Anda di halaman 1dari 12

DAFTAR ISI

Daftar Isi……………………………………………………………………… 1
Emotional, Spiritual, and Adversity Quotient………………………………... 2
a. Definisi Emotional, Spiritual, and Adversity Quotient………………. 2
b. Penerapan Emotional, Spiritual, and Adversity Quotient dalam
Pembelajaran Biologi………………………………………………… 9
Daftar Pustaka………………………………………………………………... 11

1
Emotional, Spiritual, and Adversity Quotient

A. Definisi Emotional, Spiritual, and Adversity Quotient


1. Definisi Emotional
Dalam makna paling harfiah, Oxford English Dictionary
mendefinisikan emosi sebagai “setiap kegiatan atau pergolakan
pikiran, perasaan, nafsu; setiap keadaan mental hebat atau meluap-
luap”. Emosi merujuk ada perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu
keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan
untuk bertindak.
Menurut Goleman (1999:7), asal kata emosi adalah movere,
kata kerja Bahasa Latin yang berarti ”menggerakkan, bergerak”,
ditambah awalan ”e-” untuk memberi arti ”bergerak menjauh”,
menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak
dalam emosi, emosi memancing tindakan dan akar dorongan untuk
bertindak dalam menyelesaikan suatu masalah dengan seketika.
Sejumlah Teoretikus mengelompokkan emosi dalam golongan-
golongan besar, Beberapa anggota golongan tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Amarah: beringas, mengamuk, benci, marah besar, jengkel, kesal
hati, terganggu, rasa pahit, berang, tersinggung, bermusuhan, dan
barang kali yang paling hebat, tindak kekerasan dan kebencian
yang patologis.

2. Kesedihan: pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihani


diri, kesepian, ditolak, putus asa, dan kalau menjadi patologis;
depresi berat.

3. Rasa takut: cemas, takut, gugup, khawatir, waswas, perasaan takut


sekali, waspada, sedih, tidak tenang, ngeri, kecut; sebagai patologi,
fobia dan panik.

4. Kenikmatan: bahagia gembira, riang, puas, ringan, senang,


terhibur, bangga, kenikmatan indrawi, takjub, rasa terpesona, rasa
puas, rasa terpenuhi, kegirangan luar biasa, senang, senang sekali,
dan batas ujungnya; mania.

5. Cinta: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa


dekat, bakti, hormat, kasmaran, kasih.

6. Terkejut: terkejut, terkesiap, takjub, terpana.

2
7. Jengkel: hina, jijik, muak, mual, benci, tidak suka, mau muntah.

8. Malu: rasa salah, malu hati, kesal hati, sesal, hina, aib, dan hati
hancur lebur.

Emosional didasarkan pada perasaan atau sikap seseorang


dalam bereaksi pada suatu kondisi. Emosional adalah suatu perasaan
dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis, psikologis dan
serangkaian kecenderungan untuk bertindak.
Kecerdasan Emosional
Menurut Goleman (2002:45) kecerdasan emosi merujuk pada
kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi
frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih–lebihkan
kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak
melumpuhkan kemampuan berfikir, dan berempati
Faktor-faktor yang mempengaruhi Kecerdasan Emosional
Menurut Agustian (2007) faktor-faktor yang mempengaruhi
kecerdasan emosional, yaitu: faktor psikologis, faktor pelatihan emosi
dan faktor pendidikan.
1)   Faktor psikologis

Faktor psikologis merupakan faktor yang berasal dari


dalam diri individu. Faktor internal ini akan membantu individu
dalam mengelola, mengontrol, mengendalikan dan
mengkoordinasikan keadaan emosi agar termanifestasi dalam
perilaku secara efektif. Menurut Goleman (2007) kecerdasan emosi
erat kaitannya dengan keadaan otak emosional. Bagian otak yang
mengurusi emosi adalah sistem limbik. Sistem limbik terletak jauh
dalam hemisfer otak besar dan terutama bertanggung jawab atas
pengaturan emosi dan impuls.
2) Faktor pelatihan emosi

Kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang akan


menciptakan kebiasaan, dan kebiasaan rutin tersebut akan
menghasilkan pengalaman yang berujung pada pembentukan nilai
(value). Reaksi emosional apabila diulang-ulang pun akan
berkembang menjadi suatu kebiasaan
3) Faktor pendidikan

