ALIRAN RASIONALISME
Disusun Oleh :
MEDAN
2020
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena dengan limpahan
rahmat, taufik, hidayah, inayah dan karunianya penulis masih dapat membuat dan
menyusun makalah ini dengan judul “Aliran Rasionalisme” sebagai persyaratan untuk
memenuhi salah satu tugas KKNI Metodologi Penelitian.
Dalam penyusunan makalah ini banyak kendala serta hambatan yang dialami
penulis, pada akhirnya dapat dilalui berkat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak baik
secara moral maupun spiritual. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan
ucapan terima kasih kepada bapak Dr. Irsan, M.Si., M.Pd selaku dosen mata kuliah
Metodologi Penelitian, yang telah mengajarkan dan membimbing mahasiswa/i agar dapat
memahami dalam mata kuliah ini.
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
C. Tujuan ................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan ........................................................................................................... 12
B. Saran ..................................................................................................................... 13
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat telah berhasil mengubah pola pikir bangsa Yunani dan umat manusai
dari pandangan mitosentris menjadi logosentris. Awalnya bangsa Yunani dan bangsa
lain di dunia beranggapan bahwa semua kejadian di alam ini dipengaruhi oleh para
dewa. Karena para dewa harus dihormati sekaligus ditauti kemudian disembah.
Dengan adanya filsafat, pola pikir yang selalu bergantung pada dewa telah berubah
karena adanya filsafat. Filsafat adalah induk dari segala ilmu pengetahuan tetap
mejadi actual, karena berbagai persoalan-persoalan dari sejumlah disiplin ilmu zaman
modern ini, arus dasarnya adalah masalah filsafat.
1
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa rasionalisme adalah paham filsafat yang
mengatakan bahwa akal (rasio) adalah alat terpenting untuk memperoleh pengetahuan
yang diperoleh dengan cara berpikir. Selain itu, rasionalisme juga merupakan teori
atau paham yang menganggap bahwa pikiran atau akal merupakan satu-satunya dasar
untuk memecahkan problem (kebenaran) yang lepas dari jangkauan indra, paham
yang lebih mengutamakan (kemampuan) akal dari pada emosi, batin dan sebagainya.
Dalam hal ini, rasionalisme terbagi menjadi dua macam, yaitu :
3
2. Dalam bidang filsafat
Visi Descartes telah menumbuhkan keyakinan yang kuat pada dirinya tentang
kepastian pengetahuan ilmiah, dan tugas dalam kehidupannya adalah membedakan
kebenaran dan kesalahan dalam semua bidang pelajaran. Karena menurutnya “semua
ilmu merupakan pengetahuan yang pasti dan jelas.
Pada dasarnya, visi dan filsafat Descartes banyak dipengaruhi oleh ilmu alam
dan matematika yang berasas pada kepastian dan kejelasan perbedaan antara yang
benar dan salah. Sehingga dia menerima suatu kebenaran sebagai suatu hal yang pasti
dan jelas atau disebut Descartes sebagai kebenaran yang Clear and Distinct.
4
Latar belakang munculnya rasionalisme ini adalah keinginan untuk
membebaskan diri dari segala pemikiran tradisional (skolastik), yang pernah diterima
tetapi ternyata tidak mampu menangani hasil-hasil ilmu pengetahuan yang dihadapi.
Apa yang ditanam Aristoteles dalam pemikiran saat itu juga masih dipengaruhi oleh
khayalan-khayalan.
4. Rasionalisme percaya bahwa akal budi (rasio) adalah sumber utama ilmu
pengetahuan, ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah sistem deduktif yang
dapat dipahami secara rasional yang hanya secara tidak langsung berhubungan
dengan pengalaman indrawi
5
D. Tokoh-tokoh Aliran Rasionalisme
1. Rene Descartes
Pengaruh keimanan yang begitu kuat pada Abad Pertengahan, telah membuat
para pemikir takut mengemukakan pemikiran yang berbeda dengan pendapat
tokoh Gereja. Rene Descartes (1596-1650) adalah filosof yang mampu
menyelamatkan filsafat yang dicengkeram oleh iman Abad Pertengahan itu.
Descrates telah lama merasa tidak puas terhadap perkembangan filsafat yang amat
lamban dan banyak memakan korban. Ia melihat tokoh-tokoh Gereja yang
mengatasnamakan agama menjadi penyebabnya. Ia ingin filsafat dilepaskan dari
dominasi agama Kristen, selanjutnya kembali kepada semangat filsafat Yunani,
yaitu filsafat yang berbasis pada akal.
