Anda di halaman 1dari 70

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO B BLOK 9
NYERI

Disusun oleh : Kelompok B7


Tutor : dr. Syarifah Aini, SpKJ
Dhiyan Handi Asyhari Lubis 04011181823014
Alvina Damayanti 04011181823017
Siti Annisya Balqis 04011181823053
Imelda Veronica 04011181823056
Nadiyah Fakhirah 04011181823059
Sayyidah Ayyatullah Assharrima 04011181823247
Rizkika Silvia Mayang Sari 04011281823092
Vira Ayu Amirah 04011381823236
Deandra Ramadana 04011381823239

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA TAHUN
AKADEMIK 2019/2020

i
KATA PENGANTAR

Marilah kita mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha
Kuasa karena atas berkat, rahmat dan karunia-Nyalah kami dapat menyusun
Laporan Tutorial ini sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Di sini kami membahas sebuah kasus kemudian dipecahkan secara
kelompok berdasarkan sistematika nya mulai dari Klarifikasi Istilah, Identifikasi
Masalah, Menganalisis, Meninjau ulang, dan Menyusun keterkaitan antarmasalah,
serta mengidentifikasi topic pembelajaran. Bahan Laporan ini kami dapat kan dari
hasil diskusi antar anggota kelompok dan bahan ajar dari dosen-dosen
pembimbing.
Akhir kata, kami mengucapkan terimakasih setulus-tulusnya kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa, Orang tua, tutor, yaitu dr. Syarifah Aini, SpKJ, dan
para anggota kelompok yang telah mendukung materi dalam pembuatan laporan
ini. Kami mengakui dalam penulisan laporan ini terdapat banyak kekurangan.Oleh
karena itu, kami memohon maaf dan mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
demi kesempurnaan laporan kami di kesempatan mendatang. Sekian dan Terima
Kasih.

Palembang, 19 September 2019

Kelompok B7

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................iii
KEGIATAN TUTORIAL...........................................................................iv
SKENARIO B BLOK 9 TAHUN 2019.......................................................1
I. Klarifikasi Istilah.......................................................................1
II. Identifikasi Masalah...................................................................1
III. Analisis Masalah........................................................................2
IV. Learning Issue……………………………………………….13
V. Keterbatasan Ilmu Pengetahuan...............................................13
VI. Sintesis.....................................................................................14
VII. Kerangka Konsep.....................................................................63
VIII. Kesimpulan..............................................................................64

DAFTAR PUSTAKA................................................................................64

iii
KEGIATAN TUTORIAL

Tutor : dr. Syarifah Aini, SpKJ


Moderator : Dhiyan Handi Asyhari Lubis
Sekretaris 1 : Sayyidah Ayatullah Assharrima
Sekretaris 2 : Alvina Damayanti
Pelaksanaan: 17 dan 19 September 2019
Presentan : Siti Annisya Balqis
Peraturan selama tutorial:
1. Mengangkat tangan jika ingin berbicara
2. Semua anggota diwajibkan berbicara dan berpendapat
3. Boleh minum
4. Tidak boleh makan
5. Izin ke toilet maksimal 3 kali

iv
SKENARIO B BLOK 9

Dani, 18 tahun, seorang mahasiswa yang tinggal di Palembang datang ke


Puskesmas dengan keluhan nyeri telapak kaki kanan karena terinjak benda
tajam sejak 3 jam yang lalu. Nyeri dirasakan terus-menerus. Telapak kaki
Dani terlihat berdarah dan kotor.
Pemeriksaan fisik:
Keadaan umum: tampak sakit sedang
Tanda vital: Kesadaran: compos mentis; tekanan darah: 110/70 mmHg;
frekuensi nadi: 126x/menit; frekuensi napas: 20x/menit; suhu: 37 oC.
Visual Analog Scale (VAS) 6.
Pemeriksaan lokalis: regio plantar pedis dextra: tampak luka Panjang 3
cm, kedalaman 0,5 cm.
I. Klarifikasi Istilah :

1. Nyeri : pengalaman/sensasi yang tidak menyenangkan


akibat terjadinya kerusakan jaringan

(International Association for Study of Pain)


2. Visual Analog Scale : Skala grafik untuk membantu pasien mengukur
rasa sakit, depresi, dan kondisi subyektif lainnya
yang tidak terukur

(Medical Dictionary of Farlex)


3. Regio plantar pedis : Daerah bagian telapak kaki kanan
dextra (Sobotta ed. 23 jilid 1)

II. Identifikasi Masalah

No Masalah Kesesuaian Konsen


.
1. Dani, 18 tahun, seorang mahasiswa yang Tidak Sesuai 1
tinggal di Palembang dengan keluhan
nyeri telapak kaki kanan karena terinjak

1
benda tajam sejak 3 jam yang lalu. Nyeri
dirasakan terus-menerus dan telapak
kaki Dani terlihat berdarah dan kotor.
2. Pemeriksaan fisik: Tidak Sesuai 3
Keadaan umum: tampak sakit sedang
Tanda vital: Kesadaran: compos mentis;
tekanan darah: 110/70 mmHg; frekuensi
nadi: 126x/menit; frekuensi napas:
20x/menit; suhu: 37oC. Visual Analog
Scale (VAS) 6.

3. Pemeriksaan lokalis: Tidak Sesuai 2


regio plantar pedis dextra: tampak luka
Panjang 3 cm, kedalaman 0,5 cm.

III. Analisis Masalah


1. Dani, 18 tahun, seorang mahasiswa yang tinggal di Palembang dengan
keluhan nyeri telapak kaki kanan karena terinjak benda tajam sejak 3
jam yang lalu. Nyeri dirasakan terus-menerus dan telapak kaki Dani
terlihat berdarah dan kotor.
a. Apa saja jenis-jenis nyeri dan sifatnya?
Jawab:

a. Berdasarkan jenisnya
1. Nosiseptif (somatik)
Nyeri nosiseptif berkaitan dengan kerusakan
jaringan di kulit, sistem muskuloskeletal, atau visera
tetapi sistem saraf sensorik utuh, seperti pada artritis
atau stenosis spinal. Nyeri ini dapat bersifat akut atau
kronik.
2. Nyeri neurogenik

2
Nyeri neurogenik adalah konsekuensi langsung dari
lesi atau penyakit yang mengenai sistem
somatosensorik.
3. Sensitisasi sentral
Pada nyeri sensitisasi sentral, terjadi perubahan
pada pemrosesan sensitisasi di susunan saraf pusat
sehingga terjadi penguatan sinyal nyeri.
4. Nyeri psikogenik dan idiopatik
Nyeri psikogenik melibatkan keadaan kejiwaan pasien
tenang.
Nyeri idiopatik adalah nyeri tanpa etiologi yang jelas.

b. Berdasarkan timbulnya
1. Nyeri Akut
Nyeri yang timbul mendadak dan berlangsung
sementara.
Bentuk nyeri akut dapat berupa:
a) Nyeri somatik luar : nyeri tajam di kulit, subkutis
dan mukosa
b) Nyeri somatik dalam : nyeri tumpul pada otot
rangka, sendi dan jaringan ikat
c) Nyeri viseral : nyeri akibat disfungsi organ
viseral
2. Nyeri kronik
Nyeri berkepanjangan dapat berbulan-bulan tanpa
tanda-tanda aktivitas otonom kecuali serangan akut.

c. Berdasarkan derajat nyeri


1. Nyeri ringan adalah nyeri hilang timbul, terutama saat
beraktivitas sehari hari dan menjelang tidur.
2. Nyeri sedang adalah nyeri terus-menerus, aktivitas
terganggu yang hanya hilang bila penderita tidur.

3
3. Nyeri berat adalah nyeri terus menerus sepanjang hari,
penderita tidak dapat tidur dan sering terjaga akibat nyeri.

d. Berdasarkan sumber nyeri


1. Nyeri somatik luar
Nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan
subkutan dan membran mukosa. Nyeri biasanya dirasakan
seperti terbakar, jatam dan terlokalisasi.
2. Nyeri somatik dalam
Nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisasi dengan
baik akibat rangsangan pada otot rangka, tulang, sendi,
jaringan ikat.
3. Nyeri viseral
Nyeri karena perangsangan organ viseral atau organ yang
menutupinya (pleura parietalis, pericardium, peritoneum).
Nyeri tipe ini dibagi menjadi nyeri viseral terlokalisasi,
nyeri parietal terlokalisasi, nyeri alih viseral dan nyeri
alih parietal.
4. Nyeri alih/referred
Masukan dari organ dalam pada tingkat spinal disalah
artikan oleh penderita sebagai masukan dari daerah kulit
pada segmen spinal yang sama.
5. Nyeri proyeksi
Misalnya pada herpes zooster, kerusakan saraf
menyebabkan nyeri yang dialihkan ke sepanjang bagian
tubuh yang diinervasi oleh saraf yang rusak tersebut.
6. Nyeri phantom
Persepsi nyeri dihubungkan dengan bagian tubuh yang
hilang seperti pada amputasi ekstremitas.

e. Berdasarkan rasa nyeri


1. Rasa Nyeri Cepat, setelah diberi stimulus, rasa nyeri
timbul dalam waktu kira-kira 0,1 detik.

4
2. Rasa Nyeri Lambat, rasa nyeri timbul setelah 1 detik atau
lebih, kemudian secara perlahan bertambah.

f. Berdasarkan sifatnya, nyeri dibagi ke dalam: nyeri tusuk,


teriris, terbakar, kemeng, nyeri sentuh, nyeri gerak,
berdenyut, menyebar, hilang timbul, dan sebagainya.
b. Bagaimana patofisiologi nyeri?
Jawab:

c. Bagaimana tata cara anamnesis terhadap pasien tersebut?


Jawab:

Aspek anamnesis dalam penilaian luka bertujuan untuk


mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
penyembuhan luka.
Anamnesis meliputi :
1. Riwayat luka :
a. Mekanisme terjadinya luka.
b. Kapan terjadinya luka : setelah 3 jam (golden periode<
6 jam), kolonisasi bakteri dalam luka akan meningkat
tajam.
c. Di mana pasien mendapatkan luka tersebut.

5
d. Bila saat pasien datang luka telah dibersihkan tetap
harus ditanyakan adakah kontaminan dalam luka,
misalnya logam, kotoran hewan atau karat. Adanya
kontaminan dalam luka meningkatkan risiko terjadinya
infeksi dan tetanus.
e. Perdarahan dan jumlah darah yang keluar.
Faktor yang dinilai
1. Adanya penyakit lain
2. Infeksi
3. Umur dan komposisi tubuh
4. status nutrisi
5. Merokok
6. Pengobatan
7. Status psikologis
8. Lingkungan sosial dan hygiene
9. Akses terhadap perawatan luka
10. Riwayat perawatan luka sebelumnya
11.Keluhan yang dirasakan saat ini : misalnya, nyeri, gejala
infeksi, atau gangguan fungsi motoric dan sensorik.
12.Riwayat kesehatan dan penyakit pasien secara
keseluruhan, misalnya umur, dehidrasi, status psikologis,
status nutrisi, berat badan, vaskularisasi, respons imun,
penyakit kronis, radioterapi, dan riwayat alergi.
13. Penanganan luka yang diperoleh
d. Bagaimana tatalaksana jika tertusuk benda tajam seperti
pada kasus?
Jawab:

Dua hal penting yang pertama kali harus dinilai oleh dokter
dalam memberikan penatalaksanaan luka adalah :
1. Menilai adanya kegawatan, yaitu apakah terdapat kondisi
yang membahayakan jiwa pasien.
2. Menilai apakah luka akut atau kronis.

