Makalah CKD Kel 9
Makalah CKD Kel 9
GAGAL GINJAL
Oleh
Kelompok 9
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2020
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...........................................................................................................1
BAB I. PENDAHULUAN......................................................................................2
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................22
1
BAB I. PENDAHULUAN
2
Penyakit Ginjal Diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit Ginjal non Diabetes Penyakit Glomerular
(penyakit autoimun,infeksi ,
sistemik, obat, neoplasia) Penyakit vascular
(penyakit pembuluh darah besar, hipertensi,
mikroangiopati) Penyakit tubulointerstisial
(pielonefritis, kronik, obstruksi, keracunan
obat) Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik Keracunan Obat
3
secara in-situ. Kerusakan glomerulus tidak langsung disebabkan oleh
kompleks imun, berbagai faktor seperti proses inflamasi, sel inflamasi,
mediator inflamasi dan komponen berperan pada kerusakan glomerulus
(Anonim, 2010). Glomerulonefritis ditandai dengan proteinuria, hematuri,
penurunan fungsi ginjal dan perubahan eksresi garam dengan akibat
edema, kongesti aliran darah dan hipertensi. Manifestasi klinik GN
merupakan sindrom klinik yang terdiri dari kelainan urin asimptomatik,
sindrom nefrotik dan GN kronik. Di Indonesia GN masih menjadi
penyebab utama penyakit ginjal kronik dan penyakit ginjal tahap akhir.
b. Diabetes Mellitus : kelompok penyakit metabolik dengan karateristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan
dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa
organ tubuh, terutama mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah.
Perhimpunan Nefrologi Indonesia pada tahun 2000 menyebutkan diabetes
mellitus sebagai penyebab nomor 2 terbanyak penyakit ginjal kronik
dengan insidensi 18,65.
c. Hipertensi : salah satu faktor pemburuk fungsi ginjal disamping faktor lain
seperti proteinuria, jenis penyakit ginjal, hiperglikemi dan faktor lain.
Penyakit ginjal hipertensi menjadi salah satu penyebab penyakit ginjal
kronik. Insideni hipertensi esensial berat yang berakhir dengan gagal ginjal
kronik <10 %. Selain Glomerulonephritis, diabetes mellitus dan hipertensi
terdapat penyebab lain penyakit ginjal kronik seperti kista dan penyakit
bawaan lain, penyakit sistemik (lupus, vaskulitis), neoplasma, serta
berbagai penyakit lainya.
Faktor resiko yang dapat menyebabkan penyakit ginjal kronis ada tiga
(Ariyanto, 2018), yaitu:
a. Susceptibility Factors : merupakan faktor yang dapat meningkatkan resiko
terjadinya penyakit ginjal namun tidak secara langsung menyebabkan
4
kerusakan. Faktor-faktor ini diantaranya lansia, penurunan massa ginjal
dan kelahiran prematur, ras dan etnik, riwayat keluarga, tingkat ekonomi
dan pendidikan yang rendah, inflamasi sistemik, dan dislipidemia.
b. Initiation Factors : merupakan faktor yang dapat secara langsung
menyebabkan kerusakan ginjal dan dapat dimodifikasi dengan terapi obat.
Faktor-faktor ini diantaranya diabetes mellitus, hypertension,
glomerulonefritis, polycystic kidney disease, penyakit autoimun dan akibat
penggunaan obat.
c. Progression Factors : merupakan faktor yang dapat mempercepat
penurunan fungsi ginjal setelah inisiasi terjadinya kerusakan ginjal.
Faktor-faktor ini yaitu glikemia pada penderita diabetes, hipertensi,
proteinuria, hiperlipidemia, obesitas, kebiasaan konsumsi kopi, minuman
bersoda dan merokok.