Rene Descartes adalah filosof Perancis yang dijuluki “bapak filsafat modern”.
Ia ahli dalam ilmu alam, ilmu hukum, dan ilmu kedokteran. Ia menyatakan, bahwa
ilmu pengetahuan harus satu, tanpa bandingannya, harus disusun oleh satu orang,
sebagai bangunan yang berdiri sendiri menurut satu metode yang umum. Yang
harus dipandang sebagai hal yang benar adalah apa yang jelas dan terpilah-pilah
(clear and distinctively). Ilmu pengetahuan harus mengikuti langkah ilmu pasti
karena ilmu pasti dapat dijadikan model cara mengenal secara dinamis.
Dalam karya Descartes, ia menjelaskan pencarian kebenaran melalui metode
keragu-raguan. Karyanya berjudul A Discourse on Methode mengemukakan
perlunya memerhatikan empat hal berikut:
Tidak menerima suatu pun sebagai kebenaran, kecuali bila saya melihat
hal itu sungguh-sungguh jelas dan tegas (clearly and distincly), sehingga
tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
Pecahkan lah setiap kesulitan atau masalah itu sebanyak-banyaknya,
sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
Bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai dari hal yang
sederhana dan mudah di ketahui, kemudian secara bertahap sampai pada
yang paling sulit dan kompleks.
Dalam proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal sulit, selamanya harus di
buat perhitungan-perhitungan sempurna serta pertimbangan-pertimbangan
6
yang menyeluruh, sehingga di peroleh keyakinan banwa tak ada satu pun
yang mengabaikan atau ketinggalan dalam penjelajahah itu.
Descartes menepikan fungsi indera dalam menemukan kebenaran.
Menurutnya indera hanya menipu dan akallah satu-satunya yang harus menjadi
panutan pertama dalam merumuskan kebenaran sesuatu. Descartes menarik
kesimpulan bahwa indera sangatlah menipu dan tidak bisa dijadikan sebagai alat satu-
satunya dalam mencari kebenaran. Tetapi fungsi akallah yang harus diutamakan.
Descartes melahirkan beberapa pemikirannya dengan metode keragu-raguan.
Descartes ingin mencapai kepastian. Jika orang ragu-ragu, tampaklah ia berfikir,
sehingga ia akan tampak sebab dari proses berfikir tersebut. Oleh karena itu, dari
metoda keraguan ini, muncullah kepastian tentang eksistensi dirinya. Itulah yang
kemudian dirumuskan dengan “Cogito Ergo Sum” (karena saya berfikir, maka saya
ada).
Dalam mencari kebenaran, merujuk kepada prinsip Cogito Ergo Sum. Hal
tersebut di sebabkan oleh keyakinan bahwa dalam diri sendiri, kebenaran lebih
terjamin dan terjaga. Dalam diri sendiri terdapat 3 substansi sejak lahir, yaitu:
1. Pemikiran. Sebab saya memahami diri saya sebagai makhluk yang berfikir,
harus diterima juga bahwa pemikiran merupakan hakikat saya.
2. Allah sebagai wujud yang sama sekali sempurna. Karena saya mempunyai ide
sempurna, mesti ada suatu penyebab sempurna untuk ide itu karena akibat tidak
bisa melebihi penyebabnya. Wujud yang sempurna itu tidak lain dari pada
Allah.
Keluasan. Materi sebagai keluasan atau eksestensi sebagaimana hal itu di
lukiskan dan dipelajari aoleh ahli-ahli ilmu ukur.
2. Spinoza
Spinoza dilahirkan pada tahun 1632 dan meninggal dunia pada tahun 1677 M.
nama aslinya Banich Spinoza. Spinoza merupakan keturunan dari agama Yahudi.
Menurutnya, banyak terdapat keraguan dalam agama yang dianutnya, sehingga Ia
ingin melepaskan diri dari agamanya yaitu yahudi dan ia juga mengasingkan diri
dan jauh dari masyarakat. Ia mengubah namanya menjadi Benedictus de Spinoza.
Spinoza adalah pengikut Rasionalisme Descartes. Ia memandang sesuatu itu benar
melalui akal. Seperti halnya Descartes yang menomor satukan akal dan
menepikan indera yang di anggapnya menyesatkan.