6
Empat cara penatalaksanaan utama terhadap luka, yaitu:

1. Melakukan desinfeksi luka


2. Membersihkan luka kotor
3. Melakukan debridement luka dengan gunting dan scalpel
4. Menutup luka (jika luka terbuka) dengan jahitan, dll.
e. Apa dampak jika luka dibiarkan tanpa diobati?
Jawab:
Dapat terkontaminasi, dengan terjadinya paparan langsung
dengan lingkungan luar sehingga menjadi media kolonisasi
bakteri,dll. Selain itu, juga dapat memperlama penyembuhan
luka.
2. Pemeriksaan fisik:
Keadaan umum: tampak sakit sedang
Tanda vital: Kesadaran: compos mentis; tekanan darah: 110/70 mmHg;
frekuensi nadi: 126x/menit; frekuensi napas: 20x/menit; suhu: 37oC.
Visual Analog Scale (VAS) 6.
a. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan fisik tersebut?
Jawab:
Kesadaran: compos mentis -> Kesadaran penuh
Tekanan darah: 110/70 mmHg -> Normal
Frekuensi nadi: 126x/menit -> Takikardi
Frekuensi napas: 20x/menit -> Normal
Suhu: 37oC -> Normal
Visual Analog Scale (VAS) 6 -> Moderate pain
b. Mengapa frekuensi nadinya meningkat?
Jawab:
karena pengaruh rangsangan nyeri pada luka
Nyeri akut akan menimbulkan perubahan-perubahan didalam
tubuh. Impuls yang diteruskan ke sel-sel neuron di kornua antero-
lateral akan mengaktifkan sistem simpatis. Akibatnya, organ-organ
yang diinervasi oleh sistem simpatis akan teraktifkan. Nyeri akut
baik yang ringan sampai yang berat akan memberikan efek pada

7
tubuh seperti pembuluh darah yang vasokonstriksi, yang kemudian
dapat mempengaruhi hemodinamik tubuh seperti hipertensi, takikardi
dan peningkatan resistensi pembuluh darah secara sistemik.
c. Bagaimana cara pemeriksaan Visual Analog Scale (VAS)?
Jawab:
VAS memuat hanya satu pertanyaan yang dapat dijawab oleh
responden. Pasien menandai angka pada garis yang menggambarkan
intensitas nyeri yang dirasakan.
3. Pemeriksaan lokalis:
regio plantar pedis dextra: tampak luka Panjang 3 cm, kedalaman 0,5
cm.
a. Apa saja struktur anatomi regio plantar pedis dextra?
Jawab:
Struktur utama dari anatomi sagittal manusia adalah kulit,
fascia superfisialis, fascia profunda, musculus, fascia subserosa
dan peritoneum.
Yang mungkin terkena luka pada struktur regio plantar pedis
adalah bagian otot lapisan pertama karna kedalaman luka yang
superficial
Terdapat tiga komponen pada lapis pertama musculi intrinsik,
yang merupakan lapisan paling superficial dari keempat lapisan
pada regio plantaris pedis dan terletak langsung di sebelah
dalam dari aponeurosis plantaris. Dari medial ke
lateral,musculi tersebut adalah abductor hallucis, flexor
digitorum brevis, dan abductor digiti minimi.
b. Apa saja struktur histologi regio plantar pedis dextra?
Jawab:
Histologi umum terdiri dari, kulit (epidermis, dermis,
hypodermis), otot, pembuluh darah dan nervus.

8
c. Apa saja struktur yang terganggu pada kasus?
Jawab:

Dengan mengkaji kedalaman luka 0,5 cm kemungkinan yang


terganggu sampai lapisan dermis dan hypodermis kulit, dimana
sudah terdapat pembuluh darah dan saraf. Kulit mengalami
robek sedalam 0,5 melewati epidermis yang tembus kedalam
lapisan dermis , diantara lapisan dermis dan hipodermis
terdapat pembuluh darah dan ujung-ujung saraf
mengakibatkan ruptur pembuluh darah dan nyeri.
d. Bagaimana pemeriksaan fisik pada regio plantar pedis
dextra?
Jawab:
1. Inspeksi
Amati semua permukaan pergelangan kaki dan kaki,
perhatikan ada tidaknya deformitas, nodul, pembengkakan,
kalus.
2. Palpasi.

9
Dengan jempol Anda, palpasi aspek anterior dan posterior
masing-masing sendi pergelangan kaki , perhatikan ada
tidaknya penebalan, pembengkakan, atau nyeri.
3. Rentang Gerak
Periksa fleksi dan ekstensi di sendi tibiotalus (pergelangan
kaki) Di kaki, periksa inversi dan eversi di sendi subtalus
dan tarsal transversus.

Note: untuk kasus ini cukup lakukan pemeriksaan inspeksi,


tidak perlu palpasi, dikarenakan nyeri lokal dan terdapat
luka terbuka.
e. Apa saja jenis luka?
Jawab:

Berdasarkan mekanisme terjadinya luka :


1. Luka tertutup, yaitu luka yang terjadi dibawah kulit
sehingga tidak terjadi hubungan antara luka dengan dunia
luar
a. Luka memar (vulnus contusum)
b. Luka trauma (vulnus traumaticum)
2. Luka terbuka, yaitu luka yang terjadi langsung melibatkan
kulit sehingga terjadi hubungan langsung antara luka
dengan dunia luar
a. Luka lecet (vulnus excoriation)
b. Luka sayat (vulnus scisscum/incivisum)
c. Luka robek (vulnus laceratum)
d. Luka tusuk (vulnus punctum)

10
e. Luka potong (vulnus caesum)
f. Luka potong (vulnus sclopetorum)
g. Luka gigit (vulnus morsum)

Berdasarkan waktu penyembuhannya :


1. Luka akut merupakan cedera jaringan yang dapat pulih
kembali seperti keadaan normal dengan bekas luka yang
minimal dalam rentang waktu 8-12 minggu. Penyebab
utama dari luka akut adalah cedera mekanikal karena factor
eksternal, dimana terjadi kontak antara kulit dengan
permukaan yang keras atau tajam, luka tembak, dan luka
pasca operasi. Penyebab lain luka akut adalah luka bakar
dan cedera kimiawi, seperti terpapar sinar radiasi, tersengat
listrik, terkena cairan kimia yang besifat korosif, serta
terkena sumber panas
2. Luka kronik merupakan luka dengan proses pemulihan
yang lambat, dengan waktu penyembuhan lebih dari 12
minggu dan terkadang dapat menyebabkan kecacatan.
Salah satu penyebab terjadinya luka kronik adalah
kegagalan pemulihan karena kondisi fisiologis (seperti
diabetes melitus (DM) dan kanker), infeksi terus-menerus,
dan rendahnya tindakan pengobatan yang diberikan.
Berdasarkan Tingkat kontaminasi :
1. Luka bersih
2. Luka kontaminasi – bersih
3. Luka terkontaminasi
4. Luka kotor atau terinfeksi
Berdasarkan Kedalaman dan luas lukanya :
1. Stadium I : Luka superficial (Non-Blanching Erithema)
yaitu luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit
2. Stadium II : Luka “Partial Thickness” yaitu hilangnya
lapisan kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas dari

11
dermis. Merupakan luka superficial dengan adanya tanda
klinis seperti abrasi, blister atau lubang yang dangkal.
3. Stadium III : luka “ Full Thicknes” yaitu hilangnya
keseluruhan kulit meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan
subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak
melewati jaringan yang mendasarinya. Luka sampai pada
lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai
otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu luang yang
dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.
4. Stadium IV : Luka “Full Thickness” yang telah mencapai
lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya destruksi
atau kerusakan yang luas
f. Bagaimana mekanisme penutupan luka?
Jawab:

Terdapat perbedaan dalam mekanisme penutupan dan


penyembuhan luka, pada mekanisme penutupan luka itu
merupakan proses hemostatis yang dilakukan oleh trombosit
yang terjadi hanya beberapa menit ketika luka terjadi.
Hemostatis ini dibagi dalma 3 tahap yaitu spasme vaskuler,
pembentukan sumbat trombosit dan koagulasi darah.
Hemostasis

12
Penyembuhan luka

IV. Learning Issue


1. Nyeri
2. Anatomi regio plantar pedis dextra
3. Histologi regio plantar pedis dextra
4. Luka
5. Pemeriksaan fisik
6. Anamnesis dan kegawatdaruratan

V. Keterbatasan Ilmu Pengetahuan

No. Topik What I What I Don’t What I Have


How I Will Learn
Pembelajaran Know Know to Prove

1. Nyeri Pengertian Patofisiologi Jenis-Jenis


Nyeri

13
2. Anatomi regio Pengertian Sttuktur -
plantar pedis Normal,
dextra Struktur yang
Terganggu

3. Histologi regio Pengertian Struktur -


plantar pedis Normal,
dextra Struktur yang
Terganggu

4. Luka Pengertian Penyakit yang Jenis-Jenis


Disebabkan, a. sumber internet,
Tatalaksana, jurnal, dan
Mekanisme textbook
Penutupan,
b. Belajar mandiri
5. Pemeriksaan Pengertian, Cara Interpretasi
c. Diskusi kelompok
Fisik Interpretasi Pemeriksaan, Abnormal
Normal Visual
Analog Scale
(VAS)

6. Anamnesis dan Pengertian Tata cara -


Kegawatdarura
tan

VI. Sintesis
1. Nyeri
A. Definisi
Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun
potensial. Nyeri merupakan suatu gabungan dari komponen objektif
(aspek fisiologi sensorik nyeri) dan komponen subjektif (aspek
emosional dan psikologis). Meskipun nyeri adalah suatu sensasi, nyeri
memiliki komponen kognitif dan emosional, yang digambarkan dalam
suatu bentuk penderitaan. Nyeri juga berkaitan dengan reflex
menghindar dan perubahan output otonom.
B. Klasifikasi dan Jenis

a. Berdasarkan jenisnya
1. Nosiseptif (somatik)

14
Nyeri nosiseptif berkaitan dengan kerusakan jaringan di
kulit, sistem muskuloskeletal, atau visera tetapi sistem saraf
sensorik utuh, seperti pada artritis atau stenosis spinal. Nyeri ini
dapat bersifat akut atau kronik. Stimulasi nosiseptor baik secara
langsung maupun tidak langsung akan mengakibatkan
pengeluaran mediator inflamasi dari jaringan, sel imun dan ujung
saraf sensoris dan simpatik.
2. Nyeri neurogenik
Nyeri neurogenik adalah konsekuensi langsung dari lesi
atau penyakit yang mengenai sistem somatosensorik. Seiring
waktu, nyeri neuropatik dapat menjadi independen dari cedera
pemicu, dengan kualitas seperti panas, menyayat, atau
menyengat. Nyeri dapat menetap bahkan setelah cedera awal
sembuh. Sensasi yang dirasakan adalah rasa panas dan seperti
ditusuk-tusuk dan kadang disertai hilangnya rasa atau adanya
rasa tidak enak pada perabaan.
3. Sensitisasi sentral
Pada nyeri sensitisasi sentral, terjadi perubahan pada
pemrosesan sensitisasi di susunan saraf pusat sehingga terjadi
penguatan sinyal nyeri. Terjadi penurunan ambang nyeri untuk
rangsangan yang tidak menyebabkan nyeri, dan respons terhadap
nyeri mungkin lebih parah daripada yang diperkirakan.
4. Nyeri psikogenik dan idiopatik
Nyeri psikogenik melibatkan banyak faktor yang memengaruhi
laporan nyeri oleh pasien—kondisi kejiwaan seperti cemas atau
depresi, kepribadian dan cara mereka menghadapi masalah,
norma budaya, dan sistem dukungan sosial. Nyeri akan hilang
apabila keadaan kejiwaan pasien tenang.
Nyeri idiopatik adalah nyeri tanpa etiologi yang jelas.

b. Berdasarkan timbulnya
2. Nyeri Akut

15
Nyeri yang timbul mendadak dan berlangsung sementara.
Nyeri ini ditandai dengan adanya aktivitas saraf otonom seperti:
takikardi, hipertensi, hiperhidrosis, pucat dan midriasis dan
perubahan wajah: menyeringai atau menangis.
Bentuk nyeri akut dapat berupa:
a) Nyeri somatik luar : nyeri tajam di kulit, subkutis dan
mukosa
b) Nyeri somatik dalam : nyeri tumpul pada otot rangka,
sendi dan jaringan ikat
c) Nyeri viseral : nyeri akibat disfungsi organ viseral
3. Nyeri kronik
Nyeri berkepanjangan dapat berbulan-bulan tanpa tanda-
tanda aktivitas otonom kecuali serangan akut. Nyeri tersebut
dapat berupa nyeri yang tetap bertahan sesudah penyembuhan
luka (penyakit/operasi) atau awalnya berupa nyeri akut lalu
menetap sampai melebihi 3 bulan.

c. Berdasarkan derajat nyeri


4. Nyeri ringan adalah nyeri hilang timbul, terutama saat
beraktivitas sehari hari dan menjelang tidur.
5. Nyeri sedang adalah nyeri terus-menerus, aktivitas terganggu
yang hanya hilang bila penderita tidur.
6. Nyeri berat adalah nyeri terus menerus sepanjang hari, penderita
tidak dapat tidur dan sering terjaga akibat nyeri.

d. Berdasarkan sumber nyeri


7. Nyeri somatik luar
Nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan subkutan dan
membran mukosa. Nyeri biasanya dirasakan seperti terbakar,
jatam dan terlokalisasi.
8. Nyeri somatik dalam
Nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisasi dengan baik
akibat rangsangan pada otot rangka, tulang, sendi, jaringan ikat.

