Anda di halaman 1dari 23

STUDI KASUS FARMAKOTERAPI TERAPAN

GAGAL GINJAL

Oleh

Kelompok 9

Lelyta Septiandini 202211101055

Mayrani Sholihania 202211101056

Aulia Satria Bimantara 202211101057

Zion Mahardikara 202211101058

Lyta Septi Fauziah 202211101059

M. Azzam Farisi Razak 202211101060

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS JEMBER

2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...........................................................................................................1

BAB I. PENDAHULUAN......................................................................................2

1.1 Definisi Gagal Ginjal Kronik.................................................................2

1.2 Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik...........................................................2

1.3 Etiologi Gagal Ginjal Kronik................................................................3

1.4 Faktor Resiko Penyakit Ginjal Kronis.................................................5

1.5 Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik.........................................................6

1.6 Terapi Gagal Ginjal Kronik..................................................................8

1.6.1 Terapi non Farmakologi.................................................................8

1.6.2 Terapi Farmakologi........................................................................8

BAB II. STUDI KASUS.......................................................................................12

BAB III. PEMBAHASAN...................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................22

1
BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Definisi Gagal Ginjal Kronik

Penyakit ginjal kronis adalah penurunan progresif fungsi ginjal dalam


beberapa bulan atau tahun. penyakit ginjal kronis didefinisikan sebagai kerusakan
ginjal dan/atau penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR) kurang dari 2
60mL/min/1,73 m selama minimal 3 bulan (Kidney Disease Improving Global
Outcomes, 2012). Fungsi ginjal dapat diestimasi dengan menghitung ClCr dan
eGFR pasien. ClCr dapat digunakan untuk optimasi penyesuaian dosis obat dan
eGFR dapat digunakan untuk mengkuantifikasi glomerulus filtration rate (GFR)
dan dapat menunjukkan nilai tingkat kerusakan ginjal. Berikut ini merupakan
rumus yang dapat digunakan untuk menghitung ClCr (rumus Cockroft-Gault) dan
eGFR (rumus MDRD).

1.2 Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik

Penyakit ginjal kronik dapat diklasifikasikan menurut 2 hal yaitu, menurut


diagnosis etiologi dan menurut derajat (stage) penyakit. Menurut diagnosis
etiologi, penyakit ginjal kronik dapat di golongkan menjadi penyakit ginjal
diabetes, penyakit ginjal non diabetes, dan penyakit pada transplantasi sebagai
berikut :

Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Menurut Diagnosis Etiologi


Penyakit Tipe mayor

2
Penyakit Ginjal Diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit Ginjal non Diabetes Penyakit Glomerular
(penyakit autoimun,infeksi ,
sistemik, obat, neoplasia) Penyakit vascular
(penyakit pembuluh darah besar, hipertensi,
mikroangiopati) Penyakit tubulointerstisial
(pielonefritis, kronik, obstruksi, keracunan
obat) Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik Keracunan Obat

Sesuai rekomendasi The National Kidney Foundation Kidney Disease


Improving Global Outcomes (NKF-KDIGO) atau disebut sebagai pementasan
CGA (penyebab, GFR, albuminuria) (Tabel 74-1) (Dipiro Ed.9)., Klasifikasi PGK
menurut derajat penyakit di kelompokan menjadi 5 derajat, dikelompokan atas
penurunan faal ginjal berdasarkan LFG, yaitu :

1.3 Etiologi Gagal Ginjal Kronik

Etiologi yang sering menjadi penyebab penyakit ginjal kronik diantaranya


adalah (Anonim, 2010) :
a. Glomerulonefritis (GN) : penyakit parenkim ginjal progesif dan difus yang
sering berakhir dengan gagal ginjal kronik, disebabkan oleh respon
imunologik dan hanya jenis tertentu saja yang secara pasti telah diketahui
etiologinya. Secara garis besar dua mekanisme terjadinya GN yaitu
circulating immune complex dan terbentuknya deposit kompleks imun