3
Pendidikan dapat menjadi salah satu sarana belajar individu
untuk mengembangkan kecerdasan emosi. Individu mulai
dikenalkan dengan berbagai bentuk emosi dan bagaimana
mengelolanya melalui pendidikan. Pendidikan tidak hanya
berlangsung di sekolah, tetapi juga di lingkungan keluarga dan
masyarakat.
Menurut Golemen, ada lima macam kecerdasan emosi, yaitu :
1) Kemampuan Mengenali Emosi Diri
Seseorang yang mampu mengenali emosinya akan memiliki
kepekaan yang tajam atas perasaan yang muncul seperti senang,
bahagia, sedih, marah, benci dan sebagainya.
2) Kemampuan Mengelola Emosi
Mampu mengendalikan perasaannya sehingga emosinya
tidak meledak-ledak yang akibatnya memengaruhi perilakunya
secara salah.
3) Kemampuan Memotivasi Diri

Dapat memberikan semangat pada diri sendiri untuk


melakukan sesuatu yang baik dan bermanfaat. Ia punya harapan
dan optimisme yang tinggi sehingga memiliki semangat untuk
melakukan suatu aktivitas.

4) Kemampuan Mengenali Emosi Orang Lain

Balita bisa mengerti perasaan dan kebutuhan orang lain,


sehingga orang lain merasa senang dan dimengerti perasaannya.
Kemampuan ini sering juga disebut sebagai kemampuan
berempati. Orang yang memiliki empati cenderung disukai orang
lain.

5) Kemampuan Membina Hubungan

Anak sanggup mengelola emosi orang lain sehingga


tercipta keterampilan sosial yang tinggi dan membuat pergaulan
seseorang lebih luas. Anak-anak dengan kemampuan ini cenderung
punya banyak teman, pandai bergaul dan  populer.

2. Definisi Spiritual

Spiritualitas adalah hubungannya dengan Yang Maha Kuasa


dan Maha Pencipta, tergantung dengan kepercayaan yang dianut oleh

4
individu. Menurut Burkhardt (1993) spiritualitas meliputi aspek-
aspek :

a. Berhubungan dengan sesuatau yang tidak diketahui atau


ketidakpastian dalam kehidupan,

b. Menemukan arti dan tujuan hidup,

c. Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan


dalam diri sendiri,

d. Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan


yang maha tinggi.

Menurut Oxford English Dictionary, untuk memahami makna


kata spiritual dapat diketahui dari arti kata-kata berikut ini :
persembahan, dimensi supranatural, berbeda dengan dimensi fisik,
perasaan atu pernyataan jiwa, kekudusan, sesuatu yang suci, pemikiran
yang intelektual dan berkualitas, adanya perkembanga pemikiran
danperasaan, adanya perasaan humor, ada perubahan hidup, dan
berhubngan dengan organisasi keagamaan. Sedangkan berdasarkan
etimologinya, spiritual berarti sesuatu yang mendasar, penting, dan
mampu menggerakkan serta memimpin cara berpikir dan bertingkah
laku seseorang.

Kecerdasan Spiritual

Kecerdasan spiritual terdiri dari dua kata yakni : Kecerdasan


dan Spiritual. Kata kecerdasan ini  berasal dari kata cerdas. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia cerdas berarti sempurna perkembangan
akal budi seseorang manusia untuk berfikir, mengerti, tajam pikiran
dan sempurna pertumbuhan tubuhnya. Kecerdasan dapat diartikan pula
sebagai Properti dari pikiran yang mencakup banyak kemampuan
mental yang terkait, seperti kapasitas untuk berpikir, merencanakan,
memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan dan
bahasa, dan belajar.
Pengertian kecerdasan spiritual berdasarkan kamus besar
bahasa Indonesia yaitu : kecerdasan spiritual kecerdasan yg berkenaan
dng hati dan kepedulian antarsesama manusia, makhluk lain, dan alam
sekitar berdasarkan keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa.
Menurut Zohar dan Marshall, penerjemah Helmy Mustofa
(2005:25):

5
1) Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang kita gunakan untuk
membuat kebaikan, kebenaran,keindahan, dan kasih sayang dalam
kehidupan sehari-hari, keluarga, organisasi, dan institusi.
2) Kecerdasan spiritual adalah cara kita menggunakan makna, nilai,
tujuan, dan motivasi itu dalam proses berpikir dan pengambilan
keputusan.