16
9. Nyeri viseral
Nyeri karena perangsangan organ viseral atau organ yang
menutupinya (pleura parietalis, pericardium, peritoneum). Nyeri
tipe ini dibagi menjadi nyeri viseral terlokalisasi, nyeri parietal
terlokalisasi, nyeri alih viseral dan nyeri alih parietal.
10. Nyeri alih/referred
Masukan dari organ dalam pada tingkat spinal disalah artikan
oleh penderita sebagai masukan dari daerah kulit pada segmen
spinal yang sama.
11. Nyeri proyeksi
Misalnya pada herpes zooster, kerusakan saraf menyebabkan
nyeri yang dialihkan ke sepanjang bagian tubuh yang diinervasi
oleh saraf yang rusak tersebut.
12. Nyeri phantom
Persepsi nyeri dihubungkan dengan bagian tubuh yang hilang
seperti pada amputasi ekstremitas.

e. Berdasarkan rasa nyeri


3. Rasa Nyeri Cepat, setelah diberi stimulus, rasa nyeri timbul
dalam waktu kira-kira 0,1 detik.
4. Rasa Nyeri Lambat, rasa nyeri timbul setelah 1 detik atau lebih,
kemudian secara perlahan bertambah.

f. Klasifikasi yang dikembangkan oleh IASP


1. Aksis I : region atau lokasi anatomi nyeri
2. Aksis II : sistem organ primer di tubuh yang berhubungan
dengan timbulnya nyeri
3. Aksis III : karekteristik nyeri atau pola timbulnya nyeri (tunggal,
regular, kontinyu)
4. Aksis IV : awitan terjadinya nyeri
5. Aksis V : etiologi nyeri

17
Nyeri dikelompokkan pula berdasarkan area nyeri, dibagi ke dalam:
nyeri kepala, leher, dada, abdomen, punggung, pinggang bawah, pelvik,
ekstremitas, dan sebagainya.
Berdasarkan sifatnya, nyeri dibagi ke dalam: nyeri tusuk, teriris,
terbakar, kemeng, nyeri sentuh, nyeri gerak, berdenyut, menyebar, hilang
timbul, dan sebagainya.
C. Patofisiologi
a. Ascending Pathway

Nociception disampaikan dari tanduk dorsal ke otak melalui


traktus asenden dalam materi putih medula spinalis. Neuron orde
kedua menyeberang di sumsum tulang belakang sebelum naik ke pusat
integratif di talamus. 2 saluran ascending yang paling penting adalah
spinothalamic dan traktus spinoreticular. Traktus spinotalamikus
lateral naik langsung ke nukleus lateral posterior ventral, melayani
aspek diskriminatif sensoris dari persepsi nyeri. Traktus
spinothalamikus medial mengirim kolateral ke materi abu-abu
periaqueductal, hipotalamus, dan sistem retikuler di otak tengah
sebelum mencapai talamus medial; itu dianggap terlibat dalam mediasi
yang otonom dan emosional komponen nyeri. Traktus spinoretikular
muncul dari lamina VII dan VIII dari tanduk dorsal, berakhir pada
pembentukan retikuler dari medula dan pons; itu diyakini memediasi
komponen rasa sakit permusuhan. Dari nuklei posterior lateral dan
medial ventral, neuron orde ketiga memproyeksikan ke kortikal yang

18
lebih tinggi (somatosensory korteks) dan ke pusat otak tengah (sistem
limbik). Ada juga proyeksi penting ke sistem limbik (hippocampus dan
amygdala) yang terkait dengan memori, emosi, dan perilaku.
b. Descending Pathway

SSP mengandung sistem analgesik atau penekan nyeri inheren


yang menekan penyaluran impuls di jalur nyeri sewaktu impuls
tersebut masuk ke korda spinalis. Tiga regio batang otak merupakan
bagian jalur analgesik desendens ini: substansia grisea
periakuaduktus (substansia grisea yang mengelilingi akuaduktus
serebrum, suatu saluran sempit yang menghubungkan rongga
ventrikel ketiga dan keempat) serta nukleus spesifik di daerah
medula dan forrnasio retikularis. Substansia grisea periakuaduktus
merangsang neuron tertentu yang badan selnya terletak di medula
dan formasio retikularis dan yang berakhir di antarneuron inhibitorik
di kornu dorsalis medula spinalis. Antarneuron inhibitorik ini
melepaskan enkefalin, yang terikat pada reseptor opiat µ pada
terminal serat nyeri aferen. Hasilnya adalah penemuan opiat endogen
(bahan mirip morfin)—endorfin, enkefalin, dan dinorfin—yang
penting dalam sistem analgesik alami tubuh. Opiat-opiat endogen ini
berfungsi sebagai neurotransmiter analgesik. Pengikatan enkefalin
dari kornu dorsalis antarneuron inhibitorik dengan terminal serat
nyeri aferen menekan pelepasan substansi P melalui inhibisi
prasinaps, sehingga transmisi lebih lanjut sinyal nyeri dihambat.

19
c. Umum

Rangsangan nyeri diterima oleh nociceptors pada kulit bisa


intesitas tinggi maupun rendah seperti perennggangan dan suhu serta
oleh lesi jaringan. Sel yang mengalami nekrotik akan merilis K + dan
protein intraseluler . Peningkatan kadar K + ekstraseluler akan
menyebabkan depolarisasi nociceptor, sedangkan protein pada
beberapa keadaan akan menginfiltrasi mikroorganisme sehingga
menyebabkan peradangan/ inflamasi. Akibatnya, mediator nyeri
dilepaskan seperti leukotrien, prostaglandin E2, dan histamin yang
akan merangsang nosiseptor sehingga rangsangan berbahaya dan
tidak berbahaya dapat menyebabkan nyeri (hiperalgesia atau
allodynia).
Selain itu lesi juga mengaktifkan faktor pembekuan darah
sehingga bradikinin dan serotonin akan terstimulasi dan merangsang
nosiseptor. Jika terjadi oklusi pembuluh darah maka akan terjadi
iskemia yang akan menyebabkan akumulasi K + ekstraseluler dan H
+ yang selanjutnya mengaktifkan nosiseptor. Histamin, bradikinin,
dan prostaglandin E2 memiliki efek vasodilator dan meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah. Hal ini menyebabkan edema lokal,
tekanan jaringan meningkat dan juga terjadi

20
Perangsangan nosisepto. Bila nosiseptor terangsang maka mereka
melepaskan substansi peptida P (SP) dan kalsitonin gen terkait
peptida (CGRP), yang akan merangsang proses inflamasi dan juga
menghasilkan vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah. Vasokonstriksi (oleh serotonin), diikuti oleh
vasodilatasi, mungkin juga bertanggung jawab untuk serangan
migrain. Peransangan nosiseptor inilah yang menyebabkan nyeri.
D. Respon Tubuh terhadap Nyeri

Nyeri akut akan menimbulkan perubahan-perubahan didalam


tubuh. Impuls nyeri oleh serat afferent selain diteruskan ke sel-sel
neuron nosisepsi di kornu dorsalis medulla spinalis, juga akan
diteruskan ke sel-sel neuron di kornu anterolateral dan kornu anterior
medulla spinalis.
Impuls yang diteruskan ke sel-sel neuron di kornua antero-lateral
akan mengaktifkan sistem simpatis. Akibatnya, organ-organ yang
diinervasi oleh sistem simpatis akan teraktifkan. Nyeri akut baik yang
ringan sampai yang berat akan memberikan efek pada tubuh seperti:

E. Pengukuran Intensitas Nyeri


1. Pasien dapat berkomunikasi
a. Numerical Rating Scale (NRS)
b. Visual Descriptif Scale (VDS)
c. Visual Analogue Scale (VAS)

21
2. Pasien tidak dapat berkomunikasi
a. Skala FLACC (Faces,Legs,Activity,Cry,dan Consolability)
b. Skala Wajah Wong Baker
c. Behavioral Pain Scale (BPS)
d. Critical-Care Pain Observasion Tool (CPOT)

2. Anatomi Regio Plantar Pedis Dextra


a. Ligamenta
a) Ligamentum calcaneocuboideum plantare (ligamentum
plantare brevis) berukuran pendek, lebar, dan sangat kuat, dan
menghubungkan tuberculum calcanei menuju permukaan
inferior cuboideum. Ligamentum tersebut tidak hanya
menyangga sendi calcaneocuboidea. namun juga membantu
ligamentum plantare longum untuk menahan penurunan arcus
lateralis pedis.
b) Ligamentum plantare longum merupakan ligamentum
terpanjang pada regio plantaris pedis dan terletak di inferior
dari ligamentum calcaneocuboideum plantare.

b. Aponeurosis plantaris

22
Aponeurosis plantaris merupakan penebalan fascia profundus
pada regio plantaris pedis. Aponeurosis plantaris terlekat kuat
pada processus medialis tuberis calcanei dan meluas ke arah depan
sebagai suatu pita tebal sabut-sabut jaringan ikat yang tersusun
longitudinal. Sabut-sabut tersebut berpencar saat melintas.
c. Musculi intrinsik

Musculi intrinsik pedis berorigo dan berinsertio pada pedis n


extensor digitorum brevis dan extensor hallucis brevis pada
aspectus dorsalis pedis seluruh musculus intrinsik lainnya terletak
pada sisi planta pedis, dan musculi tersebut tersusun ke dalam
empat lapisan.
Musculi intrinsik terutama memodifikasi aksi tendo yang
panjang dan menghasilkan gerakan-gerakan halus digiti pedis.
Seluruh musculus intrinsik pedis dipersarafi oleh nervus plantaris
medialis dan nervus plantaris lateralis cabang nervus tibialis;
kecuali untuk musculus extensor digitorum brevis, yang dipersarafi
oleh nervus fibularis profundus. Musculi interossei dorsales juga
menerima sebagian persarafannya dari nervus fibularis profundus.
a) Lapis pertama
Terdapat tiga komponen pada lapis pertama musculi
intrinsik, yang merupakan lapisan paling superficial dari
keempat lapisan pada regio plantaris pedis dan terletak
langsung di sebelah dalam dari aponeurosis plantaris. Dari

23
medial ke lateral,musculi tersebut adalah abductor hallucis,
flexor digitorum brevis, dan abductor digiti minimi.
b) Lapis kedua
Lapis musculi kedua pada regio plantaris pedis berkaitan
dengan tendo musculus flexor digitorum longus yang
berjalan melalui lapisan tersebut, dan terdiri dari musculus
quadratus plantae dan empat musculus lumbricalis
c) Lapis ketiga
Terdapat tiga musculi pada lapisketiga di regio plantaris
pedis Dua musculus (flexor hallucis brevis dan adductor
hallucis) berkaitan dengan hallux. Musculus ketiga (flexor
digiti minimi brevis) berkaitan dengan digilus minimus.
Musculus Origo Insertio

d. Suplai arteri
Suplai darah bagi pedis adalah oleh cabang-cabang arteria
tibialis posterior dan arteria dorsalis pedis (arteria regio dorsalis
pedis).

24
a) Arteria tibialis posterior dan arcus plantaris
Arteria tibialis posterior memasuki pedis melalui
canalis tarsi pada sisi medial regiones talocruralis dan
diposterior dari malleolus medialis. Di sini arteria tibialis
posterior terbelah dua menjadi arteria plantaris medialis
yang kecil dan arteria plantaris lateralis yang lebih besar.
b) Arteri lataris lateralis

Arteria plantaris lateralis berjalan ke arah anterolateral


di dalam regio plantaris pedis, pertama-tama berada di
sebelah dalam dar ujung proximal musculus abductor
hallucis, kemudian di antara musculus quadratus plantae
dan museulus flexor digitorum brevis. Arteria plantaris
lateralis mencapai basis metatarsalis V, dan arteria tersebut
terletak pada alur di antara musculus flexor digitorum
brevis dan musculus abductor digiti minimi.
Di antara basis metatarsales I dan II, arcus plantaris
profundus bergabung dengan cabang terminal (arteria
plantaris profundus) arteria dorsalis pedis, yang memasuki
regio plantaris pedis dari sisi dorsum pedis n Cabang-
cabang utama arcus plantaris profundus meliputi: sebuah
ramus digitalis menuju sisi lateral digitus minimus:
c) Arteria plantaris medialis

25
Arteria plantaris medialis berjalan di dalam regio
plantaris pedis dengan melintas di sebelah dalam dari ujung
proximal musculus abductor hallucis. Arteria plantaris
medialis mengeluarkan sebuah ramus profundus menuju
musculi di dekatnya dan kemudian berjalan ke depan pada
alur di antara musculus abductor hallucis dan musculus
flexor digitorum brevis.
Arteriae metatarsales dorsales berhubungan dengan
rami perforantes dari arcus plantaris profundus dan cabang-
cabang serupa dari arteriae metatarsales plantares.
e. Nervus

a) Nervus plantaris medialis


Nervus plantaris medialis dan nervus plantaris lateralis
berada bersama-sama di antara arteriae terkait. Nervus
plantaris medialis merupakan nervus sensorium utama pada
regio plantaris pedis. Nervus plantaris medialis mempersarafi
kulit lebih dari 2/3 anterior planta dan permukaan-permukaan
yang berdampingan dari 3½ digiti pedis paling medial,
termasuk hallux. Selain area luas kulit planta, nervus
plantaris medialis juga mempersarafi empat musculus
intrinsik—abductor hallucis, flexor digitorum brevis, flexor
hallucis brevis, dan lumbricalis I.
Nervus plantaris medialis berjalan di dalam regio
plantaris pedis, di sebelah dalam dari musculus abductor
hallucis dan ke arah depan pada alur di antara musculus

26
abductor hallucis dan musculus flexor digitorum brevis,
memberikan cabang-cabang menuju kedua musculus
tersebut.
Nervus plantaris medialis memberikan cabang digitalis
(nervus digitalis plantaris propius) menuju sisi medial hallux
dan kemudian terbagi menjadi tiga nervus (nervi digitales
plantares communes)
b) Nervus plantaris lateralis
Merupakan nervus motorius yang penting pada pedis,
karena nervus tersebut mempersarafi seluruh musculus
intrinsik pada planta, kecuali untuk musculi yang dipersarafi
oleh nervus plantaris medialis (abductor hallucis, flexor
digitorum brevis, flexor hallucis brevis, dan lumbricalis I.
Nervus plantaris lateralis juga mempersarafi suatu lajur kulit
pada sisi Iateral 2/3 regio plantaris pedis anterior dan
permukaan-permukaan planta yang berdampingan pada 1½
digiti paling lateral. Nervus plantaris lateralis memasuki regio
plantaris pedis dengan berjalan di sebelah dalam dari
perlekatan proximal musculus abductor hallucis.
Nervus tersebut berlanjut ke arah lateral dan anterior
melintasi planta di antara musculus flexor digitorum brevis
dan musculus quadratus plantae, memberikan cabang-cabang
menuju kedua musculus tersebut, dan kemudian terbagi di
dekat caput metatarsale V menjadi ramus profundus dan
ramus superficialis. Ramus supeficialis nervus plantaris
lateralis mengeluarkan nervus digitalis plantaris proprius,
yang mempersarafi kulit pada sisi lateral digitus minimus dan
nervus digitalis plantaris communis, yang terbagi menjadi
nervi digitales plantares proprii untuk kulit pada sisi-sisi yang
berdampingan digiti pedis IV-V.