5
Gambar 1.1 Patofisiologis Gagal Ginjal
6
b. Faktor inisiasi yang secara langsung dapat menyebabkan penyakit ginjal
dan dapat dimodifikasi dengan terapi obat seperti diabetes mellitus,
glomerulonefritis, hipertensi, nefropati HIV, dll.
c. Faktor perkembangan yang mempercepat penurunan fungsi ginjal setelah
inisiasi kerusakan ginjal seperti glikemia pada pasien diabetes,
hipertensi,proteinuria, obesitas, hiperlipidemia, dan merokok
d. Hilangnya massa nefron, hipertensi kapiler glomerulus, dan proteinuria
yang menyebabkan kerusakan parenkim ginjal yang tidak dapat
disembuhkan dan stadium akhir penyakit ginjal.
Dalam kasus diabetes mellitus, kelebihan filtrasi glukosa dan kontak dengan
sel glomerulus dan tubular menyebabkan peningkatan tekanan osmotik seluler dan
penebalan membran basement kapiler. Glomerulopati yang dihasilkan mungkin
atau tidak menghasilkan proteinuria. Hipertensi dapat menjadi penyebab
kerusakan ginjal melalui transmisi tekanan sistemik yang meningkat ke glomeruli.
Hasilnya adalah hiperperfusi kapiler glomerulus dan hipertensi yang
menyebabkan kerusakan ginjal progresif karena kerusakan nefron berlanjut.
Iskemia glomerulus yang disebabkan oleh kerusakan pada arteri preglomerular
dan arteriol juga terjadi. Orang dengan diabetes mellitus dan hipertensi
meningkatkan risiko pengembangan ESRD lima kali lipat hingga enam kali lipat
dibandingkan dengan yang hanya memiliki hipertensi. Kebanyakan penyakit
glomerular dimediasi oleh mekanisme imun. Deposisi dan pembentukan
kompleks imun dalam glomerulus menyebabkan cedera, sehingga meningkatkan
permeabilitas glomerulus terhadap makromolekul (mis., Protein) (Alldredge,
B.K., 2013). Patofisiologi penyakit ginjal kronis lebih detil dapat dilihat pada
Gambar 1.1 di atas.
7
1.6 Terapi Gagal Ginjal Kronik
1.6.1 Terapi non Farmakologi
Tujuan terapi pada CKD yaitu memperlambat progresivitas dari CKD dan
meminimalisir perkembangan penyakit dan terjadinya komplikasi. Terapi
yang dapat dilakukan yaitu memodifikasi faktor penyebab (hipertensi,
diabetes melitus, hiperlipidemia) dan mengatasi kondisi komplikasi pada
CKD (anemia, gangguan keseimbangan elektrolit, gangguan asam basa,
azotemia dan komplikasi GI) (Joseph T; Dipiro dkk., 2017).
a. Hipertensi dengan kondisi CKD
Penurunan tekanan darah pada pasien gagal ginjal akut berhubungan
dengan penurunan proteinuria. Berdasarkan KDOQI merekomendasikan
untuk target penurunan tekanan darah sebesar <140/90 mmHg pada pasien
dengan proteinuria < 30mg/hari atau tekanan darah <130/80 mmHg pada
pasien dengan proteinuria >30 mg/hari. Algoritma terapi pasien hipertensi
dengan CKD dapat dilihat pada Gambar dibawah ini. Agen hipertensi first
line therapy yang dapat digunakan yaitu ACEI, ARB, dan thiazide diuretik
yang dikombinasikan dengan ARB. Nondihydropyridine calcium channel
8
blockers umumnya digunakan sebagai obat antiproteinuria lini kedua
ketika ACEI atau ARB dikontraindikasikan atau tidak ditoleransi (Joseph
T; Dipiro dkk., 2017).