Ciri-Ciri Kecerdasan Spiritual


Ciri-ciri kecerdasan spiritual secara umum menurut Zohar dan
Marshall (2005:137):
a. Kesadaran Diri. Kesadaran bahwa saya, atau organisasi tempat
saya bergabung, pertama-tama mempunyai pusat internal, memberi
makna dan autentisitas pada proyek dan kegiatan saya.
b. Spontanitas. Istilah spontaneity berasal dari akar kata bahasa Latin
yang sama dengan istilah response dan responsibility. Menjadi
sangat spontan berarti sangat responsive terhadap momen, dan
kemudian rela dan sanggup untuk bertanggung jawab terhadapnya.
c. Terbimbing oleh visi dan nilai.Terbimbing oleh visi dan nilai
berarti bersikap idealistis, tidak egoistis, dan berdedikasi.
d. Holistik. Holistik adalah satu kemampuan untuk melihat satu
permasalahan dari setiap sisi dan melihat bahwa setiap persoalan
punya setidaknya dua sisi, dan biasanya lebih.
e. Kepedulian. Kepedulian merupakan sebuah kualitas dari empati
yang mendalam, bukan hanya mengetahui perasaan orang lain,
tetapi juga ikut merasakan apa yang mereka rasakan.

3. Definisi Adversity Quotient

Adversity quotient menurut Paul G. Stoltz dalam bukunya


adalah kecerdasan menghadapi kesulitan atau hambatan dan
kemampuan bertahan dalam berbagai kesulitan hidup dan tantangan
yang dialami.
Menurut Markman (2005) memberikan pengertian tentang
kecerdasan mengatasi kesulitan sebagai berikut:Adversity Intelligence
(AI) adalah pengetahuan tentang ketahanan individu, individu yang
secara maksimal menggunakan kecerdasan ini akan menghasilkan
kesuksesan dalam menghadapi tantangan, baik itu besar ataupun kecil
dalam kehidupan sehari-hari. Kenyataan mereka tidak hanya belajar
dari tantangan, tetapi mereka juga meresponnya secara lebih baik dan
lebih cepat.

6
Menurut Stoltz (1997), definisi Adversity quotient dapat dilihat
dalam tiga bentuk, yaitu :
a. Adversity quotient adalah suatu konsep kerangka kerja guna
memahami dan meningkatkan semua segi dari kesuksesan.
b. Adversity quotient adalah suatu pengukuran tentang bagaimana
seseorang berespon terhadap kesulitan.
c.   Adversity quotient merupakan alat yang didasarkan pada
pengetahuan sains untuk meningkatkan kemampuan seseorang
dalam berespon terhadap kesulitan.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Adversity quotient
adalah kemampuan seseorang dalam menghadapi berbagai kesulitan di
berbagai aspek kehidupannya. Melalui Adversity quotient dapat
diketahui seberapa jauh individu tersebut mampu bertahan dalam
menghadapi kesulitan yang dialami, sekaligus kemampuannya untuk
mengatasi kesulitan tersebut. Adversity quotient juga dapat
,meramalkan siapa yang akan tampil sebagai pemenang dan siapa yang
akan putus asa dalam ketidakberdayaan sebagai pecundang. Selain itu,
Adversity quotient dapat pula meramalkan siapa yang akan menyerah
dan siapa yang aan bertahan saat menghadapi suatu kesulitan.
Adversity quotient tersebut terwujud dalam tiga bentuk, yaitu:
1. Kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan
meningkatkan semua segi kesuksesan.
2. Suatu ukuran untuk mengetahui respon seseorang terhadap
kesulitan.
3. Serangkaian alat untuk memperbaiki respon seseorang terhadap
kesulitan.

Orang yang memiliki AQ tinggi tidak akan pernah takut dalam


menghadapi berbagai tantangan dalam proses pendakiannya. Bahkan
dia akan mampu untuk mengubah tantangan yang dihadapinya dan
menjadikannya sebuah peluang
Untuk  memberikan gambaran, Stoltz meminjam  terminologi  para
pendaki gunung. Dalam hal ini, Stoltz membagi para pendaki gunung
menjadi tiga bagian:

1. Quitter (yang menyerah). Para   quitter   adalah para pekerja yang 


sekadar untuk bertahan hidup. Mereka ini gampang putus asa dan
menyerah di tengah jalan. Quitters. Adalah orang yang langsung
berhenti di awal pendakian. Mereka cenderung untuk selalu
memilih jalan yang lebih datar dan lebih mudah. Mereka umumnya
bekerja sekedar untuk hidup, semangat kerja yang minim, tidak
berani mengambil resiko, dan cenderung tidak kreatif. Umumnya