3. Histologi Regio Plantar Pedis Dextra

27
Kulit

Kulit adalah organ tunggal yang terberat di tubuh, yang biasanya


membentuk 15-20% berat badan total dan pada orang dewasa,
memiliki luas permukaan sebesar 1,5-2 m2 yang terpapar dengan dunia
luar. Selain dikenal sebagai lapisan kutaneus atau integumen (L.
integumentum, lapisan), kulit terdiri atas epidermis, yaitu lapisan epitel
yang berasal dari ektoderm, dan dermis, suatu lapisan jaringan ikat
yang berasal dari mesoderm. Di bawah dermis terdapat hipodermis
(Yun.hypo, di bawalu + derma, kulit), atau jaringan subkutan, yaitu
jaringan ikat longgar yang dapat mengandung bantalan adiposit.
Jaringan subkutan mengikat kulit secara longgar pada jaringan di
bawahnya dan sesuai dengan fasia superfisial pada anatomi makro.
Fungsi spesifik kulit, antara lain:
a. Protektif . Kulit menyediakan sawar fisis terhadap rangsang termal
dan mekanis seperti gaya gesekan dan kebanyakan patogen
potensial dan materi lain. Mikroorganisme yang mempenetrasi
kulit memberi peringatan limfosit dan sel penyaji-antigen di kulit

28
dan respon imun meningkat. Pigmenmelanin gelap di epidermis
melindungi sel dari radiasi ultraviolet. Kulit iuga merupakan sawar
permeable terhadap kehilangan atau ambilan air yang berlebihan,
yang memungkinkan kehidupan di bumi. Permeabilitas kulit
selektif memungkinkan sejumlah obat lipofilik seperti hormone
steroid tertentu dan obat-obatan yang diberikan melalui koyo.
b. Sensorik. Banyak tipe reseptor sensorik memungkinkan kulit
memantau lingkungan dan berbagai mekanoreseptor dengan lokasi
spesifik di kulit penting untuk interaksi tubuh dengan objek fisis.
c. Termoregulatorik. Temperatur fubuh yang konstan normalnya
lebih mudah dipertahankan berkat komponen insulator kulit
(misalnya, lapisan lemak dan rambut di kepala) dan mekanismenya
untuk mempercepat pengeluaran panas (produksi keringat dan
mikrovaskular superfisial yang padat).
d. Metabolik. Sel kulit menyintesis vitamin D yang diperlukan pada
metabolisme kalsium dan pembentukan tulang secara tepat melalui
kerja sinar UV setempat pada precursor vitamin ini. Kelebihan
elektrolit dapat dihilangkan melalui keringat dan lapisan subkutan
menyimpan sejumlah energi dalam bentuk lemak.
e. Sinyal seksual. Banyak gambaran kulit, seperti pigmentasi dan
rambut, adalah indikator visual kesehatan yang terlibat dalam
ketertarikan antara jenis kelamin pada semua spesies vertebra,
termasuk manusia. Efek feromon seks yang dihasilkan kelenjar
keringat apokrin dan kelenjar lain di kulit juga penting untuk
ketertarikan tersebut.

EPIDERMIS
a. Terutama terdiri atas epitel berlapis gepeng berkeratin tebal
b. Non-vaskular
c. Terdapat juga sel melanosit, sel langerhans dan sel Merkel
d. Terdiri dari lima lapisan:

29
1. Lapisan basal (stratum basale) terdiri atas selapis sel kuboid atau
kolumnar basofilik yang terletak di atas membran basal pada
perbatasan epidermis-dermis. Hemidesmosom, yang terdapat di
plasmalema basal membantu mengikat sel-sel ini pada lamina basal
dan desmosom mengikat sel-sel di lapisan ini bersama-sama di
permukaan atas dan lateralnya. Stratum basale ditandai dengan
tingginya aktivitas mitosis dan bertanggung jawab, bersama dengan
bagian awal lapisar berikutnya atas produksi sel-sel epidermis
secara bersinambungan. Meskipun sel punca unfuk keratinosit
ditemukan di lapisan basal, lokus untuk sei tersebut juga ditemukan
di tonjolan khusus selubung folikel rambut yang bersambung
dengan epitdermis. Epidermis manusia diperbarui setiap 15-30 hari,
bergantung pada usia, bagian tubuh, dan faktor lain. Semua
keratinosit dalam stratum basale mengandung filamen keratin
intermediat berdiameter 10 nm yang terdiri atas keratin' Sewaktu sel
berpindah ke atas, jumlah dan tipe filamen keratin juga bertambah
sehingga mencapai setengah jumlah protein total di lapisan terluar.
2. Lapisan spinosa (stratum spinosum), yang normalnya lapisan
epidermis paling tebal, terdiri atas sel-sel kuboid atau agak SePeng
dengan inti di tengah dengan nukleolus dan sitoplasma yang aktif
menyintesis filamen keratin. Tepat di atas lapisan basal, sejumlah
sel masih membelah dan zona kombinasi ini terkadang disebut
stratum germinativum. Filamen keratin membentuk berkas yang
tampak secara mikroskopis, disebut tonofibril yang berkonvergensi
dan berakhir pada sejumlah desmosom yang mengubungkan sel
bersamasama secara kuat untuk menghindari gesekan. Stioplasma
ditarik ke dalam juluran sel pendek di sekitar tonofibril pada kedua
sisi di setiap desmosom (dan juluran tersebut memanjang jika sel
mengerut sedikit ketika mengalami proses histologis), yang
menimbulkan tampilan spina atau duri kecil di permukaan sel.
Epidermis di area yang rentan mengalami gesekan dan tekanan

30
secara kontinu (seperti telapak kaki) memiliki stratum spinosum
yang lebih tebal dengan lebih banyak tonofibril dan desmosom.
3. Lapisan granular (stratum granulosum) terdiri atas 3 lapis sel
poligonal gePeng yang mengalami diferensiasi terminal.
Sitoplasmanya berisikan massa basofilik intens yang disebut granul
keratohialin. Struktur tersebut tidak berikatan dengan membran dan
terdiri atas massa filaggrin dan protein lain yang berhubungan
dengan keratin tonofibril yang menghubungkannya dengan struktur
sitoplasma besar pada proses keratinisasi yang penting. Bersama-
sama, keratinisasi dan produksi lapisan yang kaya-lipid juga
memiliki efek pelindung yang penting di kulit, yang membentuk
sawar terhadap penetrasi sebagian besar benda asing.
4. Stratum lusidum hanya dijumpai pada kulit tebal, dan terdiri atas
lapisan tipis translusen sel eosinofilik yang sangat pipih. Organel
dan inti telah menghilang dan sitoplasma hampir sepenuhnya terdiri
atas filamen keratin padat yang berhimpitan dalam matriks padat-
elektron. Desmosom masih tampak di antara sel-sel yang
bersebelahan. Komposisi tonofilamen berubah sewaktu sel
epidermis berdiferensiasi dan ketika massa tonofibril bertambah
dengan protein lain dari granula keratohialin. Setelah mengalami
keratinisasi, sel-sel hanya terdiri atas protein amorf dan fibrilar dan
membran plasma yang menebal dan disebut sisik atau sel bertanduk.
Sel-se1 tersebut secara kontinu dilepaskan pada permukaan strafum
korneum.
DERMIS
a. Merupakan lapisan jaringan ikat irreguler yang menambat
epidermis
b. Bersifat sangat vaskular, mengandung banyak pembuluh darah,
pembuluh limfe dan saraf
c. Membran basal memisahkan epidermis dari dermis
d. Mengandung kelenjar sebacea tanpa folikel rambut dan kelenjar
keringat.

31
e. Terdiri dari lapisan papilar dan retikular.
f. Lapisan papilar:
Lapisan superfisial dermis, mengandung jaringan ikat irreguler
longgar, terdapat reseptor sensorik (badan Meissner), serta jaringan
ikat dan mengandung pembuluh darah
g. Lapisan reticular:
Merupakan lapisan dermis yang lebih dalam dan lebih tebal,
jaringan ikat irreguler padat, jumlah sel-selnya lebih sedikit, lebih
banyak serat,tidak terdapat batas yang jelas antara lapisan papilar
dan retikular.
Di bagian bawah, lapisan ini menyatu dengan hipodermis,
mengandung anastomosis arteriovena dan reseptor sensorik dalam
badan Pacini, lamela konsentrik serat kolagen mengelilingi akson
bermielin pada badan Pacini

HIPODERMIS (Fascia superfisialis, jaringan subkutan)


Lapisan subkutan terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengikat kulit
secara longgar pada organ-organ di bawahnya, yang memungkinkan kulit bergeser
di atasnya. Lapisan tersebut, yang juga disebut hipodermis atau fascia
superficialis, sering mengandung sel-sel lemak yang jumlahnya bervariasi sesuai
daerah fubuh dan ukuran yang bervariasi sesuai dengan status gizi. Suplai
vaskular yang luas di lapisan subkutan meningkatkan ambilan insulin dan obat
yang disuntikkan ke dalam jaringan ini secara cepat.
Jaringan ikat kulit mengandung jalinan yang kaya akan pembuluh darah dan
pembuluh limfe. Pembuluh darah yang memberi makan pada kulit membentuk
dua pleksus utama: di dalam pada pertemuan antara hypodermis dan dermis, serta
di antara lapisan dermis papilar dan reticular di permukaan. Pleksus subpapilar
mengirimkan cabang ke dalam papilla dermis dan menyuplai suatu jalinan kapiler
nutrisi tepat di bawah epidermis. Selain fungsi nutrisi, vaskular dermis memiliki
fungsi termoregulator yang melibatkan banyak pirau atau anastomosis
arteriovenosa yang berada di antara kedua pleksus.
Varietas reseptor sensorik terdapat di kulit, termasuk ujung saraf tanpa lapisan
kolagenosa atau glia dan lebih banyak struktur kompleks dengan serabut sensorik

32
yang dilapisi oleh glia dan simpai jaringan ikat halus. Reseptor yang tidak
bersimpai mencakup struktur berikut:
a. Cakram taktil yang berhubungan dengan sel taktil epidermis dengan fungsi
sebagai reseptor unfuk sentuhan ringan.
b. Ujung saraf bebas di dermis papilar dan terjulur ke dalam lapisan
epidermis bawah" yang terutama berespons terhadap suhu tinggi dan
rendah, nyeri dan gata1, tetapi juga berfungsi sebagai reseptor taktil.
c. Pleksus akar rambut, suafu jaring serabut sensorik yang mengelilingi dasar
folikel rambut di dermis retikular yang mendeteksi gerakan rambut.
Reseptor bersimpai berikut merupakan mekanoreseptor taktil:
a. Korpuskel taktil (juga disebut korpuskel Meissner) merupakan strukfur
elips berukuran sekitar diameter ter pendek 30-75 pm dengan diameter
panjang 150 prm, yang tegak lurus terhadap epidermis di papilla dermis
dan lapisan papilar di ujung jari, telapak tangan dan telapak kaki. Reseptor
ini mendeteksi sentuhan ringan.
b. Korpuskel (Pacini) lamelar merupakan struktur oval besar dengan ukuran
sekitar 0,5 mm x 1 mm, yang ditemukan di dalam dermis atau hipodermis
retikular, dengan simpai luar dan 15 sampai 50 lamela konsentris tipis sel
tipe Schwann pipih dan kolagen yang mengelilingi akson tak bermielin
yang sangat bercabang (Gambar 18-11b). Korpuskel berlamela
dikhususkan untuk mendeteksi sentuhan kasar, tekanan (sentuhan
bersinambungan), dan getar dengan distorsi simpai yang memperkuat
suatu rangsang mekanis ke inti aksonal tempat impuls awalnya terbentuk.
c. Korpuskel Krause dan korpuskel Ruffini adalah mekanoreseptor bersimpai
Iain yang mendeteksi tekanan di dermis, tetapi strukturnya tidak terlalu
khas.