3
secara in-situ. Kerusakan glomerulus tidak langsung disebabkan oleh
kompleks imun, berbagai faktor seperti proses inflamasi, sel inflamasi,
mediator inflamasi dan komponen berperan pada kerusakan glomerulus
(Anonim, 2010). Glomerulonefritis ditandai dengan proteinuria, hematuri,
penurunan fungsi ginjal dan perubahan eksresi garam dengan akibat
edema, kongesti aliran darah dan hipertensi. Manifestasi klinik GN
merupakan sindrom klinik yang terdiri dari kelainan urin asimptomatik,
sindrom nefrotik dan GN kronik. Di Indonesia GN masih menjadi
penyebab utama penyakit ginjal kronik dan penyakit ginjal tahap akhir.
b. Diabetes Mellitus : kelompok penyakit metabolik dengan karateristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan
dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa
organ tubuh, terutama mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah.
Perhimpunan Nefrologi Indonesia pada tahun 2000 menyebutkan diabetes
mellitus sebagai penyebab nomor 2 terbanyak penyakit ginjal kronik
dengan insidensi 18,65.
c. Hipertensi : salah satu faktor pemburuk fungsi ginjal disamping faktor lain
seperti proteinuria, jenis penyakit ginjal, hiperglikemi dan faktor lain.
Penyakit ginjal hipertensi menjadi salah satu penyebab penyakit ginjal
kronik. Insideni hipertensi esensial berat yang berakhir dengan gagal ginjal
kronik <10 %. Selain Glomerulonephritis, diabetes mellitus dan hipertensi
terdapat penyebab lain penyakit ginjal kronik seperti kista dan penyakit
bawaan lain, penyakit sistemik (lupus, vaskulitis), neoplasma, serta
berbagai penyakit lainya.

1.4 Faktor Resiko Penyakit Ginjal Kronis

Faktor resiko yang dapat menyebabkan penyakit ginjal kronis ada tiga
(Ariyanto, 2018), yaitu:
a. Susceptibility Factors : merupakan faktor yang dapat meningkatkan resiko
terjadinya penyakit ginjal namun tidak secara langsung menyebabkan

4
kerusakan. Faktor-faktor ini diantaranya lansia, penurunan massa ginjal
dan kelahiran prematur, ras dan etnik, riwayat keluarga, tingkat ekonomi
dan pendidikan yang rendah, inflamasi sistemik, dan dislipidemia.
b. Initiation Factors : merupakan faktor yang dapat secara langsung
menyebabkan kerusakan ginjal dan dapat dimodifikasi dengan terapi obat.
Faktor-faktor ini diantaranya diabetes mellitus, hypertension,
glomerulonefritis, polycystic kidney disease, penyakit autoimun dan akibat
penggunaan obat.
c. Progression Factors : merupakan faktor yang dapat mempercepat
penurunan fungsi ginjal setelah inisiasi terjadinya kerusakan ginjal.
Faktor-faktor ini yaitu glikemia pada penderita diabetes, hipertensi,
proteinuria, hiperlipidemia, obesitas, kebiasaan konsumsi kopi, minuman
bersoda dan merokok.

1.5 Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik

5
Gambar 1.1 Patofisiologis Gagal Ginjal

Patofisiologi gagal ginjal kronis melibatkan penurunan dan kerusakan nefron


yang diikuti kehilangan fungsi ginjal yang progresif. Total laju filtrasi glomerulus
(GFR) menurun dan klirens menurun, BUN dan kreatinin meningkat. Nefron yang
masih tersisa mengalami hipertrofi akibat usaha menyaring jumlah cairan yang
lebih banyak. Akibatnya, ginjal kehilangan kemampuan memekatkan urin.
Tahapan untuk melanjutkan ekskresi, sejumlah besar urine dikeluarkan, yang
menyebabkan klien mengalami kekurangan cairan. Tubulus secara bertahap
kehilangan kemampuan menyerap elektrolit. Biasanya, urine yang dibuang
mengandung banyak sodium sehingga terjadi poliuri. Menurut (DiPiro, 2015)
patofisiologi penyakit gagal ginjal kronis meliputi:
a. Faktor rentan yang dapat meningkatkan resiko penyakit ginjal namun tidak
langsung menyebabkan penyakit ginjal seperti berat badan lahir, lanjut
usia, massa ginjal berkurang, riwayat keluarga, ras/etnis tertentu,
dislipidemia, dll.