7
Spinoza mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan
kebenaran sesuatu, sebagaimana pertanyaan, apa substansi dari sesuatu,
bagaimana kebenaran itu bisa benar-benar yang terbenar. Spinoza menjawabnya
dengan pendekatan yang juga dilakukan sebelumnya oleh Rene Descartes, yakni
dengan pendekatan deduksi matematis, yang dimulai dengan meletakkan definisi,
aksioma, proposisi, kemudian berubah membuat pembuktian (penyimpulan)
berdasarkan definisi, aksioma, atau proposisi itu.
Bagi Spinoza hanya ada satu substansi, yaitu Tuhan. Tuhan dan alam adalah
satu dan sama. Teori ini dikenal dengan nama Panteisme (semua adalah Tuhan).
Dan satu substansi ini meliputi baik dunia maupun manusia. Spinoza juga
beranggapan bahwa satu substansi itu mempunyai ciri-ciri yang tak terhingga
jumlahnya Jadi ia menentang baik Yahudi maupun Kristen. Spinoza percaya
kepada Tuhan, tetapi Tuhan yang dimaksudkannya adalah alam semesta ini.
Tuhan Spinoza itu tidak berkemauan, tidak melakukan sesuatu, tak terbatas
(ultimate) . Tuhan itu tidak memperhatikan sesuatu, juga tidak memperdulikan
manusia.
Berdasarkan keyakinan ini maka segala sesuatu yang tak terbatas, dunia
dengan segala isinya, tidak dapat berdiri sendiri, melainkan tergantung kepada
satu substansi yang satu itu. Substansi yang satu itu berada di dalam segala
sesuatu yang beraneka raga ini. Segala yang beraneka ragam mewujudkan cara
berada substansi yang satu tadi.
3. Leibniz
Gotifried Willheim Von Leibniz (1646-1716) dalam permikirannya,
bermaksud untuk membuktikan eksistensi wujud (Tuhan). Bagaimana keberadaan
Tuhan itu benar-benar ada didalam kehidupan manusia. Ia membuktikan
eksistensi Tuhan dengan konsepnya tentang monade-monade.
Leibniz berusaha membuktikan keberadaan Tuhan dengan empat Argumen.
Pertama, ia mengatakan bahwa manusia memiliki ide kesempurnaan, maka
adanya Tuhan terbukti. Kedua, ia berpendapat adanya alam semesta dan tidak
lengkapnya membuktikan adanya sesuatu yang melebihi alam semesta ini, dan ini
disebut dengan Tuhan. Ketiga, ia berpendapat bahwa kita selalu ingin mencapai
kebenaran abadi, yaitu “Tuhan”. Keempat, Leibniz mengatakan bahwa adanya
8
keselarasan antara monade-monade membuktikan bahwa pada awal mula ada
yang mencocokan mereka satu sama lain, yaitu Tuhan.
Sementara Spinoza berpendapat bahwa hanya ada satu substansi, Leibniz
berpendapat bahwa substansi itu monad, setiap monad berbeda satu dengan yang
lain dan Tuhan (sesuatu yang super monad dan satu-satunya monad yang tidak di
cipta) adalah pencipta monad-monad itu. Maka karya Leibniz tentang ini di beri
judul Monadology (studi tentang monad) yang di tulisnya 1714. Ini adalah
singkatan metafisika Leibniz.
a. Monad yang kita bicarakan di sini , adalah substansi yang sederhana, yang
selanjutnya menyusun substansi yang sederhana,yang selanjutnya
menyusun substansi yang lebih besar.
b. Harus ada substansi yang sederhana karena ada susunan itu, karena
susunan tidak lain dari suatu koleksi substansi sederhana. Satu substansi
sederhana ialah substansi yang kecil yang tidak dapat di bagi. Adapun
substansi yang berupa susunan (Composites) jenis dapat di bagi. Akan
tetapi, ada kesulitan di sini. Bila simple sub stance (monad) itu terletak
dalam ruang, maka akibatnya ia mesti dapat di bagi. Oleh karena
itu,Leibniz menyatakan bahwa semua monad itu haruslah material dan
tidak mempunyai ukuran,tidak dapat di bagi.
c. Sekarang, apa pun yang tidak mempunyai bagian – bagian tentulah tidak
dapat di bagi. Monad itu adalah atom yang sebenarnya pada sifatnya dan
kenyataannya adalah unsur segala sesuatu.
d. Kerusakan, karena itu, tidakkan menjadi pada substansi itu, karena tidak
dapat di bagi karena immaterial itu.
e. Dengan cara yang sama tidak ada jalan untuk memahami simple substance
itu di cipta (come into exintence) karena monad itu tidak dapat di bentuk
dengan menyusun .
f. Kita hanya dapat menyatakan sekarang bahwa monad itu mulai dan
berakhir hanya satu kali. Yang tersusun mempunyai permulaan dan
berakhir secara berangsur.
g. Monad tidak mempunyai kualitas, karenanya mestinya tidak akan pernah
ada.
