The assessment of learning outcomes
The importance of evaluation is recognized by
the new National Education Law which defines
learning results, n (Art. 345) as”....what a
person knows, understands and is able to do
at the end of the learning process and are
defined as knowledge, abilities and
competences”(12, article 345). It points out
the transition to be made from the evaluation
of knowledge to the evaluation of behaviour.
The specialized literature contains many
studies dealing with learning results
evaluation topic. We have selected some that
make reference to:
1. Factors that influence the learning
outcomes
The paper written by Björn B. de Koning, Sofie
M.M. Loyens, Remy M.J.P. Rikers, Guus
Smeets, Henk T. van der Molen investigates
the simultaneous impact of demographic
aspects, of personality, inteligence, and of
factors that act before the study, on the
academic results of the students included in a
three years’ academic psychologic programme
based on solving the problems.Information
has been collected using a group of 1,800
students involved in this programme at the
Erasmus University from Rotterdam, between
2003 and 2009, making reference to their
sex(male/female), age, nationality, pre
universitarian training, grades from high
school, the five important characteristics of
personality (Big FIVE), inteligence(for example,
number, verbal, space), observation of
learning activity and duration of individual
study.
The academic performances have been
measured using the number of credits, got
every year, using the tests given at a course,
and the results of a progress test. The analyses
of multiple regression showed that the
analysed learning activities, performance
Penilaian hasil belajar
Pentingnya evaluasi diakui oleh Undang-
Undang Pendidikan Nasional yang baru yang
mendefinisikan hasil belajar, n (Pasal 345)
sebagai ”.... apa yang diketahui, dipahami, dan
mampu dilakukan seseorang di akhir proses
pembelajaran dan didefinisikan sebagai
pengetahuan, kemampuan dan kompetensi
”(12, pasal 345). Ini menunjukkan transisi yang
harus dilakukan dari evaluasi pengetahuan ke
evaluasi perilaku. Literatur khusus berisi
banyak kajian yang berhubungan dengan topik
evaluasi hasil belajar. Kami telah memilih
beberapa yang mengacu pada:
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil
belajar
Makalah yang ditulis oleh Björn B. de Koning,
Sofie M.M. Loyens, Remy M.J.P. Rikers, Guus
Smeets, Henk T. van der Molen menyelidiki
dampak simultan dari aspek demografis,
kepribadian, kecerdasan, dan faktor-faktor
yang bertindak sebelum penelitian, pada hasil
akademik siswa yang termasuk dalam program
psikologi akademik tiga tahun berbasis
Informasi telah dikumpulkan menggunakan
sekelompok 1.800 siswa yang terlibat dalam
program ini di Universitas Erasmus dari
Rotterdam, antara tahun 2003 dan 2009,
dengan mengacu pada jenis kelamin (pria /
wanita), usia, kebangsaan, pelatihan pra-
universal, nilai dari sekolah menengah, lima
karakteristik penting dari kepribadian (Big
FIVE), inteligence (misalnya, angka, verbal,
spasi), observasi aktivitas belajar dan durasi
belajar individu.
Prestasi akademik diukur dengan
menggunakan jumlah SKS, yang didapat setiap
tahun, menggunakan tes yang diberikan pada
suatu mata kuliah, dan hasil tes kemajuan.
Analisis regresi berganda menunjukkan bahwa
kegiatan pembelajaran yang dianalisis, kinerja
obtained during the first and second year, the
courses attended during high school time ,
conscientiousness and verbal inteligence have
been strongly and steadily connected with the
academic performance. Other factors have
also contributed to the academic performance
but their influence was less important and
limited to the first year of study. These results
suggest that educational achievements (the
former ones) and the learning activities under
observation are the most important for the
academic success in a university programme
based on solving of problems.
In contrast with the previous studies, the
already mentioned one shows that there is a
weak connection between the variables: sex
(male/female) nationality and age(2, p.320).
These differences are explainable because this
study has taken into account more factors
which determine results of learning and not
only part of them as other studies have done
It has come out that , in an academic study
programme centred on solving problems and
not mechanical learning before the exam, the
factors that influence the academic
performance may differ from what the other
studies showed.
The encouraging of the students in taking
active part to the course, their motivation by
scheduling the educational activities, steadily,
and the encouraging of a learning strategy
that have in view the understanding of the
topics, will increase the number of subjects
that will successfully .
An adequate structuring of the courses and
steady encouragement of students may
compensate a lower conscientiousness. This
characteristic of personality is more important
in the case of traditional courses, centred on
professor, and less important, in the case of
yang diperoleh selama tahun pertama dan
kedua, mata kuliah yang diikuti selama masa
sekolah menengah, teliti dan kecerdasan
verbal sangat kuat dan mantap terkait dengan
kinerja akademik. Faktor-faktor lain juga
berkontribusi terhadap kinerja akademis
tetapi pengaruhnya kurang penting dan
terbatas pada tahun pertama studi. Hasil ini
menunjukkan bahwa prestasi pendidikan
(yang terdahulu) dan kegiatan pembelajaran
yang diamati merupakan hal terpenting bagi
keberhasilan akademik di suatu program
perguruan tinggi berdasarkan pemecahan
masalah.
Berbeda dengan penelitian sebelumnya,
penelitian yang telah disebutkan sebelumnya
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
lemah antara variabel: jenis kelamin (laki-laki /
perempuan) kebangsaan dan umur (2, p.320).
Perbedaan ini dapat dijelaskan karena
penelitian ini telah memperhitungkan lebih
banyak faktor yang menentukan hasil belajar
dan tidak hanya sebagian seperti yang telah
dilakukan penelitian lain. Telah diketahui
bahwa, dalam program studi akademik
berpusat pada pemecahan masalah dan bukan
pembelajaran mekanik sebelum ujian, faktor-
faktor yang mempengaruhi kinerja akademik
mungkin berbeda dari apa yang ditunjukkan
oleh penelitian lain.
Mendorong mahasiswa untuk aktif mengikuti
perkuliahan, memotivasi mereka dengan
menjadwalkan kegiatan pendidikan, mantap,
dan mendorong strategi pembelajaran yang
memperhatikan pemahaman topik, akan
meningkatkan jumlah mata kuliah yang
berhasil lulus.