6
b. Faktor inisiasi yang secara langsung dapat menyebabkan penyakit ginjal
dan dapat dimodifikasi dengan terapi obat seperti diabetes mellitus,
glomerulonefritis, hipertensi, nefropati HIV, dll.
c. Faktor perkembangan yang mempercepat penurunan fungsi ginjal setelah
inisiasi kerusakan ginjal seperti glikemia pada pasien diabetes,
hipertensi,proteinuria, obesitas, hiperlipidemia, dan merokok
d. Hilangnya massa nefron, hipertensi kapiler glomerulus, dan proteinuria
yang menyebabkan kerusakan parenkim ginjal yang tidak dapat
disembuhkan dan stadium akhir penyakit ginjal.
Dalam kasus diabetes mellitus, kelebihan filtrasi glukosa dan kontak dengan
sel glomerulus dan tubular menyebabkan peningkatan tekanan osmotik seluler dan
penebalan membran basement kapiler. Glomerulopati yang dihasilkan mungkin
atau tidak menghasilkan proteinuria. Hipertensi dapat menjadi penyebab
kerusakan ginjal melalui transmisi tekanan sistemik yang meningkat ke glomeruli.
Hasilnya adalah hiperperfusi kapiler glomerulus dan hipertensi yang
menyebabkan kerusakan ginjal progresif karena kerusakan nefron berlanjut.
Iskemia glomerulus yang disebabkan oleh kerusakan pada arteri preglomerular
dan arteriol juga terjadi. Orang dengan diabetes mellitus dan hipertensi
meningkatkan risiko pengembangan ESRD lima kali lipat hingga enam kali lipat
dibandingkan dengan yang hanya memiliki hipertensi. Kebanyakan penyakit
glomerular dimediasi oleh mekanisme imun. Deposisi dan pembentukan
kompleks imun dalam glomerulus menyebabkan cedera, sehingga meningkatkan
permeabilitas glomerulus terhadap makromolekul (mis., Protein) (Alldredge,
B.K., 2013). Patofisiologi penyakit ginjal kronis lebih detil dapat dilihat pada
Gambar 1.1 di atas.

7
1.6 Terapi Gagal Ginjal Kronik
1.6.1 Terapi non Farmakologi

a. Pada terapi non-farmakologi meliputi pengelolaan nutrisi tubuh yang


baik dengan mengurangi asupan protein, yaitu dengan dilakukannya
diet rendah protein berikisar 0,6 hingga 0,75 g / kg / hari. sehingga
dapat menunda perkembangan penyakit gagal ginjal pada pasien dengan
atau tanpa diabetes, walaupun manfaatnya relatif kecil. Sedangkan
untuk pasien yang menerima dialisis menjaga asupan protein dari 1,2
g/kg/hari sampai 1,3g/kg/hari (Cecily v dkk., 2009).
b. Menghentikan merokok untuk memperlambat perkembangan CKD dan
mengurangi risiko CVD.
c. Melakukan olahraga minimal 30 menit lima kali seminggu dan
pencapaian tubuh indeks massa (BMI) 20 hingga 25 kg / m2

1.6.2 Terapi Farmakologi

Tujuan terapi pada CKD yaitu memperlambat progresivitas dari CKD dan
meminimalisir perkembangan penyakit dan terjadinya komplikasi. Terapi
yang dapat dilakukan yaitu memodifikasi faktor penyebab (hipertensi,
diabetes melitus, hiperlipidemia) dan mengatasi kondisi komplikasi pada
CKD (anemia, gangguan keseimbangan elektrolit, gangguan asam basa,
azotemia dan komplikasi GI) (Joseph T; Dipiro dkk., 2017).
a. Hipertensi dengan kondisi CKD
Penurunan tekanan darah pada pasien gagal ginjal akut berhubungan
dengan penurunan proteinuria. Berdasarkan KDOQI merekomendasikan
untuk target penurunan tekanan darah sebesar <140/90 mmHg pada pasien
dengan proteinuria < 30mg/hari atau tekanan darah <130/80 mmHg pada
pasien dengan proteinuria >30 mg/hari. Algoritma terapi pasien hipertensi
dengan CKD dapat dilihat pada Gambar dibawah ini. Agen hipertensi first
line therapy yang dapat digunakan yaitu ACEI, ARB, dan thiazide diuretik
yang dikombinasikan dengan ARB. Nondihydropyridine calcium channel

8
blockers umumnya digunakan sebagai obat antiproteinuria lini kedua
ketika ACEI atau ARB dikontraindikasikan atau tidak ditoleransi (Joseph
T; Dipiro dkk., 2017).