Otot Skelet

33
Otot rangka terdiri atas serabut otot, yang merupakan sel multinuklear silindris
yang sangat paniang dengan diameter 10-100 prm. Inti yang banyak ini terbentuk
akibat peleburan sel mesenkimal embrional yang disebut mioblas. Inti lonjong
yang panjang umumnya terdapat di tepian sel di bawah membran sel. Lokasi inti
sel yang khas ini membantu membedakan otot rangka dari otot jantung dan otot
polos dengan inti yang berada di tengah.
Pembuluh Darah
Struktur dan komposisi umum dari pembuluh darah hampir sama pada seluruh
sistem kardiovaskular. Komposisi dari dinding pembuluh darah adalah
extracellular matrix (EECM)) yang mempunyai kandungan elastin, kolagen, dan
glycosaminoglycans. Dinding pembuluh dara h terdiri atas tiga bagian yaitu
tunika intima, tunika media, dan tunika adventisia. Batas antara tunika intima dan
tunika media disebut lamina elastika interna, dan batas antara tunika media dan
tunika adventisia adalah lamina elastika externa. Pada arteri yang normal tunika
intima terdiri atas monolayer cells dan ECM yang dikelilingi oleh jaringan ikat,
serat saraf, dan pembuluh darah kecil dari adventisia. Tunika media mendapatkan
nutrisi dan oksigen dari l umen pembuluh darah.

34
Pembuluh darah terdiri atas lapisan - lapisan sebagai berikut (Eroschenko, 2010):
a. Tunika intima (tunika interna) terdiri atas selapis sel endotel yang
membatasi permukaan dalam pembuluh. Di bawah endotel adalah lapisan
subendotel, terdiri atas jaringan penyamb ung jarang halus yang
mengandung sel otot polos yang berperan untuk kontraksi pembuluh darah.
b. Tunika media terdiri dari sel - sel otot polos yang tersusun melingkar
(ssirkuler)). Pada arteri, tunika media dipisahkan dari tunika intima oleh
suatu membrana elas tik interna. Membran ini terdiri atas elastin, berlubang
- lubang sehingga zat - zat dapat berdifusi melalui lubang - lubang yang
terdapat dalam membran dan memberi makan sel - sel yang terletak jauh di
dalam dinding pembuluh. Pada pembuluh besar, sering ditemukan
membrana elstika externa yang lebih tipis yang memisahkan tunika media
dari tunika adventisia yang terletak di luar.
c. Tunika adventisia terdiri atas jaringan penyambung dengan serabut - serabut
elastin. Pada pembuluh yang lebih besar, vasa vasorum (pembuluh dalam
pembuluh) bercabang - cabang luas dalam tunika adventisia.
d. Vasa vasorum memberikan metabolit - metabolit untuk tuni ka adventisia
dan tunika media pembuluh - pembuluh besar, karena lapisan - lapisannya
terlalu tebal untuk diberi makanan oleh difusi dari aliran darah.

4. Luka
A. Definisi
Luka merupakan suatu bentuk kerusakan jaringan pada kulit yang
disebabkan kontak dengan sumber panas (seperti bahan kimia, air panas,
api, radiasi, dan listrik), hasil tindakan medis, maupun perubahan kondisi

35
fisiologis. Luka menyebabkan gangguan pada fungsi dan struktur anatomi
tubuh.
B. Klasifikasi dan Jenis

Berdasarkan mekanisme terjadinya luka :


1. Luka tertutup, yaitu luka yang terjadi dibawah kulit sehingga tidak
terjadi hubungan antara luka dengan dunia luar
c. Luka memar (vulnus contusum)
d. Luka trauma (vulnus traumaticum)
2. Luka terbuka, yaitu luka yang terjadi langsung melibatkan kulit
sehingga terjadi hubungan langsung antara luka dengan dunia luar
h. Luka lecet (vulnus excoriation)
i. Luka sayat (vulnus scisscum/incivisum)
j. Luka robek (vulnus laceratum)
k. Luka tusuk (vulnus punctum)
l. Luka potong (vulnus caesum)
m. Luka potong (vulnus sclopetorum)
n. Luka gigit (vulnus morsum)

Berdasarkan waktu penyembuhannya :


1. Luka akut merupakan cedera jaringan yang dapat pulih kembali
seperti keadaan normal dengan bekas luka yang minimal dalam
rentang waktu 8-12 minggu. Penyebab utama dari luka akut
adalah cedera mekanikal karena factor eksternal, dimana terjadi
kontak antara kulit dengan permukaan yang keras atau tajam, luka
tembak, dan luka pasca operasi. Penyebab lain luka akut adalah
luka bakar dan cedera kimiawi, seperti terpapar sinar radiasi,
tersengat listrik, terkena cairan kimia yang besifat korosif, serta
terkena sumber panas
2. Luka kronik merupakan luka dengan proses pemulihan yang
lambat, dengan waktu penyembuhan lebih dari 12 minggu dan
terkadang dapat menyebabkan kecacatan. Ketika terjadi luka yang
bersifat kronik, neutrophil dilepaskan dan secara signifikan

36
meningkatkan ezim kolagenase yang bertanggung jawab terhadap
destruksi dari matriks penghubung jaringan. Salah satu penyebab
terjadinya luka kronik adalah kegagalan pemulihan karena kondisi
fisiologis (seperti diabetes melitus (DM) dan kanker), infeksi
terus-menerus, dan rendahnya tindakan pengobatan yang
diberikan.
Berdasarkan Tingkat kontaminasi :
1. Luka bersih

2. Luka kontaminasi – bersih

3. Luka terkontaminasi

4. Luka kotor atau terinfeksi

37
Berdasarkan Kedalaman dan luas lukanya :
1. Stadium I : Luka superficial (Non-Blanching Erithema) yaitu luka
yang terjadi pada lapisan epidermis kulit
2. Stadium II : Luka “Partial Thickness” yaitu hilangnya lapisan kulit
pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan
luka superficial dengan adanya tanda klinis seperti abrasi, blister
atau lubang yang dangkal.
3. Stadium III : luka “ Full Thicknes” yaitu hilangnya keseluruhan
kulit meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang
dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang
mendasarinya. Luka sampai pada lapisan epidermis, dermis dan
fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai
suatu luang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan
sekitarnya.
4. Stadium IV : Luka “Full Thickness” yang telah mencapai lapisan
otot, tendon dan tulang dengan adanya destruksi atau kerusakan
yang luas.
Berdasarkan penyebab nya, luka dibagi menjadi:
1. Erosi, Abrasi, Excoriasi
Erosi: Luka hanya sampai stratum corneum
Abrasi: Luka sampai stratum spinosum
Excoriasi: Luka sampai stratum basale
2. Kontusio:
Biasanya disebabkan oleh trauma tumpul atau ledakan yang dapat
mengakibatkan kerusakan jaringan yang luas. Pada awalnya,
lapisan kulit di atasnya bisa jadi intak, tapi pada akhirnya dapat
menjadi non - viable. Hematoma berukuran besar yang terletak di
bawah kulit atau atau di dalam otot dapat menetap. Kontusio luas
dapat mengakibatkan infeksi dan compartement syndromes.
3. Laserasi:
Terjadi jika kekuatan trauma melebihi kekuatan regang jaringan,
misalnya robekan kulit kepala akibat trauma tumpul pada kepala.

38
Laserasi diklasifikasikan berdasarkan mekanisme terjadinya, yaitu:
1) Insisi:
Luka sayatan, disebabkan oleh benda tajam dimana kerusakan
jaringan sangat minimal. Contoh: luka tusuk, luka pembedahan,
terkena pecahan kaca. Cara tatalaksana yaitu ditutup dengan
bantuan jahitan, klip, staples, adhesive strips (plester) atau lem.
Luka pembedahan dapat terbuka kembali secara spontan
(dehisensi) atau dibuka kembali karena terbentuk timbunan
cairan, darah (hematoma) atau infeksi.
2) Tension laceration:
Disebabkan oleh trauma tumpul, biasanya karena tangential
force yang kekuatannya melebihi daya regang jaringan.
Akibatnya adalah terjadinya robekan kulit dengan tepi tidak
teratur disertai kontusio jaringan di sekitarnya. Contoh:
benturan dengan aspal pada kecepatan tinggi, laserasi kulit
karena pukulan tongkat dengan kekuatan tinggi.
3) Crush laceration atau compression laceration:
Laserasi kulit terjadi karena kulit tertekan di antara objek dan
tulang di bawahnya. Laserasi tipe ini biasanya berbentuk
stellate dengan kerusakan sedang dari jaringan di sekitarnya.
Contoh: laserasi kulit di atas alis seorang anak karena terjatuh
dari meja.
4) Kombinasi dari mekanisme di atas.
1) Untuk mendapatkan informasi dari pasien tentang informasi
keluhan yang sedang diderita pasien
2) Membangun komunikasi yang baik antara seorang petugas
medis dengan pasiennya.
C. Hemostasis dan mekanisme penyembuhan luka

39
Hemostasis

Mekanisme Penyembuhan Luka

40
Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks
karena adanya kegiatan bioseluler dan biokimia yang terjadi secara
berkesinambungan. Penggabungan respon vaskuler, aktivitas seluler,
dan terbentuknya senyawa kimia sebagai substansi mediator di daerah
luka merupakan komponen yang saling terkait pada proses
penyembuhan luka. Ketika terjadi luka, tubuh memiliki mekanisme
untuk mengembalikan komponen-komponen jaringan yang rusak
dengan membentuk struktur baru dan fungsional.
Proses penyembuhan luka tidak hanya terbatas pada proses
regenerasi yang bersifat lokal, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor
endogen, seperti umur, nutrisi, imunologi, pemakaian obat-obatan, dan
kondisi metabolik. Proses penyembuhan luka dibagi ke dalam lima
tahap, meliputi tahap homeostasis, inflamasi, migrasi, proliferasi, dan
maturasi. Pendarahan biasanya terjadi ketika kulit mengalami luka dan
menyebabkan bakteri maupun antigen keluar dari daerah yang
mengalami luka. Pendarahan juga mengaktifkan sistem homeostasis
yang menginisiasi komponen eksudat, seperti faktor pembekuan darah.
Fibrinogen di dalam eksudat memiliki mekanisme pembekuan
darah dengan cara koagulasi terhadap eksudat (darah tanpa sel dan
platelet) dan pembentukan jaringan fibrin, kemudian memproduksi
agen pembekuan darah dan menyebabkan pendarahan terhenti.
Keratinosit dan fibroblast memiliki peran penting dalam proses
penyembuhan luka. Keratinosit akan menstimulasi fibroblas untuk
mensintesis faktor pertumbuhan, lalu akan terjadi stimulasi proliferasi
keratinosit. Selanjutnya, fibroblas mendapatkan fenotipe miofibroblas
di bawah control dari keratinosit. Hal ini dipengaruhi oleh
keseimbangan antara proinflamator atau pembentukan factor
pertumbuhan (TGF)- β-dominated.
Homeostasis memiliki peran protektif yang membantu dalam
penyembuhan luka. Pelepasan protein yang mengandung eksudat ke
dalam luka menyebabkan vasodilatasi dan pelepasan histamin maupun
serotonin. Hal ini memungkinkan fagosit memasuki daerah yang

41
mengalami luka dan memakan sel-sel mati (jaringan yang mengalami
nekrosis). Eksudat adalah cairan yang diproduksi dari luka kronik atau
luka akut, serta merupakan komponen kunci dalam penyembuhan luka,
mengaliri luka secara berkesinambungan dan menjaga keadaan tetap
lembab. Eksudat juga memberikan luka suatu nutrisi dan menyediakan
kondisi untuk mitosis dari sel-sel epitel.
Pada tahap inflamasi akan terjadi udema, ekimosis, kemerahan,
dan nyeri. Inflamasi terjadi karena adanya mediasi oleh sitokin,
kemokin, faktor pertumbuhan, dan efek terhadap reseptor. Selanjutnya
adalah tahap migrasi, yang merupakan pergerakan sel epitel dan
fibroblas pada daerah yang mengalami cedera untuk menggantikan
jaringan yang rusak atau hilang. Sel ini meregenerasi dari tepi, dan
secara cepat bertumbuh di daerah luka pada bagian yang telah tertutup
darah beku bersamaan dengan pengerasan epitel.
Tahap proliferasi terjadi secara simultan dengan tahap migrasi dan
proliferasi sel basal, yang terjadi selama 2-3 hari. Tahap proliferasi
terdiri dari neoangiogenesis, pembentukan jaringan yang tergranulasi,
dan epitelisasi kembali. Jaringan yang tergranulasi terbentuk oleh
pembuluh darah kapiler dan limfatik ke dalam luka dan kolagen yang
disintesis oleh fibroblas dan memberikan kekuatan pada kulit. Sel
epitel kemudian mengeras dan memberikan waktu untuk kolagen
memperbaiki jaringan yang luka.
Proliferasi dari fibroblas dan sintesis kolagen berlangsung selama
dua minggu. Tahap maturasi berkembang dengan pembentukkan
jaringan penghubung selular dan penguatan epitel baru yang
ditentukan oleh besarnya luka. Jaringan granular selular berubah
menjadi massa aselular dalam waktu beberapa bulan sampai 2 tahun.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Lin et al. terhadap tikus putih, IL-
6 berperan dalam proses penyembuhan luka. IL-6 memiliki peran
penting di dalam proses regulasi terhadap infiltrasi leukosit,
angiogenesis, dan akumulasi kolagen. Angiogenesis memiliki faktor
seperti FGF- 1 dan FGF-2 ketika terjadi hipoksia jaringan. FGF-2