Penataan kursus yang memadai dan dorongan
yang mantap dari siswa dapat
mengkompensasi kesadaran yang lebih
rendah. Karakteristik kepribadian ini lebih
penting dalam kasus kursus tradisional,
berpusat pada profesor, dan kurang penting,
those based on problem solving.
We notice a set of characteristics that may be
taken into account in the academic system.
Students ‘training by using the group meetings
(courses, seminars, labs) and their
participation to them are very important.
Another important aspect is the informing of
the students, information offered by
professors or educational programme
organizers, that performance in the first
university year considerably influences the
further academic success. Making the
students be conscious of this and their
encouragement to get good grades may
contribute to reaching this target. Much more
help may be offered during the first year, by
means of courses for the management of time
or scheduling the activities planned for a year
of study
Students’ orientation for reaching the goals is
another factor that influences the learning
results as it comes out from the study of Lars-
Erik Malmberg(7, p.438-453) made on the
students who train themselves to become
teachers in Finland. It has in view to analyse if
the students’ orientation to become teachers
is changed, during the four years of study, and
to notice the connection between their
motivation trajectory and their academic and
teaching antecedents and the obtained
results.
The above mentioned study investigated 170
subjects, using an individual development
graphic for each. The orientation to get results
increases, reaching the climax during the third
year. Similar to the previous study, the
present study underlines the greater
predictive value which the results of the high
school have on students ‘orientation to get
performance and greater grades. The reflexive
thinking, intrinsic motivation, home place of
control greatly increase the orientation to the
dalam kasus yang didasarkan pada pemecahan
masalah.
Kami memperhatikan seperangkat
karakteristik yang mungkin diperhitungkan
dalam sistem akademik. Pelatihan siswa
dengan menggunakan pertemuan kelompok
(kursus, seminar, lab) dan partisipasi mereka
sangat penting. Aspek penting lainnya adalah
menginformasikan kepada mahasiswa,
informasi yang ditawarkan oleh para profesor
atau penyelenggara program pendidikan,
bahwa kinerja di tahun pertama universitas
sangat mempengaruhi keberhasilan akademik
selanjutnya. Menyadarkan siswa akan hal ini
dan dorongan mereka untuk mendapatkan
nilai bagus dapat berkontribusi untuk
mencapai target ini. Lebih banyak bantuan
mungkin ditawarkan selama tahun pertama,
melalui kursus untuk pengelolaan waktu atau
penjadwalan kegiatan yang direncanakan
untuk satu tahun studi.
Orientasi siswa untuk mencapai tujuan
merupakan faktor lain yang mempengaruhi
hasil belajar sebagaimana hasil penelitian Lars-
Erik Malmberg (7, p.438-453) terhadap siswa
yang melatih diri menjadi guru di Finlandia. Ini
bertujuan untuk menganalisis apakah orientasi
siswa untuk menjadi guru berubah, selama
empat tahun studi, dan untuk melihat
hubungan antara lintasan motivasi mereka
dan akademis dan pengajaran anteseden dan
hasil yang diperoleh.
Studi yang disebutkan di atas menyelidiki 170
subjek, menggunakan grafik perkembangan
individu untuk masing-masing subjek.
Orientasi untuk mendapatkan hasil semakin
meningkat, mencapai klimaks pada tahun
ketiga. Serupa dengan penelitian sebelumnya,
penelitian ini menggarisbawahi nilai prediksi
yang lebih besar yang dimiliki hasil sekolah
menengah atas orientasi siswa untuk
mendapatkan prestasi dan nilai yang lebih
tinggi. Pemikiran refleksif, motivasi intrinsik,
target. kendali tempat asal sangat meningkatkan
orientasi pada target.
Elliot(6, p.169-189) suggested the following Elliot (6, p.169-189) menyarankan perbedaan
distinction between orientations towards the berikut antara orientasi terhadap target:
target:
1. Mastership, ability in following the targets
which are a manifestation of a wish to
develop competences. It is connected with
the adaptive results such as self-efficiency,
self-adjustment, a thorough learning,
interest and intrinsec motivation (5, p.43-
54).
2. Orientation of targets to get performance
makes reference to the wish to
demonstrate competence. It has been
correlated both with adaptive results, such
as perception of own performance and
performance which is materialized in
grades, and with inadequate results such
as superficial learning.
3. Orientation of targets to avoid
performance makes reference to students
who do not wish to reveal lack of
competence. The students who belong to
this category do not ask for help in
achieving the tasks, use inefficient learning
strategies, have negative feelings towards
courses and get bad grades .(9)
The female students wish more than the male
ones to develop competences (see Lars-Erik
Malmberg, 2008 ).The same study reveals that
the older students use less strategies to avoid
performance than the younger ones. The
former are more realist, they know what to be
a teacher means and what is to be done to
reach the target. It has come to a conclusion
that, the high level of communication and
interpretation competences, as they have
been revealed through the observation of the
group tasks at the entrance examination,
1. Mastership, yaitu kemampuan
mengikuti ta rget yang merupakan
wujud dari keinginan untuk
mengembangkan kompetensi. Ini
terkait dengan hasil adaptif seperti
efisiensi diri, penyesuaian diri,
pembelajaran yang menyeluruh, minat
dan motivasi intrinsec (5, p.43-54).
2. Orientasi target untuk mendapatkan
kinerja mengacu pada keinginan untuk
menunjukkan kompetensi. Ini telah
berkorelasi baik dengan hasil adaptif,
seperti persepsi kinerja dan kinerja
sendiri yang diwujudkan dalam nilai,
dan dengan hasil yang tidak memadai
seperti pembelajaran dangkal.
3. Orientasi target untuk menghindari
kinerja mengacu pada siswa yang tidak
ingin mengungkapkan kurangnya
kompetensi. Siswa yang termasuk
kategori ini tidak meminta bantuan
dalam menyelesaikan tugas,
menggunakan strategi pembelajaran
yang tidak efisien, memiliki perasaan
negatif terhadap mata kuliah dan
mendapatkan nilai buruk. (9)
Siswa perempuan menginginkan lebih
daripada siswa laki-laki untuk
mengembangkan kompetensi (lihat Lars-Erik
Malmberg, 2008). Studi yang sama
mengungkapkan bahwa siswa yang lebih tua
menggunakan lebih sedikit strategi untuk
menghindari kinerja daripada siswa yang lebih
muda. Yang pertama lebih realis, mereka tahu
apa artinya menjadi guru dan apa yang harus
dilakukan untuk mencapai target. Telah
sampai pada kesimpulan bahwa, kompetensi
komunikasi dan interpretasi tingkat tinggi,
better foresee the convictions about the
expectance of students’ control in comparison
with the grades obtained at the exams. The
previous good results foreshadow the
orientation to get performance, the students
with good grades in the high school want to
demonstrate that are competent during the
faculty period of time.