Gambar 1.2 Pengobatan hipertensi pada penderita CKD, CKD nondialisis (ND-CKD) tanpa diabetes mellitus

b. Diabetes melitus dengan kondisi CKD


Pada pasien gagal ginjal kronik dengan diabetes diberikan obat anti dibates
yang bertujuan untuk mengontrol kadar gula darah pada pasien sehingga dapat
menurunkan kadar microalbuminuria dalam tubuh. Tujuan akhir pengelolaan
adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM. Untuk mencapai tujuan tersebut
perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan
profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara komprehensif. Target penurunan
gula darah pada pasien yaitu 90-130 mg/dL (gula darah preprandial) dan gula
darah postprandial <180 mg/dL, dan nilai HbA1C < 1% (KDOQI, 2012). Agen
antidiabetes yang dapat digunakan yaitu antidiabetes oral dengan dilakukan
penyesuaian dosis dan insulin. Alogaritma terapi pasien DM dengan CKD dapat
dilihat pada Gambar dibawah.

9
Gambar 1.3 Algoritma Diabetes dengan Penyakit Ginjal Kronis

c. Terapi Kondisi Komplikasi


Anemia di didefinisikan sebagai Hemoglobin (Hb) kurang dari 13 g / dL
(130 g / L; 8,07 mmol / L) untuk pria dewasa dan kurang dari 12 g / dL (120 g /
L; 7,45 mmol / L) untuk wanita dewasa (Joseph T; Dipiro dkk., 2017). Terapi
lini pertama yang digunakan adalah suplemen Fe, namun jika tidak adekuat
meningkatkan Hb, maka terapi lini kedua adalah dengan memberikan ESA
(EPO stimulating agent). Monitoring tekanan darah perlu dilakukan saat
penggunaan ESA. Transfusi RBC (red blood cell) merupakan pilihan akhir
pada anemia berat atau pasien dengan kontraindikasi terhadap ESA (KDIGO,
2012).

10
Gambar 1.4 Algoritma untuk manajemen anemia menggunakan terapi zat besi dan
eritropoiesis-stimulating agent (ESA)

11
BAB II. STUDI KASUS

Pharmaceutical Care Plan

I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Ny. ATM
Umur : 56 th BB: 67 kg TB: 159
Tanggal MRS :
Tanggal KRS :
Diagnosis : CKD stage V, udema peritoneal, HT stage 2, DM 2

II. SUBYEKTIF
2.1. Keluhan Pasien :
Sesak nafas sejak 2 bulan , mual muntah, lemas, tidak nafsu makan, perut
kembung, BAK keluar sedikit, gatal dan bentol kemerahan diseluruh
tubuh

2.2. Riwayat Penyakit :


DM (14 tahun), Hipertensi (28tahun)

2.3. Riwayat Pengobatan :


Glibenklamid dan HCT.

2.4. Riwayat Keluarga/Sosial :

2.5. Alergi Obat : -

12
III. OBJEKTIF
A. Tanda- tanda vital

Tanggal
Parameter Nilai Normal
H1 H2 H3

Suhu (C) 36,5-37,2 oC 36 oC 36,5 oC 36,5 oC

Tekanan 170/80
darah 170/90 160/90
<130/80 mmHg mmHg
(mmHg) mmHg mmHg

Nadi 92 92 92
(x/menit) 60-100 x/min x/min
x/min x/min

27 26 26
RR (x/menit) 12-20 x/min x/min
x/min x/min

B. Tanda- tanda klinik

Gejala fisik Tanggal

H1 H2 H3
GCS 456 456 456
Sesak nafas +++ ++ ++
Muntah ++ +- +-
Gatal +++ ++ +-
Bentol merah +++ ++ ++
Udema
++ ++ ++
peritoneal
Udema kaki ++ ++ +-

13
C. Data laboratorium
Hari
Parameter Nilai Normal
1 2 3
GDA (mg/dL) < 200 262 233 245
GD2JPP (mg/dL) < 200 209 - -
GDP (mg/dL) < 135 190 - -
HbA1C (%) < 7% 8,9 - -
Hb (g/dL) Pria : 13 - 18 8,6 - -
Wanita : 12 - 16
Hct (%) Pria : 40% - 50% 25 - -
Wanita : 35% -40%
BUN (mg/dL) 8 – 20 32 - 30
Scr (mg/dL) 0,6 – 1,2 5,6 - 5,8
Albumin (mg/dL) 3,3 – 4,8 3,1 - -
Proteinuria - 3+ - -
Asam urat (mg/dL) 2–8 - 8,8 -
Na (mg/dL) 135 – 145 - 143 145
K (mg/dL) 3,5 – 5 - 5,7 5,1
Cl (mg/dL) 95 – 105 - 95 98
Ca (mg/dL) 8,8 – 10,8 - 7,9 7,9

