakit

Visite
Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang
dilakukan Apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan
untuk mengamati kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji
masalah terkait Obat, memantau terapi Obat dan Reaksi Obat yang Tidak
Dikehendaki, meningkatkan terapi Obat yang rasional, dan menyajikan
informasi Obat kepada dokter, pasien serta profesional kesehatan lainnya.
Visite juga dapat dilakukan pada pasien yang sudah keluar Rumah Sakit
baik atas permintaan pasien maupun sesuai dengan program Rumah Sakit
yang biasa disebut dengan Pelayanan Kefarmasian di rumah (Home
Pharmacy Care).

27
Sebelum melakukan kegiatan visite Apoteker harus
mempersiapkan diri dengan mengumpulkan informasi mengenai kondisi
pasien dan memeriksa terapi Obat dari rekam medik atau sumber lain.

Pemantauan Terapi Obat (PTO)


Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang
mencakup kegiatan untuk memastikan terapi Obat yang aman, efektif dan
rasional bagi pasien.
Tujuan PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi dan
meminimalkan risiko Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD).
Kegiatan dalam PTO meliputi:
1. pengkajian pemilihan Obat, dosis, cara pemberian Obat, respons
terapi, Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD)
2. pemberian rekomendasi penyelesaian masalah terkait Obat.
3. pemantauan efektivitas dan efek samping terapi Obat.
Tahapan PTO:
 pengumpulan data pasien.
 identifikasi masalah terkait Obat.
 rekomendasi penyelesaian masalah terkait Obat
 pemantauan.
 tindak lanjut.
Faktor yang harus diperhatikan:
 kemampuan penelusuran informasi dan penilaian kritis terhadap
bukti terkini dan terpercaya (Evidence Best Medicine)
 kerahasiaan informasi.
 kerjasama dengan tim kesehatan lain (dokter dan perawat).

Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)

28
Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) merupakan program evaluasi
penggunaan Obat yang terstruktur dan berkesinambungan secara kualitatif
dan kuantitatif.
Tujuan EPO yaitu:
 mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan
Obat.
 membandingkan pola penggunaan Obat pada periode waktu
tertentu.
 memberikan masukan untuk perbaikan penggunaan Obat.
 menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan Obat.
Kegiatan praktek EPO:
 mengevaluasi pengggunaan Obat secara kualitatif.
 mengevaluasi pengggunaan Obat secara kuantitatif.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan:
 indikator peresepan
 indikator pelayanan.
 indikator fasilitas.

29
BAB III
PEMBAHASAN

Hingga saat ini penyakit hipertensi masih menjadi perhatian bagi


pemerintah Indonesia karena prevalensinya masih cukup tinggi. Untuk mengatasi
penyakit hipertensi tersebut, pasien harus patuh dalam meminum obat dan
menerapkan gaya hidup yang sehat. Ketidakpatuhan dalam mengonsumsi obat
antihipertensi merupakan salah satu rintangan terbesar dalam pemantauan tekanan
darah pasien. Kegagalan terapi antihipertensi dapat menyebabkan komplikasi
penyakit dan juga penurunan kualitas hidup pasien.
Kepatuhan meminum obat pasien dengan penyakit kronis di negara maju
hanya 50%, kemungkinan tingkat kepatuhan di negara berkembang akan lebih
rendah. Pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah (home care) oleh
apoteker dapat memberikan pendidikan dan pemahaman lebih dalam mengenai
pengobatan, dan dapat memastikan bahwa pasien yang telah berada di rumah
menggunakan obat dengan benar, sehingga akan meningkatkan kepatuhan pada
pasien. Jenis pelayanan kefarmasian di rumah yang dapat dilakukan oleh apoteker
yaitu meliputi assessment permasalahan terapi, identifikasi kepatuhan dari pasien,
pendampingan dalam pengelolaan obat, konsultasi masalah obat, memonitor
pelaksanaan, efektivitas dan keamanan penggunaan obat serta dokumentasi
pelayanan kefarmasian di rumah. Pemberian home care dengan konseling
dilaporkan dapat memberikan pemahaman yang lebih kepada pasien tentang
penyakit yang diderita dan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.5,6
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan di atas, penelitian ini
dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh home care yang dilakukan
oleh apoteker terhadap kepatuhan pasien hipertensi dalam meminum obat.
Metode Kerja