Reflexive thinking(for ex. one’s tendency to
stop and reflect on topics when one faces
difficult situations), intrinsic motivation ( for
ex. the pleasure to teach) and the convictions
about control expectance(for ex. the belief
that he/she is able to develop activities of
teaching the children) have been connected
with mastership increasing of establishing and
following the targets).
2. New types of learning results
In the context in which competences
represent results which are more and more
important for student teaching, information
literacy competence becomes a desired result
of learning for any domain. All the actors of
the academic system recognize that the
capacity of finding, accessing, evaluating and
using in an efficient and ethic way the
information is necessary for the students’
success within their educational programme,
and after that, in the personal work and life.(8,
p.1). Recent studies prove that the great
majority of students lack these competences.
According to Berger şi Milem (1, p.641-664)
the great majority of studies regarding
academic performances are based especially
on analyses of perception of learning results
and less on observation of study behaviour of
the activities directly involved during the study
interval of time. Bjorn”s study is valuable
because it does not pay attention only to
individual study time, but it also uses elements
seperti yang telah diungkapkan melalui
pengamatan tugas kelompok pada ujian
masuk, lebih baik meramalkan keyakinan
tentang harapan kontrol siswa dibandingkan
dengan nilai. diperoleh saat ujian. Hasil yang
baik sebelumnya menandakan orientasi untuk
berprestasi, siswa dengan nilai bagus di
sekolah menengah ingin menunjukkan yang
kompeten selama periode waktu fakultas.
Pemikiran refleksif (misalnya kecenderungan
seseorang untuk berhenti dan merenungkan
topik ketika seseorang menghadapi situasi
yang sulit), motivasi intrinsik (misalnya
kesenangan untuk mengajar) dan keyakinan
tentang ekspektasi kontrol (misalnya
keyakinan bahwa ia mampu) untuk
mengembangkan kegiatan mengajar anak)
telah dikaitkan dengan peningkatan
kepiawaian dalam menetapkan dan mengikuti
target).
2. Jenis hasil belajar baru
Dalam konteks di mana kompetensi mewakili
hasil yang semakin penting bagi pengajaran
siswa, kompetensi literasi informasi menjadi
hasil pembelajaran yang diinginkan untuk
domain apa pun. Semua pelaku sistem
akademik menyadari bahwa kapasitas untuk
menemukan, mengakses, mengevaluasi dan
menggunakan informasi secara efisien dan etis
diperlukan untuk keberhasilan siswa dalam
program pendidikan mereka, dan setelah itu,
dalam pekerjaan dan kehidupan pribadi. (8,
hlm. 1). Studi terbaru membuktikan bahwa
sebagian besar siswa tidak memiliki
kompetensi ini.
Menurut Berger şi Milem (1, p.641-664)
sebagian besar studi tentang prestasi
akademik didasarkan terutama pada analisis
persepsi hasil belajar dan lebih sedikit pada
observasi perilaku belajar dari kegiatan yang
terlibat langsung selama interval waktu
belajar. . Pembelajaran Bjorn berharga karena
tidak hanya memperhatikan waktu belajar
individu, tetapi juga menggunakan elemen
of the teaching staff evaluations of the real
study abilities of students during the group
discussions.
The research of Laura Saunders,(8) on a group
of 834 teachers , who teach in all fields,
demonstrates that the questioned persons
support the idea of developing the
competences of information managing
between students, but when, how and who
should do this was not established. When they
were asked which field was to be responsible
for informational teaching or who should be
responsible for its teaching, the questioned
persons vaguely answered. More questioned
persons consider that information
management should be the task of the high
school or even general school. These reactions
suggest that the students could successfully
develop these competences by means of
introductory courses and the teachers should
not take them into account within their own
subjects. Only a teacher considered this
responsibility to be fulfilled by the librarians
considering the latter ‘to be fit for this” and
„they should be let to do their job”
Two or three indicated the fact that they were
conscious of dealing, systematically, the
information management and offered
interesting solutions. A teacher of Biology
mentioned the fact that his department had
changed the introductory courses as an
answer to the need of managing the
information. They „got rid of half of the
courses content” and spent more time
teaching the students how to get, interpret
and use the data. Another one, a Political
science teacher, presented an information
management practiced in his department. In
his department, the students developed their
abilities , step by step, the progress being
scaled from 100 to 400. At the courses of 200
evaluasi staf pengajar terhadap kemampuan
belajar siswa yang sebenarnya selama diskusi
kelompok.
Penelitian Laura Saunders, (8) pada
sekelompok 834 guru, yang mengajar di
semua bidang, menunjukkan bahwa orang
yang ditanyai mendukung gagasan
pengembangan kompetensi pengelolaan
informasi antar siswa, tetapi kapan,
bagaimana dan siapa yang harus melakukan
ini belum mapan. Ketika mereka ditanya
bidang mana yang akan bertanggung jawab
untuk pengajaran informasional atau siapa
yang harus bertanggung jawab atas
pengajarannya, orang yang ditanyai menjawab
dengan samar. Orang yang lebih banyak
bertanya menganggap bahwa manajemen
informasi harus menjadi tugas sekolah
menengah atau bahkan sekolah umum. Reaksi
ini menunjukkan bahwa siswa dapat berhasil
mengembangkan kompetensi ini melalui
kursus pengantar dan guru seharusnya tidak
mempertimbangkannya dalam mata pelajaran
mereka sendiri. Hanya seorang guru yang
menganggap tanggung jawab ini harus
dipenuhi oleh pustakawan mengingat yang
terakhir 'cocok untuk ini "dan" mereka harus
dibiarkan melakukan pekerjaannya "
Dua atau tiga menunjukkan fakta bahwa
mereka sadar berurusan, sistematis,
manajemen informasi dan menawarkan solusi
yang menarik. Seorang guru Biologi
menyebutkan fakta bahwa jurusannya telah
mengubah mata kuliah pengantar sebagai
jawaban atas kebutuhan pengelolaan
informasi. Mereka “membuang setengah dari
isi kursus” dan menghabiskan lebih banyak
waktu untuk mengajar siswa bagaimana
mendapatkan, menafsirkan dan menggunakan
data. Seorang guru Ilmu Politik
mempresentasikan tentang manajemen
informasi yang dipraktikkan di jurusannya. Di
jurusannya mahasiswa mengembangkan
kemampuannya tahap demi tahap, progresnya
points, the students did not get a research
work, they were obliged to build a
bibliography and indicate the way they could
use the sources. For the level 300, they had
research activities, wrote a paper which
required the library information and archives
records. For the 400 level, they were asked to
criticize the bibliographical records in a
professional way and write significant
commentaries.