7
tidak memiliki visi yang jelas serta berkomitmen rendah ketika
menghadapi tantangan dihadapan. Dalam kaitannya dengan dunia
pendidikan dapat kita kategorikan peserta didik yang hanya
menerima pembelajaran ataupun tugas-tugas yang diberikan oleh
guru dan mengerjakannya dengan motivasi yang rendah. Dengan
kata lain tipe peserta didik ini memiliki kemampuan mengahadapi
tekanan terhadap beban belajar yang rendah.
2. Camper  (berkemah di tengah  perjalanan) Para   camper  lebih
baik, karena  biasanya  mereka  berani melakukan pekerjaan yang
berisiko, tetapi tetap mengambil  risiko yang  terukur dan aman.
Orang-orang ini sekurang-kurangnya sudah merasakan tantangan,
dan selangkah lebih maju dari para quitters. Sayangnya banyak
potensi diri yang tidak teraktualisasikan, dan yang jelas pendakian
itu sebenarnya belum selesai. Campers. Adalah orang yang
berhenti dan tinggal di tengah pendakian. Mendaki secukupnya
lalu berhenti kemudian mengakhiri pendakiannya. Umumnya
setelah mencapai tingkat tertentu dari pendakiannya maka
fokusnya berpaling untuk kemudian menikmati kenyamanan dari
hasil pendakiannya. Maka banyak kesempatan untuk maju menjadi
lepas karena fokus sudah tidak lagi pada pendakian. Sifatnya
adalah satisficer, merasa puas diri dengan hasil yang sudah dicapai.
Kaitannya dengan dunia pendidikan peserta didik yang tergolong
di tipe ini biasanya memiliki kemampuan untuk menerima tekanan
dan beban belajar, namun seringkali mereka tidak menyelesaikan
tugas dan beban belajarnya dengan baik.
3. Climber (pendaki yang mencapai  puncak). Para climber, yakni 
mereka,  yang dengan segala keberaniannya menghadapi risiko,
akan  menuntaskan pekerjaannya. Mereka mampu menikmati
proses menuju keberhasilan, walau mereka tahu bahwa akan
banyak rintangan dan kesulitan yang menghadang. Namun, di balik
kesulitan itu ia akan mendapatkan banyak kemudahan.”Karena
sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”. Climbers.
Orang yang berhasil mencapai puncak pendakian. Mereka
senantiasa terfokus pada usaha pendakian tanpa menghiraukan
apapun keadaan yang dialaminya. Selalu memikirkan berbagai
macam kemungkinan dan tidak akan pernah terkendala oleh
hambatan yang dihadapinya. Mundur sejenak adalah proses
alamiah dari pendakian, dan mereka senantiasa mempertimbangkan
dan mengevaluasi hasil pendakiannya untuk kemudian bergerak
lagi maju hingga puncak pendakian tercapai. Dalam dunia
pendidikan peserta didik di level ini (climbers) adalah peserta
didik yang mampu menerima tekanan dan beban belajar, mencari

8
dan mengembangkan, dan menyelesaikan tugas dan beban
belajarnya dengan baik tanpa meninggalkan perasaan tertekan
atau mampu bertahan terhadap tekanan.

Faktor-Faktor Pembentuk Adversity Quotion (AQ)

Faktor-faktor pembentuk adversity quotient menurut Stoltz


(2000) adalah sebagai berikut :