30
Penelitian ini menggunakan desain penelitian eksperimental. Pasien yang
terlibat berjumlah 70 orang yang ditetapkan secara acak dengan metode
consecutive sampling dari sebanyak 7 dokter keluarga. Penelitian ini melibatkan
dokter keluarga sebagai fasilitas kesehatan tingkat I yang bekerjasama dengan
apotek sehingga ketersediaan obat terjamin dan pelayanan resepnya dilakukan
oleh apoteker sehingga pasien bisa memperoleh informasi standar mengenai
pengobatannya. Pasien dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok kontrol yang
terdiri dari 35 pasien yang mendapat informasi standar mengenai obat
antihipertensi oleh apoteker saat penyerahan obat di apotek dan kelompok
intervensi yang terdiri dari 35 pasien yang mendapatkan informasi standar di
apotek dan home care oleh apoteker (Tabel 1)
.

Berdasarkan hasil perhitungan jumlah minimum sampel, penelitian ini


melibatkan sebanyak 70 pasien dari tujuh tempat praktik dokter keluarga yang
bekerja sama dengan BPJS Kesehatan Kabupaten Banyumas. Jumlah pasien yang
terlibat dalam penelitian berbeda-beda di setiap dokter keluarga dan dihitung
berdasarkan proporsi jumlah pasien masing-masing dokter (Tabel 2).

31
Home Care dalam penelitian ini merupakan intervensi yang diberikan oleh
seorang apoteker kepada pasien secara langsung dengan cara berkunjung ke
rumah pasien selama 10–20 menit. Kegiatan ini dilaksanakan satu kali pada hari
ke-15 setelah pasien mendapatkan obat. Kepatuhan pasien dalam meminum obat
diukur menggunakan metode pill count, yaitu perhitungan sisa obat pasien pada
hari ke-30 di rumah pasien. Pasien tidak diberikan informasi bahwa akan
dilaksanakan penghitungan sisa obat untuk menghindari bias. Metode pill count
sebagai cara penilaian kepatuhan pasien tidak pernah dilakukan sebelumnya oleh
tenaga kesehatan di tempat pelayanan kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS
Kesehatan Kabupaten Banyumas. Pasien dikategorikan patuh bila kepatuhannya
melebihi 90%.

Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan Chi-Square test


menggunakan program SPSS, jika nilai p<0,05 maka dapat disimpulkan bahwa
pemberian intervensi home care oleh apoteker memberikan pengaruh terhadap
kepatuhan pasien dengan hipertensi. Uji statistik tersebut dipilih karena data yang
diperoleh merupakan data kategorik tidak berpasangan.
HASIL
Gambaran karakteristik pasien berdasarkan usia, jenis kelamin dan
pekerjaan disajikan pada Tabel 3.

32
Jumlah pasien terbanyak berada di usia 51–80, yaitu 68 orang. Pasien yang
berjenis kelamin perempuan lebih banyak dibanding laki-laki, yaitu 45 orang.
Pasien yang memiliki usaha, merupakan Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI,
petani dan pegawai perusahaan swasta dikategorikan bekerja sebanyak 25 orang,
sedangkan pensiunan dan ibu rumah tangga dikategorikan tidak bekerja sebanyak
45 orang.
Dari kelompok kontrol, terdapat sebanyak 21 pasien patuh dan 14 pasien
tidak patuh, sedangkan dari kelompok intervensi terdapat 34 pasien patuh dan 1
pasien tidak patuh. Untuk melihat adanya pengaruh home care terhadap kepatuhan
pasien meminum obat, dilakukan analisis statistik Chi-Square test dalam program
SPSS. Berdasarkan analisis tersebut, diperoleh nilai p=0,000 (p<0,05) yang berarti
home care memberi pengaruh terhadap kepatuhan pasien meminum obat (Tabel
4).