The answers demonstrated that there were
many places which could be used for
informational teaching: in the classroom, but
also in the department, library by using the IT
instruments. The teachers mentioned cases
when librarians were invited in the classroom
to teach the children information about
library. The opinion was that education in
information field consisted both in developing
a set of fundamental competences that are
transferable or trans-disciplinary and in
acquiring knowledge and competences
specific to each field. The teachers are
concerned of students ‘dependence on Google
and Wikipedia for getting the information and
support the idea that all students should be
conscious of the fact that other sources of
information could be used. A major difference
appeared when the credible sources of
information were to be established
The „peer-review “articles were considered to
be very important for all questioned persons,
the teachers dealing with the field of sciences
considered these types of articles as being the
most important ones The data of the original
research could be another source of
information for the students
ditingkatkan dari 100 menjadi 400. Pada mata
kuliah 200 poin, mahasiswa tidak
mendapatkan karya penelitian, mereka
diwajibkan untuk membuat daftar pustaka dan
menunjukkan caranya. mereka bisa
menggunakan sumbernya. Untuk level 300,
mereka melakukan kegiatan penelitian,
menulis makalah yang membutuhkan
informasi perpustakaan dan catatan arsip.
Untuk level 400, mereka diminta mengkritisi
catatan bibliografi secara profesional dan
menulis tafsir yang signifikan.
Jawabannya menunjukkan bahwa ada banyak
tempat yang dapat digunakan untuk
pengajaran informasional: di kelas, tetapi juga
di departemen, perpustakaan dengan
menggunakan instrumen TI. Para guru
menyebutkan kasus-kasus ketika pustakawan
diundang ke dalam kelas untuk mengajari
anak-anak informasi tentang perpustakaan.
Pendapatnya adalah bahwa pendidikan bidang
informasi terdiri dari pengembangan
seperangkat kompetensi dasar yang bersifat
transferable atau transdisipliner serta
memperoleh pengetahuan dan kompetensi
yang spesifik untuk masing-masing bidang.
Para guru prihatin akan ketergantungan siswa
pada Google dan Wikipedia untuk
mendapatkan informasi dan mendukung
gagasan bahwa semua siswa harus sadar akan
fakta bahwa sumber informasi lain dapat
digunakan. Perbedaan besar muncul ketika
sumber informasi yang kredibel akan
ditetapkan
Artikel „peer-review“ dianggap sangat penting
untuk semua orang yang ditanyai, para guru
yang berhubungan dengan bidang sains
menganggap jenis artikel ini sebagai yang
paling penting. Data penelitian asli dapat
menjadi sumber informasi lain untuk murid-
murid
On the other side, the teachers from the social
sciences and humanistic fields are also
interested in the way the students access and
interpret the newspaper articles, blog news
and other sources that could be considered
less scientific but which expressed the
author’s opinion. Many questioned persons
discussed the importance of making
distinction between primary and secondary
literature, but even between these two groups
there were differences caused by the specific
elements of each subject. The literature
teachers considered novels, short stories,
poetry created by authors as being primary
literature while the biologists and
anthropologists took into account the original
research reports as primary documentation.
On the other side, political sciences and
historical anthropology identified newspapers,
letters, journal and primary documents
Not only the sources are different but also the
evaluation and usage of information are. The
students studying sciences have to assess the
quality of the research present in the article.
For being able to understand this, they have to
understand the research process, collecting
and processing of data in order to be able to
draw the conclusions of the research.
The assessment of the sources from the
humanistic field means more references on
aethetic significances and estimations. The
students must go beyond Google to get the
academic information and aethetic
assessment and get „peer-review” articles and
use the data of the libraries and other sources
of information.
3. Alternative methods of assessing the
learning outcomes
In every day practice, the portfolio, as
instrument of alternative evaluation gets more
ground in the disadvantage of old fashioned
oral or written exams. As more and more
educational institutions use the new
Di sisi lain, para pengajar dari bidang ilmu
sosial dan humanistik juga tertarik dengan
cara siswa mengakses dan
menginterpretasikan artikel surat kabar, berita
blog, dan sumber lain yang dianggap kurang
ilmiah namun mengutarakan pendapat
penulis. Banyak orang yang ditanyai
membahas pentingnya membuat perbedaan
antara sastra primer dan sekunder, tetapi
bahkan di antara kedua kelompok ini terdapat
perbedaan yang disebabkan oleh unsur-unsur
tertentu dari setiap mata pelajaran. Para guru
sastra menganggap novel, cerita pendek, puisi
yang dibuat oleh penulis sebagai literatur
utama, sedangkan ahli biologi dan antropologi
memperhitungkan laporan penelitian asli
sebagai dokumentasi utama. Di sisi lain, ilmu
politik dan antropologi sejarah
mengidentifikasi surat kabar, surat, jurnal dan
dokumen primer
Tidak hanya sumbernya saja yang berbeda
tetapi juga evaluasi dan penggunaan
informasinya saja. Mahasiswa yang
mempelajari sains harus menilai kualitas
penelitian yang ada dalam artikel. Untuk dapat
memahami hal tersebut maka harus
memahami proses penelitian, pengumpulan
dan pengolahan data agar dapat menarik
kesimpulan dari penelitian tersebut.
Penilaian sumber dari bidang humanistik
berarti lebih banyak referensi tentang makna
dan estimasi etika. Para siswa harus
melampaui Google untuk mendapatkan
informasi akademik dan penilaian etis dan
mendapatkan artikel "peer-review" dan
menggunakan data perpustakaan dan sumber
informasi lainnya.