a. Daya saing
Seligman (Stoltz, 2000) berpendapat bahwa adversity
quotient yang rendah dikarenakan tidak adanya daya saing ketika
menghadapi kesulitan, sehingga kehilangan kemampuan untuk
menciptakan peluang dalam kesulitan yang dihadapi.
b. Produktivitas
Penelitian yang dilakukan di sejumlah perusahaan
menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara kinerja
karyawan dengan respon yang diberikan terhadap kesulitan.
Artinya respon konstruktif yang diberikan seseorang terhadap
kesulitan akan membantu meningkatkan kinerja lebih baik, dan
sebaliknya respon yang destruktif mempunyai kinerja yang rendah.
c. Motivasi
Penelitian yang dilakukan oleh Stoltz (2000) menunjukkan
bahwa seseorang yang mempunyai motivasi yang kuat mampu
menciptakan peluang dalam kesulitan, artinya seseorang dengan
motivasi yang kuat akan berupaya menyelesaikan kesulitan dengan
menggunakan segenap kemampuan.
d. Mengambil resiko
Penelitian yang dilakukan oleh Satterfield dan Seligman
(Stoltz, 2000) menunjukkan bahwa seseorang yang mempunyai
adversity quotient tinggi lebih berani mengambil resiko dari
tindakan yang dilakukan. Hal itu dikarenakan seseorang dengan
adversity quotient tinggi merespon kesulitan secara lebih
konstruktif.
e. Perbaikan
Seseorang dengan adversity quotient yang tinggi senantiasa
berupaya mengatasi kesulitan dengan langkah konkrit, yaitu
dengan melakukan perbaikan dalam berbagai aspek agar kesulitan
tersebut tidak menjangkau bidang-bidang yang lain.
f. Ketekunan
Seligman menemukan bahwa seseorang yang merespon
kesulitan dengan baik akan senantiasa bertahan.

9
g. Belajar
Menurut Carol Dweck (Stoltz, 2000: 95) membuktikan
bahwa anakanak yang merespon secara optimis akan banyak
belajar dan lebih berprestasi dibandingkan dengan anak-anak yang
memiliki pola pesimistis.

B. Penerapan Emotional,Spiritual, Adversity Quotient dalam


Pembelajaran Biologi
1. Penerapan Emotional
Dalam penerapan EQ di dunia pendidikan maka seorang
pendidik harus lebih banyak memotivasi, menasehati dan mengajarkan
kepada siswanya agar selalu bersemangat, menahan emosi agar
menjadi seorang yang berjiwa sosial yang baik. Contohnya ketika
berkenalan dengan teman baru di sekolah dan tersenyum kepadanya.
Maka kita harus memperlihatkan senyum yang baik dan ikhlas. Karena
jika tidak, maka akan terkesan dipaksakan dan ini tentu tidak
menyenangkan bagi orang tersebut.
2. Penerapan Spiritual
SQ Adapun contoh penerapannya dalam dunia pendidikan
yaitu dengan lebih banyak melatih siswa untuk berderma, praktek
shalat berjama’ah, berdzikir dan membiasakan membaca do’a bersama
sesuai keyakinan masing-masing sebelum memulai pelajaran.
Seringnya melatih siswa dengan kegiatan keagamaan dan
menambahkan pemahaman keagamaan pada mereka, maka kecerdasan
spiritual mereka akan terbangun dan dengan sendirinya siswa tersebut
memiliki hati yang bersih dan jujur.
3. Penerapan Adversity Quotient
Peranan Adversity Quotient dalam pendidikan adalah
membantu siswa untuk tidak mudah menyerah, lebih tahan
kemalangan, dan tidak mudah putus asa terhadap masalah-masalah
pendidikan yang dihadapinya.

Untuk mengambangkan IQ, EQ dan SQ dalam peserta didik


maka pembelajaran yang diselenggarakan meliputi :

a. Interaksi pendidik dan peserta didik harus terjalin dalam proses


yang komunikatif

10
b. Pemberian materi yang memuat pengetahuan, ketrampilan dan
sikap melalui mata pelajaran ilmu pasti, seni budaya, jasmani dan
agama.
c. Pemberalajaran menerapkan metode dan sumber pembelajaran
yang tepat dan menunjang bagi kebutuhan peserta didik sesuai
dengan lingkungannya.
d. Memberikan ketentuan-ketentuan bagi peserta didik yang berisi
norma-norma yang dikembangkan sebagai bekal kehidupan
bermasyarakat.
e. Menyelenggerakan kegiatan-kegiatan yang mengembangkan
potensi peserta didik di bidang jasmani, estetika dan religi.
f. Mengadakan evaluasi yang menyeluruh terhadap pengetahuan,
sikap dan ketrampilan peserta didik secara periodic dan terukur.

11
DAFTAR PUSTAKA

Depi Rismayanti. 2015. Makalah Kecerdasan Spiritual

http://depirismayanti.blogspot.com/2015/01/makalah-kecerdasan-
spiritual.html (diakses 30 Apr. 20)

Ginanjar, Agustian Ary, Rahasia sukses membangun kecerdasan Emosi dan


Spiritual ESQ. Jakarta: Penerbit Arga, 2011.
Goleman, Daniel. 1999. Kecerdasan Emosional. Jakarta : Gramedia.

12

Anda mungkin juga menyukai