Gambar 1.2 Pengobatan hipertensi pada penderita CKD, CKD nondialisis (ND-CKD) tanpa diabetes mellitus
9
Gambar 1.3 Algoritma Diabetes dengan Penyakit Ginjal Kronis
10
Gambar 1.4 Algoritma untuk manajemen anemia menggunakan terapi zat besi dan
eritropoiesis-stimulating agent (ESA)
11
BAB II. STUDI KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Ny. ATM
Umur : 56 th BB: 67 kg TB: 159
Tanggal MRS :
Tanggal KRS :
Diagnosis : CKD stage V, udema peritoneal, HT stage 2, DM 2
II. SUBYEKTIF
2.1. Keluhan Pasien :
Sesak nafas sejak 2 bulan , mual muntah, lemas, tidak nafsu makan, perut
kembung, BAK keluar sedikit, gatal dan bentol kemerahan diseluruh
tubuh
12
III. OBJEKTIF
A. Tanda- tanda vital
Tanggal
Parameter Nilai Normal
H1 H2 H3
Tekanan 170/80
darah 170/90 160/90
<130/80 mmHg mmHg
(mmHg) mmHg mmHg
Nadi 92 92 92
(x/menit) 60-100 x/min x/min
x/min x/min
27 26 26
RR (x/menit) 12-20 x/min x/min
x/min x/min
H1 H2 H3
GCS 456 456 456
Sesak nafas +++ ++ ++
Muntah ++ +- +-
Gatal +++ ++ +-
Bentol merah +++ ++ ++
Udema
++ ++ ++
peritoneal
Udema kaki ++ ++ +-
13
C. Data laboratorium
Hari
Parameter Nilai Normal
1 2 3
GDA (mg/dL) < 200 262 233 245
GD2JPP (mg/dL) < 200 209 - -
GDP (mg/dL) < 135 190 - -
HbA1C (%) < 7% 8,9 - -
Hb (g/dL) Pria : 13 - 18 8,6 - -
Wanita : 12 - 16
Hct (%) Pria : 40% - 50% 25 - -
Wanita : 35% -40%
BUN (mg/dL) 8 – 20 32 - 30
Scr (mg/dL) 0,6 – 1,2 5,6 - 5,8
Albumin (mg/dL) 3,3 – 4,8 3,1 - -
Proteinuria - 3+ - -
Asam urat (mg/dL) 2–8 - 8,8 -
Na (mg/dL) 135 – 145 - 143 145
K (mg/dL) 3,5 – 5 - 5,7 5,1
Cl (mg/dL) 95 – 105 - 95 98
Ca (mg/dL) 8,8 – 10,8 - 7,9 7,9
Hari
Nama Obat Dosis & rute Hari ke Hari ke Hari ke
1 2 3
NS 500 cc 12 tpm (iv) √ √ √
02 2 L/menit √ √ √
Furosemid 2 x 40 mg (iv) √ √ √
Metoklopramid 3 x 10 mg (iv) √ √ √
Amlodipin 1 x 10 mg (iv) √ √ √
Glibenklamid 1 x 5 mg (po) √ √ √
Metformin 3 x 500 mg (po) √ √ √
Clonidin 2 x 0,15 mg (po) √ √ √
CTM 1 x 2 mg (po) √ √ √
Metilprednisolon 1 x 6,25 mg (iv) - √ √
10 IU + D40%
Novorapid - √ -
50 ml (iv)
Novorapid 3x 8 IU (iv)
- - √
Allupurinol 3x200 mg (po) - √ √
14
V. ANALIASIS SOAP
15
GDP(mg/dL dihindari.
)
H1=190
16
H2 : 160/90. mengalami udema.
H3 : 170/80 Monitoring : TD
pasien
17
sedang (Dipiro
edisi 11).
- Penggunaan
furosemid dapat
menyebabkan
perubahan
signifikan pada
GFR dan
konsentrasi
kalium serum
sehingga perlu
dipantau secara
ketat dan
dimasukkan ke
dalam konteks
risiko dan
manfaat
individu.
Asam Urat Subyektif : Allopurinol Allopurinol Dosis Plan :
-Gatal di 3x200 mg merupakan obat terlalu Terapi dilanjutkan
seluruh (po) golongan tinggi dengan melakukan
tubuh xanthine penurunan dosis
-Muncul oxidase menjadi 1x100
bentol inhibitor yang mg/hari
kemerahan dapat diberikan Monitoring :
pada seluruh pada pasien Kadar asam urat
tubuh dengan indikasi dan tanda klinik
komorbiditas
Obyektif : berisiko tinggi
-Nilai kadar termasuk CKD,
asam urat Hipertensi dan
hari ke-2 kadar serum
yaitu 8,8 asam urat >8
mg/dL mg/dL. Dosis
(hiperurisem awal
ia) Allopurinol
adalah 100
mg/hari (Dipiro,
edisi 11).