3. Metode alternatif dalam menilai hasil
belajar
Dalam praktik sehari-hari, portofolio, sebagai
instrumen evaluasi alternatif, semakin
dirugikan oleh ujian lisan atau tertulis yang
kuno. Karena semakin banyak lembaga
pendidikan yang menggunakan teknologi
information and communication technologies
both in the teaching and assessment
processes, it is important to study the
requirements such a portfolio worked on the
Internet should meet. Such a study was made
by the National University from Taiwan.(4,
p.303-321) It explored the consistency and
difference existing between the teacher’s
assessment, the pupils ‘self assessment and
the one done in pairs of a portfolio done on
the web. 72 pupils from a high school who
attended an applied course of informatics
were involved. The pupils did the portfolios
and so they did the self and pair assessment
using the assessment system. Three teachers
checked the portfolios and assessed the
performance in learning. A learning portfolio
has the aim to evaluate the learning results. A
loaded portfolio done on the web means
authentic evaluation of the students ‘effort, of
their progress and achievement by reference
to an online evaluation platform where the
processes and products of learning are
present.
Regarding the evaluation platform structure of
the online portfolio, Reckase(10) suggested
the following aspects to be included in:
demonstration of academic understanding of
the information, reflexive thinking, rich
content, difficulty of creation, organization
and presentation.
Many studies are concerned with portfolio
presentation(original aspects and creativity),
aspect(systematic arrangement and easy
navigation), self-reflection (ideas and
perceptions of the own learning
performance),documents (rich information,
elaborate) and makeup (orthography,
punctuation, word selection,)
The above mentioned paragraphs share the
same concepts, such as self reflection, content
organization, its bulk of information; inspite of
this, the most of them tend to judge the
content itself less attention being given to
informasi dan komunikasi baru baik dalam
proses pengajaran dan penilaian, penting
untuk mempelajari persyaratan yang harus
dipenuhi oleh portofolio yang dikerjakan di
Internet. Studi semacam itu dilakukan oleh
National University dari Taiwan. (4, p.303-321)
Ini mengeksplorasi konsistensi dan perbedaan
yang ada antara penilaian guru, penilaian diri
siswa dan yang dilakukan secara berpasangan
portofolio yang dilakukan pada web. 72 siswa
dari sekolah menengah yang mengikuti kursus
terapan informatika terlibat. Para siswa
membuat portofolio sehingga mereka
melakukan penilaian diri dan pasangan
dengan menggunakan sistem penilaian. Tiga
guru memeriksa portofolio dan menilai kinerja
dalam pembelajaran. Portofolio pembelajaran
bertujuan untuk mengevaluasi hasil belajar.
Portofolio yang dimuat dilakukan di web
berarti evaluasi otentik dari upaya siswa,
kemajuan dan pencapaian mereka dengan
mengacu pada platform evaluasi online
tempat proses dan produk pembelajaran
hadir.
Mengenai struktur platform evaluasi
portofolio online, Reckase (10) menyarankan
aspek-aspek berikut untuk dimasukkan dalam:
demonstrasi pemahaman akademis tentang
informasi, pemikiran refleksif, konten yang
kaya, kesulitan pembuatan, organisasi dan
presentasi.
Banyak studi yang berkaitan dengan
presentasi portofolio (aspek asli dan
kreativitas), aspek (pengaturan sistematis dan
navigasi yang mudah), refleksi diri (ide dan
persepsi kinerja pembelajaran sendiri),
dokumen (kaya informasi, rumit) dan riasan
(ortografi, tanda baca , pemilihan kata,)
Paragraf yang disebutkan di atas berbagi
konsep yang sama, seperti refleksi diri,
organisasi konten, sebagian besar
informasinya; Meskipun demikian, sebagian
besar dari mereka cenderung menilai konten
pupils , namely the learning process
So, in order to assess in a successful way the
content of a portfolio, the pupils’ products
should be incorporated in assessment
headings because one assesses not only the
way the material is collected and presented
but also the degree in which the pupils
learned the subject or developed their
professional aptitudes
In order to motivate the pupils ‘skills in putting
into practice the information and
communication technology the Milford Middle
School in Delaware (2009) began to assess by
using a digital portfolio in accordance with the
following criteria: creativity and innovation,
communication and cooperation, research and
fluency of information, critical thinking,
solving of problems and decision making,
technology of functioning, concepts, content
and reflection
Business, Management and Accounting
Department from Maryland Shore campus-
East University implemented an assessment
platform containing four aspects: learning
targets, reflection, content quality and general
performance.
The learning goals analyzes critical thinking of
the students and the solving of the problems,
communication, motivation and number
judgement and scientific knowledge, capacity
of reflection on the ethical behaviour and
social responsibility, depth of specialized
knowledge.
In order to meet the requirements for
graduation, the students must prove their
competencies in accordance with the above
mentioned criteria which involve not only
assessment of portfolio content but also the
results of learning
Such a platform includes the products of the
activity and the students ‘commentaries on
the problems they came across, on quality of
itu sendiri kurang memperhatikan siswa, yaitu
proses pembelajaran
Jadi, untuk menilai isi portofolio dengan cara
yang berhasil, produk siswa harus dimasukkan
ke dalam judul penilaian karena seseorang
menilai tidak hanya cara materi dikumpulkan
dan disajikan tetapi juga sejauh mana siswa
mempelajari subjek tersebut. atau
mengembangkan bakat profesional mereka
Untuk memotivasi keterampilan siswa dalam
mempraktikkan teknologi informasi dan
komunikasi, Milford Middle School di
Delaware (2009) mulai menilai dengan
menggunakan portofolio digital sesuai dengan
kriteria berikut: kreativitas dan inovasi,
komunikasi dan kerjasama, penelitian dan
kelancaran informasi, berpikir kritis,
pemecahan masalah dan pengambilan
keputusan, teknologi fungsi, konsep, isi dan
refleksi
Departemen Bisnis, Manajemen dan
Akuntansi dari kampus Maryland Shore-East
University menerapkan platform penilaian
yang berisi empat aspek: target pembelajaran,
refleksi, kualitas konten, dan kinerja umum.