IV. TERAPI PASIEN

Hari
Nama Obat Dosis & rute Hari ke Hari ke Hari ke
1 2 3
NS 500 cc 12 tpm (iv) √ √ √
02 2 L/menit √ √ √
Furosemid 2 x 40 mg (iv) √ √ √
Metoklopramid 3 x 10 mg (iv) √ √ √
Amlodipin 1 x 10 mg (iv) √ √ √
Glibenklamid 1 x 5 mg (po) √ √ √
Metformin 3 x 500 mg (po) √ √ √
Clonidin 2 x 0,15 mg (po) √ √ √
CTM 1 x 2 mg (po) √ √ √
Metilprednisolon 1 x 6,25 mg (iv) - √ √
10 IU + D40%
Novorapid - √ -
50 ml (iv)
Novorapid 3x 8 IU (iv)
- - √
Allupurinol 3x200 mg (po) - √ √

14
V. ANALIASIS SOAP

Problem Subjektif/ Terapi Analisis obat DRP Plan &


Medis Objektif Monitoring
CKD Subyektif CTM -Merupakan Dosis to Plan:
Stage 5 Subyektif : 1x2 mg antihistamin Low Terapi dilanjutkan
- BAK (p.o) -Dapat dengan
sedikit mengurangi penambahan dosis
meski efek senyawa CTM menjadi 1 x
minum histamin alami 4 mg secara
banyak dalam tubuh. peroral
- Gatal gatal Histamin dapat Monitor:
diseluruh memberikan Monitor bentol
tubuh efek bersin, merah dan gatal-
- Muncul gatal-gatal, mata gatal
bentol berair, dan
kemerahan hidung berair
di seluruh (Drugs.com).
tubuh
Obyektif :
- Kreatin Metil Metil Terapi
tinggi: 6,6 prednisolon prednisolon tidak Plan : terapi
mg/dL 1x 6,25mg yang digunakan dibutuhka dihentikan
- BUN sebagai n
tinggi :23 antinflamasi.
mg/dL
- Albumin
rendah: 2,6
mg/dL
- Asam urat
tinggi: 9,8
mg/dL
- Volume
urin
500ml

DM II Subjektif: Glibenklam -Obat yang Adverse Plan:


Riwayat id digunakan untuk drug Penggunaan
penyakit 1x5 mg mengontrol reaction glibenklamid
(p.o) kadar gula darah (reaksi dihentikan.
Obyektif: yang digunakan obat yang
-Kadar gula secara per oral. merugika Monitor:
Darah -Menurut n) Kadar glukosa
1.GDA(mg/ ADA(American darah dan SCr
dL) Diabetes
-H1=262 Association)
-H2=233 2014
-H3=245 penggunaan
glibenklamid
2.GD2JPP( pada pasien
mg/dL) diabetes dengan
H1=209 gagal ginjal
- sebaiknya

15
GDP(mg/dL dihindari.
)
H1=190

Metformin -Metformin Adverse Plan:


3x500 mg dikontraindikasi drug Terapi obat
(po) kan pada pasien reaction dihentikan
dengan eGFR sementara hingga
<30ml/min eGFR pasien ≥ 45
(ADA, 2018). ml/min.
-Metformin
dapat digunakan Monitoring:
jika eGFR Kadar glukosa
>45ml/min darah dan SCr.
(pharmacothera
py prinsiple)

Novorapid -Merupakan Incorrect Plan :


3x8 iu (sc) injeksi insulin drug Terapi
aspart yang choice menggunakan
digunakan untuk novorapid
meningkatkan dihentikan dan
kontrol kadar digantikan dengan
gula darah pada insulin basal dan
pasien diabetes insulin bolus
meletus
(Pharmacothera Monitor :
py Handbook Kadar glukosa
ed. 11) darah

Novorapid -Kombinasi Plan :


10 iu + yang dapat Incorrect terapi dihentikan
D40% 50 digunakan untuk drug
ml (iv) menurunkan choice Monitoring :
kadar Kalium Kadar glukosa
darah