9
h. Setiap monad harus di bedakan satu dengan lainnya karena tidak pernah
ada isi alam yang sama sekalipun kita tidak dapat mengetahui perbedaan
itu.
i. Tidak ada jalan menjelaskan bagaimana monad-monad itu dapat
perubahan dalam dirinya sendiri oleh sesuatu di luarnya karena tidak ada
kemungkinan sesuatu yang masuk ke dalamnya.
Masalahnya ialah setiap subtansi itu bebas, dan karena itu sesuatu yang lain
tidak dapat melakukan sesuatu kepadanya satu sama lainnya. Descartes menemui
kesulitan dalam menyelesaikan hubungan mind dan body. Spinoza, sebagai monis,
menyelesaikan masalah ini dengan cara yang amat sederhana: karena hanya ada satu
substansi, maka persoalan ini tidak ada padanya. Akan tetapi, Leibniz adalah pluralis;
ada lebih dari satu substansi, yang tidak dapat saling berintraksi.
Monad ini semacam cermin yang membayangkan kesempurnaan yang satu itu
dengan caranya sendiri. Tiap-tiap pencerminan yang terbatas ini mengandung
kemungkinan tidak terbatas karena dalam seluruhnya dapat diperkaya dan
dipergandakan oleh sesuatu dari sesuatu yang mendahuluinya. Dalam rentetan ini ada
tujuan yang terakhir, yaitu menuju yang tak terbatas sesungguhnya. Tuhan itu
transendent, artinya Tuhan di luar makhluk, Tuhan merupakan dasar dari segala
rentetan yang ada.
10
memperoleh pengetahuan. Semakin banyak manusia itu berpikir maka semakin
banyak pula pengetahuan yang didapat. Berdasarkan pengetahuan lah manusia
berbuat dan menentukan tindakannya. Sehingga nantinya ada perbedaan prilaku,
perbuatan, dan tindakan manusia sesuai dengan perbedaan pengetahuan yang didapat
tadi.
Namun demikian, rasio juga tidak bisa berdiri sendiri. Ia juga butuh dunia
nyata. Sehingga proses pemerolehan pengetahuan ini ialah rasio yang bersentuhan
dengan dunia nyata di dalam berbagai pengalaman empirisnya. Maka dengan
demikian, seperti yang telah disinggung sebelumnya kualitas pengetahuan manusia
ditentukan seberapa banyak rasionya bekerja. Semakin sering rasio bekerja dan
bersentuhan dengan realitas sekitar maka semakin dekat pula manusia itu kepada
kesempunaan.
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Rasionalisme adalah faham filsafat yang mengatakan bahwa akal adalah alat
penting dalam memperoleh pengetahuan. Sejarah rasionalisme sudah tua sekali.
Thales telah menerapkan rasionalisme dalam filsafatnya. Pada zaman modern
muncullah tokoh-tokoh filsafat baru yang menganut paham rasionalisme. Adapun
tokoh pertama rasionalisme ialah Descartes, selanjutnya Spinoza dan Liebniz dari
Jerman.
12
B. Saran
Demikianlah makalah yang sangat sederhana ini. Kami sangat yakin bahwa
masih banyak kekurangan yang terdapat di dalam makalah ini. Kami mengharapkan
banyak saran dan kritikan agar kiranya makalah ini bisa menjadi lebih sempurna.
13
DAFTAR PUSTAKA
Akkase Teng, Muhammad Bahar. 2016. Rasionalis Dan Rasionalisme Dalam Perspektif
Sejarah. Jurnal Ilmu Budaya. 4 (2) Hal 14-27. Makassar.
https://journal.unhas.ac.id/index.php/jib
https://melatisyukrina.blogspot.com/2017/01/filsafat-rasionalisme-filsafat-berbasis.html?m=1
14