Tujuan pembelajaran menganalisis berpikir
kritis siswa dan pemecahan masalah,
komunikasi, motivasi dan pertimbangan angka
dan pengetahuan ilmiah, kapasitas refleksi
pada perilaku etis dan tanggung jawab sosial,
kedalaman pengetahuan khusus.
Untuk memenuhi persyaratan kelulusan,
mahasiswa harus membuktikan
kompetensinya sesuai dengan kriteria di atas
yang tidak hanya meliputi penilaian isi
portofolio tetapi juga hasil belajar.
Platform seperti itu mencakup produk dari
kegiatan dan komentar siswa tentang masalah
yang mereka temui, kualitas pekerjaan mereka
their own work, allows comparisons between
the assessment of the teachers, self
assessment and inter-assessment of the
students. It’ s useful to discuss about
assessment principles, grid of marks with the
students before beginning the assessment. For
eg..a portfolio may have four papers (40
points), two reflexive journals (15 points), two
mate inter-assessments (5 points) and two
additional papers(5 points).(3, p.55-58)
The study of the Taiwan authors showed that
there were significant differences between the
results of the three assessment methods: the
teacher’s evaluation was very severe, the one
of the inter-assessing people used more
flexible standards. The self assessment results
and teacher’s one proved to be consistent,
this one was not found in self assessment and
in the pair assessment, the same is to be
found in the case of comparing the pair
assessment with the teacher’s one
Analyzing their consistency, at the end of the
course, teacher’s assessment and self
assessment have a high quality consistency,
while the pair assessment indicates a low one.
It can get an explanation: students/pupils are
not used with inter-assessment, it is very
difficult for them to assess the quality of
reflections from a portfolio and it is easier for
them to assess the quality of the included
products.
4. Conclusions
Specialized studies underline that fact that the
good results from the university level can be
foreseen by the quality of the previous results,
so the training for university begins at least
with the beginning of the high school. It is
recommended a thorough educational
counselling of the first year students so that
they may know an academic success in the
coming years. Active students’ involvement in
the course and seminar, activity organization
on active principles determine good results of
learning , not only from the point of view of
sendiri, memungkinkan perbandingan antara
penilaian guru, penilaian diri sendiri dan antar
penilaian siswa. Ada baiknya membahas
tentang prinsip-prinsip penilaian, kisi-kisi nilai
dengan siswa sebelum memulai penilaian.
Misalnya, sebuah portofolio dapat memiliki
empat makalah (40 poin), dua jurnal refleksif
(15 poin), dua penilaian antar pasangan (5
poin) dan dua makalah tambahan (5 poin). (3,
p.55-58)
Studi penulis Taiwan menunjukkan bahwa ada
perbedaan yang signifikan antara hasil dari
tiga metode penilaian: evaluasi guru sangat
parah, salah satu orang antar penilaian
menggunakan standar yang lebih fleksibel.
Hasil penilaian diri dan penilaian guru terbukti
konsisten, tidak ditemukan pada penilaian diri
dan pada penilaian berpasangan, hal yang
sama ditemukan dalam kasus membandingkan
penilaian berpasangan dengan penilaian guru
Menganalisis konsistensi mereka, pada akhir
mata pelajaran penilaian guru dan penilaian
diri memiliki kualitas konsistensi yang tinggi,
sedangkan penilaian berpasangan
menunjukkan kualitas yang rendah. Dapat
dijelaskan: siswa / siswa tidak terbiasa dengan
inter-assesment, sangat sulit bagi mereka
untuk menilai kualitas refleksi dari sebuah
portofolio dan lebih mudah bagi mereka untuk
menilai kualitas produk yang disertakan.
4. Kesimpulan
Studi khusus menggarisbawahi bahwa fakta
bahwa hasil yang baik dari tingkat universitas
dapat diramalkan dari kualitas hasil
sebelumnya, sehingga pelatihan untuk
universitas dimulai setidaknya dengan
permulaan sekolah menengah.
Direkomendasikan konseling pendidikan yang
menyeluruh bagi siswa tahun pertama
sehingga mereka dapat mengetahui
keberhasilan akademis di tahun-tahun
mendatang. Keterlibatan mahasiswa aktif
dalam mata kuliah dan seminar,
stocked information, but also behaviour,
competencies required by professional and
personal life. Students’ orientation for
reaching the aimed targets, consciousness,
verbal intelligence are factors that assure the
getting of corresponding learning results. In
the epoch of information, students’
informational learning , development of their
competencies of identifying, selecting and
assessing relevant scientific information is
compulsory.
Cooperation of all the university teaching staff
with librarians, the latter’s participation to
special courses as partners in teaching
process, special courses or a number of classes
within each subject for „informational learning
” are premises for academic success.
Assessment of learning results achieved online
requires assessment both of activity products
and of the learning process by means of which
the student succeeded in getting those
products. Self-assessment and inter-
assessment may complete the assessment
done by the teacher implying the students the
educational process and making them
responsible for their own academic
development.
Differences in Assessment, Evaluation,
and Measurement
In teaching, of course, we will intersect with
what is called assessment, measurement, and
evaluation. these three things are really very
different but they are carried out in a learning
process. Not infrequently there are still many
teachers who don't know the difference
between the three. Therefore, the authors
want to explain a little about the differences in
assessment, measurement, and evaluation.
pengorganisasian kegiatan pada prinsip-
prinsip aktif sangat menentukan hasil belajar
yang baik, tidak hanya dari segi informasi yang
ditebar, tetapi juga perilaku, kompetensi yang
dibutuhkan oleh kehidupan profesional dan
pribadi. Orientasi siswa untuk mencapai
sasaran yang dituju, kesadaran, kecerdasan
verbal merupakan faktor-faktor yang
menjamin tercapainya hasil belajar yang
sesuai. Di zaman informasi, pembelajaran
informasional siswa, pengembangan
kompetensi mereka dalam mengidentifikasi,
memilih, dan menilai informasi ilmiah yang
relevan adalah wajib.
Kerja sama dari semua staf pengajar
universitas dengan pustakawan, partisipasi
terakhir untuk kursus khusus sebagai mitra
dalam proses pengajaran, kursus khusus atau
sejumlah kelas dalam setiap mata pelajaran
untuk "pembelajaran informasi" adalah
tempat untuk keberhasilan akademis.