Hipertensi Subjektif : Amlodipin Merupakan Terapi Plan: mengganti


stage II Riwayat 1x10 mg golongan tidak tepat amlodipine dengan
penyakit (Iv) Calcium obat golongan
pasien channel blocker ARB karena
(CCB) ampodipin
Objektif : dihydropyridine. memiliki efek
TD tinggi samping udema
H1 : 170/90. sedangkan pasien

16
H2 : 160/90. mengalami udema.
H3 : 170/80 Monitoring : TD
pasien

Clonidin Merupakan Terapi dilanjutkan


2x 0,15mg alternative
(po) terapi
antihipertensi
golongan α2
agonis
Anemia Subyektif : Belum Pada penderita Butuh Plan :
Lemas diterapi CKD terapi -Ditambahkan
mengalami tambahan suplemen Fe
Obyektif : penurunan Hb
Hb dibawah dengan nilai Monitoring :
normal <12%, sehingga -Kadar Hb Pasien
Hct dibawah perlu terapi -Tanda klinik
normal tambahan untuk pasien
mengatasi
anemia pada
pasien. Semakin
parah kerusakan
nefron ginjal,
maka produksi
eritropoetin
menurun.
Udema Subyektif: Furosemide Furosemid -Dosis Plan:
peritoneal -Perut 2x40 mg adalah obat telalu -Meningkatkan
kembung (iv) antihipertensi rendah dosis 160 mg
terasa penuh golongan loop karena sampai 480 mg per
seperti terisi diuretik yang pemberian hari.
cairan bekerja dengan furosemid Monitoring:
Obyektif: mengeluarkan / 2x40 mg -Cairan elektrolit
-H1 udema meringankan (iv) tidak dalam darah
peritoneal (+ udema memberik seperti Na, air, Cl,
+), udema (Medscape) an efek Ca, dan K.
kaki (++) - Menurut DIH yang baik Data klinis pasien
-H2 udema edisi 17, pada seperti tekanan
peritoneal (+ penggunaan udema darah, Scr, BUN,
+), udema furosemid iv peritoneal ClCr, dll.
kaki (++) untuk dewasa .
-H3 udema dapat
peritoneal (+ ditingkatkan 20
+), udema mg/dosis tiap 1-
kaki (+-) 2 jam hingga
1000 mg/hari.
- Loop diuretik
dosis besar,
seperti 160
sampai 480 mg
furosemid,
mungkin
diperlukan
untuk pasien
dengan edema

17
sedang (Dipiro
edisi 11).
- Penggunaan
furosemid dapat
menyebabkan
perubahan
signifikan pada
GFR dan
konsentrasi
kalium serum
sehingga perlu
dipantau secara
ketat dan
dimasukkan ke
dalam konteks
risiko dan
manfaat
individu.
Asam Urat Subyektif : Allopurinol Allopurinol Dosis Plan :
-Gatal di 3x200 mg merupakan obat terlalu Terapi dilanjutkan
seluruh (po) golongan tinggi dengan melakukan
tubuh xanthine penurunan dosis
-Muncul oxidase menjadi 1x100
bentol inhibitor yang mg/hari
kemerahan dapat diberikan Monitoring :
pada seluruh pada pasien Kadar asam urat
tubuh dengan indikasi dan tanda klinik
komorbiditas
Obyektif : berisiko tinggi
-Nilai kadar termasuk CKD,
asam urat Hipertensi dan
hari ke-2 kadar serum
yaitu 8,8 asam urat >8
mg/dL mg/dL. Dosis
(hiperurisem awal
ia) Allopurinol
adalah 100
mg/hari (Dipiro,
edisi 11).
Mual & Subjektif : Metoklopra Golongan obat Plan : terapi
muntah Mual mid antagonis dilanjutkan
muntah 3x10mg reseptor
Objektif : (iv) dopamin yang Monitoring :
digunakan untuk keluhan mual
mengatasi mual muntah pasien
dan muntah

BAB III. PEMBAHASAN

Nyonya ASM usia 56 tahun, masuk rumah sakit tanggal 13 Agustus.