42
bekerja dengan menstimulasi sel endotelial untuk melepaskan aktivator
plasminogen dan prokolagenase.
Aktivator plasminogen akan mengubah plasminogen menjadi
plasmin dan prokolagenase untuk mengaktifkan kolagenase, lalu akan
terjadi digesti konstituen membran dasar. Ekspresi kolagenase
menghasilkan proses perbaikkan jaringan pada matriks ekstraselular
dan juga memiliki peran penting dalam menginisiasi migrasi
keratinosit dalam proses penyembuhan luka. H2O2 juga dilaporkan
memiliki aktivitas yang baik dalam proses penyembuhan luka, melalui
penelitian yang dilakukan oleh Roy et al. Dalam konsentrasi yang
rendah, H2O2 memfasilitasi terjadinya angiogenesis luka secara in
vivo. H2O2 menginduksi fosforilasi FAK dalam jaringan yang luka
secara in vivo dan di dalam lapisan dermal mikrovaskuler sel
endotelial. H2O2 menginduksi daerah fosforilasi spesifik (Tyr-925 dan
Tyr-861) dari FAK.
Daerah lain yang sensitif terhadap H2O2 adalah daerah
autofosforilasi Tyr-397. Faktor parakrin dari stem sel mesenkimal juga
berpengaruh terhadap makrofag dan sel endotelial, terutama dalam
meningkatkan proses pemulihan luka. Bone marrow derived
mesenchymal stem cells (BMMSCs) berperan dalam proses pemulihan
luka yang dilepaskan dari jaringan dermal fibroblas. BM-MSCs
menghasilkan sitokin dan kemokin yang berbeda, termasuk VEGF-α,
IGF-1, EGF, faktor pertumbuhan keratinosit, angiopoietin-1, faktor
turunan stromal-1, makrofag inflamator protein-1 α dan β, serta
eritropoietin.
BM-MSCs dalam medium yang telah dikondisikan, secara
signifikan dapat meningkatkan migrasi dari makrofag, keratinosit, dan
sel endotelial, serta proliferasi dari keratinosit dan sel endotelial,
dibandingkan terhadap fibroblast dalam medium yang telah
dikondisikan. Jadi melalui penelitian yang telah dilakukan, faktor yang
dihasilkan oleh BM-MSCs dari makrofag dan sel endotelial ke dalam
luka, meningkatkan proses penyembuhan luka.

43
5. Pemeriksaan Fisik

A. Tanda-tanda Vital
a. Keadaan umum
1) Dapat menilai apakah pasien dalam keadaan darurat medik
atau tidak.
2) Keadaan gizi dan habitus.
3) Habitus : Atletikus à BB dan bentuk badan ideal; Astenikus, à
pasien yang kurus; Piknikus à pasien yang gemuk
4) Keadaan gizi à kurang, cukup atau berlebih.
5) BB dan TB harus diukur sebelum pemeriksaan fisis
dilanjutkan.
6) Indeks Masa Tubuh (Body Mass Index) :
BB ideal = IMT 18,5 – 25
BB kurang = IMT < 18,5
BB lebih = IMT > 25
OBESITAS = IMT > 30
b. Pemeriksaan Kesadaran

Pemeriksaan tingkat kesadaran berguna dalam menegakkan


diagnosis maupun menentukan prognosis penderita. Tingkat
kesadaran menunjukkan kewaspadaan atau reaksi seseorang dalam
menanggapi rangsangan dari luar yang ditangkap oleh panca
indera. Sedangkan isi kesadaran berhubungan dengan fungsi
kortikal seperti membaca, menulis, bahasa, intelektual, dan lain-
lain. Tingkat kesadaran yang menurun biasanya diikuti dengan
gangguan isi kesadaran. Sedangkan gangguan isi kesadaran tidak
selalu diikuti dengan penurunan tingkat kesadaran.
Penurunan tingkat kesadaran di ukur dengan Glasgow Coma
Scale (GCS). Pemeriksaan GCS didasarkan pada pemeriksaan
respon dari mata, bicara dan motorik.

44
a. Kompos mentis :
Sadar sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun terhadap
lingkungan. Pasien dapat menjawab pertanyaan pemeriksa dgn
baik

b. Apatis :
Pasien tampak segan dan acuh tak acuh terhadap lingkungannya.
c. Delirium :
Penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik. Gaduh gelisah,
kacau, disorientasi, meronta-ronta.
d. Somnolen :
Mengantuk yg masih pulih bila dirangsang. Tidur kembali bila
rangsangan berhenti.
e. Sopor (stupor) :
Keadaan mengantuk yg dalam. Dapat bangun dgn rangsangan yg
kuat . Tidak dapat memberi jawaban verbal yang baik
f. Koma :
Penurunan kesadaran berat. Tidak ada gerakan spontan. Tidak ada
respons terhadap rangsangan nyeri
b. Tekanan darah
Tekanan darah adalah kekuatan darah ketika mendorong
dinding arteri. Tekanan darah tergantung pada luaran kardiak,
volume darah yang diejeksi oleh ventrikel permenit, dan tahanan
pembuluh darah perifer.
Tekanan darah mempunyai dua komponen: sitolik dan
diastolik. Tekanan darah sistolik menggambarkan tekanan
maksimum pada arteri ketika kontraksi ventrikel kiri (atau sistol),
dan diatur oleh volume stroke (atau volume darah yang dipompa

45
keluar pada setiap denyut jantung). Tekanan darah diastolik adalah
tekanan saat istirahat yaitu tekanan dari darah antar kontraksi
ventrikel. Karena diastol berlangsung lebih lama daripada sistol,
tekanan darah rerata setara dengan 40% tekanan sistolik ditambah
60% tekanan diastolik.

c. Frekuensi nadi
Ketika jantung berdenyut, jantung memompa darah melalui aorta
dan pembuluh darah perifer. Pemompaan ini menyebabkan darah
menekan dinding arteri, menciptakan gelombang tekanan seiring
dengan denyut jantung yang pada perifer terasa sebagai denyut/detak
nadi.
Pada seseorang, nadi dipengaruhi beberapa hal yaitu aktivitas
badan, psikis penderita, dalam menghadapi suatu yang berdebar-
debar, pulsus frequen, dapat karena penyakit cardial/extra cardial
suhu, dan obat (adrenalin, noradrenalin, kopi). Kenaikan suhu badan
naik satu derajat maka naik 10 denyut per menit (contoh bila suhu
380C maka nadi 80, suhu 390C maka nadi 90).
Usia Kecepatan jantung (BPM)
Bayi baru lahir (newborn) 70‐170
1‐6 tahun 75‐160
6‐12 tahun 80‐120
Dewasa 60‐100
Usia Lanjut 60‐100
Atlet yang terkondisi baik 50‐100
d. Frekuensi napas
Kecepatan pernafasan normal bervariasi tergantung usia.

46
Usia Pernafasan (rpm)
2‐6 tahun 21‐30
6‐10 tahun 20‐26
12‐14 tahun 18‐22
Dewasa 12‐20
Lanjut usia 12‐20
Respirasi normal disebut eupnea (laki-laki : 12 – 20 x/menit),
perempuan : 16-20 x/menit)
RR > 24 x/menit : Takipnea
RR < 10 x/menit : Bradipnea

e. Suhu Tubuh
Untuk menjaga fungsi metabolisme normal, suhu tubuh secara
umum diatur oleh hipotalamus agar selalu berada pada rentang
suhu yang sempit. Rentang suhu tubuh normal untuk dewasa
adalah 36,4-37,2°C (97,5 – 99,0 °F). Suhu tubuh normal dapat
dipengaruhi oleh ritme biologis, hormon-hormon, olahraga dan
usia. Fluktuasi diurnal sekitar 1°C biasa terjadi, dengan suhu
terendah pada awal pagi hari dimana suhu dapat turun serendah
35,8°C (96,4°F) dan tertinggi pada akhir sore hari sampai
menjelang malam, suhu dapat meningkat hingga 37,3°C (99,1°F).

Hipotermia (<35° C)
Normal (35-37° C)
Pireksia/febris (37-41,1° C)
Hipertermia (>41,1° C)

f. Visual Analog Scale (VAS)


VAS adalah suatu garis lurus yang mewakili intensitas nyeri
yang terus menerus dan memiliki alat pendeskripsi verbal pada
ujungnya. Skala yang terdapat pada VAS bernama skala Likert,

47
memiliki garis lurus dari mulai nol sampai 10, atau dari nol sampai
100. Penggunaan skala dalam VAS didukung oleh keterangan visual
berupa gambar ekspresi rasa sedih. Skala ini memberi klien
kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri.
VAS memuat hanya satu pertanyaan yang dapat dijawab oleh
responden. Pasien menandai angka pada garis yang
menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan. Keuntungan
menggunakan metoda ini adalah sensitif untuk mengetahui
perubahan intensitas nyeri, mudah dimengerti dan dikerjakan, dan
dapat digunakan dalam berbagai kondisi klinis. Kerugiannya adalah
tidak dapat digunakan pada anak-anak dibawah 8 tahun dan
mungkin sukar diterapkan jika pasien sedang berada dalam nyeri
hebat.

Skala ini mudah digunakan bagi pemeriksa, efisien dan lebih


mudah dipahami oleh pasien. Klasifikasi berdasarkan intensitas
nyeri yang dinilai dengan Visual Analog Scale (VAS) adalah
angka 0 berarti tidak nyeri dan angka 10 berarti intensitas nyeri
paling berat. Berdasarkan VAS, maka nyeri dibagi atas:
a. Nyeri ringan dengan nilai VAS: < 4 (1-3)
b. Nyeri sedang dengan nilai VAS: (4 -7)
c. Nyeri berat dengan nialai VAS: >7 ( 8-10)

Pasien dengan penglihatan terganggu, anak anak, serta orang


dewasa dengan kognitif yang terganggu tidak dapat menggunakan
skala ini.
Pemeriksaan Fisik Pergelangan Kaki dan Kaki

48
1. Inspeksi
Amati semua permukaan pergelangan kaki dan kaki,
perhatikan ada tidaknya deformitas, nodul, pembengkakan,
kalus.
2. Palpasi.
Dengan jempol Anda, palpasi aspek anterior masing-
masing sendi pergelangan kaki , perhatikan ada tidaknya
penebalan, pembengkakan, atau nyeri. Rabalah seluruh
tendon Achilles untuk mencari ada tidaknya nodul dan nyeri
tekan.
a. Palpasi tumit, khususnya kalkaneus posterior dan
inferior, serta fasia plantaris untuk mencari ada tidaknya
nyeri tekan.

b. Palpasi untuk mencari ada tidaknya nyeri tekan di


maleolus medial dan lateral, khususnya pada kasus
trauma.
c. Palpasi sendi-sendi meta tarsofalang untuk mencari ada
tidaknya nyeri tekan. Tekan kaki depan di antara jempol
dan jari-jari Anda. Berikan tekanan tepat proksimal dari
kaput-kaput metatarsal pertama dan kelima.

49
d. Palpasi kaput-kaput kelima tulang metatarsal dan alur di
antara mereka dengan jempol dan telunjuk Anda.
Letakkan jempol di punggung kaki dan telunjuk Anda di
permukaan telapak kaki.

Rentang Gerak
Periksa fleksi dan ekstensi di sendi tibiotalus (pergelangan
kaki) Di kaki, periksa inversi dan eversi di sendi subtalus dan
tarsal transversus.