Mual & Subjektif : Metoklopra Golongan obat Plan : terapi
muntah Mual mid antagonis dilanjutkan
muntah 3x10mg reseptor
Objektif : (iv) dopamin yang Monitoring :
digunakan untuk keluhan mual
mengatasi mual muntah pasien
dan muntah
18
tahun dan Hipertensi selama 8 tahun. Menurut KDIGO (2017) mengungkapkan
bahwa pasien dengan penyakit gagal ginjal kronis yang memiliki nilai GFR < 15
maka masuk dalam kategori stage 5. Monitoring yang dapat dilakukan kepada
pasien antara lain monitoring volume urine, monitoring kadar gula dalam darah
dan tekanan darah, monitoring kadar kreatinin, BUN, dan albumin.
Pasien juga mengeluhkan gatal dan bentol merah, hal ini dimungkinkan
akibat gagal ginjal yang menyebabkan kadar histamine dalam darah meningkat.
Hingga hari ketiga gatal gatal dan bentol kemerahan masih dirasakan oleh pasien
sehingga terapi menggunakan CTM secara peroral tetap dilanjutkan namun
dilakukan peningkatan dosis menjadi 1x4 mg p.o untuk mengatasi gatal gatal
yang masih dialami pasien. Selain chlorfeniramin maleat pasien diberikan
metilprednisolon yang digunakan sebagai antinflamasi.
Pasien yang memiliki gagal ginjal kronis disertai DM dengan nilai GFR
<30 ml/min yang diterapi menggunakan metformin dan glibenklamid. Menurut
American Diabetes Assosiation (2020) terapi metformin dikontraindikasikan
untuk pasien gagal ginjal dengan nilai eGFR < 45 ml/min (Dipiro edisi 11). Oleh
karena itu penggunaan metformin disarankan untuk dihentikan dan melakukan
monitoring kadar gula darah dalam darah. Penggunaan glibenklamide pada pasien
yang memiliki CKD stage V tidak disarankan menggunakan rute per oral karena
dapat memperparah kondisi pasien (ADA 2020; Dipiro edisi 11). Terapi
pemberian insulin (Novorapid) tetap dilanjutkan dengan digantikan menggunakan
insulin basal dan insulin bolus 1x. Penggunaan kombinasi novorapid dan D40%
digunakan untuk menurunkan kadar kalium dalam darah dan kadar kalium pasien
tidak terlalu tinggi sehingga penggunaan novorapid novorapid dan D40% dapat
dihentikan (ADA 2020, Dipiro edisi 11).
Pada kasus ini pasien juga mengalami hipertensi stage II yang dapat dilihat
dari hasil pemeriksaan tekanan darah pasien. Hipertensi stage II menurut JNC VII
adalah jika pasien memiliki tekanan darah di atas 160mm Hg. Pasien
mendapatkan dua kombinasi terapi obat yaitu Amlodipin 1x10 mg (iv) dan
Clonidin 2x 0,15 mg (po). Penggunaan Amlodipin pada pasien ini kurang tepat
dikarenakan pasien memiliki udema kaki dan udema peritoneal, sedangkan efek
19
samping dari Amlodipin sendiri adalah udema. Menurut (Dipiro dkk., 2020)
selain golongan CCB, pasien hipertensi stage II dengan penyakit gagal ginjal
kronik dapat diterapi menggunakan golongan obat ACEI atau ARB. Pada kasus
ini terapi yang digunakan adalah golongan ARB karena pasien juga mendapatkan
terapi allopurinol dimana penggunaan allopurinol dan ACEI secara bersamaan
menyebabkan terjadinya potensi interaksi obat dengan tingkat keparahan major
yakni dapat meningkatkan resiko alergi, sesak nafas, ruam, nyeri otot,
gatal,demam serta pembengkakan pada wajah,bibir,lidah. Sementara untuk
penggunaan clotidin tetap dilanjutkan karena jika penghentian Clonidin secara