Penilaian hasil belajar yang dicapai secara
online memerlukan penilaian baik produk
kegiatan maupun proses pembelajaran yang
dengannya siswa berhasil mendapatkan
produk tersebut. Penilaian diri dan antar
penilaian dapat melengkapi penilaian yang
dilakukan oleh guru yang menyiratkan kepada
siswa proses pendidikan dan membuat
mereka bertanggung jawab atas
perkembangan akademik mereka sendiri.
Perbedaan Asesmen, Evaluasi, dan
Pengukuran
Dalam mengajar tentunya kita akan
bersinggungan dengan yang disebut dengan
asesmen, pengukuran, dan evaluasi. ketiga
hal tersebut sungguhlah sangat berbeda
namun ketiganya dilaksanakan dalam sebuah
proses pembelajaran. Tidak jarang masih
banyak guru yang tidak mengetahui
perbedaan ketiganya. Oleh karena itu, penulis
ingin menjelaskan sedikit mengenai
perbedaan asesmen, pengukuran, dan
evaluasi.
So far, there is confusion in the use of the
term assessment and evaluation and its
relationship with measurement and testing.
Assess comes from French, namely "assidire"
which means "to sit beside", which means
knowing the development of each individual
up close (Herman, et al., 1992). So in the
assessment, the teacher does not only make
an assessment, but sees the process of
student learning progress, so that the teacher
can easily provide individual assistance to each
student who is experiencing difficulties in
learning. Evaluators are termed sitting across
from students, meaning they do not see each
individual, but see the whole. Judging from
the implementation process, the assessment
can be carried out at the beginning (before the
process), during the learning process, and at
the end of the learning process while
evaluation is at the end of the whole process.
Assessment (Subiyanto, 1988) is a way to
obtain data through various forms of
measurement, while evaluation is a way to
obtain information for making decisions.
According to Doran et al., (1994), assessment
is the collection of both quantitative and
qualitative information to determine the
performance of an individual, group or
program through various techniques (tests,
observation or other techniques), while
evaluation is a process of assessment and
decision making. on information obtained
from the results of measurement and
assessment considerations. Assessment can
be carried out through measurement, and the
results of the assessment can be used to carry
out evaluation. Assessment and evaluation
cannot be carried out without measurement.
Measurement (Khemani, 2009) is a process of
comparing certain parameters with standard
parameters. According to Arikunto (1992)
measurement is an activity to compare
something with one standard measure.
Selama ini masih ada kesimpangsiuran dalam
penggunaan istilah asesmen dan evaluasi
serta hubungannya dengan pengukuran dan
tes. Assess berasal dari bahasa Perancis yaitu
“assidire” yang berarti “to sit beside” (duduk di
samping), yang mempunyai makna mengenal
perkembangan masing-masing individu dari
dekat (Herman, et al., 1992). Jadi dalam
asesmen, guru tidak hanya melakukan
penilaian, akan tetapi melihat proses
kemajuan belajar siswa, sehingga guru
dengan mudah dapat memberikan bantuan
secara individual kepada masing-masing
siswa yang mengalami kesulitan dalam
pembelajaran. Evaluator diistilahkan duduk
bersebrangan dengan siswa, mempunyai
makna tidak melihat masing-masing individu,
tetapi melihat secara keseluruhan. Ditinjau
dari proses pelaksanaannya, asesmen dapat
dilaksanakan di awal (sebelum proses),
selama proses pembelajaran, dan di akhir
proses pembelajaran sedangkan evaluasi
pada akhir keseluruhan proses.
Asesmen (Subiyanto, 1988) sebagai cara
untuk memperoleh data lewat berbagai bentuk
pengukuran, sedangkan evaluasi adalah cara
untuk memperoleh informasi untuk mengambil
keputusan. Menurut Doran et al., (1994),
asesmen merupakan pengumpulan informasi
baik kuantitatif maupun kualitatif untuk
menentukan kinerja perorangan, kelompok
atau program melalui berbagai teknik (tes,
observasi atau teknik yang lain),
sedangkan evaluasi
(evaluation) merupakan proses penilaian dan
pengambilan keputusan terhadap informasi
yang diperoleh dari
hasil pertimbangan pengukuran dan penilaian.
Asesmen dapat dilakukan melalui pengukuran,
dan hasil asesmen dapat dipergunakan untuk
melaksanakan evaluasi. Asesmen dan
evaluasi tidak dapat dilaksanakan tanpa
pengukuran.
Pengukuran (Khemani, 2009)
merupakan proses membandingkan
parameter tertentu dengan parameter
standar. Menurut Arikunto (1992) pengukuran
merupakan kegiatan membandingkan sesuatu
dengan satu ukuran standar. Gronlund & Linn
Gronlund & Linn (1990) define measurement
as the process of obtaining a quantitative
number or scale at which level a person
masters certain characteristics such as:
answering the question "how big?". The three
definitions indicate measurement as a
technique for obtaining data that can be done
using test or non-test measuring instruments.
The test is a set of tools that contains
instructions or questions that require student
responses under certain conditions and
specific scoring rules (Haladyna, 1997). This is
in accordance with the opinion of Gronlund &
Linn (1990) which states that the test is a
systematic instrument / tool or procedure for
measuring a sample of behavior (answering
the question "how well the individual has
mastered certain characteristics to be
achieved"). So the test is a set of instruments
for measuring in order to obtain data for
conducting the assessment
Test and non-test measurement tools,
measurement, assessment and evaluation as
described above, are each interrelated. The
opinion of the evaluation experts as described
has led to the essence of the notion of
assessment. Assessment is essentially a
process of gathering various information
continuously and thoroughly, about the
learning process and outcomes that have been
achieved by each student after going through
the learning process. Information collection
using test or non-test measuring instruments
can be done both at the beginning (before the
process), during teaching or intervention (in
between teaching), and at the end of the
learning process.
Evaluation is a decision-making process based
on measurement or assessment results.
Decision making in the evaluation is carried
out thoroughly without paying attention to
the learning development process of each
student, and is carried out at the end of the
(1990) mendefinisikan pengukuran sebagai
proses memperoleh suatu angka atau skala
kuantitatif pada tingkat mana seseorang
menguasai karakteristik tertentu seperti:
menjawab pertanyaan ”seberapa besar?”.