Diagnosa pasien yaitu Chronic Kidney Disease (CKD) stage V, udema peritoneal,
Hipertensi Stage 2 serta mempunyai riwayat Penyakit Diabetes Melitus selama 14

18
tahun dan Hipertensi selama 8 tahun. Menurut KDIGO (2017) mengungkapkan
bahwa pasien dengan penyakit gagal ginjal kronis yang memiliki nilai GFR < 15
maka masuk dalam kategori stage 5. Monitoring yang dapat dilakukan kepada
pasien antara lain monitoring volume urine, monitoring kadar gula dalam darah
dan tekanan darah, monitoring kadar kreatinin, BUN, dan albumin.
Pasien juga mengeluhkan gatal dan bentol merah, hal ini dimungkinkan
akibat gagal ginjal yang menyebabkan kadar histamine dalam darah meningkat.
Hingga hari ketiga gatal gatal dan bentol kemerahan masih dirasakan oleh pasien
sehingga terapi menggunakan CTM secara peroral tetap dilanjutkan namun
dilakukan peningkatan dosis menjadi 1x4 mg p.o untuk mengatasi gatal gatal
yang masih dialami pasien. Selain chlorfeniramin maleat pasien diberikan
metilprednisolon yang digunakan sebagai antinflamasi.
Pasien yang memiliki gagal ginjal kronis disertai DM dengan nilai GFR
<30 ml/min yang diterapi menggunakan metformin dan glibenklamid. Menurut
American Diabetes Assosiation (2020) terapi metformin dikontraindikasikan
untuk pasien gagal ginjal dengan nilai eGFR < 45 ml/min (Dipiro edisi 11). Oleh
karena itu penggunaan metformin disarankan untuk dihentikan dan melakukan
monitoring kadar gula darah dalam darah. Penggunaan glibenklamide pada pasien
yang memiliki CKD stage V tidak disarankan menggunakan rute per oral karena
dapat memperparah kondisi pasien (ADA 2020; Dipiro edisi 11). Terapi
pemberian insulin (Novorapid) tetap dilanjutkan dengan digantikan menggunakan
insulin basal dan insulin bolus 1x. Penggunaan kombinasi novorapid dan D40%
digunakan untuk menurunkan kadar kalium dalam darah dan kadar kalium pasien
tidak terlalu tinggi sehingga penggunaan novorapid novorapid dan D40% dapat
dihentikan (ADA 2020, Dipiro edisi 11).

Pada kasus ini pasien juga mengalami hipertensi stage II yang dapat dilihat
dari hasil pemeriksaan tekanan darah pasien. Hipertensi stage II menurut JNC VII
adalah jika pasien memiliki tekanan darah di atas 160mm Hg. Pasien
mendapatkan dua kombinasi terapi obat yaitu Amlodipin 1x10 mg (iv) dan
Clonidin 2x 0,15 mg (po). Penggunaan Amlodipin pada pasien ini kurang tepat
dikarenakan pasien memiliki udema kaki dan udema peritoneal, sedangkan efek

19
samping dari Amlodipin sendiri adalah udema. Menurut (Dipiro dkk., 2020)
selain golongan CCB, pasien hipertensi stage II dengan penyakit gagal ginjal
kronik dapat diterapi menggunakan golongan obat ACEI atau ARB. Pada kasus
ini terapi yang digunakan adalah golongan ARB karena pasien juga mendapatkan
terapi allopurinol dimana penggunaan allopurinol dan ACEI secara bersamaan
menyebabkan terjadinya potensi interaksi obat dengan tingkat keparahan major
yakni dapat meningkatkan resiko alergi, sesak nafas, ruam, nyeri otot,
gatal,demam serta pembengkakan pada wajah,bibir,lidah. Sementara untuk
penggunaan clotidin tetap dilanjutkan karena jika penghentian Clonidin secara
tiba- tiba dapat menyebabkan Rebound hypertension (peningkatan tekanan darah
yang dapat menimbulkan stroke hemoragik) (Dipiro dkk., 2017)
Pada pasien CKD dengan nilai Hb rendah < 12 %, maka perlu terapi
tambahan untuk mengatasi anemia pasien. Menurut KDIGO (2012) pasien CKD
dewasa dengan anemia yang tidak menggunakan terapi pemberian suplemen Fe
atau terapi ESA, disarankan untuk diberikan suplemen Fe iv. Pemberian suplemen
Fe merupakan first line terapi untuk pasien CKD. Sedangkan untuk pasien CKD
stage 5, disarankan untuk menghindari konsentrasi Hb turun dibawah 9.0 g/dL
dengan memulai terapi ESA ketika hemoglobin antara 9.0-10.0 g/dL. Kekurangan
zat besi adalah penyebab utama resistensi terhadap pengobatan anemia dengan
ESA. Suplementasi zat besi dibutuhkan oleh sebagian besar pasien CKD untuk
mengisi simpanan zat besi yang habis karena kehilangan darah yang terus
menerus dan peningkatan kebutuhan zat besi.
Pasien juga mengalami kondisi udema. Selama tiga hari perawatan di
rumah sakit kondisi udema pada pasien belum membaik. Diketahui jika furosemid
menjadi pilihan pengobatan untuk kondisi udema pasien namun, dosis yang
diberikan perlu ditingkatkan lagi agar memapu memberikan efikasi. Menurut
Drug Information Handbook (DIH) penggunaan furosemid dapat ditingkatkan 20
mg/dosis tiap 1-2 jam hingga 1000 mg/hari pada orang dewasa. Menurut DiPiro
penggunaan furosemid dengan dosis 160 mg sampai 480 mg mungkin diperlukan
untuk pasien dengan edema kondisi sedang. Oleh karena itu, perlu meningkatkan
dosis furosemide mulai 160 mg sampai 480 mg per hari. Dipilih dosis tersebut