PEMBAHASAN
Hipertensi umum ditemui pada pasien berusia lanjut. Risiko kejadian
hipertensi meningkat hingga usia mencapai 55 tahun. Pasien usia lanjut dengan
hipertensi memiliki perilaku spesifik terhadap pengobatan. Ditemukan bahwa
pasien usia lanjut memiliki kepatuhan terhadap pola hidup sehat lebih buruk
dibandingkan dengan kelompok usia lainnya Pada usia kurang dari 45 tahun,
hipertensi didominasi oleh pria, tetapi pada usia di atas 60 tahun, ditemukan
bahwa sebanyak 47% pasien hipertensi adalah wanita dan sebanyak 43% lainnya

33
adalah pria. Penelitian di India mengenai hubungan antara jenis kelamin dan
tingkat kepatuhan pasien memperlihatkan bahwa pria memiliki tingkat kepatuhan
yang lebih rendah dibanding wanita. Hal tersebut terjadi karena pria memiliki
aktivitas yang lebih banyak sehingga tingkat kesibukannya lebih tinggi dan lebih
berpeluang melupakan waktu minum obatnya.
Pekerjaan berhubungan dengan tingkat pendidikan dan memengaruhi
pengetahuan khususnya pengetahuan tentang penggunaan obat. Pengetahuan yang
benar mengenai penyakit hipertensi beserta terapinya akan memberikan
pemahaman yang lebih baik bagi pasien. Pengetahuan memiliki hubungan yang
positif terhadap kepatuhan pasien, akan tetapi sesungguhnya kepatuhan pasien
dalam mengonsumsi obat melibatkan banyak faktor, sedangkan pengetahuan
merupakan salah satunya.
Kepatuhan dari pasien yang tinggi dalam mengonsumsi obat merupakan
aspek penting dalam pengendalian penyakit kronis seperti hipertensi.
Ketidakpatuhan pasien menjadi sebuah hambatan bagi kontrol tekanan darah
sehingga dapat menimbulkan permasalahan pengobatan yang serius,
meningkatkan biaya pengobatan dan risiko munculnya penyakit kardiovaskular
lainnya, serta menambah lama perawatan pasien di rumah sakit. Oleh karena itu,
dibutuhkan upaya untuk mengidentifikasi tingkat kepatuhan pasien. Pendekatan
untuk menilai kepatuhan penggunaan obat dapat dilakukan dengan beberapa
metode, antara lain patient self-report, pill count, rekam data pengobatan dan
penilaian kadar obat dalam darah. Pill count merupakan sebuah metode yang
relatif mudah untuk mengukur kepatuhan pasien dalam mengonsumsi obat dengan
cara menghitung sisa obat. Kelebihan dari metode ini adalah metode ini relatif
mudah dan murah sehingga sering digunakan dalam pelayanan kesehatan dan uji
klinik. Kekurangannya yaitu tidak adanya informasi mengenai problem
kepatuhan, pasien bisa membuang obatnya, serta dibutuhkan akurasi pencatatan
data peresepan
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian, intervensi berupa
home care memberikan pengaruh terhadap kepatuhan pasien hipertensi dalam
mengonsumsi obat. Hal ini ditunjukkan dengan dari sebanyak 35 pasien yang

34
mendapatkan intervensi, 34 pasien patuh dan 1 pasien tidak patuh. Hasil analisis
statistik memperlihatkan pasien yang tidak patuh tersebut sudah berusia lanjut
sehingga terdapat faktor penurunan daya ingat yang memengaruhi kepatuhan. Hal
ini sesuai dengan penelitian mengenai kepatuhan pasien hipertensi usia lanjut
terhadap pola hidup sehat yang menyatakan bahwa pasien usia lanjut memiliki
tingkat kepatuhan yang rendah terhadap pengobatan dan pola hidup sehat

BAB IV
PENUTUP

IV.1 Kesimpulan
Pelayanan home care yang diberikan oleh apoteker berpengaruh dalam
meningkatkan kepatuhan pasien hipertensi.

35
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang


Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek
Pedoman Pelayanan Kefarmasian Di Rumah (Home Pharmacy Care). Direktorat
Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik Direktorat Jenderal Bina
Kefarmasian Dan Alat Kesehatan. Departemen Kesehatan RI. 2008
Wahyu Utaminingrum dkk. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia,.Universitas
Muhammadiyah Purwokerto. Desember 2017

36

Anda mungkin juga menyukai