6. Anamnesis dan Kegawatdaruratan


Dilakukan dengan 2 cara yaitu :
1) Autoanamnesa : dilakukan secara langsung dengan pasien. Kemudian
pasien sendirilah yang menjawab pertanyaan dan menceritkan kondisi nya
2) Alloanamnesa : dilakukan dengan orang lain seperti keluarga pasien atau
sahabat pasien guna untuk memperoleh infomasinyang tepat.
A. Langkah/Kegiatan
Membuka wawancara :
1) Mengucapkan salam, lalu pemeriksa berdiri, melakukan jabat tangan
dan memperkenalkan diri
2) Mempersilahkan pasien duduk berhadapan

50
3) Menyampaikan maksud dan tujuan dilakukan anamnesis
(mengidentifikasi dan mengkonfirmasi permasalahan pasien).
4) Memberikan respon yang baik untuk membina hubungan dan saling
percaya
5) Menjaga suasana santai dan rileks, berbicara dengan vokal yang jelas
dengan menggunakan bahasa yang dapat dipahami.
B. Pertanyaan Anamnesis
1) Menanyakan identitas pasien: nama, umur, alamat & pekerjaan
2) Menanyakan keluhan utama
3) Menanyakan riwayat perjalanan penyakit
a) Onset
b) Kronologi
c) Kuantitas
d) Kualitas
e) Faktor yang memperberat,
f) Faktor yang memperingan
g) Gejala yang menyertai
4) Menanyakan Riwayat Penyakit Dahulu (apakah ada kaitan dengan
penyakit sekarang, apakah ada gejala sisa, apakah ada pengaruh
terhadap pengelolaan selanjutnya, apakah ada riwayat alergi).
Pertanyaan yang diajukan: pernahkah menderita penyakit berat,
pernakah mengalami pembedahan, pernakah mengalami masalah
emosional).Didalam status terdapat anamnesis sistem
(keluhan/kelainan patologis yang bukan bagian Riwayat Penyakit
Sekarang dan belum ditulis dalam Riwayat Penyakit Dahulu) yaitu
deskripsikan keluhan tentang : kepala, mata, telinga,hidung,
mulut,tenggorokan, leher,jantung, paru-paru,lambung,usus,alat
kelamin,riwayat haid, saraf,otot, berat badan.
5) Menanyakan riwayat kesehatan keluarga (peran herediter atau kontak)
6) Menanyakan riwayat sosial ekonomi
7) Menanyakan Riwayat kebiasaan sosial (Social history) :
a) Olahraga
b) Merokok

51
c) Diet
d) Hubungan suami-istri
e) Hubungan dengan tetangga dan teman
8) Hal yang Harus Diperhatikan
1) Penggunaan bahasa yang mudah dipahami pasien
2) Menggunakan pertanyaan terbuka secara tepat
3) Menggunakan pertanyaan tertutup secara tepat

PENILAIAN TERHADAP LUKA


Assessment didefinisikan sebagai kegiatan untuk mendapatkan informasi,
yang diperoleh dengan cara mengamati, memberikan pertanyaan serta melakukan
pemeriksaan fisik dan penunjang. Informasi tersebut berguna untuk menegakkan
diagnosis kerja dan merencanakan program penatalaksanaan selanjutnya.
Dua hal penting yang pertama kali harus dinilai oleh dokter dalam
memberikan penatalaksanaan luka adalah :
1.Menilai adanya kegawatan, yaitu apakah terdapat kondisi yang membahayakan
jiwa pasien (misalnya luka terbuka di dada atau abdomen yang kemungkinan
dapat merusak struktur penting di bawahnya, luka dengan perdarahan arteri
yang hebat, luka di leher yang dapat mengakibatkan obstruksi pernafasan dan
lain-lain).
2. Menilai apakah luka akut atau kronis.

Penilaian luka dilakukan terhadap 2 aspek, yaitu terhadap pasien dan terhadap
luka itu sendiri.
Penilaian Terhadap Pasien
Anamnesis
Aspek anamnesis dalam penilaian luka bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi penyembuhan luka (tabel 1).
Anamnesis meliputi :
1. Riwayat luka :
f. Mekanisme terjadinya luka.
g. Kapan terjadinya luka : setelah 3 jam (golden periode< 6 jam), kolonisasi
bakteri dalam luka akan meningkat tajam.

52
h. Di mana pasien mendapatkan luka tersebut.
i. Bila saat pasien datang luka telah dibersihkan tetap harus ditanyakan
adakah kontaminan dalam luka, misalnya logam, kotoran hewan atau
karat. Adanya kontaminan dalam luka meningkatkan risiko terjadinya
infeksi dan tetanus.
j. Perdarahan dan jumlah darah yang keluar.

Faktor yang dinilai


11. Adanya penyakit lain :
Underlying disease dapat menghambat:
a. Anemia
b. Arteriosklerosis
c. Keganasan
d. Diabetes
e. Penyakit autoimun
f. Penyakit inflamasi
g. Gangguan fungsi hati
h. Rheumatoid arthritis
i. Gangguan fungsi ginjal
Dapat menghambat penyembuhan luka karena :
a. Mengganggu deposisi kolagen jaringan
b. Berkurangnya vaskularisasi berakibat penurunan suplai oksigen dan nutrisi
c. Berkurangnya mobilitas
d. Pengaruh terhadap metabolisme sel
12. Infeksi
Respons host terhadap bakteri/ reaksi inflamasi akan memperlambat
penyembuhan luka.
13. Umur dan komposisi tubuh
Kapasitas kulit untuk memperbaiki diri semakin menurun dengan
bertambahnya usia.
14. tatus nutrisi

53
Penyembuhan luka memerlukan nutrisi-nutrisi tertentu. Undernutrition
dan overnutrition (obesitas) mempengaruhi penyembuhan luka.
15. Merokok
Merokok mengakibatkan vasokonstriksi sehingga suplai oksigen dan
nutrisi ke daerah luka berkurang.
16. Pengobatan
Obat-obat steroid, AINS, kemoterapi, imunosupresan dan
antiprostaglandin mengganggu penyembuhan luka dan meningkatkan risiko
terjadinya infeksi.
17. Status psikologis
Stress memperlambat penyembuhan luka.
18. Lingkungan sosial dan hygiene
19. Akses terhadap perawatan luka
20. Riwayat perawatan luka sebelumnya
2. Keluhan yang dirasakan saat ini :
a. Rasa nyeri
Rasa nyeri pada luka kronis dirasakan sebagai nyeri hebat, persisten
dan mengakibatkan pasien sulit tidur, gangguan emosi, rendah diri serta
depresi.
b. Gejala infeksi : kemerahan, bengkak, demam, nyeri.
c. Gangguan fungsi motorik atau sensorik : menunjukkan kemungkinan
terjadinya kerusakan otot, ligamentum, tendo atau saraf.
3. Riwayat kesehatan dan penyakit pasien secara keseluruhan :
Menilai faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka dan pemilihan
regimen penanganan luka, yaitu :
a. Umur
b. Dehidrasi : gangguan keseimbangan elektrolit mempengaruhi fungsi
jantung, ginjal, metabolisme seluler, oksegenasi jaringan dan fungsi
endokrin.
c. Status psikologis
Status psikologis pasien berpengaruh pada pemilihan regimen terapi yang
tepat bagi pasien tersebut.Pemilihan regimen terapi dengan

54
mempertimbangkan status psikologis pasien mempengaruhi kepatuhan
pasien terhadap terapi yang ditetapkan dokter.
d. Status nutrisi
Nutrisi berperan penting dalam proses penyembuhan luka (tabel 2).
Kekurangan salah satu atau beberapa nutrient mengakibatkan
penyembuhan luka terhenti pada tahapan tertentu.
e. Berat badan
Pada pasien dengan obesitas, adanya lapisan lemak yang tebal di sekitar
luka dapat mengganggu penutupan luka.Selain itu, vaskularisasi jaringan
adiposa tidak optimal sehingga jaringan adiposa merupakan salah satu
jenis jaringan yang paling rentan terhadap trauma dan infeksi.
f. Vaskularisasi ke area luka.
Penyembuhan luka di kulit paling optimal di area wajah dan leher karena
merupakan area dengan vaskularisasi paling baik.Sebaliknya dengan
ekstremitas.Kondisi-kondisi yang mengakibatkan gangguan vaskularisasi
ke area luka, misalnya diabetes atau arteriosklerosis, dapat memperlambat
atau bahkan menghentikan penyembuhan luka.
g. Respons imun.
h. Penyakit kronis, seperti penyakit endokrin, keganasan, inflamasi dan
infeksi lokal serta penyakit autoimmun.
i. Radioterapi
j. Riwayat alergi : makanan, obat (anestetik, analgetik, antibiotik,
desinfektan, komponen benang, lateks/plester dan lain-lain).
4. Riwayat penanganan luka yang sudah diperoleh :
a. Status vaksinasi tetanus
b. Penutupan luka : jahitan, balutan
c. Penggunaan ramuan-ramuan topikal : salep, powder, kompres, ramuan
herbal dan lain-lain.
d. Penggunaan antibiotika.
5. Konsekuensi luka dan bekas luka bagi pasien :
Konsekuensi yang dinilai meliputi konsekuensi luka terhadap :
a. Kemampuan pasien dalam melakukan aktifitas sehari-hari.

55
b. Pekerjaan pasien.
c. Aspek kosmetik.
d. Kondisi psikologis pasien.
Pembentukan jaringan parut sebagai konsekuensi dari penyembuhan luka juga
harus dipertimbangkan dari aspek fungsional (terjadinya kontraktur) dan
pertimbangan kosmetik.
Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan tanda vital
2. Pemeriksaan fisik umum : bertujuan mencari tanda adanya faktor komorbid,
seperti :
a. Inspeksi mukosa konjungtiva dan bibir (mengetahui kemungkinan
anemia).
b. Menilai status gizi (mengetahui adanya malnutrisi atau obesitas).
c. Pemeriksaan neurologi (reflex dan sensasi – mengetahui kemungkinan
neuropati).
d. Pemeriksaan kardiovaskuler (menilai oksigenasi jaringan dan
kemungkinan adanya penyakit vaskuler perifer).
3. Penilaian adanya infeksi :
a. Gejala dan tanda umum : demam, malaise, limfadenopati regional
b. Gejala dan tanda lokal : edema, eritema, rasa nyeri, peningkatan suhu
lokal, gangguan fungsi.
4. Penilaian terhadap terjadinya kerusakan struktur di bawah luka (pembuluh
darah, saraf, ligamentum, otot, tulang) :
1) Pembuluh darah :
a. Cek pengisian kapiler : adakah pucat atau sianosis, apakah suhu area di
distal luka teraba hangat.
b. Cek pulsasi arteri di distal luka.
c. Jika terdapat perdarahan, dinilai apakah perdarahan berasal dari kapiler,
vena atau arteri. Dilakukan penanganan sesuai dengan sumber perdarahan.
2) Saraf :
a. Lakukan penilaian status motorik (kekuatan otot, gerakan) dan fungsi
sensorik di distal luka.

56
b. Penilaian status sensorik harus selalu dilakukan sebelum tindakan infiltrasi
anestesi.
3) Otot dan tendo :
Kerusakan tendo dapat dinilai dengan inspeksi, akan tetapi tetap harus
dilakukan penilaian terhadap range of motion dan kekuatan dari tiap otot
dan tendo di sekitar luka.
4) Tulang :
Dinilai adakah fraktur (terbuka atau tertutup) dan dislokasi.

57
Keadaan dasar luka (wound bed)
Keadaan dasar luka mencerminkan tahapan penyembuhan luka. Karakteristik
dasar luka bervariasi dan sering diklasifikasikan berdasarkan tipe jaringan yang
berada di dasarnya, yaitu : nekrotik, sloughy, granulasi, epithelial dan jaringan
hipergranulasi. Pada satu luka sering terdapat beberapa jenis tipe jaringan
sekaligus.Keadaan dasar luka menentukan pemilihan dressing.
Lokasi luka
Lokasi dan posisi mempengaruhi pemilihan dressing, sebagai contoh jenis
dan ukuran dressing untuk luka di abdomen berbeda dengan dressing untuk luka
di tumit atau jari-jari kaki.
Ukuran luka
Harus diukur panjang, lebar, lingkar luka, kedalaman luka dan luas dasar
luka, serta perubahan ukuran luka setiap kali pasien datang. Pergunakan alat ukur
yang sama supaya hasil ukuran akurat dan dapat saling diperbandingkan.
Kedalaman luka diukur dengan bantuan aplikator atau cotton-bud yang
dimasukkan tegak lurus ke dasar luka terdalam -- tandai aplikator -- ukur dengan
penggaris.
Kadang kerusakan jaringan dan nekrosis meluas ke lateral luka, di bawah
kulit, sehingga sering tidak terlihat.Perlu dinilai ada tidaknya pembentukan sinus,
kavitas, traktus atau fistula, yang dapat mengganggu drainase eksudat, berpotensi
infeksi dan menghambat penyembuhan luka.Penyembuhan luka ditandai dengan
berkurangnya ukuran luka.
Tipe dan jumlah eksudat
Terlihat pada luka terbuka. Selama penyembuhan luka, jenis dan jumlah
pembentukan eksudat bervariasi.Luka terus menghasilkan eksudat sampai
epitelisasi terjadi secara sempurna. Kuantitas eksudat bervariasi dari sedikit,
sedang, banyak, dan sangat banyak (profuse).Biasanya, makin besar ukuran luka,
makin banyak eksudat yang terbentuk. Berdasarkan kandungan material di
dalamnya, eksudat dibedakan menjadi : serous, serohemoragis, hemoragis dan
purulen (pus).
Tingkat kelembaban luka dan jumlah eksudat mempengaruhi pemilihan
dressing.Perban harus dapat menyerap cairan berlebihan sekaligus