tiba- tiba dapat menyebabkan Rebound hypertension (peningkatan tekanan darah
yang dapat menimbulkan stroke hemoragik) (Dipiro dkk., 2017)
Pada pasien CKD dengan nilai Hb rendah < 12 %, maka perlu terapi
tambahan untuk mengatasi anemia pasien. Menurut KDIGO (2012) pasien CKD
dewasa dengan anemia yang tidak menggunakan terapi pemberian suplemen Fe
atau terapi ESA, disarankan untuk diberikan suplemen Fe iv. Pemberian suplemen
Fe merupakan first line terapi untuk pasien CKD. Sedangkan untuk pasien CKD
stage 5, disarankan untuk menghindari konsentrasi Hb turun dibawah 9.0 g/dL
dengan memulai terapi ESA ketika hemoglobin antara 9.0-10.0 g/dL. Kekurangan
zat besi adalah penyebab utama resistensi terhadap pengobatan anemia dengan
ESA. Suplementasi zat besi dibutuhkan oleh sebagian besar pasien CKD untuk
mengisi simpanan zat besi yang habis karena kehilangan darah yang terus
menerus dan peningkatan kebutuhan zat besi.
Pasien juga mengalami kondisi udema. Selama tiga hari perawatan di
rumah sakit kondisi udema pada pasien belum membaik. Diketahui jika furosemid
menjadi pilihan pengobatan untuk kondisi udema pasien namun, dosis yang
diberikan perlu ditingkatkan lagi agar memapu memberikan efikasi. Menurut
Drug Information Handbook (DIH) penggunaan furosemid dapat ditingkatkan 20
mg/dosis tiap 1-2 jam hingga 1000 mg/hari pada orang dewasa. Menurut DiPiro
penggunaan furosemid dengan dosis 160 mg sampai 480 mg mungkin diperlukan
untuk pasien dengan edema kondisi sedang. Oleh karena itu, perlu meningkatkan
dosis furosemide mulai 160 mg sampai 480 mg per hari. Dipilih dosis tersebut
20
karena penggunaan furosemid sendiri dapat menyebabkan perubahan signifikan
pada GFR dan konsentrasi kalium yang dapat berpengaruh pada kondisi ginjal.
Oleh karenanya perlu pemantauan data laboratorium seperti BUN, ClCr, cairan
elektrolit agar mampu menganalisa konteks risiko serta manfaat penggunaan
furosemid.
Data laboratorium pasien juga menunjukkan adanya kondisi hiperurisemia
dengan nilai asam urat pasien sebesar 8,8 mg/dL yakni lebih dari rentang normal
(wanita : 2,3 6,6 dan laki-laki : 3,6 – 8,5). Pada pasien gagal ginjal terjadi
pengurangan massa ginjal dan penurunan fungsi ginjal, menyebabkan laju filtrasi
<50% dan mulai terjadi peningkatan asam urat. Hiperurisemia akan mencetuskan
garam monosodium urat (MSU) pada jaringan dan sendi, sehinggga mengaktifkan
mediator inflamasi (Tehupelory, 2009). Pasien hiperurisemia pada asam urat
dengan indikasi komorbiditas berisiko tinggi termasuk CKD, Hipertensi dan kadar
serum asam urat >8 mg/dL, dapat di berikan terapi obat Allopurinol. Allopurinol
digunakan sebagai terapi karena dapat menghambat enzim xanthine oxidase yang
berperan dalam sintesis asam urat (Toussaint, 2012). Dosis awal Allopurinol
adalah 100 mg/hari (Dipiro, edisi 11).
DAFTAR PUSTAKA
Alldredge, Brian K., dkk. 2013. Applied Therapeutics The Clinical Use of Drugs.
Philadelphia USA : Lippincott Williams & Wilkins, a Wolters business.
21
Cecily v, D., W. Barbara G., D. Joseph T., dan S. Terry L.
2009.Pharmacotherapy Handbook. Edisi 7 th. South California: McGraw-Hil
medical.
22