20
karena penggunaan furosemid sendiri dapat menyebabkan perubahan signifikan
pada GFR dan konsentrasi kalium yang dapat berpengaruh pada kondisi ginjal.
Oleh karenanya perlu pemantauan data laboratorium seperti BUN, ClCr, cairan
elektrolit agar mampu menganalisa konteks risiko serta manfaat penggunaan
furosemid.
Data laboratorium pasien juga menunjukkan adanya kondisi hiperurisemia
dengan nilai asam urat pasien sebesar 8,8 mg/dL yakni lebih dari rentang normal
(wanita : 2,3 6,6 dan laki-laki : 3,6 – 8,5). Pada pasien gagal ginjal terjadi
pengurangan massa ginjal dan penurunan fungsi ginjal, menyebabkan laju filtrasi
<50% dan mulai terjadi peningkatan asam urat. Hiperurisemia akan mencetuskan
garam monosodium urat (MSU) pada jaringan dan sendi, sehinggga mengaktifkan
mediator inflamasi (Tehupelory, 2009). Pasien hiperurisemia pada asam urat
dengan indikasi komorbiditas berisiko tinggi termasuk CKD, Hipertensi dan kadar
serum asam urat >8 mg/dL, dapat di berikan terapi obat Allopurinol. Allopurinol
digunakan sebagai terapi karena dapat menghambat enzim xanthine oxidase yang
berperan dalam sintesis asam urat (Toussaint, 2012). Dosis awal Allopurinol
adalah 100 mg/hari (Dipiro, edisi 11).

DAFTAR PUSTAKA

Alldredge, Brian K., dkk. 2013. Applied Therapeutics The Clinical Use of Drugs.
Philadelphia USA : Lippincott Williams & Wilkins, a Wolters business.

21
Cecily v, D., W. Barbara G., D. Joseph T., dan S. Terry L.
2009.Pharmacotherapy Handbook. Edisi 7 th. South California: McGraw-Hil
medical.

DiPiro, J. T., R. L. Talbert, G. C. Yee, G. R. Matzke, B. G. Wells, dan L. M.


Posey. 2008. Pharmacotherapy A PathophysiologicApproac. Edisi Seventh
Ed. McGraw-Hill Companies, Inc.
DiPiro, J.T Barbara G. Wells, T. L. S. 2015. Pharmacoterapy Handbook. 8. Laser
Focus World.
Dipiro, Joseph T;, G. C. . Talbert, G. R. . Yee, B. G. . Matzke, dan L. M. P. Wells.
2017. Pharmacotherapy: a pathophysiology approach, 10th edition. Mc-
Graw Hill Medical. 6007–6048.
Dipiro, J. T., G. C. Yee, L. M. Posey, S. T. Haines, T. D. Nolin, dan V.Ellinggrod.
2020. Pharmacotherapy Elevent Edition. Mc-Graw Hill Medica.
Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) Anemia Work Group.
2012. KDIGO clinical practice guideline for anemia in chronic kidney
disease. Kidney International Supplements. 2(4):279–335.
Rocco, M. V. dan J. S. Berns. 2012. KDOQI clinical practice guideline for
diabetes and ckd: 2012 update. American Journal of Kidney Diseases.
60(5):850–886.

22

Anda mungkin juga menyukai