58
mempertahankan kelembaban lingkungan luka. Dokter harus waspada jika luka
menghasilkan banyak eksudat. Eksudat banyak mengandung protein, sehingga
pada beberapa kasus dengan luka eksudatif yang luas, misalnya luka bakar luas,
diperlukan pemantauan kadar protein serum.
Bau
Luka diklasifikasikan sebagai tidak tidak berbau, berbau dan sangat berbau.
Bau luka berdampak psikologis sangat hebat bagi pasien. Bau biasanya terjadi
pada luka terinfeksi, ditimbulkan oleh adanya jaringan nekrotik, eksudat dan
material toksik dalam luka (pus, debris dan bakteri), sehingga tindakan
membersihkan luka dan nekrotomi dapat mengurangi bau dan memperbaiki
infeksi.Akan tetapi, hal ini tidak dapat sepenuhnya dilakukan pada lesi
maligna.Pada kasus-kasus ini, bau luka dikurangi dengan mengaplikasikan
balutan mengandung antibiotik, balutan mengandung karbon, larval therapy atau
gel antibakteri.
Nyeri
Rasa nyeri akan membatasi aktifitas, mempengaruhi mood dan berdampak
besar terhadap kualitas hidup pasien. Nyeri merupakan tanda bahwa luka tidak
mengalami penyembuhan atau terjadi infeksi pada luka. Nyeri pada luka harus
diidentifikasi penyebabnya (inflamasi atau infeksi), kualitas dan kuantitasnya.
Tepi luka
Tepi luka dapat menyempit atau justru melebar. Dapat menggaung (meluas
ke lateral, di bawah kulit -undermining), membentuk kavitas, traktus atau sinus.
Tepi luka bisa curam, landai, regular, ireguler atau meninggi.Selama
penyembuhan luka pasti terjadi perubahan bentuk luka.Penting untuk memantau
dan mencatat keadaan tepi luka karena merupakan indikator penyembuhan luka.

Kulit di sekitar luka


Maserasi kulit di sekitar luka terjadi karena retensi cairan, sering diakibatkan
oleh pemilihan dressing yang kurang tepat.Kondisi ini dapat menjadi fokus
infeksi dan menghambat penyembuhan luka. Kulit kering dan berskuama juga
berpotensi infeksi karena masuknya bakteri melalui retakan-retakan

59
epidermis.Jaringan nekrotik harus dibersihkan dan kulit harus direhidrasi kembali
dengan krim pelembab.
Kegawatdaruratan
Menurut Miles dari Medical Council New Zealand, kegawatdaruratan medis
adalah keadaan tiba-tiba yang terjadi dan membutuhkan perawatan segera untuk
menyelamatkan nyawa atau mencegah kecacatan atau rasa sakit pada pasien.
Menurut Dorland, kegawatdaruratan adalah kejadian yang tidak diduga atau
terjadi secara tiba-tiba, seringkali merupakan kejadian yang berbahaya.
Prinsip umum penanganan kasus gawat darurat: Dalam prinsip umum,
petugas kesehatan dan pasien adalah sama – sama subjek, sebagai mitra yang
bekerja sama dalam menangani suatu kondisi suatu kasus kegawatdaruratan
(Maryunani A dan Eka P, 2013: 3 – 6). 1)
1. Stabilisasi pasien
Setelah kita mengenali kondisi kegawatdaruratan, lakukan stabilisasi
keadaan pasien sebelum melakukan rujukan. Elemen – elemen penting
dalam stabilisasi pasien:
a) Menjamin kelancaran jalan nafas, pemulihan respirasi dan sirkulasi
b) Menghentikan sumber perdarahan dan infeksi
c) Mengganti cairan tubuh yang hilang
d) Mangatasi rasa nyeri atau gelisah
2. Terapi cairan
a) Antisipasi ini dilakukan pada tahap awal untuk persiapan jika kemudian
hari penambahan cairan di butuhkan.
b) Pemberian cairan ini harus di perhatikan baik jenis cairan, banyaknya
cairan yang diberikan, kecepatan pemberian misalnya cairan yang sesuai
dengan diagnosis.
3. Resusitasi jantung paru (RJP)
a) Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan gabungan penyelamatan
pernafasan (bantuan nafas) dengan kompresi dada eksternal. RJP di
gunakan ketika seseorang mengalami henti jantung dan henti nafas.
b) Dalam melakukan RJP, sebagai seorang penolong harus:
Mempertahankan terbukanya jalan nafas (Airway=A)

60
Memberikan nafas untuk pasien (Breathing=B)
Mengusahakan kembalinya sirkulasi pasien (Circulation=c)
c) Dalam prinsip RJP selalu mengikutsertakan ABC:
Suatu pernafasan tidak ada akan efektif jika jalan nafas tidak terbuka.
Pernafasan buatan tidak efektif pula jika sirkulasi terhenti.
Darah yang bersirkulasi tidak akan efektif, kecuali darah tersebut
teroksigenisasi.
Selalu di ingat jika perdarahan dapat mengganggu sirkulasi
Oleh karena itu jika seorang pasien kehilangan darah terlalu banyak
maka RJP yang dilakukan tidak efektif.
d) Pemantauan kandung kemih
Dalam pemantauan kandung kemih, sebaiknya menggunakan kateter
untuk mengukur banyaknya urin yang keluar guna menilai fungsi
ginjal dan keseimbangan pemasukan dan pengeluaran cairan.
Jika katerisasi tidak mungkin dilakukan, urin di tampung dan dicatat
kemungkinan terdapat peningkatan konsetrasi urin (urin berwarna
gelap) atau produksi urin berkurang sampai tidak ada urin sama sekali.
Jika produksi urin mula – mula rendah kemudian semakin bertambah,
hal ini menunjukan bahwa kondis pasien membaik.
Diharapkan produksi urin paling sedikit 100 ml/4 jam atau 30 ml/ jam.
e) Rujukan
Apabila fasilitas medik di tempat kasus diterima terbatas untuk
menyelesaikan kasus dengan tindakan klinik yang adekuat, maka kasus
harus di rujuk ke fasilitas kesehatan lain yang lebih lengkap
Seharusnya sebelum kasus di rujuk, fasilitas kesehatan yang akan
menerima rujukan sudah di hubungi dan di beritahu terlebih dahulu
sehingga persiapan penanganan ataupun perawatan inap telah
dilakukan dan di yakini rujukan kasus tidak akan ditolak.
1. Airway
Pengkajian jalan nafas bertujuan menilai apakah jalan nafas paten
(longgar) atau mengalami obstruksi total atau partial sambil
mempertahankan tulang servikal. Sebaiknya ada teman Anda

61
(perawat) membantu untuk mempertahankan tulang servikal. Pada
kasus non trauma dan korban tidak sadar, buatlah posisi kepala
headtilt dan chin lift (hiperekstensi)sedangkan pada kasus trauma
kepala sampai dada harus terkontrol atau mempertahankan tulang
servikal posisi kepala.
Pengkajian pada jalan nafas dengan cara membuka mulut korban
dan lihat: Apakah ada vokalisasi, muncul suara ngorok; Apakah
ada secret, darah, muntahan; Apakah ada benda asing sepertigigi
yang patah; Apakah ada bunyi stridor (obstruksi dari lidah).
Apabila ditemukan jalan nafas tidak efektif maka lakukan tindakan
untuk membebaskan jalan nafas.
2. Breathing
Pengkajian breathing (pernafasan) dilakukan setelah penilaian jalan
nafas. Pengkajian pernafasan dilakukan dengan cara inspeksi,
palpasi. Bila diperlukan auskultasi dan perkusi. Inspeksi dada
korban: Jumlah, ritme dan tipepernafasan; Kesimetrisan
pengembangan dada; Jejas/kerusakan kulit; Retraksi intercostalis.
Palpasi dada korban: Adakah nyeri tekan; Adakah penurunan
ekspansi paru. Auskultasi: Bagaimanakah bunyi nafas (normal atau
vesikuler menurun); Adakah suara nafas tambahan seperti ronchi,
wheezing, pleural friksionrub. Perkusi, dilakukan di daerah thorak
dengan hati hati, beberapa hasil yang akan diperoleh adalah
sebagai berikut: Sonor (normal); Hipersonor atau timpani bila ada
udara di thorak; Pekak atau dullnes bila ada konsolidasi atau
cairan.
3. Circulation
Pengkajian sirkulasi bertujuan untuk mengetahui dan menilai
kemampuan jantung dan pembuluh darah dalam memompa darah
keseluruh tubuh. Pengkajian sirkulasi meliputi: Tekanan darah;
Jumlah nadi; Keadaan akral: dingin atau hangat; Sianosis;
Bendungan vena jugularis.

62
VII. Kerangka Konsep

Dani, 18 tahun, terinjak benda


tajam

Luka Sedalam 0,5 cm,


panjang 3 cm

Pelepasan Mediator

Rangsangan dikirim
nosiseptor

Substansi P

Dibawa melalui T.
spinotalamic

Somatosensorik
Korteks

Nyeri

Anamnesis Pemeriksaan
1. Onset Fisik
2. Kronologi 1. Vital sign
3. Kualitas & 2. Inspeksi
Kuantitas 3. Palpasi

Kegawatdaruratan

Tata Laksana

Fisik: Dijahit Symptom: Obat


Analgesik

63
VIII. Kesimpulan
Dian, 18 tahun, mengalami nyeri akut akibat luka terkena paku di
regio plantar pedis dextranya.

DAFTAR PUSTAKA
Ariningrum, Dian, dkk. 2018. Manajemen Luka. Surakarta: Universitas Sebelas
Maret.
Bahrudin, Mochamad. 2017. Patofisiologi Nyeri (Pain). Jurnal Volume 13 Nomor
1 Tahun 2017.
U. D., Reips & F. Funke. 2008. Interval Level Measurement With Visual
Analogue Scales In Internet - Based Research: VAS Generator. American
Psychological Assosiation.
Bagian 2019. Modul Penentun Skill Lab Vital Sign. Palembang :Fakultas
Kedokteran Univeristas Sriwijaya
Bahrudin, M., 2017. Patofisiologi Nyeri (Pain). Jurnal Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang, 13(1), pp. 1-13.

Bickley, L. S., 2013. Bates Guide to Physical Examination. 11 ed. Philadelphia:


Lippincott Williams & Wilkins.

Bickley, Lynn S. 2013. Bates’ Guide to Physical Examination and History Taking
11th edition.
Fong, A. & Scug, S. A., 2014. Pathophysiology of Pain : A Practical Primer.
Plastic and Reconstructive Surgery Journal : Special Topic, Volume 134,
pp. 1-14.

Hamaro, Ns. Rudi. 2016. Keperawatan Kegawatdaruratan dan Manajemen


Bencana. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Jones, Rhonda M. General Assessment dan Vital Signs.
Kariyanti, F. 2017. Teori Kegawatdaruratan. Universitas Muhammadiyah
Semarang.
KEMENTERIAN RISET, T. D. P. T. U. S. M., 2018. Manajemen Luka.
Surakarta(Jawa Tengah): Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

64
M. Jones, Rhonda 2008; terj. D. Lyrawati, 2009. Penilaian Umum dan Tanda‐
tanda Vital. Diakses pada
https://lyrawati.files.wordpress.com/2008/07/general-assesment-dan-vital-
signs.pdf, pukul 18.58 wib.

Papini, R., ABC of Burns: Management of Burn Injuries of Various Depths, BMJ,
2004;329: 159-60.

P.Paulsen, J. Wajasche,. Atlas Anatomi Sobotta. Jakarta: EGC


Penilaian Nyeri. https://simdos.unud.ac.id(diakses pada 18 September 2019)
Purnama, H., Sriwidodo & Ratnawulan, S., n.d. Review Sistematik : Proses
Penyembuhan dan Perawatan Luka. Farmaka, 15(2), pp. 251-258.

Putz, R. 2006. Sobotta Atlas of Human Anatomy (ed.23). Stuttgart: Elsevier Urban
dan Fischer
Redhono, Dhani, dkk. 2012. Anamnesis. Surakarta: Bagian Biokimia Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
Richard, L Drake dkk, 2012. Basic Anatomi Grays. Elsevier
Sherwood, L., 2017. Fisiologi Manusia : Dari Sistem ke Sel. 8th ed. Jakarta:
EGC.

Singer, A.J., Dagum, A.B. Current Management of Acute Cutaneous Wounds, N


Engl J Med 2008; 359: 1037-46.

Thomsen, T. W., Barclay, D.A., Setnik, G.S., 2006, Basic Laceration Repair, N
Engl J Med; 355: e18

Wiratma, Bram. 2018. Implementasi Penanganan Kegawatdaruratan Terpadu.


Universitas Airlangga.

65
66

Anda mungkin juga menyukai