Ketiga definisi tersebut mengindikasikan
pengukuran sebagai teknik memperoleh data
yang dapat dilakukan menggunakan alat ukur
tes atau non tes.
Tes merupakan seperangkat alat yang berisi
instruksi atau pertanyaan yang mengharuskan
respons siswa di bawah kondisi tertentu dan
aturan penskoran spesifik (Haladyna, 1997).
Hal ini sesuai dengan pendapat Gronlund &
Linn (1990) yang menyatakan tes sebagai
suatu instrumen/alat atau prosedur sistematis
untuk mengukur suatu sampel perilaku
(menjawab pertanyaan ”seberapa baikkah
individu telah menguasai karakteristik tertentu
yang ingin dicapai”). Jadi tes merupakan
seperangkat instrumen untuk melakukan
pengukuran sehingga diperoleh data untuk
melakukan asesmen.
Alat ukur tes dan non tes, pengukuran,
asesmen dan evaluasi seperti diuraikan di
atas, masing-masing saling terkait. Pendapat
para pakar evaluasi sebagaimana telah
diuraikan menggiring pada esensi pengertian
asesmen. Asesmen pada hakekatnya
merupakan suatu proses mengumpulkan
berbagai informasi secara berkesinambungan
dan menyeluruh, tentang proses dan hasil
belajar yang telah dicapai oleh setiap siswa
setelah melalui proses pembelajaran.
Pengumpulan informasi menggunakan alat
ukur tes atau non tes dapat dilakukan baik
pada awal (sebelum proses), saat pengajaran
atau intervensi (di sela-sela pengajaran),
maupun di akhir proses pembelajaran.
Evaluasi merupakan proses pengambilan
keputusan berdasarkan hasil-hasil pengukuran
atau asesmen. Pengambilan keputusan dalam
evaluasi dilakukan secara menyeluruh tanpa
memperhatikan proses perkembangan
pembelajaran masing-masing siswa, dan
dilaksanakan di akhir proses. Jadi penekanan
process. So the emphasis on assessment is
more on students, while evaluation is more on
the program or curriculum. This is in
accordance with the opinion of Mc Cormick
(Hasan, 1988) which states: "... it is common,
especially in the USA, to use assessment and
evaluation synonymously, but we will
distinguish between the two terms by
referring to" evaluation "when it comes to
curriculum and" assessment ". when it comes
to students. Even though they are
differentiated, assessment and evaluation
cannot be carried out without measurement
using a test or non-test measuring instrument.
This is in accordance with the explanation
presented in the 2004 Curriculum (Depdiknas,
2004: 11-12), that the assessment
(assessment), evaluation, measurement
(measurement) and tests have different
meanings. Assessment is the application of
various methods and the use of various
assessment tools to obtain information about
the extent of student learning outcomes or
the achievement of student competencies
(series of abilities). Assessment answers
questions about how well a student's learning
outcomes or achievements are. Evaluation is
an identification activity to see whether a
planned program has been achieved or not,
valuable or not, and can also see the level of
efficiency of its implementation. Evaluation is
related to value judgments. In the field of
education, we can evaluate the new
curriculum, an educational policy, certain
learning resources, or the work ethic of
teachers. Measurement (measurement) is the
process of giving numbers or an attempt to
obtain a numerical description of the level at
which a student has achieved certain
characteristics. The results of the assessment
can be in the form of qualitative values
(narrative statements in words) and
quantitative values (in the form of numbers).
Measurement is related to the process of
asesmen lebih pada siswanya, sedangkan
evaluasi lebih pada program atau
kurikulumnya. Hal ini sesuai dengan pendapat
Mc Cormick (Hasan, 1988) yang menyatakan:
“ … adalah umum khususnya di USA,
menggunakan asesmen dan evaluasi secara
sinonim, tetapi kita akan membedakan kedua
istilah tersebut dengan merujuk pada
“evaluasi” jika menyangkut kurikulum dan
“asesmen” jika menyangkut siswa. Walaupun
dibedakan, asesmen dan evaluasi tidak dapat
dilakukan tanpa ada pengukuran
menggunakan alat ukur berupa tes atau non
tes.
Hal ini sesuai dengan penjelasan yang
dikemukan pada Kurikulum 2004 (Depdiknas,
2004:11-12), bahwa antara penilaian
(assessment), evaluasi, pengukuran
(measurement), dan tes memiliki pengertian
yang berbeda. Asesmen adalah penerapan
berbagai cara dan penggunaan beragam alat
penilaian untuk memperoleh informasi tentang
sejauh mana hasil belajar siswa atau
ketercapaian kompetensi (rangkaian
kemampuan) siswa. Penilaian menjawab
pertanyaan tentang sebaik apa hasil atau
prestasi belajar seorang siswa. Evaluasi
adalah kegiatan identifikasi untuk melihat
apakah suatu program yang telah
direncanakan telah tercapai atau belum,
berharga atau tidak, dan dapat pula untuk
melihat tingkat efisiensi pelaksanaannya.
Evaluasi berhubungan dengan keputusan nilai
(value judgement). Di bidang pendidikan, kita
dapat melakukan evaluasi terhadap kurikulum
baru, suatu kebijakan pendidikan, sumber
belajar tertentu, atau etos kerja guru.
Pengukuran (measurement) adalah proses
pemberian angka atau usaha memperoleh
deskripsi numerik dari suatu tingkatan di mana
seorang siswa telah mencapai karakteristik
tertentu. Hasil penilaian dapat berupa nilai
kualitatif (pernyataan naratif dalam kata-kata)
dan nilai kuantitatif (berupa angka).
Pengukuran berhubungan dengan proses
pencarian atau penentuan nilai kuantitatif
tersebut. Tes adalah alat penilaian yang
dirancang dan dilaksanakan kepada siswa
finding or determining the quantitative value. pada waktu dan tempat tertentu serta dalam
Tests are assessment tools designed and kondisi yang memenuhi syarat-syarat tertentu
implemented to students at a certain time and yang jelas.
place and under conditions that meet certain
clear requirements.

Bibliography:

file:///C:/Users/User/Downloads/The_Assessment_of_Learning_Outcomes.pdf

https://www.missouristate.edu/assessment/the-assessment-process.htm

https://cft.vanderbilt.edu/student-assessment-in-teaching-and-learning/